Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Jumat, 13 Januari 2012

BAKUL, DALAM MASYARAKAT JAWA


Dari zaman dulu sebelum ada Penjajahan, zaman Kerajaan Kerajaan besar maupun kecil kata “bakul” dalam bahasa Jawa sudah dipakai untuk predikat suatu profesi yaitu Pedagang, spesialis barang kebutuhan sehari- hari,  setara dengan Juru Tani dan Abdi Dhalem atau petani dan pegawai keraton.  Jadi agak lain artinya dari bakul dalam Bahasa Indonesia yang artinya tempat semacam keranjang dari anyaman bamboo halus dan rapat dapat mewadahi apa saja dari berat kira kira 10 kg sampai bakul besar kira kira mampu mewadahi beras 25 kg.
Ada istilah poetis yang menyertai predikat profesi bakul yaitu  “Ana tembang rawat rawate mbok bakul sinambi wara”(bahasa Jawa)  artinya ada tembang  terdengar entah benar entah tidak dari wanita pedagang yang membawa dagangannya dari rumah ke rumah, biasanya rumah priyayi atau dari  pasar ke pasar setiap hari pasaran yang selalu membawa khabar dan gossip yang terjadi di masyarakat waktu itu.
Dari zaman ke zaman, bakul bukan saja menjadi predikat profesi, tapi telah mebawa suatu konotasi yang agak miring, meski salah pun tidak, dalam masyarakat Jawa, yaitu orang yang hanya mencari keuntungan dalam bicara apapun, dengan siapapun,  sudah jadi kebiasaannya yang mendarah daging, pelit memberikan informasi bila tidak langsung nenguntungkan mereka.
Misalnya, ada orang keliru bertanya pada pemilik toko pracangan (jual macam macam kacang, kacang ijo, kacang cina, kacang merah, kacang tunggak,  kebutuhan rumah tangga bumbu kering dan makanan kecil dalam kemasan, bahan bakar dan minyak goreng) apakah dia jual payung, selalu jawabannya bisa ditebak……. “Habis”, seolah-olah dia telah jual berkodi-kodi payung, padahal tidak pernah terlintas di pikiran dia akan menanam modal buat beli payung, untuk dijual lagi di tokonya.
Apabila harga yang ditawar oleh calon pembeli, kurang memadai keuntungannya, dia akan menjawab  tawaran harga itu dengan kata yang klise “Harga pengambilannya saja masih lebih tinggi”, harapannya supaya penawaran si calon pembeli ditambah. Atau bila kebetulan calon pembeli itu berhadapan dengan bakul salak dari Sleman dulu, akan dijawab “Pundut sedaya napa ?” maksudnya apakah sekeranjang penuh salak (yang meragukan kualitasnya) itu akan dibeli semua ? Yaa, itulah  bila berhadapan dengan bakul.
Lha celakanya sekarang watak “bakul” itu bisa menghinggapi manusia masa kini, dari segala profesi yang berinteraksi dengan kita, naudzubilah mindzalik, kayak menghadapi sahabat yang mencoba menjual dagangan multi level marketing.
Sangat menjengkelkan bila sifat “bakul” ini menghinggapi pembicara public dari kalangan politisi, business dan ilmu pengetahuan dan bisa terbaca dengan mudah oleh sebagian kita, misalnya dalam tulisan di blog-blog yang sudah dibaca orang banyak dari seluruh dunia, kok malah menutupi hal yang penting dalam keterangannya, dibelokkan ke jurusan lain ujung-ujungnya  keterangan yang malah tidak terang di bagian yang penting.
Saya kira hubungan antar manusia sedunia yang relatif murah dan tanpa kendala lewat dunia maya, dapat memajukan jalan pikiran orang, wong tidak rugi apapun bila dibuat sejujurnya, demi menyongsong manusia cerdas di zaman yang akan datang.
Berdagang tentu saja, tapi lewat dunia maya ini bisa lebih elegant dan sejujurnya.

Jujur itu benar, tapi di zaman ini benar itu belum tentu jujur, sedangkan yang semestinya jujur itu benar dan benar itu juga jujur. Zaman itu yang kita upayakan sepaya terwujud pada generasi manusia yang akan datang.

Islam mengajarkan bahwa merugilah  mereka yang tidak mengingatkan sesamanya mengenai perbuatan yang baik artinya sesuai dengan  kehendak Allah, hal-hal yang benar dan mengenai kesabaran  terhadap sesama umat Allah yang  masih keliru
Jadi para bakul sebaiknya ndak usah merasa rugi apabila menyandarkan pergaulan pada kebaikan, berbicara apa yang sebenarnya (Allah itu Maha Pemurah dan Maha Pengasih) dan bersabar sementara bakul yang lain masih belum sadar.
Berdagang, tetap digeluti sebagai profesi.
Kasihanlah mereka yang  malah sampai mati tetap berkelakuan sebagai bakul, tanpa ketulusan hati, satu cara hidup kuno, yang hanya memperlakukan manusia lain sebagai object, menghadapi orang dengan cara bakul.(*)


0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More