Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

INDONESIA PUSAKA TANAH AIR KITA

Indonesia Tanah Air Beta, Pusaka Abadi nan Jaya, Indonesia tempatku mengabdikan ilmuku, tempat berlindung di hari Tua, Sampai akhir menutup mata

This is default featured post 2 title

My Family, keluargaku bersama mengarungi samudra kehidupan

This is default featured post 3 title

Bersama cucu di Bogor, santai dulu refreshing mind

This is default featured post 4 title

Olah raga Yoga baik untuk mind body and soul

This is default featured post 5 title

Tanah Air Kita Bangsa Indonesia yang hidup di khatulistiwa ini adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus senantiasa kita lestarikan

This is default featured post 3 title

Cucu-cucuku, menantu-menantu dan anakku yang ragil

This is default featured post 3 title

Jenis tanaman apa saja bisa membuat mata, hati dan pikiran kita sejuk

Kamis, 31 Mei 2012

CARA MEMBUAT IRISAN TAJI UNTUK DISAMBUNGKAN DENGAN BATANG BAWAH YANG BENAR



Mungkin tulisan terdahulu yang banyak dibaca oleh pengunjung blog ini masih belum jelas benar terutama cara membuat irisan taji entrys yang akan disambungkan. Jadi agar saya yakin, saya tulis keterangan cara yang benar sebisa mungkin, karena pembaca tidak bisa melihat langsung.

Pertama:
Taji, atau batang atas, diambil dari tunas yang tumbuh baik sehat, gemuk diameter rata-rata sama dengan ranting yang terbentuk di pucuk-pucuk tanaman itu, sebisa mungkin diambil dari percabangan yang pernah berbuah (artinya setiap titik tumbuhnya sudah mampu berpindah ke pembelahan vegetatip ke pembelahan generatip).
cucuku reno dan mantuku anto memilih batang tanaman yang baik dan sehat
Membuat isrisan taji, mengiris ke dalam dengan jempol sebagai bantalan

Kedua:
Entrys yang diambil untuk taji sebisa mungkin juga dalam keadaan tenang, bukan berarti tidur tapi juga bukan sedang giat bertumbuh, dengan tanda-tanda ada daun muda atau kuncup muda – artinya tidak ada sel-sel yang masih terlalu giat membelah, tidak telalu mebutuhkan hara dan phytohormone tumbuh di atas normal untuk jadi cabang setengah tidur.
lihat arah pisau membuat dua sisi taji

buat dua sisi taji dengan pisau sambung yang baik dan rata

Ketiga:
membuat celah untuk disisipkan taji
Cukup panjang untuk digenggam di antara empat jari kiri dan telapak tangan dengan erat, bila terlalu pendek, hanya ahli saja yang bisa memegang dengan erat, sedangkan ibu jari kiri, seolah-olah menjadi “bantal” ujung entrys yang kita akan sayat miring, untuk membuat taji pantas runcingnya, jadi sayatannya cukup panjang lk 2 cm. -  makin besar diameter entrys makin dia harus panjang lebih dari 2 cm, dengsan ketajaman runcing < (lebih kecil) dari 25 derajad, sayatan harus rata, lurus tanpa ada serat yang muncul serupa bulu sikat, permukaan sayatan tidak boleh ada warna gelap apapun, yang artinya pisaunya permukaan kontaknya dengan entrys bersih, artinya permukaan pisau yang kontak dengan entrys rata dan tidak ada serat menyembul di tepi irisan, artinya pisau tajam sekali, dan permukaan ibu jari kiri anda tidak luka. Karena seolah-olah landasan ini sebenarnya bila pegangan jari jemari kiri cukup erat, pisau sambung yang memang harus tajam seperti pisau cukur, tidak menggeser permukaan cap ibu jari kiri, setajam apapun dia tetap hanya memukul sedikit dari atas saja, tajamnya hanya menyentuh permukaan cap jempol anda tidak sampai melukai karena tidak digeser terikut tarikan pisau.
sisipkan taji ke celah

hati-hati sisipkan taji ke celah


Keempat:
Setelah sudut runcing irisan dirasa pas <25 derajad permukaan iris akan teriris sendiri oleh pisau yang tajam ini dengan menarik tangan yang memegang pisau dengan erat, ditarik seolah-olah sepanjang garis perpanjangan dari entrys yang kita pegang dengan empat jari kiri dan telapak tangan kiri erat erat, jadi tarikan memotong ini terjadi bila pisau bersilangan dengan entrys dari atas dan dari samping, dari atas membentuk tajam permukaan taji dari samping membentuk permukaan taji, sekali tarik jadilah permukaan irisan yang dikehendaki, atau kurang memuaskan, ya harus diulang.
Lantas diulang membuat permukaan irisan di bagian sebaliknya dari entrys, agar terbentuk taji dengan permukaan sayatan di kiri dan kanan atau atas dan bawah, bisa simetry bisa asymmetry, kedua permukaan irisan ini harus berwarna seperti warna asli, kalau dan kulit entrys tanpa ada serabut serat yang tersisa.
Maka jadilah taji, untuk dipotong dari seluruh entrys sepanjang 1-3 mata tunas.

Celah batang bawah:
Batang bawah sebaiknya sehat, waktu dipotong untuk dibuat celah, tidak boleh bergutasi (artinya cairan dari perakaran meluber ke luka potongan).
Bila terjadi gutasi ini, tanah perlu di cangkul, agar perakaran batang bawan putus dan gutasi berhenti. Lantas  entrys dibuat baru seperti di atas. Unutk mencegah itu,
Langkah pertama:
Batang bawah kita gunting sejengkal dari tanah, lalu diperhatikan ada cairan berlebihan dari luka bekas potongan apa tidak ? Bila iya, tanah sekitar batang bawah kita cangkul dan penyambungan ditunda besok.
Jadi prakteknya ya langkah ini paling pertama kita kerjakan.
letakkan tanpa digeser-geser agar sel kambium tidak hancur

hati-hati masukkan taji ke celah

Langkah kedua membuat irisan entrys,
Langkah Ketiga:
Luka bekas potongan gunting pada batang bawah (rootstock) di haluskan bekas potongan guntingnya dengan pisau sambung yang tajam.
Trus dengan pisau yang sama setelah kita bersihkan dengan lap dan alcohol 70 % (untuk pemula) atau dengan air bersih dan di lap bersih, dengan permukaan pisau betul-betul menkilap tampa noda-noda ungu atau hitam pada permukaan pisaunya, kita belah batang bawah dari atas ke bawah sepanjang lebih dari 2 cm, dengan tujuan membuat celah sambungan yang akan muat dimasuki seluruh tajam taji yang kita buat dengan hati-hati.
Langkah selanjutnya sangat crusial/penting, menarik pisau sambung dari jepitan batang bawah yang tersayat secara vertitikal. Yaitu dengan membuka celah dengan jari-jari kita yang bersih sehingga terbuka celah yang kita sayat vertikal itu sambil pisau kita tarik tanpa menggeser dua sisi permukaan pisau samping kita.
Langkah ke empat:
Celah yang kita buka dengan telunjuk tangan kiri semakin diperlebar dengan gerakan membuka, sehingga lebar celah cukup untuk taji masuk dalam celah sampai ke dasar betul tanpa melepaskan jari kiri yang sedang membuka celah.
Sesudah dasar celah tercapai sisi kanan dan sisi kiri taji pas, salah satu cambiumnya bertemu dengan cambium batang bawah, kalau tidak bisa kedua sisinya ya satu sisi saja maka jari kiri yang membuka celah kita lepaskan dari batang bawah, maka kedudukan taji di celah sudah pasti tidak boleh digeser-geser lagi, kecuali dengan membuka kembali celah dengan ujung jari kiri baru taji digeser ke posisi yang benar,  yaitu salah satu cambiumnya ketemu.
Langkah kelima:
Sambil tangan kiri menekan dengan ringan agar celah tetap menjepit taji tanpa perobahon kedudukan, baru kita bebat dengan pita raffia, plastic sheet, tali pita atau perban yang tahan air, dari bawah ke atas, sambil menjaga agar jepitan erat dan tidak menggeser-geser posisi taji terhadap celah.
Setelah bebatan rapi mencapai puncak celah lantas sisa pita kita pegang dengan dengan jari telunjuk dan jempol tangan kiri agar tetap erat bebatannya, lantas ujung pita bebat kita sisipkan masuk di bawah bebatan, kita kunci dengan mengikutkan pita terjepit di antara bebatan, lalu ujung pita kita tarik sehingga bagian pita yang dibawah bebatan terjepit erat tidak kendor lagi.
sambungan sudah mantap tinggal ikat pakai tali rafia

ikat hati-hati jangan tergeser-geser, yang steady dan mantap tangannya

Langkah keenam:
Dipasang sungkup dan diikat dibawahnya dengan sungkup plastic kayak es mambo, agar sambungan tidak terkena air.
Seorang tukang sambung di kebun kopi bisa mengerjakan menyambung bibit kopi sehari sampai jam 2, seratus duapuluh sambungan dan hidup 95 % sesudah seminggu.
Bisa ada sambungan yang hidup tapi cacat, umpama batang bawahnya bengkok, ada lubang diantara batang bawah dan batang atas di dasar celah, bibit itu tidak bisa ditanam sebab lubang sekecil itu bisa jadi sarang cendawan penyakit atau sarang hama.
ikat erat sambungannya agar hidup dan menempel erat

(kiri) pisau sambung yang telah diasah menjadi permukaan rata bak kaca, (kanan) taji yang telah diiris dua sisi sempurna

Saya harap langkah-langkah menyambung sisip atau cleft grafting atau menyambung kopi sudah saya jelaskan agar benar benar bisa bermanfaat bagi peminat. Saya juga berusaha memuat gambar yang jelas agar mempermudah menirukan. Salam pertanian. (#)




Rabu, 23 Mei 2012

VERSI DISESUAIKAN TH. 2O17 : NEGARAKU YANG DIDIRIKAN BERDASARKAN ROMANTISME PARA PEDIRINYA KEMUDIAN DILANJUTKAN JADI NEGARA IMPIANNYA PARA PENCOLENG


Sesungguhnya Para Pendiri Negara ini adalah beliau-beliau para founding fathers yang sangat romantis, cocok dengan Negara yang merupakan sabuk tropika, untaian pulau-pulau yang merupakan tiara Ibu Pertiwi. Penduduknya yang cinta damai dan ramah, dan mencintai Bangsanya.
Dari situ tepancar dari benak para Pendiri Negara ini, Para Pemimpin melahirkan azas Bernegara yang monumental Panca Sila. Impian Romantisme beliau-beliau masih berlanjut dengan Undang-Undang Dasar Negara tahun 1945 yang disyahkan oleh Sidang Konstituante terpilih secara langsung tahun 1958. Itu semua terjadi pada kurun waktu kehidupanku secara sadar, artinya cukup umurku untuk mengerti, karena aku dilahirkan tahun 1938. Terus terang aku juga telah terjangkit oleh Romantisme yang dikumandangkan oleh Bung Karno, aku adalah pembaca setia dari setiap tulisan dan pidato Bung Karno, terlanjur kritis terhadap kedholiman dan kebodohan Kekuasaan apa saja.
Satu hal saja yang melunakkan bathinku adalah anjuran berbaik sangka, bahwa kekuasaan siapa saja, mulai dari kekuasaan para pesuruh yang menjaga pintu dan menjaga loket apa saja, sampai ke kekuasaan Presiden dan Panglimanya, aku percaya jika mereka ternyata melakukan kedholiman baik secara sembunyi-sembunyi atau terang-tarangan, maka kedholiman mereka dimulai dengan kebodohan.
Dengan persuasions untuk mau belajar, sebodoh apapun orang pasti bisa belajar jadi lebih pintar, kalau mau.
Tapi dengan jalannya waktu pengamatan saya melihat gejala lain, ini bukan saja kebodohan tapi sisa  sisa watak aggauta masyarakat yang masih feodalistis, ditingkat yang paling rendah yaitu feodalis puak dan kampung, yang dipertunjukkan secara bodoh, tanpa malu malu, seperti Sultan Bhatubenjol alm., yang mengexpresikan sebagai "ngeri ngeri sedaaap"  Karena kekuasaan Negara sungguh mengejutkan dan memabokkan. begitu terkejutnya Direktur Pelindo Lino..Yang saya tidak mengerti, kenapa daerah Klaten Jawa Tengah bisa mencetask seorang Bupati wanita, dia kader PGIP ,tertangkap tangan KPK, perkara lelang jabatan hingga ratusan juta, sang Bupati wanita ini sebelum masa jabatannya adalah istri dari Bupati juga, waktu digeledah dirumah anaknya ada uang tiga miliard rupiah cash. Sedang daerah Klaten tempatnya orang pintar, termasuk Ir. Sutami,

Sekarang kepercayaan saya yang mendinginkan bathin saya ini juga makin menipis, hampir saja aku percaya bahwa kedholiman mereka memang diilhami oleh hangkara murka untuk memeras siapa saja sengan cara apa saja, ndak lebih dari para Preman Pasar.

Begitu rendahnya kah martabat bangsaku ini dalam mengetrapkan kekuasaan Negara ?
Ya, pokok persoalannya 90% dari bangsa ini dijaman penjajahan tidak mengalami pendidikan, sejak nenek moyangnya mengalami Taman Paksa (cultuur stelsel) nya VOC.
Hasilnya bertani untuk makan saja nggak cukup, yang ditanam bagsanya komoditas perdagangan di Europa seperti indigo, pada musim hujan, dan tembakau pada musim panas, upahnya hanya pas untut bertahan hidup. Generasi demi generasi hanya mampu memikirkan sesuatu yang dimuka hidungnya saja,  Dalam sejarah dari kancah meraginya penderitaan rakyat ini sering muncul sosok Ken Arok, sosok, sosok Untung Surapati,  sosok fiksi Naga Bonar, sosok kulit dagng kayak AIPTU Labora dll. Yang tentu saja dituntun hanya  oleh naluri untuk lepas dari kemiskinan ( pribadi) dan kroninya.

Sebaliknya para Pimpinannya yang memproklamirkan Kemerdekaan, pikirannya jauh kedepan menyamai bangsa bangsa yang berada di dunia ini. 

Bayangkan Bangsa Belanda atau bangsa Europa yang lain dan bangsa Timur Asing yang merdeka, derajadnya disamakan dengan Tuan Berbangsa Belanda yang menaklukkan Negeri ini, mengapa ? Karena baik mereka bekerja di sektor swasta menggiling tebu, menanam kopi, cacao, karet, ujung ujungnya ada di keuntungan pajak perdagangan yang diterima oleh Pemerintah Belanda. Para orang Europa dan Asia yang disamakan dengan Belanda harus mendapat pelayanan layaknya pahlawan devisa untuk Negeri Belanda. Semua Jajaran Civil Servants, dari Nederlanda Indische Amtenaaren zaman Penjajahan harus benar benar berinisiatif untuk memberikan bantuan apa yang mereka bisa berikan kepada para Pembayar Pajak. Seperti kawulanya Sultan sultan kepada puak Sultan yang berdarah biru, dari bangsanya sendiri dulu.

Sebab nyata nyata dari mereka yang bekerja di negeri Jajahanlah, Negeri Belanda dapat mengapung bernapas sesudah Europa dilanda peperangan demi peperangan dan bangkrut, malah puluhan tahun sebelum Perang Dunia I, puncaknya kehancuran fisik Europa, yang disusul dengan puncak kehancuran kedua sesudah perang Dunia ke II
Lha sebaliknya, Civil Servants disini Pegawai Negeri Sipil yang dibayar dengan uang pajak, oleh Pemerintah Indonesia sesudah Merdeka, sayangnya ada yang malah digunakan untuk memupuk sawah ladangnya yang berupa kedudukan, cuilan Kekuasaan Negara ber KKN-ria yang bisa bikin sulit sesama warga yang membutuhkannya. Ya sebab untuk feodal puak dan suku kekuasaan sekecil apapaun sudah cukup buat memeras dengan tidak merasa salah kayak Gayus Tambunan, kayak Jaksa Cyrus Silisoi, Kayak Karaeng Api korek.
 Tidak peduli dalam posisi apa mereka itu apa Menteri apa Lurah, atau malah wakil Rakyat Daerah atau Pusat.  
Tidak percaya ?
Contoh: Kekuasaan Lurah dan Stafnya
Istri saya yang tersayang telah sakit chronis diabetic lama, meninggal dunia pada umur 66 tahun, terlebih membekas di sanubari  saya, lima tahun terkhir hidupnya dia mederita kebutaan oleh glaucoma, itupun hidup kesehariannya masih dijalani dengan biasa. Semoga di dunia sana dia dapat mata baru yang lebih awas.
Tanggal 1 Mei 2012 dia meninggalkan kita semua. Maka setelah surat-suratnya komplit tanggal 2 Mei pagi  pagi sesudah subuh saya berangkatkan ke Nglames Madiun untuk dimakamkan. Atas anjuran teman, aku lapor ke Askes tg 15 Mei dan kartu askesnya dicabut dari file. Sewaktu aku melapor ke Taspen (Jawatan yang mengurusi hal tabungan pensiun), mulai ada trouble, aku menemui petugas di depan, tanpa disilahkan duduk aku diserahi formulir untuk diisi, dan dimintai fotocopy 2 kali dari surat kematian yang dikeluarkan Kelurahan tempatku dengan dilegalisir lebih dahulu, Sekdes mulai rewel, minta saya melapor ke Kecamatan dan ke Pengadilan untuk disidang lebih dahulu, meskipun demikian dua fotcopy surat kematian masih distempel dan ditandatangani ( ini namanya dilegalisir),sambil wanti-wanti saya harus mampir di Kecamatan dan Pengadilan untuk disidang.
Yang di KUA Kecamatam kami lebih sadis lagi, Kepala KUA sibuk seperti biasanya, keliling untuk mengawinkan pasangan muslim di perhelatan nikah, pesan sama stafnya bahwa dia tidak mau melegalisir surat kawin saya tanpa memberikan keterangan apa apa kepada stafnya, hanya nenganjurkan saya melegalisir di Pengadilan Negeri saja.
Sebelum mengumpat, saya berfikir, andaikata saya jadi ketua KUA mungkin saya juga tidak mau melegalisir surat nikah yang dibuat di Jakarta Kelurahan Cipete Ilir,   35 tahun yang lalu, karena saya tidak tahu persis surat kawin ini benar apa tidak. Ini benar benar lebih sulit dari melegalisir Wakil Gubernur  Bengkulu yang sudah divonis bersalah karena KKN, untuk mencalonkan jadi Gubernur DKI !
Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah.
Untuk naik Bemo ke Kantor Taspen jarak jauhpun tidak menambah ongkos, tapi pulang pergi ke Kelurahan dan ke KUA sambil dongkol itu lebih berat.
Tapi kerena di belakang benang ruwet ini kekuasaan Negara untuk menghentikan pensiun PNS yang sudah meninggal dan membayar saya pensiun sebagai Duda, saya jadi tetap berkepentingan, karena kemungkinan lain masih ada, umpamanya pensiun dibayar penuh saja. Jadi legalisasi fotocopy surat kematian maupun fotocopy dari surat nikah saya akan saya usahakan, semoga Pengadilan Negeri bisa mempertimbangkan kesulitan rakyatnya, walau kasus ini sebenarnya buntu, karena KUA Cipete Ilir itu sekarang dimana dan Kepala KUA nya sudah ganti beberapa kali.(*)

Sabtu, 19 Mei 2012

MASSA YANG MUDAH DAN PENURUT, KELEMAHAN YANG DIGUNAKAN OLEH KEKUATAN YANG KEBLINGER


Hampir semua keluarga inti memfokuskan tekadnya untuk tunduk pada peraturan pendidikan si ‘tunas muda’. Bahkan pada suatu yang sangat essential yaitu persoalan kebenaran ilmiah, apalagi penundukan pada atan aturan dangkal yang sesaat, yang jumlahnya banyak sekali antara lain malah juga peraturan Masa Orientasi Pelajar (MOP), yang kadang menyedot beaya yang tidak sedikit dan menjengkelkan bagi anggauta lain dari keluarga yang harus mengalah.
Yang dimaksudkan dengan keluarga inti ini adalah Ibu, Ayah dan Kekek/Nenek. 
Sedangkan yang dimaksud dengan tunas muda adalah anak dan cucu dalam keluarga inti tersebut. Tentu saja pusat pusaran persoalan mereka adalah seputar “Dunia Sekolahan mereka, dari TK sampai SMU/SMK”, yang semua itu mesti saja dengan beaya, yang keluarga inti harus mengalah dan toleran.

Aku perhatikan hampir pada semua keluarga inti, anggauta keluarga yang lain selalu rela mengalah kepada kepentingan tunas-tunas mereka yang muda, sebisa mungkin.
Mendadak saja sesudah di perguruan tinggi, tunas-tunas ini jadi anggauta keluarga biasa yang bukan mendapat prioritas lagi. Dianggap sudah dewasa, tidak ada paksaan-paksaan yang 'tidak canggih' lagi, tapi yang lebih 'canggih' banyak, antara lain; uang bangku, uang gedung dan uang-uang yang lain. Yang 'canggih' tapi tidak accauntable, jadi teladan baru untuk korupsi dikemudian hari yang sudah dekat.

Inilah peluang yang empuk bagi percetakan, penerbitan buku pelajaran dan agennya, juga bagi amusement centres, taman-taman hiburan yang ROI nya 20 % setiap tahunnya tidak masuk, dan harus dipaksakan masuk, yang dirayu adalah  oknum PDK, oknum Kepsek dan oknum-oknum Guru, yang berjubel cari keuntungan cepat.
Makanya buku wajib setiap tahun ajaran ganti, membayar transport dan karcis buat kolam renang wajib di kala sekolah libur, seolah-olah belajar berenang itu bisa seketika, pergi ke amusement park ya wajib untuk refreshment di  Park dan Kebun Binatang yang karcisnya berharga selangit, milik pemodal dan pengunjung wajib jajan disana, tidak boleh bawa penganan masuk ke dalam taman hiburan itu, sedangkan ruang wisata yang milik masyarakat malah terbengkalai tanpa pengunjung.

Museum dan Lembaga Penelitian Botani dan Zoology tidak pernah banyak promosi. Karena tidak berorientasi kepada keuntungan sesaat.   Lho kena apa ?
Inilah hasil kerja dari sales men dan sales girls  yang hasil outsourcing atau kontrakan tempat wisata, mereka sebar ke jajaran PDK, sekolah, atau fihak mana saja yang tanpa curiga dengan rayuan mereka yang sangat manis, bahkan terlalu manis untuk jadi kenyataan, kecuali discount yang tinggi.
Toh nanti yang menderita Ortu dan pengantar dan murid-murid yang masih kecil tidak mengenal kewajiban services dari penjual jasa, yang pokoknya mencari untung. Tidak ada yang mengendalikan mereka, si Pemodal yang cukup brengsek ini.

Saya beri pengantar kisah di atas karena pengalaman saya sebagai kakek, dan wali murid, saat saya pernah ikut mengantar cucu saya ke kolam renang, yang dibilang sesekali diajar renang sebelum libur, ternyata sesudah membayar transport umum, kami berkumpul dari ratusan sekolah dasar di kota sekaligus, murid-murid berjubel di mana-mana, tentu saja karcis masuk terjual habis seketika, tapi orang tua murid harus mengantri, plus dibentak dan dihardik oleh sang penjaga seolah-olah kami ini gratis berenang di kolam mereka.
Makanya saya nyengir sendiri, jadinya kami ini plus anak-anak sekolah adalah kumpulan ikan teri yang terjaring dalam rayuan sales men/girls dan management tempat wisata yang tidak siap. Kami tidak sampai hati untuk protes pada management kolam renang dan tempat wisata lainnya yang amburadul, kasian para guru yang mengantarnya.  

Pengalaman Mengantar Cucu Wisata

Pengalaman saya selaku wali murid yang mengantar anak kecil usia TK untuk liburan bersama sekolahnya kembali terjadi lagi pada  16 Mei 2012  lalu, saat saya mengantar si Reno cucu saya yang masih TK nol kecil untuk pergi wisata bersama rombongan teman-teman TK-nya dan Guru-guru semua ke sebuah amusement park alias taman wisata yang tergolong baru di Batu, Jatim. Taman wisata ini letaknya tinggi di Gunung dengan lahan parkir yang luas. Saat berangkat dari Surabaya saya sempat berpikir kalau hari itu tanggalan tidak merah, tapi saat tiba di lokasi yang berarti adalah luar kota Surabaya,di lereng Gunung di Batu-Jatim itu pengunjung taman wisata ini ternyata datang dari sekolah-sekolah yang sangat banyak.
Ternyata hari itu adalah long week end. Tak heran pengunjung taman wisata di Batu, Jatim ini luar biasa membludak. Saya lihat banyak sekali pengunjung anak-anak kecil, selain murid-murid rombongan TK dari Surabaya di mana cucu saya bersekolah ikut mengantri, plus ikutlah pula saya yang mengantarnya harus ikut pula bersabar mengantri bersama Ortu-ortu yang lain.

Sejam berlangsung dalam antrian saya berusaha bersabar sambil mengawasi cucu saya yang bergembira bersama kawan-kawannya. Tapi lama kemudian sebagai kakek saya mulai resah, dan di saat resah saya tidak gelisah, tapi berpikir.
Itulah kebiasaan saya saat ada hal yang meresahkan saya tidak panik atau gelisah, tapi saya berpikir untuk mengurai sebuah 'critical event'. Hal ini pernah saya lakukan saat jaman saya pulang kuliah dari Universitas Patricia Lumumba/University Druzhba Norodov (UDN) di Moskow Russia, saat itu tahun 1966, situasi Indonesia sangat chaos. Di penjuru negeri terjadi pembantaian besar-besaran para korban yang dianggap komunis. Karena situasi kritis, saya memilih untuk sejenak berdiam di sebuah perkebunan kopi yang terpencil. Apalagi saya ketahui karena semua lulusan Russia diburu oleh Orde baru untuk mengisi penjara dan pulau Buru. Jelas saya tidak mendaftar untuk ke sana. Mending menyingkir dari dunia ramai, mirip cerita silat, di mana sang pendekar terkadang harus menyepi saat dinasti tak bersahabat lagi.

Sebagai etalase tahanan politik, pulau Buru ini jaman dulu harus diisi sesuai kuota, agar pihak sisi geopolitik global yakni kapitalis lawannya blok sosialis senang dan memuji Orba yang trampil membabat blok lawannya.  Dan ternyata kini kapitalis atau sosialis sudah tak ada masalah lagi, sudah bukan issue penting Dunia. Geopolitik sudah berubah, yang dikejar bukan lagi blok sosialis, tapi ada lagi kaum yang dikejar di seluruh pelosok Dunia untuk dimusnahkan.

  Dan memang dulu itu sebanyak 95 % kawan saya alumni UDN masuk pulau Buru begitu saja tanpa banyak proses, dan 4 % sisanya masuk penjara, sedang saya termasuk 1% yang beruntung dapat lolos dari operasi pengejaran dan pengepungan yang dilakukan Orba untuk mengejar semua sarjana dan magister lulusan dari Russia.
Ini karena saya berhasil mengalahkan ego saya untuk tidak bekerja di kota besar, dan sebaliknya menyepi dan menanggalkan atribut saya sebagai magister lulusan luar negeri untuk bekerja biasa saja di perkebunan kopi di lokasi nun amat terpencil di tengah hutan-hutan belantara di Banyuwangi.
Bisa dibayangkan, saya yang belajar pertanian sampai tingkat magister di Russia, seketika ilmu saya di bidang pertanian saya terapkan untuk survive dari pembantaian massal 1966. Situasi saat itu saudara, begitu mencekam, terekam dalam sejaranh RI, sebanyak 2 hingga 3 juta jiwa hilang akibat operasi pembantaian massal sebuah rezim otoriter.

Oke, cukup dulu nostalgianya, kembali pada kisah saya sekarang saat ini saya berusia 74 tahun, yang sedang mengantar cucu saya,  saat itu saya melihat dalam antrian masuk taman wisata di Batu itu, terletak kandang binatang melata yang berbisa banyak ditaruh di terrarium, yang kacanya tebal, tapi sebagai mantan mahasiswa kedokteran hewan UGM -meski tidak tamat-, saya melihat hewan-hewan reptil itu juga gelisah melihat banyaknya manusia yang berdiri mengantri di dekat terrarium. Juga saya melihat pada terrarium itu pada sambungannya pojok-pojok terrarium itu bisa beresiko pecah, kami tidak tahu, bisa dibayangkan bila ada yang pecah dan binatang melata yang berbisa itu bisa keluar, sedang pengunjung berjubel begitu banyak secara tidak sehat.

Saya membatin, bagaimana murid-murid TK yang rata rata 5-6 tahun usianya digiring ke sana dengan pengantarnya sebegitu bareng-bareng datangnya, sementara tanggalan tidak merah? Bila tidak di iming-iming discount untuk organisator tour-nya?
Belum lagi bila bus yang disewa kalau remnya blong bagaimana ?. Aduh, maklum ini adalah pemikiran saya selaku kakek dari cucu laki-laki saya yang masih TK yang ‘digiring’ masuk ke taman wisata di Batu, Jatim itu, sekali lagi kok ya TK-TK dari Surabaya ini sampai ngebelain wisata di lereng Gunung di Batu ini bagaimana ceritanya ? Sebagai orang tua tentu kebanyakan pasrah nurutin anak.

Saya berpikir di situasi wisata murid TK ini ada sesuatu yang crucial yang diabaikan, yakni : hak perlakuan,  baik hak perlakukan bagi pembeli, dan pembayar pajak yang diabaikan. Ini  terjadi atas ketidak pedulian si penerima keuntungan maupun penerima pajak kepada pelanggan atau umum. Ini bisa selalu berulang terjadi di setiap pelayanan umum yang dilakukan oleh pemerintah atau pemodal swasta yang mana saja.

Prinsip keadilan harus bisa ditekankan oleh pengawasan pemerintah terhadap usaha apapun yang menyangkut pelayanan publik, dengan dinas-dinas yang banyak sekali, mereka yang kerja disana bukan digaji dangan uang rakyat hanya untuk berpakaian seragam dan bermain catur saja. Mulai dari Petugas Dinas PDK Pariwisata, Dispenda, Satpol PP harus peka terhadap pelanggaran atas hak Pembeli dan Pembayar Pajak, terutama diwaktu liburan sekolah.

Ketahuilah bahwa perlakuan yang se-enak perutnya sendiri terhadap anak-anak akan membuahkan generasi muda yang suka mengandalkan kekerasan, berupa misalnya tawuran. Dan melahirkan pandangan bahwa yang kuat adalah yang benar, itukah yang sedang kita tetaskan ? (*)

  



Minggu, 13 Mei 2012

BAGAIMANA PARA MUBALIGH ISLAM MENGALAHKAN KERAJAAN MAJAPAHIT

Islam masuk di Pulau Jawa mengalahkan pengaruh kekuasaan kerajaan Majapahit secara damai, karena kaum mubaligh Islam menciptakan sawah berpengairan dengan membuka rawa-rawa daerah delta sungai untuk sawah, alias sawah dengan pengairan pasang surut. Pengalaman ini dipakai untuk membuka pusat ekonomi baru, wilayah berawa-rawa Demak Bintoro, jadi dasar Kesultanan Islam di sana.
Puluan ribu Ha sawah berpengairan hasil teknologi dari Mesopotamia ini menyurut, setelah dua setengah generasi akibat kerusakan sistem pengairan sawah-rawa akibat pendangkalan oleh akibat lahar dingin dari gunung Merapi dan Merbabu, sehingga Kesultanan Demak pindah ke Pajang dengan sawah berpengairan dari umbul Cokro yang debitnya yang lebih kecil sehingga sawah yang menjadi dasar ekonomi Kesultanan mengecil, tapi siap pakai.

Ceritera dari Giri – wilayah Garowisi (Gresik)
 Garowisi konon artinya menara tinjau untuk mengamati laut luas, juga mungkin untuk menara suar  memandu perahu-perahu yang akan masuk  ke Selat Madura dari Utara ke Bandar besar di Japan, dan Trung.  Japan sekarang jadi Japanan Gempol muara sungai Porong, sedang Trung sekarang jadi Surabaya pelabuhan muara Sungai Mas di Tanjung Perak dan Ampel Denta. Menara itu didirikan di daerah perbukitan kapur yang menjorok ke laut di Gresik, konon pandangan bisa mencapai Karang Jamuang di mulut Selat Madura.
Sekitar menara tinjau ini seorang mubaligh Islam diizinkan oleh  Baginda Raja untuk mendirikan ashram dan tempat tinggal. Beliau adalah Sjech Satam Atta, kemudian dikenal dengan Sunan Giri (sejarah menyebut Sunan Giri Kedaton karena ratusan tahun kemudian di Giri ada pemuka Agama Islam yang  ahli mengolah besi menjadi baja, dikenal dengan Sunan Giri Prapen, ditaklukkan oleh Adipati Surabaya atas perintah Sultan Agung Hanyokrokusumo).

Sosok mubaligh Satm Atta mungkin berasal  dari Libanon / Syria sebab julukan Atta banyak dipakai disana seperti Mustafa Kemal – Atta Turk, Maran Atta  dll, Beliau pernah bermukim di Baghdad sehingga mengenal teknologi pengairan sungai Euphrat dan Tigris di Mesopotamia dan seluk beluknya, berarti membangun kanal-kanal di tengah  rawa-rawa, untuk mengendalikan permukaan air rawa sehingga bisa ditanami, terutama padi.

Syech Satm Atta bermukim di Giri sambil mengajari anak-anak pedagang Jawa Pesisir yang Hindu berkasta rendah membaca dan menulis huruf Hijaiyah kemudian huruf Jawa yang tidak pernah dilakukan oleh Brahmana yang manapun sebelumnya, karena kasta Brahmin dilarang mengajari membaca huruf-huruf yang digunakan untuk menulis kitab Wedha kepada anak-anak rakyat jelata yang berkasta rendah terutama Kasta Wasya dan Syudra, sebab itu adalah larangan yang hukumannya berat.

Anak-anak Pedagang Jawa yang diajari membaca dan menulis terutama angka dan huruf Hijaiyah langsung maju usahanya seperti harimau tumbuh sayap, karena angka Hijaiyah sangan mudah dipakai dalam neraca lajur ber-digit enam atau tujuh yang kala itu pembukuan hanya  ditulis di daun lontar yang sempit dan panjang, kala itu lambang bilangan dalam catatan Pallawa atau huruf Jawa adalah abjad huruf Jawa.

Selain ilmu Agama Islam, membaca Al Qur’an,  Arithmatika, dan Aljabar, murid murid Syech Satm Atta juga diajari silat dengan mengolah tenaga dalam pernafasan yang esoteric bersenjatakan “talempak” atau tombak pendek bermata baja yang panjang dan selebar dayung perahu, senjata atau alat ini maknanya “sarap”, berguna juga untuk menggali saluran di lumpur rawa-rawa.

Lengkap sudah bagi Syech Satm Atta syarat untuk membuka persawahan di lahan rawa pasang surut di Manyar, sedikit ke utara Garowisi, ratusan Santri bersenjatakan ‘sarap’ memotong silang menyilang lahan rawa muara Bengawan Solo dan kali Manyar menggali saluran lebar dan dangkal sedalam 1-1,5  meter membuat pintu-pintu air menurut gambar yang dibuat sang Syech, terjadilah petak-petak yang bisa diisi air tawar dan bebas dari air laut yang lagi pasang.

Lahan ini merupakan lahan sawah yang belum ada sebelumnya, ratuan hectare bisa dipanen dua kali setahun, lagipula cara mengangkut hasil yang baru menggunakan perahu perahu berlunas rata lewat kanal-kanal yamg khusus dibuat untuk tujuan itu, layaknya dirawa-rawa Mesopotamia.  Di samping sawah dengan cara yang sama dicetaklah petak-petak pembuatan garam. Begitulah pejuang pejuang Islam membanting tulang menciptakan kekuatan ekonomi yang baru, kekuatan fisik para santri dengan sarap atau talempaknya disertai dengan tenaga dalam, yang sangat disegani diseputar selat Madura dan akhirnya di seantero Nusantara.
Mereka inilah pasukan pembuka lahan rawa ribuan hectare di seputar Demak Bintoro sesudah jumlahnya cukup banyak.

Makanya kala itu ada mubaligh Islam yang kerjanya mengukur dasar sungai dan  air  saluran-saluran mendapat julukan Sunan Kalijaga, artinya bagi orang awam adalah sang Sunan Penjaga Sungai.
Tidak heran, bahwa kekuatan fisik Majapahit yang dimotori oleh sekte kaum Bhairawa, (kaum yang mengumbar hawa nafsu ma-lima, untuk mencapai kesadaran bathin yaitu matsya- makan ikan, mmasya- makan daging, ma'argya- minum minuman keras/beralkohol, maudra- tarns menari nari, maithuna- malukan orgy sex bebas, untuk meningkatkan kekuaan ilmu hitamnya) dapat dikalahkan oleh para santri dari perkampungan Garowisi, tanpa ada perang terbuka, konon beliau mempunyai  “kode” andalan yang berupa kata sandi atas izin Allah Subhanahuwata’alla, untuk minta tolong malaikat  seketika menangkal kekuatan sihir atau kekuatan hitam dari kaum Bhairawa yang merupakan gang preman di Majapahit kala itu.
Sayangnya dalam penglihatan saya kini kaum Bhairawa yang menjelma di batang tubuh Orde Baru lalu, yang kemudian telah memecah diri jadi banyak kini, malah mengajari anak cucu, para murid Sunan Giri Kedhaton, cikal bakal pendiri Kerajaan Demak, yang bermukin di Jombang  untuk berkolusi dan korupsi, mengkhianati paman dan leluhur sendiri untuk membina ekonomi pribadinya sendiri beserta kroninya, alih-alih mencetak sawah demi bangsa dan agamanya. Betapa jauh sesat mereka dengan jalan bathil, sehingga apapun yang diperoleh mereka tidak berumur panjang, sayang.(*)

Kisah Masyarakat Kerajaan Hindu Kuno dalam Membangun Kekuatan Ekonomi di Pulau Jawa


Catatan yang terekam dalam sejarah berdasarkan situs-situs peninggalan kerajaan-kerajaan Hindu di Pulau Jawa yang berupa candi-candi dari batu vulkanik dan prasasti-prasasti tertulis pada batu dan lempeng-lempeng logam, kurang rinci dalam menjelaskan bagaimana cara Pemerintahan kerajaan yang cukup kompleks itu dibiayai, dan bagaimana pajak ditarik dari warga negaranya, dan bagaimana aktivitas keseharian mereka.
 Pada situs-situs peninggalan Kerajaan Hindu Kuno tidak banyak yang tersisa sebagai petunjuk. Kita harus banyak meneliti dari literatur kitab-kitab kuno, juga banyak membaca jurnal dari ilmuwan Belanda masa lampau yang menulis tentang kerajaan Hindu di Jawa, kemudian menarik kesimpulan dari peninggalan adat istiadat yang tersisa.
Masyarakat Hindu atau Budha telah sangat berhasil membangun monumen yang berupa candi-candi raksasa yang setelah lama direkonstruksi dengan susah payah nampak kemegahannya seperti candi Borobudur, candi Prambanan dsb, yang tentu saja dalam pembangunannya di masa lampau membutuhkan biaya yang sangat besar, di samping pengerahan tenaga yang membutuhkan orang sangat banyak, dan makan waktu bertahun-tahun. Bila dibandingkan hasil karya zaman itu dengan teknologi yang ada pada zamannya, adalah keberhasilan yang sungguh-sungguh luar biasa.

Pada zaman itu kunci kesuksesan kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa dalam membangun ekonominya adalah kestabilan produksi beras.
Lho kok, bagaimana hubungannya ?
Pada zaman itu cara bertanam padi di sawah pengairan mecapai kesempurnaannya, baik dari hasil keseluruhan setiap tahun pada musim kemarau maupun musim penghujan, atau hasil setiap hektar sawah yang ada, meskipun pupuk buatan pabrik dan pestisida maupun jenis padi baru yang berumur pendek belum diketemukan. Telah tercatat dalam jangka yang panjang kapan harus menanam benih, kapan harus memindah benih ke sawah, kapan harus menyiangi padi di sawah dan menambah atau mengurangi permukaan air sawah, semua dalam “pranata mangsa”,  peredaran rasi bintang  “waluku” dan rasi bintang “wuluh” untuk menandai datangnya hama-hama padi  yang hanya menyerang pada umur tanaman tertentu, sehingga dengan memajukan atau mengundurkan masa tanam (transplanting) hama ini bisa dihindarkan. 
Pada musim kemarau tidak semua lahan bisa mendapat jatah air pengairan cukup untuk padi, lahan-lahan tersebut dianjurkan ditanam palawija.  Satu organisasi yang sekarangpun masih ada di Bali, yaitu organisasi pengairan “subak” semua itu diputuskan secara adil dari dan oleh petani.
Terbukti semua situs pusat kerajaan Hindu di Pulau Jawa, mulai Panjalu, Kerajaan Siliwangi, Kerajaan Mataram Hindu di Pikatan–Magelang Temanggung, Singhasari, Majapahit, semua mendekati sawah-sawah bertingkat di lereng-lereng gunung sekitar ketinggian itu, karena di samping lokasi itu bebas dari nyamuk dan penyakit malaria, bukan seperti di pinggir pantai.
Semua petani yang menjadi anggota subak wajib menurut segala apa yang ditentukan oleh subaknya. Jadi umumnya masyarakat tani dalam kerajaan kerajaan Hindu di Jawa telah terbiasa dengan aturan untuk kepentingan bersama, yang harus diturut. Para Brahmana menjadi nara sumber yang mencatat dengan teliti semua kejadian yang berhubungan dengan bercocok tanam selama ratusan tahun.
Akar dari keberhasilan Kerajaan Hindu ini telah dimulai dengan migrasi bangsa-bangsa dari India dengan membawa teknologi menanam padi dengan mencetak sawah berpengairan, jauh sebelumnya kerajaan-kerajaan Hindu didirikan, nyaris penghujung zaman perunggu, memasuki zaman besi. Itu adalah revolusi  cara menanan padi yang pertama. Yang sebelumnya penduduk setempat atau pendatang yang terdahulu menanam padi di huma, yang relatif lebih subur karena pembersihan lahan dengan dibabat dan dibakar sehingga menjadi zat hara mineral tanaman ladang atau huma tersebut, pada saat musim hujan tiba, lahan bersih yang sudah ditugal dengan benih padi, pada tumbuh bersama sama dengan biji rerumputan yang lolos dari panas pembakaran, sangat sulit untuk dibedakan dengan bibit  padi, dan sulit untuk dibersihkan atau di “watun” (bahasa Jawa) atau disiangi, akibatnya bibit padi menjadi tersaing dalam mencari sinar matahari dan hara tanah, dan menjadi  kurus, kadang ikut tercerabut bersama gulma/rerumputan liar yang masih sangat kecil.
  Keadaan tanaman padi huma lain sama sekali dengan padi sawah yang ditanam dari bibit berumur 20-30 hari di hamparan lumpur yang berair ‘macak-macak’ bersih dari rumput rumpai gulma, hampir selama satu bulan. Sedangkan tanaman padi yang ditanam dari bibit yang sudah berumur 20 -30 hari akan pulih aktivitas
tumbuhnya kira kira 5 hari sesudah dipindahkan ke sawah dengan ditanam berbaris-baris dengan jarak yang sudah ditetapkan (15 – 20 cm) sehingga tidak ada kompetisi satu sama lain. Di petak sawah brpengairan, padi selalu bisa ditanam 2 kali dalam setahun dibandingkan dengan penanaman padi di huma yang hanya sekali setahun, apa ini bukan revolusi besar-besaran ?
  Sawah semacam ini hanya bisa dicetak di lereng-lereng pegunungan dengan ketinggian 300 – 750 meter di atas muka laut, dimana ada anak sungai yang masih kecil, walaupun airnya cukup deras antara 20 – 50 liter per detik, mengalir sepanjang tahun berkat sumber dan mata air di hutan hutan biasanya di bawah pepohonan raksasa, membentuk danau kecil.
Air yang melimpah dari sumber-sumber kecil ini biasanya mengalir langsung ke jurang yang tergerus  aliran air sebagai akibat dari jalan air yang mencari tempat yang terendah. Orang kemudian mulai membendung aliran air yang masih kecil ini dengan gelondong kayu diperkuat dengan bebatuan yang bisa dikerjakan orang dengan batang kayu saat itu. Dengan cangkul dan linggis dibuat saluran sepanjang punggung kaki gunung yang lebih landai untuk mempertahankan ketinggian kanal kecil ini, sambil mencari tempat yang agak landai, dengan kekuatan air ini juga orang mulai meratakan tanah miring yang terlewati oleh kanal kecil ini untuk meratakan tanah dengan membuat pematang-pematang sambil menimbun bagian tanah yang rendah, maka jadilah satu petak atau lapik sawah yang rata dan bisa menahan air, selanjutnya pada aliran air dibawanya dibuat petak atau lapik sawah yang sama, meratakan petak petak ini menggunakan hewan seperti sapi dan kerbau untuk menarik bubur lumpur ke tempat yang rendah yang sudah dipasang pematang, maka dengan teknologi se-sederhana ini tercetaklah sawah sawah dibawah aliran saluran air dari sebuah mata air dikaki sebuah gunung, pada ketinggiian 500 -750 m, yang di atasnya sampai ribuan meter diatas muka laut adalah hutan rimba sebagai areal ‘water catchment’ area atau daerah penangkapan air hujan.
Sayangnya Orde Baru dengan para teknokratnya yang para ekonomist dan terkenal dengan julukan ‘Berkeley Mafia’, luput menghayati teknologi nenek moyang kita untuk mencetak sawah dengan teknologi sederhana dan terjangkau namun sangat  ‘cost effective’,  dan lebih memilih intensifiksi dengan pupuk buatan pabrik, pestisida dan bibit padi baru yang lebih unggul dari IRRI, yang diterapkan secara Nasional selama puluhan tahun, selama ada beaya Pemerintah untuk subsidi belanja pupuk dan pestisida, yang tahan hingga 25 tahun saja.
Dengan teknologi moderen memang mencetak sawah di dataran rendah atau mengeringkan lahan gambut, perlu biaya yang sangat mahal, untuk membangun kanal besar-besar yang panjang, pintu-pintu air dengan konstruksi khusus, jalan-jalan dan jembatan untuk mengangkut hasil dan menghubungkan hunian petani dengan sentra sentra ekonomi.
Walhasil, tidak sehektarpun dicetak sawah baru selama Orde Baru ini berkuasa 32 tahun. Selain itu 'think tank' Orba yang disebut oleh media massa sebagai ‘Mafia Berkeley’ ini memberikan hak guna usaha kepada siapa saja investor untuk membangun perkebunan inti kelapa sawit dengan titik berat pabrik-pabrik pengolahan, sedangkan prosentase lahan yang terbesar diserahkan kepada petani transmigran dengan tanaman kelapa sawit plasma.
Keberpihakkan Orba ini jatuh kepada pemodal dari mana saja, yang menguasai pabrik-pabrik pengolahan, dengan memberlakukan “laizes fare” yang menjadi  jurus andalan mereka, lupa bahwa petani kelapa sawit plasma mengandalkan  hanya hasil kebun kelapa sawitnya yang entah karena apa diberikan terkadang
hanya ½ Ha saja. mereka masih membutuhkan beras untuk ganjal perutnya setiap  hari, sedang harga minyak sawit mengikuti fluktuasi harga Dunia, tandan kelapa  sawit tidak mungkin mengganti singkong ataupun beras.
 Jadi sekarang seharusnya sudah disadari bahwa ‘water catchmet area’ adalah ibarat Bhatara Wisnu dan Dewi Sri dari sawah berpengairan sederhana ini, yang mampu mendukung ekonomi kerajaan kerajaan Hindu di Pulau Jawa, yang prestasinya dalam mengerahkan kekuatan ekonomi pada era mereka berwujud candi-candi yang indah dan besar bisa  membuat kita bangga.
 Zaman demi zaman berlalu sampai ke Zaman Penjajahan Hindia Belanda, untuk kebutuhannya memperkaya negerinya tuan tuan penjajah menanam kopi di pinggang gunung yang sejuk di “water catchment area”,  orang Belanda jaman itu telah mengerti, bahwa teknik ini bisa membuat air hujan di kawasan itu mengalir di permukaan tanah tanpa menyerap ke dalam tanah. Maka dari itu diadakan peraturan yang ketat. tidak boleh ada tanaman singkong ataupun jagung di areal kebun kopi teh maupun karet agar tidak mengurangi fungsi ‘water catchment area’, dan tanah harus dilindungi dengan tanaman penutup tanah sebangsa kacang-kacangan, untuk mencegah 'run off' air hujan yang mengalir di permukaan tanah yang merusak tanah ‘water catchment area’.
Sesudah zaman Penjajahan Jepang dan  sampai pada zaman sekarang ini, aturan itu dilanggar semua, bahkan hutan tutupan pun ditebangi untuk kayu bangunan, pekerjaan merusak ini diperhebat dengan adanya ‘chain saw’ yang digunakan dimana-mana. 
Jaman penjajahn Belanda  para ahli pertanian Belanda telah menentukan lereng yang paling subur artinya lapisan tanah olah (solum) yang tebal untuk perkebunan kopi teh dan karet, selain itu tanah-tanah yang dipergunakan untuk penangkapan air hujan dihutankan tanpa dirusak, kecuali desa-desa ada yang mendiami dataran tinggi seperti desa-desa di dataran tinggi Dieng dan lereng tinggi gunung Bromo dan Tanggkuban Prahu yang menanam sayur-sayuran kesukaan orang daerah Sub tropic, dan memelihara sapi perah jenis Fries Holland yang perahan susunya untuk obat kangen para tuan-tuan Belanda, selain itu peruntukan tanah di atas 750 meter di atas muka laut sangat diawasi oleh pemerintah Hindia Belanda.
Hal ini lain dengan zaman Orde Baru berkuasa hingga sekarang, para penguasa dan semua orang kaya, birokrat tinggi dan para jendral malah berlomba menjarah ‘water catchment area’ menjadi  villa, kebun bunga,  rumah bungalow dan rumah untuk peristirahatan, sangat menyedihkan akibatnya, karena ibu Kota Republik ini mudah banjir akibat perilaku anti social ini. Kalau kita search di google dengan kata  kunci “villa liar di atas tanah negara”, maka akan ditemukan berita yang sangat banyak. Saya menemukan pada situs Tempo online tanggal 21 Mei 2007 yang memuat tentang villa-villa liar.  Dan untuk mengkutipnya tidak perlu takut melanggar undang-undang ITE yang mengandung banyak pasal karet yang menjerat.
Kita bisa menunjuk hidung perilaku anti social orang-orang yang tidak mengindahkan banjir di Ibukota Rpublik ini,  bayangkan bila anda diserahi tanah-tanah Negara yang menjadi ‘water catchment area’, wilayah Jakarta raya, yang telah gundul dari pepohonan dan ter-erosi secara tidak terkendali, oleh run off air hujan, apa anda bisa menanam pepohonan di sana ? Yang kata kuncinya sayangnya adalah “Penghijauan?”
Di wilayah itu sekarang ada satu dua bulan musim kemarau yang tidak hujan sama sekali (mungkin karena perubahan iklin dunia “global warming” ?). Bila ada satu dua bulan tanpa hujan, sedangkan anda menanam pohon (sudah terlanjur di shoot TV) baru musim penghujan yang lalu, boleh saya tanya seberapa akar tanaman anda mampu menjulurkan jaringannya untuk mengumpulkan air kebutuhannya yang sudah menguap atau tersedot melorot ke bawah bermukaan tanah oleh gravitasi bumi, tak terjangkau oleh perakaran yang baru empat bulan umurnya ?
Dua bulan tanpa hujan ini akan mengakibatkan bibit pohon yang kita tanam menjadi mati.
Saya harap kita semua bisa mengatasi persoalan ini, atau setidaknya telah siap menghadap situasi ini, karena ternyata di blog saya, tulisan mengenai “Penghijauan” paling jarang dibaca oleh pengunjung, sejak saya sajikan empat bulan yang lalu, pengunjungnya hanya enam, padahal jumlah klik blog ini sudah lebih dari sembilan ribu, oh kasian ide saya yang satu ini (senyum).
Ya memang di situ tercatat hanya ilmunya orang desa, menggunakan rumpun pisang saba, pisang kapok, pisang plantain sebagai pompa, di NTT konon air yang menetes dari umbi pisang saba selama semalam dapat ditampung untuk minum pada musim kemarau yang keras.(*)

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More