Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Sabtu, 23 Juli 2011

Garuda Merdeka, Infra Structure adalah Sayapnya


Satu perasaan, satu  dorongan untuk selalu dekat dan membuat senang ada pada anak terhadap Ibunya, karena sosok ibu pada masyarakat manusia bisa  menjelma menjadi fenomena “bangsa”, sekelompok manusia yang hidup dengan sejarah, keadaan lingkungan, dan kebudayaan yang sama dan berjuang untuk hidup dengan keadaan yang sama, mengelompok dan mengenal dirinya sebagai bangsa.
Ini merupakan perwujudan dari kenyataan bahwa manusia disatu sisi adalah makhluk social, sedangkan disisi lain adalah makhluk individu, 'Rwa Bhinedha', dwi tunggal  berlawanan tapi tak terpisahkan. Alam  mendukung keberadaan bangsa - bangsa, dengan meberikan ciri - ciri genetic kepada satu bangsa, ciri -ciri budaya, sehingga dengan sedikit usaha perasaan satu Bangsa bisa diciptakan singkatnya dasar ikatan komunikasinya sudah ada.
Fenomena kebangsaan sudah sangat tua, rasa menyatu timbul saat wilayah tempat mereka mencari nafkah dan tinggal dikehendaki oleh bangsa lain.
Pada awal sejarah manusia mulai dari puak - puak dan suku sudah saling mengusir, bahkan melakukan kanibalisme, sesudah itu menaklukkan untuk diperbudak. Perilaku lain sebagai antipoda dari perebutan makanan sampai merebut kemerdekaan adalah solidaritas.
Perilaku perebutan wilayah hingga mengusir individu lain, puak atau suku lain apalagi bangsa lain adalah sangat archaic kuno dan primitip toh ada di zaman sekarang, melanjutkan perilaku kaum Nazi kepada orang Yahudi, dan ternyata malah orang Yahudi kepada orang Arab, aneh. Apakah tidak mengukur dengan dirinya sendiri ? Dizaman ini sepertinya sudah tidak  umum.
Mungkin ini perilaku warisan naluri kuno  khusus orang yang tinggal di padang pasir, bila merebut satu oasis dengan satu sumber  air dengan seratus pohon kurma dan sebidang padang rumput, pasti  penduduk yang dikalahkan seluruhnya dibunuh, dibantai, atau diusir, yang perempuan sebagian yang  muda diberi hidup masuk dalam rumah tangga sebagai  penghuni hareem, bila tidak demikian buat apa kemenangan itu?
Karena sesudah itu umumnya masih ada zaman Feodal yang memperbudak petani penggarap, seperti zaman Chekhof, di kekaisaran Rusia,  masih ada perampasan hak milik a’la Robber Baron di Amerika Serikat, ada penjajahan dengan merampas hak ekonomi suatu bangsa terjajah di untuk kepentingan  negeri  penjajah, kemudian merampas hak ekonomi manusia sedunia dengan kekuatan fisik, ekonomi social dan budaya, yang dikenal dengan imperialisme ekonomi  politik dan budaya yang kita alami sekarang.

Sebenarnya semua fenomena masyarkat manusia seperti yang di urutkan ini bisa dikatakan terkait erat dengan keberadaan infra structures.
Sebaliknya, pendirian koloni koloni bangsa pendatang di bumi Nusantara bukan suatu yang baru dalam sejarah wilayah ini. Sebelumnya Bangsa Arya yang jumlahnya hanya sedikit mampu mendirikan kerajaan- kerajaan besar mulai dari Jambi, Palembang, Sumatra Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Luwu. Kemudian Bangsa Parsi kaum yang tinggal di teluk Aden mendirikan kesultanan di Pasai, di Ternate di Gresik, ini semua sulit disebut sebagai penjajahan, karena bangunan infra structures tidak sengaja dikonsentrasikan  di kawasan asal bangsa pendatang saja, dan integrasi sebagai penduduk di satu wilayah berjalan wajar. Ini semua sebenarnya menyangkut bagaimana infra structures baik hard wares maupun soft wares dibangun.
Baru pelaut dari Europa datang ke Banten dan selanjutnya menjajah seluruh Nusantara.
Kaum Arya pendatang dari India, sudah menciptakan infra structure soft wares susunan masyarakat dengan kaum inteligensia – Brahmana sebagai ujung tombak, merencanakan dan membangun sistem sawah berpengairan yang jauh lebih productif dari ladang huma. Bangsa Pribhumi menurut kerena diikutsertakan jadi petani dengan sistem yang lebih menguntungkan meski jadi kasta di bawah. Kewajiban membuat dan memelihara infra structure hard wares seperti bendung dan sistem saluran air, candi-candi dan kompleks asyram masih dengan ringan dikerjakan oleh kasta Sudra yang petani.
Infra structure hard wares untuk mendukung Feodal a’la Hinduisme India  masih bisa dituruti  oleh kasta waysia dan sudra.

Kemudian Islam masuk ke Indonesia, tak pelak membuat Hindhuisme pudar di mata rakyat golongan bawah, terutama golongan pedagang, kaum Waysia, yang oleh Hiduisme dilarang untuk diajari membaca dan menulis huruf Palawa dalan bahasa Sansekerta bahasa dan huruf kitab Wedda. Kalau melanggar maka hukuman telinganya dituang timah cair, bila kasta bawah melanggarnya dahulu kala.

Di sisi lain pada jaman itu, Islam malah mengajari membaca dam menulis huruf Arab dan berhitung arithmatika dan aljabar kepada siapapun, apalagi pemeluk agama Islam, ini pembanguna soft wares yang sangat mendapat dukungan dari kaum waysia dan sudra, karena semua manusia sama di mata Allah Sang Rabb.
Sedangkan hard wares yang mendukung masyarakat Islam cukup ringan, hanya sistem persawahan pengaturan tinggi air rawa dengan kanal-kanal seperti di Mesopotamia. Ada murid dari salah satu mubaligh Islam yang dari Mesopotamia anak Pangeran Jawa namanya Kalijaga – orang awam memberi gelar demikian kerena kerjanya sehari hari memeriksa alat pengukur tinggi air di saluran-saluran dan sungai yang memotong rawa  luas di Demak, mungkin murid yang lain berurusan dengan  rawa-rawa muara Sungai Brantas dan Bengawan Solo, tidak hanya luasan seluruh wilayah rawa-rawa tersebut yang cukup bisa mencapai 80 000 hektare.
Ini lebih luas dari persawahan yang mendukung kerajaan Hindhu yaitu Majapahit, atau di manapun di Nusantara sebelumnya, juga tidak kurang penting adalah angkutan padi dan beras tiga empat ton dengan perahu yang ditarik sepanjang sistem kanal dan pintu air, sangat memudahkan perdagangan beras, di kota Raja kerajaan Islam, dibandingkan dengan infra structure kerajaan Hindhu.  Ini hanya ilustrasi betapa pentingnys infra structure bagi suatu masyarakat, baik yang berupa hard wares maupun yang berupa soft wares.

Kerajaan Islam di Jawa memudar karena pendangkalan kanal-kanal oleh lahar dingin dari Gunung-gunung api Merapi, Merbabu ke Demak Bintoro, Gunung Kelud, Gunug Semeru ke hilir Brantas, dan endapan abu dan lumpur yang cepat dari hulu aliran anak sungai dari kiri kanan lereng sepanjang bengawan Solo, menyebabkan sistem  pengairan a’la Mesopotamia yaitu memanipulasi permukaan air, sehingga padi tidak kebanjiran dan tidak kekeringan, karena ada kanal –kanal dan `pintu pintu air,  semua menjadi kacau, oleh pendangkalan yang cepat.
Masyarakat yang mendukung kerajaan Islam surut dan timbul Kerajaan Islam-Jawa di Pajang, Mataram mempunyai sumber yang productive dari sumber air tanah yang besar-besar di dataran tengah (Vorsten landen) Klaten dan Bantul  cukup untuk panen dua kali setahun.  Kerajaan Islam Demak  Bintoro dan Giri Kedaton, (persawahannya di Tandes, Sidayu, Pamotan/Lamongan dan Jenggala/ Sidoarjo,  infra structure hard wares yang utama sistem pengairan rawa a’la Meopotamia mendangkal tak mampu memperbaiki, bertepatan dengan datangnya Pelayar dari Europa, dari Portugis, dari Spanyol kemudian dari Belanda dan Inggris, Perancis dan siapapun yang tidak malas.
Alat yang paling ampuh untuk mendukung Feodalisme dimana saja ya penghambaan para petani penggarap (serfdom of the peasentry), lha sistim Hindhu cukup dengan aturan ecleciastical ajaran Wedda dan diupah dengan pembagian air gratis untuk petak-petak sawahnya. Sistem Islam mengharamkan perbudakan, ndak ada budak dalam  infra structure soft wares a’la Islam di Nusantara, begitu diperbudak petani merdeka ini minggat, lembah sempit dan hutan masih banyak, jadi kerusakan sistim pengairan oleh pendangkalan ini sangat luas, tidak bisa dengan cepat ditangani. Tidak ada soft wares atau hard wares sebagai infra structure untuk mampu menangani secara cepat bencana semacam ini.
  
Sebaliknya, kaum Pendatang dari Europa berlayar jauh-jauh juga membawa dagangan yang setara menariknya dengan dagangan dari Cina, yaitu kain Wool Laken warna gelap, yang hangat pada cuaca dingin di musim angin Timur dan tidak gerah dalam cuaca lembab di musin angin Barat, lebih dari itu cukup tebal  dan kaku untuk ditempeli emas perak batu mulia, bintang-bintang, lukisan singa,  lebih baik dari cita atau kain sutera, sampai sampai ada Sultan Kartasura/Mataram yang begitu kesengsem memakai seragam Admiral Belanda (meskipun bekas he he..) dan bergelar Mangkurat Amral (maunya admiral). Juga membawa anggur, muniman keras dan candu, jadi sangat disenangi orde Feodal,

Bukan dagang dengan Pribumi tapi dengan dengan Feodal pribumi mereka menerapkan infra structure soft wares perbudakan dari Europa yaitu penghambaan dari petani penggarap,  semula  dengan aturan tanam paksa, artinya dipaksa dengan terror senjata, untuk itu Birokrat dan prajurit Keraton juga di-ikut sertakan, (Kanjeng Patih Danurejo dari Ngayogyokarto Hadiningrat sangat pro Belanda) dilengkapi dengan senjata api. Tujuan kaum Penakluk dari Europa memang bukan sekedar berdagang, tapi mencari keuntungan sebesar -besarnya, maunya seperti Pizarro langsung menjarah emas berton-ton dari bangsa Aztec, Inca  dan bangsa Maya, nun jauh di Amerika Selatan.
 Tapi di pulau Jawa di Nusantara mereka merampas tanah Sultan, (tentu saja didukung oleh para comprador seperti Patih Danurejo karena komoditas yang dihasilkan, meskipun dengan tanam paksa barapa banyakpun ada yang menampung, dan Compradores tengik ini dapat bagian keuntungan tentu saja) mereka membangun infra structure penjajahan, baik soft wares maupun hard wares untuk satu keperluan menggali kekayaan bumi tropis dengan penduduk yang sudah tahu berbudaya, mengenal struktur masyarakat dan takut mati atau penurut, semua keuntungan dibawa ke Vaderland,-Nederland semua untuk membangun infra structures yang sangat dibutuhkan.
Tahap pertama mengetrapkaan soft ware penghambaan petani dengan tanam paksa, dijawab dengan pemberontakan yang sangat merugikan, kemudian dengan membangun irigasi dengan sisitim moderen yaitu membangun bendungan sungai-sungai besar dan bendung waduk besar dan kecil (sebagian besar memakai orang rantai tawanan kerja paksa ditangkap dari mana-mana, memberontak karena tanahnya dirampas dengan segala dalih jumlahnya puluhan ribu), pengairan untuk mendukung penanaman tebu dan Pabrik Gula, membangun sistim irigasi dengan debiet sampai puluhan ribu liter per detik, pintu-pintu air jalan dan jembatan dari beton dan besi ratusan pabrik gula, ribuan jembatan, jalan kereta api, - tapi toh tidak mendirikan pabrik semen tidak mendirikan peleburan baja, bahkan tidak mendirikan pabrik paku.
Mereka  para penjajah Belanda mendirikan sekolah Guru hanya untuk mendidik sebagian kecil anak muda untuk jadi juru tulis dan juru pembukuan, mengerti perintah tertulis, itu saja, pagawai kecil ini digaji paling sedikit tigapupuh kali buruh tani di kebun tebu.
Ada Kereta api express Surabaya-Batavia 800 km bisa ditempuh dalam sehari, tapi Kepala Stasiun dan Masinisnya orang Belanda.
Ada putra Dokter Pribumi yang pada zaman menjelang Perang dunia ke II lulus menjadi Pilot pesawat tempur di Angkatan Udara Kerajaan Belanda, beberapa bulan sebelum pecah perang dengan Jepang pesawatnya kerusakan teknis dan jatuh, sang pemuda pribumi gugur sebagai tumbal penjajahan. Tapi apa lacur ? sang pilot malah dicemooh kerena orang 'inlander' meskipun sudah dari keluarga terpelajar toh tetap 'inlander',  syarafnya lemah dst, dst, ini memang pola infra structure soft ware penjajahan.

Ternyata seminggu setelah pecah perang beneran melawan balatentara Dai Nippon Taikoku, beberapa bulan setelah Penerbang pribumi kita gugur, puluhan eskadron pesawat tempur dan pesawat type lain dari angkatan udara kerajaan Belanda punah dan rontok meskipun dipiloti oleh sinyo-sinyo dari Vaderland. Armada kapal perangnya semua kandas di Pantai-pantai Laut Jawa yang memang dangkal, saking takutnya bertemu dengan konvoy kapal perang Hinomaru,  mepet-mepet ke darat, malah kandas dan jadi sitting ducks.

Penjajahan Blanda hanya melulu untuk mengumpulkan keuntungan sebanyak-banyaknya, semua untuk infra structure di Vaderland hanya untuk itu.
Makanya di Muara sungai Rhein, Sungai Maas dan Sungai Iysel di Vaderland diperlukan kanaal-kanaal yang lebar dan dalam untuk tongkang pengangkut batu bara dan bijih besi, distribusi komoditas dari tanah jajahan, perlu tanggul-tanggul untuk menahan amukan laut Utara dan memperluas daratan untuk memanam flax (Linus L) bahan serat untuk kain layar pelayaran samudra dan kain linen. Pemerintah Hindia Belanda memonopoli perdangangan candu, pembuatan dan perdagangan garam tidak perlu beryodium. 

Pembangunan infra structure di Vaderland yang baru menapaki industrialisasi, butuh modal banyak sekali.
Infra strructure penjajahan sangat piawai dalam menyusun soft wares bagi Inlanders, agar pribumi ini tidak memberontak, harus rendah diri sebagai pribumi diperkuat dengan undang-undang segregasi, dangkal, karena malu dengan kebudayaan bangsa sendiri dan sangat mendambakan menjadi Belanda Hitam, dan tidak mengerti pentingnya membangun infra structure, kecuali gedung-gedung dan Societeit tempat Bule berkumpul.
Kecintaan kepada ibu, kepada bangsanya,  yang membuat para Perintis Kemerdekaan berjuang untuk hak asasi bangsanya yaitu : Merdeka. Bebas menjalani hidup sebagai apa yang dipilih, tidak ada pembatasan, tidak ada segregasi atau pemisahan tempat di fasilitas umum, dan tidak ada pengekangan profesi dan pendidikan.

Sebenarnya cita-cita para perintis kemerdekaan adalah membangun infra structures yang memadai untuk menjamin kemerdekaan suatu bangsa, untuk sayap-sayap yang kuat dari Garuda Kemerdekaan Bangsa. Ini semua sudah ada di kepala para pejuang kemerdekaan.
Lha apa lacur,  sebagian besar pribumi maupun bangsa timur asing yang telah berintegrasi dengan inlander atau dengan para edelheer der Nederlander sudah terkena racun infra structure penjajah, yaitu takut, di benak mereka ada pikiran, bisa apa bangsa ini nanti bila merdeka, begitu parahnya racun ini sampai ada seorang dari intgeligensia pribumi, doctor dalam matematika diangkat sebagai Gubernur di Makasar, pada fajar kemerdekaan tahun 1945-1946 tidak mampu menggunakan wewenangnya sebagai Gubernur pribumi dari Pemerintahan Republik Indonesia, karena “de reglementen” nya belum ada, Gudang-gudang bekal perang semesta Dai Nippon masih digembok. Ini jujur, tapi bermental  inlander, yang dicekoki kepatuhan 'rust en orde', buta tuli tentang infra structures penjajahan.

Ada lagi yang mengartikan merdeka adalah menggantikan cara hidup penjajah yang nikmat sebagai birokrat yang sebelumnya tidak pernah dijabat oleh pribumi. Mereka tidak mengerti bahwa Heeren en Dames en sinyo en nonik ini sebenarnya juga sengaja untuk menciptakan dan mempertahankan hegemoni rasial, pokoknya mereka harus tidak sama, lebih keren (ini ya bahasa Belanda lho, mestinya kraanig ya ?)  tapi  serakahnya mengumpulkan sampai ke sen yang masih terselip di karpet mereka untuk dikirim ke Vaderland guna membangun infrta structure di sana, yang got-got sekecil-kecilnya oleh para murid pribumi harus menghafalkan di sekolah-sekolah mereka yang bahasa pengantarnya bahasa Belanda, lah mau dikasih pelajaran apa supaya anak anak inlanders ini kelihatan goblok ? ya kayak kita sekarang dicekoki bahasa Inggris yang grammarnya (di) susa-susah (in) oleh para native speaker, ya untuk murid kita kelihatan tambah bodoh, ga bisa bahasa Inggris fasih kayak mereka.

Untungnya kaum menengah yang kecil jumlahnya, namun oportunis dan berlagak pintar,  dikalahkan oleh semangat rakyat jelata yang jumlahnya berjuta-juta diilhami oleh putra putri anak cucu dan cicit bekas pemberontak perintis bangsa yang lolos  bisa memperoleh pendidikan, berhasil diyakinkan oleh para Perintis Kemerdekaan, dibekali oleh intuisi mereka, pada saat saat yang ktitis, pada tahun-tahun pertama sesudah Proklamasi Kemerdekaan. Mereka ini kaum republiken lebih tahan hidup sengsara, mereka mengerti arti dari infra structure yang meliputi kehidupan mereka sehari-hari, tidak untuk mereka sendiri tapi untuk rakyatnya.

Pengalaman kaum republiken terhadap infra structures ini di bennak mereka adalah bahwa infra struktur itu penting, sakral. Karena pada jaman Belanda saluran irigasi, jalan inspeksi  instalasi pabrik adalah dilarang didekati, bahkan dijaga opas yang ganas, bahkan juga kemudian gardu trafo listrik sekitar pabrik dan perkotaan, ditulis pringatan dalam huruf Jawa “sing ngemok mati” artinya serem, “yang pegang mati”,  semua ada di tengah-tengah kehidupan mereka.

Di Pedesaan mereka mulai memahami cita-cita Perintis Kemerdekaan yang lidahnya disambung oleh Bung Karno. Mohamad Yamin dkk, bisa dimengerti mereka.
Sedang kaum menengah oportunis dengan mudah melonjak ke jenjang birokrasi yang lebih tinggi mengganti para Tuan yang belum datang,  segera  memakai segala atribut kekuasaan dan menjadi koruptor, bekerja sama dengan para petualang “tukang catut”, penjaga pos-pos pemeriksaan di jalan raya untuk minta “telur dan ayam”, mereka sudah berkiprah selagi perang kemerdekaan.
Akan ternyata kemudian, dari mereka ini tumbuh satu kelas masyarakat  kita, Pencari Kesempatan yang sama sekali tidak tahu atau tidak mau tahu bahwa Kemerdekaan adalah Pembangunan sekuat tenaga untuk membuat infra srtrucutre, demi otot sayap Garuda kemerdekaan bukan yang lain. Karena  natural resources bumi Nusantara ini begitu kaya, Sang Rahwana Penguasa Dunia ini  ya berkenan menguasai, mereka memperalat  Pemimpin Pribumi yang sama sifatnya dengan  sang Rahwana ini.
Orde Baru, yang memporak-porandakan cita-cita para Perintis Kemerdekaan dalam membangun infra structure demi kemerdekaan, layaknya sayap-sayap Garuda. Bila cita-cita para Perintis Kemerdekaan yang dituangkan oleh Rencana Pembangunan Semestanya Bung Karno, mestinya pencetakan sawah pasang surut di Kalimantan dan Papua Barat diprioritaskan, ternyata oleh Jenderal Besar Suharto sebagai penguasa tunggal mandataris Orde Baru, dirubah jadi intensifikasi lahan yang sudah ada, dari uang kredit kucuran dari The World Bank, IMF, dan lain-lain, Kepada jutaan hectare lahan sawah di seluruh Nusantara diberikan subsidi untuk bertani menanam padi jenis baru dari IRRI (International Rice Research Institute)  Los Banos Phillipines.
Pupuk urea 2 Kw/ha dan insecticides 2 ltr/ha equivalent Diazinon, dan bibit berlabel dari Penangkar 25 kg/ha, dengan kedit dan harga bersubsidi untuk pupuk 50 % dan pestisida 80% semula bibit gratis, kemudian beli.  Selana 25 tahun sistim Bimas ini berjalan semula kredit kemudian tunai tapi subsidi tetap dipertahankan. 
Bendung-bendung besar dibuat di Pulau Jawa kadang overlapped dengan sistim saluran yang sudah ada, hasilnya setelah 25 tahun Bimas penanaman padi dan Polowijo (Bimbingan Massal),  swa sembada  beras sering tercapai setiap tahun, Jendral Besar Suharto dapat penghargaan dari PBB, tapi sawahnya ya yang  itu itu saja dtanam padi dua kali setahun, bahkan ada yang tiga kali setahun, dengan pemakaian pupuk yang terus bertambah bukan urea 2 kw/ha tapi hingga 4 kw/ha ditambah dengan 1 kw pupuk Phosphat dan 1 kw KCl kadang kadang, insecticides berbagai jenis sampai 6 – 8 liter per Ha, karena hamanya tambah banyak, penanaman segera setelah panen dengan lahan sawah digiling pake Rotavator.

Tanah sawah menjadi lelah, beaya semakin tinggi, selama akhir Orde Baru akhirnya subsidi dihapus, -karena mbalelo disuruh hengkang dari Timor Leste ndak ikhlas-, kredit dari Sang Rahwana diseretin. Bapak Pembangunan, Presiden Orde Baru  pada termin ke-enam, Jendral Besar Suharto murka, memerintahkan membangun satu juta hectare lahan gambut di Kalimantan dicetak jadi persawahan, kandas karena duit habis di jalanan  untuk survey, dua tiga tahun pilot project nya saja tidak ada.
Ini baru satu kasus bagaimana cita-cita Perintis Kemerdekaan mencetak sawah pasang surut di rawa-rawa dataran rendah Kalimantan dan Papua Barat, sebagai lahan baru yang bisa menampung Petani dari Jawa, Bali Sulawesi, Sumatra barat yang lahannya sudah semakin sempit, menjadi Petani yang cukup luas tanahnya, infra structure yang baru, dikhianati atas nasihat dari Consultants yang berkepentingan membuat Garuda Merdeka ini lumpuh, tidak dimengerti oleh Bangsa ini, terutama oleh para Pencari Kesempatan, yang bergerombol di seputar Orde Baru.
Bahwa fungsi infra structure tak terpisahkan dengan Kemerdekaan memang kelihatannya sangan crucial, dan ini perlu disembunyikan atau dipisahkan dari pengertian tetangga anda, karena ada doktrin yang sangat tua dan bijaksana “Jangan biarkan tetanggamu menjadi kuat”.
Banyak Negara merdeka sudah ratusan tahun di Amerika selatan, banyak yang dipimpin oleh Diktator dari segala credo dan semangat, Mexico ber-revolusi belasan kali, semua OK dan dihormati, malah didukung  oleh tetangganya. Pokoknya jangan sampai bagitu banyak ngurusi infra structures di kawasan itu, sebab nantinya akan membuat mereka kuat.
Satu saat tahun sekitar tahun 1850 -an terjadi perang saudara yang dahsyat di Amerika Serikat yang makan korban militer maupun sipil ratusan ribu nyawa dari kedua belah fihak.
Konon menurut sejarah resmi dari Ensiclopedia Americana, peperangan antara Republik-Republik berserikat  dari Selatan  The Confiderations melawan Republik-Republik Berserikat dari Utara The Unionist, adalah karena masyarakat Amerika Serikat dari Utara sangat risih terhadap sistem perbudakan orang dari Afrika yang dibeli khusus untuk jadi budak memproduksi kapas yang jutaan hectare di lembah sungai Mississipi dan Misouri.
Tentu saja menghasilkan kekayaan yang sangat besar. Sedangkan masyarakat di Selatan ngotot tetep memakai budak-budak dengan infra structure hard wares maupun soft wares yang cocok untuk sistem perbudakan. Akhirnya perang besar dimenangkan oleh fihak Utara.
Kok ya heran, baik di Utara maupun di Selatan para pendatang dari Europa ini merebut tanah dari Pribumi dan berebut tanah satu sama lain nyaris memakai hukum rimba.
Yang di Selatan memperbudak orang dari Afrika yang sengaja dibeli, yang di Utara menindas Pendatang baru yang dari Negeri negeri miskin, Europa timur dan China, kok mendadak dengan alasan yang begitu humanistic mereka saling membunuh dengan korban ratusan ribu jiwa dalam waktu yang singkat, perang saudara.
Apa ada sebab lain ?
Ini dongeng dari Penulis mengenai infra structure:
Waktu itu di Amerika dagangan kapas sedang sangat menguntungkan karena ditemukan mesin uap untuk memutar mesin pintal dan mesin tenun di Europa dan di Amerika Sendiri. Wilayah Selatan jadi sangat makmur, dari sana terkumpul pajak dan devisa untuk Pemerintah Federal yang sangat banyak, sedangkan di Utara, Industri apa saja, terutama peleburan baja, pembuatan mesin-mesin dan angkutan batu bara sangat memerlukan infra structure yang sesuai.
Bicara mengenai angkutan kereta api.
Pokoknya angkutan kereta api  baik untuk barang maupun untuk penumpang menjadikan semua wilayah menginginkan dibuatkan rel-rel kereta api, swasta dibantu banyak oleh Federal. Pihak Selatan di DPRnya Pemerintahan Federal, kalah suara karena banyak penduduknya yang tak ber KTP tidak punya hak suara mereka budak, sedangkan di Utara bagaimanapun mereka buruh atau tani merdeka jadi waktu voting menentukan rel KA dibuat, dimana ?,  ya di Utara, si Swastapun  lebih senang membangun rel di Utara, jaraknya lebih dekat dan muatan pulang pergi dapat dari industri dan pertambangan. Yang di selatan kan kebun kapas yang sangat luas, angkutan hasilnya musiman dan sudah diatasi dengan angkutan sungai dengan gampang, murah meriah, lha dasar orang kaya menghasilkan pajak dan devisa untuk Negara, paling besar, karena jengkel ya mau bikin Negara sendiri dan menggunakan uangnya untuk membuat jalan kereta api di wilayahnya sendiri juga membuat meriam-meriam yang buaanyak, ini kan soal infra structure, kalau diuwar uwarkan, dalam sejarah ditulis dengan sebenarnya, kan Guru - Guru dari Profesor kita  seperti Dr. Nugroho Notosusanto alm. pasti keberatan sekali. Kalau para tetangga mendengar dan mengerti, pasti perang Malvinas tidak berakhir mengenaskan seperti itu, pasti Mexico mengebor minyaknya sendiri paling sedikit  julukan Korporasi Raksasa penguasa minyak bumi jadi “eight sisters” bukan “seven sisters” yang kesohor dari dulu  dikawasan “dunia bebas”. 
Sekarang Neftprom  yang jadi sister ke delapan bukan Signora Esmeralda.
Lha apalagi Para Elit Politik di Dunia Arab, wong begitu kayanya kok ada warganya yang menganggur, sehingga demo, menuntut perubahan, apa nggak mengerti bahwa infra structure itu harus dibangun untuk menyatakan kemerdekaannya sehingga memang harus ndak ada warganya yang nganggur,  ya milih infra structure macam apa, kalaulah memang kaya sekali dan berjiwa ksatria ya melindungi Ikan Paus di Laut Kutub Selatan dari kapal harpoon  Jepang yang mentang mentang ndak ada yang tahu. Operasikan kapal ronda, itu lho kayak pemuda-pemudi dari Europa dan Kanada kan terhormat dan setara dengan kekayaannya dan tidak nganggur. Semoga. (*)
  




  


















0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More