Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Sabtu, 23 Juli 2011

MODAL, MENURUT DONGENG

Semua makhluk hidup, demi melakukan kegiatan hidupnya perlu modal, yaitu hidupnya, seluruh jiwa raganya, walaupun dia tumbuh-tumbuhan, atau jasad  renik, hidupnya adalah modalnya juga.
Bagi sosok manusia beda lagi, hidup-jiwa raganya, masih belum cukup untuk dikatakan modal hidupnya. Ada satu pasangan lagi di samping jiwa dan raga, yaitu akal dan pendamping yang bila terpisahkan dari akal itu manusia berhenti menjadi manusia entah jadi apa (mungkin jadi jenis makhluk lain).  Pasangan dari akal adalah nurani (conscience) banyak yang menghubungkan nurani ini dengan rokh.
Ilustrasi yang bagus mengenai hubungan antara akal dan nurani ada pada ajaran yang dianut umat Islam pada umumnya, bahwa Jin adalah makhluk Allah,  hidup Alam Jin, Jin makhluk berakal tapi nuraninya sangat tipis. Alam Jin bisa bersinggungan dengan Alam Manusia  (menurut pengertian science, kedua alam ini sama sama mempunyai empat dimensi ( tiga dimensi ruang dan satu dimensi waktu ) yang memang bisa saling bersinggungan, –dengan kondisi tertentu  dalam satu rangka dimensi yang lebih besar). Petunjuk yang diberikan: ”Sebaik baiknya Jin adalah sejelek-jeleknya manusia”, jadi maksudnya, hindarilah hubungan dengan Makhluk dari dimensi lain ini. Kenapa umat Islam diberi petunjuk ini, kemungkinan besar bahwa suatu makhluk yang tanpa nurani walau berakal, akan sangat jelek, tidak bisa ditebak, lha apabila manusia berhubungan dengan makhluk semacam ini kan bisa ketularan berwatak jelek bagi ukuran manusia. Kejadian serupa bisa diamati dengan nyata misalnya makhluk singa, puncak piramida makanan di Savana,  akalnya nyaris tidak nyata, tapi berinstinct kuat, yang teramati dengan jelas makhluk Singa tidak punya nurani, Singa jantan biasa makan bayi singa anaknya sendiri, inilah perilaku makhluk yang begitu indah dan tercipta nyaris sempurna untuk kehidupan sebagai predator di Savana, tetap akan  sulit untuk seorang manusia bergaul dengan singa. Begitu pula dengan Jin yang konon tipis nuraninya.
Sampai saat ini, fenomena nurani – rokh ini, masih dianggap berlaku tidak pernah dibantah dan tidak pernah dirunut secara mendalam, karena akal manusia terlalu siap mengambil alih semua persoalan,  dinamis dan dominant, keberadaan  nurani ini membisikkan kebenaran (seperti dalam komik cartoon Pinokio a’la Walt Disney sosok  Davey Cricket yang selalu ikut Pinokio ke manapun), perlu usaha bersungguh -sungguh  untuk  mendengarnya, tidak dinamis, tidak  sama tingkat pengaruhnya untuk  setiap individu, akan tetapi  bila ditinjau secara menyeluruh, perilaku seluruh umat manusia sepanjang sejarah perkembangannya, maka  nuranilah yang memberi jalan keselamatan, bukan kebetulan yang acak, tapi keniscayaan.
Kenapa ?
Ya karena diantara Primata, yang terlahir sangat tidak berdaya, dalam waktu yang  relative lama, –bayi manusia sangat lemah otot dan tulangnya, otak dan panca indranya, kulit dan gigi-geliginya, tidak berguna untuk mempertahankan hidup selama masa lebih dari lima tahun yang pertama semenjak dilahirkan. Bayi manusia bisa bertahan hidup sampai deewasa, hanya atas kemurahan dan kasih dari bapak dan ibunya setara dengan kemurahan dan kasih dari komunitasnya. 
Dengan kondisi ini maka perkembangan Nurani manusia, dengan dasar pemurah dan pengasih kepada bapa, ibu dan komunitasnya yang telah megajari jadi pemurah dan pengasih, kemudian meluas hingga ke seluruh speciesnya kemudian meluas lagi hingga ke sesama hidup dan keseluruh Alam, setara dengan kemampuan akal yang secara kolektif sangat  pesat berkembang dan akan tetap terus berkembang.
Akal setiap individu manusia tumbuh bersama badan fisik yaitu otak,  ulah akal baru dipertanggung-jawabkan sesudah manusia jadi dewasa.  Para Ahli Hukum sangat beralasan untuk menguatkan pandangan ini. Malah para Ahli Dunia menjadikan akal sebagai Panglima dalam menentukan hidup itu sendiri, maka akal menjadi  “Modal”  untuk hidup manusia dengan  pengertian baru, yang tidak pernah ada sebelumnya.
“Modal” - penjelmaan Akal  sendiri, tapi dari semula sudah tanpa pasangannya Nurani, karena dia benda abstrak, malah  telah menjadi Panglima kehidupan manusia di era ini. Malah 'Kanjeng Gusti Modal' ini telah menciptakan singgasananya sendiri adalah : “Pasar”.
Ini lain sama sekali dengan pengertian semula, bahwa pasar adalah tempat bertemu antara anggauta masyarakat untuk saling menukar barang kebutuhan yang tidak dihasilkan  sendiri, satu tempat untuk bertemu dan menyapa, dan pertukaran barang barang kebutuhan ini berdasarkan kesepakatan saling menguntungkan,  di pasar itu akal dan nurani masih ada berbarengan, itu dulu, mungkin pasar ini oleh umat Islam disebut pasar syari’ah. Pasar macam ini  masih ada nun di Lamalera ujung timur pulau Flores, di dunia medern sudah tidak ada.
Kehidupan di alam empat  dimensi di Dunia ini menjadi semakin dinamis bisa berubah ke arah manapun bahkan bisa hancur lebur dunia seisinya ini karena ulah akal manusia, mungkin sampai detik ini hanya nurani yang bisa mencegahnya.

Ilustrasi yang indah mengenai pengendalian ulah akal manusia ini bisa digambarkan oleh Ilmuwan akhli Fisika, Pengarang Fiksi Ilmiah, Pemerhati kecerdasan buatan yang digabungkan  kepada alat mekanis yaitu Robot yang mampu bekerja mandiri layaknya manusia: Isaac  Azimov.
Ahli Fisika ini sangat risau dan menggambarkan suatu keadaan bila sang Robot ciptaan manusia ini yang akkhirnya dalam segala hal lebih superior dari penciptanya sendiri yaitu Manusia, makanya harus dikendalikan dalam pemrograman kecerdasannya, agar tetap exist demi kehidupan manusia. Isaac Azimov warga Amerika Serikat, menciptakan satu set pengendali.
 Hukum Pokok Robotics:
1.    Robot harus berusaha menjaga hidup manusia, tunduk pada manusia.
2.    Robot dalam keadaan tidak mampu melaksanakan Hukum Pertama, existensinya tidak boleh merintangi pelaksanaan Hukum Pertama
3.    Robot bisa menyelamatkan “dirinya” apabila   tidak bertentangan dengan Hukum Pertama dan Hukum Kedua.
Hukum Robotics ini harus terpateri mati dalam program soft wares setiap Robot yang dibuat oleh siapapun dan dalam situasi apapun sampai kiamat, karena satu Robot adalah abadi, alias tidak bisa mati.
Jadi seseorang dalam menghadapi bahaya boleh kehilangan “akal”, langsung lari menyelamatkan diri, atau bahkan membunuh sesama manusia demi membela diri. Akan tetapi satu Robot harus mengikuti Hukum Pertama, yaitu  berupaya sekuat tenaga menyelamatkan manusia apabila menghadapi bahaya umpama dalam gedung yang terbakar, apabila Robot cedera tidak bisa jalan, dia malah berupaya menjadikan dirinya sebagai penahan balok yang akan roboh, atau memposisikan dirinya sehingga tidak jadi perintang jalan menyelamatan manusia, meskipun Robot itu akan ikut terbakar,  sampai sudah tidak ada lagi manusia digedung terbakar itu, baru dia berusaha keluar dari gedung.
Bayangkan seorang Fisikawan sudah berfikir begitu jauh untuk mengendalikan “akal” Kecerdasan buatan yang menjadi “otak” robot yang era nya kini sudah di ufuk timur menjelang fajar, agar tidak malah merugikan manusia. Hari depan manusia akan bersandar kepadanya. (Bila Robot dengan design kecerdasan buatan seperti yang di gambarkan oleh Isaac Azomov sudah ada, maka bencana reactor nuklir seperti di Fukushima pasti sangat lebih mudah diatasi)

Lha Ekonomist diseluruh Dunia dan Akhli Hukum di seluruh Dunia malah menjadi Abdi sekaligus Pengawal “Modal” (saya yakin entitas ini tidak bakal pernah memakai nama syari’ah)  yang sudah membuat singgasananya sendiri yaitu :“Pasar” .
 “Modal” ini sudah diberi hak sama dengan manusia hidup yaitu Badan Hukum yang tak terbatas umurnya dan bisa menguasai Hak Milik juga tak terbatas, yang artinya menguasai hajad hidup orang banyak.
Sayangnya tidak ada apapun yang melindungi manusia dari prilaku  “Modal” dan  “Pasar” yang satu-satunya program soft ware yang  terpateri mati di dalam kecerdasan buatannya adalah “menjadi semakin besar dengan mencari keuntungan sebanyak banyaknya dan secepat  cepatnya.”  Sama-sama kecerdasan buatan, tapi yang ini sudah jadi  Raksasa  Rahwana,  tidak ada program di dalam kecerdasan  buatannya yang dipaterikan-mati demi melindungi kehidupan  manusia, seperti Hukum Robotics yang melindungi manusia. Yang jelas  Modal dan Pasar sebagai singgasananya adalah kecerdasan buatan  yang dihasilkan oleh “akal” manusia, bisa bekerja mandiri dikawal oleh  Hukum Masyarakat seperti layaknya manusia,  ya hanya yang ini,
Benda-abstak , karena lahirnya dari akal thok. Pemilik benda abstrak dengan kecerdasan buatan ini  yang sampai sampai  keuntungan maha  besar di tangannya ndak tahu dikemanakan lagi,  jelas ada pemiliknya
entah manusia entah entitas apa beberapa gelintir atau beberapa ribu  yang menguasainya.
Konon  nuraninya juga buatan paling kurang  ya permakan (dari kata  Vermaak ?, Blnd) malah berkhotbah dengan bangganya, naik pesawat  jumbo jet super canggih didahului oleh pesawat pengangkut raksasa para pengawalnya, keliling Dunia. Akalnya hebat hanya nuraninya  sudah dipermak  yang tentu saja payah, atau malah ndak ada  nuraninya, melainkan hanya semacam skenario acting yang dangkal saja.
Manusia yang begini sudah mirip Jin, apakah  tidak menularkan wataknya ke manusia lain yang dekat dengannya ?
“Sirik tanda tak mampu”.
Begitu getolnya azas “mendapatkan keuntungan sebesar besarnya dan secepat cepatnya” yang para Economist botak maupun yang lemah lembut  malah menjadi Pengawal setia di samping fungsi yang hebat hebat dalam Lembaga Tinggi masyarakat manusia, yang sayangnya masih mempercayainya,  lha kok jadi pengawal dari Entitas-Benda-abstrak-yang-dianggap-manusia, 'Yang Mulia Modal', sehingga setiap Modal ini bekerja, hasilnya harus memberi keuntungan segera, contract demi contract, arti contract adalah “Ini barang hajat hidupmu –mana jualanmu?”  kata kuncinya: “Sedangkan kamu saja lebih rendah nilainya dari hajat hidupmu, apalagi jualanmu,  karena kalau kamu tidak ada, ndak ada yang nyari, kalau barang barang hajat hudupmu tidak ada,  yang mencari buaaanyak.” Begitulah sabda sang Maha Modal. Bila kamu membutuhkan kekuatanku sang Modal Yang Perkasa, aku harus utuh kembali sebagai Modal dalam waktu empat paling lama lima tahun, di samping kau harus bayar bunga tahunan, karena itu  sudah “pelaturan” Bank,  kau harus membagi keuntungan yang semakin meningkat  tanda kerjamu benar. Ini Hukum Besi, bila tidak aku akan menarik diri, ada kesibukan lain. Hukum besi ini konon namanya ROI (Return on Investment)
Benda jaminan, atau janji jaminan aku ambil, bila kau membelot.
Syah Iran pernah menjaminkan Negaranya padaku, dia terusir dari Takhtanya oleh salahnya sendiri, tapi harta jaminan  yang dijanjikan kepadaku, satu saat pasti aku ambil, karena sebagai sang Modal aku abadi. Anak cucu rakyat  yang mengusirnya satu saat akan menggantungkan hajat hidupnya kepadaku, saat itu aku Yang Mulia Modal akan mengambil hakku.
 
Jadi kalau kamu bikin bangunan dasar atau infra structure yang bersifat hard wares, jalan, jembatan, pembangkit energi, sistim komunikasi mengundang aku sang Modal yang Perkasa, ya tidak mungkin aku wutuh kembali  dalam empat atau lima tahun, OK lah, tapi aku akan bikin hajat hidup anak cucumu sudah ada di tanganku sekarang, sehingga puluhan, ratusan tahun mendatang anak cucumu tetap harus membuat contract-contract denganku guna memenuhi hajat hidupnya, yang sudah ditanganku.
Ya celakalah satu Bangsa yang tidak punya kemauan politik untuk membangun sumber pangan, infra structure sehat buat papan dan hasil kerja penukar sandang, paling sedikit dengan menggali budaya setempat, bisa mempertahankan swasembada pangan, papan dan sandang yang memadai, karena mempertimbangkan kecenderungan alami, jadi tidak perlu ngutang.  Adalah ironis apabila petani kita sarapan dengan roti tawar dari gandum dilapisi margarine, minum kopi buatan dan susu kental manis ( ini sebenarnya larutan air gula dan minyak nabati yang diberi rasa dan aroma apa saja, diemulsikan)  seperti cara penduduk  sebagian negri ini dan birokrat kita tidak merasa berpakaian rapi tanpa mengenakan blazer dan berdasi. Lihat apabila Legioner Romawi yang telah menaklukkan daratan seputar laut Mediteranea dengan hanya memakai sandal, kenapa si Ujang bila menempuh ujian mendapatkan Surat Izin Mengemudi kendaraan bermotor di Markas Polantas kok harus mengenakan sepatu  yang upper-nya tertutup, padahal di iklim tropis basah ini malah kadang menganggu kesehatan kaki. Ini sudah “pelaturan”.
Sebaliknya ada masyarakat yang berani membuat jalan, jembatan, bendung  dan pembangkit listrik semula nyaris dengan tangan telanjang,  dinista dan diperhina,  membuat sabit dan cangkul dengan melebur pasir besi dari pantainya sendiri, kan beli saja murah. Pakaian hanya sepasang overall, musim dingin dilapis kasur tipis,  tidur di barak-barak, beberapa generasi, tapi kemudian sewaktu perlu membuat tool kit, mesin mesin, membangun pabrik kecil kecil diantara Desa, Rumah Sakit Besar untuk kota dan wilayahnya – sudah ada tanah yang dipotong-potong  jalan raya dan jembatan, yang sudah dibuat oleh kakek-neneknya, begitu pula pabrik kerajinan mesin pertukangan pengolahan baja dan kayu, aneka cetakan bubur plastic, tenaga listrik sudah ada dari bendung yang dibuat kakek dan paman-pamannya nyaris dengan tangan telanjang dengan pikulan dan cangkul – tekad ada korupsi tidak ada.
Waktu itu Ekonomist Botak mencela, ROI nya gimana ? Nenek moyang kita pernah mengukir gunung -gunung jadi sawah bertingkat-tingkat hingga sekarang masih ditanami padi, nenek moyang ini tidak memikiri ROI, si ex -Direktur Bank yang dimuliakan bangsanya mana mau tau.  Memang infra structure dibangun untuk merdeka dan benar Masyrakat tersebut jadi Merdeka.
Tidak perlu menghamba kepada sang Maha Modal dan Perangkatnya yang memang sudah punya “pelaturannya”  sendiri.
Entitas Maha Modal yang sudah menggurita raksasa melibat permukaan Bumi, sangat tidak senang bila ada masyarakat yang  ingin membuka lahan pertaniannya sendiri,  membangun sumber energinya sendiri, dengan tangannya sendiri, bahkan mengobati warganya yang sakit dengan caranya sendiri.
Ketidak-sukaan dari Entitas Maha Modal ini dituangkan tercampur  rapi dalam kemasan Ilmu Pengetahuan yang memang sebelumnya  diramu dan dikemas, ilmu pengetahuan memang  jadi kendaraan
Kemajuan Teknologi  tapi bisa diramu dan dikemas sebelum dibawa ke  singgasana Pasar,  supaya hanya Beliau saja yang mampu  menyediakan untuk dibeli, itu saja.
 Beberapa decade yang lalu, dosa besar di tetapkan kepada Pemimpin masyarakat yang mengajak Rakyat berdikari (berdiri dikaki sendiri istilah Orde Sukarno)  sesudah mereka dieliminasi (istilah Kopkamtib) sampai tuntas dari seantero Dunia, sekarang dosa besar juga ditetapkan bagi Pemimpin yang ingin mengelola pertambangan di Buminya sendiri, boleh tapi jangan sampai hasilnya untuk membeayai pembangunan infra structure,  bila ngotot ingin memiliki infra structure, ya dibikinkan, asal tidak bikin mereka jadi kuat, dan Hukum besi Modal tetap berlaku plus hasilnya harus diputar di Singgasana sang Maha Modal sehingga beliaulah yang menguasai.
Kalau jaman Romawi dulu para Senator dan Consul mengupayakan rakyat Romawi terbuai dengan anggur dan adu gladiator, sekarang sang Maha Modal membuai rakyat wilayah yang kaya tambang dengan kerja yang terpola dalam infra strucuture yang ndak bermakna bagi kemerdekaan, umpama di tengah  padang pasir,  jadi Pengelola Hotel bintang tujuh, Pengelola hura-hura balap mobil formula,  diberi game pornografi, berbantah dan saling mengungguli, saling mengakali, dikemas dalam Demokrasi. Yang penting jangan sampai mereka menyatukan daya dan tenaga untuk berusaha berdiri di kaki sendiri menurut bakat alami mereka.
Orang Madura bilang: “Ini petunjuk dari Kepala Lembaga Tertinggi Pengawalan Yang Mulia Modal, tak iya”  (*)

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More