Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Sabtu, 30 Juli 2011

Sejarah Pertanian di Indonesia

Pohon Jati (Tectona Grandis L) Sebagi saksi Perkembangan Ilmu Pertanian di Iidonesia, Masih Berlandaskan Alur Pemikiran Para Perintisnya : Sarjana dari Lingkungan Sub –Tropis.

Perintis perkembangan Ilmu Pertanian  tropik di Hindia Belanda mengikuti  falsafah ilmu yang diterima secara luas saat itu terutama  sesudah era Renaissance, kebangkitan dari zaman gelap,  yaitu objectivitas  penelitian yang sudah banyak terbebas dari takhayul/prasangka, metoda ini berkembang sangat pesat dan membuahkan banyak penemuan untuk pedoman praktek budidaya tanaman maupun hewan., terutama setelah ditemukannya microscope, meskipun, hingga dua abad terakhir setelah teori Evolusi yang dengan gamblang ditegaskan oleh karya-karya dari hasil expedisi dan penelitian Charles Darwin masih dilempar kesana kesini seperti kentang  panas.
Dampak keraguan terhadap teori  Darwin yang melihat kehidupan dan alam  lingkungan  hidup saling bertaut seperti apa adanya yang tersirat dalam teori Evolusi  sangat menghambat pekembangan  ilmu-ilmu yang sangat dekat dengan ilmu Pertanian. 
    Sedangkan pengetahuan nenek moyang kita yang selamanya bertani di suasana tropis adalah hasil pengamatan sangat panjang turun-temurun yang pokok nalarnya dimulai dari lingkungan makro kosmos, padi dimulai dari Dewi Sri, serangan hama mulai dari posisi rasi bintang Wuluh terhadap rasi bintang Waluku dsb.  Mungkin banyak mengena tapi sulit di runut hubungannya.
Sebaliknya,  tentang  tinjauan kembali pengaruh ekology yang membentuk  species liar yang telah jutaan tahun - terhadap   pendekatan agroteknik   species species tersebut  setelah  menjelma menjadi species  budi daya yang   sekilas sudah  jauh  berbeda dari nenek moyangnya, tidak selalu konsisten  secara sistimatis dilakukan.
 Begitu juga yang terjadi di bidang peternakan,  tumbuhan hamparan,  padang rerumputan semak atau  perdu  atau pohon  dari kawasan tropik.
Misalnya, lingkungan tropis  memberikan  temperature dan kelembaban, hujan dan penyinaran  matahari,  mendukung kehidupan tumbuh tumbuhan sepanjang tahun, pasti setiap jengkal tanah dengan seberkas sinar matahari  ditempati oleh tumbuhan apapun, silih berganti, jadi setiap individu species selalu punya tetangga species lain secara acak dan alami.
Tumbuhan/organisme  apa saja yang bisa menjadi simbion-simbion masing masing budidaya tropik , dan tumbuhan / organisme apa yang tidak cocok saling mengganggu?
Sedangkan di wilayah dari sub tropic hingga  ke sub arctic  hamparan baik padang padang dan hutan,  bisa hanya ditumbuhi beberapa species yang dominan saja secara alami.

  Sejak perpindahan bangsa bangsa zaman batu halus, zaman perunggu, dari benua Asia sudah datang  puak puak  suku  Dravida, Khmer,  Burma. yang  mungkin membawa benih dan hewan piaraan mereka termasuk biji dan keguanaan kayu jati. Penanaman kayu ini dilakukan di bekas lahan huma, kemudian ditinggalkan untuk tumbuh sendiri  ini bisa terjadi sudah  ribuan tahun yang lalu.
Sepanjang perjalanan  sejarah mulai masa itu, kegunaan kayu jati makin disadari dan makin dibutuhkan karena ternyata kayu jati sangat tahan air laut, dan sangat bagus  untuk lunas dan lambung perahu perahu besar  yang selalu terendam air laut, seingga kerang-kerangan dan semacannya cacing laut yang bisa mengebor dan menghancurkan lunas dan lambung perahu dalam waktu yang singkat, adalah musuh para Juragan dan nakhoda  perahu perahu besar yang berlayar menyeberang samudra berbulan bulan  mengangkut muatan yang bernilai sangat tinggi, bisa tiba-tiba hancur di tengah pelayaran  di luar perhitungan, kecuali bila lunas dan lambung perahu itu dibuat dari kayu jati, atau di-cat dengan cat yang baru ada pada jaman industrial. 
Sejarah kerajaan di Jawa menunjukkan bahwa kayu jati merupakan komoditas export yang ada dongengnya sendiri sehingga ada ribuan nama tempat di pulau Jawa dengan nama “Jati” dirangkai dengan kata sifat yang lain,  “jati” apa saja ada,  bahkan ada puluhan nama tempat   di Ibu  Kota RI  memakai nama “jati” hingga kini. 

Yang paling terkenal adalah “Linggarjati” tempat Perundingan antara Van Mook dan  Syahrir, pada era perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, dan tiga tahun yang lalu “Jatinangor” jadi sangat terkenal, tempat APDN - Akademi Pemerintahan Dalam Negeri  mencetak calon Camat dan Sekda zaman Orde Baru di  gembleng jadi tukang pukul – ketahuan  selalu ada yang mati dipukuli setiap tahun ajaran baru. 
Ya maklum, kekerasan adalah  ikon zaman militerisme
Begitulah sebenarnya di pulau Jawa tegakan jati di hutan manapun adalah tanaman orang,  bukan tumbuh secara acak sebagai kayu rimba. Di Kalimantan pembalak liar  maupun perampok resmi jutaan hectare rimba raya tropic kadang hutan rimba primer – tidak pernah ‘nemu’ pokok jati. Di Lampung dan Bengkulu ada tapi tanaman Perhutani/Inhutani  (Badan Usaha Milik Negara), begitu pula di Bali dan Sulawesi/ kep. Muna dan P.Buton.
Di di India belakang,  populasi tegakan pohon jati alami paling hanya ada lima sangat jarang sampai sepuluh  pohon setiap hectare hutan tropis, yang umurnya sampai ratusan tahun,  itupun dari   hamparan hutan tropis dengan elevasi sampai  maximum 500  meter di atas muka laut  dan type tanah yang berkembang di atas batuan kapur atau sand stone karena jati tidak suka tanah becek.
 Akhirnya Hidalgo Portugis, Don Spanyol tahu tentang  kehebatan kayu jati untuk lunas dan lambung galleon galleon mereka,  kemudian baru   para Edelheer Belanda dari VOC yang diajari oleh pembuat  “Jung” dari  Tiga Bukit Naga  nama  Indonesianya San Pao Lung -  (sekarang Semarang-) dulu semua penduduknya adalah Cina mayoritas Islam  tukang kayu pembuat “jung” yang berlunas datar dan layar  dibentangkan dengan “kerai” batang  batang bamboo yang khas.
Walhasil, sesudah perang Diponegoro, tuan besar Houtvester mulai membuat rencana “penanaman” hutan  jati secara besar besaran, memanfaatkan kemiskinan petani di Pegunungan Kendeng utara  pulau Jawa antara lain di  wilayah Blora yang kurus, dijadikan “pesanggem” 
Artinya sekeluarga petani yang di izinkan menanam jagung, padi gogo dan palawija lainnya ditanah Kanjeng Gubermen gratis, asal sanggem (sanggup)  pada tahun itu juga harus menanaminya dengan semaian pohon jati sebanyak 10.000 bibit per-hektar juga tanpa diupah, semaian itu harus dipelihara hingga sela selanya tidak mungkin ditanami apapun karena sudah terlalu naung/rimbun, keluarga petani pesanggem itu harus pindah ke tempat yang baru yang berasal dari rimba atau hutan Jati yang telah gundul dipanen, begitulah bergenerasi-generasi, menanam hutan jati punya Kanjeng Gubermen.
Sering dikerahkan tenaganya untuk memelihara tanaman jati yang umurnya diatas sepuluh tahun, “ndarung”/ mendirikan gubug ditempat itu beberapa bulan.
Hingga Tuan Besar Houtvester ke V (yang Kelima) “hutan jati”  sudah mencapai jutaan hectare,  sedangkan  panen yang ditebangi dan dijual selama seratus limapuluh tahun pertama penjajahan adalah tanaman-nya para Kiageng , Lurah Pangalasan dan para Wali pulau Jawa,  Sunan “Gunung Jati” di Cirebon – Beliau Penguasa setara Sultan,  beliau juga  Penyebar Agama Islam  tahap pertama di Pulau Jawa dan penanam jati di HPH nya sendiri mungkin juga saudagar gelondong/ log jati.
Bedanya dengan tuan Besar Houtvester van Holland,  waktu itu pohon jati ditanam diantara tegakan pohon yang lain  dikebun kebun buah buahan  dan kelapa, dibiarkan bertetangga dengan kayu dan semak semak yang lain, sseolah olah seperti hutan.
Tidak ada problem apa apa hingga ditebang oleh Meneer VOC
gelondong berdiameter antara 80 cm sepanjang 12 m lurus tidak ada cacat dan lubang rongga, dan “kebun” ini kemudiasn dirampas Pemerintah Hindia Belanda, dianggap hutan milik Kanjeng Gubermen.
Tuan Houtvester berunding dengan tuan Landbauw Ingineurs di Wageningen  dihadiri  Der Majesteit  memutuskan menggunakan   “monocultuur” hutan jati, kenapa tidak,  kan hutan “beryoza”/birch,  hutan “sosna”/Pinus silvestris L juga monocultuur sech ?
Sejak itu  Sultan, Wali, Ki  Ageng, Lurah, Rakyat dilarang menanam kayu jati, bahkan hingga Republik Indonesia  detik ini,  rakyat harus mohon izin Bupati bila akan menebang pohon jati yang tumbuh dari tanaman di halaman atau kebunnya sendiri !
Ini ada dongengnya sendiri, pokoknya tegakan jati bisa dipanen usia mulai 60 tahun  bila untung bisa mencapai  seratus batang setiap hectare, karena hasil tanaman a’la Baron Sekeber (mungkin maksudnya Baron Von Houtvester) tegakan jati  yang sepanjang usianya  lebih dari 60 tahun selalu dijaga dari hama pembuat  lubang dan rongga  di batang kayu jati  dijadikan sarang koloni-nya Neotermes Tectonae – satu familia dengan rayap, hama ini ganas sekali  dihutan jati sang Baron  Sekeber, saban tahun ada “laron” yang jumlahnya  hampir ribuan dari setiap pohon yang terserang,  terbang untuk mencari rumah baru, begitu pohon jati terserang begitu harus ditebang, bila ketahuan.
Sedangkan zaman sebelumnya pohon jati ada diantara pepohonan yang lain, mungkin bisa lebih menarik laron  Neotermes tectonae dan disana ada binatang musuh alami maupun cendawan  musuh bebuyutan bangsa serangga, sehingga meskipun populasi jati setiap luasan lebih sedikit, tapi tanpa pemeliharaan, selamat ndak ada yang diserang hama “inger-inger”/ Neotermes tectonae, hama ini mungkin,  “di hutan” campuran sudah sangat sedikit populasinya karena tertekan oleh cendawan “pemangsa” serangga, atau si Neothermes lebih senang kayu lain, kan ada pilihan.
Selanjutnya, karena ada murid dari school  Vavilov, Dokucayev  dan Micurin  yang baru tahun 1965  tamat belajar ilmu pertanian dengan dasar  Falsafah Hukum Alam  adanya   kesatuan antara kehidupan dan alam maka  dia mulai  merasa   bahwa falsafah agroteknik secara monoculture adalah hasil pemikiran para cikal bakal – Guru Guru sarjana pertanian dari semua fakultas atau institute Pertanian di Republik yang masih muda ini, berasal dari kawasan empat musim,  dan jalan pikiran mereka ini banyak menimbulkan kesulitan di lapangan kawasan tropis.
 Malah sekarang, ternyata tanaman lombok ( Capsicum spp ) ditanam secara monoculture dalam  luasan sampai berhektar hektar mengikutkan banyak problem, terutama hama,  penyakit segala macam yang sebelumnya sewaktu lombok/cabe merah/cabe rawit ( Capsicum spp) ini ditanam di petak petak  tanah yang ditinggikan ditengah sawah dekat saung/gubug ( Jawa:  stren -pasetren -  tempat para istri  bertanam kebutuhan dapur)  bercampur baur dengan tanamanan sayur lainnya, terpencar pencar dihamparan sawah,  selamanya ya aman aman saja, setiap pekan dipanen dan dibawa ke pasar.
Tanaman kopi yang diminum sebagai “kahwo” dalam bahasa Jawa, adalah hasil introduksi oleh pedagang Arab kerabat Sinbad si Pelaut, ke  Nusantara, disana minuman kopi namanya ya  “kahwa”.
Di kebun Pak Suto, Pak Bo’im, java coffee ini dengan sendirinya ditanam dibawah naungan segala tanaman yang posture nya lebih tinggi dari perdu Java coffee ( Coffea arabica L ), bisa dibawah tanaman pete, jengkol,  bisa pauh, bisa cempedak, yang dikebun kebun Petani tumbuh meninggi menggapai langit seperti tegakan hutan tropis, karena asal nenek moyang kopi ini adalah daerah Afrika yang berbatasan dengan teluk Aden, yang juga hutan tropis, kebun Pak Suto dan Pak Bo’im langsung cocok, saat tuan VOC datang tidak ada problem apapun pada budidaya kopi di Jawa,  oleh Cultuur Stelsel kopi diperluas, dengan tergesa gesa, memang diberi pohon naungan tapi asal asalan, turi ( Sesbania  grandiflora L ) dan gude (Cajanus  spp )  pun jadi, akhirnya fungsi naungan tidak awet/ umurnya lebih pendek dari yang dinaungi, timbul-lah wabah cendawan yang menghancurkan semua tanaman kopi (Coffea Arabica L) di dataran rendah, tertinggal di dataran tinggi,  misalnya di Takengon, di Dataran tinggi Ijen, di Tanah Toraja  begitu dingin sehingga  mungkin spora cendawan Hemelea vestatrix L/karat daun, tidak mampu meng-inveksi daun kopi.

Akhirnya didatangkan benih kopi asal Uganda dan Kongo yaitu kopi Robusta yang hidup di dataran rendah dan tahan terhadap penyakit karat daun pada seratus limapuluh tahun yang lalu.
Kebun kopi Robusta didataran rendah dinaungi dengan Lamtoro var. L19 (Leuceana spp cultivar L 19, L21 tanpa buah)- tidak pernah ada problem hama.
Perkebunan besar kopi milik Negara (BUMN) di Jawa Timur, karena hutang kepada Bank Dunia, tahun delapan puluhan “dinasihati” oleh Consultant Bank Dunia untuk membabat seluruh naungan lamtoro dan memupuk berat, disiram dengan  pengairan “sprinkler”/ percikan dari atas,  hasilnya meningkat selama dua tahun hampir dua kali lipat dari biasanya, sesudah itu diserang hama kutu putih ( Planodococcus citri Risso / dompolan luis - Belanda) dan akhirnya pada mati karena sebab yang bagi Consultant bule ndak jelas.
Ternyata  banyak budidaya hamparan (tanaman semusim) yang memang harus dicarikan tetangga yang bisa saling melindungi dan bersimbiose sebagaimana hidup nenek moyang mereka yang liar di hutan hutan dan padang padang rumput campuran segala macam tumbuhan khas suasana tropis.
Cara bercocok taman dengan monoculture masih bisa dilaksanakan asal ada pergiliran tanaman ( bisa pada tanaman musiman). Maksudnya agar pengambilan hara tanah tidak yang itu itu saja sepanjang waktu, perakaran akan lebih sehat karena ada tenggang waktu digilir oleh perakaran budidaya species lain, sedangkan di kondisi musim dingin di kawasan sub tropik memang ada waktu istiahat tapi di bawah tanah masih ada kegiatan bacteria, cendawan selama musim dingin masih  menguraikan segala sisa dan racun yang terbentuk pada musim semi dan musim panas yang baru lewat.


 Multiple cropping atau tumpang sari adalah keadaan ideal untuk pertanian di lahan tropis,  kurang mendapat perhatian  dalam program pendalaman  pengembangannya di Ilmu Pertanian di Negeri ini. Apalagi pencarian simbion simbion tanaman budi daya tropis yang berupa species-species bakteri, cendawan, tumbuhan liar, tumbuhan budidaya, agar pas dengan suasana asal tanaman budidaya tropis.
Ya maklum  Guru dari Guru - Guru mereka tidak mengilhami tentang ini.
Begitulah pokok kayu jati bisa menjadi saksi. (*)

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More