Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

INDONESIA PUSAKA TANAH AIR KITA

Indonesia Tanah Air Beta, Pusaka Abadi nan Jaya, Indonesia tempatku mengabdikan ilmuku, tempat berlindung di hari Tua, Sampai akhir menutup mata

This is default featured post 2 title

My Family, keluargaku bersama mengarungi samudra kehidupan

This is default featured post 3 title

Bersama cucu di Bogor, santai dulu refreshing mind

This is default featured post 4 title

Olah raga Yoga baik untuk mind body and soul

This is default featured post 5 title

Tanah Air Kita Bangsa Indonesia yang hidup di khatulistiwa ini adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus senantiasa kita lestarikan

This is default featured post 3 title

Cucu-cucuku, menantu-menantu dan anakku yang ragil

This is default featured post 3 title

Jenis tanaman apa saja bisa membuat mata, hati dan pikiran kita sejuk

Kamis, 31 Desember 2015

MEMINJAM ISTILAH ADHI MASSARDI REPUBLIK BEDEBAH

MEMBUKA KAPSUL WAKTU  DARI 1945- 2015
Anehnya tidak seorangpun berani membuka kapsul asli waktu kita dalam periode itu, karena isinya sudah dimakan Kala Marica, anak buahnya Rahwana Raja, dan ditukangi oleh orang pintar semacam Professor Nugroho Notrosusanto alm, Professor Adhikodrati seperti Sujono Humardani alm., panganut Machiavelli Letnan Jendral Ali Murtopo alm.dan penganut Himler Harmoko dibawah komando Jendran Suharto alm, incarnasi Sang Rahwana sendiri. Sedang pembaca kapsul itu sebelum ditutup - selama ini, cita citanya sudah luber terlaksana semua kesampaian secara maksimal yaitu mas Tomi, mbak Tutut, mas Anas, Mas Abas.
Modal utama periode itu, mulai dari pra-pengakuan Kemerdekaan oleh Belanda ( Belanda menyebutnya Politioneele Actie ke I dan ke II oleh Gubernur Jendral Van Mook ) - hingga era Merdeka dengan demokrasi liberal yang runtuh oleh ulah kaum kanan, dengan mensabot berlakunya UUPA Agraria no 5 tahun 1960 yang dikenal  dengan nama UU Land Reform, sampai demokrasi terpimpin yang dideklarasikan oleh Presiden Sukarno didukung oleh kaum kiri,  hingga pembantaian  G30S, yang meyebabkan runtuhnys rezim Orde Lama pempinan Bung Karno itu, dan lahirnya Orde baru. Pada tahun 1965, dukungan kaum kanan dan militerisme kita.semua, didalangi oleh CIA dan Duta Besar Amerika Serikat  His Exellency Marshal Green.( sekarang diberi titel Sir oleh Sri Ratu Inggris)  Melawan poros Pyongyang –Peking-Jakarta, guna mencegah dengan segala ongkos “ Domino principe” sesudah kekalahannya di Vietnam. Upaya keluar dengan terhormat dari  “debacle” di Vietnam, akhrnya ditutup dengan kemenangan gemilang mendapat jarahan exploitasi emas dan tembaga dari  Pegunungan Jayawijaya selama ini, sangat lebih berharga dari Vietnam Cambodya dan Mynmar sekaligus. Semua dengan jelas ditulis dan dikumpulkan dalam bundle “rahasia” di Perpustakaan Konggers Amerika Serikat, konon sudah dibuka secara  terbatas.
Pemakaian istilah kiri kanan dalam politik dimulai dari beberapa bulan sesudah National Assembly di Perancis pada Pemerintahan Louis ke XVI , Pemerintahan Monarchy Absolut bangkrut, mereka memanggil Perdana Menteri Necker untuk memperbaiki keuangan Negara Perancis, dan diundang adalah perwakilan dari populasi Perancis untuk bersidang di Paris.  Yang duduk sebelah kanan adalah wakil wakil dari kaum bangsawan dan kaum biarawan gereja katolik ( semua mereka adalah wakil wakil tuan tanah besar besar), sedang yang duduk disebelah kiri adalah wakil  petani da pedagang yang lagi naik daun dengan East Indie Company terangkat oleh  kolonisasi kepulauan Antilen menggunakan budak dari Afrika menghasilkan gula dan rhum ( minuman keras), yang sangat menguntungkan. Mereka orang kebanyakan yang disebut le canaille. Jadi sebenarnya tidak ada hubungannya dengan Komunisme atau ajaran agama apapun. Menurut istilah ini sekarang kita hanya punya wakil rakyat bukan bagian dari itu semua. Karena rakyat sedang asyik berjoget, tidak ada tuan tanah, semua lahan hak guma usaha dilindungi Hukum Rimba a'la Amran Batalipu. Sedang kaum bedebah mempunyai selera yang besar untuk karaoke dan joged gaya apa saja dirangsang dengan narkoba, makanya terpilih di legislatip dan eksekutip selama lima  tahun dan lima tahun lagi dan lima tahun lagi, kayak yang mulia Satrya Novianto asuhan Togog dan Surakhblem Hijanggut dari MKD ketua fraksi Nolsar DPR RB dan Ketua MKD DPR RB..
Lebih baik kapsulnya tahun 1945 – 1998 dibuang saja demi kesatuan dan persatuan Rakyat Bedebah (RB) ini*).

Minggu, 27 Desember 2015

CATATAN TENTANG JARI TELUNJUK KANAN WAKTU SHOLAT

CATATAN   TENTANG JARI TELUNJUK KANAN DALAM SHOLAT
Sangat aneh, apabila dirunut, sesungguhnya di-dimensi alam manusia ini serba mendua yang  berlawanan tak terpisahkan. Seperti “hidup” harus disertai “nafsu”, yang dalam ajaran Islam ada empat  wilayah, yaitu amarah, lawamah, mutmainah dan supiyah diandaikan dari urutan jari kiri, harus d-imbangi dengan ajaran syariat, tarikat, hakikat dan makrifat jari tangan kanan. Sedang jari tangan kanan-kiri  juga persis  bisa ditangkupkan dengan   pas saling bertemu mepet sesama sidik jari  masing masing empat pasang  jari itu,  melakukan sikap sembah. Kelingking kanan adalah syariat, jari manis kanan adalah tarikat, jari tengah kanan adalan hakikat dan jari telunjuk kanan adalah makrifat. Sesuai dengan jari kiri dari kelingking amarah, lauwamah, mutmainah dan supiyah.  Anehnya  jari jempol  kiri dan kanan hanya bisa saling berjajar kuku masing masing, menjadi cermin si empunya tangan, atau saling menindis,  sulit di atur cara lain. Seolah olah mengisyaratkan bahwa bila nurani sudah menerima petunjuk Allah, yang tujubelas kali sehari selalu dimohon dari Allah dalam setiap roka’at sholat, dalam surah ummul Qur’an – Al Fatihah.
Lha ini berarti mendirikan sholat - sudah mencakup keempat  empat ajaran Islam guna mengendalikan empat anasir nafsu yang mengikuti hidup manusia. Bahwa amarah itu hanya berpasangan dan di netralkan oleh syariat yang dijalani waktu mengerjakan gerakan sholat, dan harus decamkan benar menar bahwa bidang syariah ini sarang nafu amarah, yang derajadnya paling rendah diantara yang empat nafsu itu. Sayangnya isyarat ini tidak diperhitungkan oleh ulama ulama Arab dan Iran - Hla permusuhan merembat kemana mana padahal hanya tersulut oleh nafsu, yang Islam sudah memperingatkan  itulah nafsu yang paling rendah. Kecuali  itu memang hanya meyangkut gerakan fisik yang nampak, jadi sangat kentara perbedaan satu sama lain.

Lawamah dinetralkan oleh tarikat yang memberikan “ jalan” ke-kondisi meditative waktu sholat, dibuka dengan seruan "Allahuakbar", Makna seruan ini, Allah itulah yang Maha Besar, segala kehendakNya pasti terlaksana, urusan kita manusia sangat kecil, bagaimanqapun urusan indivdu masing masing adalah zarah yang tidak berarti bagi Allah, maka terjadilah kehendaknya datas permohonan kita. Bahkan memasukkan kita ke Netrakapun pasti terlaksana atas kehendaknya.

 Sedang mutmainah - tercantum dalam do'a iftitah yang maknanya:  Sholat dan ibadah, hidup dan mati seseorang hanya didedikasikan untuk Allah - nafsu untuk berupaya jadi lebih baik perpasangan dan dinetralkan secara total berserah diri kepada Allah. Menyangkut bathin yang tidak nampak jadi tidak gampang menyulut pertentangan, tapi bila "jalan" yang dianut dipromosikan sebagai yang paling benar, baru menyulut perlawanan dari yang lain pertentangan disulut oleh nafsu lawamah. Yang semestinya diselesaikan dengan kesabaran, menurut ilmu hakikat, Umpama tafsir dan tarjamah kalimat dari ayat suci Al.Qur'an - Basmallah, para ahli ilmu hakikat menafsirkan dengan Bi-ismi-Allahi- rakhmani-rakhim - " dengan nama Allah yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih". Tafsir dari sisi lain ditambah dengan kata  "Menyebut" jadi "Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih" dengan makna yang beda jauh dari tafsir yang pertama bagi yang menggeluti hakikat dari kalimah suci tersebut, Hakikatnya bagi mereka yang sudah menyadari dijadikan khalifah Allau di Bhumi - segala tindakannya harus sesuai dengan yang mengangkatnya stinggi itu- jadi khalihah Allah di Bhumi - jadi ya bertndak dengan Nama Allah sebagai tangung jawab. Karena sifat perbedaan ini bathiniyah  dan menyangkut ilmu hakikat jadi penyelesaian perbedaan ini ya harus sabar tidak sampai jadi bentrok fisik, apaladi perang saling bunuh..

Sedangkan mutmainah adalah nafsu  demi  mengajarkan sesuatu kebaikan kepada ummat,  yaitu makna dari Al Fatihah yang harus ada disetiap rokaat sholat,  tapi sering disalah arahkan menjadi kultus kepada si pengajar. Disalah terimakan pada sang Mursyid  dengan penundukan diri , taklid kepadanya. Seringkali  sang Guru kebanyakan diangap mempunyai kemampuan adhikodrati.
Dari kekurangan pendalaman ilmu hakikat ini para juru tarjamah dan juru tafsir Al Qur'an dan Al Hadist bisa tidak merasa adanya kejanggalan menafsir kalimah dari ayat suci Al Qur'an "Bi-ismillahirakhmanirakhim" jadi "Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih". Yang dalam bahasa lain kata "menyebut" ini juga tidak ada, Dalam tafsir yang lama juga kata menyebut ini dataruh dalam (kurung). Makna  "dengan Nama" sangat beda dengan *dengan menyebut Nama" baiknya orang tidak heboh mengenai tafsir kalimah Basmallah ini, karena manyangkut nafsu yang lebih halus. Nafsu mutmainah. Jadinya perbedaan tafsir dihadapi dengan sabar. Malah dikalangan MUI pun tidak peka terhadap peerbedaah ini, wong diluar syari'ah dan tarikat, yang menjadi andalan existensinya.

, , Demikian juga supiyah yang juga nafsu  mengupayakan  sesegera mungkin miresapkan kepada sesama muslim dinetralkan dengan pengertian makrifat, yang dicampur adukkan oleh si awam dengan kemampuan adhikodrati Guru Mursyid, ini tradisi keliru. Ajaran ini harus berkaitan dengan pikir, perintah Allah "iqrok"artinya  bacalah - supaya jadi arif - Membanggakan diri karena " bodoh" tidak peduli pada lingkungan masyarakat karena sudah berserah diri kapada Allah dan hidup zuhud adalah kemalasan dan kesombongan orang yang menganggap hidupnya  hanya untuk Allah, meremehkan ilmu pengetahuan, yang umum ada pada santri dadakan dan muda usia.
Karena kemampuan adhikodrati adalah lingkup kawasan ilmu laduni yang dimiliki oleh sebagian kecil manusia, dengan kehendak Allah semata, bahkan bisa dimiliki si kafir sekalipun.
 Anasir makrifat ini ada dalam sholat, saya kira, di-isyaratkan dengan jari telunjuk kanan yang pada waktu atakhiat awal dan atakhiat akhir  harus diluruskan diatas ujung lutut kanan yang bertawaruk sampai bacaan atahiat selesai. Yaitu mulai membaca “Ashaduala ilahailallah wa ashaduana Muhammadarasulullah” alahuma syalialla……………….sampai selesai.
Lho kok hanya sesederhana ini ? kalimat sahadat, yang dengan itu setiap muslim atau muslimah mulai memeluk  Islam. Sehingga membuat nafsu baik, nafsu luhur nafsu supiyah , mengajari setiap orang, para jamhur menjadi sederhana, kurang gengsi, apalagi dikaitkan dengan kemampuan laduni, yang sengaja ditiup tiupkan para pengikutnya dimasyarakat yang masih sederhana. Ini sering dinikmati oleh para  Tuan Guru, Guru Kebatinan, atau Guru Mursyid, para Habaib dengan titel sayyid, para KH. sekaligus titel para Mursyid,  penampilan jubah dan sorban putih lambang kesucian, yang jadi modal pernik  aksesori saja.
  (nampaknya kemampuan Rasputin seorang dukun shamanisme dari belantara Siberia, pada akhir era pertengahan di Europa,  mampu menghentikan penyakit genetik haemophilia yang diderita Tsarevic – Putra mahkota Kekaisaran Russia menjadi legenda zamannya.)
Pertanyaannya apakah kalimah sahadad ini sepele ?  Oh sama sekali tidak, justru kalimat ini inti sari dari pengetahuan makrifatullah. Jadi Islam itu gampang kan ? (*)

Hidup seharusnya tdak ada "ila" atau yang disembah, dimulyakan,  dinomersatukan kecuali "ALLAH" setiap detiknya pada setiap perrsoalan hidup - Persis seperti tawaran hadiah sorban Rasulullah kepada makmumnya kebetulan  semua sahabat sahabat Nabi ada. Rasulullah bersabda,, bila dalam sholatnya ada seorang yang betul betul  berhasil upayanya terlaksana dalam sholatnya,,   La-ila-ha-ila-ALLAH, akan diberi hadiah surban Rasulullah.  Sayidina Ali hampir nge-claim hadiah itu,  sejujurnya sebelum  salam (mengakhiri sholat)  dia memikir sekilas, alangkah bahagianya akan mendapat sorban Rasulullah....... lah dia batal nge-claim sorban itu, malu sendiri *).
...



Rabu, 23 Desember 2015

13 - 15 MATAHARI TERBIT DI WILWATIKTAPURA

13. MATAHARI TERBIT DI WILWATIKTAPURA (SERI 12)
3.59 PM  SUBAGYO KOESNO  NO COMMENTS
 ARIA WIRARAJA DARI PAMEKASAN

Aria tua ini sangat bijaksana,  setelah sekian lama, hampir tiga tahun kurang tiga bulan sang Jayakatwang dengan segenap pasukan telik sandi yang hebat tidak bisa diragukan kerjanya, gagal menemukan Pembongan kecil Pelarian dari Singhasari. Malah dia sanggup menampung mereka, dia mempertaruhkan namanya dan nyawanya tanpa diminta oleh Bupati Tuban,  bahkan diyakininya Bupati Tuban tidak tahu bahwa sekarang Pelarian pelarian yang sangat dicari cari oleh sang Jayakartwang itu  sudah ada di hadapannya.
Bupati Tuban hanya mengenal kekuatan telik sandi  sang Jayakatwang  sedangkan Arya  Wiraraja dapat memeprhitungkan betapa jaringan yang membela Raden Wijaya  berbulan dalam pengejaran dan penyisiran pasukan berkuda yang berubah jadi pasukan penarik  pajak paksa  dari rakyat itu. Tentu mereka dibantu secara sepenuhnya oleh kelompok yang hebat, dapat mengejek dan mengelabuhi telik sandi orang yang secerdik dan sekaya Prabhu Jayakatwang kini.
 Aria tua ini sangat kepingin tahu pejuang yang gigih  demi mempertahankan  nyawa ini,  orang yang dapat mengalahkan Prabhu Kartanegara di papan catur adalah orang yang istimewa. Tambah dengan kecerdasan orang yang telah mengelabuli sekian banyak telik  sandi, yang mencari kabar kebeeradaan putra putri Prabhu Kertanegara, yang mudah ditandai , karena wajahnya gaya omongnya pasti lain dari rakyat biasa,  hadiah bagi mereka yang dapat menunjukkan  dimana mereka bersembunyi selama ini, sudah cukup jaminan bahwa kepergiannya ke Pamekasan pasti juga tidak ada yang tahu. Pagi pagi dia menerima rombongan di wantilan dalam istana Pamekasan, Raden Wijaya dan para pengikutnya, putra  putri Kerajaan Singhasari. Beliau merasa heran bahwa putra putri raja ini ternyata nampak segar dan sehat, malah agak kecoklatan kena sinar matahari yang  banyak. Dia juga kagum bagaimana bisa mareka diantar oleh perahu Nyi Sekar Dhadu saudagar putri setengah baya,  kaya raya dan   angker,  tidak sembarangan, semua prilakunya itu telah diperhitungkan  dengan cermat dan diperhatikan..  Aria tua ini kenal baik dengan Ki Bhismasadhana,  demi kepercayaan dirinya  akan kecerdasannya   dan membantu sahabatnya itu dia sanggup menampung rombongan Pelarian ini. Setelah mengucapkan terima kasih kepada Juragan perahu yang mengantarkan rombongan sampai di Pamekasan, dia segera menyilahkan rombongan menempati kamar kamar dibelakang Kadipaten, yang merupakan keputren dan kasatrian.  Hanya Raden Wijaya dan istrinya diberi tempat di pavilion disebelah kanan delem  kadipaten. Setelah berbenah diri menanti siang diundang makan di dalem ageng oleh sang Wiraraja. Mereka berterima kasih, menyembah dan segera mudur dari penghadapan yang  singkat ini. Siang hari mereka sudah bersalin dengan pakaian cara Kadipaten Madura,  untuk putri nampak tidak ada bedanya, hanya dandanan gelung rambut agak lain, untuk para ksatria berdandan cara ksatria Madura, banyak bedanya, selain memakai rompi pendek tidak berkancing,  mereka memakai kampuh dan lancingan selutut berwarna hitam, dan memakai destar cara Madura.
Raden Wijaya beserta istrinya  satu tempat menghadap meja rendah ditemani Aria tua denga kedua istrinya, mereka saling menyilahkan dengan sopan, dan baru sekali ini selama  pelarian berbulan bulan mereka diperlakukan sebagai putra putri raja. Raden Wijaya menyertai setiap gelas la’ang tua dengan sang Aria penggemar la’ang tua yang diramunya sendiri, terkenal diseluruh Janggala Kadiri dan Singhasari.  Raden Wijaya terus terang menyatakan kekagumannya kepada Jayakatwang, kerena malam penyerbuan tiba tiba di Singhasari,  yang tidak diketahui seorangpun,  rombongan pelarian malah  melewati rintisan ditengah hutan itu, yang memudahkan pelariannya sampai pagi ke Gunung Baung, tidak bertemu seorangpun.  Raden Wijaya mengagumi persiapan yang sangat terahasia disertai dengan dongeng dan cerita penyesatan yang dapat diterima orang banyak,  dia menceritakan bahwa tidak hanya satu rintisan tapi beberapa rintisan. Raden Wijaya bisa menggambarkan betapa sulit merahasiakan pembuatan  rintisan dihutan disela sela hunian orang dan perjalanan pssukan berkuda diam diam selama itu. Semua  yang diceritakan dan komentar yan diberikan oleh Raden Wijaya sebagai murid sang Bhismasadhana , didengarkan dengan cermat, disertai dengan pertanyaan tiba tiba dari sang Aria, menunjukkan pengetahuan yang luas sebagai ahli siasat tentara dan peprrangan.  Raden Wijaya, tanpa sedikitpun rasa kebencian, malah memuji sang Jayakatwang yang mengejar ngejar dia setara dengan Sun Tse seorang pengarang strategi China.  Semua dengan cermat didengarkan oleh sang Wiraraja.
Secara diam diam Arya tua ini bekorespondensi dengan Sang Mahaprabhu Jayakatwang, dia memang sorang diplomat kawakan yang ahli nerangkai kalimat. Dia scara halus sekali mengagumi semua tindak tanduk sang penakluk, yang sangat cermat dan teliti.  Menyinggung sedikit mengenai bakat pribadi dan bukan yang diperoleh dari leluhur sang Jayakatwang yang titisan Bhatara Shiwa.

Tentu saja surat  ini  sangat dihargai oleh sang  Penakluk yang lagi kesusahan karena pasukan kuda yang jadi andalannya musnah oleh penyakit, yang akan makan waktu sangat lama untuk memulihkannya.  Dan dalam surat balasannya, sang Jayakatwang mengeluh mengenai pemyakit kuda kudanya yang  sangat mengkhwatirkan beliau. Beliau sang Raja, malah kepingin sekali minum arak bersama dengan sang Wiraraja.

Pucuk dicinta ulam tiba, kebetulan di bhumi Tarik ditepian Sungai Brantas,  sang Aria punya Istana atau rumah peristirahatan kecil yang terpelihara baik karena beliau adalah pengunjung tetap Istana Istana di Jawa,  bahwa rumah di tepian sungai Brantas ini sering jadi  tempat menginap kaum bangsawan yang sering bersama sama berburu rusa. Karena ada hutan hutan yang banyak buruannya di  sana. Hal ini diceriterakan pada salah satu surat kepada Mahapranhu Jayakatwang.  Jawab sang Mahabprabhu malah memutuskan   bahwa beliau berkenan untuk melemaskan otot dan tulang tulang dengan berburu rusa bersama Aria Wiraraja di bumi Tarik,  awal musim  hujan tahun depan.  Selama akhir msim hujan tahun ini Raden Wijaya sangat sibuk belajar membuat  dan meneliti perahu Madura, malah Raden tukang kayu ini menemukan bahwa kelebihan perahu gaya  Madura adalah mudah dikemudikan, artinya mudah berubah haluan, dengan  lingkaran putaran yang  kecil saja,  karena lunasnya dibuat melengkung seperti sabut kelapa. Lantas lengkungan itu dia ukur dengan perbandingan panjang perahu dan berat muatannya.  Dengan sungguh sungguh beliau bicarakan dengan para pandega pembuat perahu di pantai  Pamekasan, sambil beliau bekerja menjadi tukang kayu bersama sama mereka. Dalam setengah tahun dia tidak merasa sama sekali bahwa dia itu orang pelarian, pekerjaannya seharian sampai sandyakala hanya menukang kayu membuat perahu, dan membaca gambar rancangan perahu yang digambar diatas kulit kambing, ditentukan berat perahu, besarnya lengkung lnnas, sambungan sambungan-nya, gading dan papan, letak tiang pendek,  cerocok  tambahan untuk layar depan, menjahit layar dan memilih bahan untuk layar, membuat tali temali, semua dia pelajari dan dia gambar di kulit kambing, dan model kecil, semuala dari tanah liat, kemdian dari kayu. Semua perubahan lunas maupun badan perahu dia rundingkan dengan para pandega yang sudah jadi seperti saudaranya, karena dengan cepat  dia pandai berbahasa Madura, halus maupun kasar. Dalam  setengah tahun sampai akhir musim hujan dan separo musim panas Raden Wijaya telah diakui oleh para pendega dapat depercaya memimpim membuat perahu Madura. Selama satu tahun Raden wijaya dengan tekun  belajar membuat perahu  Madura.  Telapak tangannya jadi berkulit keras,  badannya jadi berkulit gelap kecoklatan, baliau memelihara kumis tebal, dan selalu mengenakan destar cara Madura. Raden wijaya menjadi psndega pembangunan perahu tidak tanggung tanggung,.  Beliau meneliti pembuatan kain layar.  Kapas dari sekitar  Tuban, sekitar Trung di Tandes, masih kurang baik untuk dijadikan benang yang kuat karena seratnya kurang panjang.  Dia membadingkan layar dari China yang sangat mahal terbuat dari sutera, bertulang bambo seratnya dari pantat  ulat sutera jang tipis ulet dan panjang, makanya dapat ditenun jadi kain yang tipis yang sangat luat. Pengeran ahli mambuat perahu ini mengerti bahwa perahu bercadik dari atas Angin besar besar bisa muat beras ratusan koyan dan bergeladak lapis tiga, panyangnya hampi tigapuluh  depa bisa berlayar jauh dan berbulan bulan karena didorong oleh layar yang ringan kuat dan awet, disamping karena dibuat dari serat kapas India yang panjang, dan ulet maka luas layar bisa dibuat luas sesuai dengan bobot kapal, kecuali itu benang kecil kenaf yang tumbuh dari rawa rawa reluk Benggala ( Sekarang Bnglasesh), juga panjang dan sangat kuat bisa ditenun disela sela benang kapas serat panjang ini. Begitu pula tidak ada keterbatasan dari jung jung dari China, karena layarnya dibuat dari kain sutra yang meskipun luas dan tinggi tapi sangat kuat dan tipis seingga ringan untuk derentangkan bersusun susun ditiang agung, dan sama sekali tidak mengganggu keseimbangan perahu . Kapas dari Atas Angin jang benang lawenya sering diperdagangkan sampai di sini,  panjangnya seratnya mencapai  empat jari, dapat dijadikan  lawe tipis yang sangat ulet maka layar dari Atas Angin sangat kuat dan ringan. Seandainya dia bukan pangeran Pelarian, dia pasti  di sudah mengarang alat tenun bukan mesin, membuat layar yang besar. Dia mengingat ingat sewaktu di Japan,  pelabuhan besar, dia mengerti serat kenaf dari Pamotan (sekarang Lamongan yang masih selatan muara Bengawan Solo, selalu  dibawa ke Tanah Barat di tanah Pamalayu serat ulet  dan panjang, sayangnya  kasar dan bila  kering,  jadi  getas atau mudah patah. Orang bilang di Madura serat itu juga ditenun untuk layar tapi dicelup dulu dengan minyak kelapa, agar tidak kekeringan. Sebaiknya malah dengan santan kelapa. Akan tetapi sera kenaf ini pun berat, meskipun sebagai campuran tenun layar perahu dari Benggala makanya perahu besar dari Benggala harus diberi cadik untuk membantu keseimbangan, dan juga tidak bisa terlalu lebar karean bila kehujanan jadi terlalu berat, makanya perahu model ini kerkenal lamban.
Aria Wiraraja menimbang bahwa waktunya telah tiba, untuk memberi tahu Raden Wijaya, supaya bekerja di Bumi Tarik istananya yang ditinggal selama ini, untuk jadi lurahnya para pemburu, karena musim pemburuan rusa akan tiba. Raden Wijaya akan didamaikan dengan Sang Jayakatwang. Pertimbangan beliau, Jayakatwang butuh sekali diakui kejeniusannya, sebagai pribadi, bukan bisikan dari Dewa karangan para Brahmana yang dapat persembahan besar seperti silsilahnya yang dikarang bagi beliau, nyaris ditulis dicandi khusus tentu dengan beaya yang besar pula untuk sang Maharsi.
Lalu dia membeberkan rencananya agar Raden Wijaya  bekerja di Bhumi Tarik, untuk menjadi Pemimpm Perburuan, Kala itu jabatan ini disebut Lurah Pengalasan sambil menanti kedatangan sang Jayakatwang,  dipermulaan musim hujan, disana dia ada kesempatan mengambil hatinya Seribaginda, dengan menceriterakan penemuan rintisan dihutan selama jadi ketua pemburu rusa, mengetahui seluk beluk panah istimewa yang ditembakkan dari kuda berlari. Yang terpenting dia punya  ramuan untuk membuat kuda lebih tahan terhadap penyakit bolor, yaitu menurut sang Aria adalah bubukan daun kelor (Moringia sp ) yang dikeringkan beberapa genggam satu hari dicampukan dalam comborannya.
Tarnyata bubuk daun kelor manjur untuk daya tahan kuda kuda. Raden Wijaya setuju, segera di memberitahu istrinya, dan demi timbul kembalinya wangsa Girindra yang ada di perutnya, dengan berat sang putri menyetujuinya  Menjelang akhir musin kemarau, angin masih dari timur, Paden Wijaya berlayar dengan beberapa abdi orang Pamekasan ke bhumi Tarik, penjadi lurah para pemburu.  Terus terang dia menyenangi pekerjaan itu.  Dia mengembara dalam hutan napak tilas semua jalan yang ditempuh pasukan berkuda, dari Kadiri sampai di Jurang air terjun Gunng Baung,  dia memang sangat kagum, berapa orang yang dsikerahkan untuk itu, bukan saja jalan pasukan berkuda tapi jalan ditengah  hutan yang tak pernah ketahuan ataupu dicurigai oleh orang kegunaannya sebelum Singhasari  jatuh. Berapa banyak orang dikerahkah diam diam, bagaimana menghilangkan kecurigaan orang, dengan menakut nakuti orang berapa beaya yang dekeluarkan untuk itu.  Malah dia jakin tidak ada Pemimpin sebelumnya yang menandingi Jayakatwang.
Waktunya tiba, rombongan dari Sumenep sudah datang dua minggu lebih dulu, menyiapkan segala keperluan rombngan yang dihormati Mahaprabhu Jayakatwang lewat sungai  Brantas dengan perahu karajaan.
Bangunan, peraduan  dan perabotan, gamelan dan penabuh serta penarinya,  makanan dan minuman,  segala macam binatang yang akan dilepas,  bahkan sampai burung burung yang suaranya merdu, kuda kuda pilihan dan perangkatnya.

Rombongan perahu kerajaan dari Kadiri  merapat di geladak yang sudah dibuat khusus untuk itu, segera Rombonga turun, karena Raja jayakatwang masih muda, lebih tua sedikit dari Raden Wijaya sendiri, beliau turun terlebih dahulu desertai dengan gamelan kebo giro yang meriah, langsung melambaikan tangannya kearah penjemput sang Aria Wiraraja, sudah dengan gaya pemburu, bukan gaya Raja Penakluk. Sang Aria tua tanggap dengan situasi yang berubah secepat ini, dengan cepat acara diubah, diambilah dengan tergopoh gopoh gelas dan minuman ramuan khusus sang Aria WIraraja. Sang aria sendiri menuang minuman sambil berdiri, menuang untuk dirinya sendiri, dan mereka bersulang cara pemburu dengan gembira. Para penyambut tanggap,  semua tamu rombongan disuguhi minuman la’ang tua dan disambut dengan sorak sorai gembira layaknya para pemburu yang semua lelaki perkasa. Aria Tua sangat puas,  satu permulaan yang sangat baik. Kebetulan ayam jago bekisar yang dibawa dari Madura saling berkokok,besahut sahutan nenambahi meriahnya suasana perburuan.
Tanpa minta izin siapapun dan tanpa diperintah oleh pemilik Pesanggerahan, Raden Wiyaya memberi aba aba agar semua kuda kuda diajukan dengan tengara terompet kulit kerang.  Segera  Kuda dilepas, dengan tali kendali disimpulkan  diatas gumba. Tanpa pengawal berbaris satu satu. Kuda paling depan berwarna hitam mulus, muda dan sangat gagah, mirip dengan Gagak Rimang  kuda peliharaan kesayangan Jayakatwang yang sudah mati kena bolor (samapai sekarang merupakan penyakit kuda yang menular sekali dan sangat mematikan menyerang sengan cepat saluran pernafasan kuda, bahkan dijaman belum ada kereta api Pemerintahan Penjajahan Belanda memerintahkan menembak mati ditempat kuda kuda yang menunjukkna gejala sakit Malleus /sakit Bolor ini)
Mulai  keluar dari samping pesangrahan sambil berlari kecil semua kuda satu persatu berbaris,  lewat tamu tamu yang baru selesai minum la’ang tua,  dengan gapah  Jayakatwang meloncat keatas punggung si Gagak rimang  kedua, meskipun tiruan tapi lebih gagah, dan lebih muda, anehnya segala perlengkapan kuda itu memang asli dari istal istana Kadiri milik  Gagak rimang yang sudah mati. Mahaprabu jayakatwang tahu itu dari baretan dan bekas bercak darah yang mongering,  kendali dan lis yang sudah kena tangan lama.

 Sekilas  dia melihat gamel lamanya sudah ada di Pesanggrahan karena dia dan raden Wijaya  telah mempersiapkan lama kejutan itu.
Dan sampai di pesanggrahan Tarik sudah  bermingu minggu yang lalu atas prakarsa Raden Wijaya yang sekarang di bhumi tarik namanya Lurah Jambul, mereka sudah disiapkan  adegan ini beberapa waktu sebelum perahu kerajaan berangkat dari Kadiri. Lapangan tegar sudah siap dilapisi dengan pasir sungai Brantas, tebal dan tidak terlalu lnnak.
Puluhan penunggang kuda dari Kadiri berakrobat dari atas kuda kuda yang berlari sepuasnya, mengobati rasa bosan selama seharian naik perahu.
Sang Jayakatwang dengan puas mengambil tempat duduk di pasanggrahan, disertai oleh Aria Wiraraja yang sekarang bergaya pemburu, menghilangkan segala etiket kerajaan. Hanya Lurah jambul melihat dari kejauhan.
Sesudah makan malam gaya pemburu  yang gaduh selesai, Arya Wiraraja mngajak tamunya bila berkenan, duduk di gazebo terbuka agak terpencil diluar dihalaman pesangrahan.  Disambut dengan hangat ajakan itu.
Mereka berdua hanya  diiringi satu pengiring yang selalu agak menjauh, tapi mendengar bila dipanggil.  Bumbung dan gelas sudah tersedia disana,
Sang Jayakawang dengan gembira menceritekan suasana selama perjalanan  dengan perahu dari Kadiri,  semua pengikut sudah bosan setengah mati naik perahu jang lambat ini. Gamelan dan waranggono tidak didengar lagi,  ada yang berenang mencebur sungai,  megadakan lomba renang, dan minum tuak.

Lantas mendadak disambung pertanyaan dari Prabhu Jayakatwang, omong omong siapa lurah Tuaburu ( Lurah pangalasan) yang sudah menyiapkan sambutan semeriah ini, dan kuda hitam yang serupa gagak Rimang kuda kesayangannya itu, terus gamel kuda kesayangannya kok ya ada dipesanggrahan.
Diajawab oleh Aria Wiraraja, Paduka Prabhu akan terkejut bila ketemu dengan lurah Pangalasan di dari Pasanggrahan Tarik ini.
 Sang Jayakatwang berkenan  untuk tahu siapa dia, untuk seorang Jayakatwang tidak ada orang terlalu rendah tidak ada orang terlalu tinggi bila mempunyai pengetahuan mengenai kuda. Dia mengaku ketika menunggang kuda itu, dia merasa utuh sebagai Jayakatwang kembali, segera pasukan  berkudanya pulih jumlahnya untuk dibawanya ke ujung dunia, kali ini dia jujur dan sangat bersemangat.

Segera  Aria Wiraraja  menepukkan tangannya, dan pelayan yang menunggu dari kejauhan mendekat, dan mendapat perintah untuk memanggil ki Jambul.
Segera Raden Wijaya muncul  dari kejauhan sudah menguncupkan sembah, mendekat sambil duduk dibawah bersila,  menyembah sambil bertanya ada dawuh apa.  Sang Mahaprabu sedang sangat bersemangat,   meberikan rasa terima kasih atas ditemukannya kuda hitam yang telah dicoba, baik kekuatan nafasnya maupn kekuatan otot dan keberaniannya,  semua baik, hanya masih agak kasar,  suka kaget mendapatkan perintah mendadak.


  Ki Jambul mohon maaf atas kekurangannya, dia mengaku bahwa dia mendidiknya baru satu bulan, kemudian minta bantuan gamel dari Kadiri.  Raden berterus terang mengenai kakagumannya kepada sang jayakatwang mengerti dan menguasai kuda. Prabhu Jayakatwang  menjawab bahwa para Dewa membuat dirinya dari bahan yang sama dengan kuda kuda barangkali, sambil tertawa terkekeh kekeh. Sebaliknya Raden Wijaya mengaku sejujurnya bahwa sebagai lurah tuaburu dia menjelajahi hutan hutan dan menemukan jalan rintisan ditengah hutan, bukan hanya satu, tapi beberapa dari pingiran sungai brantas lingga ke air terjun di gunung Baung,  sungguh bukan pekerjaan mudah, perlu ribuan orang menurut perkiraannya, ki Jambul Juga brbicara tentu bukan sembarang orang yang mengunakan anak panah berat dengan ujung runcing dari besi tuang  berbentuk kuncup bunga kantil dan digosok dengan minyak jarak dengan mudah menembus prisai kulit kerbau yang paling tebal.  Mahaprabu Jayakatwang sampai kaget dan sangat senang, sambil berdiri dia mengusap pundak ki Jambul, bahwa berlaksa picis emas dan perak dia tebar untuk kerahasiaan rintisan rintisan ditengah hutan itu,  untuk tidak membangunkan kecurigaan orang Singhasari,  pasukan dimuat perahu dari Kadiri, memang pendadakan adalah unsur yang sangat penting memenangkan peertempuran.  
Dengan mengerahkan kekuatan catur sanak, Raden Wijaya, mengaku setulusnya bahwa tidak ada orang maupun Raja yang telah lalu mengimbangi siasat dilandasi ketelitian dan ketekunan sang Jayakatwang, sayang kini kuda kuda lagi kena wabah penyakit yang sangat menular,  yang dia mempunyai ramuan untuk memperkuat daya tahan tubuh kuda kuda berlipat kali. Sang Prabu sampai menarik kursinya mendekat ki Jambul,  memegang kedua lengannya sambil  dicara keras seperti orang kampung dialah orang yang dia cari selama ini,  sampai pendeta dari Atas Angin, tabib dari China, semua gagal, ayolah dicoba ramuanmu hai lurah para pemburu, saya merasa dilahirkan kembali, apapun yang kau minta aku turuti.
Waktunya sang Aria tua berrperan, dia berdiri dengan gopoh, menahan sang Prabhu Nata. Sambil berkata lirih dengan tenaga dalam, memang dialah orang yang paduka cari selama bertahun tahun, dialah Raden Wijaya, murid sang Bhismasadana, orang satu satunya yang mengerti kejemiusan paduka Baginda !
Saking terkejutnya Baginda terduduk, sambil memelototkan mata, apa katamu, dia Raden WIjaya,  saya sungguh terkejut,  apakah kau menyerahkan dirimu wahai bayanganku  yang hilang?  Baginda setengah mrangkul ki Jambul, berucap tanpa kata, karena diapun orang yang berilmu tinggi.
Raden Wijaya mengerahkan tenaga catur sanak, sambil bersabda : Iya, akulah yang menghormatimu sebagai orang yang menemukan dan melakukan yang tidak pernah dilakukan sebelummu dan sesudahmu. Ini dikemukakan oleh Raden Wijaya sebagai kata yang tidak terucap tapi dimengerti  dengan sebenarnya oleh Mahaprabu Jayakatwang.
Keheningan buyar dengan  isyarat sang Aria Tua,  semua pulih pada tempatnya.
Sang Prabu dengan ringan menerima Raden Wijaya dan adik adiknya, memberikan ampunan dan restu . raden Wijaya menyembah kaki sang Prabu, baru berhenti sesudah diangkat oleh Baginda.
Saat itu juga dia dhadiahi bhumi Tarik, boleh tinggal dasini selama dia suka dan keluarganya,  Dia diangkat olehh Mahaprabhu Jayakatwang sebagai Tumengung Pengalasan, dan pemelihara kuda kuda Kadiri, langsung bertanggung jawab kepada Sribaginda.
Malam itu juga semua orang dipangggil dihalaman gazebo, mendapat dawuh dari Sang Mahaprabhu Jayakatwang bahwa dia sudah menemukan orang yang selama ini dia cari dengan mengaduk seluruh Janggala Trung Tuban, Raden Wijaya, dan dia menghadiahi sang Raden dengan Bhumi Tarik sebagai tameng Kadiri dari sungai Brantas, Mengepalai pemeliharaan kuda kuda Pasukan Kadiri,  dalam keadaan darurat melawan penyakit bolor, agar semua perintahnya dilaksanakan.
Para hadirin sangat kaget dan heran,  kaget ternyata si Pelarian malah dapat ganjaran, heran ternyata Raaden Wijaya, menantu Raja Singhasari, perkerja keras dengan perawakan yang tidak menampakkan otot tapi gempal, berwarna gelap dan berdandan cara Pandega perahu Madura.  Mereka malah terdiam, hanya bersorak gembira sampai melonjak lonjak  atas penyadaran sang Aria Tua. Segera minuman ber guci guci dituangkan untuk bersulang cara pemburu.
Aria Wiraraja memegang pundak sang Raden, menandakan sangat lega dan bersjukur,  pelarian yang begitu lama menghadapi maut, berakhir dengan mudah dan menyenangkan.
Gamelan terus ditabuh dengan irama gembira, para waranggono menyanyi dan menari bersama sama hadirin, gempar dan ramai.
Raja masih berkenan tetap duduk di gazebo, bercerita mengenai bagaimana dia membujuk para  pendekar  harimau gadungan dari Lodaya, untuk menjaga rintisan ditengah hutan sepaya dijauhi penduduk  yang tinggal di tepi hutan, bagaimana dia sendiri merencanakan  lintasan  yang  melewati sumber sumber air.
Sebaliknya raden Wijaya mengatakan secara terus terang, bahwa rakyat kecil mengarang cerita mengenai ronmbongan Pelarian itu bukan atas prekarsanya seperti bakul  pecel si Nem yang konon dikabarkan adalah putri raja yang menyamar, Wiyaya terus terang istrinya malah tidak secantik  si Nem sambil tertawa ngakak. Entah kenapa rakyat jadi tergelitik memanfaatkan kesibukan Penjabat kerajaan Kadiri mencari pelarian itu, menggelitik mereka,  pertunjukan  tobong sandiwara jadi laris bukan atas upayanya, Mahaprtabhu Jayakatwang mendengarkan ucapan Raden Wijaya yang sepenggal ini dengan sangat lega, karena siasat murah yang satu ini tetap jadi rahasia selamanya,  bahkan si Wijaya ini tunas unggulan dari  ilmu siasat, samasekali tidak curiga terhadap tahtanya diatas alang  alang kumitir, yang memang hanya sulapan murah.
Sampai larut malam mereka saling bercerita. Sang Prabhu Jayakatwang memang bersemangat sekali  menjadi muda kembali, seperti telah menemukan jati dirinya. *)

14. MATAHARI TERBIT DI WILWATIKTAPURA (SERI 14)
4.02 PM  SUBAGYO KOESNO  NO COMMENTS
  PEMBALASAN  NI RATRI

Sesudah diangkat jadi Tumenggung Bhumi Tarik dan pemulihan  pasukan berkuda, Raden Wijaya segera pergi ke Kling sekali lagi, dengan beberapa pelatih kuda kenamaan dari Kadiri. Mereka berangkat berkuda, dengan bekal  bubukan daun kelor kering yang cukup dimuat dalan karung kain dibalakang kuda masing masing. Raden Wijaya yakin dengan bimbingan catur sanak dia bisa mnyelesaika tugasnya.
                       Keluarganya sudah dipindah dari Pamekasan, Istri dan adik adiknya ini  sudah terbiasa hidup sebagai orang biasa.  Adik ipar lelaki Raden Wijaya sungguh menikmati kebebasan hidup sebagai orang biasa,  berkuda keluar nasuk kampung, untuk melatih kuda kuda yang baru, didatangkan dari Luwu. Mereka berdua biasa menuggang kuda tanpa sadel. cara orang Desa. Entah terkejut karen apa kuda setengah liar ini mendadak berlari masuk pelabuhan Tarik yang lagi ramai, kuda mengamuk dikalangan orang banyak dan berlari menuju keramaian, untung saja ada seorang asing, sepertinya china, menahan kuda ngamuk itu sehingga penunggang tidak terjatuh. Ternyata lelaki china ini sangat mahir bahasa jawa halus, dan menceriterakan bahwa kelurganya akan  ke Kadiri, dari Wilayah Rajegwesi. Untuk nenyatakan terima kasih pemuda ini mampir di penginapan tempat keluarga ini menginap. Sang Babah menceritakan bahwa keluarganya itu sudah lama di pulau Jawa, berdaganang mengumpulan batu kawi untuk dikirim ke China. Pangeran yang diampuni ini mengajak  si Babah  kalau sempat berkunjung ke Pesanggrahan melihat kuda kuda yang baru datang dari Luwu.
Sungguh  kabetulan Babah ini kenal dengan kuda kuda, tabiat dan kesehatannya,  khasiat susu kuda dan lain lainya.  Sang Pengembara dikenalkan kepada Putri istri Raden Wijaya dan saudara  saudarinya,  mereka beercerita bahwa mereka baru di bhumi Tarik ini,  meskipun sekarang Tumenggung tapi miskin. Semua yang ada sekarang adalah pemberian Sang aria Wiraraja dan Seribaginda Mahaprabhu Kadiri. Suaminya ditugaskan nemulihkan jumlah kuda kuda perang beliau, yang susut banyak dari wabah penyakit bolor kuda, suaminya, masih pergi ke Kling, melacak kuda keturunan kuda Atas Angin dengan kuda kuda setempat.
Sang Babah tamu menganjurkan lima puluh kuda kuda dari Luwu ini harus dipisahkan istalnya agak jauh dari istal kuda setempat,  kandang yang meski tidak angin tapi udaranya bebas. Dia mengatakan bahwa bubuk daun kelor memang baik buat kesehatan kuda kuda dan daya tahannya terhadap penyakit. Di China pun, bubuk daun kelor kering ini dipakai sebagai obat untuk manusia juga lebih umum getahnya yang dikeringkan. Orang orang yang memelihara kuda dari Luwu ini harus tidak memegang kuda setempat  yang lain,  jadi sama sekali dipisahkan.   Setiap kuda di totok oleh si Babah ini, dibagian urat penenang, dengan wanti wanti jangan berbuat gaduh dan mengejutkan kuda kuda ini. Dia menunjuk rumah panggung bekas tempat pasukan pengawal supaya dirubah, untuk menempatkan kuda kuda ini, dilapisi dengan jerami. Semua dituruti oleh kepala rumah tangga. Si Babah bilang untuk selama tiga hari dalam makanan kuda kuda itu supaya ditambah gula aren setengah kati sehari. Sang Putri Nyonya rumah sangat berterima kasih atas saran itu, memang suaminya lagi pergi, untuk beberapa lama. Si Babah yang sebenarnya bermarga Yap, selang tiga hari  ke Peanggrahan yang berhalaman sangat luas untuk menegar  kuda, disertai dengan istri dan seorang pemuda tanggung anaknya,  diiringi dengan dua pembawa guci. Setelah menghadap Sang Putri, Orang dari marga Yap ini mengatakan bahwa orang tuanya di China adalah kelurga pedagang kuda, dia membawa larutan untuk diteteskan ke mata kuda kuda yang baru datang dari Luwu, supaya tidak gampang ketularan sakit bolor,  selama tiga hari yang lalu obat tetes mata ini telah ia siapkan. Untuk mencoba bahwa cairan tetes mata ini tidak beracun, dia minta mangkok kecil, dia ambil cairan itu, semangkuk kecil dan dia minum dihadapan sang putri. Dasar putri raja, meskipun sudah jadi orang pelarian berbulan bulan, tapi mencampuri perkerjaan suaminya, urusan kerajaan, yang dia berpikir berguna tidaklah salah, tanpa banyak cing cong dia izinkan upaya ini, dan sekaligus memanggil kepala urusan rumah tangga untuk mengantar tamu Babah ini ke istal yang baru, rumah panggung prajurit yang dirubah jadi istal. Semua kuda nampak jauh lebih baik dari waktu tiba, kulitnya berbulu licin, sudah aktip bergerak, dan makan banyak.
Semua kuda mata kiri kanan sudah ditetes, lebih tepat diguyur dengan air dari guci.   Sambil ngomong omong dengan bahasa Jawa halus walaupun masih kurang jelas dan tidak bisa mengucapkan r dengan jelas,  akhirnya mereka diundang untuk menginap di pesanggrahan sambil menunggu perahu yang akan membawa mereka ke kadiri.  Keluraga Yap ini sangat bersimpati pada tuan putri, dan  adik adiknya yang telah kehilangan seluruh keluarganya. Mereka  yakin dewa dewa tidak akan mebiarkan kekajaman ini, mereka juga kenal betul kelakuan pasukan  berkuda waktu menyerbu.  Malah akhirnya kelurga Yap bersedia untuk tinggal di salah satu Pevilion Pesanggrahan, sambil menunggu  Raden Wijaya, dan ikut menjaga kesehatan kuda kuda yang baru datang dari Luwu,
 Raden Wijaya  datang dengan sepuluh kuda dari  Kling, kebanyakan betina, dari sekitar Desa Ngetos, ada yang sampai ke wilayah Brebeg, dia tebus kuda atas nama Raja, dengan harga yang sangat memadai, meskipun kadang dengan alot, untungnya ada penyakit bolor yang manakutkan si empunya kuda. Orang marga Yap menerangkan bahwa dia menuju ke Kadiri,  untuk tinggal disana, mengumpulkan batu kawi, kemudian dikapalkan ke China. Selebihnya Raden Wijaya cuma tertarik pada pengobatan kuda dengan membuat cairan yang terbuat dari air kelapa yang dicampur dengan bolor kuda, diperam sampai agak asam. Sudah itu ditambah lagi dengan air kelapa satu banding satu. Ini memberi daya tahan tehadap bolor dalam waktu dua bulan penetesan mata ini harus diulang. Raden Wijaya ingat di Madura orang mencegah penularan campak dengan cucian baju orang yang sakit cacar, dicampur dengan air kelapa yang diasamkan. Akhirnya keluarga Yap menyetujui akan tinggal di Pasanggrahan selama raden Wijaya membutuhkannya, asal boleh pulang pergi ke Kadiri dan sekitarnya untuk mencari tahu pengumpulan batu kawi ini. Disetujui oleh sang Raden yang kepepet, dan dijanjikan akan dibantu sekuatnya
Tidak disangka bahwa nyonya Yap sudah jadi sahabat baik Tuan putri dan adik adiknya. Setahun kemudian, waktu keluarga Yap menginap di Pasanggrahan untuk mengantar seperahu batu kawi sambil menunggu jung china tiba, terjadilah huru haru yang besar, Jung Jung perang Kublai Khan sampai di Pelabuhan Terung.  Ujung Galuh, menuju ke Singhasari untuk menghukum  Paduka Kartanegara,  Jumlah jung perang tidak tanggung tanggung dua puluh jung besar besar lengkap dengan seribu serdadu bertameng kuningan dan bermeriam besar besar dari kuningan,
 Pesanggrahan Tarik sama sekali tidak siap untuk kedatangan tamu yang belum tentu tujuannya ini. Untung salah satu jung yang terbesar melempar sauh dekat dengan Pesanggrahan,  Menurunkan sekoci dengan sepuluh orang, rupanya Pimpinan Pasukan berpangkat Laksamana dan perwira dekatnya. langsung disambut dengan la’ang tua dari Pamekasan di geladak yang masih baik dibangun waktu sang Jayakatwang  berkunjung ke Pesanggrahan itu. Saat itu malah keluarga Yap ada disana ikut menemui tamu Laksaman Mongol, dengan rombongan sang putri.
Mau atau tidak Nyonya Yap berlaku sabagi jurubahasa untuk kedua belah fihak. Mereka diperlakukan sebagai tamu yang terhormat, tidak ada lain pilihan. Saudagar Yap dengan Raden Wijaya masih pergi beberapa hari ke Kling. Sang putri bunting besar.  Pasukan Kublai Khan ini sebenanya dalam misi penaklukan di Kawasan Asia Tenggara, seorang Laksaman juga pangeran Mancu. Sang Pangeran Mancu terkesan atas penyambutan yang tidak dia kira, wong tugasnya menjelajah dan menaklukkan bangsa yang masih liar. Diterangkan oleh si Nyonya bahwa tuan Rumah dan suaminya lagi pergi selama empat hari, bahwa tuan Rumah bekerja untuk Raja mengepalai peternakan kuda, karena  dijelaskan bahwa kuda kuda pada mati diseluruh Negara kena penyakit pernafasan, Sang pangeran terus terang bahwa dia dan dua puluh jung bersenjata bertugas dari kaisar Kublai Khan untuk mngajar sopan  santun kepada Raja Singhasari, dan menuntut penaklukan siapapun yang ada di Pulau ini. Sang Nyonya memutuskan dalam hati dialah sekarang pemegang peranan. Nyonya Yap mengatakan bahwa sang pengeran segera harus menuju ke Kadiri di hulu Sungai ini sementara air nasih besar, tidak bisa diundur lama lama kerena air sungai surut,  masuk musim kemarau.    Kadiri telah menaklukkan tiga Kerjaan di jawa dengan rampasan emas tiga gerobak sapi, karena di Wengker ada tambang mas.  Mendadak Putri sang tuan rumah berlutut dengan menyembah, lalu memberikan kalung emas tanda Garuda Wisnu lambang Kerajaan Singhasari, beserta duaratus gentong nafta dari Arosbaya, supaya diambil besok di geladak.  ( Nafta rembesan dari minyak bumi yang dipergunakan untuk pembakar panah api dan priuk api). Rupanya sang Pangeran Mancu sudah tahu garis besar apa yang terjadi di Jawa, dan siapa yang tinggal di Pesanggrahan ini.  Dia menerima lambang kerajaan dengan dua tangan, dan berucap akan mendapat lebih banyak dari ini di Kadiri. Tanpa banyak cing cong, Pangeran ini itu tesenyum dan mengangkat sang Putri dari berlututnya.
Entah karena rokh Ni Ratri masih bergentayangan mencari balas, entah misi terpenting dari pelayaran jung jung perang ini adalah misi penaklukan, Sang Pangeran Mnncu lebih suka menyerbu kerajaan Kadiri yang dengan mudah dia capai dengan melayarkan separo jungnya dengan tiga perempat tentaranya. Nyonya Yap mengajukan diri untuk memilih juru batu (mengukur dalamnya alur pelayaran, sementara perahu berjalan) yang dia kenal juru batu yang handal karena dia sering berlayar hilir mudik sungai ini, mengangkut batu kawi.
Pangeran Nancu menepuk paha, senang sekali bertemu dengan wanita wanita pintar di tempat liar ini. Setelah memberikan sepotong batu giok yang bertulisan emas cakar ayam kepada tuan putri dan menjura sambil mohon pamit desertai dengan janji besuk siang akan menjemput juru batu yang dibutuhkan, dan gentong gentong nafta pasti dia bawa.
Semua rombongan ikut menjura dengan merangkap kepalan tangan di dada dibalas dengan sembah tuan  putri, mereka meninggalkan Pesangrahan dengan gembira.
Semua tidak mengira bahwa tuan putri masih menyisakan  lima ratus  gentong lagi digudang. Segera disuruh menggotong ke perahu untuk diangkut dibagikan ke sepanajng kali Brantas dari Papar sampai ke Wonoasri, wanti wanti setiap desa mengerti cara sederhana membuat panah gajah busur dan anak panahnya dari pucuk bambu, Pulau jawa yang mendapat kesulitan besar diserbu dari  sungai oleh jung jung perang Manchu.

 Dua hari penuh jung jung ini baru didayung ke Kadiri, mendekati kota Kadiri, semua tentara Manchu dengan perisai kuningan dan tombak berkait turun di pelabuhan, seluruh penduduk kota gempar. Para prajurit Mongol berbaris rapi berlari menuju ke kedhaton. Di sekitar kedhaton para prajurit Kadiri sudah berbaris, pasukan berkuda andalan Mahaprabhu Jayakatwang  ada di sayap kanan kiri pasukan darat agak jauh,  siap dengan panah dan busurnya yang istimewa.  Akan tetapi Semua jung membentuk formasi jajar, mengarahkan tembakan meriam meriam besar ke Kedhaton, tidak suatupun yang bisa menahan peluru peluru meriam besar ini, segera suara bergemuruh diseluruh kota, kedhaton porak peranda menghadapi ratusan tembakan meriam meriam besar yang sebenarnya disediakan buat mendobrak kota berbenteng.  Sedang kedhaton Kadiri tidak bertembok tebal seperti benteng.
Peluru meriam yang dalamnya berongga diisi mesiu dengan sumbu, meledak diudara, memporak perandakan para kuda dan prajurit darat. Hanya kekerasan dan disiplin yan membuat prajurit berkuda ini untuk kembali ke baris siaga dan mencegah mereka ini lari pontang panting, sungguh menghadapi musuh yang tak seimbang.  Belum pernah sebelumnya meriam meriam berat diadu dengan barisan prajurit, selain dengan benteng tembok tebal. Prajurit darat Kadiri bersenjatakan tameng kulit kerbau dan tombak panjang, kocar kacir mendapat tembakan meriam dari arah belakang, sedangkan perintah maju diturut hanya supaya tidak hancur ditimpa peluru yang meledak diatas disamping dan dibalakang, pendekya mereka dilumatkan dengan peluru jenis ini, pasuka berkuda dari sayap jauh, meskipun tidak kena tembakan peluru meriam yang bersumbu ledak, toh jumlahnya hanya sedikit hanya lebih sedikit dari seratus pasukan berkuda. Terlebih waktu berlari dengan semangat besar menghadapi formasi pasukan Mungol yang berperisai kuningan, memantulkan sinar api kebakaran Kedhaton, laksana api itu sendiri begerak maju dengan teratur. Serbuan pesukan berkuda yang tidak seberapa dari samping sambil berlari, hanya sedikit berkibat buruk pada formasi tameng kuningan ini karena panah pasukan berkuda tidak bisa menembusnya, tameng ini cukup lebar dan tebal, lagipula tombak yang berkaitan itu telah meminta korban banyak dari pasukan berkuda yang sedikit ini. Sungguh menyedihkan, pasukan berkuda yang perkasa ini hilang dayanya. Mahaprabu Jayakatwang akirnya kehabisan anak panah dan daya gerak kudanya, jatuh dari kudanya karena dijerat dengan laso yang jatuh menjeratnya seperti hujan, beliau tertawan, selain itu semua  pasukan berkudanya lari serabutan menyelamatkan diri, hanya untuk dikait dengan tombak tentara darat mongol dan ditombak ramai ramai. Hanya sedikit yang melarikan diri  selamat. Kedhaton terbakar hebat, pasukan mongol menyerbu kedalam, mereka menuju ke gudang kerajaan dan mendapatkan lebih dari empat gerobak sapi emas dan perak. Kain dan permadani lebih dari enam gerobak yang wutuh  tidak ikut terbakar. Kutuk Ni Ratri terlaksana dengan sepenuhnya.
Waktu tembakan meriam dihentikan, dan tentara betameng kuningan berbaris kembali ke kapal dengan sepuluh gerobak rampasan perang,  Kedhaton masih terbakar hebat,
Mendengar ada jung perang minggir mendarat di Peanggrahan Paden Wijaya lengsung pulang, hanya untuk diantarka ke dermaga depan sambil dibawakan bekal dan diberi minum susu kuda oleh tuan putri, dia dan kudanya beserta dua pengikutnya naik perahu dayung ke seberang sungai, desertia  pesan bahwa Mahaprabhu sangat membutuhkan dia, dan wanti wanti jangan lupa, menyiapkan panah gajah disepanjang pengggiran kali Brantas.  Raden Wijaya dengan beberapa pengikutnya datang di seberang utara sungai Brantas, menemukan sisa sisa pasukan berkuda yang tanpa kuda, sebagian pasukan darat, hanya berteriak teriak dari pinggir sungai dan dibalas dengan tembakan meriam sangat gemuruh, yang makan barongan bambo dipinggir bengawan Brantas, sedikit korban dari penonton yang langsung lari mundur. Raden Wijaya baru ingat pesan wanti wanti sang putri mengenai panah gajah. dia dan sedikit pengikutnya dengan upaya hampir diluar kemampuan manusia berkuda mondar mandir mengerahkan tenaga semua orang lelaki untuk memotong bambu ori dipinggir kali membuat busur panah gajah, yang ditembakkan sambil terlentang diatas papan penembak, busur ditarik dengan kedua tangan, anak panah dari pucuk bambo yang diluruska dengan dipanaskan diatas unggun api, lebih sedepa dengan ujung ujungnya dilibat kain kain apa saja. Bagi rakyat lebih baik telanjang dari dijajah bangsa Mongol. Kain kain ini dilumuri segala minyak terutama minyak jarak yang tertimbun di utara sungai tempat perajin panah istimewa dibuat, Kampung Nyutran.
Jadilah satu busur yang memadai, satu papan untuk pemanah bertelentang, dua kaki keatas menjejak busur, ujung panah dibakar, panah gajah ditembakkan keatas melengkung jatuh tajam kearah perahu perahu jung, yang dari samping tidak bisa dibakar dengan panah api karena dibentengi dengan perisai perisai kuningan dari prajurit darat yang dirangkai dengan rajutan tali tali, mirip sisik ikan,  baju zirah raksasa dikiri kanan lambungnya.  Yang ini kebal terhadap panah api dari samping. Tapi lain dari panah gajah yang ditembakkan keatas, membuat lengkung lintasan anak panah raksasa yang melengkung tajam menukik kebawah, tinggal bagaimana membidik saja.
 Setengah malam lusinan busur busur panah gajah sudah terpasang lengkap dengan papan penembaknya,  anak panah ratusan dibebat sengan apa yang bisa menyerap minyak, dipasang ekor pengarah dan keseimbangan dari belahan daum kelapa  yang dipotong dan diikatkan di ekor anak panah dengan  rapi laksana ekor panah biasa dari bulu angsa.  anak panah bambu jenis kecil yang biasa dibuat gagang sapu, atau ujung bambo yang biasanya tidak lurus. menjelang tengah malam siap ditembakkan dari  Minggiran,Papar Wonoasri dan Kertasana,  Upaya tanpa lelah dlakukan sepanjang sungai oleh  rakyat, menyediakan panah gajah, sepajang kali Brantas.
Setengah dari lingsir malam yang bersejarah, dari Papar sampai ke Ploso, berjajar sepanjang pinggir kali Brantas berlapis lapis panah gajah dibuat  disepanjang tepi sungai oleh rakyat. Para penembak bergantian mencoba sudut tembak yang paling bagus ketengah sungai, artinya anak panah turun hampir lurus kebawan ketengah sungai.
Sulit untuk sang Laksamana, melayari sungai yang tidak lebar dan dikepung bahaya ini,  atau menurunkan prajuritnya  yang  sidikit itu, guna memadamkan semangat perlawanan dengan membantai mereka,  sebagai konsekuensinya harus mepersenjatai mereka dengan tameng kuningan yang telah terpakai untuk melindungi perahu perangnya dari panah api biasa dari samping supaya tidak menancap di lambung.  Toh anak panah gajah ini jatuh dari atas, sehingga menolak anak panah berapi ini sangat sulit, andaikata tidak menancap pada tameng toh jatuh ke geladak atau perut jung yang penuh barang dan mesiu.
Akhirnya sang laksamana dengan marah menembak dengan meriam tanpa henti kemana saja ke pinggiran sungai yang sekira ada orang yang bergerak, sambil menghilir sungai tanpa juru batu, malam lagi. Makin jauh dari  Kadiri makin tepat dan gencar panah gajah berapi ini makin merupakan hujan api yang sulit sekali ditangkis, dari dua sisi kali  yang sempit dibandingkan dengan sungai Mekong, sungai Huang Ho atau sungai Musi, tanpa mendekat ke pinggir yang  penuh penembak panah gajah yang akan membakar perahu.  Menjelang pagi sudah lima diantara jung penyerbu yang terbakar  hebat, kali menjadi ramai orang orang memburu anggauta pasukan mongol yang berenang menepi, dengan bmbu runcing, bahkan menembaki mereka yang naik potongan papan menghilir kali, karena takut minggir. Begitulah hasil panah gajah dadakan dengan akal rakyat yang disulut oleh Raden Wijaya tanpa lelah.  Jayakatwang sebagai tawanan di jung ingat kata kata yang didengarkan tanpa suara, waktu bermain catur dengan Raden Wijaya, Satya haprabhu, gineng pratidina, tansutresna.  Dia jadi memastikan ini semua  digerakkan oleh Raden Wijaya.  Jung yang sampai di Wirasabha hanya dua, yang dinaiki oleh laksamana, telah kandas di dekat pengkolan sungai di Kertasana.  Menjelang pagi,  Raden Wijaya sampai di pinggiran sungai brantas di Kertasana. Menunggu mau  diapakan oleh pendeganya   perahu  perang yang kandas ini  Satu panah gajah ditembakkan oleh rakyat dan anehnya tepat  jatuh ditengah tengah geladak jung yang kandas  itu, membakar barang disekitarnya dan dapat dipadamkan dengan susah payah,  karena tidak seorangpun yang berani menimba air dari sungai.   Para serdadunya meloncat  dan turun ke papan papan untuk  berenang menghilir sungai hanya untuk  jadi sasaran setiap busur panah gajah buatan rakyat dengan anak panahnya bambu  dibebat segala rupa pakaian dan dicelup  minjak nafta !.  Raden Wjaya menandai kok banyak panah gajah yang njala apinya seperti nyala nafta, mulai dari Wonoasri, dan tembakan panah makin lebih tepat ?
Menjelang matahari terbit Jayakatwang di exekusi penggal kepala tanpa suara dan pesan, sesudah itu laksamana Pengeran mongol bunuh diri. Semua anak perahu jung ini manakluk dan Raden Wijaya naik sampan mendekati jung yang kandas ini, lantas mmanjat ke dalam jung,  Dia menlihat sang Mahaprabu sudah kehilangan kepalanya, Laksamana Mongol menggorok lehernya sendiri dengan pedang, tangan kirinya masih menggenggam sesuatu, yang ternyata kalung raja Singhasari berukir garuda Wishnu, lambang kerajaan yang diberikan raja kepadanya.   Lanbang emas itu langsung diambil dari tangan Laksamana yang belum kaku. Salah satu anak buah Raden Wijaya mengambil kepala Mahaprabhu Jayakatwang dlbungkus dengan baju jubah Laksamana yang tidak kena darah. Raden Wijaya diam saja. Dalam jung ini Raden Wijaya menemukan harta rampasan perang pasukan  mongol. Ternyata Laksamana membanjiri lambung yang penuh mesiu ini dan membuat bagian yang tanggelam dari lambung  jung ini bertambah dalam masuk ke air, sehingga kandas di  karang belokan sungai, tidak biasanya belokan sebelah luar sungai jadi dangkal, ya karena dasarnya batu, jadi di bagian dalam belokan ini malah tidak dangkal, bagian luar belokan ini malah mambuat jung perang kandas disitu.
Dengan cepat tempat harta rampasan ini ditutup kain layar, Raden Wijaya menyuruh menimba air dari dalam jung, sebentar saja jung sudah brgerak dari kedudukan kandasnya, dipingirkan dan mengajak rakyat ikut berlayar ramai ramai.  Dari disi Sungai ratusan tembo mengikuti jung rampasan ini sambil bersorak sorak jaya jaya Nusa Jawa.
Jadi sebenarnya Raden Wjaya tidak pernah menyesatkan armada penghukum Mongol untuk menyerang Kadiri,  jugat dak pernah menohok kawan seiring dengan menyerang balik armada penghukum Kublai Kahn seperti yang menjadi sejarah zaman ini. Yang terjadi adalah si Nyonya marga Yap yang bersemangat mendorong sang Pengeran Mancu untuk menjarah kerajaan Kadiri, demi simpatinya kepada sahabatnya  sang putri sulung sang  Kartanegara. Mungkin juga karena kutuk Ni Ratri, tidak ada yang tahu
Memang mestinya  dalam hitungan  akan sangat gampang  dengan meriam meriam besar yang diangkut lewat sungai, mdnggempur Kedhaton Kadiri . Ya memang benar,  Tapi adanya panah gajah berapi yang jatuh adari atas karena lintasannya yang sangat melengkung , artinya panah jenis ini jauh lebih kuat busurnya dari panah biasa, bisa diadakan dengan sangat gampang dan cepat, dari bambo dan daun kelapa sebagai penyeimbang, adalah kreasi yang sangat cepat dan tepat dari rakyat.  Tidak ada yang mnengira bahwa putri masih mengandung  janji kuwajiban membalaskan kematian  ayahandanya. Adalah dharma yang mereka lakukan dengan anggun dan cerdas.  Putri Kartanegara ini yang mendorong rakyat dengan busur dan panah gajah yang dicelup nafta kiriman beliau,   ide cemerlang putri  inilah yang membakar armada penghukum Kublai Khan.
Sore itu Raden Wijaya menemui istri tercintanya,  sambil menggemgam  lambang kerajaan Singhasari  ukian garuda Wisnu yang entah karena apa sampai di tangan sang Laksamana Mongol. Dibalas oleh  sang putri memberikan lempeng batu giok hijau muda yang bertulisan cakar ayam dengan tali merah dari sutra, yang kira kira artinya siapapun yang memegang  lempeng ini akan dibantu oleh setiap prajurit mongol.
Raden Wijaya pergi lagi, mengunjungi jung perang pasukan mongol yang lagi menerima mayat panglimanya,  mereka pada berlutut kearah Raden Wijaya yang menunjukkan lempeg batu giok itu.
Sebagian prajurit dan pandega dilepas pulang ke asalnya sebagian ingin tinggal di bumi Tarik dan Ampel Denta.
Siapa mengira bahwa putra putri sang Kertanegara mengajari rakyat membuat dan menggunakan panah gajah dipinggir kali Brantas dari Papar sampai Kertasana dan Ploso diberi dua gentong nafta setiap desa, dan diajari membuat panah gajah, dengan anak panahnya berekor penyeimbang dari daun kelapa yang dipangkas pendek, adalah untuk menyerang jung jung penjarah ibu kota Kadiri.  Disamping itu tanpa diketahui siapapun penduduk Japan atas kisikan Carat Seto bangkit, ratussan orang berberahu mudik ke wilaya Ketasana, mengerahkan peduduk desa desa bersama dengan ratusan instructor dari Japan mempersiapkan diri berbulan bulan menggunakan panah gajah secara efektip dan alat pembakarnya, dengan upaya bersama.
Ternyata tuan putri dua kali lebih cerdas dari siapapun yang hadir menyambut Laksamana pangeran Manchu kala itu, atau Ni Ratri masih mengharu biru mengarahkan kejadian untuk melaksanakan dendamnya, tiada seorangpun yang tahu *)


15  MATAHARI TERBIT DI WILWATIKTAPURA (SERI 14)
4.02 PM  SUBAGYO KOESNO  NO COMMENTS
  PEMBALASAN  NI RATRI

Sesudah diangkat jadi Tumenggung Bhumi Tarik dan pemulihan  pasukan berkuda, Raden Wijaya segera pergi ke Kling sekali lagi, dengan beberapa pelatih kuda kenamaan dari Kadiri. Mereka berangkat berkuda, dengan bekal  bubukan daun kelor kering yang cukup dimuat dalan karung kain dibalakang kuda masing masing. Raden Wijaya yakin dengan bimbingan catur sanak dia bisa mnyelesaika tugasnya.
                       Keluarganya sudah dipindah dari Pamekasan, Istri dan adik adiknya ini  sudah terbiasa hidup sebagai orang biasa.  Adik ipar lelaki Raden Wijaya sungguh menikmati kebebasan hidup sebagai orang biasa,  berkuda keluar nasuk kampung, untuk melatih kuda kuda yang baru, didatangkan dari Luwu. Mereka berdua biasa menuggang kuda tanpa sadel. cara orang desa. Entah terkejut karen apa kuda setengah liar ini mendadak berlari masuk pelabuhan Tarik yang lagi ramai, kuda mengamuk dikalangan orang banyak dan berlari menuju keramaian, untung saja ada seorang asing, sepertinya china, menahan kuda ngamuk itu sehingga penunggang tidak terjatuh. Ternyata lelaki china ini sangat mahir bahasa jawa halus, dan menceriterakan bahwa kelurganya akan  ke Kadiri, dari Wilayah Rajegwesi. Untuk nenyatakan terima kasih pemuda ini mampir di penginapan tempat keluarga ini menginap. Sang Babah menceritakan bahwa keluarganya itu sudah lama di pulau Jawa, berdaganang mengumpulan batu kawi untuk dikirim ke China. Pangeran yang diampuni ini mengajak  si Babah  kalau sempat berkunjung ke Pesanggrahan melihat kuda kuda yang baru datang dari Luwu.
Sungguh  kabetulan Babah ini kenal dengan kuda kuda, tabiat dan kesehatannya,  khasiat susu kuda dan lain lainya.  Sang Pengembara dikenalkan kepada Putri istri Raden Wijaya dan saudara  saudarinya,  mereka beercerita bahwa mereka baru di bhumi Tarik ini,  meskipun sekarang Tumenggung tapi miskin. Semua yang ada sekarang adalah pemberian Sang aria Wiraraja dan Seribaginda Mahaprabhu Kadiri. Suaminya ditugaskan nemulihkan jumlah kuda kuda perang beliau, yang susut banyak dari wabah penyakit bolor kuda, suaminya, masih pergi ke Kling, melacak kuda keturunan kuda Atas Angin dengan kuda kuda setempat.
Sang Babah tamu menganjurkan lima puluh kuda kuda dari Luwu ini harus dipisahkan istalnya agak jauh dari istal kuda setempat,  kandang yang meski tidak angin tapi udaranya bebas. Dia mengatakan bahwa bubuk daun kelor memang baik buat kesehatan kuda kuda dan daya tahannya terhadap penyakit. Di China pun, bubuk daun kelor kering ini dipakai sebagai obat untuk manusia juga lebih umum getahnya yang dikeringkan. Orang orang yang memelihara kuda dari Luwu ini harus tidak memegang kuda setempat  yang lain,  jadi sama sekali dipisahkan.   Setiap kuda di totok oleh si Babah ini, dibagian urat penenang, dengan wanti wanti jangan berbuat gaduh dan mengejutkan kuda kuda ini. Dia menunjuk rumah panggung bekas tempat pasukan pengawal supaya dirubah, untuk menempatkan kuda kuda ini, dilapisi dengan jerami. Semua dituruti oleh kepala rumah tangga. Si Babah bilang untuk selama tiga hari dalam makanan kuda kuda itu supaya ditambah gula aren setengah kati sehari. Sang Putri Nyonya rumah sangat berterima kasih atas saran itu, memang suaminya lagi pergi, untuk beberapa lama. Si Babah yang sebenarnya bermarga Yap, selang tiga hari  ke Peanggrahan yang berhalaman sangat luas untuk menegar  kuda, disertai dengan istri dan seorang pemuda tanggung anaknya,  diiringi dengan dua pembawa guci. Setelah menghadap Sang Putri, Orang dari marga Yap ini mengatakan bahwa orang tuanya di China adalah kelurga pedagang kuda, dia membawa larutan untuk diteteskan ke mata kuda kuda yang baru datang dari Luwu, supaya tidak gampang ketularan sakit bolor,  selama tiga hari yang lalu obat tetes mata ini telah ia siapkan. Untuk mencoba bahwa cairan tetes mata ini tidak beracun, dia minta mangkok kecil, dia ambil cairan itu, semangkuk kecil dan dia minum dihadapan sang putri. Dasar putri raja, meskipun sudah jadi orang pelarian berbulan bulan, tapi mencampuri perkerjaan suaminya, urusan kerajaan, yang dia berpikir berguna tidaklah salah, tanpa banyak cing cong dia izinkan upaya ini, dan sekaligus memanggil kepala urusan rumah tangga untuk mengantar tamu Babah ini ke istal yang baru, rumah panggung prajurit yang dirubah jadi istal. Semua kuda nampak jauh lebih baik dari waktu tiba, kulitnya berbulu licin, sudah aktip bergerak, dan makan banyak.
Semua kuda mata kiri kanan sudah ditetes, lebih tepat diguyur dengan air dari guci.   Sambil ngomong omong dengan bahasa Jawa halus walaupun masih kurang jelas dan tidak bisa mengucapkan r dengan jelas,  akhirnya mereka diundang untuk menginap di pesanggrahan sambil menunggu perahu yang akan membawa mereka ke kadiri.  Keluraga Yap ini sangat bersimpati pada tuan putri, dan  adik adiknya yang telah kehilangan seluruh keluarganya. Mereka  yakin dewa dewa tidak akan mebiarkan kekajaman ini, mereka juga kenal betul kelakuan pasukan  berkuda waktu menyerbu.  Malah akhirnya kelurga Yap bersedia untuk tinggal di salah satu Pevilion Pesanggrahan, sambil menunggu  Raden Wijaya, dan ikut menjaga kesehatan kuda kuda yang baru datang dari Luwu,
 Raden Wijaya  datang dengan sepuluh kuda dari  Kling, kebanyakan betina, dari sekitar Desa Ngetos, ada yang sampai ke wilayah Brebeg, dia tebus kuda atas nama Raja, dengan harga yang sangat memadai, meskipun kadang dengan alot, untungnya ada penyakit bolor yang manakutkan si empunya kuda. Orang marga Yap menerangkan bahwa dia menuju ke Kadiri,  untuk tinggal disana, mengumpulkan batu kawi, kemudian dikapalkan ke China. Selebihnya Raden Wijaya cuma tertarik pada pengobatan kuda dengan membuat cairan yang terbuat dari air kelapa yang dicampur dengan bolor kuda, diperam sampai agak asam. Sudah itu ditambah lagi dengan air kelapa satu banding satu. Ini memberi daya tahan tehadap bolor dalam waktu dua bulan penetesan mata ini harus diulang. Raden Wijaya ingat di Madura orang mencegah penularan campak dengan cucian baju orang yang sakit cacar, dicampur dengan air kelapa yang diasamkan. Akhirnya keluarga Yap menyetujui akan tinggal di Pasanggrahan selama raden Wijaya membutuhkannya, asal boleh pulang pergi ke Kadiri dan sekitarnya untuk mencari tahu pengumpulan batu kawi ini. Disetujui oleh sang Raden yang kepepet, dan dijanjikan akan dibantu sekuatnya
Tidak disangka bahwa nyonya Yap sudah jadi sahabat baik Tuan putri dan adik adiknya. Setahun kemudian, waktu keluarga Yap menginap di Pasanggrahan untuk mengantar seperahu batu kawi sambil menunggu jung china tiba, terjadilah huru haru yang besar, Jung Jung perang Kublai Khan sampai di Pelabuhan Terung.  Ujung Galuh, menuju ke Singhasari untuk menghukum  Paduka Kartanegara,  Jumlah jung perang tidak tanggung tanggung dua puluh jung besar besar lengkap dengan seribu serdadu bertameng kuningan dan bermeriam besar besar dari kuningan,
 Pesanggrahan Tarik sama sekali tidak siap untuk kedatangan tamu yang belum tentu tujuannya ini. Untung salah satu jung yang terbesar melempar sauh dekat dengan Pesanggrahan,  Menurunkan sekoci dengan sepuluh orang, rupanya Pimpinan Pasukan berpangkat Laksamana dan perwira dekatnya. langsung disambut dengan la’ang tua dari Pamekasan di geladak yang masih baik dibangun waktu sang Jayakatwang  berkunjung ke Pesanggrahan itu. Saat itu malah keluarga Yap ada disana ikut menemui tamu Laksaman Mongol, dengan rombongan sang putri.
Mau atau tidak Nyonya Yap berlaku sabagi jurubahasa untuk kedua belah fihak. Mereka diperlakukan sebagai tamu yang terhormat, tidak ada lain pilihan. Saudagar Yap dengan Raden Wijaya masih pergi beberapa hari ke Kling. Sang putri bunting besar.  Pasukan Kublai Khan ini sebenanya dalam misi penaklukan di Kawasan Asia Tenggara, seorang Laksaman juga pangeran Mancu. Sang Pangeran Mancu terkesan atas penyambutan yang tidak dia kira, wong tugasnya menjelajah dan menaklukkan bangsa yang masih liar. Diterangkan oleh si Nyonya bahwa tuan Rumah dan suaminya lagi pergi selama empat hari, bahwa tuan Rumah bekerja untuk Raja mengepalai peternakan kuda, karena  dijelaskan bahwa kuda kuda pada mati diseluruh Negara kena penyakit pernafasan, Sang pangeran terus terang bahwa dia dan dua puluh jung bersenjata bertugas dari kaisar Kublai Khan untuk mngajar sopan  santun kepada Raja Singhasari, dan menuntut penaklukan siapapun yang ada di Pulau ini. Sang Nyonya memutuskan dalam hati dialah sekarang pemegang peranan. Nyonya Yap mengatakan bahwa sang pengeran segera harus menuju ke Kadiri di hulu Sungai ini sementara air nasih besar, tidak bisa diundur lama lama kerena air sungai surut,  masuk musim kemarau.    Kadiri telah menaklukkan tiga Kerjaan di jawa dengan rampasan emas tiga gerobak sapi, karena di Wengker ada tambang mas.  Mendadak Putri sang tuan rumah berlutut dengan menyembah, lalu memberikan kalung emas tanda Garuda Wisnu lambang Kerajaan Singhasari, beserta duaratus gentong nafta dari Arosbaya, supaya diambil besok di geladak.  ( Nafta rembesan dari minyak bumi yang dipergunakan untuk pembakar panah api dan priuk api). Rupanya sang Pangeran Mancu sudah tahu garis besar apa yang terjadi di Jawa, dan siapa yang tinggal di Pesanggrahan ini.  Dia menerima lambang kerajaan dengan dua tangan, dan berucap akan mendapat lebih banyak dari ini di Kadiri. Tanpa banyak cing cong, Pangeran ini itu tesenyum dan mengangkat sang Putri dari berlututnya.
Entah karena rokh Ni Ratri masih bergentayangan mencari balas, entah misi terpenting dari pelayaran jung jung perang ini adalah misi penaklukan, Sang Pangeran Mnncu lebih suka menyerbu kerajaan Kadiri yang dengan mudah dia capai dengan melayarkan separo jungnya dengan tiga perempat tentaranya. Nyonya Yap mengajukan diri untuk memilih juru batu (mengukur dalamnya alur pelayaran, sementara perahu berjalan) yang dia kenal juru batu yang handal karena dia sering berlayar hilir mudik sungai ini, mengangkut batu kawi.
Pangeran Nancu menepuk paha, senang sekali bertemu dengan wanita wanita pintar di tempat liar ini. Setelah memberikan sepotong batu giok yang bertulisan emas cakar ayam kepada tuan putri dan menjura sambil mohon pamit desertai dengan janji besuk siang akan menjemput juru batu yang dibutuhkan, dan gentong gentong nafta pasti dia bawa.
Semua rombongan ikut menjura dengan merangkap kepalan tangan di dada dibalas dengan sembah tuan  putri, mereka meninggalkan Pesangrahan dengan gembira.
Semua tidak mengira bahwa tuan putri masih menyisakan  lima ratus  gentong lagi digudang. Segera disuruh menggotong ke perahu untuk diangkut dibagikan ke sepanajng kali Brantas dari Papar sampai ke Wonoasri, wanti wanti setiap desa mengerti cara sederhana membuat panah gajah busur dan anak panahnya dari pucuk bambu, Pulau jawa yang mendapat kesulitan besar diserbu dari  sungai oleh jung jung perang Manchu.

 Dua hari penuh jung jung ini baru didayung ke Kadiri, mendekati kota Kadiri, semua tentara Manchu dengan perisai kuningan dan tombak berkait turun di pelabuhan, seluruh penduduk kota gempar. Para prajurit Mongol berbaris rapi berlari menuju ke kedhaton. Di sekitar kedhaton para prajurit Kadiri sudah berbaris, pasukan berkuda andalan Mahaprabhu Jayakatwang  ada di sayap kanan kiri pasukan darat agak jauh,  siap dengan panah dan busurnya yang istimewa.  Akan tetapi Semua jung membentuk formasi jajar, mengarahkan tembakan meriam meriam besar ke Kedhaton, tidak suatupun yang bisa menahan peluru peluru meriam besar ini, segera suara bergemuruh diseluruh kota, kedhaton porak peranda menghadapi ratusan tembakan meriam meriam besar yang sebenarnya disediakan buat mendobrak kota berbenteng.  Sedang kedhaton Kadiri tidak bertembok tebal seperti benteng.
Peluru meriam yang dalamnya berongga diisi mesiu dengan sumbu, meledak diudara, memporak perandakan para kuda dan prajurit darat. Hanya kekerasan dan disiplin yan membuat prajurit berkuda ini untuk kembali ke baris siaga dan mencegah mereka ini lari pontang panting, sungguh menghadapi musuh yang tak seimbang.  Belum pernah sebelumnya meriam meriam berat diadu dengan barisan prajurit, selain dengan benteng tembok tebal. Prajurit darat Kadiri bersenjatakan tameng kulit kerbau dan tombak panjang, kocar kacir mendapat tembakan meriam dari arah belakang, sedangkan perintah maju diturut hanya supaya tidak hancur ditimpa peluru yang meledak diatas disamping dan dibalakang, pendekya mereka dilumatkan dengan peluru jenis ini, pasuka berkuda dari sayap jauh, meskipun tidak kena tembakan peluru meriam yang bersumbu ledak, toh jumlahnya hanya sedikit hanya lebih sedikit dari seratus pasukan berkuda. Terlebih waktu berlari dengan semangat besar menghadapi formasi pasukan Mungol yang berperisai kuningan, memantulkan sinar api kebakaran Kedhaton, laksana api itu sendiri begerak maju dengan teratur. Serbuan pesukan berkuda yang tidak seberapa dari samping sambil berlari, hanya sedikit berkibat buruk pada formasi tameng kuningan ini karena panah pasukan berkuda tidak bisa menembusnya, tameng ini cukup lebar dan tebal, lagipula tombak yang berkaitan itu telah meminta korban banyak dari pasukan berkuda yang sedikit ini. Sungguh menyedihkan, pasukan berkuda yang perkasa ini hilang dayanya. Mahaprabu Jayakatwang akirnya kehabisan anak panah dan daya gerak kudanya, jatuh dari kudanya karena dijerat dengan laso yang jatuh menjeratnya seperti hujan, beliau tertawan, selain itu semua  pasukan berkudanya lari serabutan menyelamatkan diri, hanya untuk dikait dengan tombak tentara darat mongol dan ditombak ramai ramai. Hanya sedikit yang melarikan diri  selamat. Kedhaton terbakar hebat, pasukan mongol menyerbu kedalam, mereka menuju ke gudang kerajaan dan mendapatkan lebih dari empat gerobak sapi emas dan perak. Kain dan permadani lebih dari enam gerobak yang wutuh  tidak ikut terbakar. Kutuk Ni Ratri terlaksana dengan sepenuhnya.
Waktu tembakan meriam dihentikan, dan tentara betameng kuningan berbaris kembali ke kapal dengan sepuluh gerobak rampasan perang,  Kedhaton masih terbakar hebat,
Mendengar ada jung perang minggir mendarat di Peanggrahan Paden Wijaya lengsung pulang, hanya untuk diantarka ke dermaga depan sambil dibawakan bekal dan diberi minum susu kuda oleh tuan putri, dia dan kudanya beserta dua pengikutnya naik perahu dayung ke seberang sungai, desertia  pesan bahwa Mahaprabhu sangat membutuhkan dia, dan wanti wanti jangan lupa, menyiapkan panah gajah disepanjang pengggiran kali Brantas.  Raden Wijaya dengan beberapa pengikutnya datang di seberang utara sungai Brantas, menemukan sisa sisa pasukan berkuda yang tanpa kuda, sebagian pasukan darat, hanya berteriak teriak dari pinggir sungai dan dibalas dengan tembakan meriam sangat gemuruh, yang makan barongan bambo dipinggir bengawan Brantas, sedikit korban dari penonton yang langsung lari mundur. Raden Wijaya baru ingat pesan wanti wanti sang putri mengenai panah gajah. dia dan sedikit pengikutnya dengan upaya hampir diluar kemampuan manusia berkuda mondar mandir mengerahkan tenaga semua orang lelaki untuk memotong bambu ori dipinggir kali membuat busur panah gajah, yang ditembakkan sambil terlentang diatas papan penembak, busur ditarik dengan kedua tangan, anak panah dari pucuk bambo yang diluruska dengan dipanaskan diatas unggun api, lebih sedepa dengan ujung ujungnya dilibat kain kain apa saja. Bagi rakyat lebih baik telanjang dari dijajah bangsa Mongol. Kain kain ini dilumuri segala minyak terutama minyak jarak yang tertimbun di utara sungai tempat perajin panah istimewa dibuat, Kampung Nyutran.
Jadilah satu busur yang memadai, satu papan untuk pemanah bertelentang, dua kaki keatas menjejak busur, ujung panah dibakar, panah gajah ditembakkan keatas melengkung jatuh tajam kearah perahu perahu jung, yang dari samping tidak bisa dibakar dengan panah api karena dibentengi dengan perisai perisai kuningan dari prajurit darat yang dirangkai dengan rajutan tali tali, mirip sisik ikan,  baju zirah raksasa dikiri kanan lambungnya.  Yang ini kebal terhadap panah api dari samping. Tapi lain dari panah gajah yang ditembakkan keatas, membuat lengkung lintasan anak panah raksasa yang melengkung tajam menukik kebawah, tinggal bagaimana membidik saja.
 Setengah malam lusinan busur busur panah gajah sudah terpasang lengkap dengan papan penembaknya,  anak panah ratusan dibebat sengan apa yang bisa menyerap minyak, dipasang ekor pengarah dan keseimbangan dari belahan daum kelapa  yang dipotong dan diikatkan di ekor anak panah dengan  rapi laksana ekor panah biasa dari bulu angsa.  anak panah bambu jenis kecil yang biasa dibuat gagang sapu, atau ujung bambo yang biasanya tidak lurus. menjelang tengah malam siap ditembakkan dari  Minggiran,Papar Wonoasri dan Kertasana,  Upaya tanpa lelah dlakukan sepanjang sungai oleh  rakyat, menyediakan panah gajah, sepajang kali Brantas.
Setengah dari lingsir malam yang bersejarah, dari Papar sampai ke Ploso, berjajar sepanjang pinggir kali Brantas berlapis lapis panah gajah dibuat  disepanjang tepi sungai oleh rakyat. Para penembak bergantian mencoba sudut tembak yang paling bagus ketengah sungai, artinya anak panah turun hampir lurus kebawan ketengah sungai.
Sulit untuk sang Laksamana, melayari sungai yang tidak lebar dan dikepung bahaya ini,  atau menurunkan prajuritnya  yang  sidikit itu, guna memadamkan semangat perlawanan dengan membantai mereka,  sebagai konsekuensinya harus mepersenjatai mereka dengan tameng kuningan yang telah terpakai untuk melindungi perahu perangnya dari panah api biasa dari samping supaya tidak menancap di lambung.  Toh anak panah gajah ini jatuh dari atas, sehingga menolak anak panah berapi ini sangat sulit, andaikata tidak menancap pada tameng toh jatuh ke geladak atau perut jung yang penuh barang dan mesiu.
Akhirnya sang laksamana dengan marah menembak dengan meriam tanpa henti kemana saja ke pinggiran sungai yang sekira ada orang yang bergerak, sambil menghilir sungai tanpa juru batu, malam lagi. Makin jauh dari  Kadiri makin tepat dan gencar panah gajah berapi ini makin merupakan hujan api yang sulit sekali ditangkis, dari dua sisi kali  yang sempit dibandingkan dengan sungai Mekong, sungai Huang Ho atau sungai Musi, tanpa mendekat ke pinggir yang  penuh penembak panah gajah yang akan membakar perahu.  Menjelang pagi sudah lima diantara jung penyerbu yang terbakar  hebat, kali menjadi ramai orang orang memburu anggauta pasukan mongol yang berenang menepi, dengan bmbu runcing, bahkan menembaki mereka yang naik potongan papan menghilir kali, karena takut minggir. Begitulah hasil panah gajah dadakan dengan akal rakyat yang disulut oleh Raden Wijaya tanpa lelah.  Jayakatwang sebagai tawanan di jung ingat kata kata yang didengarkan tanpa suara, waktu bermain catur dengan Raden Wijaya, Satya haprabhu, gineng pratidina, tansutresna.  Dia jadi memastikan ini semua  digerakkan oleh Raden Wijaya.  Jung yang sampai di Wirasabha hanya dua, yang dinaiki oleh laksamana, telah kandas di dekat pengkolan sungai di Kertasana.  Menjelang pagi,  Raden Wijaya sampai di pinggiran sungai brantas di Kertasana. Menunggu mau  diapakan oleh pendeganya   perahu  perang yang kandas ini  Satu panah gajah ditembakkan oleh rakyat dan anehnya tepat  jatuh ditengah tengah geladak jung yang kandas  itu, membakar barang disekitarnya dan dapat dipadamkan dengan susah payah,  karena tidak seorangpun yang berani menimba air dari sungai.   Para serdadunya meloncat  dan turun ke papan papan untuk  berenang menghilir sungai hanya untuk  jadi sasaran setiap busur panah gajah buatan rakyat dengan anak panahnya bambu  dibebat segala rupa pakaian dan dicelup  minjak nafta !.  Raden Wjaya menandai kok banyak panah gajah yang njala apinya seperti nyala nafta, mulai dari Wonoasri, dan tembakan panah makin lebih tepat ?
Menjelang matahari terbit Jayakatwang di exekusi penggal kepala tanpa suara dan pesan, sesudah itu laksamana Pengeran mongol bunuh diri. Semua anak perahu jung ini manakluk dan Raden Wijaya naik sampan mendekati jung yang kandas ini, lantas menanjat ke dalam jung,  Dia menlihat sang Mahaprabu sudah kehilangan kepalanya, Laksamana Mongol menggorok lehernya sendiri dengan pedang, tangan kirinya masih menggenggam sesuatu, yang ternyata kalung raja Singhasari berukir garuda Wishnu, lambang kerajaan yang diberikan raja kepadanya.   Lanbang emas itu langsung diambil dari tangan Laksamana yang belum kaku. Salah satu anak buah Raden Wijaya mengambil kepala Mahaprabhu Jayakatwang dlbungkus dengan baju jubah Laksamana yang tidak kena darah. Raden Wijaya diam saja. Dalam jung ini Raden Wijaya menemukan harta rampasan perang pasukan  mongol. Ternyata Laksamana membanjiri lambung yang penuh mesiu ini dan membuat bagian yang tanggelam dari lambung  jung ini bertambah dalam masuk ke air, sehingga kandas di  karang belokan sungai, tidak biasanya belokan sebelah luar sungai jadi dangkal, ya karena dasarnya batu, jadi di bagian dalam belokan ini malah tidak dangkal, bagian luar belokan ini malah mambuat jung perang kandas disitu.
Dengan cepat tempat harta rampasan ini ditutup kain layar, Raden Wijaya menyuruh menimba air dari dalam jung, sebentar saja jung sudah brgerak dari kedudukan kandasnya, dipingirkan dan mengajak rakyat ikut berlayar ramai ramai.  Dari disi Sungai ratusan tembo mengikuti jung rampasan ini sambil bersorak sorak jaya jaya Nusa Jawa.
Jadi sebenarnya Raden Wjaya tidak pernah menyesatkan armada penghukum Mongol untuk menyerang Kadiri,  jugat dak pernah menohok kawan seiring dengan menyerang balik armada penghukum Kublai Kahn seperti yang menjadi sejarah zaman ini. Yang terjadi adalah si Nyonya marga Yap yang bersemangat mendorong sang Pengeran Mancu untuk menjarah kerajaan Kadiri, demi simpatinya kepada sahabatnya  sang putri sulung sang  Kartanegara. Mungkin juga karena kutuk Ni Ratri, tidak ada yang tahu
Memang mestinya  dalam hitungan  akan sangat gampang  dengan meriam meriam besar yang diangkut lewat sungai, mdnggempur Kedhaton Kadiri . Ya memang benar,  Tapi adanya panah gajah berapi yang jatuh adari atas karena lintasannya yang sangat melengkung , artinya panah jenis ini jauh lebih kuat busurnya dari panah biasa, bisa diadakan dengan sangat gampang dan cepat, dari bambo dan daun kelapa sebagai penyeimbang, adalah kreasi yang sangat cepat dan tepat dari rakyat.  Tidak ada yang mnengira bahwa putri masih mengandung  janji kuwajiban membalaskan kematian  ayahandanya. Adalah dharma yang mereka lakukan dengan anggun dan cerdas.  Putri Kartanegara ini yang mendorong rakyat dengan busur dan panah gajah yang dicelup nafta kiriman beliau,   ide cemerlang putri  inilah yang membakar armada penghukum Kublai Khan.
Sore itu Raden Wijaya menemui istri tercintanya,  sambil menggemgam  lambang kerajaan Singhasari  ukian garuda Wisnu yang entah karena apa sampai di tangan sang Laksamana Mongol. Dibalas oleh  sang putri memberikan lempeng batu giok hijau muda yang bertulisan cakar ayam dengan tali merah dari sutra, yang kira kira artinya siapapun yang memegang  lempeng ini akan dibantu oleh setiap prajurit mongol.
Raden Wijaya pergi lagi, mengunjungi jung perang pasukan mongol yang lagi menerima mayat panglimanya,  mereka pada berlutut kearah Raden Wijaya yang menunjukkan lempeg batu giok itu.
Sebagian prajurit dan pandega dilepas pulang ke asalnya sebagian ingin tinggal di bumi Tarik dan Ampel Denta.
Siapa mengira bahwa putra putri sang Kertanegara mengajari rakyat membuat dan menggunakan panah gajah dipinggir kali Brantas dari Papar sampai Kertasana dan Ploso diberi dua gentong nafta setiap desa, dan diajari membuat panah gajah, dengan anak panahnya berekor penyeimbang dari daun kelapa yang dipangkas pendek, adalah untuk menyerang jung jung penjarah ibu kota Kadiri. Yang tidak diperkirakan adalah bantuan rakyat dan Carat Seto cs dari Japan, dengan beratus ratus penduduk Japan mengarungi mudik sungsi Porong ke Kertasana dengan harta dan tenaga berlipat lipat menyiapkan desa desa pinggir kali Brantas. Ternyata tuan putri dua kali lebih cerdas dari siapapun yang hadir menyambut Laksamana pangeran Manchu kala itu, atau Ni Ratri masih mengharu biru mengarahkan kejadian untuk melaksanakan dendamnya, tiada seorangpun yang tahu *)


Posted in:
Posting Lebih BaruPosting Lama





HARAPAN PARTAI GOLKAR

PERPECAHAN PARTAI GOLKAR PIMPINAAN AGUNG LAKSONO (MUNAS ANCOL) LAWAN ABURIZAL BAKRI (MUNAS BALI)  DAN DISISI LAIN KRONI SETIA NOVANTO KETUA FRAKSI PARTAI GOLKAN DI DPR RI
Nampaknya perpecahan pimpinan Partai Golkar versi Agung Laksono dengan gaya feodal birokrasi dan  Aburizal Bakri dengan gaya feodal monarchy tidak  ikut rame rame banyolan kroni Satrya Novianto di DPR RI selama berbulan bulan. Satu gejala yang sangat aneh, yang bisa mengundang banyak spekulasi dan dugaan. Serangan pembukaan dengan sasaran menyerempet RI 2, yang ikut jadi korban dicatut terang terangan dalan kasus “papa minta saham” – menunjukkan bahwa tokoh pemuka masyarakat alami dari luar Jawa yang menerima kepercayaan Orde Baru untuk diserahi Wilayah seperti halnya RI 2¸Aburizal bakri,  di Jawa Sri Sultan HG IX dan HB X, masih harus mempunyai kualitas bobot yang lain agar diperhitungkan dalam kasus akrobatik politik kelompok DPR RI ini. Lantas apa ? Yaitu tanpa prinsip – alias bahasa Jawa “ mencla mencle”, karena scenario baru membutuhkan sifat ini.
Lihat betapa beraninya kelompok Setia Novanto di DPR RI,  berulah, istilah mereka ‘ber-manuver’’ mencederai kepercayaan rakyat – sudah tidak peduli akan perolehan dukungan rakyat – malah dianggap oleh sebagian pengamat politik “ bunuh diri politik”. Yang tersirat sangat mencurigakan mereka masih menyimpan jurus rahasia lain yang mereka percaya pasti berhasil.
Marilah kita kembangkan spekulasi dan dugaan kita:
Tiga kelompok Partai Golkar bekerja sndiri dendiri Kelompok Agung Laksono dengan feodalisme birokrasi, kelompok AbuirizaL Bakri dengan gaya feodalisme monarki ( “beliau” sering pamer ayahandanya sudah mampu mempekerjakan 10 000 pekerja) dan kelompok “yang mulia” tukang akrobat di DPR RI.  Nampaknya amenunggu Satrya Piningit, untuk membuat hattrick menyatukan tiga kelompok ini. Apa ?
Mereka tahu betul, soliditas pendukung Jokowi/JK sama dengan soliditas pendukung Presiden Gus Dur Alm. soliditas agar agar. Sedangkan konstelasi ketiga kelompok mereka ini adalah konglomerasi dari tiga sesolid gumpalan gunung es dari dana yang beku dikumpul selama Orde Baru 35 tahun berKKN.
Mereka bisa menyulap lapangan Tahrir dari Kairo ke Jakarta, dengan tuntutan NASIONALISASI FREEPORT  yang sangat gagah dan sekaligus menista Pemerintahan Jokowi/Jk, yang pendukungnya sesolid agar agar. Bagaimana bisa melawan tank tank dan drone dan humvee yang mengawal ? ( sekarang masih didalam container container buta/bodong  atas jasa RJ L. )  Mengharapkan dukungan Ikhwahul Muslimin yang disini yang sudah bersiap siap dengan organisasi yang radikal garis keras a'la  ISIS yang diglontor dana dari Lutfi dan Fatonah, dari S A, Ketua Partai Terhukum korupsi Haji dari M A si muka klimis pencetak Bupati dan Gupernur dengan imbalan beton ton emas dan sejenisnya dari golongan yang sama, sangat banyak yang sangat disamarkan dari mata CIA dengan gaya  royal terhadap tahta harta dan wanita,  malah pura pura jadi sungguhan, dimata rakyat Indonesia karena inilah sorga dunia.
Tarnyata mereka milih diam menyaksikan akrobat politik di DPR RI oleh kroni Setia Novanto di PDR RI yang sangat melukai rasa keadilan rakyat banyak secara menyolok dan masih cengengesan. Rupanya sikap diam dan sikap tidak peduli ini punya latar belakang satu upaya yang sudah diharapkan akan menjadi scenario yang akan mereka laksanakan. Yaitu dengan uang yang sangat banyak hasil korupsi selama 35 tanun Orde Baru akan dipakai membeayai demonstrasi besar besaran di setiap kota besar diseluruh Indonesia a’la Kammi /Kappi menuntut nasionalisasi Freeport diikuti dengan tank tank yang mungkin sekarang entah tersembunyi di container container dan operatornya sudah siap  mungkin orang Phillipinas dapat dilipat gandakan jumlahnya untuk mengawal mereka lengkap dengan drone dan humvee mengawal Kammi Kappi versi  baru ini.  Seandaimya scenario mereka ini benar, apakah Pemerintah Jakowi/Jk siap untuk bersikap tegas memberantas aksi radikal radikalan ini sambil menista Pemerintahan Jokowo/Jk ? Apakah scenario radikal radikalan ini bisa mendapat dukungan massa bayaran ? Sebab sangat bukan waktunya untuk radikal radikalan menghadapi sarang laba laba, gelegasi seputar Freeport dengan investasi yang membengkak selama kekuasaan Pemerintah Indonesia sebelumnya di era Orde Baru dan Orde Reformasi dengan pembiaran pembiaran yang disengaja, karena memang ada saham buat papa papa mereka ? Sedang besarnya investasi nyaris mengimbangi investasi terusan Suez kedua yang kapasitasnya berpuluh kali terusan yang lama. Saya  sama sekali tidak mendukung Freeport, tapi realita memang tidak menguntungkan untuk sekedar menyulut kemarahan dan mengorbankan rakyat kecil, yang memang sangat tidak berharga buat Golkar untuk come back !  Kalok Cuma minta bagian lebih ya wajar buat nombokin BPJS dengan bahan medika yang canggih dan mahal dan pencegahan pembakaran gambut saja ya reasonable.
Apabila warning ini mungkin terjadi, maka Waspadalah wahai Penyelenggara Negara, jangan biarkan mereka mengacau. Waspadalah mahasiswa pelajar dan rakyat, tank tank yang dikerahkan akhirnya akan menerror seluruh bangsa ini seperti dimana mana di dunia ini, dan “menasionalisir” seluruh Nusantara, dengan sekutu native politicians seperti mereka kan gampang*)
.  

Sabtu, 19 Desember 2015

GOLKAR.................. SUDAHLAH !!!!!!

GOLKAR………, SUDAHLAH !!
Saya kira, tiga puluh lima tahun cukuplah untuk umurmu yang penuh dengan intimidasi kekerasan, penyesatan  pandangan public dan korupsi. Karena diseluruh Dunia Kekuasaan semacam ini sudah bubar. Lihatlah kekuasaan Raja diraja Syahansyah Iran Reza Pehlevi, L:ihatlah Ferdinand Marcos dengan Kilusang Bagong Lipunan Golkarnya sana, dan kekuasaan Darurat Militer yang bertahun tahun, lihatlah Ne Win dari Myanmar denga Golkanya sana,yang katanya Partai Sosialis,  semua sudah selesai, bubar, karena tidak ada gunanya lagi bagi the big Boss.
Dalil yang tidak terbantahkan mengatakan bahwa masyarakat harus mempunyai struktur yang mampu mendukung mengimbangi kemajuan produktivitas ekonomi yang sangat didukung oleh teknology dan sciences. Masyarakat kapitalis sudah mencapai tahap ketiga dengan menggunakan articifial inteligents lanjutan dari teknologi IT. juga masyarakat pendukungnya di sentra sentra kapitalisme, yang sudah berstrukture dan  berbudaya demokrasi, yang bertanggung jawab.   Sedangkan disisi lain tempat raw material dan pasar masih dalam tahap sangat awal dari   masyarakat demokrasi, malah produkltivitasanya masih setara dengan masyarakat feudal kuno. Seperti yang ada di pulau  pulau di Indonesia, yang tentu saja sangat perlu dipercepat oleh datuknya kapitalis Dunia, jadi masyarakat yang lebih produktip pada derajad structure masyarakat demokrasi yang sebenarnya. Ini bukan jargon atau main main. Gimana melayani kapal pesiar super mereka bila berlibur di Pulau Tidore ? Wong di Surbaya saja sudah repot.
Untuk apa mereka dengan diam diam sudah menyelesaikan penggalian terusan Suez ke dua yang kapasitasnya puluhan kali terusan yang lama ? Bila kegunaannya hanya bisa dipermainkan oleh para politisi akrobatik feudal yang bagi Negeri maju hanya akan membahayakan penanaman modalnya yang sudah super kolosal ? Buat apa hasil perkembangan idustri kapitalis bila hanya bisa dobeli oleh China dan Russia yang dulu waktu masih jadi negeri Sosialis diembargo seketat ketatnya untuk belanja teknologi mederen ? Sedangkan kita sediri negri setengah jajahan dollar tidak mampu beli apa apa, bahkan hasil mutahir dari industri medikapun  yang sangat diperlukan tidak mampu bali ?
Kenstelasi masyarakat dimana Golkar Golkar desemua Negara berkembang harus dibongkar, mereka disposable. Lihat Raja Farouk dari Mesir, Syahansyah Iran Reza Pahlevi, Saddam Husain, Jendral Musyaraff dari Pakistan, Jendral Ne Win dari Myanmar, Markos dari Phillipines, Suharto dari Indonesia, adalah disposable bagi PARA BOSS untuk diganti dengan kekuasaan yang didukung oleh structure msyarakat yang lebih maju lebih produktip untuk mendukung kemajuan produktivitas tahap ke tiga dengan artificial inteligents. ( Lha apa mungkin pembicaraan Setia Novanto dengan cs dengasn boss Freeport sampai derekam dan diserahkan kepanda Menteri ESDM Sudirman Said dan diperdengarkan ke seluruh Negeri, bila tidak seizin sang Super Boss ?  Lha untuk apa kalok tidak untuk menyadarkan politisi setengan mentah ini bahwa gunanya sudah habis ?)
Lha Golkar, yang dilanjutkan oleh Partai Golkar dimana posisi mu kini  di kancah Global Potitik ini ? Kau masih menikmati kerendahan sosial poltik budaya dan produktivitas ekonomi yang menyedihkan dari sebagian bangsamu di pulau pulau yang jauh dari kegiatan ekonomi politik Negaramu. Untung sekali bangsa ini kau telah mempertontonkan muka aslimu di Dewan yang Terhormat DPR RI dengan pembelaanmu kepada kronimu, secara tolol yang hanya cara itu  cara kau mengerti, berkat  teknologi komunikasi telah diketahui nyata nyata oleh rakyat seluruh Negeri dan Dunia, kau masih menggeliat geliat bikin gerakan sakaratul maut, apa boleh buat Allah sudah membiarkan kau bersama kejahatanmu, untuk membebaskan bangsa ini, dari kekuasaan kesesatanmu.  kami muak.  Golkar ………. Sudahlah !!! *) EE nanti dulu.......kami masih punya jurus ampuh menasionalisasi seluruh Nusantara jadi seperti zaman Suharto dulu !!!

Jumat, 11 Desember 2015

10 - 12 MATAHARI TERBIT DI WILWATIKTEPURA : SERANGAN KILAT KE KEDHATON SINGHASARI


PERSIAPAN PENYERBUAN SINGHASARI
Sang Pangeran Agung Kadiri  Jayakatwang yang berhasil dengan gemilang  merampok Wengker, menggertak Kling, sekarang mendapat dukungan dari para Brahmana, jadi  Raja Kerajaan Kadiri. Setahun sesudah itu sang Jayakatwang dengan diam diam menyiapkan penyerbuan ke Singhasari, untuk membalaskan dendamnya kepada Baginda Kertanegara yang telah merebut hati Ni Ratri. Meskipun secuilpun dia tidak mengenal cinta, tapi harga dirinya ter-robek robek oleh kecuekan Ni Ratri  kepadanya, setelah gadis liar ini berkenalan dengan Prabu Kertanegara.  Tentu saja Sang Prabu tidak menyadari hal ini, malah tidak terfikir oleh beliau, bahwa beliau telah membuat sakit hati  yang dalam pada Sosok Kalakatawang.
Pertengahan tahun, paroh kedua  musim hujan, sungai Brantas masih mengalir deras, dengan kedalaman lima depa rata rata di alur utama sungai itu. Jayakatwang mencoba perahu dayung, dalam semalam dapat sampai di tepian mana. Ternyata kebanyakan sampai di hutan hutan tepian desa Ploso paling dekat dan paling jauh diutara hutan hutan menjelang kota Wirasabha.  Jayakatwang meneliti sendiri rintisan dalam hutan yang tidak melewati kampong dan desa, dari hutan tepian kali Brantas hingga ke kaki gunung  Welirang. Maha Prabhu Jayakatwang  merencanakan pasukan berkudanya lewat rintisan ditengah hutan dekat lembah sempit antara kaki gunung Welirang dan kaki gunung Pananggungan. Beberapa rintisan telah dia peroleh. Dari rintisan ini yang berakhir di lembah sempit, diteruskan dengan rintisan ke Purwosari, dikaki gunung Arjuno. Dilembah ini ada  jurang air terjun gunung Baung.  Ada beberapa rintisan yang aman dari mata penduduk. Dengan sedikit berita menyesatkan mengenai rombongan besar ini, seperti perburuan binatang langka untuk banten upacara, atau pencarian tata letak candi pemujaan, atau rencana penyaratan kayu solo ( Pinus merkusii). Gelondong kayu ini memang baik untuk tiang layar perahu besar dan lain sebagainya.
Sebelum rintisan dibuat, di sebarkan berita berita  dari warung warung tuak hunian ramai,  dengan posisi terdekat dengan rintisan ditengah hutan yang direncanakan, tempat berkumpul, tempat berpencar pasukan dalam perjalan rahasia. Pokoknya kerangka cerita yang ditancapkan ke benak penduduk, sekira kepergok dengan rombongan yang sudah dirancanakan.  Berita yang disuguhkan kepada rakyat selau disertai dengan ancaman maut harimau dari Lodhaya dan Campur Darat Kalau perlu dengan korban korbannya yang ter-cabik kepalanya hilang. Kepada penjabat setempat ceritera menganai urat tambang emas, dengan sedikit hadiah picis untuk  persahabatan dengan  petugas rintisan. Untuk para Brahmana, berita mengenai pencarian keletakan lokasi candi pemujaan dan lain sebagainya.
Bila sangat penting dibuatkan jembatan jembatan geladak  yang melewati jurang jurang. Tentu saja rintisan jalan  diterjunkan kebawah dulu agar jembatan jembatan itu tidak terlalu panjang dan tinggi.
Meskipun ini bukan wilayah Kadiri, tapi ditengah hutan, jadi tidak ada yang segera mempersoalkan, itupupun bila ketahuan.  Bila perlu dibuat semacam upaya untuk menakut nakuti penduduk agar tidak masuk hutan dengan harimau harimau gadungan dari Lodhaya yang sangat manjur.  Yang namanya harimau gadungan, artinya menusia yang menguasai ilmu  gaib merubah dirinya jadi harimau, rerajahan dan  pangleakan,  agar penduduk menjauh dari rintisan dan lapangan tempat beristirahat pasukan pasukan berkuda yang harus dirahasiakan rapat rapat sebelum mencapai wilayah Plawangan.
Secara tidak kentara, rintisan telah dibuat beberapa jalur, dengan segenap pengamanan kerahasiannya. Dan juru penunjuk jalan. Rombongan dua malam beristirahat di hutan hutan, dan semalam di jurang  Gunng Baung yang seram.
Ternyata pekerjaan ini sangat memerlukan pimpinan yang cepat mengambil keputusan, mengerahkan tenaga yang ahli dan tenaga kerja yang banyak dalam membuat rintisan yang tepat sacara langsung, secara tidak langsung adalah pasukan telik sandi yang menjaga kerahasiannya.  Menyediakan keperluan istirahat dan makanan untuk kuda dan pasukan yang sudah harus ada di setiap tempat yang  ditentukan.
Dalam dua bulan semua sudah siap dipakai sampai ke lembah air terjun di gunung Baung. Peluncuran pasukan tingal neunggu aba. Dimulai dengan mendayung ke hilir sungai Brantas pada waktu malam. Puluhan perahu katamaran artinya dua perahu digandeng dengan geladak rata untuk kuda kuda, mandarat pagi pagi di hutan hutan tepian kali yang ditetapkan, dan siang hari menempuh jalan rintisan ditengah hutan hutan hingga malam tiba. Semua rombongan harus sudah sampai di tempat istirahat yang sudah ditentukan. Malam ketiga sudah harus berkumpul di lembah air tejun Gunung Baung untuk beristirahat.
Untuk paruh malam ketiga, sebelum tengah malam berkuda secara terbuka ke Singhasari, sambil membunuhi semua orang yang bertemu, dengan panah dari atas kuda yang berlari  Dua puluh anak panah setiap orang sudah ditentukan sasarannya.
Pasukan baris pendem sudah disiapkan bermingu mingu sebelumnya secara bertahap, untuk memancing para penjabat penting  keluar rumah dan dibantai oleh pasukan berkuda dengan panah panahnya yang istimewa. Barisan pendem ini membawa dua obor.  Hasilnya ternyata mengerikan sekali. Lebih dari dua ratus penjabat Tinggi Kerajaan mati terpanah. Istana terbakar hebat dan Raja Kertanegara mati terpanah diantara puing puing wantilan Agung.
Yang mengherankan tapi tidak pernah disaksikan orang, diantara mayat mayat bertebaran di puing puing wantilan Agung ada sesosok mayat wanita muda, Ni Ratri dari Kadiri, rupanya terpanah di dadanya tembus  ke punggung, panah pasukan berkuda Kadiri, khusus yang ini ujungnya  besi tuang yang berbentuk kuncup bung kantil dipaterikan emas sejarum. Anak panah ini khusus milik Jayakatwang, untuk sasaran yang berilmu tinggi *).                


Posted in:
iI MATAHARI TERBIT DI WILWATIKTAPURA (SERI 10)

        PELARIAN DARI KEDATHON SINGHASARI
Pasukan berkuda dari Kadiri menyerbu ibu kota Singhasari dari Utara. Dengan para penunggang kuda yang liar, melarika kuda kudanya dengan kecepatan penuh berbondong bondong tidak beraturan. “Rawe rawe rantas malang malang putung”.  Lepas tengah malam kedengaran titir kulkul dari Utara sayup sayup kemudian makin keselatan ke kota Singhasari dengan makin jelas suaranya.
Memang rupanya inilah kejadian yang paling dia takutkan, perahu perang dikirim ke Palembang dengan tiga perahu besar bercadik , model yang sudah lama, karena pembuatannya boros kaju dan berlayar kurang laju sebanding  dengan luas layarnya. Tapi ketiga perahu bercadik dengan geladak bersusun tiga, kebanggaan Singhasari. Perahu  perahu ini persis serupa dengan perahu besar yang dilukiskan didinding candi Borobudur. dibagian kamadatu. Sedang ibu kota yang tidak bertembok ini tidak seperti biasanya Ibu kota, karena bahaya diserbu oleh gerombolan pasuka barkuda tidak pernah ada.
Raden Wijaya ditemui oleh penjaga peraduan raja dengan sangat tergopoh, gopoh. Diberi titah darurat dengan tegas supaya membawa istreri dan adik adiknya semua melarikan diri lewat pintu rahasia Utara. Segera  disana sudah disediaka kuda lima ekor. terserah menurut situasi, jangan sampai kepergok pasukan berkuda atau siapapun sebelum berkuda sepenginang.
Kelanjutan wangsa Singhasari sepenuhnya ditangannya, sambil menyampaikan kalung kerajaan lambang Garuda Wishnu yang selalu dipakai Baginda, itu berarti Baginda siap mati.
Bagitu gawatnya susasana, sehingga raja tidak bertitah untuk bertahan, ,melainkan melarikan diri dengan kuda menyamar, sampai sepenginangan diperjalanan.
Raden WIjaya segera mengerti betapa gawatnya kedudukan Singhasari dan dia beserta adik adik iparnya sebagai harapan satu satunya untuk pepulih dikemudian hari.
Tanpa berpikir panjang dikumpulkan adik adiknya, dua lelaki tanggung dan tiga remaja putri, bertujuh dengan dia dan istrinya Membawa bekal bumbung kerajaan yang disediakan untuk keadaan darurat. Semua berdandan ringkas semua berdandan ringkas cara prajurit. Berdestar dan pakaian malam segera berangkat dengan lima kuda yang selalu tersedia di istal kuda untuk situasi darurat, dekat pintu rahasia di Utara Kedhaton. Dia satu kuda, isterinya satu kuda,  masih  tiga kuda lagi untuk keempat adiknya. Mereka berkuda dengan langkah drap menuju ke barat laut. Kawasan berhutan lebat. Mereka berkuda merunut jalan setapak agak menanjak. Jalanya pencari madu.
Sepenginang sampai di wilayah dengan semak semak lebat. Wilayah berbentuk  kipas, bekas laharan gunung Arjuno, berpasir campur kerikil, sangat sunyi.
Tempat ini memang jarang di jamah untuk kepentingan apapun karena tanah laharan ini sangat gersang. Raden Wijaya tahu jalan setapak ini, nanti bila menurun sampai di satu Asyram di desa Polaman agak sebelah barat Plawangan. Siang ini dia dan rombongannya berusaha bagerak sejauh mungkin dari Singhasari dan sesedikit mungkin ketemu orang.
Anehnya menjelang fajar, disebelah barat Plawangan rombongan ini bertemu dengan rintisan jalan ditengah hutan, yang menuju ke utara, nampak baru dan dilewati banyak sekali bekas telapak kuda, lebih dari limapuluh ekor, keutara sepanjang lereng timur gunung Arjuno, menembus hutan lebat. Dia langsung tahu bahwa rintisan ini jalan rahasia yang barusan semalam paling lama dua hari yang lalu dilewati pasukan berkuda dari Kadiri. Sudah ditinggalkan oleh pembuatnya karena gunanya sudah diperoleh.
Raden Wijaya berdecak kagum. Dengan mudah rombongan kecil ini mencapai Purwosari lewat rintisan jalan baru ini tanpa ketemu seorangpun. Rombongan beristirahat ditepi  hutan, dekat dengan pakuwon Purwosari.
Mendadak saja mereka ingat bahwa sejak malam mereka belum makan bahkan minun air setegukpun, ketegangan pelarian menyebabkan semua jadi lupa makan dan minum seharian.
Sore itu mereka bertujuh turun dari kuda, menuntun kuda kearah bawah pohon elo besar, yang lagi banyak burung “joan” menyerbu buah elo, menjelang senja. Semua putri raja yang empat orang, nampak lelah tapi tetap tenang, semua berwajah kemerah merahan, nampak kelelahan. Semua mengerti burung burung itu makanan, tapi apa boleh buat, mereka tidak punya alat apapun selain pisau belati yang sangat tajam bawaan Raden Wijaya.
Kedua adik iparnya yang laki laki, tidak membawa panah apalagi sumpit. Toh Wijaya dulunya pangeran yang miskin, bergaul dengan semua orang, sebelum menjadi murid sang Bhismasadhana. Dia dititipkan di satu asyram, sebagai bocah yang suka bermain main dengan anak gembala dari seputar asryam.
Dengan mereka dia belajar renang di sendang yang dingin dan banyak ikannya, karena penduduk takut mengambilnya. Sedangkan dia dan temannya yang paling bengal tidak.
Mereka diam diam sering mengambil ikan tambera yang paling besar terus dibawa ke tepian hutan lalu di panggang dengan bumbu dari pinggiran hutan, garam dan umbut combrang ( laos hutan) di gilas dengan batu hingga halus, dimasukkan rongga tubuh ikan beserta daun daun muda dan berbau harum banyak.
Daun daun dan bumbmu ditempelkan di sekujur kulitnya dibungkus rapat rapat dengan daun combrang dan daun bunga tunjung (teratai) berlapis lapis, dan dipanggang.
Kali ini bukan ikan tapi ayam hutan yang ternyata banyak ditempat itu. Dasar waktu kecil temannya anak gembala, dia pembuat jerat dari serat pohon waru gunung. Wijaya mahir membuat jerat ayam hutan. Menjelang senja Wijaya sudah   mendapat empat ayam hutan, semuanya betina. Langsung di bersihkan bulu bulunya diberi bumbu garam dari bumbung kerajaan bubuk merica dan tumbukan umbut jombrang ( lengkuas hutan) dibalut dedauman pisang dan teratai yang kebetulan ada di sendang kecil delat situ.
Memang bila nampak pohon elo, sekitar situ pasti ada air, entah sungai entah sendang atau danau. Bungkusan dipanggang sampai malam tiba. Waktu dikeluarkan dari unggun api, dan dibuka dengan membelah bungkusan ini, ternyata tercipta aroma harum. Keenam putra putri raja itu makan ayam hutang panggang, seolah olah tidak pernah marasakan masakan ayam. Mereka minum air anak sungai kecil tidak jauh dari pohon elo tempat mereka beristirahat. Sisa api unggun dibuat membenamkan ubi hutan, dan mereka makan dengan lahap. Menjelang malam mereka adik ipar laki laki nampak masih lapar.
Sebelum mendatangi rumah akuwu, Raden Wijaya member isyarat dengan tangan, mengajak mereka berdua berburu oling ( belut raksasa).  Dia sepintas melihat sarang belut raksasa itu di sendang dekat situ, dia jelas melihat bekas bekas buih masih menggerombol dekat semak tepian lain dari sendang itu. Kepala ayam hutan yang tidak ikut dibakar dilubangi dang diikat di telapak tangan kanan sang Raden Bengal ini.  Mereka mendatangi bekas buih diterangi hanya dengan bulan muda, tangan dengan kepala ayam hutan sang Raden pelan pelan dicelupkan di air hanya selengan, tidak berapa lama, ada yang berkecipak keras.
Dengan kedua tangan satu belut sebesar lengan orang dewasa sudah tertangkap dalam genggaman besi tangan kanan, sedang tangan kiri membantu dengan memasukkan jari telunjuk ke insang oling ini sekuat kait besi. sementara  kedua tangan  ini diangkat dengan segera. nampak oling sebesar lengan orang dewasa ini berkelojotan diantara kedua cenkeraman tangan besi sang Raden, Oling atau sidat raksasa memang ikan buas yang paling licin, badannya berlendir sehinga memegangnya harus dengan keberanian dan tekad.
Dengan kaget kedua pemuda tanggung ini hampir berteriak sebelum mendatangi kegirangan, baru teringat mereka adalah pelarian nomer satu, ketika nampak sang raden segera mengelengkan kepalanya sambil mulutnya berdesis.
Mereka makan oling panggang dengan garam,  lebih dari cukup mengenyangkan, bertujuh masih makan sambil tertawa cekikikan seolah olah mereka sedang bercengkrema di halaman istana, sebelum menadatangi rumah Akuwu Purwosari, untungnya penjaga regol masih mengenali Raden Wijaya. Rombongan segera masuk dan regol ditutup. Kuda kuda masih disembunyikan di tempat rombongan beristirahat dihutan untuk kehati hatian. Ternyata benar, sebab Menantu Raja ini pernah berburu rusa dengan Akuwu atas undangan beliau, sedang tadi siang sudah tersiar berita bahwa Singhasari jadi karang abang, hampir semua pembesar Kerajaan terbunuh, termasuk Sribaginda Kartarajasa. Istana terbakar ludes, hampir semua orang tidak percaya, mereka akan berbondong bondong menuju keselatan melihat Ibu Kota.
Ketujuh tamu ini  masuk regol dengan cepat tanpa kuda kuda, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan. Sedangkan Jayakatwang pun belum memasang telik sandi di Pakuwon Purwosari, mengharapkan bahwa seluruh keluarga Raja bakal berkelahi gaya puputan Margarana.
Putra putri Raja langsung beristirahat, Raden Wijaya dan sang Akuwu merundingkan perjalanan selanjutnya ke ruangan pendopo, kuda kuda segera dijemput dan depilhara di istal lain, Mereka berdua berkirim surat singkat saat itu juga dikirim gandek berkuda ke Japan dan Bangil, Habis tengah malam rombongan berganti naik pedati sapi menuju ke Bangil dari pintu samping diantar oleh prajurit tua penjaga Regol. Sehigga dapat dipastikan tidak ada seorangpun yang tahu kedatangan tamu itu selain keluarga Akuwu.
Raden Wijaya mempercayakan nasibnya pada Akuwu Purwosari, sambil mengucupkan tangan didepan dada, salam persahabatan, yang disambut dengan meyakinkan oleh sang Akuwu. Dia tidak akan melapor kepada Tuannya yang baru Raja Kadiri dan Singhasari Sang Mahaprabu jayakatwang. Hal mengenai kedatangan rombongan ini.
Dalam gerobak sapi yang diisi penuh jerami, dedak dan rendeng ( daun kacang tanah kegemaran kuda kuda), diantar penjaga regol dan dua emban yang memang tahu kedatangan tamu ini, mereka bertiduran diantara muatan jerami itu, tidak nampak dari luar.  Matahari sudah tinggi baru sampai di penggiran kota Bangil, yang ramai karena kota itu kota pusat kemasan artinya tempat undagi emas, disana sudah dijemput oleh Pemilik Perahu Madura. Siang nanti segera berlayar ke Trung.
Perahu tidak besar, ditambat di sungai yang membelah kota Bangil, bersama dengan perahu perahu tambangan, ternyata dua emban mamaksa ikut ke Trung, dengan pertimbangan kerahasiaan Raden Wijaya mengabulkan.
Rembang siang hari perahu didayung ke muara tanpa banyak cing cong, dan langsung disambut oleh angin timur yang agak keras, segera layar terisi dan perahu meluncur cepat ke utara. Selang dua hari sesudah hari itu, baru rombongan telik sandi Prabhu jayakatwang desebar di Japan, di Purwosari, para abdi Pakuwon dan Penjaga regol ditanya apa ada tamu kemarin, jawabnya tegas tidak ada, wong tamunya sudah tiga hari sebelum itu. Sudah tidak ada yang tahu kacuali keluarga Akuwu, yang ternyata bisa diandalkan. Dikemudian hari, betahun tahun mendatang masih diingat oleh Raden Wijaya.
Keluarga yang ditingalkan oleh dua emban dijamin oleh Akuwu lebih dari cukup, dan diyakinkan akan keselamatannya. Begitulah sementara romdongan pelarian yang sangat penting dari Kerajaan Singhasari seperti hilang ditelan bumi.
Di Japan sepertinya tidak ada kolong yang tidak diintip, tidak ada pintu yang tertutup bagi telik sandi, tapi sama sekali tanpa hasil sampai berbulan bulan tidak ada berita sampai di telinga Prabhu Jayakatwang tentang Putra Putri Kartanegara dan Raden Wijaya, padahal Prabhu Jayakatwang sudah terlanjur mengumumkan dirinya seperti Dewa, serba tahu.
Yang ini benar benar dia tidak tahu, meskipun ribuan telik sandi dengan jaringan gandek gandek dan burung burung merpati pos, jaringan telik sandi bukan saja di Japan, tapi di Janggala, Trung. Bahkan sampai ke Pasar Uang  Tuban dan Wirasabha, tapi tetap tidak ada berita apa apa selama dua bulan.
Yang lebih menjengkelkan pencaharian pelarian itu sampai jadi bahan ejekan kuli kuli tukang angkut barang di japan, Jenggala dan Trung, bahwa mereka telah menggendong putri putri kerajaan yang cantik cantik  ini menuju ke jung yang berlayar ke negeri Cina, mereka bercerita demikian di warung warung tuak sambil cengengesan, ngerti bahwa disitu pasti ada telik sandi Pabhu Jayakatwang dan pasti berita itu disampaikan pada beliau. Ada yang bercerita bahwa empat putri Raja itu sekarang menyamar sebagai ronggeng di desa Dawuhan, dia sempat menciumnya,  Bercerita begitu sambil pringas pringis, ada yang bilang bahwa si Nem bakul pecel yang cantiknya kelewatan di pasar gede Jenggala itu adalah salah satu Putri Raja  Kartanegara yang menyamar, semua berita itu penting dan sampai ke telinga Rajanya para Dukun, balian mangiwa. yang bertahta di puncak alang alang kumitir. Sang Jayakatwang mengakui bahwa berita berita itu harus dinyatakan semua, membuat dia jadi gila, sambil membanting tongkat pusakanya dihadapan Tumenggungnya para telik sandi Kerajaan.
Malah berita bahwa Prabhu Jayakatwang gila menyebar dimana mana dengan bumbu bumbu tentunya.  Malah ada rombongan tobong ( sandiwara) keliling desa desa yang melakonkan penyamaran putri putri Singhasari dan Raden Wijaya, konon sangat laris dengan banyolan banyolan.
Bagaimana Negara melarangnya, bagaimana melawannya, apa deserbu dengan pasukan berkuda ? Disini dia dimakan oleh siasatnya sendiri, tukang menyiarkan berta bohong.  Rakyat di kota kota pelabuhan ternyata sangat kreatip mengejek kekuasaan Negara dibawah sang Mahapabu Jayakatwang,
Penguasa baru Janggala Kadiri dan Singhasari, bang wetan dan bang kulon.
 Prabhu jayakatwang merasa bahwa perlawanan Rakyat Singhasari, Jenggala, Wirasabha yang terus terusan meluas semacam ini, sangat mnjatuhkan wibawanya. Dalam hati dia mengharapkan Raden Wijaya menakluk dengan sukarela, tapi bagaimana mengumumkannya ? Siapa Yang percaya lagi ?
Menjelang pagi, angin berubah ke barat daya, perahu Madura merubah haluan ke Barat langsung ka Pelabuhan Trung, dimuara Sungai Mas anak sungai Brantas yang lewat kota Trung. Belum sampai selesai merapat di penggiran, ada sosok anak anak yang membawa surat diberikan kepada Raden Wijaya, yang isinya satu Asyram Islam di Ampel Denta menyediakan perahu dayung lengkap untuk pelayaran kemana saja sepanjang kali Brantas. Ini wujud bantuan dari Asyram Ampel Denta kepada Ki Bismasadana dari padepokan Sendang.
 Raden Wijaya sangat bersjukur, ternyata utusan ke Japan yang berangkat dari Purwosari telah sampai kepada sang Bismasadhana yang juga sahabat dari Pendeta Islam dari Ampel Denta.
Parahu biasa, dengan lebar dua depa ditengah dan agak langsing, membawa layar lateen, dengan atap kajang yang agak panjang.  Para pendayungnya muda muda dan berotot, ada tujuh orang, bersalwar dan baju dari kain tenun gedog berwarna putih kotor, ada yang bersorban kain putih. Dayung mereka agak aneh, berupa talempak (semacam tombak pendek dari besi, bermata lebar dua telapak tangan dan panjang ada yang dari besi seluruhnya, disamarkan dengan warna kotor.
Para tamu disuguh dengan wedang jahe, yang dicampurkan dengan kahwa, minuman baru, dari biji kopi yang dibakar hitam jadi dibubuk, dituangkan air mendidih, rasanya agak pahit, desertai dangan makanan juadah dan jenang ayas yang manis , segala manisan buah dan kue rangin. Perahu didayung enam pendayung dengan santai memudik sungai Mas.
Menurut Sang Bhismasadhana, mereka sebaiknya menuju Desa Kudadu, dekat Hutan Ploso, sesudah arah mudik dari Wirasabha. Pelayaran perahu selama dua hari, dengan malam istirahat. Menurut sang Bhismasadhana mereka bisa istirahat lahir dan bathin di Asryam Kudadu, yang letaknya jauh dari japan dan mendekati Tuban, yang bisa ditempuh sehari semalam berkuda.
Raden Wijaya bersalaman dengan mereka, selesai bersalaman meletakkan kedua telapak tangan ke dada cara Muslim, kepada semua pendayung, begitu pula para adik ipar lelaki tanggung mengikuti dengan tersenyum kikuk. Para santri dari Ampel Denta ini rata rata sopan terhadap anggauta rombongan kaum putri, yang sekarang jadi enam orang. Awak perahu yang tujuh orang itu memang sangat sopan dan terpelajar, menulis surat di daun lontar tipis dan diikatkan di kaki burung dara pos dikaki burung itu dan dilepaskan tiga ekor. Mereka membawa enam sangkar dalam perahunya.
Tidak sekalipun pandangan mereka tidak wajar terhadap kaum wanita penumpangnya, yang ternyata gadis gadis remaja yang cantik cantik kecuali dua emban yang malah sering menunjukan sifat wanitanya dengan sopan. Para pendayung ini melakukan upacara agama mereka tepat lima kali sehari menurut edaran waktu ditandai dengan posisi matahari. Menghadap ke barat dengan bergantian tiga orang tiga orang, Perahu ditotog dengan galah panjang. Sungai Brantas sudah tidak sederas dua bulan yang lalu, mereka mendayung dngan santai dan nampak ringan saja, meskipun Raden Wijaya tahu persis bahwa dayung dayung itu denjata yang dahsyat dan berat, bisa melubangi dinding perahu dengan mudah.
Raden Wijaya merasa sangat beruntung mengawal istrinya dan putri putri raja, yang bersifat mudah menyesuaikan diri dengan keadaan dan mudah bergaul dengan siapa saja, wajar tanpa canggung, begitu pula dua emban yang ikut dari Purwosari.
Merka membangun rumah sendiri dekat pesantren Ploso, Raden Wijaya dan Para adik iparnya para pemuda tanggung, mendekat ke Asyran di Kudadu. Dalam dua minggu saja makin banyak orang yang permukim diantara Ploso dan Kudadu, dibawah perlindungan Brahmana Rsi di Kudadu, termasuk pesantren di Ploso, tepi kali Brantas. Sebulan para pelarian ada di Kudadu, dengan tambah pengikut antara limabelas orang tiga wanita, semua ahli memelihara burug dara dan kuda kuda. Hubungan dengan Tuban direntangkan dengan bantuan santri dari Ampel Denta, burung dara pos bisa dikirim dan mererima berita dari Japan, Ampel Denta dan Tuban.
Rupanya Sang Jayakatwang saking jengkel mengerahkan pasuka berkuda, Wirasabha dan termasuk Ploso. Rupanya dari Tuban ada usulan untuk mohon perlindungan ke Madura Aria tua itu, sang Wiraraja.
Ronbongan Pelarian pindah dengan perahu, ke Pinggiran sungai Porong dan ganti mengendarai gerobak lagi ke Wilayah Jenggala dengan kawalan dari kaum yang mencintai Singhasari.  Rombongan serupa yang agak menyolok bergerak ke Pamotan, tapi hilang di jalan, karena hanya untuk gerakan penyesatan saja.
Robongan dipecah menjadi dua, bertemu di Kedung Peluk setelah seminggu kemudian.
Rombongan dibimbing oleh teman teman Raden Wijaya, dengan gandek pembawa berita dimuka dan dibelakang, menganyam jejak pasukan berkuda, yang dibuat bingung oleh berita berita yang menyesatkan, sekarang malah secara acak mengunjungi Pasar Pasar,dengan Gambar par putri dan putra raja beserta Raden Wijaya. Berkat bimbingan para pedagang simpatisan Singhasari, dibantu oleh kaum santri dari Ampel Den
 ta, rombongan tidak pernah ada disuatu tempat disatu waktu dengan para pengejarnya. Akhirnya kedua rombongan sampai di Kedung Peluk, hampir bersamaan waktu. Perahu perahu sudah disediakan menghilir sungai Rambut, kebetulan waktu pasang. Dimuara tempat rumah benteng disatu pulau seorang sudagar putri dengan banyak perahu dan barang dagangan tinggal, Putri Sekar Dadu. Salah satu perahunya dipakai untuk berlayar ke Pamekasan oleh rombongan pelarian.
Sementara itu berbulan bulan pengejaran di tempat tempat yang dicurigai tetap dilakukan berbulan bulan kemudian, yang sengaja disiarkan untuk menyesatkan pencarian.*)
12. MATAHARI TERBIT DIWILWATIKTAPURA (SERI 11)
3.58 PM  SUBAGYO KOESNO  NO COMMENTS
     
     
PAHITNYA EMPEDU DI TENGAH KEJAYAAN JAYAKATWANG

Penyerbuan pasukan berkuda dengan persiapan berbulan bulan ke Ibu Kota Singhasari berhasil   sangat memuaskan. Hampir semua pembesar Kerajaan tebunuh, Sang Prabhu Kertanegara sekeluarganya melakukan puputan. Kecuali enam putra putri Kerajaan bersama dengan Raden Wijaya, mayat mayatnya tidak ditemukan,  Berbulan bulan hilang seperti ditelan bumi. Selama petempuran singkat di Wantilan Agung kerajaan Singhasari, ada sesosok orang berilmu tinggi, yang ikut membela Sang Prabhu mati matian pempertaruhka nyawa, walau agak terlambat, Dalam kilatan kobaran api dan asap yang tebal mengepul, Jayakatwang melepaskan panah dengan tiba tiba dari kudanya yang berlari kencang, sosok itu yang telah merobohkan lima perwiranya dengan lemparan bunga seroja, yaitu semacan senjata rahasia dari besi tuang yang ditajamkan setiap daun bunganya, delempar dengan tenaga dalam. Jayakatwang me manah sosok itu selagi meluncur diudara, begitu jatuh masih sempat melempar bunga seroja yang mematikan seorang lagi perwiranya berkuda.  Setelah sang Jayakatwang memutar kuda dan menghampiri sosok berilmu tinggi ini mencelos hatinya, sekaligus membanjir keringat dinginnya, ternyata yang ditembak selagi meluncur diudara itu adala Ni Ratri, wanita idamannya, sungguh dia tidak mengira, karena sosok itu berdandan sebagai  lelaki dan berjubah hitam mengikat rambutnya dengan kain hitam, layaknya golongan hitam yang lain. Ni Ratri masih sempat meregang nyawa di pelukannya, masih mengenalinya, menjawab permohonannya dengan setengah berbisik mengigau, layaknya orang yang meregang nyawa, bahwa dia berterimakasih telah dihantarkan ke Yomani, mati  menyusul kakang Gembluk, tapi dia Kalakatawang  akan mendapatkan pembalasannya, kuda kudanya akan binasa dan Kedhaton Kadiri juga akan musnah terbakar, Ni Ratri mati ditangannya.  Sang Jayakatwang tahu persis, Ni Ratri akan kebal terhadap segala senjata yang bukan di lekatkan di tajamnya dengan sepotong emas, sedangkan yang memanah kekasihnya hanya dia. Wantilan Agung terbakar hebat, Jayakatwang sudah ditinggal oleh pasukannya sesuai rencana  penyerbuan. Dengan perasaan ndak karu karuan Ni Ratri dinaikkan tertelungkup di kudanya, sambil meloncat dan mengeprak kuda dia larikan kudanya mencari jalan diantara kayu bangunan yang terbakar dan runtuh, menyusul pasukannya yang sudah keluar ke alun alun,  menunggu Junjungannya. Mayat wanita liar ini dia kuburkan di penggir alun alun, Singhasari dengan penyesalan yang mendalam, setelah menguburkan mayat kekasihnya yang meninggalkannya dengan semena mena, walau dia masih lekat dengan kenangan  manisnya.  Sambil terhuyung huyung  dibantu naik kudanya dan berjalan pelan pelan beserta beberapa pasukannya.  Tiba tiba saja dia menjerit melolong tanpa arti sambil mengeprak kudanya yang langsung berdiri pada dua kaki belakang  langsung melompat berlari sekencang kencangnya layaknya kuda gila. Pengikutnya beberapa orang anggauta pasukan  berkuda mengejar dibelakangnya makin  ketinggalan. Sang Prabu Jayakatwang pingsan diatas kuda yang berlari, teronggok menelungkup memeluk leher kudanya, untung saja sekaligus tersusul oleh anggauta pasukan yang juga pasti penunggang yang hebat, salah satu dari mereka nendekati  kuda sang Prabu, sambil meloncat keatas kuda Sang Jayakatwang  langsung  memegangi kuduk beliau sambil memeluk pinggangnya agar tidak jatuh.
         Sang jayakatwang baru sadar di Ngantang sudah ditidurkan didalam kemah Raja, dekelilingi para tabib istana. Detak nadinya bagus, beliau hanya menderita keguncangan bathin yang hebat. Para tabib bingung, sosok sesakti Mahaprabhu Jayakatwang kok sampai begitu, apa bertemu dengan Bhatari Durga ?
 Sebulan setelah menerima utusan penaklukan Singhasari  dari penjabat kerajaan yang masih hidup, sang Mahaprabhu jayakatwang, Raja  Kadiri, Janggala, Singhasari, yang bertahta diatas alang alang kumitir, telah diricuki oleh upaya pencarian berita menghilangnya putra putri Sang Kartanegara beserta raden Wijaya, seperti hilang ditelan Bhumi, tiada kabar berita dimana keberadaannya, meskipun telik sandi disebar dimana mana, terutama Japan. Janggala Wirasabha Pamotan dan Trung. Malah diterima berita berita palsu, berita berita melecehkan kesaktiannya sebagai Rajanya para Balian dan Dukun, dan disegani para Brahamana Rsi, keturunan titisan Bhatara  Shiwa sendiri. Beliau sendiri merencanakan pengejaran dengan telik sandi, mencocokkan semua kebenaran berita mbok Bakul sinambi wara,   beaya ditambah hampir tidak terbatas untuk Tumenggung telik sandi, wilayah pencarian diperluas sampai Tuban, Pasar Uang, Prabalngga, Kling. Pamotan. gambar gambar disebar, hadiah dijanjikan sampai limaratus picis emas bagi siapa saja yang melaporkan keberadaan pelarian nomer satu dari Singhasari ini, semua sudah empat bulan sia sia. Bulan ke lima  Mahaprabhu Jayakatwang benar benar kehabisan akal, lantas dimainkan kartu Sang Jayakatwang yang terakhir, para pesukan berkuda. Ratusan mereka dikerahkan beregu untuk menyisir wilayah luas. Makin menyempit di Janggala Trung dan Japan, disisir sampai ke pasar pasar bila waktu pasaran, ke Bandar Bandar dimana perahu keluar masuk, ke semua ashram dan sasana silat, kesemua tempat orang berkumpul dan bergosip.
Sekarang pasukan berkuda beregu dipersenjatai dengan gambar gambar putra dan putri raja dari  depan dan samping putra putri raja dan raden Wijaya, malah jadi ejekan, banyak wanita yang berdandan layaknya butri banyak tukang angkut jang menyombong telah bertemu mereka, masih yang brceloteh untuk menarik perhatian,  disiksa oleh pasukan berkuda saking jengkelnya perwira atasan pasukan ini mencambuki saipapun yang berani clometan menjawab pertanyaan beliau. Menjelang satu tahun para Pelarian ini menghilang, kuda kuda Sang Jayakatwang mati satu demi  satu, kejangkitan sakit bolor, penyakit pernafasan kuda yang mematikan dan sangat menular. Penyakit ini tidak kunjung mereda baik kemarau atau musim penghujan, saban hari puluhan bahkan ratusan kuda kuda tidak peduli milik siapa mati. Sudah dikerahkan ahli ahli pengobatan dan azimat kuda kuda, penularan masih meraja lela, menular pada para penunggangnya yang hidupnya dekat sekali dengan tunggangannya. Telah didatangkan tabib kuda dari Atas Angin, dari China, menghabiskan picis emas kerajaan untuk orang mencari  kuda sebagai pengganti kuda yang mati. Menjelang  tahun kedua hilangnya pelarian pelarian ini, yang menurut kabar angin juga menyebarkan penyakit bolor kuda, berupa putri putri cantik yang membawa pedupaan keliling hunian dan istal istal, sambil berjalan terbang tanpa menapak tanah, malah segera kuda kuda pada sakit, dan mati. Dengan demikian para gadis gadis sangat takut untuk mempersembahkan banten di surup surya, sandya kala, di muka rumah dan Pura, takut dikeroyok regu berkuda sebagai putri jadi jadian yang menyebarkan penyakit kuda dan manusia. Emang sekarangpun penyakit malleus/ bolor kuda ini juga masih sulit diberantas, segera jadi epidemi dan jadi persoalan Nasional. Sesudah sang Jayakatwang, di Jawa semua kerajaan tidak mampu lagi mempertahankan keberadaan pasukan berkuda secara massif. Mungkin Suasana tropis  basah ini memang tidak begitu cocok dengan kehidupan kuda kuda, kecuali dengan perawatan yang teliti dan obat obatan moderen. Kecuali di NTT dan Sulawesi, yang beriklim lebih  kering.
     Waktu itu satu setengah tahun sesudah pengejaran  Pelarian Singhasari yang sia sia, Sang Mahaprabhu Penakluk jadi tawar,  hanya dia yang tahu bahwa kehilangan pasukan berkudanya adalah kutukan Ni Ratri, kekasihnya sendiri yang dia panah dengan panah yang berujung dipateri dengan emas.  Hanya dia sendiri yang tahu. Dengan susah payah,  tidak mengenal lelah, diwujudkannya pembalasan dendam yang hanya Ni Ratri dan dia saja yang tahu betapa dendamnya kepada Prabhu Kertanegara yang sampai kehilangan nyawanya dan sekaligus Kerajaannya. Hanya membuahkan kekecewaan yang amat sangat karena hadirnya Kakanda Gembluk lah yang tetap di benak Ni Ratri.
Kuda kuda yang telah mengangkat derajadnya begitu tinggi, musnah, nampaknya tanpa bisa ditolong, dia sampai menagis kaya anak kecil waktu kuda kesayangannya si Gagak Rimang kena penyakit bolor, dan mati dalam lima hari, tanpa bisa ditolong.
Dalam kasedihannya yang beruntun  ini dia berpikir hanya Wijayalah yang tentu mengerti petapa hebatnya upaya dia menaklukkan kerajaan kiri kanan dan Singhasari. Kini hanya Wijayalah yang mengerti kejayaan itu adalah upayanya pribadi yang tekun, teliti dan tanpa salah, memajukan pasukan berkuda mendekati Singhasari dari utara, menghilir sungai memutari pegunungan dan bersembunyi di jurang Baung, orang senegara tidak ada yang mengira, karena berhasil bersempunyi selama empat  hari sampai di Gunung Baung, tidak termasuk satu bulan membuat rintisan yang panjang sekali ditengah tengah hutan dan tiada seorangkun yang curiga. Ini sebenarnya adalah maha karya yang sangat besar memerlukan tenaga dan pikiran sampai ke batasnya, baru dewa dewa dan cuaca yang membantu. Bukan karena dia dianggap keturunan Bathara Syiwa, dia sendiri cerdas lebih dari orang biasa, kenyataan itulah yang dia dambakan untuk mengharumkan namanya. Dialah orangnya satu satunya yang mencipatkan anak panah yang bisa menembus dengan mudah perisai kulit kerbau..
Satu satunya akal yang iya tidak  banggakan, malah sudah dilakonkan oleh tobong lakon Prabhu Jayakatwang bertahta diatas alang alang kumitir, tapi diatas panggung sandiwara. Dalam hati Mahaprabhu Penipu ini  khawatir sekali bila raden Wijaya  meraba sulapannya yang murahan, karena itu tipuan murah sekali, andaikata si Wijaya tahu saja.  Malah para pemain sandiwara telah melakukannya secara sangat tidak sengaja, bertengger diatas alang alang kumitir. Dia, sekarang Mahaprabhu Nata Janggala Kadiri Singhasari, sangat kepingin bertemu dengan Raden ini dan berdamai dengan Wijaya dari pada namanya dipermainkan orang kecil detertawakan dimana mana. Dia berfikir begitu hanya pada saat dia sendirian, takut pikirannya dibaca orang, sambil tersenyum  pahit sendiri. Para abdi melihat dari kejauhan,  mengira bahwa raja sudah benar benar gila.*)
       


Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More