Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

INDONESIA PUSAKA TANAH AIR KITA

Indonesia Tanah Air Beta, Pusaka Abadi nan Jaya, Indonesia tempatku mengabdikan ilmuku, tempat berlindung di hari Tua, Sampai akhir menutup mata

This is default featured post 2 title

My Family, keluargaku bersama mengarungi samudra kehidupan

This is default featured post 3 title

Bersama cucu di Bogor, santai dulu refreshing mind

This is default featured post 4 title

Olah raga Yoga baik untuk mind body and soul

This is default featured post 5 title

Tanah Air Kita Bangsa Indonesia yang hidup di khatulistiwa ini adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus senantiasa kita lestarikan

This is default featured post 3 title

Cucu-cucuku, menantu-menantu dan anakku yang ragil

This is default featured post 3 title

Jenis tanaman apa saja bisa membuat mata, hati dan pikiran kita sejuk

Sabtu, 13 Januari 2024

ROHINGYA BERGURU PADA NU, tulisan yang sudah dilwngkapi.

 

ROHINGYA BERGURU PADA NU, tulisan yang sudah dilwngkapi.

Jangan marah dulu, dari fisikya, orang Rohingya kok mirip orang Banglades, yang dulunya termasuk Pakistan, banyak etnologist menyebut indo arian. Kan semenjak abad pertama Bani Mu’awiyah sangat sukses mengadakan syi’ar islam dari Magribi sampai Mesopotamia, berkat satunya komando sistim otokrasi di tangan Sultan……dan daya tarik ghanimah yang diperoleh. Kepala Negara BUKAN LAGI AMIRUL MUKMININ, KAYAK KANJENG NABI DAN PARA KHALIFAURRASYIDDIN, tapi otocrat SULTAN. JADI RAKYAT DIBAWAH SATU OTORITAS UNTUK TAKLID : PADA SULTAN DAN KADHI-NYA. Artinya kembali pada adat kebiasaan penghuni gurun pasir, selalu dibawah pimpinan tegas dan keras seorang Patriarch, Otocrat dan salah satu keturunannya nanti.

Mandala perang sampai puluhan ribu prajurit berkuda dan onta ontanya, bukan kelompok rakyat yang membentuk pasukan berani mati…. Orang Baduin model Abu Dzar, dari oasis Giffar, tanpa bekal makan cukup untuk dia … dan baju zirah, hanya semangat jihad fi sabilillah. tahun tahun pertama islam memenangkan Mekkah, hanya kaum sejenis campur aduk Beduin kaumnya Abu Dzar dari oasis2 Sekitar Makkah dan rakyat Makkah, pembela Rasulullah….Semua berbekal sendiri ndak berbaju zirah…..Segera beda dari masa berikutnya, tentara islam dibekali oleh semangat dan tekad berjihad fi sbilillah yang sangat kuat, dan bekal cukup masing masing pasukan perang kilat menghasilkan kemenangan pada tahap pertama mempertahanan islam, dengan menjauhkan perbatasan musuh musuh islam, sejauh mungkin dari Mekkah.                                       THE SOUNDEST DEFENCE , IS ATTACT. Perkembangan lebih lanjut dari penyerbuan ini, jumlah pasukan tambah besar, masih diikuti rombongan pembantu mencari air, mendirikan tenda tenda, memeliara hewan tunggangan pasukan dan alat alat perang yang semakin besar, karena inisiator penyerbuannya seorang Sultan, wilayah kaya keperti Mesir, Maroko , semenanjung Spanyol dan Babylonia dengan mudah dilibas, pasukan tempur rata rata pemberani luar biasa. Bekas budak yang dibebaskan islam, populer karena suaranya sebagai muazin, sangat bersemagat dan berani, Bilal, si bekas budak Afrika – karena perbudaan dilarang agamanya. Setelah Babylonia ditaklukkan, timbul problim. rapat konon berhari hari , dijalankan dengan panas, masih dengan pmpinannya salah seorang Khalifaurrashidddin, mengenai tuntutan Bilal membagi tanah pertanian yang subur diantara Sungai Ephrat dan Tigris, kepada penakluknya. Pendapat kalifaurrasyidin, menang – Tanah pertanian subur dimiliki Negara, siapapun mengusahakan bayar sewa kenegara. Sebab mendatang tak ada lagi tanah sesubur itu….lantas si Pemberani seperti Bilal sendiri akan dapat apa ? Juga bayar keamanan dan tata-tertib masyarakat islam bantuan pada laum du'afa dsan yatim pIatu dibeayai dengan apa, oleh siapa ?  Sampai di Pakistan, sebagian rombongan kaum kuli slpil, minta bantuan PINJAM bidang tanah pertanian dari potensi panennya, petani setempat untuk ditanami logistik bekal perang, yang sudah terlalu jauh dari Pusat asal mandala perang suci ini, tidak mungkin minta kiriman dari negara asal, jadi diberi bagian garapan lanah dengan ihlas olen penggarap setempat demi perjuangan mnyiarkan jalan ALLAH – JIHAD FI SABILILLAH - kata Ulamnaya mati masuk sorga. Lha melewati anak benua india yang Hindu digarap sendiri oleh Kesultaan islam disana lihat film India Joda Akbar, islam kan ? Sebagian besar mandala perang jihad balik ke Barat, karena kendaraan tempur kuda dan onta tidak cocok dengan iklim medan selajutnya di dataran rendah lembah sungai Gangga dan Brahmaputra yang beriklim tropis basah, dan dihuni oleh bangsa Asia Tenggara yang berdarah Mongol, dan beragama Budha campuran agama Hindu……. Maka sebagian rombongan non militer, yang biasa meminjam mereka dibelakang, ridak ikut pulang …… keenakan menggarap tanah padi berpengairan di lembah Bangladesh perbatasan dengan Burma …….Posisi hablulminalnas kaum pengikut mandala besar perang jihad, dengan petani setemat jadi tidak harmonis, diwilayah Burma Selatan….yang ditinggali oleh masyarakat lama, dengan gaya pemerintahan lama. Setelah bermukim disitu tanpa perhatian penguasa Europa dan penguasa setempat, timbullah “Kerajaan” ARAKAN dari kelopmok indo aria ini, sempat mendatangkan kelengkapan kerajaan dari Barat lewat taut. Kelompok ini dengan kebiasaannya sendiri , terpisah dari penghuni lama setempat yang Budhis dengan komplexitas keturuman ras Mngoloid.

Situasi di Nusantara, tanpa mandala perang yang sudah tidak meneruskan pelebaran wilayah karena tidak punya andalan senjata untuk menaklukkna wilaya kepulauan ….Sedab kuda dan onta habis mati kena penyakit.

Maka para Wali islam di Gresik, pulau Jawa, semua sarjana ulama berbagai bidang ilmu dari kebudayaan yang lebih maju disekitar jazerah Hejaz, padahal asal mereka dari Iran dan Yunnan China, menggunakan hubngan baik dengan Kerajaan dagang tipe penyatuan kabupaten 2, semacam USA, Majapahit - jadi Hindu moderat, sampai sekarang d Bali , karena sentra moralnya bukan lagi dicandi 2 dan asyram Brahmananya ….. tapi pasar rempah rempah berkualitas awetan dan kayu jati sedikit kerajinan rakyat, hasil hutan, damar…di Bali sekarang dari turisme, sedang dulu banyak yang lari kleluar Bali untuk memeluk agama lain….maka moderasi ajaran islam para wali yang Sembilan, dikumpulkan dari luar Hejaz, Wali songo mendapatkan ilmunya bukan saja dari daerah Hejaz , tapi Lebanon, Siria turkiye, Mesir, dan Babylonia, Andalusia. yang mencakup budaya perilaku ksatrya Hindu, merupakan model perilaku laum kasta tinggi Hindu yang jadi mu’alaf sukarela dihilangkan previleges kastryanya – menjadi islam yang sejuk islam Nusantara , karena para Wali 9 membebaskan mereka mempelajari hakikat islam dan makrifart islam dari kitab kitab ulama Babylonia dan ulama Turkiye , yang berkembang dengan baik sampai ke Ternate dan Kepulauan Banda, Tidore dimana rempah rempah dibudidayakan menghutan. Dari banyak generasi Arab, generasi Kiai Sepuhnya Gus Dur..... menduduki posisi Sultan islam disana, dan di pondok pondok Jawa.......bukan Kiaianya Gus Muhaimin...dan Amin Rais, tapi kiai Sepuh , pemerharti anjuran menyatakan 4 ajaran islam . Peninggalan ajaran para Wali 9 , masa sekarang masih  di hidupkan di kalangan kecil, sangat terbatas pada pengajian tafsir "gandul" di pondok Lirboyo Kediri ( article dI GOOGLE ) , hanya karena tertulis dengan huruf arab gondil bahasa jawa tanpa tanda Vokal....... padahal rasanya kata gandul ( Jawa ) memang berarti menggantung - menggantung dibawah tafsir yang dibahas nurut ilmu bahasa Arab yang komplit seperti tafsirnya ustadz Prof Qurais Syihab - hanya direnungkan menurut tafsir a'la tasawuf/ makrifat....jadi me- nggadul dibawah .tafsir nurut tata bashasa dan sejarah budaya Arab, sedang maknanya dibahas nurut pemikiran makrirfat/ tasawuf.. masih tetap sejuk, dan ketemu makna yang tersirat dalam surah itu.  DAN ANEHNYA SESUAI DENGAN TEIORI MODEREN, TERBENTUKNYA ALAM RAYA DARI ELEMENT DASARNYA -ELEMEN HIGGS BOSON - ELEMEN QUANTUM.   - MEMBUKTIKAN AL FATIHAH ADALAH PEMBUKAAN WAHYU ILLAHI YANG SANAT NWYAKINKAN. FISIKA MODEREN MEMANG SUDAH SAMPAI PADA PENELITIAN ELEMEN DASAR ALAM SEMESTA DAN TELAH NERKERIMPULAN ITU ADALAH ILEMEN HIGGS BOSON BEBERAPA TAHUN TEARHIR INI .                                                                Penampilan sebagai ksatrya berkain sarung dan ber songkok tidak bergamish jubah bersorban sebaliknya berpenampilan islam Nusantara.

……………………………………………………………….

Anehnya lagi, timbul gelombang ideologi baru di jasirah Hejaz, sebagai perlawanan terhadap Kesultanan Turtkiye yang menjajah sampai Mesir, di Jazarah Arab diadakan gerakan perlawnan orang Arab, mewujudkan kebencian terhadap islam Turkiye, disulut juga oleh Inggris dengan mengirim Laurence of Arabia – demi menyalurkan tekad perlawanan orang Arab jazera, mereka kembali ke taklid dan kaffah islam ,dengan mencontoh semua penaampilan Rasulullah yang tentu saja Arab untuk membedakan dengan orang Turkiye yang sudah dianggap dekaden dan penjajah, tapi islam Turkiye malah tertarik mempelajari hakikat islam juga makrifat islam, terutama falsafah Hakikat islam, inilah beda penguasa dan ilmuwan Turkiye, dan dimana saja dengan ulama ilmuwan Arab – ELITE CAPTURES Arab memang sengaja hanya mengambil manfaat dari sifat taklid dan keseragaman syari’at  ibadah yang kasat mata,, ajaran ulama dan sultan, ndak perlu mengolah bathin dengan iman dan takwa bathiniyah , tapi penampiLan-nya saja...... yang mudah didemonstrsikan oleh para Sultah dan kalangan tinggi, adapun bagaimana di istana istananya, SEKARANG , kasus KASHOGI DIBUNUH DI KEDUTAAN ARAB SAUDI   DI TURKIYE. umum tidak perlu tahu......ini yang sangat cocok dengan feodalisme , yang ditutupi dengan seremoni dan atribut kaffah ,yang seperti ini mau disebarkan keseluruh dunia islam tdak perlu berfikir lagi yang lain, ideologi islam KHILAFAH. Kaffah pada penampilan bangsa semit Arab – sayangnya audah KETINGGALAN ZAMAN tidak cocok lagi dengan perkembangan masyarakat dunia, yang sudah menurut sunatullah menjadi saling menghormati ANTAR GENDER, alias demokratis maju , merupakan alur kebudayaan dunia menurut sunatullah....Menentang ini., kiranya yang paling baru disebarkan oleh yang dimuliakan Abdul Wahab, aliran Wahabiyah didukung Pemerintah Saudi Arbia sebagai aliran paling kaffah. Wahabiyah yang dianggap paling benar menurut islam, juga disebut aliran tradisional islam salafiyah upayanya menurut contoh keseharian Rasulullah. Aliran ini sudah ada dari dulu, dan para pendatang baru ke Nusantara, kaum habaib jaman Kesultanan Demak, abad ke 15, pendukung aliran Kaffah ini menyebarkan di kesultan Demak Bintoro abad 15, samapi kaum bawah rerpecah belah, terutama mengenai  kersatuan antar kelompok pengairan, yang nenyangkut Segera perbaikan dan  MAINTENANCE  pengaairan di wilayah Bemak Bntoro    tidak mungkin lagi dilaksanakan degan gotong royong daerah yang luas. karena erpecahan aliran agama yang timbul oleh perbedaan antara ajaran para Wali islam yang lebIh disesuaikan dengan keseharian adat Jawa asal tidak meninggakan ketentuan islam dengan kekerasan aturan kaffah yang dibawa oleh pendtang dari jazirah Arab , kaffah adat bangsa Arab   ......  sampai aesudah zaman Hindia Belanda aliran ini dikalangan umat islam dari jasirah Hejaz dipimpin oleh partai Al Irsyad-nya As Shaurkati, sekarang ustadz Firanda, dari Indonasia Timur. Toh keturunan Arab yang menjadi Sultan di Indonesia Timur SUDAH MENGIIKUTI teladan islam Nusantara yang mengantar mereka jadi elite captures di NUSANTARA timur , tetap PARA KETURUNAN aRAB-PUN bertahan pake sarung dan berkopyah, padahal orang lokal di pulau pulau lain Nusantara,     di Jawa misalnya, yang kepingin kaffah segera masuk sorga, telah memakai gamish, sorban, dan wanitanya memakai  burkah hanya nampak kedua mata dan telapak tangan saja.                                                          Sarung adalah perwujudan perubahan ajaran Hinduisme ke ajaran agama islam dengan empat bagian pokok ajaran islam yaitu syari’at, tarikat, hakikat dan makrifat / tasawuf, empat sudut kain batik jarit / kain batik yang dikenakan lelaki dan perempuan jawa persegi empat – di islam dianjurkan keempat sudut kain itu dijahit sebagai sarung tanpa sudut. DI TEMBANG PERMAINAN ANAK ANAK “ILIR ILIR” Ciptaan para Wali 9 anah Jawa….. keempatnya jadi lingkaran kain sarung – mengingatkan tidak ada saling pemisahan pengertian keempat cabang ilmu islam itu, seperti empat jari tangan, kelIngking adalah syari’at. Jari manis adalah tarikat. Jari tengah adalah hakikat, jadi telumjuk adalah makrifat – tidak berarti mngecilkan syari’at, berperang memegang pedang , kunci keeratan pegangan pedang adalah jari kelingking ! Tidak bisa diganti jari yang lain , dikuati jari manis, jari Tengah hakikat sedangkan teunjuk adaah makrifat......kecerdasan mengerti Bahasa al Qur’an , seerti ustadz Prof QAurais Syihab tepatnya – sedang makna dari surah2 Al Qur’an hanya dimengerti maknanya dengan ilmu makrifat atau tasawuf bagi muslim yang berfikir, di-isyqaratkan dengan duduk tawarukh pada artahiat akhir, dsmbil ,r;utudksn jwri telunjuk kanan diatas lutut kanan - mengisyaratkan tarilat idlsm hsur lurus sambil membaca kalimat tauhid  - maksudnya ilmu hskikst idlasm harus dilandari dengan tsuhgid kepada Allah dan Rasullullah Muhammad. Saking sudah dicuriogai oleh ahli salaf, Gipengajian tafsir gandul pondok Lirboyo., BANYAK KIAI YANG NGARTIKAN "GANDUL" INI SEBAGAI "GUNDUL" ARTINYA DITULIS DALAN HURUF ARAB TANPA TANDA VOKAL .....PADAHAL BAHWA GANDUL INI YA MEMANG   NGGANDUL / MENGGANTUNG DIBAWAH TAFSIR YANG BENAR SEPERTI TAFSIRNYA PROF QURAIS SYIHAB...... CUMA TAFSIR GANDUL INI MENELISIK MAKNANYA...... SEBAB SUSUNAN KALIMAT SURAH INI MERUPAKAN PENGERTIAN " QUANTUM" ARTINYA PUNYA RANGKAIAN KATA TUNGGAL YANG MERUPAKAN AYAT SUCI  PUNYA ARTI SENDIRI, WUTUH --- TIDAK ADA HUBUNGANNYA  DENGAN AYA QUANTUM  SELANJUTNYA SAMPAI EMPAT AYAT..... SEPERTI SURAH UMMUL QUR'AN AL FATIHAH: BISMILLAHIROHMANIROHIM KOK TERUS DISAMBUNG DENGAN KALIMAT QUANTUM LAIN BERIKURTNYA ---ALHAMDULILLAHIROBBILALAMIN --- HUBUNGANNYA APA ? APA MEMBERI SIGNAL BAHWA ALAM RAYA TERBENTUK PERMULAANNYA DARI PARTIKEL QUANTUM SEKARANG D NAMAKAN ELEMEN HIGGS BOSON ?                                                                                 KAN LAIN DARI SURAH AL IHLAS QULHUALLAHHUAHAD... NYAMBUNG DENGAN ALLAHUSOMAD KAN ARTINYA NYAMBUNG AHAD DAN SOMAD ?. Urusan ini TIDAK SELESAI HINGGA SEKARANG. - Para wali 9 sudah meraba, ini, dan memberikan kunci ajaran islam Nusantara pada mu’alaf tanpa boleh dicatat, sorogan saja….karena danggap bid’ah oleh kaun salaf dan padanannya kaum wahabiah sudah ditengarai OLEH PARA WALI iSLAM YANG 9 , jauh jauh hari, sampai sekarang, masih menyulut fanatisme, cenderung ke kekeranan kelompok. sepereti yang didemonstkan oleh smena5ra kiai terhadap ulil Bashar Abdallah, melah bekelompok mengukum mati (tenrtu saja hanya ancaman - trapi toh itu lambang kekerasan denan alasan Ulil berbefa degan mereka) MEWMPERTAHANKAN TAFSIR TANPA MAKNA DIBALIK SURFAH YANG AYAT  DISUSUSUN DARI AYAT QUANTUM...... ITU BID'AH  . Untung Gus Dur diwarisi Kiai Sepuh megenai ini- nubungan antara ajaran islam dengan ilmu pengetahuan moderen - yang sangat ditentang dengan fanatisme ajaran islam salafiah / wahabiah  kiai kader NU di desa desa  ….malah dikudeta keponakannya sendiri, KARENA ISLAM SALAFIAH MEMANG MNOLAK ILMU PENGETHUAN MODEREN, JADI PEMIKIRAN GUS DUR NDAK POPULER DIANTARA  MEREKA.  MENGENAI ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN MODEREN - BUKAN PEGANGAN  PEMUKA NU YANG SALAF DI DESA DRSA .....PADAHAL ILMUWAN PHYLOSOF SOSIOLOGIST KITA DR.KUNTO WIJOYO TELAH MERINTIS " SISIOLOGI WAHYU / SOSIOLOGY DENGAN DSASAR FASLSAFAH  PROFETIC , TANPA dukungan islam nurut apa yang ada di Saudi Arabia, ILMU KEMASYARAKATAN  yanpa diLandasi ilmu makrifat islam . Secab  dari abad pertama islam pasa abad pwertama perang jihad fi sabilillah sukses besar sengan hanya taklid, atribut pakaian ARAB dan pikiran seragam, a’la Arab yang memang cenderung seperti pasir. suka berbanrtah lepas tidak pernah rukun.

Pengertian ini hendaknya dijelaskan pada Rohingya dan di timur Bangladesh dalam kawasan pemerintahan Mianmar,wilayah Burma, untuk mengintegrasikan bangsa indo semid Rohingya menjadi satu negara satu bangsa dengan bangsa Myanmar – seperti di kita terhadap rakyat Papua, keturunan migran China komprador dagang dengn VOC, sebagai pengumpul produk dari sawah di desa desa, di cultuur stelsel, kejam mumpung di backing-i Belanda--PADAHAL SEKARANG KUNCI  AZAS PERJUANGAN ADALAH PERSATUAN BANGSA. PERSEKUTUAN HANYA ADA PADA FIHAK FIHAK YANG PUNYA KEKUATAN YANG SEIMBANG, BILA TIDAK SI LEMAH AKAN CUMA JADI KORBAN - kebudayaan quangxi kaum pedagang keturunan China, sagat nyata   penghianatan-nya, disini dipamerkan  oleh Liem Siu Liong . Hartarti Poo , EDDY tANSIL, MOHTAR RYADI, SUTANTO TANOTO , DAN RATUSAN BAHKAN RIBUAN KELOMPOK INI, MENDUKUNG KATEL GELAP mereeka, TIDAK MENGABAIKAN KUWJIBAN SEBAGAI WARGA EGERA iDONESIA......sedang disana jEPANTG MAUPUN INGGRIS   tidak abai terhadap perjanjian membantu Rohingya mendapat kemerdekaan atau kelanjutannya bentuk lebih moderen dari Kerajaan ARAKAN . PERJANJIAN SEPERTI KAUM ROHINGYA DENGAN JEPANG DAN ROHINGYA DENGAN INGGRIS pereiode PD II, segera di peluk oleh kelompok oleh Khilafah, Hisbut thahir, oleh Osama ben Laden. ISIS, DENGAM JANJI YANG SAMA....YANG MUNCUL DENGAN TERRORISME, malah lebih jahat lagi, merampok bareng bareng, negara tetangga dengan Nekolin membeayai memberi kapal dan belannja menggali tambang ditengah hutan kayak penanam GANJA, hasilnja dijual ke mereka sangat murah sebagai bijih tambang logam langka - sebagai pemodal jadi penadah lewat elite copture lokal, yang sekarang lagi giat giatnya menggergoti persatuan bangsa, … dengan niat sama dengan kemauan NATO, Pelajaran bagi kita mempertahankan kekayaan alam kita yang lagi diincar oleh Nekolim, menggunakan sosok opporunis semacam Enembe, Kagoya, Kartosuwiryo, Munarman, Daud Bereuh Aceh Merdeka, untuk memecah belah sehingga lebih mudah merempoknya, dengan bantuan elite lokal yang sekarang lagi meyusun kekuatan melengserkan Pak Jokowi sekarang juga. Kesatuan bangsa adalah kunci kemenangan kita Indonesia atau Myanmar Burma.  NU pewaris ajaran wali 9 dengan islam Nusantara, bisa menjelaskan pada penguasa Myanmar, kita mencari jalan kemanuisaan, anehnya UNHCR mempunyai pengalaman buruk mengenai sfintas rakyat Banglades kepada kaum Rohingya selama mayotian mereka mengungsidisana - lain dari afinitgas bangsqa indonesia terhadap saudara kita rakyat Papua atau keturunan China yangf didasysnghksn o;reh VOC tok rakyat Nusantara lebih mengetrapkan sisi Hukum dari sisi ras sebagai tanda afintas hidup bersama di bhumi Nusantara yang kurang mendapat apresiasi dari keturunan antewk VOC ini, entah bisa bertahan sampai kapan, kecuali sudah disadari pewntngnya apresiasi dari rasa afinitas ini..   Sedangkan agama harus kembali pada idealisme aslinya – mewujudkan rahmatantan lil alamin, bukan saja terhadap Rasulullah saja, tertama pada ummatnya.... sesuai dengan petunjuk para Rasulullah. *)

Like

Comment

Share

 

Write a comment…

      

      

      

      

      

 

 

Subagyo Kusno

 

Sabtu, 06 Januari 2024

 

fin

I “ MATAHARI TERBIT DI WILWATIKTAPURA”

Masih di alam mimpi
Intermezzo penafsiran sejarah

Susuhunan Kasunanan Surakarta ( sesudah pecah dengan kasultanan Jogjakarta, karena pejanjian Giyanti dengan Kompeni belanda) Paku Buwono V adalah raja yang sangat terpelajar...... (penghimpun Almanac Jawa Serat Centini yang sudah dicetak dalam huruf latin 12 jilid )

Beliau juga akhli membuat keris.

Konon, karya sang Sinuwun yang sangat dikagumi dikalangan empu keris Istana, diberi nama keris Kiai Kaget, mengherankan karena eloknya.  Menurut saya, sang Susuhuhan yang terpelajar ini mencari asal usul sejarah "meriam" kecil yang pecah yang masih tersimpan di gudang senjata pusaka di keratonnya.

Maka beliau menempa pecahan besi "meriam" ini menjadi keris, hasil daur ulang dari pusaka yang asal usulnya sangat misterius dan mestinya juga mempunyai daya tarik bagi beliau.  Apabila keris yang didapat dari daur ulang besi   "meriam" kecil mesterius ini, sama dengan keris asli Majapahit, bila dijajarkan, dengan keris pusaka peninggalan Majapait asli yang ada di Keraton Surakarta,, Maka dapat dipastikan pembuatan pusaka istimewa “meriam lantakan” ( mungkin nama asli dari meriam adalah kalantaka sebab nama itu masih tercantum di suluk pedhalangan wayang purwo) adalah peninggalan  kerajaan yang telah lama lampau ini dan dicetak/ dituang pada jaman itu. Mungkin tinggal satu-satunya, dan beliau curiga yang inipun akan didaur ulang Belanda sebagai senjata dari sana, untuk menghapus sejarah kebanggaan bangsa ini, yang pernah membuat kalantaka,/senjata apinya sendiri. Kemudian pada kurun waktu masa hidupnya Sinuwun Paku Buwono ke V ini namanya sudah jadi  "meriam."

 Adapun nama Guntur Geni sebagai meriam kecil dari besi tuang (wrought iron) yan sudah pecah it nama “kalantaka” sudah kabur. Dalam sejarah yang ditukangi Belanda untuk pencatatan sejarah bikinannya, kata “meriam” telah  muncul paling sedikit sekali dalam legenda  atau Babad yaitu dalam Babad Nitik Pangeran Kajoran, atau Babad Kajoran. Bahwa Pangeran Kajoran Putra Panembahan Romo, berakar dari keturunan Ki Ageng Giring, sosok yang bermunajad kepada Allah agar keturunanannya dapat menjadi Raja di Tanah Jawa,  itu terjadi pada dua generasi di atas  Panembahan Senopati. Juga "Babad Tanah Jawi" bahasa Jawa jenis tembang, huruf latin,  menjebut nama senjata ini “meriam”, jelas sudah ditukangi Belanda.

Sekali lagi legenda pusaka meriam kecil ini  menjadi benang merah legalitas suksesi raja di kala itu, menyangkut legalitas suksesi dari kerajaan Majapahit, karena pernampilan fisik, polariltitsas “tokoh” menurut kharismanya sudah tidak bisa mutlak diandalkan ( sering didukung diam diam oleh Belanda dengan ringgit dari Batavia). Ki Ageng Giring menetap di tanah  yang dijadikan nafkah keluraga besarnya dari bhumi perdikan pemberian pemerintahan Majapahit, dekat Klaten sekarang bernama Kajoran diragukan oleh Sultan Mataram. keturunan Panembahan Senpati.

Konon menurut babad, salah satu keturunan dari Perdikan (bhumi merdeka) Kajoran  berani menerima tantangaan Sultan  dari  Mataram untuk menerima  bhumi sesigar semangka asal berhasil  menadahi dengan dadanya tembakan peluru meriam tersebut.  ( Apa ini bukan kiasan bahwa Kajoran mendapatkan legalitas hak turun temurun tanah tersebut dari Majapahit, yang diragukan olah Sultan Mataram ? ).Pangeran Kajoran mampu menerima tembakan meriam Guntur Geni……. alih alih dihadiahi bhumi sesigar semangka..... malah harus menyerahkan nyawanya.

Apakah sosok intelek seperti Adipati Anom R. Sugandi yang sebelum jadi Pakubuwono V , menghimpun almanac pertama Jawa “Serat Centini” tidak penasaran ?

Pakubuwono V meneliti pecahan meriam misterius ini dengan memanasi dan membakarnya layaknya membuat keris, bila ternyata hasil keris teresebut sama dengan keris dari Majapahit yang anda di gudang senjata kraton, maka dapat dipastikan si pembuat keris Majapahit pada jamannya juga mencetak “lantak” atau “kalantaka” sebagai senjata, yang di sejarah Melayu oleh penulis Malaysia disebut “rentaka” (google). Konon keris Majapahit dibuat dengan mencetak bentuk keris secara masal dari peleburan pig iron, kemudian baru dikikir dan disempurnakan diberi ornament, banyak yang bilah keris jaman Majapahit  jadi satu dengan gagangnya. Dalam kakawin Nagarakertagama naskah kronik perjalanan keliling kerajaan Wilwtikta di Pulau Jawa, sasterawan dengan nama samaran Prapanca, menulis di pupuh delapan naskahnya, Nagara Kertagama, bahwa di kota Wilwatikta , komplex Kedaton dikelilingi tambok tebal dan kokoh, sedangkan gerbang komplex ini disebelah utara telah dipasang  pintu gerbang dari besi yang merupakan ukiran ram .indah ( wrought iron seperti rangka kursi taman zaman sekarang, Negarakertagama saduran sejarawan Pofesor Dr. Slamet Molyono ). Selanjutnya peleburan besi wrought iron adalah hasil proses lanjutan dari pig iron . Selanjutnya menurut legenda lisan, pemasangan pintu ram besi ini adalah empu Keleng dari Madura..(Tentu saja tidak ada hubungan dengan kata klinknagen bahasa Belanda yang di indonesiakan dan di Jawakan jadi keling plat besi)

Pakubuwono V pasti meneliti peninggalan pusaka lama yang kemungkinan dari kerajaan Majapahit yang masih dihormati Keraton dan  pecahan “meriam” Majapahit Kiai Guntur Geni, yang mestinya ada nama  sendiri yang umum untuk senjata itu pada jamannya ?

Sebab sampai sekarang kata “ meriam” itu dipinjam dari mana, dari kata apa ?,  nama senjata ini semakin gelap saja. Nama Jawa untuk meriam model dulu, yang diisi dari moncongnya adalah “meriam lantakan” juga “bedil lantakan” , untuk membedakan dengan bedil karabin. Emas yang dijual langsung dari peleburan adalah “emas lantakan” yang bentuknya silindris. Jadi emas lantakan ada hubungan langsung dengan bentuk silindris dari peleburan logam. Jadi kata lantakan hidup, dan artinya dalam perdagangan logam yang dicetak dari peleburan yang bentuknyua silindris. Jadi tanpa kata “meriam”,  lantakan ini bisa dimengerti sebagai barang yang dilebur dari logam yang dicetak silinidris, diisi mesiu dari moncongnya. 

Kemungkinan besar di-identifikasi dari nama “Kalantaka” atau “lela” saja.  Diperkuat dengan akar kata “be-rantaka-n” dan kata “luluh lantak” yang mengandung maksud yang sama, mengandung sylabel “lantak” dan ka-“lantak”-a. yang tidak bisa dihubungkan dengan kata meriam,  nama yang dipakai pada zaman berikutnya . Begitu juga istilah “merajalela” yang ada hubungannya dengan “lela” yang menguasai medan perang.”berantakan” dengan rentaka atau klantaka.

Semoga tulisan ini dapat jadi perangsang bagi Sejarawan kita untuk menggali kembali, sejak kapan kita punya kalantaka, atau rentaka untuk perang ini, bukan “meriam” dari orang Europa.

Lebih pasti, kata kalantaka disebut dalam suluk pedalangan wayang purwa atau wayang kulit yang digubah para Wali islam tanah Jawa, dilingkungan kekuasaannya untuk menyebarkan agama islam pada abad ke 13 sampai abad abad berikutnya, menggubah cerita suci India Mahabharata, sampai sekarang di sebut dalam suluk ( narasi dalam tembang yang dinyanyikan oleh  sang Dalang)  sebagai “meriam kalantaka”. Supaya  pemirsa wayang kulit zaman sekarang mengerti bahwa kalantaka itu meriam.

Penulis dari Malaysia, sangat mencurigai benda senjata ini juga sudah dipunyai oleh lasykar kerajaan Melayu untuk menghadapi Gubernur Inggris, sampai sang Gubernur terheran-heran.

Di sejarah kerajaan Melayu nama meriam adalah “Rentaka” jenis yang mudah di bawa kemana-mana, apalagi dengan perahu dagang. Era dominasi Penjajah dari Eropa, senjata jenis rentaka , “meriam” lantakan yang buatan pribumi makin jarang, karena sengaja dihapuskan keberadaannya untuk menipiskan kepercayaan diri dari bangsa yang dikalahkan. 

Bila kalah dalam pertempuran dirampas oleh penjajah dan dilebur menurut bentuk dan kaliber ,senjata mereka.

 

.       

 

 

PRAKATA DARI PENGARANG  CERITA  INI  “MATAHARI TERBIT DI WILWATIKTAPURA”


Cerita ini sepenuhnya dalah fantasi saya sendiri, saya c
eritakan menurut urutan waktu unsur unsur peristiwa yang menyangkut ekonomi  mengawali terbitnya matahari di Majapahit, puncak kejayaannya dan berubahnya faktor ekonomi, yang menyurutkan kejayaannya, karena tak teratasi, maka perubahan jadi sangat sulit diaksanakan.  Sebagian nama dari pelaku adalah tokoh sejarah yang benar benar ada, yaitu tokoh tokoh Kerajaan Singhasari dan zaman yang mengikutinya. Para pendiri dan tokoh antagonisnya pendirian kerajaan  Majapahit.

Tempat tempat yang disebut adalah tempat tempat dengan nama yang dipakai pada zaman itu  th 1100 – 1300 M, dari Dinas Purbakala, untuk menyesuaikan suasana cerita, tidak ada penelitian apapun. Kejadian yang diceritakam ditempat itu hanya  dari imajinasi pengarang melulu.  Hanya semua tempat tempat itu penah dikunjungi oleh pengarang secara  kebetulan  dan bukan untuk tujuan menulis,sudah disebutkan nama nama pada zaman Majapahit, Seperti “Pamotan” dalam buku Dinas purbakala. Menurut penulis Pamotan beasal dari kata bahasa jawa “ngamot” artinya memuat atau memungah barang ke perahu atau kendaraan lain, bahkan kuda beban di kedua sisi badannya. Lokasi dengan nama Pamotan, zaman Majapahit, sekarang adalah Lamongan kala itu masih  di muara Bengawan Solo, bandar penting untuk memuat beras ke jung china yang besar besar mencapai bobot 200 -500 koyan beras. Sebab rawa di wilayah bengawan Solo sudah menjadi sawah atas prakarsa para wali tanah Jawa, sepengatahuan penguasa Majapahit, karena wilayah rawa adalah tanah yang di abaikan. Sedangan nama Widang untuk satu lokasi di dekat kota Babat juga tepian Bengaan Solo wilayah Tuban, pada zaman itu, mungkin dari kata “Wudang” bahasa Mandarin, dilafalkan dengan Bu Tong dalam bahasa Hokkian – nama dari aliran ilmu silat China, sempalan dari aliran silat Siau Lim.

Pengarang mempercayai adanya  nama dan tokoh tokoh yang disebut dalam prasasti  yang ditinggalkan oleh kurun zaman itu,  yang jadi sumber autentik dari para sejarawan kita zaman ini,  Bahwa prasasti itu kebanyakan semacam ketetapan  hak atas tanah pertanian, ataupun untuk menerangkan pendirian candi candi yang dibuat  beberapa generasi setelah yang dicandikan meniggal, melulu untuk kepentingan yang masih hidup. Mungkin juga manuskrip dalam lontar lontar yang sekarang masih bisa dibaca oleh para sejarawan yang serius, juga dibuat atas pesanan keturunan yang masih hidup,  meskipun dikerjakan oleh  Mpu yang terkenal, barangkali karena dekat dengan kekuasaan saat itu, kayak Profesor Nugroho Notosusanto, yang berusaha keras mengganti Bung Karno yang didukung  oleh mayoritas rakyat Indobesia, diganti dengan peran   Jendral  Suharto yang didukung oleh sebagian ABRI saja.  Yang kemudian jadi sumber kebenaran ahli ahli  Archeologi . Saya bayangkan seratus tahun setelah kita kita ini, bagaimana generasi generasi penerus itu mengerti sejarah kita, tanpa malu malu, malah disengaja oleh  ahli sejarah semacam Profesor Nugroho Notosusanto memalsukannya untuk menghapuskan peranan rakyat dan Bung Karno, atas pesanan  Orde Baru, dari sejarah perjuangan untuk menegakkan kemerdekaan .

Dimulai dengan ditiadaknnya tanggal 10 Novermber 1945  sebagai hari yang diberi tanda warna merah artinya hari libur Nasional.

Jadi apa salahnya bila fantasi saya dan imaginasi saya, mambuat cerita sendiri yang masuk akal dari  segi materi dan moral saat itu, dan cocok dengan logika pada umumnya yang abadi sepanjang zaman .

Begitu pula legenda dan babad yang menceritakan zaman yang lalu, apalagi isi kitab kitab yang dikarang pada zaman itu, yang ditulis para pujangga kenamaan umpama empu Sedah Empu Penuluh Empu Prapanca dan empu Kanwa, itu bukan atas pesanan Penguasa ?

Pustaka yang ada jadi pusaka kita sampai sekarang yang digeluti oleh para sejarawan dan ahli ahli archeology zaman sekarang ya itu. Selebihnya akhli sejarah kita dari SMA nya sudah di bagain sastra, jadi tidak diajari ilmu Kimia, Ilmu Fisika, ilmu Matematika dan Kinematika, jadi daya analisanya terhadap kejadian alam lemah. Seperti pembuatan mesiu, peleburan logam, panas pembakaran bermacam macam arang, sulitnya pembuatan jalan dan jembatan, daya dorong layar dan besarnya perahu, jadi apa salahya bila saya memasukkan unsur unsur alat dan barang yang ada sebagai alat pendorong atau pembatas kemampuan orang didalam kejadian sejarah zaman itu ?

Penyerbuan armada jung perang untuk menhukum Baginda Kertanegara, raja Singhasari yang menghina utusan raja China Kublai khan setelah tiba di Nusa Jawa sudah tahu bahwa sang Kertanegara sudah mangkat, ditaklukkna oleh raja . Kerajaan Kadiri sang Jayakatwang telah menemukan urat emas di tambang emas di wilayahnya  pantai Selatan Pulau Jawa. Karena Kadiri bisa dicapai dengan jung perang, melayari mudik Sungai Brantas yang cukup dalam untuk mencapai ibu kota Kadiri..... Maka Pemimpin expedisi penaklukan wilayah selatan tertarik oleh kekayaan Kerajaan Kadiri, sebagai penakluk Kerajaan Singhasari dan Wengker, yang menemukan urat emas didua tempat itu, dengan rencana mendobrak kota dan menjarah dengan bantuan kalantaka perunggu kaliber besar dan sangat berat dari jung jung perang, yang sangat sulit digunakan diwilayah darat,  jauh dari jalan air/ Jadi tidak ada hubunganya dengan dongeng mengenai anjuran atau bujukan Raden Wijaya menurut sejarah resmi, yang telah diampuni oleh Jayakatwang, dia bermukin di bumi Tarik dekat bandar Trung, muara sungai Mas, cabang sungai Brantas dekat muaranya.

Hanya sekembalinya armada jung perang ini, dicegat oleh perlawanan pasukan rakyat di kiri kanan tepian sungai Brantas dengan “panah gajah” kiat  anjuran para putri Kertanegara yang sudah wafat dan menjadi pelarian dari Kerajaan Kadiri, dengan raja naru sang Jayakatwang , rombongan  pelarian bersama dengan kakak iparnya R Wijaya dan istrinya, alias kakak sulung mereka.

Hingga berbulan bulan selalu berpindah pindah tempat, tanpa bisa tertangkap....... berkat bantuan banyak fihak yang bersimpati pada R. Wjaya dan Singhasari, dari wilayah Japan, Jenggala, Ampel Denta dan Gresik....... yang terdiri dari kaum merdeka penyelenggara perdagangan dengan perahu saudagar dari China, India dan Melayu. Perlawanan dengan panah gajah  sebagai panah api yang sedepa pajangnya, melambung jatuh dari atas. Suatu cara menyerang perahu perang musuh yang ditiru dari Kerajaan Thai, Ayuttya wangsa Rama yang sudah sangat tua bertahan menghadapi musuh yang datang dengan perahu perang...lewat sungai Mekong.. Karena kegiatan perlawanan dikerjakan dengan panah gajah untuk mencegat semua jung perang yang datang menyerbu, dengan panah jenis ini, jadi kepulangan armada jung perang menjadi tanpa daya dan hancur...... harta rampasan dan bekal expedisi jatuh ke tangan para putra putri Kertanegara – atas petunjuk dari guru mereka cukup buat mendirikan kota baru Wilwatiktapura, yang dikhususkan menjadi pusat pengeringan kembali semua rempah rempah dari timur, yang masih setengah basah, kurang cocok untuk dimuat di jung dan perahu mereka, dalam playaran yang cukup lama.

Karena terlalu naïf  bila kita tanpa curiga apapun percaya bahwa Raden Wijaya, ksatria konon keturunan Lembun  Tal dan selanjutnya keatas sampai ke  Ken Arok dan Ken Dedes, mengalihkan sasaran penaklukan.                    Demi mengembalikan R. Wijaya pada proporsi yang pantas terjadi pada saat itu. Pemuda Wijaya mestinya dididik cara ksatria yang mengutamakan Dharma, ,  hukuman yang harus diterima oleh sang Prabu Kartanegara, yang sudah pernah menghina Dutanya. Hlo bila dipikir apa mungkin seorang Laksamana kerajaan Kublai Khan, datang ke Asia Tenggara dengan misi penaklukan atau pemberian hukuman pada raja yang melawan, kok ndak tanya atau mendengarkan laporan, atau mengirim mata mata terlebih dulu, wong disini sudah banyak pedagang China yang sudah lama bermukin ? 

 

 

 

PROLOG

 

ASAL USUL PARA PENDIRI KERAJAAN MAJAPAHIT ATAU WILWATIKTAPURA

Saya andaikan masih jam 5 pagi sebelum Matahari terbit di Wilwatiktapura, sesudah ini jam Matahar tebit di Wilwatiktapura, diandaikan edaran matahari siang hari dari terbit sampai menjelang sandyakala..

 

Sebenarnya, supaya  mudah dibaca urutan cerita nya jadi Tempat lahir dan pendidikan Gajah Mada.  Pada tulisan berjudul Dongeng untuk cucuku, termasuk dituliskan di bab  “Dapur Istana ada ditengah hutan” dilanjutkan dengan segala cerita mengenai wilayah antara  Sidayu sampai Probolinggo  pelayaran dengan pertemuan dengan bajak laut dari Sampang misalnya. Keadaan di perjalanan antara Probolinggo sampai pantai Pasirian tempat pengecoran keris Majapahit yang memang hasil cor besi tuang canpuran bubuk  bijih  Mangan, yang jadi pamor berwarna hitam.

Digambarkan dngan jelas dalam kakawin kronik perjalanan raja Hayam Wuruk keliling Wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur oleh Mpu Prapanca didalam kropak "Negarakertagama" pupuh delapan bahwa gerbang komplex keraton Majapahit disebelah utara dibuat dari besi. ram berukir indah ( wrought iron seperti rangka kursi taman zaman sekarang) sedangkan wrought iron ini adalah proses lanjut dari besi cor- pig iron yang menjadi keris Majapahit.

Tempat Raden Wijaya di didik dan hasil pendidikan raden Wijaya, disini saya masukkan pelajaran budaya Jawa asli yang ada juga di Bali, tertulis di buku dari Bali “Kandapat Sari”himpunan Gde Bandesa ‘K’ Tonjata.. yang menguraikan kepecayaan Jawa “ Dulur Papat Kalimo Pancer” yang lahir bareng si jabang bayi,  jadi kepercayaan sebelum Hindu, yang anehnya di Bali kepercayaan ini  memang memberi pencerahan bahwa para dwija lmu ini dapat mengalahkan efek  ilmu gaib yang putih maupun yang hitam, maupun kutuk para Dewa Hindu asal ada pada posisi yang benar, akan ”kajanaprya”, artinya unggul. Pada waktu itu olah guna tenaga linuwih dari sisi mempertahankan perbuatan baik tidak dilarang oleh dotrin Hiduisme, aeperti yang dihikayatkan dalan kitab Bhima Suci, yang di India tidak ada.

.. “Pelarian Raden Wijaya”  sebagai  hasil dari penyerbuan sang Jayakatwang.  “Aria Wiraraja” , “Tumenggung bebeteng Praja” dan “Kutukan Ni Ratri”   dan “Jatuhnya Jayakatwang, Dalam naskah “Kekosongan kekuasaan di bhumi Mpu Sindok” dan “Wilwatiktapura kota merdeka” Pengarang mengurutkan kejadiannya yang paling mungkin terjadi., bukan yang diriwayatkan ratusan kali ya itu itu saja.

Untuk selanjutnya,  Raden Wijaya..... yang memang terdidik di Pelabuhan Japan, tertarik kepada konstruksi perahu model Madura itu memang  demikian, dan kemungkinan besar, diperhatikan olehnya karena sering bermain perahu di bandar Japan, menggunakan perahu bermacam macam bentuk, seperti “tembo” yang sekarang mirip kayak. Perahu konting jawa yang berlambung rendah untuk perairan dangkal, sampai ke perahu model Madura yang sangat dia gemari karena bila dipasang layar bisa dengan mudah mengiris angin menyerong menentang angin dan sangat mudah berganti haluan,cukup dari kemudi dibelakang, kalau lunasnya cukup runcing,haluannya tidak mudah  terbawa angin ke samping.

Dengan bersemangat dipelajarinya karena kemudahan untuk bermanuver itu memang jadi ciri perahu perang Majapahit  untuk menaklukkan pantai pantai dan tepian sungai besar, dengan  dua laras meriam kecil di anjungan, sehingga dengan mudah masuk ke padalaman sungai sungai di Sumatra maupaun di Kalimantan atau di kepuluan Riau, dan menaklukkan kubu kubu pertahanan para penguasa kuala atau pantai dan selat. Sehingga dalam waktu singkat Sumpah Palapa di realisasikan.

 

ANDALAN UTAMA TEGAKNYA KERAJAAN MAJAPAHIT ATAU KERAJAAN WILWATIKTA PURA ADALAH DARI PENGUASAAN DAN PENGAMANAN JALUR PELAYARAN DARI TIMUR NUSANTARA OLEH ARMADA YANG MERONNDA DENGAN PERAHU PERANG MODEL PERAHU MADURA DIPERSENJATAI DENGAN KALANTAKA.

 

Diceriterakan mengenai peleburan bijih besi dari pasir besi, Batu kapur (CaO) dan  batu mangan (MnO) maupun belerang  (S) yang disini mudah didapat,  selanjutnya di lelehkan dan menghasikan “pig iron”, yang sudah ada di kebudayaan Campa/Vietman pada zamam sebelum Masehi di kebudayaan Dong song,  yang bisa diwariskan pada zaman zaman berikutnya, yang karena kemudahan membeli besi yang sudah jadi, kepandaian melebur besi ini jadi musnah, di pulau Jawa.

Hanya, perkembangan peleburan bijih besi dari pasir besi memang perlu arang dari tambang di Sukadana (Kalimantan) dalam jumlah besar untuk melelehkannya. Dikemudian hari peleburan besi dari bijih besi jenis lain (limonit,atau laterit) dari Luwu Sulawesi menggantikan bijih besi dari pasir besi, karena bisa mengurangi kebutuhan arang/batu bara dan kualitas lelehannya tidak terlalu gampang patah. Mestinya kota kota penting di Nusantara sebenarnya bukan kota “benteng”, sebabnya tidak pernah diterangkan, mungkin karena pemeliharaan kavaleri/pasukan berkuda  memang sulit dan mahal diwilayah tropik basah ini karena penyakit, lain halnya dengan di tepian gurun dengan iklim kering sedang seperti di China  atau di India, merupakan pinggiran gurun besar,  padang rumput, memang habitat bangsa  Kuda  ( genus  Equus -Tarpan)  Sampai sekarang di Nusantara masih ada wabah penyakit kuda “ bolor”  (Malleus) yang mematikan secara masal sulit dikendalikan. Malah pada zaman penjajahan Belanda, ada peraturan, bahwa bila ada kuda yang menujukkna tanda tanda menderita peyakit Maleus atau bolor kuda,  harus segera ditembak mati supaya tidak menular. Sebab dari pentingnya pemeliharaan kuda treanspor dan kavaleri pada zamam itu..

Jadi betapa sulit mengumpulkan pasukan berkuda. 

Menjadikan sepanjang sejarah kerajaan kerajaan Jawa, gerakan barisan tentara  infanteri secara besar besaran selalu dapat dipantau oleh calon musuh kota kota tujuan penyerbuan dan dapat diupayakan perlawanannya. Dibandingkan bila pengumpulan pasukan kavaleri ini cuma pada waktu singkat, umpama lima tahun masih masuk akal, sesudah itu jadi sangat sulit.

Relanjutnya, mengenai pelaksanaan “sumpah Palapa” . Tidak pernah menyebut alat perang apa yang bisa memenangkan kertempuran dijalur pelayaran dari Atas Angin ke tempat dagangan rempah rempah dihasilkan, semua dipinggir pantai  kepulauan Nusantara, tempat tempat itu ditaklukkan dalam satu watu tidak lebih dari 40 tahun saja Dalam cerita ini logika mengharuskan bahwa satu armada, dengan meriam kecil sesuai dengan kain layar yang mampu mendorong perahu perang armada itu, telah mampu menaklukkan sarang pembajak, bukan oleh  pasukan infanteri bukan kavaleri yang didaratkan untuk bertempur didarat, tapi salvo kalantaka dari pantai dan isolasi  lintas laut sangat menekan Penguasa yang suka membajak, sangat membuat mereka kapok. Kecuali itu, armada peronda juga membeli dengan harga pantas..... hasil apapun yang mereka kumpulkan dari hutan, atas petunjuk dan permintaan perahu Majapahit.

Apakah salah bila saya bayangkan, bahwa fakta sampai sekarang, konstruksi perahu Madura memang mudah dikendalikan, baik layar maupun arah haluannya, karena konstruksi lunasnya merupakan  sabut kelapa yang tentu saja sangat mudah berputar diatas air, ditambah dengan factor X, yaitu dipakainya kalantaka, atau rantaka atau lela di anjungannya. Meskipun tidak ada bukti apapun secara material tentang adanya senjata jenis tersebut yang  kemudian sesudah perang penjajahan orang Eropa memakai canon dan  demi kanon, dipasang dilambung kapal kapal besar hingga muat 40 sampai 100 cannon, menembakkan peluru lewat jendela bersusun dan berderet di lambungnya yang tinggi, kayak parahu layarnya ”The Pirate of Caribia” Maka istilan meriam diselundupkan kedalam bahasa Melayu kemudian Bahasa Indonesia. Tapi anehnya meskipun nama asli senjata andalan tersebut sudah diganti, masih ada "kata" keseharian,  hidup dipakai asampai sekarang  dalan pengertian “meraja lela",  "berantakan", " luluh lantak", "meriam lantak", "emas lantak"  yang menggambarkan peleburan  pencairan dan pencetakan logam, atau besi atau perunggu atau  emas. Dan kata yang gambaran akibat dari dipakainya  senjata ini, misalnya berantakan, lluluh lantan, semua pemakai bahasa Indonesia atau bahsa Melayu tahu, apa yang dimaksud bila orang mengatakan lela,  rantaka, kalantaka tanpa menyebutkan meriam.  Kenapa nama senjata ini lambat laun diganti dengan meriam ?  Kata ini ada setelah orang Eropa berdagang sambil menaklukkan wilayah orang Melayu dan Nusantara dengan senjata ini, seolah olah hanya monopoli mereka, sehingga orang Melayu di Nusantara hanya mengerti arti kata lela, rentaka, kalantaka, lantak  bila dimukanya diberi tambahan kata *meriam* Nama yang sekarang bahkan dipakai oleh bahasa Indonesi untuk pasukan Artileri kita,  entah dari kata apa. yang jelas itu senjata mereka. Nama lain, kita tidak pernah punya, itu tujuannya, susah payah menghapus nama asli lela dan kalantaka atau rentaka.

Bukankah ada upaya untuk menhapus ingatan bahwa Bangsa ini pernah menggunakan senjata yang ampuh dengan misiunya sekalian yang kita mengerti sebagai campuran antara bubuk sendawa, bubuk arang, dan bubuk belerang dengan perbandingan tertentu yang didapat dari resep China untuk mebuat petasan ?

Tidak heran bahwa pada tahun l810 – 1823 seorang Pangeran dari Madura Raden Sugandi  ahli sastra Jawa dan empu membuat keris pada masa mudanya, kamudain diangkat jadi Susuhunan Surakarta Pakubuwono ke V, menghimpun  “serat Centini”  satu almanac Jawa yang komplit pada waktu itu.

Susuhunan intelek ini pasti penasaran bila membaca catatan perjalanan zaman Raja Hayam Wuruk, raja keempat dari Majapahit, kakawin Negarakertagama yang jelas dimiliki Kratonnya. Menjelaskan bahwa komplex karaton Majapahit dikelilingi tembok kokoh dan gerbang utara Kedaton itu dipasang pintu besi ram berukir indah. Beliau pasti penasaran dari mana didapat besinya sebanyak itu?

 Meneliti peninggalan pusaka *kalantaka" kraton yang sudah rusak, sepenggal meriam kuno yang pecah ketika dipakai perang tahun 1740, berdalih membuat keris dari pecahan senjata itu ( waktu itu sudah dinamakan meriam), siapa tahu  dasar senjata rusak itu yang kemungkinan pehinggalan Majapahit, karena bahannya sama dengan keris peninggalan zaman itu yang konon dibuat sengan melelehkan bijih pasir besi dengan bubuk batu mangan , yang tentu saja bisa melengkapi perahu perahu perang Majapahit, untuk memenangkan Sumpah Palapa Mahapatih Gajah Mada

 

 MATAHARI TERBIT DI WIWATIKTAPURA  

 

    MENGENAI MAHAPATIH GAJAH MADA :

 

. Gajah Mada sebagai putra Brahmana memulai carriernya sebagai negarawan, mulai dari jadi Lurah  bhayangkari atau kalau sekarang dia adalah komandan lapangan Pasukan Pengawal  Kota, mungkin setingkat Kapten Pasukan Pengawal, kota pelabuhan Majapahit yang masih sangat muda, malah yang ada duluan adalah sebagian dari rencana kota pelabuhan sungai Wilwatiktapura, sejak  Raden Wijaya belum jadi Raja dia yang membangun Kota ini.

 

Pendiri Kerajaan Majapahit, Pangeran Wijaya, melewati waktu waktu yang sangat genting dengan melarikan diri dari serbuan mendadak yang sangat berhasil dari kerajaan Kadiri, sehingga  sang mertua Raja Kertanegara terbunuh  dan kerajaan Singhasari jatuh.

 

Besar kemungkinan seorang pemuda anak seorang Brahmana  gryasta (Brahmana yang membina keluarga)  dari desa Modo ini. Kini jadi kota Kecamatan Modo, yang sampai sekarang masih dengan nama yang sama,  terletak dilereng pegunungan kapur Kendeng kearah selatan kira kira sepuluh kilometer dari kota Babat kabupten  Lamongan pinggiran Bengawan Solo. Pemuda anak Brahmana ini disebut Gajah Gombak – kebetulan melawat ke Kota “tiban”, artinya dengan cepat ada. dan sang pemuda yang terlatih jadi ksatrya. tertarik kepada  pendiri kota Milwatiktapura, sangat terdorong oleh semangat keperwiraannya dalam ilmu silat dan ilmu sastra dari Wedda sebagai anak seorang  Brahmana terkemuka.

 

Modo desa ditengah hutan jati yang sejak dulukala sudah ditanami tegakan kayu jati ( Tectona grandis  L - teak wood) bercampur baur dengan tegalan dan kebun,  kelebihannya dari lokasi lain,  Desa Mada terletak dilereng landai menghadap ke Bengawan Solo, terpotong potong oleh anak sungai pendek ke bengawan Solo yang lurus dan licin mengalir ke utara sepajang lereng pendek ini, licin karena tanahnya liat, sebagai tanah lempung dibanyak dataran rendah yang terpecah pecah bila kering berwarna abu abu putih dan berwarna hitam dan sangat liat bila basah, bisa menyimpan air banyak, sulit meneruskan air, merkipun mudah basah dan sangat licin. Iiat dan licin bila basah ini sangat memudahkan menyeretan geondong jati yang besar dan berat ke jalan air bengawan Solo...... Juga sepanjang tepiannya banyak galangan perahu besar kecil.

 

Hutan selebar lebih kurang limpuluh kilometer dan sepanjang lereng utara pegunungan Kendeng dari Pamotan (sekarang Lamongan) sampai dengan perbatasan Rajegwesi (sekarang Bojonegoro) sebelah timur adalah hutan dengan tegakan jati yang menjanjikan karena cukup luas, mengandung tegakan jati yang ditanam semenjak zaman Pemerintahan   Paduka Erlangga dengan lereng landai memanjang menghadap ke bengawan Solo.

 

 Kayu jati adalah dagangan yang sangat dimaui oleh pembuat perahu dagang, yang berbulan bulan menjelajah samudra, karena sangat tahan terdap air laut dan binatang sebanga cacing laut yang mampu membuat lubang, berjuta juta lubang untuk bersarang  hingga perahu itu tiba tiba ringsek ditengah pelayaran di tengah laut. ..... Ternyata kayu kayu penguat bangun perahu besar ini bagian bawah air sudah keropos.....Padahal bahan kayu jati sangat tidak disukai binatang kerang yang biasa menempel erat dilambung perahu besar bagian bawah  air dan cacing kaut perusak kayu yang ganas..

 

Seorang Brahman gryasta tinggal didesa ditengah hutan, adalah satu yang tidak biasa. 

Sebab lebih mungkin  sang Pendeta gryasta ini ada di desa desa sekitar asram di wilayah tanah pertanian berpengairan, sebagai pengendali pembagian air, pengelola candi, asram dan bangunan suci, sebagai pemimpin pemeliharaan  sistim saluran air pengairan.   Lain halnya sengan Brahmana  gryasta ini, dia adalah Adminisrtator dari tanah Perdikan bertanggung jawab untuk memelihara ratusan sapi zebu, besar dan berponok didatangkan langsung dari Benggala, harus dibiakkan secara murni, demi kekuatannya menyeret gelondong jati, bukan mengepalai asyram atau mengelola dan membagi air pengairan  beberapa Kelian Subak ( di Bali Ketua pengairan tingkat desa), atau menjabat sebagai Kelian Subak sendiri, dibawah Mpu Sedahan Agung.. 

Brahmana Kerajaan  urusan Pengairan dan pajak  (di Bali masih ada jabatan Sedahan Agung hingga kini   membawahi semua subak pengairan disatu wilayah, lembah beberapa sungai).

 

Seorang Brahmana  turun temurun  mempunyai hak untuk  membaca Kitab Weda, dan tentu saja kitab kitab yang lain, yang pasti bisa membaca dan menulis bahasa Jawa  kuno maupun kekawin dan sloka bahasa Sansekerta mereka mahir.

 

Gelondong  jati yang tanpa cacat dan lurus,  makin panjang makin baik mungkin panjangnya lebih dari  lima  depa hingga sepanjang masih bisa di tarik ke sungai dengan umur lebih dari 80 tahun,  jati  diameternya hingga kurang lebih 70 cm, sangat dicari  oleh pembuat perahu perahu besar untuk pelayaran samudra, karena kayu jati sangat tahan terhadap cacing laut yang merusak perahu perahu besar pelayaran samudra membuatnya tidak aman dalam pelayaran yang makan waktu berbulan bulan.  

 

Gelondong jati ini sangat dibutuhkan di galangan perahu  besar disepanjang bengawan Solo, ada model  dhow Persia,  perahu  besar bercadik model teluk Benggala, perahu ini meskipun besar tapi harus dipasang cadik kiri kanan karena untuk menjaga keseimbangan perahu  yang mestinya berat diatas karena bobot dari layar yang besar, seperti yang tergambar di dinding candi  Boobudur  ditingkat  Rupadatu/Kamadatu

Kala itu sudah mulai jarang dibuat karena model mempunyai banyak kelemahan, antara lain  boros kayu dan kurang laju, layarnya lemah karena tidak mungkin dibuat lebih besar,  mengingat bahan kainnya dari serat kenaf yang berat., 

Sebagian besar  model jung dari  Cina, dengan ukuran super besar karena nanti dapat dipasang layar dari sutra yang luas, ringan dan kuat. Galangan lokal mengerjakan Model  konting dari  pantai  Utara Jawa,  beberapa pandega dari Bugis  memimpin pembangunan perahu model pinisi dan model lombo dari Sulawesi yang labih besar karena layarnya dari sutera yang di Sulawesi sudah dikembangkan, ada banyak galangan perahu sepanjang tepian Bengawan Solo sampai daerah Sidayu.  

 

Asal usul nama Gajah Mada.

Perdagangan gelondong jati untuk perahu pelayaran samudra,  merupakan penghasilan Kerajaan yang diandalkan, karena hasil hutan yang ini  adalah milik Kerajaan dan dikuasakan kepada para Bahupatti.

 

 Pekerjaan sulit   adalah membawa gelondong gelondong ini  sampai  ke sungai  urat nadi pelayaran, mulai dari mencari tegakan yang baik kualitasnya,  mengeringkan dengan mengupas kulit pokok jati, kemudian menebang dan menyeretnya ke sungai besar hingga sepuluh kilometer atau lebih, menuruni  lereng  berhutan dan semak,  sungai sungai kecil,  menyeret  dengan tenaga sapi sapi  Zebu, sapi besar berponok  didatangakan khusus dari Benggala.  

 

Sapi sapi ini dibiakkan secara murni dan  teliti ginealogynya  oleh Brahmana yang berwajib,  tali temali dari kenaf (konon nama ini dalam bahasa Parsi) nama latinnya Hibiscus canabius  tanaman serat  yang dibudidayakan dirawa rawa berasal dari teluk Benggala ( sekarang Bengladesh ) dan rotan  yang  dipilin sebesar lengan orang dewasa, maupun rantai rantai besi, semua disediakan di  Perdikan Mada.

 

Setiap hari puluhan sampai ratusan orang membawa tongkat tongkat kayu kekar dan panjang dari kayu walikukun yang  padat dan liat, sangat berguna untuk pengungkit,  segala alat penggali tanah dan pemotong kayu, juga setiap orang membawa kelewang dan mata tombak  seperti akan perang, berangkat dan pulang ke pakuwon Modo. 

 

Mereka bekerja di hutan  berhari  hari, sampai beberapa bulan, berbekal  beras merah,  garam   kacang kacangan dan tuak,  juga  dupa  dan soma  (candu), soma ini sangat penting  untuk membujuk para makhluk halus  yang menguasai  pohon pohon besar, batu dan  lubuk  disungai sungai  agar tidak mengganggu perkerjaan menyarat  gelondong  kayu jati yang sangat berat dan berbahaya ini.  

Paling sedikit bau  soma terbakar yang khas  bisa menenteramkan para  pekerja  dan sapi  sapi zebu !  

Selain itu mengandalkan  hasil hutan, dedaunan, umbi umbian dan binatang buruan kijang dan babi hutan, landak dan pelanduk,  ular sanca, madu, ulat kayu, kepompong  ulat  jati,  larva lebah hutan, belalang,  ayam hutan  cendawan bila lagi musim semua enak dimakan, lebih lebih setelah seharian kerja berat, hanya air kadang kadang harus dicari dari tempat yang jauh bila penyaratan gelondong jati dilakukan di musim kemarau. 

Pada musim kemarau tanah menjadi keras penyaratan gelondong gelondong besar mengandalkan roda bantalan kayu bulat yang diatur melintang sepanjang gelondong dan kayu bulat ini juga didukung oleh  bantalan kayu rimba semacan rel  sepanjang “jalan” yang    direncanakan. 

 

Disinilah diperlukan kecerdasan dan ketegasan mengambil keputusan untuk menggunakan  wilayah lereng pegunungan Kendeng, disini “jalan” lurus belum  tentu menjadi pilihan, sebaliknya jalan melambung dengan  pendakian ringan kadang kadang merupakan pilihan yang tepat,  disamping pertimbangan pemilihan lintasan yang tidak terlalu banyak  mengorbankan tegakan jati yang belum siap di panen,  juga  menghindari  arah  yang akan bertemu  dengan rintangan yang sulit, yang harus diupayakan adalah mencari arah lintasan dengan lereng yang panjang dengan sedikit rintangan dan kelokan tajam, menjadikan penyaratan lebih “ringan”. 

 

 TERBENTUKNYA KEPRIBADIAN GAJAH MADA       

Daerah Modo dengan lereng landai sepanjang kurang lebih sepupuh yojana ( sehabis kekuatan mata memandang orang berediri dikaki langit) memberikan “jalur” relatip mudah untuk upaya penyeretan gelondong gelondong yang besar  dan panjang dengan berat puluhan ribu kati,  karena banyak anak sungai kecil kecil yang kelokannya tidak telalu tajam atau kelandaian lereng yang baik hingga tepian sungai bwngawan Solo di kota Babat ( kata bahasa jawa yang artinya memotong habis.... dalam hal ini hutan jati)

Pembabatan hutan jati ini dibantu dengan adanya tanah hitam yang liat dan licin pada musim hujan,  disitulah letak pakuwon Modo, sedangkan tegakan jati disekitar situ masih ratusan ribu batang. 

 

Jadi mestinya tidak mengherankan bila desa Modo merupakan sentra pemeliharaan sapi sapi besar perponok dari India  sapi Zebu yang jumlahnya ratusan,  maka diperlukan seorang Administrator yang handal untuk upaya exploitasi hutan jati ini, sekaligus memelihara kesehatan sapi sapi  khusus  milik kerajaan, termasuk mengembang biakkan hewan yang sangat berharga ini.  Tentu saja tepat sekali apabila seorang Brahmana gryasta menjadi Pandega, ayahanda pemuda Gajah Gombak, Mpu Suradharmayogi 

 

Pemuda gempal ini menyelempangkan tali kebrahmanan menyilang dadanya, sudah mampu merencanakan jalur penyeretan gelondong jati besar besar, memimpin mengendalikan ratusan tenaga yang merupakan satu team dengan puluhan sapi sapi zebu.

 

Perkenalan putra Mpu Suradharmayogi, sang Pandega,  dengan sosok misterius yang bekerja di galangan perahu besar jung cina di tepian Bengawan Solo adalah wajar, ternyata kakek  Bangkong  (begitulah para penghuni tepian Bengawan  menjuluki  kakek baik hati ini) adalah pendekar kungfu aliran Butong ! . Sampai sekarang ada desa dekat Babat tepian bengawan Solo yang namanya Widang, mengingatkan kita pada nama Wu Dang atau Bu Tong satu aliran silat gi Negri Cina merupakan cabang dari  aliran silat Siau Lim.

Memang dari usia belasan tahun pemuda putra Brahmana dari Mada ini menjadi murid kakek Bangkong.  Anak laki laki  tanggung ini berlatih ilmu silat dan kungfu dengan dasar  keteguhan otot , ketajaman naluri dan  latihan pernafasan dari Butong,  yang intinya  secara bertahap dan hati hati  mempersiapkan seluruh  fibrasi  hidup  untuk beresonansi dengan   energi fibrasi dari  alam dimensi yang lebih tinggi,  

 

Melatih pernafasan, renang di Bengawan Solo bisa sangat membantu upaya ini dengan bimbingan kakek Bamgkong.  Meneguhkan kuda kuda denga rakit yang digoyang oleh sang Guru, bersamadi memang hasil  gemblengan  sebagai anak Brahmana. Dari hasil latihan ini Gajah Gombak mampu  mengirimkan suara hingga didengar sampai satu yojana.

 

 Ciri khas kungfu alirang Butong pada tingkatan  atas adalah penajaman naluri dan harmoni seluruh otot otot badan sehingga  aliran tenaga murni dapat secara efisien mendorong gerak refleks secepat kilat berkesimanbungan dan diluar kemampuan gerak otot orang biasa, bahkan diatas rata rata pesilat dan akhli kungfu yang terikat pada pengolahan otot untuk melakukan jurus jurus silat.   

 

Inti sari umum  semua aliran persilatan adalah mempersiapkan arah tenaga pukulan maupun tangkisan dan kecepatan berkelit yang dibebankan pada otot tertentu  seperti  umumnya  pegangan pokok aliran aliran persilatan.   

Aliran Butong pada dasarnya tidak terikat pada jurus jurus, hanya latihan dasar saja yang menggunakan jurus jurus umum, menjaga titik penting tubuh sambil membalas serangan dari semua jurusan, seluruh  badan panca indra dan indra keenam dilatih secara luwes melakukan dengan tenaga yang terkendali oleh gerakan refleks, pada kemampuan yang sudah tinggi mampu menghantar seseorang pesilat untuk mendayagunakan resonansi dengan fibrasi alam dimensi tinggi  sehingga tenaga yang dipusatkan pada dorongan, pukulan dapat sampai ke sasaran jauh lebih cepat dari kontak yang sebenarnya. 

Juga mampu membelokkan arah tenaga lawan yang tersalur lewat mata pedang tajam  dan mata tombak sambil secara refleks menggeser  bagian tubuh yang menjadi sasaran beberapa millimeter hingga energinya lewat  atau membuyarkan tenaga  hantaman benda tumpul sebelum sampai ke sasaran dengan keluwesan yang dibimbing oleh tenaga dalam, mendekati tenaga adikodrati.  

Begitulah, apakah kemudian Lurah Bhayangkari Majapahit sang Gajah Mada yang ternyata tidak  berhasil menyelamatkan Rajanya, tapi mampu menggulung komplotan makar Waraha Nambi, Lembu Sora, Kalabang Kuti yang ditakuti ini,  mampu melatih dirinya hingga jadi pendekar tingkat tinggi, sangat diliputi kabut rahasia, yang jelas sebagai seorang Brahmana, seperti juga  para Pendekar Siaulim dan Butong yang pemeluk agam Budha,  taat pada pantangan  membunuh dan berkelahi.  

 

Yang kemudian terbukti, Laksamana Armada Majapahit, selalu menyertakan perahu perahu cepat berlambung ramping sepasang dihubungkan dengan geladak layaknya “katamaran” digunakan khusus untuk menyelamatkan  prajurit laut yang  parahu perangnya karam, baik lawan maupun kawan, ini perintah khusus dari  Rakryan  Manggalayudha Gajah Mada.   

 

Pergaulan pemuda Gajah Gombak, anak Brahmana gryasta, Pandega  penyaratan gelondong jati dari pakuwon Modo. dengan masyarakat campuran di tepian Bengawan Solo sangat berguna kemudian, perkenalan secara kebetulan dengan pasangan suami istri bangsa Han dari negeri Cina.  

 

Kemahirannya berenang pemuda Gajah Gombak telah neyelamatkan seorang bocah yang nyaris ditelan olakan pusaran Bengawan Solo sewaktu tembonya (perahu kecil dari sebatang kayu yang lubangi sepanjang lebih kurang tiga depa) terbalik karena menerjang pusaran air yang cukup besar disekitar kedhung  ( lubuk ) bengawan Solo. 

 

Pemuda dari Modo ini berenang sekuat tenaga menggunakan gaya ikan lumba lumba sewaktu tubuhnya melesat diatas ombak olakan layaknya ikan lumba lumba,  sambil  memantau dengan cepat kemana bocah ini dihanyutkan oleh olakan yang ada sekitar seratus hasta di depannya.  

 

Kemudian merubah jurus renangnya dengan gaya ikan hiu meluncur  tanpa suara kecipak air, bahkan tidak ada percikan air dari gerakan jurus renang ini, hanya gerakan lengan kiri kanan secepat baling baling jantera menandai luncuran  perenang sebagai anak panah sehasta dibawah air. 

Tepat pada waktunya  leher baju bocah nahas ini di raih sebelum tubuhnya dihisap pusaran air. Sang penyelamat segera berganti jurus berenang terlentang sambil menumpangkan kepala si bocah china ini di dadanya sementara itu tenaga tendangan kedua kakinya yang dilandasi kemahiran kungfu sangat kuat disertai keluwesan ikan sembilang  dengan tangan kanan mengayuh sekuat tenaga  sambil mempertahankan keluwesan balalai gajah mina, maka kedua insan ini mampu keluar dari  olakan air yang sangat berbahaya dan berenang ke pinggir disambut dengan isakan kelegaan  seorang ibu. 

Pasangan keluarga cina  yang juga bermukim sementara ditepian Bengawan Solo.

Singkatnya cerita, ternyata pasangan suami istri cina suku Han ini ahli melebur logam dari bijihnya, tembaga, timah putih  dan besi, juga logam capuran seperti kuningan, mereka  sedang mencari urat tambang batu kawi atau bijih mangan, masuk pedalaman pulau Jawa lewat bengawan Solo.

 

Gajah gombak juga memperkenalkan suami istri marga Yap ini kepada kakek Bangkong, mereka segera menjadi sahabat yang saling cocok.

Entah apa yang dilihat oleh orang marga Yap ini sehingga mau membeberkan keahliannya melebur logam kuningan yang hampir semua undagi sudah mahir,  kepada pemuda Gajah Oling ini, terutama keahlian yang saat itu masih langka yaitu melebur besi dan mencetataknya. 

Sedangkan batu kawi (sekarang bijih Mangan yang mengandung unsur Mn kurang lebih 50 %) digunakan untuk menghilangkan keropos atau gelembung udara dari besi tuang  dalam proses pembuatan meriam besi tuang yang lebih kuat dan dengan kaliber yang sama  lebih ringan dari meriam kuningan atau perunggu, karena jauh lebih tipis.  Sedangkan harga perunggu lebih mahal dari besi tuang. 

 

Kedua suami istri ini berusaha menjadi pengumpul batu kawi untuk dikirim ke negeri China di pelabuhan  Teluk Tonkin, tempat marganya mengusahakan peleburan logam, yang saat itu berusaha mencoba membuat usaha peleburan besi tuang

 

 Bagaimana pemuda Modo ini tertarik pada peleburan besi tuang, bisa dimengerti bahwa penyaratan gelondong jati yang beratnya mencapai ratusaan ribu  kati ini memerlukan rantai rantai besi yang ditempa dari besi yang tidak keropos liat seperti baja masa kini

Atas restu ajahanda Mpu Suradharmayogi, gajah Gombak diizinkan ikut expedisi pencarian urat tambang batu kawi  atau batu mangan dan sekaligus belajar menuang  besi cair menjadi perkakas.

Petualangan bersama keluarga Yap berjalan hampir lima bulan, hingga musim hujan tiba, dengan tambahan bekal dana dan tenaga penyerta duapuh pemuda kuat dan bersemangat  dari Pakuwon Mada  ditugaskan mengiringi expedisi ini oleh  ayahanda Mpu Muda Pandega Modo dengan restu dari Mpu Curadharmayogi.. 

 

Atas petunjuk Mpu Pandega, perjalanan berbalik ke selatan Gunung Mahameru, dimana para Mpu pembuat keris melelehkan pasir besi dan mencetaknya menjadi keris, jenis keris ini  kemudian dikenal dengan keris Majapahit, dari besi tuang  (pig iron ) yang keras tapi getas artinya mudah patah, dengan ciri panjang dan tebal  layaknya  senjata perang brubuh,  saat itu sudah dituang dicampur butiran  batu kawi yang mrupakan “pamor” berwarna hitam dan keris nampak basah, yang mampu mengurangi sifat getas  atau mudah patah ini (mungkin lebih kuat karena berkurangnya gelembung udara).   Gajah Gombak belajar karakter/huruf Cina----------------------

 

 PEMBUATAN KALANATAKA OLEH  SAHABAT GAJAH MADA – ASISTEN PRIBADI RADEN WIJAYA

Baru ratusan tahun kemudian dikenal pembuataan keris dengan pamor batu meteor nickel yang berwarna perak,  diperkenalkan oleh para wali agama Islam seperti sunan Giri  Prapen. sesudah Sudah pada abad ke 15 - 16

Rupanya kepandaian ini diwarisi dari pembuat senjata baja dari Damascus ( Damascent steel)

Pantai selatan Lamajang memang sangat ideal untuk pengerjaan melebur pasir besi, disamping  letaknya  yang langsung diatas hamparan pasir besi, angin timur yang kencang dan bertiup tanpa berhenti dibulan bulan Ketiga hingga Kesanga, angin ini sengaja dipergunakan untuk membantu meniupkan udara ke rongga tungku pembakaran. 

 Tungku peleburan yang dibuat dari gerabah tanah liat putih beranpur pasir bintang yang lembut (sekarang kaolin dan pasir kwarsa) mampu melebur 30 hingga 50 kati pasir besi, memang kecil.

 

Mulut tungku yang melebar dihadapkan ke timur menentang angin, dan dari samping selatan dan utara ada lubang untuk pipa “ububan” yaitu pompa untuk meniupkan udara kedalam rongga pembakaran. Bagian bawah tungku yang lima kali lebih gendut dari bagian atas tungku tempat pasir besi melebur, diisi dengan arang kayu walikukun,, arang kayu kosambi kayu santigi dan arang kayu kamboja , batu bara dari Sokadana ( batu bara Kalimantan)  dan meberapa jenis kayu yang keras dari hutan pantai pegunungan kapur, dibagian atas berisi lapisan pasir besi ditaburi bubuk batu kapur bergantian dengan lapisan  butiran batu bara dari  Sokadana ( sekarang Kalimantan), diatur berlapis lapis sampai beberapa hasta,  Pasir besi akan meleleh menjadi besi tuang beberapa puluh kati. 

Pada puncak  musim angin  timur, semua tungku peleburan dinyalakan dan akan menjala selama beberapa hari diiringi dengan pujamantra dan ububan dari dua jurusan yang meniupkan udara terus menerus siang malam sampai  ratusan kati arang yang diatur dengan bijih pasir besi dan batu kawi  habis terbakar, menghasilkan cairan besi  yang nyaris tak bebusa ( rongga)  

Beberapa saluran dari grabah yang berisi besi cair dipecah  diujungnya dengan hati hati disertai suara berat puja mantra, cairan logam yang memijar mengalir kebawah di isikan dalam cetakan pasir halus memanjang diatur diatas papan panjang,  cetakan keris dengan berbagai bentuk dan ukuran. 

Tungku peleburan pasir besi yang lebih besar tidak mungkin digunakan karena dinding tungku gerabah semacam tempayan  yang tinggi dibawahnya ada lubang besar untuk angin masuk didua sisi yang lain ada lubang dengan leher sejengkal untuk sambungan dengan pipa ububan ( pompa) dari dua jurusan, gerabah dari lempung putih ini sulit dbuat dan diangkut apabila ukurannya besar. 

Begitu pula makin besar harus makin tebal, sangat sulit dibakar menjadi bejana atau tempayan untuk peleburan pasir besi. 

 

Expedisi pertama dari rombongan kecil keluarga Yap dan orang dari Mada sudah brhasil dengan baik. Hanya selanjutnya kelurga Yap pindah ke hulu Sungai Brantas, mendekati urat batu kawi yang dicari cari, selanjutnya puluhan marga  Yap dan Go ikut usaha mengumpulkan batu kawi, mengirim dengan jung jung besar dari Terung dan Ampel Denta muara sungai Brantas ke pelabuhan di Cina selatan.

Pada satu saat nanti, waktu Gajah Mada sudah menjadi Manggalayuda Bhayangkari Raja,

 

Dua belas tahun sesudah saling berpisah dengan keluraga Yap yang kemudian tinggal di Kadiri, Suadagar logam dan undagi Yap menemui Gajah Mada di Wilwatiktapura, singkatnya dengan bersemangat Undagi Yap mengabarkan bahwa dia pernah ke Sokadana disana ada undagi tembikar tempayan dari lempung putih yang mampu membuat tempayan tempayan besar yang kokoh menggunakan tungku pembakaran naga. 

 

Ide kedua sahabat ini sama, bagaimana bila tungku peleburan pasir besi ini di pisah jadi tiga bagian dan di buat di Sokadana untuk kemudian dipasang lagi di dataran yang berangin besar di Probolinggo, dan di Kling tepi sungai Brantas, pasir besi  diambil   dari Lamajang, kayu walikukun dan kayu keras sebangsa  kosambi mudah didapat, sedangkan batu kawi sudah tersedia dengan mutu yang bagus dari pegunungan kapur selatan Kadiri

 

Sang Manggalayudha Gajah Mada tidak sulit mendapatkan dukungan dari Paduka Prabhu Nata Jayanegara, terutama ibu Suri Gayatri tiga bulan sesudah pertemuan kembali dengan Undagi Yap, tungku peleburan sudah terpasang di dua tempat. 

Sebulan sesudah tungku besar yang bisa meleburkan duaratus kati pasir besi sudah bisa dicoba, saat itu masim kering angin keras dari timur, berhari hari, dengan upacara dan pemercikan air suci oleh  Rsi kasyaiwan tungku peleburan dinyalakan ububan dari  gulungan lempeng tembaga sebesar pokok kelapa delapan biji terus menerus meniup tungku menimbulkan kobaran api arang bergemuruh selama empat hari, setelah pipa tembikar dengan hati hati di lubangi sebesan kepalan, mengalirlah cairan besi membara kuning kemerahan kemilau ke cetakan pasir halus laras meriam dengan lubang peluru sebesar kepalan tangan orang dewasa lubang laras ini dibuat dari tembikar dipasang ditengah cetakan sekali tuang dua cetakan.

 

Undagi peleburan logam warga Yap tua telah mencoba berkali kali melelehkan pasir besi dengan mencampurnya dengan bubuk batu kapur dan bubuk batu kawi  dengan skala kecil an dia mendapat kesimpulan bahwa ada campuran dengan perbandingan tetentu dan ukuran butir butir bubuk batu kawi dan bubuk batu kapur sangat menentukan mutu besi tuang, yaitu hilangnya keropos, tidak boleh ada keropos  walau sedikit, cacat pencetakan  ini sama sekali harus dihilangngkan. 

 

Dari empat tungku peleburan yang sudah di siapkan buat dibakar, semua sudah dengan campuran pasir besi dengan bubuk batu kawi dan bubuk batu kapur dengan kehalusan seukuran  hasil percobaan yang terbaik, hanya tinggal berapa banyak bubuk batu kawi yang menghasilkan besi tuang paling baik, satu diantara empat tungku harus memberi petunjuk untuk pekerjaan mencetak meriam besi untuk dicoba menembakkan peluru yang sebenarnya.

 

Beberapa hari setetelah mendingin cetakan dipecah dan dua laras meriam kalantaka  menampakkan diri sempurna berwarna  hitam kecoklatan, tinggal menghaluskan permukaan laras dari dalam.                                                                                                                            Pemeriksaan pertama dengan pukulan palu besi, tidak ada tanda tanda laras retak atau tercetak cacat keropos, begitu pula dengan pemeriksaan timbangan apung, setiap laras seberat seratus limapuluh kati, panjangnya dua hasta lebih lima jari. Kelompok kecil para undagi sangat bergembira saling merangkul dengan sang Manggalayudha Gajah Mada, malah undagi  Yap menitikkan air mata.

 

Jam 6 pagi Manggalayudha Gajah Mada menyadari bahwa matahari telah menyingsing di muka bhumi Majapahit.

 

MATAHARU TERBIT DI WILWATIKTA PURA.

Dia membayangkan alangkah bahagia sahabat dan tuannya Raja Majapahit yang pertama sang Krtarajasa Jayawardhana, sebab pengetahuan beliau ketika masih menjadi sosok Pangeran pelarian di Madura, mengabdi di Kedhaton Sumenep kepada sang  Prabhu Patti Arya Wiraraja, belajar membuat perahu dari undagi Pandega galangan perahu di pantai Camplong. 

 

Bukan hanya memembuat, tapi juga mendalami pati sari rancang bangun perahu khas madura, yang dijelaskan kelebihannya dan kekurangannya kepada pengawalnya Lurah Bhayangkari Gajah Mada.

Gajah Mada memang sangat tergila gila dengan mahalela yang dia pernah lihat di geladak jung dari  pasukan Kublai Khan. 

 

Sayangnya meriam perunggu itu sangat besar dengan berat hampir tiga ribu  kati, berapa juta kepeng tembaga diperlukan  untuk membuatnya ? Sedangkan satu kepeng tembaga bisa ditukar dengan beras setengah beruk atau dua kepeng tembaga satu tempurung kelapa  beras !

 

Sekarang ditangannya laras meriam besi tuang kalantaka dengan peluru batu dibalut timah  sebesar telur angsa, bisa menembus lambung perahu di seantero kepulauan Nusantara, asal bukan jung dari Cina atau perahu besar bercadik dari Benggala, yang papan lambungnya tebal tebal. 

Atau peluru sebesar telur angsa ini diganti dengan petasan dibalut timah dengan sumbu   yang meledakkan petasan setelah ditembakkan  tigaratus depa ?

 

Dia ingat semasa menjadi Tumenggung bebeteng Praja di Tarik, Raden Wijaya bertutur bahwa beliau memperlakukan dengan baik seorang Perwira tawanan bangsa Uighur yang bergabung di Armada Tartar  beragama Islam, karena perilakunya sopan dan Perwira ini bekerja pada bagian obat pasang,  bubuk mesiu, atau pembakar petasan. Mengerti cara membuat garam sendawa dari kotoran kelawar dan kotoran ayam, 

 

Perbandingan dengan campurannya bubuk arang dan bubuk belerang. Setelah Prabhu Krtarajasa Jayanegara wafat,  Perwira Uighur ini masih mengepalai balai pembuatan petasan dan kembang api di Wilwatriktapura, Balatentara majapahit masih sangat sedikit dan mengandalkan persenjataan yang lazim, tombak, pedang,  keris dan perisai, baju zirah (yang ini sulit sebab harus dikerjakan dengan besi berkadar karbon dan mangan rendah untuk bisa ditempa)  tidak ada kelebihan yang lain, mengandalkan kecepatan dan keberanian, terutama jumlah, keris Majapahit pejal keras dan panjang  layaknya pedang pendek, seperti prajurit Romawi.

 

Perang  laut mengandalkan pedang keris dan seligi (tombak yang dilempar), juga periuk api berisi nafta  yang dilemparkan untuk membakar tali temali dan layar.  

Selebihnya perang laut sangat mengandalkan jumlah dan keberuntungan oleh cuaca.

 

 Prabhustri Tribhuanatunggadewi tahu betul bahwa Manggala Bhayangkari Kerajaan, Mpu Gajah Mada, dalam banyak hal mengetahui betul betul pemikiran Pendiri Majapahit Ra Dyah Wijaya, yang  membayangkan  bagaimana seandainya  Kerajaan muda ini mengandalkan  kelincahan mengubah haluan perahu perahu Madura, digabungkan dengan meriam meriam yang dipunyai oleh jung jung Cina yang sayangnya berat sekali terbuat dari perunggu.  Sayangnya bukannya perahu besar itu tidak bisa dibuat, kayu banyak, tapi kain layar yang sebesar itu kuat dan ringan, wilayah ini belum bisa menghasilkan, jadi seandainya dipaksakan, perahu besar dengan layar ini akan terlalu membebani tiang agungnya, perahu besar ini berat diatas sehingga tidak stabil, perlu dipasang cadik, yang kenghambat kecepatan, pemunggahan muatan dan penuruan muatan.

Dulu sang Prabhustri sering menyaksikan dan ikut mendengarkan pembicaraan kakeknya dan mpu Mada dua orang “muda” semangatnya yang bercita cita tinggi ini bewawan sabda sampai lupa diri,  mengenai perang laut yang mereka bayangkan berdua, seolah olah mereka hanya dua sahabat dari mandala laut saja. 

 

Pertemuan dan pembicaraan yang sangat kental dengan kengetahuan dan pengalaman  ini terjadi tanpa rencana disetiap ada kesempatan ditempat yang sepi di bangku batu taman-taman istana, isyasat selalu disampaikan kepada Wira Bhayangkari ini untu bertemu sang Baginda. 

Dengan bekal  dan pengetahuan seperti ini tidak heran Manggalayudha Gajah Mada ketika dinobatkan sebagai Mahapatih pada Pemerintahan Prabhustri Tribhuanatunggadewi, berani mengucapkan Sumpahnya yang terkenal : “ Sumpah Palapa” yang ternyata terwujud sempurna dalam kurun waktu kurang lebih 40 tahun. 

“Lamun huwus kalah Nusantara isun hamukti palapa, amun kalah ring  Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompu, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa” (*)

 

PADA EPILOG CERITA INI : TERBITNA BULAN SABIT DI BUMI JAWA..... DMULAI DENGAN BELAJAR MEMBACA DAN MENULIS..... TERUTAMA MERHITUNG.

---------------------baca dan belajarlah------------------------------------------------------

Lanjutan dari dongeng ini adalah kegiatan para santri di Garowisi

Dilanjutkan dengan gambaran pertempuran laut, angkatan laut                                  Majapahit,

Perang laut antara armada perahu perang “Lancang” dari Melayu melawan armada Perahu Madura dengan dua laras “kalantaka” di haluannya, kemudian kalantaka ini berubah ucapan menjadi “lela” saja, diwilayah timur. 

Nama baru ini bisa segera dimengerti, seperti yang digambarkan  dengan kata ungkapan “meraja lela”. Untuk mandala laut Majapahit.

Ungkapan ini mengingatkan bagaimana aksi armada perahu Majapahit yang hanya tiga puluh perahu melawan armada yang menyemut dari perahu perang kora kora  nun dllaut Arafura.

Kelincahan merubah haluan dan kecepatan mengisi peluru kalantaka, telah memporak perandakan kora kora yang didorong oleh layar dan dayung ratusan prajurit, Yang tujuan utamanya menabrak dan membanjiri perahu lawan dengan kelebihan jumlah prajurit.*)

 

, 

DAPUR ISTANA DITENGAH HUTAN JATI

Hari ini rombongan penebang dan penyarat glondong jati, yang terdiri dari tigapupuh orang, berangkat dari pakuwon Mada agak siang, karena letak pohon yang dituju hanya dua belas yojana. Dalam rombongan termasuk tiga pasang sapi zebu dan peralatannya, dan lima ekor anjing pemburu, Kliwon Cenik dan  Pon Burik  ada diantara rombongan. dua orang ini tidak diingat namanya bila tidak mempunyai kepandaian istimewa, yaitu mencari bahan makanan ditangah hutan yang gersang, tapi kebetulan saat itu permulaan musim penghujan. Tiga puluh orang ini berangkat dengan membawa segala peralatan menyarat gelondong jati yang beratnya puluhan ribu kati, juga belanga dan piranti masak dari tembaga yang mahal harganya, cukup untuk menyediakan makan buat tiga puluh orang dan lima anjing dibagi dalam tiga kelompok. Nampaknya tidak ada yang ngaggur bahu dan tangan mereka, bila tidak punggungnya mengusung sesuatu alat , pundak mereka memikul sesuatu beban yang tidak kurang dari tigapuluh kati, kecuali anjing anjing pemburu, yang mengikut tanpa tali dan bebas beban apapun.

Rombongan ini jadi istimewa karena dipimpin sendiri oleh Gajah Gombak, putra Mpu Curadarmayogi. Makanya si Pon Burik dan Klion Cenik ikut dalam rombongan, Yang satu ahli menangkap segala sato wana, walang atogo, yang satu lagi ahli mencari tumbuh tumbuhan yang bisa dimakan dan enak. Pon Burik memikul jala dan tali temali, Klion Cenik memikul belanga tembaga besar  kecil, persis seperti orang mau jual dawet.

Segala keperluan yang lain telah disediakan oleh hutan rimba, kecuali garam, tuak dan soma, yang sangat mahal harganya karena didatangkan dari Atas angin, makanya dibawa hanya  tiga butir masing masing sebesar kemiri termasuk bungkusnya dari lilin tawon yang tebal, dibawa oleh pemimpin rombongan dengan hati hati.

Rombongan berjalan masuk hutan sambil mencari untuk masing masing tumbuhan yang sangat pahit untuk mengusir nyamuk dak pacet, sambiloto, digosok gosokkan keseluruh tubuh mereka sambil jalan, sebentar saja mereka sudah lenyap ke barat ditelan hutan yang baru bersemi.  Waktu matahari tinggal tiga jengkal dari ufuk barat yang juga diselimuti mendung  tipis mereka sampai dipohon jati yang dituju. Aneh dimata mereka pohon itu istimewa, karena gelondongnya nyaris tidak bercabang dibawahnya, dan senjakala tertimpa matahari dari barat berwarna keputih putihan, terpisah dari latar belang hijau yang cenderung gelap,  kebetulan disebelah baratnya agak terbuka dari pohon besar, karena rupanya entah berapa puluh tahun yang lalu pernah dirambah orang  untuk  berhuma. Disitu ada beberapa puluh tegakan jati kira kira umur empat puluh tahun, dan rumpun pisang yang  porak peranda, karena habis deserbu babi hutan. Dipinggir  bekas hunian peladang huma ini ada pohon pucung yang buahnya masak dan bijinya berceceran di tanah, yang tidak luput dari pandangan si Klion, dan tidak aneh ditempat dia berdiri ada pokok jeruk purut selingan, si Klion memegang pokok jeruk purut ini sambil tersenyum.  Di lahan itu juga tidak sulit ditemukan segala empon empon (rimpang obat dan bumbu (familia Singiberaceae) mulai dari kunyit,  laos, jahe puyang, ditempat yang agak terlindung masih tumbuh kencur dsb, termasuk lombok rawit, yang tumbuh disisa bekas dapur yang masih ada sisa abunya.

Karena lokasi itu agak terbuka, segera semua orang meletakkan bebannya dan mulai berkerja, ada yang mendirikan pondok dengan atap dedaunan  palem hutan dan daun pisang hutan, ada jang mulai membuat api,  ada yang mencari sumber air, menurut petunjuk Gajah Gombak  sang pemimpin, agak ketimur laut  sebentar ada sendang yang jernih dan segera dua orang kesana untuk mencari air dengan membawa dua kantong kulit kambing masing masing. Sore itu mereka makan bekal dari rumah masing masing, yang terdiri dari nasi dilapisi daun pisang, ( rupanya sewaktu panas di ratakan di daun pisang setebal dua buku jari, setelah agak dingin lalu digulung erat  erat dikedua ujungnya di jepit dengan  penusuk bambu dikedua ujungnya, cara ini membuat nasi awet tidak bau dan lauk seadanya kebanyakan ikan asin dan sambal, beralaskan dedaunan, nampaknya nikmat sekali.

 Kedua kawan kita sudah pergi entah kemana, yang satu dengan anjing anjing, yang satunya lagi pergi kebawah pohon pucung, dan berjongkok agak lama satu tempat lain,  rupanya sedang mengali empon  empon, peninggalan pemukim huma itu puluhan tahun yang lalu, trus tumbuh meliar, selama hampir empat puluh tahun. Rupanya Klion Cenik lagi beruntung, hampir semua bumbu ada, termasuk  rumput sereh!

 Lain halnya si Pon, selang beberapa waktu, sekira menjelang tengah  malam dia datang dengan memikul dua ekor kijang yang terikat kaki kakinya di pikulan, sedangkan jala-nya dia tinggal tergulung ditengan hutan.  Anjing anjing ikut meramaikan suasana. Selang beberapa menit anjing anjing dapat bagiannya segala usus dan isi perut kedua kijang itu dan mereka lagi berpesta duluan.

Tulang dan daging kijang segera direbus dalam ketiga belanga tembaga,  menjelang pagi api unggun sudah mati dan daging kijang yang direbus sudah masak baru diberi bumbu oleh si Klion, rupanya bumbu rawon, yang ditumis dengan minyak kacang !                                    

Ternyata tidak rugi dia membawa satu buli buli  minyak kacang, untuk dipakai  pada kesempatan yang baik, rupanya kesempatan itu saat ini, kapan lagi dia menyertai Gajah Gombak. Minyak kacang untuk menumis bumbu rawon, siiip. 

Pagi pagi sekali seluruh hutan  mencium bau harumnya rawon si Klion. Membuat beberapa orang anggauta rombongan yang penakut  berdiri bulu kuduknya, hanya buyar rasa takut mereka, mengingat bahwa si Burik kemarin malam telah mendapatkan dua kijang,  tapi kok aneh mereka berdua bisa mengolah rawon ditengan hutan ini. Tidak menyangka bawa bumbu apa yang ditingalkan oleh penghuni huma empat puluhan tahun yang lalu, malah tumbuh menyemak, hanya orang  yang seperti Klion Ceniklan yang bisa memanfaatkan harta karun  itu.               

Semua anggauta rombongan sarapan sekenyangnya.

Bila tidak ingat akan siang kapan mereka perlu makan lagi, belum tentu seberuntung ini

Nati siang masih butuh makan lebih banyak, semua rawon maunya disikat pagi itu juga. Rombongan penyarat gelondong jati biasa mulai bekerja pagi pagi benar, tali temali direntang, tegakan jati yang sudah dikeringkan selama setengah tahun dipanjat lalu diikat bagian atasnya dengan tali lebesar lengan anak anak, menjulur kearah mana dia harus direbahkan. Sapi sapi penyarat disiapkan dengan pasangannya, jalur lintasan  yang telah direncanakan Gajah Gombak  semenjak kayu itu di kupas kulitnya untuk dekeringkan, mulai dirintis dengan bantalan kayu rimba mumbujur Jalur lintasan, sebagian orang membuat roda roda dari kayu bulat dipotong sedepa dengan garis tengah yang agak sama, sekira  tengah hari jalur sudah siap dua ribu depa. Beliung kapak dan kelewang dengan sebat bekerja, menjelang tengah hari tegakan jati yang sudah dikering setengah tahun berdebam  tumbang  kearah yang ditentukan, tinggal dipotong segala cabangnya ternjata wutuh gelondong itu lurus bisa mencapai 12 depa, panjang dan  agak melengkung dengan busur yang nyasis kentara. Bagian luar gelondong jati kira kira empat lima jari, adalah kayu luar yang berwarna cerah, tidak ada gunanya 

untuk diikutkan dalam pengolahan gelondong jati untuk jadi balok atau papan, karena kayu “putih”  masih terlalu muda,  bagian dalam berwarna tua sampai kehitaman, inilah yang menjadi dasar bahan kayu olahan.

Dibagian luar gelondong ini dibuat  banyak takik untuk tempat tambang tambang besar diikatkan dan juga lubang lubang untuk  menancapkan kayu,  mendorong dan mengarahkan gelondong disarat  sepanjang alurnya.   Gelondong selalu disarankan mrenyarat gelondong jati  dengan  bagian kayu yang terbawah di depan. Sang Pandega berdiri di bagian ini tengan berpengang pada kayu yang ditancapkan pada pangkal kayu gelondong, bila delondong agak sedikit tidak lurus tapi membentuk lengkungan sedikit, maka bagian luar lengkungan itu di arahkan dibawah bergeseran dengan tanah. Tali temali  derentangkan dengan tiga pasang sapi benggala, dengan rantai rantainya. Penyarat yang tigapuluh orang itu sudah membagi kerja dengan sendirinya, ada yang membuat  “rel” ada yang memasang gelondong kecil “roda”  tinggal mengungkit gelondong besar itu keatas roda. Setelah semua paripurna, gelondong mulai ditarik sapi sapi dan didorong oleh sebagian besar penyarat, hanya Gajah Gombak yang naik diatas gelondong berpegangan pada kayu  kemudi, kali ini dibelakang  gelondong besar. Setelah semua pada tempatnya,  gelondongong mulai ditarik, terdengan bunyi lecutan cambuk pada sapi sapi berponok dan,,,,,,,,,nampak ringan saja glondong itu bergerak maju, disertai sorak sorai ketiga puluh orang tukang sarat  dan gonggongan anjing  anjing melampiaskan kesenangan. Empat  atau enam orang memindahkan roda kayu bulat yang telah dilewati, cukup berat di angkat dua orang, diletakkan didepan gelondong yang lagi disarat, bagitu seterusnya. Rintisan rel dari kayu kayu rimba tiga ribu depa telah dilewati dengan selamat dan ringan, kerena arah  rintisan  yang agak miring kebawah, matahari sudah tiga perempat lengkung langit, mereka siap siap untuk beristirahat, makan siang dan makan malam jadi satu. Memang sejak dulu kaum petani di pedesaan makan duakali sehari, pagi pagi makan sisa kemarin malam, dan tiga perempat  hari siang  mengolah hasil pengumpulan makanan sejak pagi. Kali ini klion dan Burik tidak begitu beruntung, karena mereka hanya memperoleh ubi hutan cukup banyak, satu landak yang kesiangan  dan sebakul sarang tawon gung yang berisi larva tawon dan sedikit madu.

              Sisa bumbu yang oleh Klion kemarin terkumpul masih banyak, hanya dipilih lengkuas, kunyit, sekali lagi sisa minyak kacang dari desa. untungnya sekitar situ dihutan masih banyak popon salam dia ambil dua gengggam, masih ada kedondong hutan yang buahnya kecil kecil dan daunnya berasa asam, dia ambil daun kuncupnya artinya secukup lengannya memeluk. Ubi mereka bakar dengan dibenamkan di abu, sedang  tiga  tempayan tembaga cukup buat  mereka semua, 

Lenkuas yang dipukul pipih segenggan setiap tempayan dauh salam  segenggam setiap tempayan,  kunyit  yang sudah nyaris        hancur karena dilindas batu,  dan garam, semua dimasukkan kedalan tempayan berisi  sepertiga bakul larva tawon gung dan daging landak, kemudian daun kedondong hutan yang masih muda,  lombok rawit wutuh llima geggam setiap tempayan dan madu yang masih bercampur baur dengan sisa rumah lebah, seadanya, lalu didihkan sekali lagi, hasilnya sungguh sungguh aroma yang menggugah selera ( munkin aroma daun kedondong  Lombok rawit  daun salam dan serta aroma larva tawon).

                             

Langsung masing masing orang mencedok dengan tempurng kelapa, mengambil alas makan entah dari daun talas hutan, atau dari daum pisang hutan dan sebangsannya untuk antri  mencedok sayur larva lebah gung dengan kuahnya,  menghantar ubi hutana bakar, mereka sangat mengagumi kepandaian si Klion, minum kuah dari wadah  masing, dengan lidahnya berkecipak puas, meskipun makan sore hanya ubi bakar dengan seekor landak dan sayur larve lebah tawon gung  untuk tiga puluh orang, dengan kuah banyak, tapi justru rasa enak itu di bumbu dan sayurnya.

 Sampai sekarang sayur asem asem daging menjadi menu unggulan di warung makan atau restoran sepanjang jalan utama di Bojonegoro, yang rasanya segar agak asam dan pedas.

 Kembali ke dua ribu depa penyaratan gelondong jati sudah dkerjakan dengan rapi, matahari sudah tinggal dua jengkal dari ufuk barat, semua penyarat sudah puas makan ubi dan asem asem daging landak ditamah larva tawon, semua puas dan mulai meyiapkan tempat untuk tidur dengan menganyam daun daun palem, membuat gubug dari kayu hutan dan dedaunan agar bisa menjadi tempat berteduh bila mendadak hujan turun, sebab masa sudah memasuki musin hujan. Mereka pada minum tuak dan makan sisa ubi, hingga akhirnya semua pada mengantuk meski matahari barusan tenggelam. Ada yang gemar uro uro, artinya mendendangkan lagu kebetulan iramanya dandang gulo, disambung dengan kidung yang menjadi penjaga diwaktu malam, hanya untuk mempercepat mereka yang sudah mengantuk kepayahan dan pengaruh tuak.

 Tidur datas anyaman daun palem hutan yang digelar sembarangan diatas dedaunan yang berjatuhan di hutan yang ternyata hangat, dedaunan bagsanya sambiloto yang sangat pahit untuk mengusir nyamuk yang digosok rata dikulit, menjadikan para penyarat ini tidur pulas laksana raja raja yang tidak memikirkan apa apa, seputar api unggun.

        Besok paginya, lintasan harus disiapkan  agak menyerong ke utara, meskipun mengurangi penurunan yang landai tapi penghindari rawa rawa  yang memanjang ke timur yang tidak pernah mereka ketahui dasar dan kedalamannya.

 Menjelang siang penyaratan agak terhambat dengan rintisan yang agak menanjak, tapi apa lacur,  gelondong malah  melenceng, dari rintisan yang melambung menjadi rintisan yang lurus, menuju ka rawa rawa, yang memang tidak direncanakan. Gajah Gombak tetap berdiri di buritan kelondong sambil berteriak memberi aba aba, apa boleh buat, gelondong sudah terlanjur meluncur dengan perlahan meluncur  sendirinya lurus kearah rawa rawa. Sebelum meluncur cepat Gajah Gombak neretas tali temali sapi sapi penyarat, dengan goloknya, sampil tetap berdiri diatas delondong yang mulai cepat luncurannya. 

 Gajah Gombak sendirian menjaga keseinbangan badannya diatas gelondong yang meluncur makin cepat, diikuti oleh rombongan penyarat. Rombongan tertinggal dari kecepatan luncuran gelondong, hanya Gajah Gombak sang pemimpin rombongan tetap berdiri diatas gelondong dengan mempertahankan keseimbangan tubunya meloncat kedepan kebelakang dengan ringan, rupanya member arah lucuran ke tempat yang agak renggang dari pohon pohon besar, langsung meluntur tercebur ke rawa.  Karena daya luncur yang besar, delondong terdorong sampai ditengah rawa dengan Gajah Gombak tetap diatasnya. Begitu rombongan penyarat sampai ditepian rawa, Gajah Gombak berteriak, sudah turun dari gelondong berdiri ditengah rawa dengan kedalaman air sedada.

 Ternyata dasar rawa ditengah berpasir dan agak keras, Cuma berlumpur senata kaki.

  Rawa yang membujur ke timur itu ditengah dasarnya tidak berlumpur, dan dangkal dengan kedalaman sedada orang dewasa. Keadaan rawa seperti  ini,  tidak pernah dibayangkan oleh para penyarat.

 Semula rombongan para penyarat agak takut masuk ketepian rawa, mereka membuat tongkat dan mencoba kedalaman lupur di pinggiran, ternyata lebih dari sedepa. Apa boleh buat, untuk memperoleh kembali gelondongnya mereka menebang pokok randu dan pokok dadap yang ringan untuk jembatan menuju ke tengah rawa dimana Gajah Gombak duduk digelondong yang muncul dari air sedikit saja, tanda bawa gelondong jati kering ini berat. Akhirnya dengan pertolongan pokok randu alas yang besar rombongan peyarat berhasil sampai ketengah rawa yang dasarnya ternyata keras.

 Dengan sebat mereka membuat jembatan dari rakit dari pohon pisang hutan, pokok randu dan pokok dadap  untuk menyelamatkan gelondongnya kalau kalau tenggelam setelah lama tercelup diair.

 Ternyata tidak, mereka mulai menarik gerondong ketepi tapi sebatas dimana mereka bisa berjalan diair tanpa terganggu  yang makin ketepi makin dalam lumpurnya, Dengan tegar sang Pandega memutuskan untuk mengikatkan gelondong randu sebagai pelampung, dan menyarat diatas air dengan rombongannya, menuju ke timur.

 Rawa itu memanjang ke timur  dengan dasar yang sama ditengah agak berpasir dan keras, Gajah Gombak menuntun rombongan di depan, memilih kedalaman air se pusar dan lumpur yang di injak tidak dalam.

 Akhirnya penyaratan di rawa mencapai sepuluh ribu depa ditempuh dengan sangat ringan,  hanya gangguan lintah lintah, yang dihadapi 

 Anehnya, sang Pandega, Gajah Gombak tidak digigit lintah, kulitnya yang basah kecoklatan mengkilat ditimpa sinar matahari, akhirnya ternyata tepian timur rawa itu sudah dekat dengan Bengawan Solo, tinggal setengah hari penyaratan.

 Menyaksikan kejadian ini diam diam rombongan penyarat ini percaya bahwa sang Pandega mempunyai ilmu yang tinggi, dengan meretas tali temali sebesar lengan secepat itu, maka sapi zebu penyarat bisa diselamatkan dan cara Gajah Gombak dengan entengnya berdiri di glondong puluhan ribu kati mengarahkan luncuran supaya tidak menabrak pohon kayu hutan langsung  meluncur ke rawa.

 Untuk seterusnya rintisan lewat tengah rawa ini dipakai oleh ratusan rombongan penyarat, sehingga tegakan jati dibarat desa pakuwon Mada nyaris habis digantikan dengan huma dan tanaman muda.(*)

 

CERITA YANG SESUNGGUHNYA DARI MATAHARI TERBIT DI WILWATIKAPURA       

 

PELAYARAN DARI RAJEGWESI  KE PROBOLINGGO

Dari Rajeg wesi ke Sidayu perahu rombongan Pengelana hanya menghilir sungai Bengawan Solo yang airnya mulai menyusut karena dibagian hulu sudah jarang ada hujan lebat. Dari Sidayu baru Sungai ini bercabang cabang yang merupakan wilayah Delta, cabang yang menuju agak keutara kebanyakan akan mendangkal dan lebar lebar, sedang cabang yang keselatan menuju ke Manyar lurus agak sempit tapi kedalamannya baik, hal ini terjadi karena wilayah selatan merupakan kaki gunung kapur Pegunungan Kendeng selatan. Justru diwilayah sungai ini orang Garowisi membuat tanggul tanggul dan terusan terusan, agar bisa menuntaskan air payau bila surut, dan menaikkan air tawar bila pasang besar naik membendung aliran air tawar dari bagian hulu sungai. Semula Gajah Gombak heran, ditengah tengah rawa jauh dari mana mana kok ada orang yang menggali terusan terusan yang Nampak dari perahu rombongan ini , apakah kurang pekerjaan ? Yang jelas menggali terusan dan membangun tanggul dirawa rawa adalah satu pekerjaan yang sangat berat.  

Anak sungai di delta bengawan Solo ini memang mengalir di tempat yang bisa mempertahankan ketinggian wilayah, karena di pangkal percabangannya merupakan tanah yang terangkat naik oleh gerakan terangkat daratan selama jutaan tahun.  Disinalah air payau didorong masuk ke daratan watu pasang naik dan mengalir kelaut waktu surut. Vegetasinya adalah khas tanah payau berupa nipah, sebangsa palem.  konon selokan selebar dua depa sepanjang ratusan tombak ini buatan orang Sidayu dan Garowisi    untuk mencetak sawah dilahan tersebut. Selokan aneh ini amat berat pengerjaannya terutama kerena lahan tersebut sangat berlumpur, gunanya untuk menahan air tawar bila pasang naik, justru tanah galiannya untuk dijadikan tanggul sekalian, sungguh perbuatan orang setengah waras. Tidak tahunya bahwa saluran saluran ini diberi pintu ganda, agar hasil panen bisa diangkut dengan perahu tanpa mengganggu ketersediaan air tawar. Justru fungsi  pengangkutan hasil bumi yang ter cipta oleh sistim saluran ini akan menyaingi kemampuan Wilwatiktapura dalam mengadakan stok beras dikemudian hari.

Manjelang senja perahu sudah di Selat Madura utara pelabuhan Garowisi, angin mati perahu masih didayung menuju agak ketimur mendekai pulau Madura. Menjelang pagi angin melai bertiup dari barat daya, dan perahu rombongan menggunakannya untuk berlayar ke timur. Perahu rmbongan sengaja mendekati pulau Madura, menghindari gosong gosong lumpur di depan muara kali Porong. Angin tetap menuju ke timur, mendekati perairan Sampang yang konon gawat oleh para bajak laut dari Sampang. Ternyata jauh didepan perahu rombongan pengelana ini ada dua titik yang menandakan layar dua perahu dari desa desa sekitar Sampang melaju ke barat daya, diperkirakan haluan prahu ini akan memotong alur pelayaran prahu rombongan. Gajah Gombak memerintahkan Pandega maupun Jurumudi untuk tidak merubah haluan, untuk mengetahui maksud dua peerahu ini sebenarnya. Benar juga, tidak ada perubahan arah dua perahu yang keluar dari perairan Sampang ini, melainkan akan tepat memotong jalannya perahu rombongan, bararti ada kemauan yang pantas dicurigai. Benar juga sesudah jarak antara mereka tinggal limaratus tombak, nampak puluhan orang mengacung acungka senjata, semacam arit besar panjang dan golok, mereka mengenakan baju dan celana hitam komprang selutut, semua memakai destar cara Madura. Gajah Gombak tidak ayal kagi, menyuruh anak buahnya dari penyaradan Mada  menyiapkan dua bilah batang bambu, diselipkan antara dua balok penguat geladak yang melintang badan perahu miring kearah haluan perahu guna tumpuan melintingkan loncatan jarak jauh, setelah jarak mencapai duapuluh tombak Gajah Gombak mulai meloncat ditas ujung dua bilah bamboo yang dipasan miring, jarak limabelas tombak, haluan perahu rombongan darahkan persis kearah tiang pengikat layar perahu perompak. Dengan bersenjatakan golok pendek dan cambuk panjang yang disiapkan melilit pundak kiri dan pinggangnya, pemuda gempal ini melocat berjumpalitan diudara, tepat pada jarak sepuluh tombak, dia mendarat persis diujung tiang pengikat layar perahu pembajak, dengan tangan kiri meretas tali layar hingga layar jatuh, sambil berdiri disatu kaki di ujunng tiang pengikat layar, sekaligus mengayunkan cambuknya bercuitan diantara gerombolan pembajak dan terdengar suara mengaduh dantara suara senjata celurit berkerontangan di geladak diantara layar yang mendadak jatuh. Dengan berteriak murka, seorang kepala bajak yang  meluncat dari buritan loncatan yang ringan dan pesat, setinggi tiang pengikat layar sambil mengayunkan celurit, nampak pemuda Mada ini tidak bisa menghindar hantaman celurit yang mencuit kearah pundak kanannya kebawah. bersamaan dengan itu pemuda Modo ini dalam sekejap sudah tertelungkup diatas diang pengikat layar, bertumpu diatas telapak tangan kirinya yang mencekeram ujung tiang, sambil nengayunkan cambuk panjangnya, ayunan camuk ini sekejap mata lebih cepat dari ayunan celurit, maka apa yang terjadi, bahwa pinggang kepala perompak  terlilit cambuk panjang, dengan gerakan ikan sili melentik, pemuda Modo menegangkan tubuhnya  menggeliat diatas tiang layar, cambuk sekaligus menegang dan menarik tubuh kepala perompak ini keatas dan meluncur menurut garis arah loncatatannya, lewat diatas badan Cajah Gombak  luncurannya diteruskan lima tombak menuju laut, arah haluan perahu perampok. Untung waktu jatuh diair dengan deburan keras,  seandainya bukannya pinggang yang terlibat cambuk panjang tapi bila lehernya,  bisa mati dia, ternyata celuritnya jatuh waktu diayunkan, mengenai tempat kosong tanpa tenaga. Perahu perompak yang satunya segera putar haluan dan menuju ke daratan dengan didayung secepat cepatnya. Gajah Gombak sudah berdiri disatu kaki lagi diatas tiang pengikat layar, sambil mengayunkan cambuk panjangnya, menantang siapa yang mau mandi lagi. Semua perompak lebih dari dua puluh orang mengangkat sembahnya diatas kepala, sambil mohon hidup.            

Setelah perahu perompak dan perahu pengelana diikat lambungnya satu sama lain, gerombolan perompak dan Pemimpinnya yang baru selesai berenang digiring ke haluan sambil berjongkok. Mereka semua menyatakan menakluk dan minta ampun pada sang pendekar. 

Pemimpin perompak mengaku namanya Lora Sapuangin, dia dan kawan kawannya sanggup menebus kesalahannya dengan mendayung perahu pengelana sampai tujuan sebagai ganti kemurahan sang pendekar memberi mereka hidup. Dua puluh empat pendayung telah siap dibagi dikedua sisi lambung, sebelumnya setiap mereka diberi makan satu ketupat dan sepotong dendeng sapi panggang, untuk menghangaatkan badan dihadiahkan sebumbung tuak untuk diminum bergantian.  Segera haluan perahu diarahkan ke tenggara dengan menggandeng perahu perompak. Dalam sehari dijamin akan mendarat di Probolinggo dengan kecepatan ini, kekuatan layar dibantu dengan duapuhuh empat dayung. Perompak diampuni setelah berjanji tidak sembarangan merompak lagi, dan Lora Sapuangin mohon untuk ikut rombongan kemana saja, dengan harapan ditambah ilmunya oleh Gajah Gombak yang penakluknya yang kepandaiannya sangat dikagumunya. Gajah Gombak berfikir ada baiknya membawa dia menyertai rombongan agar memudahkan merintis jalan ke Pasirian.


Di Probolinggo, gajah Gombak sengaja membeli kerbau jantan dua ekor, disembelih dan dendengnya dibumbui dan dikeringkan untuk dibuat tambah bekal daging, kecuali itu dikuliti dengan potongan khusus dibelah dari sebelah punggung sehingga bagian dari dada kebelakang wutuh, dan bulunya dibersihkan. Kulit  tidak disamak, dikeringkan dengan garam dan sejenis minyak damar akan menggumpal dan mengeras. Kulit lembu mentah dikeringkan dan sebelum kering benar dipotong memanjang menjadi pita dari selebar sejari hingga selebar tiga jari.  Setelah kering benar di anjam sambung menyambung menjadi tali sepanjang tiga tombak, bagian perut menjadi tebal dan agak lentur bisa diiris menajam dari anyaman cemeti itu. Sedangkan irisan kulit bagian punggung sangan liat dan kuat. Kulit seekor kerbau jantan menjadi enam cambuk panjang, yang cocok untuk pertarungan. Memang Gajah Gombak dalam perjalanan akan mengajari pemuda pilihan dari Mada yang ikut rombongan untuk membuat cambuk panjang dan membuat senjata tempur yang handal. Kelihatannya sang Gajah Gombak membiarkan Sapuangin mengikuti semua proses pembuatan cemeti tempur ini. Ditangan seorang pendekar, cemeti semacam ini bisa menjadi senjata istimewa, dan serba guna.

Dalam perjalanan ke Sadeng,  Pasirian, saban sore pereka memmbuat kemah peristahatan, dan Gajah Gombak mulai melatih tenaga dalam para pengikutnya, dan si Sapuangin ada diantaranya.

Sebenarya latihan menghimpun tenaga dalam manusia itu adalah cara untuk mgnhubungkan tenaga non fisik dengan tenaga fisik otot manusia. Tentu saja otot otot hewani kecepatannya ditentukan oleh jumlan rangsang adrenalin yang tersedia terutama otot jantung. Otot otot ini sangat berhubungan dengan tingkat metabolisme. Di alam raya ada sumber energi yang jauh lebih hebat dari energi metabolism. Otot manusia terlalu dikendalikan oleh pikiran, bila perkerjaan otot orot ini sedikit dibebebaskan dari pikiran, seperti otot kaki belalang yang menyepak, seperti otot sayap burung merpati yang terbang menentang angin, seperti sayap lebah yang bergetar sekian ratus kali sedetik, otot  bersinergi dengan alam dan mengeluarkan tenaga yang bukan dari metabolism saja, melainkan sinergi dengan alam sebagai angin terhadap layar perahu . Begitu pula tenaga yang harus disalurkan lewat cemeti yang panjangnya lebih dari tiga tombak, pesilat harus mampu membebaskan pikirannya dari katerbatasan ujung cemeti, artinya ujung cemeti harus dialiri kemampuan untuk bersinergi dengan alam. Cemeti yang sudah mengandung tenaga pendekar yang memainkannya, akan kaku sebagai tombak dan sekaligus lemas sebagai tali. Latihan meditasi membantu pesilat membebaskan ujung cemeti dari pengaruh pikiran, jadi seharusnya dibawah pengaruh kesadaran, tapi bebas dalam bersinergi dengan alam. Jadi meditasi yang sifatnya bukan berkonsentrasi melainkan membebaskan dari contradiksi pikiranlah yang diupayakan.

Seminggu perjalanan darat yang tidak tergesa gesa, melewati pemberhentian dekat dengan sumber air minum biasanya hunian dengan sedikit penduduknya, melulu menyediakan keperluan orang beristirahat.

Lima hari perjalanan ini sungguh sangat berarti bagi Sapuangin, karena latihan silatnya sangat menuruti satu urutan kegiatan otot yang dinamakan jurus jurus silat. Sedangkan yang ini membebaskan otot dari pikiran. Untung Gajah Gombak meskipun masih muda tapi mewakili sosok guru yang sabar dan mengerti persoalah setiap muridnya. Dia menotok Sapungin dibeberapa tempat di belakang leher, disamping badan dibawah ketiak kanan kiri, sambil berkata inilah gerbang untuk mengalirkan tenaga dari pusar. Latihan berikutnya Sapuangin telah merasa tenaganya tersalur sampai ujung cemeti, dia rasakan itu dengan sangat kegirangan dan bersyukur.

Setelah sampai di pantai selatan Pesirian, diantara rombongan rombongan para undagi dan Barahmana yang menyertai pembutan keris, sangat mudah untuk menemukan Empu Keleng. Rombongan Mpu Keleng dari Sumenep mendirikan perkemahan dan peleburan pasir besi ditanjung yang mampak menjorok kelaut di arah barat tempat mereka bertanya.

Mereka bertemu dengan Mpu Keleng sendiri, seorang pria yang berbadan lebih besar dari rata rata, telah agak bongkok, bercambang dan berjenggot tidak teratur mentupi bagian bawah mukanya, hanya matanya yang berbinar binar melihat cucunya yang masih dikenalinya si Sapuangin, berdiri disamping pemuda gempal bersalwar dan dadanya menyelempang tali kebrahmanan, sambil telanjang dada, juga mengenakan ceripu dari daun lontar. Sapu angin segera berlutut dan meraba kaki Mpu Keleng sebagai tanda bhakti cucu kepada kakeknya, sedang Mpu Keleng dan Gajah Gombak menangkupkan sembah didada sambil mengucap “Om swasti astu” sebagai lazimnya tata cara Hindu.

Mpu Keleng membimbing tamunya ke wantilan sedehana kecil semacam gazebo  mereka bersila, kebetulan ada sosok anak buah Mpu Keleng yang dipesan untuk

menjemput rombongan yang masih ada di pinggir pantai sebelah timur. Gajah Gombak membiarkan kakek dan cucunya saling berceritamelepaskan rindunya satu sama lain. Mpu Keleng berkata pada cucunya dengan maksud agar gajah Gombak ikut mendengarkan. Sapuangin sangat beruntung dapat bimbingan dari sesamanya Brahamana Gryasta dan harapannya agar pandangannya ke masa depan tidak salah, behwa Gajah Gombak akan menjadi orang besar di tanah Nusantara, bahwa Sapuangin sangat beruntung bila bertahan melayaninya dan berguru kepadanya. Lantas Gajah Gombak menceriterakan tentang robongnnya yang jauh jauh datang ke Pantai Pasirian ini yaitu untuk belajar  dan menyaksikan peleburan pasir besi, terutama mencetak secara benar

 

 

. Kartarajasa Jayawardana (1294 -1309) Raja Majapahit    Pertama – Raden Wijaya

 

Satu bayi laki laki  dilahirkan sebagai  cicit dari seorang putri yang luar biasa, Ken Dedes  putri Brahmana yang  diperistri oleh dua raja  berturut turut, Akuwu Tumapel dan pendiri kerajaan Singhasari. 

Ken Arok yang kemudian menjadi raja Singhasari  pertama bergelar Sri Ranggah Rajasa sang Hamurwabhumi.  

Hasil perkawinan keturunan  Ken Dedes dengan Tunggul Ametung Akuwu Tumapel,  pemuda Anusapati membalas dendam membunuh sang Raja Ranggah Rajasa  alias Ken Arok,  mengambil haknya sebagai Raja, kemudian dibunuh oleh   saudaranya sendiri dari lain bapa , Rangga Tohjaya.   

Saling balas membalas kematian berakhir karena rangga Tohjaya mati muda, kemudian pada keturunan ketiga dari Ken Dedes saling berdamai, membuahkan Raja  Singhasari terakhir Krtanegara. 

 

Pangeran Wijaya atau Raden Widjaya adalah rumpun keturunan Putri Ken Dedes juga, diambil menantu oleh Raja Krtanegara Raja Singhasari, yang tak lama kemudian mati terbunuh oleh serangan kilat Raja Kadiri Jayakatwang. 

 

Raden Wijaya dengan istrinya dan adik adik iparnya melarikan diri dan dikejar  kejar berbulan bulan.  Karena di Tuban pun yang kerabatnya juga tidak aman menurut berita dari  Tuban  Adipati Rangalawe, diberi  petunjuk  untuk berlindung ke pulau Madura dibawah naungan  Raja muda  wilayah Madura : sang Aria Wiraraja.   

 

Arya Wiraraja Bahupatti Sumenep dan Sang Jayakatwang Raja kadiri :

Sebagai seorang Penguasa Wilayah pinggiran Singhasari yang sudah berumur dan bijaksana menyadari  posisinya sebagai penguasa wilayah yang tidak penting dibawah kerajaan Singhasari.  Bawahan dan sahabat Prabu Krtanegara, juga akrab juga dengan raja raja Kadiri baik turunan  langsung Mahaprabu Erlangga, maupun yang bukan seperti Sang Jayakatwang  yang telah menjatuhkan Singhasari. 

dan Prabu Kartanegara terbunuh saat penyerbuan kilat istana Singhasari. 

 

Konon telah tersebar luas bahwa sang Jayakatwang menguasai banyak ilmu gaib,  akhli menyilangkan kuda kuda, dengan saksama membangun tentara berkuda yang sangat kuat, setiap prajurit berkuda diwajibkan untuk menyatu dengan kuda kudanya yang merupakan pemberian pinjam dari sang Raja. Prabhu Nata Jayakatwang tahu persis prajurit dari Pakuwon mana dan mendapat “gaduhan” kuda dari keturunan kuda pilihan yang mana, 

Ratusaan  kuda milik kerajaan mempunyai ginealogi yang jelas dan dipelihara oleh pemuda pemuda pilihan yang di uji bertingkat tingkat kemudian  dan dididik dengan saksama, sampai prajurit prajurit ini memilih mati bersama kudanya dalam perang maupun dalam damai. 

 

Tanah sawah gogolan dihadiahkan kepada setiap prajurit berkuda, Seorang tamtama pasukan berkuda melakukan latihan perang perangan setiap seminggu di pakuwonya, setiap bulan sekali diadakan lomba kepantasan kuda kuda anak buahnya yang tigapuluh orang, setiap kuda perang betina yang nenunjukkan tanda tanda telurnya masak/birahi,  harus dilaporkan segera kepada Tamtama atasannya dengan isyarat yang dikirim dengan burung merpati, kelalaian perajurit penggaduh sering harus dibayar dengan nyawa.  

 

Pejantan ditentukan oleh  Petugas Brahmana gryasta di kabupaten.  Setiap kuda perang betina yang bunting harus masuk istal di Pakuwon Tamtama pemimpin, lengkap dengan catatan ginealoginya. 

Enam tahun  tahun Jayakatwang berkuasa sudah berani menentang Singhasari dalam  hal keagamaan, misalnya Kerajaan  Kadiri mendukung prosesi pemujaan di candi kaum Waisnawa secara menyolok dimana candi itu terletak diwilayah Singhasari. 

Candi kasyaiwan di wilayah Singhasari terlantar karena Sang Prabhu Nata Krtenegara adalah Pendeta Kepala aliran Tantra,  kaum Bhairawa, yang  sering berperilaku menjijikkan. 

 

Apapun rencana menghukum pendeta dan pengikutnya yang berani menerima dukungan secara  menyolok  dari Raja jayakatwang,  selalu mentah karena ketahuan sejak semula dan selalu dihindari atau ditangkal. 

Pengiriman pasukan penghukum  yang di pimpin oleh tamtama dan  prajurit pilihan Singhasari  untuk menangkap komunitas waisnawa yang masih dalam wilayah Singhasari saat  itu  pindah ke daerah terpencil, selalu digagalkan dengan aneh, satu saat diserang habis habisan oleh lebah hutan di lembah berbatu batu dekat Wlingi sehinga harus berlarian serabutan tanpa bisa berkumpul kembali dan melanjutkan formasi penyerangan.  Apakah ini ilmu gaib dari Prabu Jayakatwang begitulah dalam hati sebagian besar prajurit Singhasari.

 

Banyak Brahmana Kasyaiwan, Brahmana Waisnawa dan pendeta Kasogatan tidak menyukai perilaku sang  Psabu Krtanegara, terutama dukungannya yang menyolok kepada kaum Bhairawa dengan cara hidup yang nyleneh, memuaskan semua  hawa nafsu, duniawi  untuk mencapai kesempurnaan mokswa. 

 

Heran bagaimana Rakryan Tua dari Madura ini Baginda Wiraraja dapat mengikat persahabatan dengan  Kedaton Kertanegara sekaligus dengan tokoh misterius Prabu Jayakatwang, tidak sulit dijelaskan. 

 

Yang jelas setiap tahun,  waktu Penghadapan Agung, Arya Wiraraja selalu membawa  hadiah berpeti peti guci berisi arak obat yang konon aphrodisiac dan obat kuat yang sangat ampuh dan hanya sang Arya dari Madura ini yang tahu cara membuat ramuan rahasia ini, peti peti ini diterima baik dengan sorak sorai hadirin dipenghadapan agung di Singhasasi naupun di Kadiri.

 

Pelarian raden Wijaya yang sangat kritis  keadaannya berbulan bulan, hanya bisa berhasil diwilayah yang “ilmu gaib” Paduka Jayakatwang lemah, ilmu gaib ini adalah jaringan telik sandi dengan merpati merpati terlatih dan gandek gandek ( kurir) berkuda ternyata melemah di wilayah Trung, Pamotan, dan Janggala sendiri, karena wilayah ini mempunyai pusat pusat perdagangan yang kuat dengan peredaran uang sangat besar. 

 

Pelaku perdagagan adalah saudagar dari segala macam suku dan kepercayaan, satu satunya kepercayaan bagi telik sandi adalah uang dan emas. 

Diwilayah ini banyak telik sandi dan pejabat yang bisa dibeli, pengabdiannya hanya kepada uang dan emas saja. 

Berkat kesebatan para saudagar dari Japan, dekat muara sungai Porong yang merupakan pelabuhan besar dan kawasan pergudangan milik kerajaan maupun milik para sudagar. Ada alasan mengapa  perkumpulan sudagar kawula Singhasari  dari Japan ini  bersimpati  kepada  Pengeran pelarian yang mereka kenal baik, menurut berita bisik bisik dari  para bakul  sinambi wara, bakul yang suka bergosip,  rombongan  melarikan diri kearah  utara, makanya  mereka segera  mencari kontak dengan rombongan pelarian dan  berusaha membimbingnya dengan kerahasiaan dan laporan tipuan yang diumpankan kepada telik sandi Kadiri.  

 Para kawula Singhasari yang pedagang ini secara rahasia menyediakan  tempat persembunyian, perahu dan kuda kuda.    Regu regu pencarian disertai dengan penunjuk jalan dan gandek gandek yang mengetahui persis letak sarang sarang merpati komunikasi  untuk secara cepat mencari jalur pelarian yang aman untuk penunjuk jalan apabila bertemu dengan rombongan pelarian,  informasi dari lingkungan yang masih setia kepada Singhasari, terutama bersimpati kepada sosok raden Wijaya.  

 

Tentu saja Japan sudah dikepung dengan jaring rahasia diatur oleh Prabu Jayakatwang sendiri.

Sebaliknya dilawan dengan jaringanan informasi yang lebih setia dan mengakar melibatkan banyak  orang   karena dihati setiap orang di Japan maupun di Janggala  mereka tau siapa Raden Wijaya,  segera hubungan terentang  sampai ke Tuban, Wirasabha, dan Madura. 

 

Anehnya bantuan jaringan merpati pos bisa diperoleh dari pedagang Islam di Garowisi (Gresik)  dan Ampel Denta, meliputi seluruh pantai utara, Madura, Jenggala, Singhasari, bahkan Kadiri.  

Geng  pedagang di  Japan ini adalah kaun Waysia dan Sudra yang mendapat tempat terhormat di  kalangan  perdagangan   Japan. 

 

 

 

 

.  Masa remaja Raden Wijaya

Kawula Singhasari golongan ini mengenal raden Wijaya sebagai Pengeran miskin dan yatim piatu dari Watu Kosek, karena saat saat meningkat dewasa Raden Wijaya tinggal bersama dan menjadi siswa kerabatnya di perdikan Sendang, kaki bukit Watu kosek sebelah utara, tidak jauh dari Japan. Semasa pemuda Wijaya belajar ilmu ilmu yang berguna di Perdikan  Sendang dari Ksatria pendeta, perjaka setengah baya yang sejak puluhan tahun telah menjalankan ikrar Brahmacarya, artinya tidak  melakukan hububungan pria-wanita.  

Sang Bismasadana. 

Mereka, murid  Ki Bismasadana ketiganya   sebaya,  Raden Wijaya  bersama dengan dua pemuda tanggung putra wangsa Ksatrya rendahan dari Jenggala, orang tua mereka berhasil menjadi kaya oleh perdagangan, hanya kaum Ksatria yang nyleneh saja yang mau terjun ke dunia perdagangan. Pemuda tanggung anak orang kaya, Carat Seta dan Lembu Sagara, yang kemudian selalu menemani Raden Wiajaya sang pangeran miskin, meskipun membawa watak masing masing yang kadang kadang berlawanan.

Sedikit mengenai masa muda raden Wijaya hingga terpilih oleh Prabhu Krtanegara menjadi menantu kerajaan, masa muda yang mungkin bisa sedikit mengungkap juga kenapa  menantu Prabhu Kertanegara ini  mendapat curahan simpati dari para sudagar dari Japan disaat yang sangat genting ini.  

 

Kumpulan saudagar Singhasari ini, di Japan merupakan patembayan campur aduk dengan pandangan yang yang praktis dan telah menyerap  pengetahuan baru menyangkut pelayaran . berhitung dan kepercayaan, yang masih dipandang rendah oleh para Dwija dan Guru dari kalangan Brahmana. Mereka menjalankan perdangangan dengan jujur, selalu menepati janji, membina hubungan luas tanpa memandang Kasta dan Bangsa, pergaulan ini mebuat Ksatria rendahan dari Janggala belajar dengan cepat ilmu ilmu yang sangat berguna dari pemukim wilayah pelabuhan Japan 

 

Banyak pemukim  dari mancanegara,  dari Gujarat, Cina, Parsi dan  Arab, yang mempunyai petugas tetap untuk membeli dagangan dari Wilayah Timur Nusantara dan menyimpan di gudang gudang mereka menunggu armada dari Negaranya berlabuh menjemput dagangan, dan memunggah barang barang dari mancanegara atas pesanan dan sebagai dagangan biasa.

 

Banyak saudagar pribumi yang telah mahir menggunakan abacus untuk berhitung, menggunakan catatan angka dengan angka huruf Arab yang sangat praktis daripada angka huruf Palawa, bahkan ada  yang sudah mampu belajar ilmu perbintangan untuk menentukan posisi perahu ditengah lautan, karena ada pendatang baru yang sangat royal mengajarkannya, adalah pedagang  dan Penyiar agama Islam dari Yunan sebelah timur - laut negeri Parsi 

Tiga pemuda tanggung murid sang Bismasadana, sebagai layaknya pemuda tanggung lainnya sangat gemar mengunjungi keramaian di pelabuhan Japan, sepanjang sungai Porong  yang tanggulnya semakin lama semakin panjang dan luas sedikit demi sedikit di timbun dengan bebatuan dan tanah liat dari bukit bukit sekitarnya. 

 

Ki Bismasadana, lain dari Guru umumnya zaman itu, hidup sederhana dari hasil tanah perdikan Sendang yang tidak berapa luas, perperilaku ramah dan suka menolong penduduk Japan yang membutuhkan,  tapi hidupnya agak tertutup dari pergaulan luas. 

Sangat wanti wanti kepada muridnya supaya berpakaian sederhana, rendah hati dan selalu menghormati orang lain dari kasta manapun, bangsa manapun, dan lebih suka memberi dari meminta. Menjauhi tempat perjudian dan perkelahian. Mereka bertiga berpesiar di kota Pelabuhan Japan mengenakan seluar kain temun gedok kasar coklat tua dari rebusan kulit kayu saga,  tali pengikat seluar ini dibalut dengan  kain   batik penutup pinggang sampai paha, batik kasar gaya Tanjung bhumi  Madura, memakai destar  gaya pesisiran, gaya berpakain ini masih dipakai di tanah Melayu dan pakaian adat Surabayan , kemudian kain batik penutup kolor ini dibelit dengan sabuk kulit lembu hitam dengan timang dari besi tuang. 

Raden Wijaya karena memang masih pangeran, meskipun miskin, kain yang membalut tali celana selutut ini adalah bahan  kain  batik yang sama hanya motif lukisannya lebih halus konon dlukis di pembatikan  Singhasari, mengenakan timang besi juga, hanya bercorak garuda,  dikenakan tertutup sembarangan dengan batik membalut pinggang, mungkin untuk menyamarkan timang tersebut, karena motif garuda hanya  boleh dipakai oleh kerabat Kerajaan.  

Pada umumnya di Pelabuhan Japan yang hiruk pikuk tidak banjak orang yang peduli corak timang, apalagi  timang besi, kaum Arya dan Pejabat Kerajaan punya cara yang lebih menyolok untuk mengenakan pakaian yang menunjukkan derajatnya. 

 

Dua hamba yang selalu mnjadi  pengasuh anak bangsawan ini sudah lama menikmati kemerdekaan, mengerjakan apa saja yang disukai di perdikan, bukan mengiringkan tuannya, yang lebih suka sendirian bersama rekannya.  

Kedua pemuda dari Jengggala lebih suka menonton pertunjukan macam macam sedangkan raden Wijaya lebih suka mengunjung kenalannya orang Gujarat tua yang gemar bermain catur, pengelola kedai teh yang ramai, dan penginapan sederhana namun bersih,  sang raden suka main catur disana dan makin lama makin mahir saja. 

 

Sikap yang rendah hati dan bersahaja membuat orang suka  bermain catur dengan Pengeran Miskin ini, mereka penggemar catur di Japan menyukai langkah langkah tak terduga sang Raden  dalam permainan catur  gaya  dan jurus apapun, gaya pembukaan garuda nglayang yang hati hati namun  cepat menukar  buah catur,  gaya pembukaan Benteng pendem yang sangat hati hati dan menghindari pertukaran buah catur terutama perwiranya dengan tiap pengorbanan dan jurus selalu demi memenangkan kedudukan pengepungan, gaya pembukaan emprit neba yang ruwet membuka medan tempur dimana mana,  Reden Wijaya memang bermental juara dalam catur, dari tahap pembukaan, tahap pertengahan  memenangkan posisi dan mobilitas perwira perwira catur sehingga tahap akhir, pada tahap akhir selalu ada saja langkah manis yang mengubah kekalahan menjadi seri, bahkan kemenangan  yang gemilang, di tahap  inilah dia menjadi terkenal dikalangan penggemar catur di pelabuhan Japan,  dikalangan pedagang, saudagar, dan  orang kaya di Japan, sering mengundang  bermain catur, karena sifat Pangeran Wijaya yang tidak membeda bedakan Kasta dan asal usul bangsa, selelu rendah hati dan sopan.  

 

Tanpa dirasa Raden Wjaya mahir berbahasa Madura, bahasa Cina,  dan Urdhu, bahasanya pedagang  Benggala, juga tentu saja Bahasa Sansekerta, bahasa kitab Wedha.            

 

Tahap pelajaran menguatkan bathin dari sang Guru.

Sebenarnya bukan hanya pemuda pemuda tanggung ini yang belajar dari masyarakat perdangangan pelabuhan Japan, tapi  sang Ksatria pandita Bismasadana yang tinggal di perdikan Sendang  sangat  dekat denga Japan, sudah sejak lama mendalami pemikiran pemikiran baru mengenai alam semesta, ilmu perbintangan, dan edaran bintang dan planet, ilmu pengobatan dari sumber selain sumber sumber formal agama Hindu dari Yajur Wedda, meditasi agama Budha, bahkan latihan pernafasan dan pengendalian pranapun beliau perbandingkan dengan apa yang dimengerti dan didalami oleh sumber sumber dari Cina, Parsi dan Jawa asli.   

Ki Bismasadana adalah empu pembuat gandewa panah, yang sangat mumpuni,  mencoba membuat   busur atau  gandewa  dari lempengan baja yang pengolahannya  masih merupaka rahasia para empu senjata, sangat tertarik pada panah api  orang cina dan dia juga pemanah yang handal, sangat menaruh perhatian kepada upaya mengatasi para bajak laut, tanpa melatih para awak perahu dengan Ilmu imu silat yang sangat makan waktu, sebab tidak banyak pendekar handal yang mau menjadi  awak perahu.

Upayanya mempelajari pembuatan bubuk obat pasang terpusat pada pembuatan sendawa, yang dibeberkan dengan panjang lebar kepada Raden Wijaya disela sela pelajaran menulis dan kemudian membaca sloka sloka  epos Mahabharata yang sangat digemari.

 Inilah yang sangat membekas pada pemuda tanggung Pangeran miskin ini.

 

Ternyata ki Bismasadana juga mumpuni dalan catur India dan catur Cina yang prinsipnya sangat berbeda, catur India dilakukan dengan melenyapkan kekuatan kekuatan lawan, catur Cina melenyapkan mobilitas lawan dengan mengusai “jalan” strategis dengan buah catur sesedikit mungkin hingga lawan tak mampu bergerak. 

Ilmu Perang yang diajarkan layaknya kepada para ksatrya, secara tidak langsung dari mpu Bismasadana  lewat papan catur. telah dipelajari oleh mpu Bismasadana dari kitab dan penuturan para Pengembara dari tempat tempat yang jauh, yang sengaja ditemui oleh sang Ksatria pendeta, sesuai dengan berita dari banyak sahabatnya di Garowisi, Ampel denta, Trung dan Japan, terkumpul menjadi catatan pribadi,  dengan senang hati diturunkan semuanya kepada sang siswa, terutama Raden Wijaya, kemungkinan besar dari tulisan Sun Tsu. 

 

Ilmu bela diri yang diajarkan oleh sang Ksatrya pendeta hanya jurus jurus yang umum saja,  hanya ditekankan pada penguasaan simpul simpul jalan darah yang harus dieserang  cara menyerangnya atau melidungi titik titik penting disekujur tubuh manusia.      

         Ilmu Kebathinan diperkenalkan kepada siswa adalah hal yang diluar ajaran formal Hindu dengana alirannya. Tapi Hindu Jawa yang mengenal “catur sanak” yang lahir bersama si jabang bayi,  barang siapa yang mengenal catur sanak bersama diri pribadinya sebagai tokoh kelima, akan kajanaprya (Jawa, Bali artinya  unggul ) ,  unggul sebagai ksatrya  menjadi tempat berlindung  makhluk yang teraniaya, Brahmana petapa dan orang tua, tetap pada dharma, ini bisa dicapai dengan tapa berata dan Samadhi atas bimbingan sang Guru, yang intinya upaya merambah alam diantara tidur dan jaga antara hidup dan mati yang diupayakan dengan tapa berata dan ditutup dengan hamati geni (tidak makan dan minum) selama sehari semalam, kemudian bersamadi setelah tengah malam pada akhir hamati geni,  siswa tidak boleh bergejolak jiwanya sedikitpun, terkejut, bingung, takut harus dibuang jauh jauh, sesudah perasaan hilang tapi kesadaran masih ada, keadaan semacam itu harus dipertahankan selama lungkin dengan bantuan sang Guru, dengan pancaran instruksi bathin yang sudah bisa diterima oleh siswa, maka ketenangan bisa berlanjut sampai fajar menyingsing, akan didapatkan kunci pertanda apapun, kalimat, siulan, tarikan nafas, sikap mudra telapak tangan, tulisan di udara yang kemudian dapat menjadi kunci penghubung kembali dengan catur sanaknya  sesaat di ingat dalam bhatinnya. Pengenalan pertanda ini masing  masing siswa berbededa beda,  dan masih harus dilatih pada pelajaran pelajaran berikutnya desertai berata dan menahan hawa nafsu secara berkala, dengan pengendalian pikiran, sehingga keadaan sambung rasa dengan catur sanaknya bisa diulang, semakin banyak latihan bersama Guru atau dilakukan sendiri,  semakin mahir mengadakan hubungan dengan catur sanaknya. Siswa akan lulus sesudah kira kira tiga tahun berlatih secara  tetap dibawah bimbingan sang Guru. sesudah lulus, bila diperlukan  delam sekejap situasi hubungan dengan catur sanak bisa dicapai dan apapun bantuan yang diminta bisa secepat cipta ada, apakah dalam menghadapi pertarungan, atau menyingkir dari bahaya, melindungi diri dari serangan makhluk gaib, menghadapi kekuatan alam yang tidak biasa catur sanak akan menugaskan Bathara Bathari  bahkan Mahadewa berkenan melaksanakan dalam sekejap, bahkan “mahawak Kalamrcu” arinya merubah dirinya jadi raksasa yan tinggi besar.atau berubah wujud  pun mampu bila perlu, asal untuk menghadapi lawan yang setara, asal pribadi sudah  menyatu dengan kehendak Jiwatman.  

 

Hubungan dengan catur sanak akan lestari  erat apabila hidup bisa menurut alur dharma. Makin menyimpang  dari dharma makin sulit mendaptkan kembali rasa hubungan  catur sanak, bahkan yang masuk adalah isi Alam hitam, yang datang dengan sekejap, karena pintu terbuka sudah ditinggalkan oleh penjaganya.

 Maka pribadi akan jatuh ke jurang yang tanpa dasar.  

 

Begitulah gemblengan Ki Bismasadana terhadap tiga siswanya, dua yang lain harus bersabar dan memgulang dari permulaan melakukan tapa berate awal, menghilangkan gejolak jiwa di alam antara sampai bekali kali gagal, toh akhirnya dinyatakan berhasil oleh sang Guru, meskipun bimbingan di alam itu hanya peneguhan peneguhan yang “terdengar” agar tidak terlempar kembali kealam nyata, namun belum  sempat  “mendapat rasa” pertemuannya dengan catur sanak, melainkan hanya sekejap mata karena jiwanya kembali bergejolak karena gembira,  walaupun sang Guru sudah menyatakan memadai, dan kapanpun sang Guru akan membantu mengajari mendatangkan bantuan catur sanak masing masing  dengan mantra yang pada saatnya akan diajarkan, untuk menjaga diri yang bersifat umum. 

Sebagai gantinya akan diajarkan beberapa jurus ilmu silat yang bisa diandalkan untuk membela diri.

Sedangkan mengapa pangeran miskin Wijaya berhasil, karena sejak kecil sudah yatim piatu dan meskipun Ibunya adalah Putri Pangeran Singhasari tapi bapanya dalah Brahmana gryasta sah makayangan ( meningal) karena bencana topan yang menenggelamkan Perahunya di laut antara pulau kecil Masalembu dan Nusa Jawa di utara Madura, Ibundanya mangkat dua tahun sesudah ditinggal sang suami. 

 

Kakeknya  Pangeran saudara tiri sang Krtanegara sudah mangkat. Putri janda,  nenek bocah ini masih mengabdi Keraton sebagai Pengatur banten dibalai pemujaan para Pitri, dengan cucundanya dicukupi keraton segala kebutuhannya. 

 

Hanya Raden kecil ini karena urutan kedekatan dengan suksesi Raja cukup jauh, urutan ke 12 maka segala apa dalam giliran permainan maupun pelajaran dalam kelompok pengeran pangeran dan putra putri kecil krecil,  Raden ini ada di giliran akhir. Anak lelaki ini sejak dini telah terpaksa belajar sabar dan rendah hati sampai batas yang nyaris tidak ada pada anak anak  lumrah , melainkan pada orang dewasa.

 

Sejak kecil Raden Wijaya telah belajar menahan diri, tidak menunjukkan kegembiraan maupun ksusahan melainkan bersikap datar, karea dengan dmikian dia bisa menghindarkan diri dari rasa kecewa. Ini sabda  sang nenekda  yang  belum waktunya,  tapi entah kenapa kok merasuk kedalam ingatan dan kesadaran anak laki laki ini.

 

Begitu pula mulai dari masa anak anak, sudah diperlakukan sebagai peserta cadangan atau yang mendapat giliran paling akhir.

Disetiap pemainan panahan, anak panah dan sasaran jumlahnya selalu lebih sedikit dari peserta yang terdiri dari putra putra pangeran yang dibawa oleh orang tuannya ke Kedaton dalan suatu acara, anak anak ini  pasti desertai dengan para abdinya yang sangat memperhatikan dan megusahakan dengan bersemangat agar tuan kecilnya mendapat giliran atau tempat, sedangkan Wijaya hanya dititipkan kepada emban Gusti Ratu yang lagi tak bertugas, yang sibuk bergosip ria dengan emban emban yang lain atau bercengkerma  dengan juru taman.

Pada gilirannya, semua pangeran kecil dan manja sudah pada berlarian srabutan dan tidak ada yang memperhatikan bagaimana dia memanah dan bagaimana dia meregang busur, anak panah terlalu melenceng kemana, jadi dia dengan sabar memilih anak panah yang paling baik, memilih busur yang paling baik dan mencoba mebidik sasaran tanpa ada penggembira yang memperhatikan, dia mencoba menirukan pemuda pemuda bangsawan yang dilatih memanah di kasatryan. 

 

Karena arena sudah sepi ditinggal oleh setan setan kecil dia bisa mendapatkan anak panah dengan mudah dan banyak bidikan yang tepat tanpa ada yang memperhatikan,  ini selalu terjadi.  Keadaan inilah yang melatih Wijaya untuk tidak telalu berharap pujian, tidak meledak gembira, gampang mengubah  alur perhatian  ke hal hal lain yang konstruktip  bila  gagal,  menjadi kebiasaan bersikap datar. 

 

Bisa dimengerti bahwa kebiasaan yang dihimpun sejak masa bocah, untuk tidak mengumbar emosi, sangat membantu saat bermeditasi sesudah hamati geni ( tidal makan dan minum selama sehari semalam)

Merembes ke alam liyep yang gawat karena kesadaran harus lengkap tapi tidak terpengaguh oleh sensasi apapun, terkejut, khawatir, refleks gerak  seperti berubah  irama  nafas dan detak jantung  harus tidak bergeming terombang ambing,  sesudah sang Guru berhasil  membimbing siswa melewati alam liyep,  diambang alam sunya ruri, dimana rasa menyatu atau bertemu dengan catur sanak yang  sensasinya mendadak gembira, mesra, seperti kerinduan yang terobati campur aduk, inilah satu kejapan saat yang berbahaya, siswa samasekali harus ta’zim, berserah diri dam meberikan  puja panyambarama  kepada catur sanak , sebab bagitu terbawa oleh emosi, begitu semua lenyap, meditasinya buyar. Sebaliknya siswa yang berhasil masuk dalam alam sunya ruri dengan selamat akan mendapat satu kunci sandi yang “berwujud”  macam macam, bisa derwujud ucap mantra, bahkan swara saja, misalnya  pemandangan wujud yang indah, bisa melihat dirinya menguncupkan sembah dengan sikap mudra tertentu, bisa  mendengarkan sepotong irama, sepotong  tulisan yang terbaca oleh sang siswa, yang itu semua nanti bisa diulang dalam bathin,  disaat  diperlukan, untuk menyambung kembali hubungan dengan catur sanak yang menjadi sarana  bantuan kepada ksatrya  guna menjalankan  dharmanya.

Sang Bismasadana selau menutup wawancara mengenai Dharma dengan kalimat Sang Karna Kuntiputra dalam bahasa Jawa saat itu:

“Tan hana Dharma mangrua”  yang terucap oleh sang Karna disaat yang sangat genting,  sang Karna harus memlilih kebenaran  antara  dua,  berpihak kepada Pandawa  sebagai yang dimohon Ibundanya yang selam ini dirindukannya,  Dewi Kunti,  karena  sebenarnya  Pandawa adalah para sudara saudara kandungnya, sedangkan para Kurawa yang telah  melimpahkan budhi kepada sang Karna yang baginya besarnya tak ternilai, yaitu meneguhkan dirinya sebagai Ksatrya – saat keabsahan derajad dirinya dipertanyakan dihadapan umum.  Ibunda Kunti mendatanginya saat kedua wangsa  yang masih sepupu ini sudah bersiap akan saling membunuh di medan perang besar dimana sang Karna merasa wajib  membalas budhi walau sampai gugur dimedan laga  -  arti  jawaban sang Karna kepada ibundanya adalah  “tidak ada kebenaran yang mendua”, kemudian diabadikan oleh Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma.

Selanjutnya, kepada siswa yang telah melewati tahap pelajaran ilmu Kebhatinan Hindu Jawa setingkat ini, dua hal yang di tekankan oleh Sang Guru, kesatu adalah mengulang kembali menyambungkan hubungan dengan catur sanak hingga bisa dilaksanakan sekejap mata, kedua pelajaran Dharma yang artinya disingkat dengan “kebenaran”

Pelajaran Darma bukan saja bersifat “scholastic” mebaca dan membahas kitab kitab yang terkenal misalnya Mahabharata dan Ramayana,  Danghyang Kamahayanikan, Upanishat Wedanta dsb, tapi juga melakukan raja yoga, untuk  memperteguh pengendalian nafsu.

Masa berguru kepada sang Bismasadana tujuh tahun tanpa dirasa, diantara latihan tapa berata dan ceramah mengenai ilmu ilmu yang lain, Pemuda Wijaya angat tertarik kepada pembuatan perahu perahu  besar, Sang Raden banyak berkenalan dengan para undagi mpu Pandega galangan perahu, membahas gambar rancangan  lunas dan lambung  perahu dan penyambungan setiap bagian bagiannya, pembuatan dempul yang unik- dari bubuk kapur dan minyak jarak (Recinus communis L),……….   begitu sedikit minyak jarak dibandingkan dengan bubuk kapur yang dicampurkan nyaris tak masuk akal,……. toh akhirnya menjadi satu gumpal dempul yang kuat menahan gempuran ombak disela sela papan papan lambung perahu dan geladak,  betapa celakanya bila pada saat gempuran ombak dempul ini mrotholi, lepas dari celah celah papan lambung atau haluan perahu, pasti perahu akan tenggelam. Dipelajari juga pemakaian damar dari Sokadana (Kalimantan), yang meskipun lebih sederhana tapi mudah pecah, hanya untuk papan papan perahu kecil saja yang melayari sungai, lain halnya dngan aspal dan pelangkin dari pulau Buton, sangat tahan air dan lemas, berguna untuk membuat anyaman bambu kedap air. Pemilihan kayu kayu yang cocok untuk digunakan ada kayu yang khusus untuk pasak lunas dan gading, ada kayu yang khusus unuk pasak pasak papan lambung, ukuran ketebalan papan yang tidak sama disemua tempat dan kegunaannya dan sebagainya. Raden Wijaya mahir menggunakan alat pertukangan kayu untuk bangunan perahu.

Raden Wiaya muda juga hafal  membuat dan melepaskan banyak macam simpul tali temali layar dan kegunaanya dan tidak canggung memanjat tiang agung untuk bertengger di papan peninyauan saat mendekati pantai yang bergosong karang dan saat bertempur. Kemahiran yang kemudian hari sngat berguna.*)

 

 

 Pisowanan  sinoman Kerabat Raja Singhasari

 

Sinom bahasa Jawa artinya semula daun muda, kemudian  sekarang berarti daun pupus pohon asam (Tamarindus indicus L ) atau daun muda pohon asam yang diperas ainya untuk jamu.

Pada tanggal limabelas bulan lima  tahun Saka, bukan tahun candra, sang raja berkenan supaya para muda  dari  wangsa Girindra ( keturunan Ken Arok dan keturunan ken Dedes menghadap Raja untuk diperkenalkan, karena dikalangan bangsawan jaman itu mereka saling dijodohkan,  jadi keturunan sezaman dengan raden  Wijaya baik dari sisi Ibu maupun dari sisi bapak  akhirnya di puncak pasti merunut ke Ken Dedes atau ken Arok atau keduanya, walaupun  itu dari Anusapati maupun dari Tohjaya.  Ini terjadi tujuh tahun setelah pemuda tanggung Raden Wijaya berguru dan tinggal di Perdikan desa Sendang,  wilayah Watu Kosek, dekat sungai Porong menjadi murid sang Bismasadana.  Ada puluhan pemuda pemudi yang umurnya dibawah  duapulu tahunan, dan ada perjaka tua diatas duapuluh lima tahun bebarapa orang, para putri , yang sudah kawin tidak diundang.

Peristiwa istimewa ini melanjutkan tradisi Sang Ranggawuni dan sang Mahisa Wongateleng yang bisa saling  rukun sesudah generasi sebelumnya saling membunuh akibat kutukan Mpu Gandring.

Sabda resmi baginda Raja Kertanegara, adalah demi kejayaan Singhasari, dharma para putri dan ksatria yang diundang   mengabdi kepada Negara, demi memulyakan para Pitri (leluhur ).

Setelah dengan khidmat mendengarkan sabda sang Kertanegara, Mahapatih Aragani menjelaskan dalam beberapa hari sesudah acara andrawina dan perkenalan dengan Keluaraga Kerajaan, para hadirin undangan diminta untuk membuat karangan singkat mengenai cita citanya untuk kerajaan Singhasari,  kebisaan dan kegemaran masing masing, untuk dipersembahkan kepada Raja,  Kebanyakan undangan disertai oleh pemuda, sahabat dan Orang Bijak, baik dari wangsa Ksatrya maupun dari  Brahmana yang menguasai sastra yang dituakan oleh keluarga masing masing, untuk menjadi Paranpara.

Pada hari yang ditetapkan masing masing undangan secara bergilir dipersilahkan menggelar karyanya di Wantilan Dalam dengan dihadiri oleh Sang Raja, sang Mapatih keluarga dekat Kerajaan dan para nindya mantri.

Dalam menggelar karya tulis ini boleh dalam bentnk prosa  dibaca sebagai janturan dalam pedalangan  maupun  puisi  yang diikat dengan tembang, disediakan dua perngkat gamelan dan penabuh istana untuk mengiringi tari sembah, maupun silat sembah,  gending baris, dimana banyak gendang ditabuh  bila dibutuhkan. Ksatrya muda dan Putri mempunyai hak dan kuwajiban sama kepad Rajanya dan Negaranya, oleh karena itu gending yang dipilih juga tidak dibedakan.

Giliran pertama jatuh pada Putra Pangeraan Rakryan Singanabda, salah satu Panglima pasuka Singhasari. Ksatrya berotot dengan tinggi badan limajari lebih diatas rata rata prajurit pilihan, mengenakan lancingan ringkas berwarna gelap dengan penggiran perada sulaman perak sedikit dibawah lutut dengan belahan disamping tigajari bermotif nagapasa. Dodot ( penutup pinggang sampai paha) kain halus batik bermotif gajah oling ringkas manun banyak wiru/lipatan untuk keleluasaan gerak dililit sabuk kulit lembu disamak hitam dengan timang garuda mas. Bertelanjang dada, nampak berkulit cerah dengan wajah cerah dengan celak mata garis tebal hitam dilukis memanjang satu jari di pelipis, berambut tebal di ikat diantas kepala sebagai gelung padat diikat ringkas dengan tali sutra merah setebal jari. Sangat mengesankan. Degung baris ditabuh dengan gemuruh, Ksatrya Gajah Wiromba masuk kalangan berlari menuju singgasana dengan lutut tertekuk tajam, telapak kaki tidak terangkat  layaknya  meluncur cepat  limabelas depa  mengikuti irama degung yang cepat, telapak kedua tangan didada bersikap mudra, tepat tabuh berhenti Ksatrya jatuh berlutut trus mneyembah,  tanpa bunyi seolah olah lutut yang menumpu berat seluruh tubuhnya ikut jatuh diatas bantal yang tebal menandakan dia akhli tenaga  keras  sekaligus tenaga lunak dan kuda kudanya sangat kokoh. Sang  Kertanegara tersenym dan memberi tanda uutuk mulai. Karya tulis perupa prosa, dibaca dari segulung kulit anak kambing, diiringi gending girisa yang dibawakan dengan lirih.

Dinyatakan bahwa dia pemuda yang belum pernah mempersembahkan jasa apa apa kepada  Baginda dan Singhasari. Tetapi yakin bahwa ketekunan Bapa Ibu dan gurunya melatih ilmu jaya kawijayan ilmu mengerahkan tenaganya  akan mampu menahan   serudukan gajah mengamuk, apalagi hanya serangan pasukan berkuda,  dia dan prajurit Singhasari membuat benteng pasukan yang kokoh bersenjatakan tombak panjang dari kayu  walikukun dan galih kayu gelam dari Sokadana, yang keras dan liat untuk merobek perut kuda kuda gila, tenaga yang tersimpan pada sikap kuda kuda silatnya bagai dinding batu karang yang siap melindngi Singhasari.    

Semua hadirin puas dan mengumandangkan sesanti jaya jaya Singhasari, Ksatrya muda Gajah Wiromba bersembah kililing dan undur diri.

 

Peserta undangan dari wangsa Girindra yang mendapat giliran menggelar karya tulisnya adalah seorang Putri remaja, dengan perawakan tinggi badan sedang, bekulit seperti warna temugiring, putih dengan semu yang kuning pucat matanya cemerlang seperti mata burung merak bulat dengan pulupuk mata tipis dan ekor mata yang memanjang, alis tipis melengkung dan bulu mata tidak menjolok namun ditebalkan dengan celak yang serasi hidung dan bibir serasi dan tidak besar, mengenakan pakaian para putri dari Campa. 

Sang putri remaja laksana putri bangsawan dari Campa, masuk di kalangan dengan tubuh dan  leher tegak berjalan dengan diiringi ending kinanti, tangan kiri dengan anggun dan lemas memegang tepi selendang dan tangan kanan menganbil posisi laksana pendeta budha, dihadapan  baginda raja  sang putri membungkukkan badan kemudian menyembah. Setelah baginda memberi isyarat, sang putri mengambil kertas sempit dan agak panjang, menempatkan kertas catatan  debagai  dengan posisi solah olah mnimang bayi.

Rebab ( biola hindu ) memberi nada dasar gending macapat dan sang putri mulai menembangkan ikatan syair yang menceriterakan bahwa dirinya adalah warga Singhasari wangsa Grindra dari ayahanda sedang  bundanya adalah putri dari Campa.  Dia mahir bahasa dan tulisan Campa, adat dan kebudayaanya, mulai umur lima tahun diajar oleh Sastrawan bangsa Han bahasa Cina dengan tulisannya sekalian seni sastra Cina dan adat serta bahasa Istana Cina, dia juga mahir bahasa Tartar yang lebih sederhana, bahasa Tartar dia pelajari dalam pelayaran ke Negara Ibundanya  menumpang jung cina beberapa awak jung yang ditumpanginya adalah orang Tartar, dia sanggup menyumbangkan dirinya dengan kebisaannya kepada Negara Singhasari  dengan mengabdikan diri  kepada baginda raja, disamping dia pernah belajar ilmu kalawisa kepada Ni Kalaniti yang tersohor di gunung Lengis, Tuban.   Sang Raja sangat terharu berkenan  bangkit dari dampar mendekati sang putri remaja dan meletakkan tapak tangannya ke pudak sang putri dan membimbingnya mundur. Sunyi senyap di Wantilan dalam, di sesusul dengan suara helaan nafas banyak hadirin.  Bahkan ada seorang nindya mantri tua yang begitu terharu hingga menitikkan air mata.

Pada hari kedua hari ketiga dan keempat banyak digelar ilmu silat dan ilmu kekebalan tubuh, Seorang Ksatrya muda akhli melatih kuda dan melatih burung merpati pembawa berita,    putra wangsa Girindra dari Balega pulau Madura mengutarakan dengan tembang gambuh bahwa kekuatan pasukan berkuda adalah serangan mendadak, akan tetapi bukan untuk menduduki suatu wilayah. Maka itu diperlukan pengiriman berita ke arah Sasaran yang di ketahui jauh lebih cepat dari larinya kuda.

Putra Ksatrya dari Balega Madura ini selesai dan menyembah sang Prabu Kertanergara, beliau hanya mengerutkan kening sesaat, hanya mahapatih Aragani yang meberikan pendapatnya bahwa Singhasari  cukup besar untuk melayani musuh dari sisi manapun perbatasan Negara  untuk sampai ke ibukota ”tanpa diketahui” tidaklah mungkin. 

Sedangkan burung burung merpati yang ternyata bisa menyeberangi laut Jawa kurang berarti untuk mengabarkan berita penyerangan

Persembahannya dicatat tapi kurang mendapat sambutan dari bangsawan narapraja yang hadir karena  pikir para bangsawan Narapraja ini keahliaan melatih merpati dan kuda  hanya pantas untuk kaum waisya dan sudra saja, bukan pekerjaan Ksatrya.

Alangkah menyesalnya para Narapraja termasuk mahapatih Aragani bila masih mengingat  persembahan Ksatrya muda dari Balega ini, karena beberapa tahun kemudian dihari yang nahas Ibukota Singhasari ditembus dari utara secara mendadak hanya oleh beberapa ratus pasuka berkuda pilihan oleh raja Jayakatwang dari Kediri, kuda kuda ini diangkut oleh perahu perahu yang dihubungkan dengan geladak menghilir Sungai Brantas diturunkan  di hutan Tarik menyusuri lereng gunung Pananggungan yang banyak asram dan candi candi kaum waisnawa dalam dua malam sudah brkumpul di jurang Baung  pakuwon Plawangan, Dari jurang Baung di Plawangan (sekarang kota Lawang) 15 yojana dari Singhasari  menjelang tengah malan dari Plawangan kuda dipacu kencang lurus keselatan melewati jalan jalan di persawahan yang lagi bero (kering)  upet  baru terbakar tujuh jari pasukan berkuda sudah  masuk gerbang kota raja  langsung berpencar  pada tujuan masing masing yaitu Istana dan dalem Narapraja    setelah kedaton porak peranda, istana para Narapraja dikota raja disatroni tanpa sempat mengadakan perlawanan, bahkan tidak sempat bersembunyi atau menakluk, semua dibantai ternasuk mahapatih Aragani dan paduka raja Kertanegara. pasukan berkuda menghilang, Istana terbakar hebat, dalem narapraja rata dengan tanah karena terbakar lebih cepat  tanpa dipadamkam, banyak prajurit jaga yang tembus oleh panah panah yang ditembakkan dari kuda yang berlari kencang,  sedangkan perwira perwira pendekar yang lebih sebat menilai situasi, mendadak saja diikuti oleh “pengawal yang memegang obor ganda  mereka adalah pasukan baris pendem yang sudah ada di Ibu kota sepekan sebelumnya untuk menandai keberdaan pendekar pendekar yang perlu penangan khusus dari penyerbu yang sepadan kepandaiannya.   

Disini di potong ke bab berikutnya.

Pengendara kuda berkepandaian tinggi langsung 

menyerang  sambil meloncat turun dari kuda yang berlari kencang  sebagian lain memanah sambil mengikuti kuda yang kabur ditingalkan oleh penunggangnnya, walau berkepandaian silat yang tinggi, diserang secara demikian  jatuh juga  pendekar Singhasari atau tertembus panah atau kena sabetan kelewang   rakyat digiring oleh pasukan baris pendem  untuk menjaga rumah masing masing sambil memukul kentongan  jangan sampai meninggalkan balai kampung.  

Menjelang fajar semua sunyi, rakyat gemetar melihat istana yang megah dilalap api yang masih menyala dan dan para narapraja rata jadi abu, disana sini isak tangis rakryan ibu para  emban dan selir, putra putri kipeluk oleh para emban. Hilang semua kemegahan narapraja Singhasari yang disaksikan oleh rakyat yang masih gemetar, fajar menyingsing dikota  raja yang dinodai dan dikalahkan.

 Balatentara Singhasari aeperti ular tanpa kepala.  Telik sandi Prabhu Jayakatwang mengetahui presis siapa yang dicari  dan siapa yang sudah dibantai pada hari pertama serangan mendadak. Selain itu bisa diurus kemudian. 

Akhirnya malah sisa sisa Pemimpin Masyarakat Singhasari mengirim utusan ke Kadiri, menyerahka kekuasaan Singhasari kepada sang Jayakatwang tanpa perang.

Singhasari dijadika Pakuwon lagi, Akuwunya diangkat dari  Pejabat Akuwu aebelumnya.

Ini benar terjadi setelah beberapa tahun kemudian setelah pisowanan sinoman kerabat Singhasari, yang bila dinilai dari  bobotnya sangat tidak berarti dibanding dengan kegiatan sehari hari para Narapraja Ibukota Kerajaan*)

 

.

 Titik balik nasib raden Wijaya

Pada hari kelima raden Wijaya mendapat giliran pertama menggelar tugas yang diberikan. 

Karena dia hanya ditemani oleh saudara seperguruan Gajah Segara dan Carat Seta tidak berguna mengenai  ilmu sastra dan ilmu bheksa wirama, selama lima hari dia ditemani oleh sang Nenek yang hampir tak berdaya masih bisa mengelus kepala sang cucu yang sejak kecil menjadi yatim piatu. Segala perasaan campur aduk, Raden Wijaya dengan sabar  mengikuti sang nenek menjalankan tugasnya dibalai pemujaan para pitri.

 Waktu sang nenek menanyakan apa yang akan digelarkan dihadapan Baginda, Raden Wijaya lantas menceriterakan apa yang dipelajari dari Empu Bhismasadana sampai  ilmu kebathinan pengenalan catur sanak hingga dikuasainya,  ilmu ilmu penting untuk membimbing  perahu ke tujuannya,  ilmu perbintangan dengan edaran bulan matahari dan  rasi rasi bintang , tanda tanda alam sesuai dengan posisi rasi bintang tertentu dilIngkup langit, membahas Dharma dari  kitab kitab suci, juga bermain catur.

Neneknda tercinta sambil berkaca kaca, matanya yang sudah berkeriput mengguman seolah olah pada dirinya sendiri, kepandaianmu mengerahkan catur sanak tidak bisa kau gelar dihadapan Raja, ilmu ilmu yang diajarkan Bhisma tidak layak hanya diceriterakan karena untuk apa ? Semua itu sangat benar dan berguna bagi seluruh manusia sesudah semua kau gengam ditanganmu cucuku, benar sekali Bhisma mewariskannya kepadamu. Mendadak mata tua sang  nenek berbinar, apa kau tadi  bicara sering bermain catur dengan gurumu itu ? Benarkah ? 

Kebetulan sang Prabu adalah pemain catur yang sangat piawai, banyak tamu dari jauh dari manca Negara menghadap sang Prabu dengan membawa hadiah yang barang langka dan sangat berharga hanya untuk bermain catur dengan Baginda, seperti juga ayahmu yang sudah makayangan. 

Ya cucuku bila waktunya tiba, bawalah papan catur dan buahnya yang nenek masih simpan dibalai pemujaan para pitri seizing Baginda, pakailah selempang kebrahmanan,  tapi gelunglah rambutmu disini nenek akan bantu mengenakan penampilan satrya pinandita.  

Ajaklah baginda bermain catur dua babak, wahai murid sang Bhismasadana! 

Dia akan mengenal seluruh sosokmu luar dalam tanpa kamu bicara dan tanpa orang lain tau, bagus sekali, nenekmu  percaya mpu Bhisma tidak sia sia mengajar kamu.

Pagi hari Soma, Raden Wijaya keluar dari salah satu kamar disamping bale pemujaan para pitri  dimana neneknya tinggal, mengenakan alas  kaki dari anyaman daun tal  dan rumput rawa yang dikeringkan, seperti yang biasa dipakai oleh kaum brahmana, salwar  putih sampai mata kaki, mengenakan kampuh sutera berwarna kuning  pucat  diperkuat dengan pending perak selebar empat jari bertelanjang dada dan mengenakan selempang tali sebagai seorang brahmana, tetapi rambutnya yang tebal digelung padat diatas kepala diikat oleh pita hijau dengan banyak lilitan oleh nenenda,  pinggangnya nampak ramping, otot dibawah kulit tidak begitu menonjol namun nampak seingsat tanda aliran darah seputar tubuh berjalan sangat baik, penampilan satrya pinandita, sambil mengepit kotak kayu cendana  berikut  anak caturnya,  panjangnya antara sehasta  inilah papan catur dengan buahnya dari gading dan kayu hitam.

Bertemu saudara  seperguruannya di halaman Wantilan Barat menunggu dijemput untuk diantar masuk kalangan, Raden Wijaya masuk kalangan dengan menguncupkan sembah walau berjalan biasa tapi memancarkan hawa  kuat  dan nyaman seolah olah sudah  sering hadir dilingkungan yang mestinya  memancarka keangkeran dan wibawa ini, sehingga tidak ada suara apapun. Pada tempat yang ditentukan Raden Wijaya berjengket meletakkan papan catur yang berbau cendana.  yang menarik perhatian sang Raja, dengan segera baginda mengisyaratkan supaya mulai mengelar karyanya. 

Dalam keadaan berjengket dan menguncupkan sembah, Raden Wijaya menuturkan tentang dirinya dengan suara yang lirih namun berisi tenaga  murni  yang tak terukur karena hadirin seluruh wantilan mndengar dengan jelas. 

Selanjutnya  dia menuturkan bahwa  neneknya yang bekerja dibalai pemujaan para  pitri di istana Baginda, bahwa dia adalah murid Mpu Bhismasadana dari perdikan Sendang di Japan, berusaha menjadi abdi Singhasari yang berguna sebagai seharusnya anggauta wangsa Girindra. Akan diutarakan dengan permainan catur menghadapi  baginda bila berkenan.

Baginda tertegun sejenak, merasa gembira karena teringat sebulan  yang lalu, beliau bermain catur dengan brahmana Rsi Damardana, dan mengalahkan dengan telak setelah melakukan langkah langkah pertukaran merugi tapi empat langkah  berikutnya terbukalah jalan kemenangan ternyata beliau mampu memperhitungka segala kemungkinan  empat langkah yang belum  digelar dengan segenap kemungkinannya untuk  dipertimbangkan. 

Jadinya  Baginda sangat bersemangat  mengingat  keberhasilannya – segera  memerintahkan  mantri Jero  dengan tertawa gembira, menyiapkan permaina catur langsung atas petunjuk Baginda, satu meja rendah diletakkan ditengah kalangan, bginda menmerintahkan mengambil  dampar dalem untuk beliau bersantap bersama permaisuri, tempat duduk yang lebih nyaman lebih rendah dudukannya dari dampar  pisowanan yang tinggi, menyilakan Raden Wijaya untuk menghadapi beliau sambil bersila.

 Semua hadirin bisa melihat jelas papan catur yang mulai disiapkan. Beliau sangat ingin mengukur murid mpu Bhismasadana yang lama beliau kenal  dan puluhan tahun tidak bertatap muka, baginda malah berharap meskipun murid Mpu yang berilmu tinggi toh masih muda mestinya masih lebih rendah dari Rsi Damardana.

 Sebagai penantang Raden Wijaya memegang buah putih yang melangkah lebih dulu, dengan cepat Baginda melakukan langkahnya, sampai  lima langkah kedepan masih pembukaan yang  umum, langkah ke enam Raden Wijaya tidak menempuh jalan yang umum tapi penyerangan dari  dua sisi dengan memindah raja selangkah kedepan. Semua hadirin menghela nafas atas kesembronoan sang penantang yang cari penyakit, karena langkah ini mengandung resiko tinggi  pada setiap langkah berikutnya, apalagi menghadapi Prabhu Kartanegara yang tersohor mumpuni dibidang ini.

Hening henap di pendapa dalem, Baginda duduk dengan santai menikmati anyaman pemikirannya yang nenjangkau jauh kedepan, terus menenerus memberi tekanan tanpa ampun kepada raja putih yang terbuka. Raden wijaya setengah memejamkan mata dengan takzim melakukan langkah demi langkah, dalam keheningan dengan bantuan catur sanak Raden Wijaya menembus anyaman pemikiran Baginda, Baginda merasa ada kilatan kilatan sambung rasa antara beliau dan lawannya, beliau segera meusatkan pikiran , lenyap rasa alam disekitarnya yang ada adalah kilatan Tanya jawab mengenai pertarungan catur langkah langkah yang sedang dihadapi dan lain pemikiran saling bertanya dan saling menjawab yang sangat intense zaman sekarang dinamakan ilmu falsafah dialektika yang menyegarkan pendapat, dan pertanyaan diutarakan diantara langkah langkah buah catur yang semakin berat disela sela bau cendana yang semakin terasa bagi  segenap hadirin, seolah olah menandakan kehadiran para pitri, yang nampak mereka yang saling bertempur dimedan catur tapi apa yang mereka berdua  bahas dalam saling masuk ke anyaman pemikiran masing adalah kilatan tanya jawab mengenai  hukum alam semesta  keseimbangan abadi semakin nenonjol ditandai dengan langkah berbahaya yang selalu ada jalan keluar yang menimbulkan bahaya  baru silih berganti. merupakan silih bergantinya pertumbuhan dan perkembangan suasana alam semesta. Roda dharma dan melesatnya bhathin manusia mebumbung transenden merambah alam atas. Kedua petarung kelihatan semakin santai dan mereka memejamkan mata, sedang penonton terus menerus terombang ambing diantara kelegaan dan kecemasan. Meskipun  yang nampak permainan catur ini dilakukan dengan irama yang tetap tidak melambat maupun makin cepat tapi dalam penyatuan bathin mereka berdua  ada tanya jawab dan argumen  meninjau seluruh intisari kitab kitab Wedda, Upanishad, dan Wedda kelima yaitu Mahabharata, riwayat sang suci Rama, kitab Tripitaka dari  Sang Budha, kitab danghyang Kamahanikan ajaran Sun tsu, Sebagian dari ajaran Islam yang dibawa oleh penggembara dari Parrsi dan Yunan semua diutarakan untuk mendukung setiap langkan jurus catur  yang dimainkan. 

Jadi sebenarnya yang terjadi adalah mereka berdua bersama mencari kebenaran semesta dan setiap langkah adalah Dharma, kebenaran yang mandiri yang mereka cari bersama. Rwa binedha akhirnya seri. 

 

Hadirin sampai lupa bahwa permaina babak pertama sudah berakhir.

Permainan biasa yang tidak cepat dan tidak lambat, dimainkan hingga tiga puluh lima jurus, begitu ghaibnya sehingga hadirin kehilangan rasa mengenai waktu, mereka mendapatkan resonansi  tergetar jiwanya sesuai dengan tingkat tingkat pencarian masing masing, semua merasakan kelegaan  pencerahan  samadi yang berhasil. Tanpa merasa hadirin saling memegang tangan dengan teman duduk disebelahnya, gembira tanpa sebab seperti anak anak.

Oleh karena waktu sudah habis dan peserta kedua untuk hari  itu sudah dipersiapkan, maka permainan kedua ditunda khusus sesudah sandyakala, para hadirin diperkenankan ikut menjaksikan.

 

Suasana meriah tanpa sebab mengawali pagelaran peserta undangan hari  itu.

Dua  dara kembar dari  kadipaten Jagaraga, cabang dari keturunan Rakryan Ranggawuni.

Segera gamelan ditabuh dengan irama degung, kedua gadis kembar ini masuk wantilan dengan menari baris putri yang mereka ciptakan sendiri  

Dua dara kembar berkulit kuning langsat semampai diatas rata rata putri bangsawan, dirias sempurna sebagai penari srimpi,  hanya untuk mebawakan tari baris putri ini, kain dodot yang berjuntai sampai menyapu lantai diantara kedua mata kaki  sudah ditekuk   keatas diselipkan  erat dengan pending emas, menyingkap betis yang sempurna dengan gelang kriningan emas dimata kaki kanan. Mengenakan lancingan beledu merah tua yang pingggirnnya melingkar dibawah lutut untuk kebebasan gerak, dengan penggir yang disongket dengan benang emas bermotif garuda. bagian dada  mengenakan lilitan  kain  sutra  seperti penari bali berwarna merah saga dengan songket benang emas, mengenakan destar bathik kecoklatan untuk meringkas rambut yang panjang.

 Irama dan gerak gagah mirip tari ngremo yang kini menjadi ciri Surabaya mengawali masuknya kedua putri penari.  Ditempat  yang ditentukan segeran berjengket gaya prajurit dengan satu lutut kiri menumpu badan, kaki kanan menapak penuh menumpu paha untuk keseimbangan. Kedua telapak tangan menguncupkan sembah sambil melantunkan syair terikat dalam gending dandang gula. Memperkenalkan diri mereka dan menuturkan mereka sudah lama bermukim di  Ibukota Singhasari belajar menari dari umur lima tahun bertekat untuk mempersembahkan senibudaya tari untuk Kerajaan Singhasari  sebagai gerakan yang  menyehatkan jiwa raga , gending kinanti ditutup disambung dengan irama sampak dengan kendang keras dan bleganjur. 

Secepat kilat kedua penari serempak berdiri dan dodot dturunkan\destar dilepas,  kedua penari menjelma menjadi penari serimpi. Dengan rambut yang terurai. 

 Sulit dirunut peristiwa menyenangkan yang saling susul ini,  Baginda Kertanegara merasa sangat gembira karena belum pernah selama hidupnya bermain catur tanpa kesalahan dan penuh tenaga sampai akhir  walau berkesudahan seri, merasa kepalanya ringan tanpa beban karena paham gerakan dan getaran bhuana agung, rasanya seperti Bhatara Mahadewa  yang  lagi  menari untuk menciptakan dunia seisinya.

Kedua penari putri kembar Mahisa Andini dan Mahisa Anindita mendapat sambutan yang meriah dari para hadirin, Baginda lanjutkan kegembiraannya dengan mengundang hadirin  bersantap andrawina secara  mendadak dihalaman taman dalam Istana Singhasari, membuat abdi  istana dan tumenggung rumah tangga istana  bertindak sigap, dan para abdi  kedathon kalang kabut. Puluhan  prajurit diutus menangkap ikan tambera dan ikan gurami  dikolam besar diluar siti hinggil, menangkap semua babi dan kambing muda punya penduduk  Mager sari ditukar dengan uang perak  kedathon, sekejap terkumpul  bahan untuk babi  gulig dan kambing guling bebek dan ikan  gurami semua dipanggang di bara api arang bathok/tempurung  kelapa dari dapur istana dialasi daun pisang dan piring  piring  besar dari Cina, entah kenapa pohon magga di pinggir balai pemujaan para pitri nampak berbuah ranum dan lebat pada  hari  itu, apakah dihari hari lain tidak diperhatikan ?. Tanpa dirasa semua hidangan sudah tersedia tidak termasuk tuak dan brem, buah mangga dan jambu dharsana masak ranum halaman istana, nasi beras merah yang harum sudah teesedia di beber di nampan nampan besar dari perak sambil dikipasi para abdi supaya mendingin.

Sambal puluhan cobek batu di lembutkan oleh para abdi ditempat menjadikan suasasana sangat meriah, semua bersantap andrawina dengan lauk yang sederhana manun nikmat luar biasa, karena hampir tidak pernah baginda Krtanegara begitu santai dan tanpa beban, sehingga mempengaruhi seluruh istana dihari itu. Mungkin para pitri brkenan membantu mnciptakan makanan dan suasana senikmat ini dalam sekejap, tanpa direncanakan. Para penabuh gamelan, pengikut dan pendamping pemuda pemudi bangsawan sinoman yang diundang berkumpul diseputar wantilan, semua mendapatkan makanan lorodan ( sisa makanan ) dari  santap handrawina dadakan baginda Raja dan para nayaka narapraja, Pemaisuri dan para putra putri raja yang sudah dewasa, peserta sinoman wangsa Girindra putra putri, pendamping dan pengikut mendapat samtapan dengan tertib dan bebas, tak habis habis sampai para penabuh gamelanpun mendapat lorodan dengan sangat bersyukur, bahkan mereka hanya makan sedikit yang penting akan dibawa pulang konon makanan lorodan santapan raja pada hari itu adalah hadiah para  Dewa bertuah untuk azimat rumah tangga mereka.   

Para pemuda pemudi sinoman merupaka kelompok yang istimewa kerena putra putri Baginda dan putra putri para Nindya Mantri bercengkrema dengan bebas diluar kebiasaan etiquet istana yang ketat saling mempersilahkan makan saling melayani dan minun makan sangat sederhana, kelapa muda yang baru dipangkas langsung, nasi merah dan panggang daging di beralaskan daun pisang sambal mentah terasi layaknya petani makan di dangau bukan andrawina kerajaan. Sungguh peristiwa yang luar biasa. Para emban tua pengirng putri kedaton entah kenapa pada saat itu seperti kena sihir mebiarkan asuhannya lepas dari tatacara istana dan makan sirih sambil melamun berbisik satu sama lain tesenyum dan menerawang mengingat masa muda mereka. Sesudah sepenggalan dupa tebakar habis, Baginda berkenan mundur ke  pakuwon dalem  dan andrawina dadakan yang meriah dan aneh ini ditutup.

 

Para emban putra putri raja terhenyak dan bergegas membimbing asuhannya masuk pintu pagar tembok rendah yang dirupakan candi  bentar gapura  yang sempit. Segera hadirin para muda mudi sinoman kerajaan ingat diri berjengket menyembah dibalas sembah sambil sedikit meneku lutut dan ucapan trima kasih atas keramahan mereka sambil yesenyum, ada empat putri kerajaan dan dua putra pemuda tanggung, yang sudah tinggal di  sayap kseatryan kedaton Singhasari. Belasan sinoman kerajaan diiringi Paranpara dan pembantu pagelararan yang jumlahnya empat kali lipat dan masih ada yang menunggu diluar pintu kedaton dalam. Raden Wijaya pamit kepada dua teman seperguruannya yang setia menemaninya, pamit  untuk mengembalikan papan catur    kepada sang nenek yang menunggu di satu pavilion mungil di sebelah balai pemujaan para pitri dalam  puri Singhasari.*)

  

  Titik balik nasib Raden Wijaya  – Pertarungan diatas papan catur babak kedua

 

Telah masuk senja, matahari di ufuk barat tersembunya dibali pepohonan yang tinggi dluar kedathon,   tinggal sinar cerah yang berwarna kuning muda memenuhi udara dan langit, candik ayu. Semua penghuni Kota Raja Singhasari pada bercengkerma diluar rumah, anak anak berteriak, menjerit berlari lari, gadis gadis sudah bersolek, mebicarakan keajaiban di kerataton, yang beritanya sudah tersebar dimana mana. Gamelan di Banyak Pura ditabuh sengan  irama gembira, menambah semaraknya suasana.

Raden Wijaya, sudah keluar dari komplek rumah pemujaan para pitri, sambil mengepit papan catur, dia merasa  segar, setelah minum teh  wangi ditemani manisan waluh bligo a’la China, dari pavilion Nenenda. 

Nampakya penonton bertambah banyak, sampai wantilan Barat yang serupa doyo untuk bermain silat penuh sesak, ditambah dengan rombongan para Brahmana Rsi, yang  diundang secara langsung untuk hadir oleh Seribaginda.

Sekarang arena dibuat khusus untuk permainan catur, dengan penonton hadirin mengelilingi satu meja rendah dan dampar dalem serta permadani untuk bersila lawan beliau.

Bila sang Raden tadi siang bertelanjang dada dan mengenakan selempang kabrahman, kali ini selempang dan bagian atas badan ditutup oleh semacam rompi berwarna gelap, pemberian nenenda, rupanya nenek ini masih menyimpan milik suaminya yang makayangan puluhan tahun yang lalu. Rompi ini secara kebetulah pas singsat menutupi dadanya yang bidang,  memang tidak berlengan dan dikancingkan untuk penahan dingin, terbuat dari bulu biri biri dari china, yang dipintal sebagai kain, meski tidak tebal rompi  akan tetapi hangat bila cuaca dingin dan tidak gerah bila cuaca panas.

Penuh sesak wantilan doyo,  penonton putri tidak ada, para Brahmana kasyaiwan ada dibelakang  dampar Raja, tenang bersila. Hadirin banyak yang mengenakan baju berlengan panjang a’la China, kebanyakan berwarna coklat muda dan putih, seolah olah nenghadiri upacara keagamaan yang penting.

Hadirin beringsut memberi jalan Raden Wijaya  ke tempat yang disediakan lewat jalan setapak  lurus ke meja rendah ditengah doyo, sambil mebungkuk dia berjalan hati hati sambil nguncupka sembah, dan mengucapkan sasanti kepada hadirin lirih, tapi semua mendengar.

Selelah beberapa lama bersila sambil mengatur buah catur, baginda datang diiringi oleh  dua putra perjaka lancur, dan empat putri remaja, rupanya Raja telah memutuskan sesuatu yang penting untuk putra putrinya, kenapa mereka diminta oleh sang Raja untuk turut menyertainya diluar kebiasaan.

Putra putri ini datang dengan berpakaian sederhana layaknya akan menghadiri upacara di pura istana. Semua dipersilahkan duduk ditempat yang disediakan  dibelakang sang Raja, yang mengenakan baju dan dodot didominasi warna putih, gelung  Baginda diikat dibawah kain penutup kepala dipererat oleh mahkota emas layaknya tutup kepala cara Arab.( egal )

 Wijaya bersembah mengucupkan tangan diatas kepala dibawah hidung dan didada  dengan takzim. Dibalas oleh Raja dengan mengembangkan  telapak tangan.

Sang Prabhu Kertanegara membuka buah catur dengan permainan Raja Hindustan, tiga bidak berbaris kedepan dua langkah, Raden Wjaya meladeni dengan tekun pembukaan Raja Hindustan yang agresive, Raden Wijaya menjaga penukaran perwira harus disertai pengorbanan yang berat. akhirnya dengan penuh percaya diri Baginda memberika pengorbanan yang beliau pertimbangkan paling kecil.

Sekali lagi ada kilatan saling tanya dan saling jawab mengenai dharma, mengenai keinginan yang mebanjir menggebu gebu, gelora agresivitas  segera merubah barisan putih  jadi barisan emprit nebha  artinya pertempuran dimana mana, dijawab dengan kelenturan yang nyaris menyudutkan raja, tinggal mencari saat memukul balik bila para perwira dan prajurit semua dimedan laga yang jauh, dan pengawalan raja  kosong, peringatan yang jelas dari Wijaya.

Menjelang langkah ke empat puluh dua, Baginda berucap wahai anakku, jangan andika berpura pura, aku mengerti dharma, aku mengerti kewajiban, aku mengerti aku kalah. Diucapkan dengan lirih, tapi mengandung kabahagiaan yang tidak dimengerti olah hadirin yang semua bisa mendengarkan, berkat tenaga dalam yang tidak kalah kuat dengan lawannya.

Raden Wijaya bersujud takzim, tidak berucap apa apa, semua kosong yang ada hanya kuwajiban dari Yang Memberi Hidup, hamba menjalankan dengan ikhlas  Begitulah jawab Wijaya tanpa berucap dengan kata tapi hatinya didorong oleh  catur sanak berucap tanpa kata.

Baginda tersenyum lebar  kepada putrinya, anakku putri  sulung tahta Singhasari, inilah jodohmu, aku ajak kalian ke perjamuan singkat ini, engkau  aku jodohkan dengan Wijaya, dari Wangsa Girindra yang terpilih, jalanilah dengan ikhlas, bagaimana ?

Alangkah terkejut sang putri raja, dihadapan hadirin sebanyak ini. secepat ini, tapi dia Putri Raja, sudah digembleng  menomersatukan kuwajiban, dia teringat sekilas satu bagian dari Mahabharata, di Wanaprastha parwa, bagaimana keadaan bathin Putri Drupadi dari Pancala sewaktu dijodohkan dengan Pandawa, karena Arjuna berhasil mngangkat sang Gandewa, yang siapapun tak berhasil mengangkat, kecuali sang Karna, yang dia tolak sebelum membidik sasaran dan sekaligus memanah, tapi Arjuna  ini mengangkat dengan mudah sang Gandewa,  membidik tepat pada sasaran yang bergerak.

 Segera dia singkirkan perasaan harga diri pribadi, mengetengahkan kuwajiban  berbakti pada orang tua, tanpa malu malu dia tabah, tanpa malu dan takzim dia berdatang sembah sendika dawuh. Raden Wijaya menguncupkan sembah didada, memandang lurus lurus kearah tuan Putri sulung, menatapnya   dengan tanda tanya betulkah ucapanmu itu setulusnya ? Raden Wijaya menandai ada kilatan tekad dan kelegaan dari sang putri yang hanya sekilatan thatit ( secepat kilat), hatinya  kini malah terguncang, hampir  saja dia menitikkan air mata, mengingat dia satria miskin yang yang yatim piatu dari masa mudanya, sang raden memancarkan  aura sangat bersjukur, untungnya  guncangan bathinnya bisa disembunyikan  dengan sekejap nemutup mata. Dasar tenaga dalamnya sudah cukup kuat, detak jantungnya biasa, mukanya tidak memerah, hatinya yang berbunga bunga tidak nampak dimuka umum.

 Sikap seorang yang bisa menguasai dunia.

Menghadapi situasi yang mengguncangkan hati setiap orang yang mendengar keberuntungan ini hadirin tetap diam, membeku, baru kemudian atas pertanda dari sang Brahmana Rsi, hadirin  tebata bata dan akhirnya bersorak gembira, yang tidak habis habisnya. Sebab perkataan Brahmana dan Raja, seperti panah api, sekali dlepaskan pantang ditarik kembali.

Atas isyarat sang Brahmana dengan sikap mudra, berdiri, semua hadirin melantunkan puja, mengucap sasanti jaya jaya.  Berita kilat dengan cepat merambat ke hunian dan kampong kampong di Kota Raja, bahwa Baginda akan mantu empat puluh hari sejak hari ini

 

.TATA LETAK KEDATON SINGHASARI

Di bekas lokasi Akuwu Tumapel  sudah samasekali tidak ada pada masa  pemerintahan  Prabhunatha  Kartanegara, diganti  samasekali dengan bangunan Kedhaton Baru, sesuai dengan derajad kerajaan Singhasari sebagai Kerajaan yang telah menaklukkan kerajaan Janggala, Kerajaan Kadiri yang tegak mulai Maha prabhu  Erlangga, Kadhipaten Lamajang,  Tuban, Jagaragha, Wengker dan Kling telah menyatakan tunduk kepada Mahaprabhu Kertanegara.  Lahan Kedhaton dibuat seperti bukit landai ditengah tengah  merupakan kediaman  Raja dan Ratu,  yang merupakan pusat dari  tanah datar dibawahnya yang berbentuk silang utara selatan dan barat timur.. empat penjuru mata angin ini dibangun sabha yang berupa wantilan  agung disetiap mata angin.

Yang terbesar adalah wantilan sebelah timur, yang dipakai  upacara kaprajuritan, dengan sendirinya menghadap alun alun yang sangat luas, yang menjadi batas antara kota raja dimana mayoritas penduduk tinggal dengan pusat pasarnya yang selalu ramai, dengan wilayah alun alun dan Kedhaton

Disebelah barat dari denah silang itu dibangun wantilan untuk pendadaran khusus semacam doyo .

Diselatan dibangun wantilan serba guna untuk pertemuan terbatas  para bangsawan dan untuk menyambut para Duta dari jaban Rangkah.

Di utara dibangun wantilan dan balai penghormatan pamujan  para pitri,  dengan beberapa pavilion untu krabat dekat Kedaton yang sudah tua tua,

Untuk mempertahankan denah silang dengan rumah kedhaton  ditengah tengah, maka seluruh silang geometris ini di bangun tembok keliling dengan pintu gerbang pada setiap ujung persilangan itu, kecuali di timur yang menghadap ke alun alun.

Dalam tembok Kedhaton dilarang untuk kegiatan rakyat biasa.

Bentuk kota Singhasari menurut  hunian para pendukung kerajaan, misalnya para prajurit dan peralatannya di sebelah timur, sedang hunian para Pendeta Kasyaiwan, Waisnawa,  Kasogatan dan Brahmana ada di sebelah utara, para pedagang dan pasar ada disebelah selatan, dan para undagi ada di sebelah barat .

Semua hunian dihubungkan dengan jalan yang diperkeras dengan batu raen, tidak perlu lurus karena Singhasari ada di lereng gunung, jadi jalan sering dibangun menurut  kerataannya ( contour) tanah.

Halaman depan rumah hunian dipagar tembok rendah dan ada gerbang candi Bentar untuk setiap rumah,halaman berisi rumah kerabat dan rumah hunian magersari. Tanah kosong ditanami pepohonan buah buahan kolam ikan, atau  disatukan dengan aliran pengairan sawah.

Kota Singhasari tidak bertembok dan pintu gerbang, hanya kolompok istana yang bertembok dan berpintu gerbang  empat menurut mata angin, timur gerbang ini tersembunyi menhubungkan wantilan agung  dengan tempat tinggal Raja, utara barat dan selatan, ada gerbang berbentuk candi bentar yang megah, sedang di timur ada dua patung dwarapala dan gerbang candi bentar yang lebar tidak berundak

 

JAYAKATWANG, TOKOH LEGENDARIS DIKALANGAN ILMU HITAM

 

Dengan seringnya sanghaprabu Kertanegara mengikuti acara di gua istana ditebing laut pasir gunung Bromo, satu murid tingkatan atas gua kedathon makin merasa tersisihkan.

Satu murid istimewa yang benar benar merasakannya adalah tokoh hitam dari Kadiri,  sang Kalakatawang, yang artinya pembawa becana dari angkasa. Sebab sang Kalakatawang sudah malang melintang di wilayah kedathon Kediri, membuat miris semua hulubalang Kerajaan.

Berturut turut mati mengenaskan narapraja manggala yudha kedaton Kadiri, darahnya habis diisap makhuk misterius. 

Kabar slentingan meberitakan adanya sosok misterius yang sedang mengembangkan ilmu hitamnya, dan darah para pesilat yang telah mencapai tingkat tertentu melatih tenaga dalam adalah salah satu  syarat ilmu hitam itu, karena pada zaman Mahaprabhu Erlangga juga ada kejadian semacam itu. Ternyata pengacaunya adalah tokoh pangleyakan dari Bali, yang sedang terjadi entah siapa dan apa ilmunya.

Tudingan terahasia jatuh ke tokoh yang baru, badannya tidak tinggi maupun besar, hanya seperti rata orang biasa, tidak mengesankan,  tapi ada sinar jang aneh pada tatapan matanya. Meskipun bukan rahasia lagi bagi rakyat Kediri bahwa tokoh ini menjalin percintaan dengaan salah satu saudari Baginda, sosok putri yang sudah setengah baya.

Sang Kalakatawang menyadari bahwa ilmu kanuragan, guna desti, kala wisa, walau sampai pada tingkatan yang paling tinggi, tidak bisa berpengaruh pada orang banyak, apalagi mengerahkan tenaga dan mendayagunakan rakyat banyak, kecuali seorang Raja. Sedangkan dia ingin membalas dendamnya kepada seorang Raja, yang menghalangi dan mengecilkan arti hubungannya dengan gadis liar berilmu tinggi, anak Totok Kerot yang “merajai” golongan hitam di gunung Klotok, Ni Ratri.  

Semenjak menjadi kekasih tetap Baginda Kertanegara di dunia kaum Bhairawa, Ni Ratri tadak nengacuhkan Kalakatawang lagi.

Aneh sebagai manusia golongan hitam andalannya adalah kekuatan liar , tanpa kendali makin tinggi ilmunya makin liar, tapi tidak akan  bisa menjadi Raja jang menguasai wilayah dan segenap perangkat Pemerintahan, barbuat semaunya.  Raja. yang menguasai wilayahnya juga tidak bisa berlaku seenaknya sendiri tanpa kendali, seperti golongan hitam. Karena itu dia kepingin jadi Raja, berapapun pengorbanannya untuk itu, agar seimbang dengan Baginda Kertanegara, merupakan obsesinya yangsangat kuat.

Kebetulan yang menjadi sasaran adalah Kerajaan Kadiri, yang sudah terlalu lama hidup aman tenteram, para ksatria Narapraja sudah membentuk lemak diperutnya yang sudah buncit. Baginda Raja jarang menampakkan diri dimuka umum, kehidupan Kota Raja bagi Kalaketawang menjadi sangat tidak berwarna dan sangat membosankan.

Meskipun dia warga yang tadak karuan asal usulnya, mempunyai banyak guru dari semua kalangan, yang meragukan, terutama golongan hitam yang tidak peduli bahwa perilakunya itu jahat atau baik. Ada kegilaannya yang tidak menyangkut golongan manapun  adalah kegemarannya kepada makhluk yang namanya kuda, atau bahasa kunonya turangga. Dia tidak punya tempat tinggal yang tetap,  terlalu sering menghadiahi kenalannya diantara petani, lurah dan demang, kuda kuda pilihan untuk dipelihara. Biasanya orang yang beruntung ini bukan gembira, tapi malah susah, seperti kena bencana, sebab bila kuda ini kelihatah sakit sakitan atau mati, nyawalah taruhannya. 

Kalaketawang jadinya telah mempunyai ratusan kuda kuda bagus di desa desa sekitar ibu kota, yang dia pasti satu saat di menengok nengok kuda kudanya, hampir semua orang Penjabat atau bukan menghindari permusuhan dengan Kalaketawang yang tidak bisa ditebak, apalagi hanya karena kuda.

Dari dendamnya kepada Baginda Kertanegara,  hanya dia sediri yang tahu, dia membulatkan tekad untuk jadi Raja.

Kebetulan kakak perempuan Raja Kadiri sudah pertengahan umur tapi tidak menikah, inilah jalan mudah untuk mengetahui seluk beluk kehidupan Raja.

Tidak sulit bagi seorang tokoh ilmu hitam semacam dia untuk menjalankan taktiknya, yang lancar berjalan sebagai jalannya jam. Tuan Putri tergila gila kepadanya berkat di tiupkan aji Cambra berag yang telah langka,  meskipun banyak diantara  Bhayangkari Kedathon yang berusaha mencegah hal hal jang mengancam junjungan mereka dengan lebih menggiatkan ronda, mati satu persatu mereka mati dengan aneh, tanpa luka darahnya habis.

Baginda  Prabhu Lembuamiluhur akhirnya mangkat karena sakit yang lama. 

Bila ada tokoh jahat yang bercampur aduk dengan kehidupan Kedhaton satu Negara, tandanya Negara itu lemah, kalau Negara lemah pasti Rajanya yang lemah. Begitu pula di Kadiri saat itu. Tidak menarik bila diceritakan,   tapi fakta mengatakan dahwa Baginda Raja Kadiri akhirnya mangkat dan kakanda putri tertua yang setengah baya berani menggertak sidang keluarga dekat Raja, dan minta pengalihan kekuasaan ke dirinya sebagai Ratu Kadiri, dengan dukungan Kalaketawang dari belakang layar.

Kalaketawang mengundang sidang para kerabat dekat Raja yang baru saja di aben, dengan bade tingkat delapan, karena yang kesembilan disediakan untuk Ide Pedanda Brahmana Rsi Kadiri.  

Ada  satu halaman kecil yang luput dari perawatan di Kedhaton Kadiri yang ditumbuhi semak alang alang,

diluar wantilan untuk sidang terbatas keluarga  dekat Raja yang jarang terpakai, terletak didepan dalem

Kedhaton.

Kalaketawang duduk bersila diatas rumpun alang alang kumitir, tanpa sedikitpun membengkokkah rumpun alang alang  yang tegak, kumitir kena angin, sambil berseru bahwa dia tidak menghendaki tahta, wong tahta dia lebih bagus dan langka, ya tempat yang diduduki itu.  Dia hanya akan mendampingi Raja Putri kekasihnya yang menjadi Rajaputri di Kadiri. Kalau ada yang menghendaki kejayaan Kerajaan kadiri, menaklukkan dan menjarah kerajaan tetangga, ayo ikuti rencana Kalaketwang mendampingi Sri Ratu, bila tidak, silahkan meniru duduk di atas rumpun alang alang kumitir ini. Mereka kerabat dekat Raja terdiam, bahkan  tidak mampu melawan tatapan mata tokoh ini, lagipula penaklukan Negara tetangga tidak merugikan mereka, bahkan menguntungkan. Walaupun ratu Kadiri yang setengah baya itu dijauhi para kerabat karena takut, tidak menganggu atau berani mengungkapkan ketidak setujuannya kepada sang Ratu,  anggapnya dia sebagai Seri Ratu bisa memisahkan diri dari dia sebagai pribadi, Sang Ratu tidak tahu bahwa pembiaran itu karena para kerabat takut.

Tidak pernah ada yang menyangka bawa disiang bolong, dihadapan orang banyak disatu halaman yang ditumbuhi alang alang, seorang tokoh menggelarkan ilmunya, sebenarnya hanya tipuan sulap, layaknya David Copperfield, menidurkan gadis pembantunya di udara tanpa alas

Yang ini dia hanya duduk bersila dipucuk pucuk daun alang alang yang kumitir ditiup ngin, apa bedanya.

Perbuatan Kalaketawang dengan mengatur terlerbih dahulu  rumpun alang alang dengan meja yang

ditutup bagain bawahnya dengan cermin tegak diantara kakidepan meja itu dengan cermin dantara alang alang, dan suasana menjelang senja, memang benar benar mengesankan dia duduk diatas alang alang kumitir.

Kalakatwang pesilat tingkat tinggi,  meloncat sambil salto dan langsung bersila dengan enteng adalah perkerjaan mudah sekali, dengan efek yang sudah diperhitungkan. Artinya Kalaketawang cukup realistis, tidak mungkin ilmu hitam  bahkan ilmu silat bisa menjadikan dia Raja, tapi mengolah  dan menganyam suasana disertai dengan sedikit sulapan murahan, tapi dengan situasi  yang tepat, dia yakin akan berhasil. 

              Sedang hadirin melihat dia duduk bersila santai diatas alang alang  efek yang sudah diperhitungka masak masak, adalah sambaran petir bagi jiwa jiwa yang lagi labil. Terlebih akibat tawaran untuk mengabdi Kadiri menaklukkan Kadipaten kanan kiri, dari sosk yang sesati itu, yang sabenarnya hadirin ya condong untuk melaksanakan, tapi tidak mampu, Yang ini hanya menerima bagian dari harta rampasan yang akan memakmurkan mereka, sifat serakah, sudah menancap dalam jiwa mereka.

Sebagai suami Sri Ratu, Kalaketawang diberi  gelar dan julukan kehormatan Pangeran Agung  Jayakatwang.Para Brahmana mengarangkan silsilah sang Jayakatwang untuk dipercaya rakyat, silsilah Pengeran agung  langsung dari Bhatara Guru. 

Segera Kadiri berubah. Sidang Kerajaan Kadiri menjadi sidangnya para pemelihara kuda, ahli kuda ahli penunggang kuda, karena sang Jayakatwang sangat piawai tentang kuda dan ahli menunggang kuda, yang sebenarnya tidak dia perlukan, ilmu hitamnya dapat membawa dia kemanapun secepat kilat. Para ahli ilmu hitam bisa mencuri satu pusaka tapi tidak bisa merampok kekayaan satu Negara. Para ahli ilmu hitam bisa dengan mudah masuk ke peraduan Raja musuhnya dan membunuhnya tapi tidak bisa menaklukkan Negara, Jayakatwang sangat mengerti itu, makanya dia merencanakan untuk menjadi Raja dengan gabungan segala daya upaya meski sangat rendah dan sederhana seperti sulap, dan memikat perawan tua.

 

.Kadipaten Kling, belajar dari pengalaman kabupaten Wengker,

 

Kabupaten kling (sekarang Nganjuk),menakluk membayar upeti. Selang empat tahun Jayakatwang jadi Raja di Kadiri pasukan berkudanya sudah empat ribu lasykar dengan kuda kuda pilihan, busur panah yang agak kecil, cocok buat lasykar berkuda, bisa detembakkan  dari atas kuda yang sedang berlari kencang, busur ini diperkuat dengan tulang rawan hiu tutul yang dikeringkan, ikan ikan ini sebenarnya jinak, setiap tahun mengunjungi pantai walayah Probolinggo. Potongan tulang rawan kering ini diikat dengan otot menjangan untuk menyatukan dengan busur dari Kayu hutan  Sokadana, yang khusus untuk busur panah, mata panah dari besi tuang yang runcing seperti kucup bunga kantil, lantas seluruh anak panah digosok licin dengan minyak jarak yang tidak mudah kering, sehingga bisa menembus perisai dari kulit kerbau yang tebal, dengan mudah.  Bagi umumnya prajurit darat, perisai dari logam memang kuat, tapi kerlalu berat untuk digunakan perang yang mengandalkan kelincahan, lalu di ciptakan perisai dari kulit kerbau yang dikeringkan berbingkai dan pegangan dari kayu walikukun yang liat dan padat, toh masih seperlima dari beratnya perisai  logam kuningan, yang berat dan mahal. Nampaknya perisai macam ini untuk  tentara darat sudah memadai, tapi kali ini tidak, untuk menghadapi gerombolan limaratus penunggang kuda yang merentangkan busur istimewanya sambil mengeprak kuda yang makin menggila berlari secepat terbang dan dari jarak lima depa melepaskan panahnya, tentu saja mendadak saja perajurit darat Wengker dengan perisai jenis ini pada jatuh bergelimpangan, terutama yang ada ditengah tengah barisan garuda nglayang yang digelar oleh Panglima Wengker. Masih disususul dngan ratusan gerombolan oenunggang kuda yang berlari sepeti gila, tepat menembus barisan bagian dada dan kepala garuda,  yang tentu saja pasukan yang patuh pada aba aba Panglimanya, dan sekarang tidak ada aba aba kedengangaran, mereka yang sempat lebih suka membuang perangkat perangnya dan berlari minggir secepat cepatnya, malah ada yang memanjat beringin kembar ditengah alun alun. Pendek kata kacaunya barisan garuda nglayang  Wengker seperi cerita ini.

    Jayakatwang sudah memperhitungkan kekacauan ini, telik sandinya sudah berbulan bulan sebelumnya sudah berada di Wengker, menyiapkan rute penyerbuan, menyiapkan di hutan hutan tempat berkumpulnya pasukan dengan sembunyi sembunyi, menyiapkan rintisan kearah gunung Wilis dan kearah Parsembunyian di hutan yang lebat di Slahung. Menyembunyikan pasukan berkuda dengan lima ratus kuda kuda dalam waktu lima hari bukanlah barang gampang’

     Sebulan sebelumnya di hutan Slahung  ditengah tengah perbukitan sekitarnya yang konon masih dihuni macan gembong, malah dilepasi macan macan gadungan dari Lodoyo dan Campur Darat, wilayah Kadiri, disana disamarkan tempat menyenbunyinya kuda kuda perang,  dengan rombongan penyarat kayu jati.                              Sebulan sebelumnya di hutan Slahung  ditengah tengah perbukitan sekitarnya yang konon masih dihuni macan gembong, tempat menyenbunyikan kuda kuda perang, disamarkan  dengan rombongan penyarat kayu jati.  Sapi panyarat diganti dngan kuda kuda meskipun tidak wajar tapi cukup beralasan, bukitnya cukup terjal, tegakan kayu jati meski istimewa lurus dan panjang tapi berdiameter tidak lebih dari 20 jari, jadi sebenarnya ringan saja. Seratus kuda dapat disamarkan selama lima hari dengan baik.

Sebagian besar kuda kuda disembunyika di lembah sempit sungai kecil yang menjadi hulu sungai Madiun, trnyata lembah itu mampu menyembunyikan kuda kuda yang  empat ratus sekor, penungganngnya berlaku sebagai pimpinan pasukan perintis yang diatur melingkari kandang kuda dengan jarak satu  yojana, dua yojana dan lima yojana, tidak satupun pencari kayu atau kelana perambah hutan yang sampai tahu adanya persembunyian kuda luda itu, bila perlu mereka itu dibunuh ditengah hutan daripada menyiarkan berita kecurigaan. Telik sandi giat mengabarkan penyaratan gelondong kecil dari Slahung, yang lain kelompok menyiarkan berita adanya gladi perang di alun alun pada hari Anggoro Manis tiga hari mendatang  ini, pokoknya berita berita menjadi ramai simpang siur disertai dengan suguhan tuak keras untuk mengangkat semangat penduduk diluar istana Wengker. Disamping itu memang Jayakatwang telah mengirim surat bahwa pada hari Anggara Manis akan ada pasukannya akan menjemput permintaan picis emas dan rajabrana untuk diserahkan kapada kerajaan Kadiri, sepuluh ribu picis emas dan rajabrana untuk wiwahan para Brahmana.

               Ini apaan, teriak sang Prabhunata  Kramadayapati,  aku akan persiapkan pasukanku dengan  baris garuda ngalayang yang terkenal itu juga dengan mudah dirubah menjadi barisan cakra byuha sangat mistis membuat bingung bahkan kuda kuda perang, untuk membuat keder utusan, agar pulang mencawat ekor. 

               Iya saja semua prajurit Wengker dengan bersenjatakan tombak panjang dan perisai dari kulit kerbau, lima  ribu pasukan dabawah lima Menggala Mantri dan panglima sendiri ki Gagak Lodra akan memimpin “penyambutan” ini  yang artinya pengeroyokan utusan  atau pameran kekuatan kepada pesukan utusan  Kadiri yang kurang ajar ini. 

Menjelang matahari dua jengkal dari ufuk timur, pasuka telah siap dengan gelar garuda nglayang, Dikepala garuda manggala mantri Macan Ngalumba, yang terkenal gagah berani, didada baris garuda nglayang ini  Penglima Manggala Nindya Mantri Gagak Lodra, dan banyak manggala yudha yang lain di sayap garuda.

Ini  aneh, kata Taniro, pawongan di pinggir jalan, wong perang kok memberi tahu terlebih dahulu, kan lama memijat buah ranti saja, untuk mengusir para utusan dengan pasukannya..

    Pada saat matahari ditengah tengah langit yang tidak berawan, kepulan debu amat tebal dari arah barat barisan dialun alun, dalam hitungan detik para penunggang kuda dengan kecepatan mengila berderap dari samping barisan sambil merentangkan busur mereka yang istimewa.  Anak panah yang  licin dan tajam. Segera ditenbakkan dari jarak lima depa didepan. Pasukan berbaris dalam formasi garuda nglayang jadi bergetar. Akibat dari parajuri parajurit yang melemparkan tombaknya dan disusul dengan tembakan panah penyerbu. Sangat cepat ditujukan kepada kepala garuda, leher dan dada barisan garuda nglayang.  Para prajurit bergelimpangan, tertembus panah ada satu panah yang mampu menembus dua orang. malah ada yang mampu membuat kuda teronggok melemparkan penunggangnya. Yang berkuda ini adalah perwira Wengker. Singkatnya serangan kilat dari samping  ini oleh pasukan berkuda, meluluh lantakkan baris pasukan Wengker. Setiap tentara berkuda berhasil menembakkan tidak kurang dari sepuluh anak panah tanpa mengurangi kecepatan berlari, kepala leher dan dada garuda porak peranda. Sedang pasukan berkuda ini terus menghilang begitu saja. Belum sampai debunya hilang disusul dengan pasukan utama yang semua berkuda, dengan senjata yang sama. Kuda kuda menyerbu dari depan garuda yang sudah kehilangan kepalanya, ada yang sambil bediri diatas pelana kuda yang berlari kencang, menarik busurnya dan menembakkan  panahnya   berturut turut lima anak panah  dari endong panah yang sudah menggemblok di penggungnya. Pasuka utama, empat ratus penunggang kuda yang gila seperi gerombolan ikan hiu yang haus darah. 

 Panglima Gagak Lodra beruntung jatuh dari kudanya yang mati kena panah, pombongan utama pasukan berkuda menyebar yang dari depan barisan, berhasil mebunuh semua perwira berkuda Wengker yang mengelilingi sang Gagak Lodra.  

Masih berlari menuju ke Wantilan agung sambil menembakkan panah bersurat

Isinya dalan dua hari mendatang untuk menghindari perampokan Kota Wengker, diminta penyediakan permintaan sang  Jayakatwang. Agar tidak ada korban yang tidak perlu, untuk hari ini sudah dianggap cukup.                    

 Ternyata sang Jayakatwang mempersiapkan penyerbuan ke Wengker dengan pasukan berkuda ini sudah hampir setahun, dengan sangat teliti, mengirimkan telik sandi kaum bhairawa. 

    Singkat kata, malah ada beberapa wanita Wengker yang ikut ke Kadiri, mengikuti suami dadakan mereka, karena mereka memang waranggana dan ceritanya Kadiri memang pusat pergaulan bebas yang baru menanjak, bergelimang segala kekayaan dan kenikmatan.(*)              

 

 

 

       

      

PAHITNYA EMPEDU DI TENGAH KEJAYAAN JAYAKATWANG

 

Penyerbuan pasukan berkuda dengan persiapan berbulan bulan ke Ibu Kota Singhasari berhasil   sangat memuaskan. Hampir semua pembesar Kerajaan tebunuh, Sang Prabhu Kertanegara sekeluarganya melakukan puputan. Kecuali enam putra putri Kerajaan bersama dengan Raden Wijaya, mayat mayatnya tidak ditemukan,  Berbulan bulan hilang seperti ditelan bumi. Selama petempuran singkat di Wantilan Agung kerajaan Singhasari, ada sesosok orang berilmu tinggi, yang ikut membela Sang Prabhu mati matian pempertaruhka nyawa, walau agak terlambat, Dalam kilatan kobaran api dan asap yang tebal mengepul, Jayakatwang melepaskan panah dengan tiba tiba dari kudanya yang berlari kencang, sosok itu yang telah merobohkan lima perwiranya dengan lemparan bunga seroja, yaitu semacan senjata rahasia dari besi tuang yang ditajamkan setiap daun bunganya, delempar dengan tenaga dalam. Jayakatwang memanah sosok itu selagi meluncur diudara, begitu jatuh masih sempat melempar bunga seroja yang mematikan seorang lagi perwiranya berkuda.  Setelah sang Jayakatwang memutar kuda dan menghampiri sosok berilmu tinggi ini mencelos hatinya, sekaligus membanjir keringat dinginnya, ternyata yang ditembak selagi meluncur diudara itu adala Ni Ratri, wanita idamannya, sungguh dia tidak mengira, karena sosok itu berdandan sebagai  lelaki dan berjubah hitam mengikat rambutnya dengan kain hitam, layaknya golongan hitam yang lain. Ni Ratri masih sempat meregang nyawa di pelukannya, masih mengenalinya, menjawab permohonannya dengan setengah berbisik mengigau, layaknya orang yang meregang nyawa, bahwa dia berterimakasih telah dihantarkan ke Yomani, mati  menyusul kakang Gembluk, tapi dia Kalakatawang  akan mendapatkan pembalasannya, kuda kudanya akan binasa dan Kedhaton Kadiri juga akan musnah terbakar, Ni Ratri mati ditangannya.  Sang Jayakatwang tahu persis, Ni Ratri akan kebal terhadap segala senjata yang bukan di lekatkan di tajamnya dengan sepotong emas, sedangkan yang memanah kekasihnya hanya dia. Wantilan Agung terbakar hebat, Jayakatwang sudah ditinggal oleh pasukannya sesuai rencana  penyerbuan. Dengan perasaan ndak karu karuan Ni Ratri dinaikkan tertelungkup di kudanya, sambil meloncat dan mengeprak kuda dia larikan kudanya mencari jalan diantara kayu bangunan yang terbakar dan runtuh, menyusul pasukannya yang sudah keluar ke alun alun,  menunggu Junjungannya. Mayat wanita liar ini dia kuburkan di penggir alun alun, Singhasari dengan penyesalan yang mendalam, setelah menguburkan mayat kekasihnya yang meninggalkannya dengan semena mena, walau dia masih lekat dengan kenangan  manisnya.  Sambil terhuyung huyung  dibantu naik kudanya dan berjalan pelan pelan beserta beberapa pasukannya.  Tiba tiba saja dia menjerit melolong tanpa arti sambil mengeprak kudanya yang langsung berdiri pada dua kaki belakang  langsung melompat berlari sekencang kencangnya layaknya kuda gila. Pengikutnya beberapa orang anggauta pasukan  berkuda mengejar dibelakangnya makin  ketinggalan. Sang Prabu Jayakatwang pingsan diatas kuda yang berlari, teronggok menelungkup memeluk leher kudanya, untung saja sekaligus tersusul oleh anggauta pasukan yang juga pasti penunggang yang hebat, salah satu dari mereka nendekati  kuda sang Prabu, sambil meloncat keatas kuda Sang Jayakatwang  langsung  memegangi kuduk beliau sambil memeluk pinggangnya agar tidak jatuh.

         Sang jayakatwang baru sadar di Ngantang sudah ditidurkan didalam kemah Raja, dekelilingi para tabib istana. Detak nadinya bagus, beliau hanya menderita keguncangan bathin yang hebat. Para tabib bingung, sosok sesakti Mahaprabhu Jayakatwang kok sampai begitu, apa bertemu dengan Bhatari Durga ?

 Sebulan setelah menerima utusan penaklukan Singhasari  dari penjabat kerajaan yang masih hidup, sang Mahaprabhu jayakatwang, Raja  Kadiri, Janggala, Singhasari, yang bertahta diatas alang alang kumitir, telah diricuki oleh upaya pencarian berita menghilangnya putra putri Sang Kartanegara beserta raden Wijaya, seperti hilang ditelan Bhumi, tiada kabar berita dimana keberadaannya, meskipun telik sandi disebar dimana mana, terutama Japan. Janggala Wirasabha Pamotan dan Trung. Malah diterima berita berita palsu, berita berita melecehkan kesaktiannya sebagai Rajanya para Balian dan Dukun, dan disegani para Brahamana Rsi, keturunan titisan Bhatara  Shiwa sendiri. Beliau sendiri merencanakan pengejaran dengan telik sandi, mencocokkan semua kebenaran berita mbok Bakul sinambi wara,   beaya ditambah hampir tidak terbatas untuk Tumenggung telik sandi, wilayah pencarian diperluas sampai Tuban, Pasar Uang (Pasuruan sekarang), Prabalngga, Kling. Pamotan. gambar gambar disebar, hadiah dijanjikan sampai limaratus picis emas bagi siapa saja yang melaporkan keberadaan pelarian nomer satu dari Singhasari ini, semua sudah empat bulan sia sia. Bulan ke lima  Mahaprabhu Jayakatwang benar benar kehabisan akal, lantas dimainkan kartu Sang Jayakatwang yang terakhir, para pesukan berkuda. Ratusan mereka dikerahkan beregu untuk menyisir wilayah luas. Makin menyempit di Janggala Trung dan Japan, disisir sampai ke pasar pasar bila waktu pasaran, ke Bandar Bandar dimana perahu keluar masuk, ke semua ashram dan sasana silat, kesemua tempat orang berkumpul dan bergosip.

Sekarang pasukan berkuda beregu dipersenjatai dengan gambar gambar putra dan putri raja dari  depan dan samping putra putri raja dan raden Wijaya, malah jadi ejekan, banyak wanita yang berdandan layaknya putri banyak tukang angkut jang menyombong telah bertemu mereka, masih yang brceloteh untuk menarik perhatian,  disiksa oleh pasukan berkuda saking jengkelnya perwira atasan pasukan ini mencambuki siapapun yang berani clometan menjawab pertanyaan beliau. Menjelang satu tahun para Pelarian ini menghilang, kuda kuda Sang Jayakatwang mati satu demi  satu, kejangkitan sakit bolor, penyakit pernafasan kuda yang mematikan dan sangat menular. Penyakit ini tidak kunjung mereda baik kemarau atau musim penghujan, saban hari puluhan bahkan ratusan kuda kuda tidak peduli milik siapa mati. Sudah dikerahkan ahli ahli pengobatan dan azimat kuda kuda, penularan masih meraja lela, menular pada para penunggangnya yang hidupnya dekat sekali dengan tunggangannya. Telah didatangkan tabib kuda dari Atas Angin, dari China, menghabiskan picis emas kerajaan untuk orang mencari  kuda sebagai pengganti kuda yang mati. Menjelang  tahun kedua hilangnya pelarian pelarian ini, yang menurut kabar angin juga menyebarkan penyakit bolor kuda, berupa putri putri cantik yang membawa pedupaan keliling hunian dan istal istal kuda, sambil berjalan terbang tanpa menapak tanah, malah segera kuda kuda pada sakit, dan mati. Dengan demikian para gadis gadis sangat takut untuk mempersembahkan banten di surup surya, sandya kala, di depan rumah dan Pura, takut dikeroyok regu berkuda sebagai putri jadi jadian yang menyebarkan penyakit kuda dan manusia. Emang sekarangpun penyakit malleus/ bolor kuda ini juga masih sulit diberantas, segera jadi epidemi dan jadi persoalan Nasional. Sesudah sang Jayakatwang, di Jawa semua kerajaan tidak mampu lagi mempertahankan keberadaan pasukan berkuda secara massif. Mungkin Suasana tropis  basah ini memang tidak begitu cocok dengan kehidupan kuda kuda, kecuali dengan perawatan yang teliti dan obat obatan moderen. Kecuali di NTT dan Sulawesi, yang beriklim lebih  kering.

     Waktu itu satu setengah tahun sesudah pengejaran  Pelarian Singhasari yang sia sia, Sang Mahaprabhu Penakluk jadi tawar,  hanya dia yang tahu bahwa kehilangan pasukan berkudanya adalah kutukan Ni Ratri, kekasihnya sendiri yang dia panah dengan panah yang berujung dipateri dengan emas.  Hanya dia sendiri yang tahu. Dengan susah payah,  tidak mengenal lelah, diwujudkannya pembalasan dendam yang hanya Ni Ratri dan dia saja yang tahu betapa dendamnya kepada Prabhu Kertanegara yang sampai kehilangan nyawanya dan sekaligus Kerajaannya. Hanya membuahkan kekecewaan yang amat sangat karena hadirnya Kakanda Gembluk lah yang tetap di benak Ni Ratri.

Kuda kuda yang telah mengangkat derajadnya begitu tinggi, musnah, nampaknya tanpa bisa ditolong, dia sampai menagis kaya anak kecil waktu kuda kesayangannya si Gagak Rimang kena penyakit bolor, dan mati dalam lima hari, tanpa bisa ditolong.

Dalam kasedihannya yang beruntun  ini dia berpikir hanya Wijayalah yang tentu mengerti petapa hebatnya upaya dia menaklukkan kerajaan kiri kanan dan Singhasari. Kini hanya Wijayalah yang mengerti kejayaan itu adalah upayanya pribadi yang tekun, teliti dan tanpa salah, memajukan pasukan berkuda mendekati Singhasari dari utara, menghilir sungai memutari pegunungan dan bersembunyi di jurang Baung, orang senegara tidak ada yang mengira, karena berhasil bersempbunyi selama empat  hari sampai di Gunung Baung, tidak termasuk satu bulan membuat rintisan yang panjang sekali ditengah tengah hutan dan tiada seorangpun yang curiga. Ini sebenarnya adalah maha karya yang sangat besar memerlukan tenaga dan pikiran sampai ke batasnya, baru dewa dewa dan cuaca yang membantu. Bukan karena dia dianggap keturunan Bathara Syiwa, dia sendiri cerdas lebih dari orang biasa, kenyataan itulah yang dia dambakan untuk mengharumkan namanya. Dialah orangnya satu satunya yang mencipatkan anak panah yang bisa menembus dengan mudah perisai kulit kerbau..

Satu satunya akal yang iya tidak  banggakan, malah sudah dilakonkan oleh tobong lakon Prabhu Jayakatwang bertahta diatas alang alang kumitir, tapi diatas panggung sandiwara. Dalam hati Mahaprabhu Penipu ini  khawatir sekali bila raden Wijaya  meraba sulapannya yang murahan, karena itu tipuan murah sekali, andaikata si Wijaya tahu saja.  Malah para pemain sandiwara telah melakukannya secara sangat tidak sengaja, bertengger diatas alang alang kumitir. Dia, sekarang Mahaprabhu Nata Janggala Kadiri Singhasari, sangat kepingin bertemu dengan Raden ini dan berdamai dengan Wijaya dari pada namanya dipermainkan orang kecil detertawakan dimana mana. Dia berfikir begitu hanya pada saat dia sendirian, takut pikirannya dibaca orang, sambil tersenyum  pahit sendiri. Para abdi melihat dari kejauhan,  mengira bahwa raja sudah benar benar gila.*)

         

 

 

 

 

 

HASIL PENYERANGAN MENDADAK DAN PELARIAN DARI KEDATHON SINGHASARI

 

Pasukan berkuda dari Kadiri menyerbu ibu kota Singhasari dari Utara. Dengan para penunggang kuda yang liar, melarika kuda kudanya dengan kecepatan penuh berbondong bondong tidak beraturan. “Rawe rawe rantas malang malang putung”.  Lepas tengah malam kedengaran titir kulkul dari Utara sayup sayup kemudian makin keselatan ke kota Singhasari dengan makin jelas suaranya.

Memang rupanya inilah kejadian yang paling dia takutkan, perahu perang dikirim ke Palembang dengan tiga perahu besar bercadik , model yang sudah lama, karena pembuatannya boros kaju dan berlayar kurang laju dibandingakan dengan luas layarnya. Tapi ketiga perahu bercadik dengan geladak bersusun tiga, kebanggaan Singhasari. Perahu  perahu ini persis serupa dengan perahu besar yang dilukiskan didinding candi Borobudur. Sedang ibu kota yang tidak bertembok ini tidak seperti biasanya Ibu kota, karena bahaya diserbu oleh gerombolan pasuka barkuda tidak pernah ada.

Raden Wijaya ditemui oleh penjaga peraduan raja dengan sangat tergopoh, gopoh. Diberi titah darurat dengan tegas supaya membawa istreri dan adik adiknya semua melarikan diri lewat pintu rahasia Utara. Segera  disana sudah disediaka kuda lima ekor. terserah menurut situasi, jangan sampai kepergok pasukan berkuda atau siapapun sebelum berkuda sepenginang.

Kelanjutan wangsa Singhasari sepenuhnya ditangannya, sambil menyampaikan kalung kerajaan lambang Garuda Wishnu yang selalu dipakai Baginda, itu berarti Baginda siap mati.

Bagitu gawatnya susasana, sehingga raja tidak bertitah untuk bertahan, ,melainkan melarikan diri dengan kuda menyamar, sampai sepenginangan diperjalanan.

Raden WIjaya segera mengerti betapa gawatnya kedudukan Singhasari dan dia beserta adik adik iparnya sebagai harapan satu satunya untuk pepulih dikemudian hari.

Tanpa berpikir panjang dikumpulkan adik adiknya, dua lelaki tanggung dan tiga remaja putri, bertujuh dengan dia dan istrinya Membawa bekal bumbung kerajaan yang disediakan untuk keadaan darurat. Semua berdandan ringkas semua berdandan ringkas cara prajurit. Berdestar dan pakaian malam segera berangkat dengan lima kuda yang selalu tersedia di istal kuda untuk situasi darurat, dekat pintu rahasia di Utara Kedhaton. Dia satu kuda, isterinya satu kuda,  masih  tiga kuda lagi untuk keempat adiknya. Mereka berkuda dengan langkah drap menuju ke barat laut. Kawasan berhutan lebat. Mereka berkuda merunut jalan setapak agak menanjak. Jalanya pencari madu.

Sepenginang sampai di wilayah dengan semak semak lebat. Wilayah berbentuk  kipas, bekas laharan gunung Arjuno, berpasir campur kerikil, sangat sunyi.

Tempat ini memang jarang di jamah untuk kepentingan apapun karena tanah laharan ini sangat gersang. Raden Wijaya tahu jalan setapak ini, nanti bila menurun sampai di satu Asyram di desa Polaman agak sebelah barat Plawangan.(sekarang kota Lawang). Siang ini dia dan rombongannya berusaha bagerak sejauh mungkin dari Singhasari dan sesedikit mungkin ketemu orang.

Anehnya menjelang fajar, disebelah barat Plawangan rombongan ini bertemu dengan rintisan jalan ditengah hutan, yang menuju ke utara, nampak baru dan dilewati banyak sekali bekas telapak kuda, lebih dari limapuluh ekor, keutara sepanjang lereng timur gunung Arjuno, menembus hutan lebat. Dia langsung tahu bahwa rintisan ini jalan rahasia yang barusan semalam paling lama dua hari yang lalu dilewati pasukan berkuda dari Kadiri. Sudah ditinggalkan oleh pembuatnya karena gunanya sudah diperoleh.

Raden Wijaya berdecak kagum. Dengan mudah rombongan kecil ini mencapai Purwosari lewat rintisan jalan baru ini tanpa ketemu seorangpun. Rombongan beristirahat ditepi  hutan, dekat dengan pakuwon Purwosari.

Mendadak saja mereka ingat bahwa sejak malam mereka belum makan bahkan minun air setegukpun, ketegangan pelarian menyebabkan semua jadi lupa makan dan minum seharian.

Sore itu mereka bertujuh turun dari kuda, menuntun kuda kearah bawah pohon elo besar, yang lagi banyak burung “joan” menyerbu buah elo, menjelang senja. Semua putri raja yang empat orang, nampak lelah tapi tetap tenang, semua berwajah kemerah merahan, nampak kelelahan. Semua mengerti burung burung itu makanan, tapi apa boleh buat, selain pisau belati yang sangat tajam bawaan Raden Wijaya.

Kedua adik iparnya yang laki laki, tidak membawa panah apalagi sumpit. Toh Wijaya dulunya pangeran yang miskin, bergaul dengan semua orang, sebelum menjadi murid sang Bhismasadhana. Dia dititipkan di satu asyram, sebagai bocah yang suka bermain main dengan anak gembala dari seputar asryam.

Dengan mereka dia belajar renang di sendang yang dingin dan banyak ikannya, karena penduduk takut mengambilnya., pamali. Sedangkan dia dan temannya yang paling bengal tidak.

Mereka diam diam sering mengambil ikan tambera yang paling besar terus dibawa ke tepian hutan lalu di panggang dengan bumbu dari pinggiran hutan, garam dan umbut combrang ( laos hutan) di gilas dengan batu hingga halus, dimasukkan rongga tubuh ikan beserta daun daun muda dan berbau harum banyak.

Daun daun dan bumbmu ditempelkan di sekujur kulitnya dibungkus rapat rapat dengan daun combrang dan daun bunga tunjung (teratai) berlapis lapis, dan dipanggang.

Kali ini bukan ikan tapi ayam hutan yang ternyata banyak ditempat itu. Dasar waktu kecil temannya anak gembala, dia pembuat jerat dari serat pohon waru gunung. Wijaya mahir membuat jerat ayam hutan. Menjelang senja Wijaya sudah   mendapat empat ayam hutan, semuanya betina. Langsung di bersihkan bulu bulunya diberi bumbu garam dari bumbung kerajaan bubuk merica dan tumbukan umbut jombrang ( lengkuas hutan) dibalut dedauman pisang dan teratai yang kebetulan ada di sendang kecil dekat situ.

Memang bila nampak pohon elo, sekitar situ pasti ada air, entah sungai entah sendang atau danau. Bungkusan panggang sampai malam tiba. Waktu dikeluarkan dari unggun api, dan dibuka dengan membelah bungkusan ini, ternyata tercitpa aroma harum. Keenam putra putri raja itu makan ayam hutang panggang, seolah olah tidak pernah marasakan masakan ayam. Mereka minum air anak sungai kecil tidak jauh dari pohon elo tempat mereka beristirahat. Sisa api unggun dibuat membenamkan ubi hutan, dan mereka makan dengan lahap. Menjelang malam mereka adik ipar laki laki nampak masih lapar.

Sebelum mendatangi rumah akuwu, Raden Wijaya member isyarat dengan tangan, mengajak mereka berdua berburu oling ( belut raksasa).  Dia sepintas melihat sarang belut raksasa itu di sendang dekat situ, dia jelas melihat bekas bekas buih masih menggerombol dekat semak tepian lain dari sendang itu. Kepala ayam hutan yang tidak ikut dibakar dilubangi dang diikat di telapak tangan kanan sang Raden Bengal ini.  Mereka mendatangi bekas buih diterangi hanya dengan bulan muda, tangan dengan kepala ayam hutan sang Raden pelan pelan dicelupkan di air hanya selengan, tidak berapa lama, ada yang berkecipak keras.

Dengan kedua tangan satu belut sebesar lengan orang dewasa sudah tertangkap dalam genggaman besi tangan kanan, sedang tangan kiri membantu dengan memasukkan jari telunjuk ke insang oling ini sekuat kait besi. sementara  kedua tangan  ini diangkat dengan segera. nampak oling sebesar lengan orang dewasa ini berkelojotan diantara kedua cenkeraman tangan besi sang Raden, Oling atau sidat raksasa memang ikan buas yang paling licin, badannya berlendir sehinga memegangnya harus dengan keberanian dan tekad.

Dengan kaget kedua pemuda tanggung ini hampir berteriak sebelum mendatangi kegirangan, baru teringat mereka adalah pelarian nomer satu, ketika nampak sang raden segera mengelengkan kepalanya sambil mulutnya berdesis.

Mereka makan oling panggang dengan garam,  lebih dari cukup mengenyangkan, bertujuh masih makan sambil tertawa cekikikan seolah olah mereka sedang bercengkrema di halaman istana, sebelum menadatangi rumah Akuwu Purwosari, untungnya penjaga regol masih mengenali Raden Wijaya. Rombongan segera masuk dan regol ditutup. Kuda kuda masih disembunyikan di tempat rombongan beristirahat dihutan untuk kehati hatian. Ternyata benar, sebab Menantu Raja ini pernah berburu rusa dengan Akuwu atas undangan beliau, sedang tadi siang sudah tersiar berita bahwa Singhasari jadi karang abang, hampir semua pembesar Kerajaan terbunuh, termasuk Sribaginda . Istana terbakar ludes, hampir semua orang tidak percaya, mereka akan berbondong bondong menuju keselatan melihat Ibu Kota.

Ketujuh tamu ini  masuk regol dengan cepat tanpa kuda kuda, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan. Sedangkan Jayakatwang pun belum memasang telik sandi di Pakuwon Purwosari, mengharapkan bahwa seluruh keluarga Raja bakal berkelahi gaya puputan Margarana.

Putra putri Raja langsung beristirahat, Raden Wijaya dan sang Akuwu merundingkan perjalanan selanjutnya ke ruangan pendopo, kuda kuda segera dijemput dan depilhara di istal lain, Mereka berdua berkirim surat singkat saat itu juga dikirim gandek berkuda ke Japan dan Bangil, Habis tengah malam rombongan berganti naik pedati sapi menuju ke Bangil dari pintu samping diantar oleh prajurit tua penjaga Regol. Sehigga dapat dipastikan tidak ada seorangpun yang tahu kedatangan tamu itu selain keluarga Akuwu.

Raden Wijaya mempercayakan nasibnya pada Akuwu Purwosari, sambil mengucupkan tangan didepan dada, salam persahabatan, yang disambut dengan meyakinkan oleh sang Akuwu. Dia tidak akan melapor kepada Tuannya yang baru Raja Kadiri dan Singhasari Sang Mahaprabu jayakatwang. Hal mengenai kedatangan rombongan ini.

Dalam gerobak sapi yang diisi penuh jerami, dedak dan rendeng ( daun kacang tanah kegemaran kuda kuda), diantar penjaga regol dan dua emban yang memang tahu kedatangan tamu ini, mereka bertiduran diantara muatan jerami itu, tidak nampak dari luar.  Matahari sudah tinggi baru sampai di penggiran kota Bangil, yang ramai karena kota itu kota pusat kemasan artinya tempat undagi emas, disana sudah dijemput oleh Pemilik Perahu Madura. Siang nanti segera berlayar ke Trung.

Perahu tidak besar, ditambat di sungai yang membelah kota Bangil, bersama dengan perahu perahu tambangan, ternyata dua emban mamaksa ikut ke Trung, dengan pertimbangan kerahasiaan Raden Wijaya mengabulkan.

Rembang siang hari perahu didayung ke muara tanpa banyak cing cong, dan langsung disambut oleh angin timur yang agak keras, segera layar terisi dan perahu meluncur cepat ke utara. Selang dua hari sesudah hari itu, baru rombongan telik sandi Prabhu jayakatwang desebar di Japan, di Purwosari, para abdi Pakuwon dan Penjaga regol ditanya apa ada tamu kemarin, jawabnya tegas tidak ada, wong tamunya sudah tiga hari sebelum itu. Sudah tidak ada yang tahu kacuali keluarga Akuwu, yang ternyata bisa diandalkan. Dikemudian hari, betahun tahun mendatang masih diingat oleh Raden Wijaya.

Keluarga yang ditingalkan oleh dua emban dijamin oleh Akuwu lebih dari cukup, dan diyakinkan akan keselamatannya. Begitulah sementara romdongan pelarian yang sangat penting dari Kerajaan Singhasari seperti hilang ditelan bumi.

Di Japan sepertinya tidak ada kolong yang tidak diintip, tidak ada pintu yang tertutup bagi telik sandi, tapi sama sekali tanpa hasil sampai berbulan bulan tidak ada berita sampai di telinga Prabhu Jayakatwang tentang Putra Putri Kartanegara dan Raden Wijaya, padahal Prabhu Jayakatwang sudah terlanjur mengumumkan dirinya seperti Dewa, serba tahu.

Yang ini benar benar dia tidak tahu, meskipun ribuan telik sandi dengan jaringan gandek gandek dan burung burung merpati pos, jaringan telik sandi bukan saja di Japan, tapi di Janggala, Trung. Bahkan sampai ke Pasar Uang (Pesuruan)  Tuban dan Wirasabha, tapi tetap tidak ada berita apa apa selama dua bulan.

Yang lebih menjengkelkan pencaharian pelarian itu sampai jadi bahan ejekan kuli kuli tukang angkut barang di Japan, Jenggala dan Trung, bahwa mereka telah menggendong putri putri kerajaan yang cantik cantik  ini menuju ke jung yang berlayar ke negeri Cina, mereka bercerita demikian di warung warung tuak sambil cengengesan, ngerti bahwa disitu pasti ada telik sandi Pabhu Jayakatwang dan pasti berita itu disampaikan pada beliau. Ada yang bercerita bahwa empat putri Raja itu sekarang menyamar sebagai ronggeng di desa Dawuhan, dia sempat menciumnya,  Bercerita begitu sambil  cengenesan, ada yang bilang bahwa si Nem bakul pecel yang cantiknya kelewatan di pasar gede Jenggala itu adalah salah satu Putri Raja  Kartanegara yang menyamar, semua berita itu penting dan sampai ke telinga Rajanya para Dukun, Balian mangiwa. yang bertahta di puncak alang alang kumitir. Sang Jayakatwang mengakui bahwa berita berita itu harus dinyatakan semua, membuat dia jadi gila, sambil membanting tongkat pusakanya dihadapan Tumenggungnya para telik sandi Kerajaan.

Malah berita bahwa Prabhu Jayakatwang gila menyebar dimana mana dengan bumbu bumbu tentunya.  Malah ada rombongan tobong ( sandiwara) keliling desa desa yang melakonkan penyamaran putri putri Singhasari dan Raden Wijaya, konon sangat laris dengan banyolan banyolan.

Bagaimana Negara melarangnya, bagaimana melawannya, apa deserbu dengan pasukan berkuda ? Disini dia dimakan oleh siasatnya sendiri, tukang menyiarkan berta bohong.  Rakyat di kota kota pelabuhan ternyata sangat kreatip mengejek kekuasaan Negara dibawah sang Mahapabu Jayakatwang,

Penguasa baru Janggala Kadiri dan Singhasari, bang wetan dan bang kulon.

 Prabhu Jayakatwang merasa bahwa perlawanan Rakyat Singhasari, Jenggala, Wirasabha yang terus terusan meluas semacam ini, sangat mnjatuhkan wibawanya. Dalam hati dia mengharapkan Raden Wijaya menakluk dengan sukarela, tapi bagaimana mengumumkannya ? Siapa Yang percaya lagi ?

Menjelang pagi, angin brubah ke barat daya, perahu Madura merubah haluan ke Barat langsung ka Pelabuhan Trung, dimuara Sungai Mas anak sungai Brantas yang lewat kota Trung. Belum sampai selesai merapat di penggiran, ada sosok anak anak yang membawa surat diberikan kepada Raden Wijaya, yang isinya satu Asyram Islam di Ampel Denta menyediakan perahu dayung lengkap untuk pelayaran kemana saja sepanjang kali Brantas. Ini wujud bantuan dari Asyram Ampel Denta kepada Ki Bismasadana dari padepokan Sendang.

 Raden Wijaya sangat bersjukur, ternyata utusan ke Japan yang berangkat dari Purwosari telah sampai kepada sang Bismasadhana yang juga sahabat dari Pendeta Islam dari Ampel Denta.

Parahu biasa, dengan lebar dua depa ditengah dan agak langsing, membawa layar lateen, dengan atap kajang yang agak panjang.  Para pendayungnya muda muda dan berotot, ada tujuh orang, bersalwar dan baju dari kain tenun gedog berwarna putih kotor, ada yang bersorban kain putih. Dayung mereka agak aneh, berupa talempak (semacam tombak pendek dari besi, bermata lebar dua telapak tangan dan panjang ada yang dari besi seluruhnya, disamarkan dengan warna kotor.

Para tamu disuguh dengan wedang jahe, yang dicampurkan dengan kahwa, minuman baru, bari biji kopi yang dibakar hitam dan dibubuk, dituangkan air mendidih, rasanya agak pahit, desertai dangan makanan juadah dan jenang ayas yang manis , segala manisan buah dan kue rangin. Perahu didayung enam pendayung dengan santai memudik sungai Mas.

Menurut Sang Bhismasadhana, mereka sebaiknya menuju Desa Kudadu, dekat Hutan Ploso, sesudah arah mudik dari Wirasabha. Pelayaran perahu selama dua hari, dengan malam istirahat. Menurut sang Bhismasadhana mereka bisa istirahat lahir dan bathin di Asryam Kudadu, yang letaknya jauh dari japan dan mendekati Tuban, yang bisa ditempuh sehari semalam berkuda.

Raden Wijaya bersalaman dengan mereka, selesai bersalaman meletakkan kedua telapak tangan ke dada cara Muslim, kepada semua pendayung, begitu pula para adik ipar lelaki tanggung mengikuti dengan tersenyum kikuk. Para santri dari Ampel Denta ini rata rata sopan terhadap anggauta sombongan kaum putri, yang sekarang jadi enam orang. Awak perahu yang tujuh orang itu memang sangat sopan dan terpelajar, menulis surat di daun lontar tipis dan diikatkan di kaki burung dara pos dekaki burung itu dan dilepaskan tiga ekor. Mereka membawa enam sangkar dalam perahunya.

Tidak sekalipun pandangan mereka tidak wajar terhadap kaum wanita penumpangnya, yang ternyata gadis gadis remaja yang cantik cantik kecuali dua emban yang malah sering menunjukan sifat wanitanya dengan sopan. Para pendayung ini melakukan upacara agama mereka tepat lima kali sehari menurut edaran waktu ditandai dengan posisi matahari. Menghadap ke barat dengan bergantian tiga orang tiga orang, Perahu ditotog dengan galah panjang. Sungai Brantas sudah tidak sederas dua bulan yang lalu, mereka mendayung dngan santai dan nampak ringan saja, meskipun Raden Wijaya tahu persis bahwa dayung dayung itu denjata yang dahsyat dan berat, bisa melubangi dinding perahu dengan mudah.

Raden Wijaya merasa sangat beruntung mengawal istrinya dan putri putri raja, yang bersifat mudah menyesuaikan diri dengan keadaan dan mudah bergaul dengan siapa saja, wajar tanpa canggung, begitu pula dua emban yang ikut dari Purwosaridisertai dengan pasukan darat yang menyamar menjadi tukang sarad gelondong jati sudah ada seribu dua ratus prejurit dan perwiranya, Pekerjaan utama mereka adalah mengacaukan berita di kedai kedai tuak yang juga didrikan jadi milik mereka. Membeli Penjabat untuk mendapat tahu berapa penghasilan sang Raja dari pajak dan penjualan kayu glondong jati, dan tambang emas di gunung Wilis. Mencatat keadaan penduduk kota para prajurit Wengker dan senjata andalannya, termasuk para waranggono dan wanita bebas di ibukota Wengker, setiap orang kaya di setiap kampung dimana rumah yang dihuni  para lurah dan demang

Psukan kedua  ini yang merupakan pasukan “baris pendem” sudah dikirim ke Wengker  tinggal di Wengker paling sedikit satu tahun , lantas beraksi disetiap kampung memisahkan penduduk laki dewasa dengan perempuan, sesudah dipisahkan penduduk perempuan yang klimis dan muda semua ditawan dan dibawa  ke hutan Slahung  untuk melaksanakan orgy kaum Bhairawa. Mahargya (minun tuak), matsia (makan ikan),mamsa(makan daging)  ma’udra (menari mabok)  dan maithuna (melakukan orgy sex)  komplit, seperti adatnya kaum bhairawa, para jawara penunggang kuda ini dengan cepat terserap dalam adat kaum Bhirawa.

.

 

 . ROMBONGAN KECIL PELARIAN YANG SANGAT DICARI BERISTIRAHAT DI KUDADU

 

Merka membangun rumah sendiri dekat pesantren Ploso, Raden Wijaya dan Para adik iparnya para pemuda tanggung, mendekat ke Asyram di Kudadu. Dalam dua minggu saja makin banyak orang yang permukim diantara Ploso dan Kudadu, dibawah perlindungan Brahmana Rsi di Kudadu, termasuk pesantren di Ploso, tepi kali Brantas. Sebulan para pelarian ada di Kudadu, dengan tambah pengikut antara limabelas orang tiga wanita, semua ahli memelihara burug dara dan kuda kuda.

Ploso dekat dengan Asyram Kudadu, merupakan desa di pinggir sungai Brantas, merupakan pangkalan pedahu penyeberangan ke Tuban, lewat kota Babat. Ditepian sungai ada pondok pesantren yang tidak besar. Memang rombongan pelarian dibagi tiga kelompok kecil, dengan rumah seniri, sendiri, yang didirikan di desa sekitar pondok, distu semua santri mendirikan rumah sederhana, mengdupi kelompoknya sendri masak bersama sama. Pelajaran agama islam dimulai dengan mengikuti ceramah dan diskusi dengan sang Pembimbing, sosok lelaki setenga baya, berkerja sebagai petani bila waktu kerja, ,mulai akhir solat magrib mengadakan ceramah di salah satu pendopo dari rumah limasan beratap ilalang, bertiang lima, satgu ditengah sebagai tangkai payung yang dikembangkan, diatas umpak batu. tanpa dinding.\. hanya ada tiang bambo petung berjajar empat disetiap sisimya menyangga sisi pinggir atap ilalang yang hanya stinggi orang berdiri.

Raden Wijaya pengunjung tetap ceramah  umum itu, bisa meninggalkannya setiap waktu. Pendengarnya tidak harus sudah islam, artinya sudah membaca shadat. Malah Raden Wijaya selalu mengikutinya sampai akhirnya sang pembing mendekatinya..... setelah bersalaman, ternyata mereka tinggal duduk berdua behadap hadapan.

Sang Pembimbing dengan santai menyapa sang Raden, yang sudah mirip pengembara biasa......Sesudah saling berkenalan, Sang Pembimbing mulai dari peernyataan yang blak blakan tanpa sungkan, menyatakan bahwa dia hanya menyampikan risalah. pada dasarnya ajaran semua agama yang benar itu sama,  menjalani petunjuk Sang Hyang Widiwasa. Hanya waktu dan asal orang pertama yang menyampikan petunjuk itu dari macam macam bangsa dan macam macam lingkungan wilayah negara, dengan kebudayaannya sendiri sendiri. Dijawab oleh Wijaya memang demikian. Sang Pembimbing menerawang pandangannya sambil meneruskan bahwa dia telah lama memikirkan dan mencari bagaimana cara mencocokkan banyak keterangan, yang beraneka ragam,  bahwa menurut islam setelah mati ruh setiap orang bahkan binatang tidak akan menitis kembali di dunia ini.....akan kekal disana sampai dunia seisinya digulung kembali. Untuk memperbaiki kekeliruannya yang telah diperbuat di kehidupannya yang sudah dilewati sebelumnya, sudah tidak mungkin lagi. Sedangkan ajaran Budha dan Hindu, mengajarkan hidup akan minitis kembali, sampai bisa mencapai kesempurnaan menuruti semua petunjuk hidup oleh sang Hyang Widiwasa. Dalam tanya jawab saling menngisi.... akhirnya mereka beredua sepakat bahwa hidup seseorang adalah sebuah buku kosong dari lahir yang harus ditulisi selama hidup tanpa bisa dihapus, hanya bisa dilanjutkan dengan pengakuan  iklas dan bertaubat, makanya selama hidup perilaku harus selalu diperbaiki  ditambah secara upaya sungguh sungguh menuruti Petunjuk Wyang Widi, selama masih bernafas, atas namanya...... yang satu satunya ...... Setelah mati.... buku si pribadi itu ditutup dan disimpan atas nama si mati untuk selama lamannya si nama akan kekal disana.....Sang roh yang tidak punya nama akan punya  buku lagi atas nama orang baru yang lain ditempat lain di lingkungan dan zaman yang lain, buku buku yang telah ditulis, tidak pernah bisa diingat oleh si penulis buku baru ini, kecuali pengaruh kecenderungan rokh tanpa nama, yang yang sulit dijelaskan.  Tidak seorangpun di dunia ini yang tahu, ini satu kenyataan yang pantas diimani. Entah pada kehidupan yang dijalani sekali oleh nama ini, kemudian nama lain yang keberapa, dan berapa banyak buku yang sudah ditulis.....nama nama siapa saja, jadi dari buku kuku yang mana tidak akan ada tahu untuk disontek dari yang sudah ditulis dulu,. Selama si nama nama  yang sudah jadi buku buku setumpuk dengan berbagai nama dan lakon, shingga buku terkhir menjadi yang disadari dengan kekinian sekrang, bersama kecenderngan rokh dan petunjukNya. Ini kanyataan yang tidak bisa dipungkiri.

Kedua sahabat itu untuk beberapa bulan bersama sama

sampai raden Wijaya sudah kuwalakan dilingkungan

pendatang dari Wirasabha, Jenggala dan Trung, khusus

untuk membantunya...Menjadi sangat berbahaya.....

Sehingga ada kisikan, rombombongan harus pindah ke

Madura lewat Perahu dari pantai timur Jenggala, tetap

sendiri sendiri setiap kelompok, pada saat yang

diitentukan akan betemu di kali Rambut,  sekarang  desa

Kedung Peluk.

Ajaran Islam, hanya memfokuskan pada hidup yang lagi dijalani itu, ya itu hidup satu satunya yang selalu harus di luruskan sesuai dengan ajaran UtusanNya yang  terakhir. Makanya ada cerita bahwa solat itu semula diperointgahkan Allah samapi puluhan kali, Nabi lain yang bertgemu id sama minta supayang Sang ututas terakhirf kembali dan moho keringanan, setelah boka balik mengadaps sampai pada 5 klai sehari semalam, begitulah cedritanya..... menggambarkan betapa seringnya manusia lupa. Agar tidak ada hujjah yang lain sebagai alasan yang enak untuk mengimaninya.  Itulah sebenar benarnya kenyataan yang ditumjukkan oleh Hidup ini.

Terenyata sang Pembimbing yang berceramah itu seorang sufi, sudah lama dari muda datang ke Nusantara dari Lebanon, desa asalnya disana namanya Besari.

 

Hubungan dengan Tuban direntangkan dengan bantuan santri dari Ampel Denta, burung dara pos bisa dikirim dan mererima berita dari Japan, Ampel Denta dan Tuban.

Rupanya Sang Jayakatwang saking jengkel mengerahkan pasuka berkuda, menyusuri kali Brantas meneliti Hunian hunian, pasar pasar di Japan Wirasabha dan termasuk Ploso. Rupanya dari Japan ada pertunjuk usulan  untuk mohon perlindungan ke Madura saja kepada Aria tua itu, sang Wiraraja.

Ronbongan Pelarian pindah dengan perahu, ke pinggiran sungai Rambut,  mengendarai gerobak lagi ke Wilayah Jenggala dengan kawalan dari kaum yang mencintai Singhasari.  Rombongan serupa yang agak menyolok bergerak ke Pamotan, tapi hilang di jalan, karena hanya untuk gerakan penyesatan saja.

Robongan dipecah menjadi dua, bertemu di Kedung Peluk setelah seminggu kemudian.

Rombongan dibimbing oleh teman teman Raden Wijaya, dengan gandek pembawa berita dimuka dan dibelakang, menganyam jejak pasuka perkuda, yang dibuat bingung oleh berita berita yang menyesatkan, sekarang malah secara acak mengunjungi Pasar Pasar,dengan Gambar para putri dan putra raja beserta Raden Wijaya. Berkat bimbingan para pedagang simpatisan Singhasari, dibantu oleh kaum santri dari Ampel Denta, rombongan tidak pernah ada disuatu tempat disatu waktu dengan para pengejarnya. Akhirnya kedua rombongan sampai di Kedung Peluk, hampir bersamaan waktu.

 Perahu sudah disediakan menghilir sungai Rambut, kebetulan waktu pasang. Dimuara tempat rumah benteng disatu pulau seorang sudagar putri dengan banyak perahu dan barang dagangan tinggal, Putri Sekar Dadu. Salah satu perahunya dipakai untuk berlayar ke Pamekasan oleh rombongan pelarian.

Sementara itu berbulan bulan pengejaran di tempat tempat yang dicurigai dan tetap dilakukan berbulan bulan kemudian, mengejar berita yang sengaja disiarkan untuk menyesatkan pencarian 

 

 ARIA WIRARAJA DARI  SUMENEP

Aria tua ini sangat bijaksana,  setelah sekian lama, hampir tiga tahun kurang tiga bulan sang Jayakatwang dengan segenap pasukan telik sandi yang hebat tidak bisa diragukan kerjanya, gagal menemukan Pembongan kecil Pelarian dari Singhasari. Malah dia sanggup menampung mereka, dia mempertaruhkan namanya dan nyawanya tanpa diminta oleh Bupati Tuban,  bahkan diyakininya Bupati Tuban tidak tahu bahwa sekarang Pelarian pelarian yang sangat dicari cari oleh sang Jayakartwang itu  sudah ada di hadapannya.

Bupati Tuban hanya mengenal kekuatan telik sandi  sang Jayakatwang  sedangkan Arya  Wiraraja dapat memeprhitungkan betapa jaringan yang membela Raden Wijaya  berbulan dalam pengejaran dan penyisiran pasukan berkuda yang berubah jadi pasukan penarik  pajak paksa  dari rakyat itu. Tentu mereka dibantu secara sepenuhnya oleh kelompok yang hebat, dapat mengejek dan mengelabuhi telik sandi orang yang secerdik dan sekaya Prabhu Jayakatwang kini.

 Aria tua ini sangat kepingin tahu pejuang yang gigih  demi mempertahankan  nyawa ini,  orang yang dapat mengalahkan Prabhu Kartanegara di papan catur adalah orang yang istimewa. Tambah dengan kecerdasan orang yang telah mengelabuli sekian banyak telik  sandi, yang mencari kabar keberadaan putra putri Prabhu Kertanegara, yang mudah ditandai , karena wajahnya gaya omongnya pasti lain dari rakyat biasa,  hadiah bagi mereka yang dapat menunjukkan  dimana mereka bersembunyi selama ini, sudah cukup jaminan bahwa kepergiannya ke

Sumenep pasti juga tidak ada yang tahu.

Pagi pagi dia menerima rombongan di wantilan dalam istana Suemenp, Raden Wijaya dan para pengikutnya, putra  putri Kerajaan Singhasari. Beliau merasa heran bahwa putra putri raja ini ternyata nampak segar dan sehat, malah agak kecoklatan kena sinar matahari yang  banyak. Dia juga kagum bagaimana bisa mareka diantar oleh perahu Nyi Sekar Dhadu saudagar putri setengah baya,  kaya raya dan   angker,  tidak sembarangan, semua prilakunya itu telah diperhitungkan  dengan cermat dan diperhatikan..  Aria tua ini kenal baik dengan Ki Bhismasadhana,  demi kepercayaan dirinya  akan kcerdasannya   dan membantu sahabatnya itu dia sanggup menampung rombongan Pelarian ini. Setelah mengucapkan terima kasih kepada Juragan perahu yang mengantarkan rombongan sampai di Pamekasan, dia segera menyilahkan rombongan menempati kamar kamar dibelakang Kadipaten, yang merupakan keputren dan kasatrian.  Hanya Raden Wijaya dan istrinya diberi tempat di pavilion disebelah kanan delem  kadipaten. Setelah berbenah diri menanti siang diundang makan di dalem ageng oleh sang Wiraraja. Mereka berterima kasih, menyembah dan segera mudur dari penghadapan yang  singkat ini. Siang hari mereka sudah bersalin dengan pakaian cara Kadipaten Madura,  untuk putri nampak tidak ada bedanya, hanya dandanan gelung rambut agak lain, untuk para ksatria berdandan cara ksatria Madura, banyak bedanya, selain memakai rompi pendek tidak berkancing,  mereka memakai kampuh dan lancingan selutut berwarna hitam, dan memakai destar cara Madura.

Raden Wijaya beserta istrinya  satu tempat menghadap meja rendah ditemani Aria tua denga kedua istrinya, mereka saling menyilahkan dengan sopan, dan baru sekali ini selama  pelarian berbulan bulan mereka diperlakukan sebagai putri raja. Raden Wijaya menyertai setiap gelas la’ang tua dengan sang Aria penggemar la’ang tua yang diramunya sendiri, terkanal diseluruh Janggala Kadiri dan Singhasari.  Raden Wijaya terus terang menyatakan kekagumannya kepada Jayakatwang, kerena malam penyerbuan tiba tiba di Singhasari,  yang tidak diketahui seorangpun,  rombongan pelarian malah  melewati rintisan ditengah hutan itu, yang memudahkan pelariannya sampai pagi ke Gunung Baung, tidak bertemu seorangpun.  Raden Wijaya mengagumi persiapan yang sangat terahasia disertai dengan dongeng dan cerita penyesatan yang dapat diterima orang banyak,  dia menceritakan bahwa tidak hanya satu rintisan tapi beberapa rintisan. Raden Wijaya bisa menggambarkan betapa sulit merahasiakan pembuatan  rintisan dihutan disela sela hunian orang dan perjalanan pssukan berkuda diam diam selama itu. Semua  yang diceritakan dan komentar yan diberikan oleh Raden Wijaya sebagai murid sang Bhismasadhana , didengarkan dengan cermat, disertai dengan pertanyaan tiba tiba dari sang Aria, menunjukkan pengetahuan yang luas sebagai ahli siasat tentara dan peperangan.  Raden Wijaya, tanpa sedikitpun rasa kebencian, malah memuji sang Jayakatwang yang mengejar ngejar dia,  setara dengan Sun Tse seorang pengarang strategi China.  Semua dengan cermat didengarkan oleh sang Wiraraja. 

Secara diam diam Arya tua ini bekorespondensi dengan Sang Mahapraghu Jayakatwang, dia memang sorang diplomat kawakan yang ahli nerangkai kalimat. Dia scara halus sekali mengagumi semua tindak tanduk sang penakluk, yang sangat cermat dan teliti.  Menyinggung sedikit mengenai bakat pribadi dan bukan yang diperoleh dari leluhur sang Jayakatwang yang titisan Bhatara Shiwa.

 

Tentu saja surat  ini  sangat dihargai oleh sang  Penakluk yang lagi kesusahan karena pasukan kuda yang jadi andalannya musnah oleh penyakit, yang akan makan waktu sangat lama untuk memulihkannya.  Dan dalam surat balasannya, sang Jayakatwang mengeluh mengenai pemyakit kuda kudanya yang  sangat mengkhwatirkan beliau. Beliau sang Raja, malah kepingin sekali minm arak bersama dengan sang Wiraraja.

 

Pucuk dicinta ulam tiba, kebetulan di bhumi Tarik ditepian Sungai Brantas,  sang Aria punya Istana atau rumah peristirahatan kecil yang terpelihara baik karena beliau adalah pengunjung tetap Istana Istana di Jawa,  bahwa rumah di tepian sungai Brantas ini sering jadi  tempat menginap kaum bangsawan yang sering bersama sama berburu rusa. Karena ada hutan hutan yang banyak buruannya di  sana. Hal ini diceriterakan pada salah satu surat kepada Mahapranhu Jayakatwang.  Jawab sang Mahabprabhu malah memutuskan   bahwa beliau berkenan untuk melemaskan otot dan tulang tulang dengan berburu rusa bersama Aria Wiraraja di bumi Tarik,  awal musim  hujan tahun depan.  Selama akhir msim hujan tahun ini Raden Wijaya sangat sibuk belajar membuat  dan meneliti perahu Madura, malah Raden tukang kayu ini menemukan bahwa kelebihan perahu gaya  Madura adalah mudah dikemudikan, artinya mudah berubah haluan, dengan  lingkaran putaran yang  kecil saja,  karena lunasnya dibuat melengkung seperti sabut kelapa. Lantas lengkungan itu dia ukur dengan perbandingan panjang perahu dan berat muatannya.  Dengan sungguh sungguh beliau bicarakan dengan para pandega pembuat perahu di pantai  Pamekasan, sambil beliau bekerja menjadi tukang kayu bersama sama mereka. Dalam setengah tahun dia tidak merasa sama sekali bahwa dia itu orang pelarian, pekerjaannya seharian sampai sandyakala hanya menukang kayu membuat perahu, dan membaca gambar rancangan perahu yang digambar diatas kulit kambing, ditentukan berat perahu, besarnya lengkung lunas, sambungan sambungan-nya, gading dan papan, letak tiang pendek,  cerocok  tambahan untuk layar depan, menjahit layar dan memilih bahan untuk layar, membuat tali temali, semua dia pelajari dan dia gambar di kulit kambing, dan model kecil, semuala dari tanah liat, kemdian dari kayu. Semua perubahan lunas maupun badan perahu dia rundingkan dengan para pandega yang sudah jadi seperti saudaranya, karena dengan cepat  dia pandai berbahasa Madura, halus maupun kasar. Dalam  setengah tahun sampai akhir musim hujan dan separo musim panas Raden Wijaya telah diakui oleh para pendega dapat depercaya memimpim membuat perahu Madura. Selama satu tahun Raden Wijaya dengan tekun  belajar membuat perahu  Madura.  Telapak tangannya jadi berkulit keras,  badannya jadi berkulit gelap kecoklatan, baliau memelihara kumis tebal, dan selalu mengenakan destar cara Madura. Raden wijaya menjadi pandega pembangunan perahu tidak tanggung tanggung,.  Beliau meneliti pembuatan kain layar.  Kapas dari sekitar  Tuban, sekitar Trung di Tandes, masih kurang baik untuk dijadikan benang yang kuat karena seratnya kurang panjang.  Dia membadingkan layar dari China yang sangat mahal terbuat dari sutera, bertulang bambo, serat dari pantat  ulat sutera jang tipis ulet dan panjang, makanya dapat ditenun jadi kain yang tipis yang sangat kuat. Pengeran ahli mambuat perahu ini mengerti bahwa perahu bercadik dari atas Angin besar besar bisa muat beras ratusan koyan dan bergeladak lapis tiga, panyangnya hampi tigapuluh  depa bisa berlayar jauh dan berbulan bulan karena didorong oleh layar yang ringan kuat dan awet, disamping karena dibuat dari serat kapas India yang panjang,dan ulet maka luas layar bisa dibuat luas sesuai dengan bobot kapal, kecuali itu benang kecil kenaf yang tumbuh dari rawa rawa reluk Benggala ( Sekarang Bnglasesh), juga psnjang dan sangat kuat bisa ditenun disela sela benagn kapas serat panjang ini. Begitu pula tidak ada keterbatasan dari jung jung dari China, karena layarnya dibuat dari kain sutra yang meskipun luas dan tinggi tapi sangat kuat dan tipis seingga ringan untuk derentangkan bersusun susun ditiang agung, dan sama sekali tidak mengganggu keseimbangan perahu . Kapas dari Atas Angin jang benang lawenya sering diperdagangkan sampai di sini,  panjangnya seratnya mencapai  empat jari, dapat dijadikan  lawe tipis yang sangat ulet maka layar dari Atas Angin sangat kuat dan ringan. Seandainya dia bukan pangeran Pelarian, dia pasti  di sudah mengarang alat tenun bukan mesin, membuat layar yang besar. Dia mengingat ingat sewaktu di Japan,  pelabuhan besar, dia mengerti serat kenaf dari Pamotan (sekarang Lamongan yang masih selatan muara Bengawan solo, selalu  dibawa ke Tanah Barat di tanah Pamalayu serat ulet  dan panjang, sayangnya  kasar dan bila  kering,  jadi  getas atau mudah patah. Orang bilang di Madura serat itu juga ditenun untuk layar tapi dicelup dulu dengan minyak kelapa yang dicapur cuka, agar tidak kekeringan. Sebaiknya malah dengan santan kelapa. Akan tetapi serat kenaf ini pun berat, meskipun sebagai campuran tenun layar perahu dari Benggala makanya perahu besar dari Benggala harus diberi cadik untuk membantu keseimbangan, dan juga tidak bisa terlalu lebar karena bila kehujanan jadi terlalu berat, makanya perahu model ini kerkenal lamban.

Aria Wiraraja menimbang bahwa waktunya telah tiba, untuk memberi tahu Raden Wijaya, supaya bekerja di Bumi Tarik istananya yang ditinggal selama ini, untuk jadi lurahnya para pemburu, karena musim pemburuan rusa akan tiba. Raden Wijaya akan didamaikan dengan Sang Jayakatwang. Pertimbangan beliau, Jayakatwang butuh sekali diakui kejeniusannya, sebagai pribadi, bukan bisikan dari Dewa karangan para Brahmana yang dapat persembahan besar seperti silsilahnya yang dikarang bagi beliau, nyaris ditulis dicandi khusus buat ini.

Lalu dia membeberkan rencananya agar Raden Wijaya  bekerja di Bhumi Tarik, untuk menjadi Pemimpm Perburuan, Kala itu jabatan ini disebut Lurah Pengalasan sambil menanti kedatangan sang Jayakatwang,  dipermulaan musim hujan, disana dia ada kesempatan mengambil hatinya Seribaginda, dengan menceriterakan penemuan rintisan dihutan selama jadi ketua pemburu rusa, mengetahui seluk beluk panah istimewa yang ditembakkan dari kuda berlari. Yang terpenting dia punya  ramuan untuk membuat kuda lebih tahan terhadap penyakit bolor, yaitu menurut sang Aria Raden Wijaya bisa dapatkan dari pertolongan catur sanak. ( ternyata kemudian adalah bubukan daun kelor (Moringia sp ) yang dikeringkan beberapa genggam satu hari dicampurkan dalam comborannya – tumbuhan ini banyak di Pamekasan dan Sumenep  memang dipakai sebagai obat. 

Kemudian nanti ternyata bubuk daun kelor manjur untuk daya tahan kuda kuda.

 

Raden Wijaya setuju, segera di memberitahu istrinya, dan demi Timbul kembalinya wangsa Girindra yang ada di perutnya, dengan tekat yang bulat sang putri menyetujuinya.  Menjelang akhir musin kemarau, angin masih dari timur, Paden Wijaya berlayar dengan beberapa abdi orang Pamekasan ke bhumi Tarik, penjadi lurah para pemburu.  Terus terang dia menyenagi pekerjaan itu.  Dia mengembara dalam hutan napak tilas semua jalan yang ditempuh pasukan berkuda, dari Kadiri sampai di Jurang air terjun Gunng Baung,  dia memang sangat kagum, berapa orang yang dsikerahkan untuk itu, bukan saja jalan pasukan berkuda tapi jalan ditengah  hutan yang tak pernah ketahuan ataupu dan dicurigai oleh orang, kegunaannya sebelum Singhasari  jatuh. Berapa banyak orang dikerahkah diam diam, bagaimana menghilangkan kecurigaan orang, dengan menakut nakuti orang berapa beaya yang dekeluarkan untuk itu.  Malah dia jakin tidak ada Pemimpin sebelumnya yang menandingi Jayakatwang.

Waktunya tiba, rombongan dari Sumenep sudah datang dua minggu lebih dulu, menyiapkan segala keperluan rombngan yang dihormati Mahaprabhu Jayakatwang lewat sungai  Brantas dengan perahu karajaan.

Bangunan, peraduan  dan perabotan, gamelan dan penabuh serta penarinya,  makanan dan minuman,  segala macam binatang yang akan dilepas,  bahkan sampai burung burung yang suaranya merdu, kuda kuda pilihan dan perangkatnya.  

 

Rombongan perahu kerajaan dari Kadiri  merapat di geladak yang sudah dibuat khusus untuk itu, segera Rombonga turun, karena Raja jayakatwang masih muda, lebih tua sedikit dari Raden Wijaya sendiri, beliau turun terlebih dahulu desrtai dengan gamelan kebo giro yang meriah, langsung melambaikan tangannya kearah penjemput sang Aria Wiraraja, sudah dengan gaya pemburu, bukan gaya Raja Penakluk. Sang Aria tua tanggap dengan situasi yang berubah secepat ini, dengan cepat acara diubah, diambilah dengan tergopoh gopoh gelas dan minuman ramuan khusus sang Aria Wiiraraja. Sang aria sendiri menuang minuman sambil berdiri, menuang untuk dirinya sendiri, dan mereka bersulang cara pemburu dengan gembira. Para penyambut tanggap,  semua tamu rombongan disuguhi minuman laang tua dan disambut dengan sorak sorai gembira layaknya para pemburu yang semua lelaki perkasa. Aria Tua sangat puas,  satu permulaan yang sangat baik. Kebetulan ayam jago bekisar yang dibawa dari Madura saling berkokok,besahut sahutan nenambahi meriahnya suasana perburuan.

Tanpa minta izin siapapun dan tanpa diperintah oleh pemilik Pesanggerahan, Raden Wiyaya memberi aba aba agar semua kuda kuda diajukan dengan tengara terompet kulit kerang.  Segera  Kuda dilepas, dengan talikendali disimpulkan  diatas gumba. Tanpa pengawal berbaris satu satu. Kuda paling depan berwarna hitam mulus, muda dan sangat gagah, mirip dengan Gagak Rimang  kuda peliharaan kesayangan Jayakatwang yang sudah mati kena bolor (sampai sekarang merupakan penyakit kuda yang menular sekali dan sangat mematikan menyerang dengan cepat saluran pernafasan kuda, bahkan dijaman belum ada kereta api Pemerintahan Penjajahan Belanda memerintahkan menembak mati ditempat kuda kuda yang menunjukkna gejala sakit Malleus /sakit Bolor ini)

Mulai  keluar dari samping pesanggrahan sambil berlari kecil semua kuda satu persatu berbaris,  lewat tamu tamu yang baru selesai minum la’ang tua,  dengan gapah  Jayakatwang meloncat keatas punggung si Gagak rimang  kedua, meskipun tiruan tapi lebih gagah, dan lebih muda, anehnya segala perlengkapan kuda itu memang asli dari istal istana Kadiri milik  Gagak rimang yang sudah mati. Mahaprabu jayakatwang tahu itu dari baretan dan bekas bercak darah yang mongering,  kendali dan lis yang sudah kena tangan lama.

 

 Sekilas  dia melihat gamel lamanya sudah ada di Pesanggrahan karena dia dan raden Wijaya  telah mempersiapkan lama kejutan itu. 

Dan sampai di pesanggrahan Tarik sudah  bermingu minggu yang lalu atas prakarsa Raden Wijaya yang sekarang di bhumi Tarik namanya Lurah Jambul, mereka sudah disiapkan  adegan ini beberapa waktu sebelum perahu kerajaan berangkat dari Kadiri. Lapangan tegar sudah siap dilapisi dengan pasir sungai Brantas, tebal dan tidak terlalu lnnak.

Puluhan penunggang kuda dari Kadiri berakrobat dari atas kuda kuda yang berlari sepuasnya, mengobati rasa bosan selama seharian naik perahu.

Sang Jayakatwang dengan puas mengambil tempat duduk di pasanggrahan, disertai oleh Aria Wiraraja yang sekarang bergaya pemburu, menghilangkan segala etiket kerajaan. Hanya Lurah jambul melihat dari kejauhan.

Sesudah makan malam gaya pemburu  yang gaduh selesai, Arya Wiraraja mngajak tamunya bila berkenan, duduk di gazebo terbuka agak terpencil diluar dihalaman pesangrahan.  Disambut dengan hangat ajakan itu.

Mereka berdua hanya  diiringi satu pengiring yang selalu agak menjauh, tapi mendengar bila dipanggil.  Bumbung dan gelas sudah tersedia disana, 

Sang Jayakawang dengan gembira menceritekan suasana selama perjalanan  dengan perahu dari Kadiri,  semua pengikut sudah bosan setengah mati naik perahu jang lambat ini. Gamelan dan waranggono tidak didengar lagi,  ada yang berenang mencebur sungai,  mengadakan lomba renang, dan minum tuak.

  

Lantas memdadak disambung pertanyaan dari Prabhu Jayakatwang, omong omong siapa lurah Tuaburu ( Lurah pangalasan) yang sudah menyiapkan sambutan semeriah ini, dan kuda hitam yang serupa gagak Rimang kuda kesayangannya itu, terus gamel kuda kesayangannya kok ya ada dipesanggrahan.

Diajawab oleh Aria Wiraraja, Paduka Prabhu akan terkejut bila ketemu dengan lurah Pangalasan di dari Pasanggrahan Tarik ini.

 Sang Jayakatwang berkenan  untuk tahu siapa dia, untuk seorang Jayakatwang tidak ada orang terlalu rendah tidak ada orang terlalu tinggi bila mempunyai pengetahuan mengenai kuda. Dia mengaku ketika menunggang kuda itu, dia merasa utuh sebagai Jayakatwang kembali, segera pasukan  berkudanya pulih jumlahnya untuk dibawanya ke ujung dunia, kali ini dia jujur dan sangat bersemangat.

 

Segera  Aria Wiraraja  menepukkan tangannya, dan pelayan yang menunggu dari kejauhan mendekat, dan mendapat perintah untuk memanggil ki Jambul.

Segera Raden Wijaya muncul  dari kejauhan sudah menguncupkan sembah, mendekat sambil duduk dibawah bersila,  menyembah sambil bertanya ada dawuh apa.  Sang Mahaprabu sedang sangat bersemangat,   meberikan rasa terima kasih atas ditemukannya kuda hitam yang telah dicoba, baik kekuatan nafasnya maupn kekuatan otot dan keberaniannya,  semua baik, hanya masih agak kasar,  suka kaget mendapatkan perintah mendadak.

 

 

  Ki Jambul mohon maaf atas kekurangannya, dia mengaku bahwa dia mendidiknya baru satu bulan, kemudian minta bantuan gamel dari Kadiri.  Raden berterus terang mengenai kakagumannya kepada sang jayakatwang mengerti dan menguasai kuda. Prabhu Jayakatwang  menjawab bahwa para Dewa membuat dirinya dari bahan yang sama dngan kuda kuda barangkali, sambil tertawa terkekeh kekeh. Sebaliknya Raden Wijaya mengaku sejujurnya bahwa sebagai lurah tuaburu dia menjelajahi hutan hutan dan menemukan jalan rintisan ditengah hutan, bukan hanya satu, tapi beberapa dari pinggiran sungai brantas hingga ke air terjun di gunung Baung,  sungguh bukan pekerjaan mudah, perlu ribuan orang menurut perkiraannya, ki Jambul Juga brbicara tentu bukan sembarang orang yang mengunakan anak panah berat dengan ujung runcing dari besi tuang  berbentuk kuncup bunga kantil dan digosok dengan minyak jarak dengan mudah menembus prisai kulit kerbau yang paling tebal.  Mahaprabu Jayakatwang sampai kaget dan sangat senang, sambil berdiri dia mengusap pundak ki Jambul, bahwa berlaksa picis emas dan perak dia tebar untuk kerahasiaan rintisan rintisan ditengah hutan itu,  untuk tidak membangunkan kecurigaan orang Singhasari,  pasukan dimuat perahu dari Kadiri, memang pendadakan adalah unsur yang sangat penting memenangkan peertempuran.     

Dengan mengerahkan kekuatan catur sanak, Raden Wijaya, mengaku setulusnya bahwa tidak ada orang maupun Raja yang telah lalu mengimbangi siasat dilandasi ketelitian dan ketekunan sang Jayakatwang, sayang kini kuda kuda lagi kena wabah penyakit yang sangat menular,  yang dia mempunyai ramuan untuk memperkuat daya tahan tubuh kuda kuda berlipat kali.

Sang Prabu mendengar sampai sampai menarik kursinya mendekat ki Jambul,  memegang kedua lengannya sambil  dicara keras seperti orang kampung dialah orang yang dia cari selama ini,  sampai pendeta dari Atas Angin, tabib dari China, semua gagal, ayolah dicoba ramuanmu hai lurah para pemburu, saya merasa dilahirkan kembali, apapun yang kau minta aku turuti. 

Waktunya sang Aria tua berperan, dia berdiri dengan gopoh, menahan sang Prabhu Nata. Sambil berkata lirih dengan tenaga dalam, memang dialah orang yang paduka cari selama bertahun tahun, dialah Raden Wijaya, murid sang Bhismasadana, orang satu satunya yang mengerti kejemiusan paduka Baginda !

Saking terkejutnya Baginda terduduk, sambil memelototkan mata, apa katamu, dia Raden WIjaya,  saya sungguh terkejut,  apakah kau menyerahkan dirimu wahai bayanganku  yang hilang?  Baginda setengah mrangkul ki Jambul, berucap tanpa kata, karena diapun orang yang berilmu tinggi.

Raden Wijaya mengerahkan tenaga catur sanak, sambil bersabda : Iya, akulah yang menghormatimu sebagai orang yang menemukan dan melakukan yang tidak pernah dilakukan sebelummu dan sesudahmu. Ini dikemukakan oleh Raden Wijaya sebagai kata yang tidak terucap tapi dimengerti  dengan sebenarnya oleh Mahaprabu Jayakatwang.  

Keheningan buyar dengan  isyarat sang Aria Tua,  semua pulih pada tempatnya. 

Sang Prabu dengan ringan menerima Raden Wijaya dan adik adiknya, memberikan ampunan dan restu . raden Wijaya menyembah kaki sang Prabu, baru berhenti sesudah diangkat oleh Baginda.

Saat itu juga dia dhadiahi bhumi Tarik, boleh tinggal dasini selama dia suka dan keluarganya,  Dia diangkat olehh Mahaprabhu Jayakatwang sebagai Tumengung Pengalasan, dan pemelihara kuda kuda Kadiri, langsung bertanggung jawab kepada Sribaginda.

Malam itu juga semua orang dipangggil dihalaman gazebo, mendapat dawuh dari Sang Mahaprabhu Jayakatwang bahwa dia sudah menemukan orang yang selama ini dia cari dengan mengaduk seluruh Janggala Trung Tuban, Raden Wijaya, dan dia menghadiahi sang Raden dengan Bhumi Tarik sebagai tameng Kadiri dari sungai Brantas, Mengepalai pemeliharaan kuda kuda Pasukan Kadiri,  dalam keadaan darurat melawan penyakit bolor, agar semua perintahnya dilaksanakan.

Para hadirin sangat kaget dan heran,  kaget ternyata si Pelarian malah dapat ganjaran, heran ternyata Raden Wijaya, menantu Raja Singhasari, perkerja keras dengan perawakan yang tidak menampakkan otot tapi gempal, berwarna gelap dan berdandan cara Pandega perahu Madura.  Mereka malah terdiam, hanya bersorak gembira sampai melonjak lonjak  atas penyadaran sang Aria Tua. Segera minuman ber guci guci dituangkan untuk bersulang cara pemburu. 

Aria Wiraraja memegang pundak sang Raden, menandakan sangat lega dan bersjukur,  pelarian yang begitu lama menghadapi maut, berakhir dengan mudah dan menyenangkan.

Gamelan terus ditabuh dengan irama gembira, para waranggono menyanyi dan menari bersama sama hadirin, gempar dan ramai.

Raja masih berkenan tetap duduk di gazebo, bercerita mengenai bagaimana dia membujuk para  pendekar  harimau gadungan dari Lodaya, raja balian, pangleyakan dari Bali, untuk menjaga rintisan ditengah hutan sepaya dijauhi penduduk  yang tinggal di tepi hutan, bagaimana dia sendiri merencanakan  lintasan  yang  melewati sumber sumber air.

Sebaliknya raden Wijaya mengatakan secara terus terang, bahwa rakyat kecil mengarang cerita mengenai ronmbongan Pelarian itu bukan atas prakarsanya seperti bakul  pecel si Nem yang konon dikabarkan adalah putri raja yang menyamar, Wiyaya terus terang istrinya malah tidak secantik  si Nem sambil tertawa ngakak. Entah kenapa rakyat jadi tergelitik memanfaatkan kesibukan Penjabat kerajaan Kadiri mencari pelarian itu, menggelitik mereka,  pertunjukan  tobong sandiwara jadi laris bukan atas upayanya, Mahaprtabhu Jayakatwang mendengarkan ucapan Raden Wijaya yang sepenggal ini dengan sangat lega, karena siasat murah yang satu ini tetap jadi rahasia selamanya,  bahkan si Wijaya ini tunas unggulan dari  ilmu siasat, samasekali tidak curiga terhadap tahtanya diatas alang  alang kumitir, yang memang hanya sulapan murah.   

Sampai larut malam mereka saling bercerita. Sang Prabhu Jayakatwang memang bersemangat sekali  menjadi muda kembali, seperti telah menemukan jati dirinya. *)

 

 

PEMBALASAN  NI RATRI 

 

Sesudah diangkat jadi Tumenggung Bhumi Tarik dan pemulihan  pasukan berkuda, Raden Wijaya segera pergi ke Kling sekali lagi, dengan beberapa pelatih kuda kenamaan dari Kadiri. Mereka berangkat berkuda, dengan bekal  bubukan daun kelor kering yang cukup dimuat dalan karung kain dibalakang kuda masing masing. Raden Wijaya yakin dengan bimbingan catur sanak dia bisa mnyelesaika tugasnya.

                       Keluarganya sudah dipindah dari Pamekasan, Istri dan adik adiknya ini  sudah terbiasa hidup sebagai orang biasa.  Adik ipar lelaki Raden Wijaya sungguh menikmati kebebasan hidup sebagai orang biasa,  berkuda keluar nasuk kampung, untuk melatih kuda kuda yang baru, didatangkan dari Luwu. Mereka berdua biasa menuggang kuda tanpa sadel. cara orang Desa. Entah terkejut karen apa kuda setengah liar ini mendadak berlari masuk pelabuhan Tarik yang lagi ramai, kuda mengamuk dikalangan orang banyak dan berlari menuju keramaian, untung saja ada seorang asing, sepertinya china, menahan kuda ngamuk itu sehingga penunggang tidak terjatuh. Ternyata lelaki china ini sangat mahir bahasa jawa halus, dan menceriterakan bahwa kelurganya akan  ke Kadiri, dari Wilayah Rajegwesi. Untuk nenyatakan terima kasih pemuda ini mampir di penginapan tempat keluarga ini menginap. Sang Babah menceritakan bahwa keluarganya itu sudah lama di pulau Jawa, berdagang mengumpulan batu kawi untuk dikirim ke China. Ipar Pangeran yang diampuni ini mengajak  si Babah  kalau sempat berkunjung ke Pesanggrahan melihat kuda kuda yang baru datang dari Luwu.

Sungguh  kabetulan Babah ini kenal dengan kuda kuda, tabiat dan kesehatannya,  khasiat susu kuda dan lain lainya.  Sang Pengembara dikenalkan kepada Putri istri Raden Wijaya dan saudara  saudarinya,  mereka beercerita bahwa mereka baru di bhumi Tarik ini,  meskipun sekarang Tumenggung tapi miskin. Semua yang ada sekarang adalah pemberian Sang aria Wiraraja dan Seribaginda Mahaprabhu Kadiri. Suaminya ditugaskan nemulihkan jumlah kuda kuda perang beliau, yang susut banyak dari wabah penyakit bolor kuda, suaminya, masih pergi ke Kling, melacak kuda keturunan kuda Atas Angin dengan kuda kuda setempat.

Sang Babah tamu menganjurkan lima puluh kuda kuda dari Luwu ini harus dipisahkan istalnya agak jauh dari istal kuda setempat,  kandang yang meski tidak angin tapi udaranya bebas. Dia mengatakan bahwa bubuk daun kelor memang baik buat kesehatan kuda kuda dan daya tahannya terhadap penyakit. Di China pun, bubuk daun kelor kering ini dipakai sebagai obat untuk manusia juga lebih umum getahnya yang dikeringkan. Orang orang yang memelihara kuda dari Luwu ini harus tidak memegang kuda setempat  yang lain,  jadi sama sekali dipisahkan.   Setiap kuda di totok oleh si Babah ini, dibagian urat penenang, dengan wanti wanti jangan berbuat gaduh dan mengejutkan kuda kuda ini. Dia menunjuk rumah panggung bekas tempat pasukan pengawal supaya dirubah, untuk menempatkan kuda kuda ini, dilapisi dengan jerami. Semua dituruti oleh kepala rumah tangga. Si Babah bilang untuk selama tiga hari dalam makanan kuda kuda itu supaya ditambah gula aren setengah kati sehari. Sang Putri Nyonya rumah sangat berterima kasih atas saran itu, memang suaminya lagi pergi, untuk beberapa lama. Si Babah yang sebenarnya bermarga Yap, selang tiga hari  ke Peanggrahan yang berhalaman sangat luas untuk menegar  kuda, disertai dengan istri dan seorang pemuda tanggung anaknya,  diiringi dengan dua pembawa guci. Setelah menghadap Sang Putri, Orang dari marga Yap ini mengatakan bahwa orang tuanya di China adalah kelurga pedagang kuda, dia membawa larutan untuk diteteskan ke mata kuda kuda yang baru datang dari Luwu, supaya tidak gampang ketularan sakit bolor,  selama tiga hari yang lalu obat tetes mata ini telah ia siapkan. Untuk mencoba bahwa cairan tetes mata ini tidak beracun, dia minta mangkok kecil, dia ambil cairan itu, semangkuk kecil dan dia minum dihadapan sang putri. Dasar putri raja, meskipun sudah jadi orang pelarian berbulan bulan, tapi mencampuri perkerjaan suaminya, urusan kerajaan, yang dia berpikir berguna tidaklah salah, tanpa banyak cing cong dia izinkan upaya ini, dan sekaligus memanggil kepala urusan rumah tangga untuk mengantar tamu Babah ini ke istal yang baru, rumah panggung prajurit yang dirubah jadi istal. Semua kuda nampak jauh lebih baik dari waktu tiba, kulitnya berbulu licin, sudah aktip bergerak, dan makan banyak. 

Semua kuda mata kiri kanan sudah ditetes, lebih tepat diguyur dengan air dari guci.   Sambil ngomong omong dengan bahasa Jawa halus walaupun masih kurang jelas dan tidak bisa mengucapkan r dengan jelas,  akhirnya mereka diundang untuk menginap di pesanggrahan sambil menunggu perahu yang akan membawa mereka ke Kadiri.  Keluraga Yap ini sangat bersimpati pada tuan putri, dan  adik adiknya yang telah kehilangan seluruh keluarganya. Mereka  yakin dewa dewa tidak akan mebiarkan kekajaman ini, mereka juga kenal betul kelakuan pasukan  berkuda waktu menyerbu.  Malah akhirnya kelurga Yap bersedia untuk tinggal di salah satu Pavilion Pesanggrahan, sambil menunggu  Raden Wijaya, dan ikut menjaga kesehatan kuda kuda yang baru datang dari Luwu, 

 Raden Wijaya  datang dengan sepuluh kuda dari  Kling, kebanyakan betina, dari sekitar Desa Ngetos, ada yang sampai ke wilayah Brebeg, dia tebus kuda atas nama Raja, dengan harga yang sangat memadai, meskipun kadang dengan alot, untungnya ada penyakit bolor yang manakutkan si empunya kuda. Orang marga Yap menerangkan bahwa dia menuju ke Kadiri,  untuk tinggal disana, mengumpulkan batu kawi, kemudian dikapalkan ke China. Selebihnya Raden Wijaya cuma tertarik pada pengobatan kuda dengan membuat cairan yang terbuat dari air kelapa yang dicampur dengan bolor kuda, diperam sampai agak asam. Sudah itu ditambah lagi dengan air kelapa satu banding satu. Ini memberi daya tahan tehadap bolor dalam waktu dua bulan penetesan mata ini harus diulang. Raden Wijaya ingat di Madura orang mencegah penularan campak dengan cucian baju orang yang sakit cacar, dicampur dengan air kelapa yang diasamkan. Akhirnya keluarga Yap menyetujui akan tinggal di Pasanggrahan selama raden Wijaya membutuhkannya, asal boleh pulang pergi ke Kadiri dan sekitarnya untuk mencari tahu pengumpulan batu kawi ini. Disetujui oleh sang Raden yang kepepet, dan dijanjikan akan dibantu sekuatnya

Tidak disangka bahwa nyonya Yap sudah jadi sahabat baik Tuan putri dan adik adiknya. Setahun kemudian, waktu keluarga Yap menginap di Pasanggrahan untuk mengantar seperahu batu kawi sambil menunggu jung china tiba, terjadilah huru haru yang besar, Jung Jung perang Kublai Khan sampai di Pelabuhan Terung.  Ujung Galuh, menuju ke Singhasari untuk menghukum  Paduka Kartanegara,  Jumlah jung perang tidak tanggung tanggung dua puluh jung besar besar lengkap dengan seribu serdadu bertameng kuningan dan bermeriam besar besar dari kuningan,

 Pesanggrahan Tarik sama sekali tidak siap untuk kedatangan tamu yang belum tentu tujuannya ini. Untung salah satu jung yang terbesar melempar sauh dekat dengan Pesanggrahan,  Menurunkan sekoci dengan sepuluh orang, rupanya Pimpinan Pasukan berpangkat Laksamana dan perwira dekatnya. langsung disambut dengan la’ang tua dari Pamekasan di geladak yang masih baik dibangun waktu sang Jayakatwang  berkunjung ke Pesanggrahan itu. Saat itu malah keluarga Yap ada disana ikut menemui tamu Laksaman Mongol, dengan rombongan sang putri.

Mau atau tidak Nyonya Yap berlaku sabagi jurubahasa untuk kedua belah fihak. Mereka diperlakukan sebagai tamu yang terhormat, tidak ada lain pilihan. Saudagar Yap dengan Raden Wijaya masih pergi beberapa hari ke Kling. Sang putri bunting besar.  Pasukan Kublai Khan ini sebenanya dalam misi penaklukan di Kawasan Asia Tenggara, seorang Laksaman juga pangeran Mancu. Sang Pangeran Mancu terkesan atas penyambutan yang tidak dia kira, wong tugasnya menjelajah dan menaklukkan bangsa yang masih liar. Diterangkan oleh si Nyonya bahwa tuan Rumah dan suaminya lagi pergi selama empat hari, bahwa tuan Rumah bekerja untuk Raja mengepalai peternakan kuda, karena  dijelaskan bahwa kuda kuda pada mati diseluruh Negara kena penyakit pernafasan, Sang pangeran terus terang bahwa dia dan dua puluh jung bersenjata bertugas dari kaisar Kublai Khan untuk mngajar sopan  santun kepada Raja Singhasari, dan menuntut penaklukan siapapun yang ada di Pulau ini. Sang Nyonya memutuskan dalam hati dialah sekarang pemegang peranan. Nyonya Yap mengatakan bahwa sang pengeran segera harus menuju ke Kadiri di hulu Sungai ini sementara air nasih besar, tidak bisa diundur lama lama kerena air sungai surut,  masuk musim kemarau.    Kadiri telah menaklukkan tiga Kerjaan di Jawa dengan rampasan emas tiga gerobak sapi, karena di Wengker ada tambang mas.  Mendadak Putri sang tuan rumah berlutut dengan menyembah, lalu memberikan kalung emas tanda Garuda Wisnu lambang Kerajaan Singhasari, beserta duaratus gentong nafta dari Arosbaya, supaya diambil besok di geladak.  ( Nafta rembesan dari minyak bumi yang dipergunakan untuk pembakar panah api dan priuk api). Rupanya sang Pangeran Mancu sudah tahu garis besar apa yang terjadi di Jawa, dan siapa yang tinggal di Pesanggrahan ini.  Dia menerima lambang kerajaan dengan dua tangan, dan berucap akan mendapat lebih banyak dari ini di Kadiri. Tanpa banyak cing cong, Pangeran ini itu tesenyum dan mengangkat sang Putri dari berlututnya. 

Entah karena rokh Ni Ratri masih bergentayangan mencari balas, entah misi terpenting dari pelayaran jung jung perang ini adalah misi penaklukan, Sang Pangeran Mnncu lebih suka menyerbu kerajaan Kadiri yang dengan mudah dia capai dengan melayarkan separo jungnya dengan tiga perempat tentaranya. Nyonya Yap mengajukan diri untuk memilih juru batu (mengukur dalamnya alur pelayaran, sementara perahu berjalan) yang dia kenal juru batu yang handal karena dia sering berlayar hilir mudik sungai ini, mengangkut batu kawi.

Pangeran Nancu menepuk paha, senang sekali bertemu dengan wanita wanita pintar di tempat liar ini. Setelah memberikan sepotong batu giok yang bertulisan emas cakar ayam kepada tuan putri dan menjura sambil mohon pamit desertai dengan janji besuk siang akan menjemput juru batu yang dibutuhkan, dan gentong gentong nafta pasti dia bawa.

Semua rombongan ikut menjura dengan merangkap kepalan tangan di dada dibalas dengan sembah tuan  putri, mereka meninggalkan Pesangrahan dengan gembira.

Semua tidak mengira bahwa tuan putri masih menyisakan  lima ratus  gentong lagi digudang. Segera disuruh menggotong ke perahu untuk diangkut dibagikan ke sepanajng kali Brantas dari Papar sampai ke Wonoasri, wanti wanti setiap desa mengerti cara sederhana membuat panah gajah busur dan anak panahnya dari pucuk bambu, Pulau jawa yang mendapat kesulitan besar diserbu dari  sungai oleh jung jung perang Manchu.

 

 Dua hari penuh jung jung ini baru didayung ke Kadiri, mendekati kota Kadiri, semua tentara Manchu dengan perisai kuningan dan tombak berkait turun di pelabuhan, seluruh penduduk kota gempar. Para prajurit Mongol berbaris rapi berlari menuju ke kedhaton. Di sekitar kedhaton para prajurit Kadiri sudah berbaris, pasukan berkuda andalan Mahaprabhu Jayakatwang  ada di sayap kanan kiri pasukan darat agak jauh,  siap dengan panah dan busurnya yang istimewa.  Akan tetapi Semua jung membentuk formasi jajar, mengarahkan tembakan meriam meriam besar ke Kedhaton, tidak suatupun yang bisa menahan peluru peluru meriam besar ini, segera suara bergemuruh diseluruh kota, kedhaton porak peranda menghadapi ratusan tembakan meriam meriam besar yang sebenarnya disediakan buat mendobrak kota berbenteng.  Sedang kedhaton Kadiri tidak bertembok tebal seperti benteng.

Peluru meriam yang dalamnya berongga diisi mesiu dengan sumbu, meledak diudara, memporak perandakan para kuda dan prajurit darat. Hanya kekerasan dan disiplin yan membuat prajurit berkuda ini untuk kembali ke baris siaga dan mencegah mereka ini lari pontang panting, sungguh menghadapi musuh yang tak seimbang.  Belum pernah sebelumnya meriam meriam berat diadu dengan barisan prajurit, selain dengan benteng tembok tebal. Prajurit darat Kadiri bersenjatakan tameng kulit kerbau dan tombak panjang, kocar kacir mendapat tembakan meriam dari arah belakang, sedangkan perintah maju diturut hanya supaya tidak hancur ditimpa peluru yang meledak diatas disamping dan dibalakang, pendeknya mereka dilumatkan dengan peluru jenis ini, pasuka berkuda dari sayap jauh, meskipun tidak kena tembakan peluru meriam yang bersumbu ledak, toh jumlahnya hanya sedikit hanya lebih sedikit dari seratus pasukan berkuda. Terlebih waktu berlari dengan semangat besar menghadapi formasi pasukan Mungol yang berperisai kuningan, memantulkan sinar api kebakaran Kedhaton, laksana api itu sendiri begerak maju dengan teratur. Serbuan pesukan berkuda yang tidak seberapa dari samping sambil berlari, hanya sedikit berkibat buruk pada formasi tameng kuningan ini karena panah pasukan berkuda tidak bisa menembusnya, tameng ini cukup lebar dan tebal, lagipula tombak yang berkaitan itu telah meminta korban banyak dari pasukan berkuda yang sedikit ini. Sungguh menyedihkan, pasukan berkuda yang perkasa ini hilang dayanya. Mahaprabu Jayakatwang akirnya kehabisan anak panah dan daya gerak kudanya, jatuh dari kudanya karena dijerat dengan laso yang jatuh menjeratnya seperti hujan, beliau tertawan, selain itu semua  pasukan berkudanya lari serabutan menyelamatkan diri, hanya untuk dikait dengan tombak tentara darat mongol dan ditombak ramai ramai. Hanya sedikit yang melarikan diri  selamat. Kedhaton terbakar hebat, pasukan mongol menyerbu kedalam, mereka menuju ke gudang kerajaan dan mendapatkan lebih dari empat gerobak sapi emas dan perak. Kain dan permadani lebih dari enam gerobak yang wutuh  tidak ikut terbakar. Kutuk Ni Ratri terlaksana dengan sepenuhnya. 

Waktu tembakan meriam dihentikan, dan tentara betameng kuningan berbaris kembali ke kapal dengan sepuluh gerobak rampasan perang,  Kedhaton masih terbakar hebat, 

Mendengar ada jung perang minggir mendarat di Pesanggrahan Raden Wijaya lengsung pulang, hanya untuk diantarka ke dermaga depan sambil dibawakan bekal dan diberi minum susu kuda oleh tuan putri, dia dan kudanya beserta dua pengikutnya naik perahu dayung ke seberang sungai, desertia  pesan bahwa Mahaprabhu sangat membutuhkan dia, dan wanti wanti jangan lupa, menyiapkan panah gajah disepanjang pengggiran kali Brantas.  Tiddak tahunya putri Gayatri telah mengutus kurir berkuda ke Perdikan Sendang, di tepian sungai Porong, memberi kabar bahwa jung perang Mongol ada sepuluh jung lengkap dengan merian dan prajurit mudik ke Kadiri, Ki Bismasadana menngerti makna kisikan ini, Maka kedua muirdnya dua bekas pengiring Raden Wijaya dan banyak kaum pedagang dari Japan membawa ratusan perahu segera mengerti arti kabar ini. Mereka segera memperiapkan panah panah gajah mendayung ratusan perhu mudik dan mampir ke setiap Desa penting sepanjang sungai, meninggalkan nafta dan minyak yang sudah dikumpulkan di Japan untuk  dibagi setiap Desa dari Wonoasri sampai ke Minggiran, memberi semangat dan aba aba siaga dengan panah gajah bila jung jung perang ini kembali menghilir sungai. 

Raden Wijaya dengan beberapa pengikutnya datang di seberang utara sungai Brantas, menemukan sisa sisa pasukan berkuda yang tanpa kuda, sebagian pasukan darat, hanya berteriak teriak dari pinggir sungai dan dibalas dengan tembakan meriam sangat gemuruh, yang makan barongan bambo dipinggir bengawan Brantas, sedikit korban dari penonton yang langsung lari mundur. Raden Wijaya baru ingat pesan wanti wanti sang putri mengenai panah gajah. dia dan sedikit pengikutnya dengan upaya hampir diluar kemampuan manusia berkuda mondar mandir mengerahkan tenaga semua orang lelaki untuk memotong bambu ori dipinggir kali membuat busur panah gajah, yang ditembakkan sambil terlentang diatas papan penembak, busur ditarik dengan kedua tangan, anak panah dari pucuk bambo yang diluruska dengan dipanaskan diatas unggun api, lebih sedepa dengan ujung ujungnya dilibat kain kain apa saja. Bagi rakyat lebih baik telanjang dari dijajah bangsa Mongol. Kain kain ini dilumuri segala minyak terutama minyak jarak yang tertimbun di utara sungai tempat perajin panah istimewa dibuat, Kampung Nyutran.

Jadilah satu busur yang memadai, satu papan untuk pemanah bertelentang, dua kaki keatas menjejak busur, ujung panah dibakar, panah gajah ditembakkan keatas melengkung jatuh mrnghnjam kearah perahu perahu jung, yang dari samping tidak bisa dibakar dengan panah api karena dibentengi dengan perisai perisai kuningan dari prajurit darat yang dirangkai dengan rajutan tali tali, mirip sisik ikan,  baju zirah raksasa dikiri kanan lambungnya.  Yang ini kebal terhadap panah api dari samping. Tapi lain dari panah gajah yang ditembakkan keatas, membuat lengkung lintasan anak panah raksasa yang melengkung tajam menukik kebawah, tinggal bagaimana membidiknya saja.

 Setengah malam lusinan busur busur panah gajah sudah terpasang lengkap dengan papan penembaknya,  anak panah ratusan dibebat dengan apa yang bisa menyerap minyak, dipasang ekor pengarah dan keseimbangan dari belahan daum kelapa  yang dipotong dan diikatkan di ekor anak panah dengan  rapi laksana ekor panah biasa dari bulu angsa.  anak panah bambu jenis kecil yang biasa dibuat gagang sapu, atau ujung bambo yang biasanya tidak lurus. menjelang tengah malam siap ditembakkan dari  Minggiran,Papar Wonoasri dan Kertasana,  Upaya tanpa lelah dilakukan sepanjang sungai oleh  rakyat, menyediakan panah gajah, sepajang kali Brantas. 

Setengah dari lingsir malam yang bersejarah, dari Papar sampai ke Ploso, berjajar sepanjang pinggir kali Brantas berlapis lapis panah gajah dibuat  disepanjang tepi sungai oleh rakyat. Para penembak bergantian mencoba sudut tembak yang paling bagus ketengah sungai, artinya anak panah turun hampir lurus kebawan ketengah sungai.

Sulit untuk sang Laksamana, melayari sungai yang tidak lebar dan dikepung bahaya ini,  atau menurunkan prajuritnya  yang  sidikit itu, guna memadamkan semangat perlawanan dengan membantai mereka,  sebagai konsekuensinya harus mepersenjatai mereka dengan tameng kuningan yang telah terpakai untuk melindungi perahu perangnya dari panah api biasa dari samping supaya tidak menancap di lambung perahu.  Toh anak panah gajah ini jatuh dari atas, sehingga menolak anak panah berapi ini sangat sulit, andaikata tidak menancap pada tameng toh jatuh ke geladak atau perut jung yang penuh barang dan mesiu. 

Akhirnya sang laksamana dengan marah menembak dengan meriam tanpa henti kemana saja ke pinggiran sungai yang sekira ada orang yang bergerak, sambil menghilir sungai tanpa juru batu, malam lagi. Makin jauh dari  Kadiri makin tepat dan gencar panah gajah berapi ini makin merupakan hujan api yang sulit sekali ditangkis, dari dua sisi kali  yang sempit dibandingkan dengan sungai Mekong, sungai Huang Ho atau sungai Musi, tanpa mendekat ke pinggir yang  penuh penembak panah gajah yang akan membakar perahu.  Menjelang pagi sudah lima diantara jung penyerbu yang terbakar  hebat, atau meledak, kali menjadi ramai orang orang memburu anggauta pasukan Mongol yang berenang menepi, dengan bambu runcing, bahkan menembaki mereka yang naik potongan papan menghilir kali, karena takut minggir. Begitulah hasil panah gajah dadakan dengan akal rakyat yang disulut oleh Raden Wijaya tanpa lelah.  Jayakatwang sebagai tawanan di jung ingat kata kata yang didengarkan tanpa suara, waktu bermain catur dengan Raden Wijaya, Satya haprabhu, gineng pratidina, tansutresna.  Dia jadi memastikan ini semua  digerakkan oleh Raden Wijaya.  Jung yang sampai di Wirasabha hanya dua, yang dinaiki oleh laksamana, telah kandas di dekat pengkolan sungai di Kertasana.  Menjelang pagi,  Raden Wijaya sampai di pinggiran sungai brantas di Kertasana. Menunggu mau  diapakan oleh pendeganya   perahu  perang yang kandas ini  Satu panah gajah ditembakkan oleh rakyat dan anehnya tepat  jatuh ditengah tengah geladak jung yang kandas  itu, membakar barang disekitarnya dan dapat dipadamkan dengan susah payah,  karena tidak seorangpun yang berani menimba air dari sungai.   Para serdadunya meloncat  dan turun ke papan papan untuk  berenang menghilir sungai hanya untuk  jadi sasaran setiap busur panah gajah buatan rakyat dengan anak panahnya bambu  dibebat segala rupa pakaian dan dicelup  minjak nafta !.  Raden Wjaya menandai kok banyak panah gajah yang njala apinya seperti nyala nafta, mulai dari ke hilir sungai Brantas Wonoasri, dan tembakan panah makin lebih tepat ?

Putra putri pelarian dan raden Wijaya tidak menyadari bahwa, Pesaudaraan Kaum Pedagang dan rakyat Japan,  ratusan mereka berlayar mudik kali Porong, menuju Kadiri !,

Segera sesudah Ki Bismasadhana, mendapat kunjungan romnbongan Aria Wiraraja mampir kesana, Ki Bhismasadhana mengerahkan  ratusan sukarelawan  ahli panah gajah, Berbulan bulan sukarelawan ini diam diam mengajari membuat dan membidiknya ke semua desa desa penggir kali Brantas dari Kertosono. mudik sampai Kediri,  dan penduduk tepian Brantas sudah disiapkan  oleh  sukarleawan dari Porog dan Japan, sampai berbulan bulan, termasuk Carat Seto dan Gajah Segara , tanpa  diketahui,  sadara seperguruan Tumenggung Bebetenging Praja Wijaya dan  keluarganya

Menjelang matahari terbit Jayakatwang di exekusi penggal kepala tanpa suara dan pesan, sesudah itu laksamana Pengeran Mongol bunuh diri. Semua anak perahu jung ini manakluk dan Raden Wijaya naik sampan mendekati jung yang kandas ini, lantas menanjat ke dalam jung,  Dia menlihat sang Mahaprabu sudah kehilangan kepalanya, Laksamana Mongol menggorok lehernya sendiri dengan pedang, tangan kirinya masih menggenggam sesuatu, yang ternyata kalung raja Singhasari berukir garuda Wishnu, lambang kerajaan yang diberikan raja kepada putrinya yang tertua..   Lanbang emas itu langsung diambil dari tangan Laksamana yang belum kaku. Salah satu anak buah Raden Wijaya mengambil kepala Mahaprabhu Jayakatwang dlbungkus dengan baju jubah Laksamana yang tidak kena darah. Raden Wijaya diam saja. Dalam jung ini Raden Wijaya menemukan harta rampasan perang pasukan  Mongol. Ternyata Laksamana membanjiri lambung yang penuh mesiu ini dan membuat bagian yang tanggelam dari lambung  jung ini bertambah dalam masuk ke air, sehingga kandas di  karang belokan sungai, tidak biasanya belokan sebelah luar sungai jadi dangkal, ya karena dasarnya batu, jadi di bagian dalam belokan ini malah  dalam, bagian luar belokan ini malah mambuat jung perang kandas disitu, bertengger diatas dasar sungai yang terdiri dari batu andesit dan padas, yang sulit tergerus arus sungai.

Dengan cepat tempat harta rampasan ini ditutup kain layar oleh  Raden Wijaya, dia menyuruh menimba air dari dalam jung, sebentar saja jung sudah brgerak dari kedudukan kandasnya, dipingirkan dan mengajak rakyat ikut berlayar ramai ramai.  Dari disi Sungai ratusan tembo mengikuti jung rampasan ini sambil bersorak sorak jaya jaya Nusa Jawa.

Jadi sebenarnya Raden Wjaya tidak pernah menyesatkan armada penghukum Mongol untuk menyerang Kadiri,  juga tidak pernah menohok kawan seiring dengan menyerang balik armada penghukum Kublai Kahn seperti yang menjadi sejarah zaman ini. Yang terjadi adalah si Nyonya marga Yap yang bersemangat mendorong sang Pengeran Mancu untuk menjarah kerajaan Kadiri, demi simpatinya kepada sahabatnya  sang putri sulung   Kartanegara. Mungkin juga karena kutuk Ni Ratri, tidak ada yang tahu

Memang mestinya  dalam hitungan  akan sangat gampang  dengan meriam meriam besar yang diangkut lewat sungai, menggempur Kedhaton Kadiri . Ya memang benar,  Tapi adanya panah gajah berapi yang jatuh dari atas karena lintasannya yang sangat melengkung , artinya panah jenis ini jauh lebih kuat busurnya dari panah biasa, bisa diadakan dengan sangat gampang dan cepat, dari bambo dan daun kelapa sebagai penyeimbang, adalah kreasi yang sangat cepat dan tepat dari rakyat.  Tidak ada yang mnengira bahwa putri masih mengandung  janji kuwajiban membalaskan kematian  ayahandanya. Adalah dharma yang mereka lakukan dengan anggun dan cerdas.  Putri Kartanegara ini yang mendorong rakyat dengan busur dan panah gajah yang dicelup nafta kiriman beliau,   ide cemerlang putri  inilah yang membakar armada penghukum Kublai Khan, disaamping upaya Brahmana Ki Bismasadhana yang sudah menggembleng rakyat pinggir sungaI Brantas itu.

Raden Wijaya menemui istri tercintanya,  sambil menggemggam  lambang kerajaan Singhasari  ukian garuda Wisnu yang entah karena apa sampai di tangan sang Laksamana Mongol. Dibalas oleh  sang putri memberikan lempeng batu giok hijau muda yang bertulisan cakar ayam dengan tali merah dari sutra, yang kira kira artinya siapapun yang memegang  lempeng ini akan dibantu oleh setiap prajurit Mongol.

Raden Wijaya pergi lagi, mengunjungi jung perang pasukan mongol yang lagi menerima mayat panglimanya,  mereka pada berlutut kearah Raden Wijaya yang menunjukkan lempeg batu giok itu. 

Sebagian prajurit dan pandega dilepas pulang ke asalnya sebagian ingin tinggal di bumi Tarik dan Ampel Denta. 

Siapa mengira bahwa putra putri sang Kertanegara mengajari rakyat membuat dan menggunakan panah gajah dipinggir kali Brantas dari Papar sampai Kertasana dan Ploso diberi dua gentong nafta setiap desa, dan diajari membuat panah gajah, dengan anak panahnya berekor penyeimbang dari daun kelapa yang dipangkas pendek, adalah untuk menyerang jung jung penjarah ibu kota Kadiri.  Ternyata tuan putri dua kali lebih cerdas dari siapapun yang hadir menyambut Laksamana pangeran Manchu kala itu, atau Ni Ratri masih mengharu biru mengarahkan kejadian untuk melaksanakan dendamnya, tiada seorangpun yang tahu .Yang jelas berbulan bulan sesudah kunjungan Aria Wiraraja, sukarelawan dari Japan dan Porong mengerahkan tenaga siang malam untuk melatih rakyat dan mengajari membuat busur panah gajah dan membidiknya dengan tepat, setara dengan  para putri dan pangeran  dari sang Kartanegara *)  

 

Jam 6 00 pagi

  MATAHARI TERBIT DI WILWATIKTAPURA   LURAH BHAYANGKARI WILWATIKTAPURA.

 

 

Uang yang beredar di Wilwatiktapura menandai telah mulai dibangun kota pelabuhan “tiban” Wilwatikrapura. Uang sebagian beredar diseputar lokasi pembangunan kota itu hingga limapuluh yojana, meliputi Kadiri, Kling (Nganjuk), Wirasaba (Mojokerta) bahkan sekitar Rajeg Wesi ( Bojonegara). Uang ini adalah belanjaan pembelian kayu bangunan, batu kapur gergajian dengan ukuran kubus yang sehasta rusuk rusuknya, Batu batu umpak tiang tiang bangunan dan candi candi. Sebagian untuk peperluan makan, yaitu sembilan bahan pokok, yang bisa disediakan di tempat adalah kayu bakar  untuk masak, yang lain terpaksa didatangkan dari tempat tempat hunian sekitan bangunan kota baru ini. Lurah Bhayangkari harus mengamankan jalur supply ini.

Ternyata banyak jalur lalu lintas baru, banyak pemberhentian perahu baru sekitar lokasai pembangunan kota yang harus diamankan dari kejahatan terutama dari perampokan dan pencurian. Jalan rintisan dari segala arah menuju ke bekas hutan Maja ini, semakin ramai, warung warung, gudang  tempat barang barang dagangan diturunkan dan berganti pemikul atau berganti gerobak bila jalanan memungkinkan, Tempat tempat pemberhentian lalu lintas pemikul atau gerobag ini rawan untuk jadi tempat para penjahat menjadi raja kecil menarik uang keamanan, sangat menjadi perhatian Lurah Bayangkari. Semua kedai Tuak dan warung remang remang juga menjadi perhatian lurah Bhayangkari kota yang baru dibangun ini.

Setelah Ranggalawe terbunuh karena perkelahian dengan Kebo Anabrang, Lurah Bhayangkari sadar bahwa ada yang mengincar  Gudang Uang picis emas perak , untuk membangun kota ini.

Dalam hal ini Gajah Gombak dari Mada mengadakan perundingan dengan Raden Wijaya maka mereka mohon kepada sang Guru Bagawan Bismasadana dan Rsi Suradharmayogi untuk menghubungi Ketua semua Perguruan Silat aliran lurus, sampai wilayah Pengging dan Kedhu, untuk membantu dengan mengirimkan muridnya yang terbaik ke Wilwatiktapura untuk menjadi Pengaman luar dan dalam. Malah perguruan silat khusus pendekar wanita dari Gunung Jati, Jawa Barat , “ Sekar rinonce” juga diundang. “Sardula Liwung” dari Gunung Ijen, “Trimurti” dari Lembah Rengganis, “Trisula” dari lereng Gunung Wilis, perguruan “Gunung Pandan” dari Rajeg wesi, dan masih lima enam lagi perguruan silat tingkat tinggi yang diundang. Yang aneh lagi munculnya perguruan silat yang sangat tersembunyi tidak pernah muncul ke permukaan adalah “Sarapwaja” dari Sidayu, muara Bengawan Solo, yang senjatanya berupa talempak atau tombak pendek bermata lebar serupa dayung, nama setempatnya sarap, mereka ini sangat dibenci oleh sakte nyleneh agama Hindu aliran Bhairawa, karena disamping mengaharamkan semua prilaku anggauta aliran ini, kecuali tidak mengharamkan memuaskan makan ikan, juga mempunyai kemampuan melawan kekuatan hitam yang sangat handal yang  dimiliki oleh golongan Bhairawa ini. Menurut pandangan kaum Sarapwaja, memuaskan diri dengan “Ma” lima yaitu “Matsya” makan ikan, “Ma’argya” (mabok minuman keras), “Mamsya” (makan  daging segala binatang ), “Maudra” (menari nari sampai trance), dan “Maithuna” ( berhubungan sex secara orgy liar) untuk mencapai kesempurnaan adalah pembenaran menyesatkan dan palsu. Karena orang mengendalikan hawa nafsu itu maksudnya supaya menggunakan energinya untuk mengasihi sesama ciptaan Sang Maha Agung, dan pemurah kepada mereka, berupaya “mamayu hayuning bhawana” atau membuat lingkungan hidup menjadi berharga untuk dihidupi. Maka dengan memuaskan hawa nafsu sekehendak sendiri  mengumbar hawa nafsu diri sendiri sehingga puas dan serta merta mengalami kesadaran yang tertinggi itu bohong, karena mengorbankan kepetingan orang lain.

Lha bila orang hanya sibuk memuaskan diri sendiri saja,  kan menyusahkan orang lain juga. Mpu Lurah Bhayangkari sengaja mengundang Kelompok silat yang tidak pernah terkenal di dunia persilatan ini karena golongan ini selalu bisa menangkal kekuatan kaum Bhairawa secara wadag maupun memunahkan kekuatan magis hitam nya.

Sebenarnya pandangan perguruan Gunung Pandan dari Rajeg wesi, yang sangat dipengaruhi Pesilat kaum Bu Tong dari Negeri China, dan azas panteisme dari Parsi, bertumpu pada ajaran Budha, menentang pengumbaran hawa nafsu bahkan makan daging dan  lain barang berjiwa saja mereka hindari,  pantang minum minuman keras, dan sangat menghormati kaum Pendeta Budha nya yang harus menjalani brahmacarya atau tidak melakukan hubungan suami istri (celibate). Anehnya di tingkat yang paling tinggipun kaum ini masih keder menghadapi kekuatan magis kelas tinggi dari kaum Bhairawa  yang mendatangkan Bhatara Kali silih rangkap dengan Bhatara Rudra. Iya ini bisa dimengerti, sebab walau di tingkatan yang tinggi dari aliran yang dipengaruri Budhisme ini masih menyandarkan kehidupan wadagnya dari perlindungan dan pemberian Penguasa dan rakyat termasuk orang orang kaya, jadi mengandung pamrih, atau maksud agar dijamin kepentingan duniawi mereka Ya seperti yang sekarang sementara pendeta pendeta Budhis ngebela belain pelindungnya walau jelas lelas menyuap Penjabat Negara seperti Hartati Murdaya Poo tanpa malu malu.

Sedangkan kehidupan wadag kelompok Sarapwaja menyandarkan  pada Allah dan berupaya dengan tenaganya sendiri bekerja mencetak sawah dirawa rawa mencetak  sawah tambak dengan kekuatan sendiri walau perkerjaan ini  sangat berat. Pada lingkungan perguruan silat Sarapwaja alias Aswaja yang berdasarkan agama Islam, meskipun mereka kawin secara wajar dan tidak pernah celibate, mereka makan daging yang disembelih dengan azas “Atas Nama Allah yang Maha Pemurah dan maha Pengasih”. Dan azas itulah yang melandasi setiap perbuatannya. Maka wadag mereka seperti dilindungi oleh tenaga yang tidak nampak dan mampu membakar balik kekuatan magis hitam andalan kaum Bhairawa apapun berikut pelakunya.

         Konon menurut Waliullah, Pemimpin  mereka,  Allah Sang Hyang Widiwasa berkenan mengganti segala petunjukNya yang dibawa oleh Utusan Utusannya yang terdahulu dengan Petunjuk dan Perintah yang dibawa oleh UtusanNya yang terakhir Muhammad Rasulullah. Azas hidup yang paling alami bagi Manusia  dan pasti bisa dilakukan, melandasi semua perbuatannya dengan mengatas namakan Allah yang Maha Pewmurah dan Maha Pengasih, Bahkan Allah memberikan sandi asma (pass word) Adanya Malaikat hanya tunduk pada perintah Allah.

Akantetapi untuk mereka dalam keadaan genting   melawan apapun wujud magic  dari Kaum Bhairawa yang sekuat Bhatara Rudra sekalipun akan terbakar, bila pass words ini diucapkan, terbakar bersama kekuata nmagic apapun pelakunya, karena Allah memperkenenkan malaikat melakukannya, Orang Hindu menyebut keistimewaan ini sebagai “ajian Cunda Bhairawa”, mirip cermin ga’ib yang memantulkan dengan kekuatan berlipat lipat  energy black magic yang dicurahkan oleh pengirimnya, kebanyakan kaum Bhairawa, yang merasa terganggu aktivitasnya.  Di Pedalangan wayang kulit ajian ini milik sang Puntadewa anak sulung sang Pandhu dengan ibu Dewi Kunthi, kakak dari semua Pandawa. Sedang  ajian Cunda Bhairawa itu sebetulnya hanya sebutan pass word saja,  oleh orang yang beragama Hindu, dikira satu ajian  untuk menghadirkan Malaikat guna menjaga diri dengan mengembalikan segala energi kembali menghunjamkannya dengan kekuatan berlipat lipat,  nama yang seharusnya adalah “cermin ga’ib”.  Sedangkan pimpinan kaum Bhairawa saja,  Guruji Rsi Dutanggira yang datang dari Atas Angin dan yang berumur tak terhitung panjangnya, juga Guru  Sang Prabhu Kertanegara yang sudah makayangan, dia ini segan menghadapi kaum santri dari daerah Sidayu dan Garowisi.

         Undangan kepada Aliran Aliran silat  bersih ini untuk bergabung menjaga keamanan Wilwatiktapura, yang rentan terhadap kejahatan yang terorganisasi seperti kaum Bhairawa. Sebagai gantinya menjanjikan kebebasan yang sama bagi semua aliran agama, asalkan mereka saling menghargai dilingkungan Wilwatiktapura.  Ini mendapat sambutan baik dan Pimpinan, atau Waliullah mereka sehingga datang hadir  atau mewakilkan pada murid tingkat atas mereka. Maka selama seabad kaum Bhairawa tidak menyentuh Wilwatiktapura tapi berkumpul di Sengguruh (sekarang Malang) dekat Singhasari, sebagai kebiasaannya secara exkluisive terbatas pada anggauta dengan sumpah berat, sambil menunggu waktu, menebar pengaruh di Wilwatiktapura.

 Sanggar sanggar latihan didirikan di Wilwatiktapura secara mandiri masing masing aliran, sedangkan aliran Sarapwaja bergabung dengan asyram perguruan Agama Islam, dan sama sekali idak mengadakan gladi fisik di Wilwatiktapura. Ini disebabkan karena gladi fisiknya ada di rawa rawa luas di muara bengawan Solo, membuat saluran saluran, pintu pintu air, agar hanya air tawar saja yang bisa masuk ke sawah mereka yang juga panen dua kali setahun. Kecuali musim banjir,  ditanami padi rawa yang malainya bisa terapung kepermukaan air banjir dari kedalaman sampai sedepa, juga ditebari ganggang yang menjadi pupuk bila air surut nanti. Pekerjaan yang sangat berat. Mereka menggali lumpur  rawa dengan sarap, linggis yang lebar semacam dayung perahu, berbobot berat supaya bisa masuk kedalam lumpur dengan mudah, inilah cara mereka untuk melatih tenaga dalam, melatih tenaga dalam pernapasan dan pemusatan tenaga dalam mereka di pusar, disertai  pemusatan dzikirullah.

Disinilah teruji kecakapan Mpu Mada, semua unsur unsur baik dalam masyarakat Wilwatiktapura ikut menjaga keamanan dan ketertiban diwilayah ini. Malah murid murid senior dari perguruan Sarapwaja secara bergilir bertugas di Wilwatiktapura secara diam diam, membantu Mpu Mada, secara sukarela, yang jumlahnya sampai ratusan orang, mereka berkepandaian tinggi. Dengan mudah mereka menyiisipkan dirinya di masyarakat Hindu kebanyakan dari wangsa waysia dan sudra  sebagai Pedagang, sebagai pemilik komplek persinggahan para pemikul barang semacam “karavan saray”(istilah Turki) nun di jalan sutra ditengah gurun dan padang rumput  Asia Tengah. Warung warung kebutuhan pokok dan obat obatan, dan bergerak mengajari anak anak kaum waysia dan sudra membaca dan menulis huruf , terutama berhitung menggunaka lambang bilangan hija.iyah yangv jayh lebih praktis dan huruf Palawa, terutama etika Islam dan memberantas kejahatan, dan hidup bersih, dengan  secara diam diam bekerja sama dengan Bhayangkari Praja seluruh Negara,  menjadi telik sandi sukarela,  melaporkan berita dengan merpati pos.  Maka selama seabad Wilwatiktapura menjadi pelabuhan singgah dan arena jual beli antara dagangan dari pulau pula di Timur dan barang barang dari China dan Atas Angin, India dan Parsi.

Suasana inilah yang mengilhami para Dhalang wayang kulit, ratusan tahun kemudian bila menggambarkan satu Negara yang kaya raya cukup segalanya, aman dan makmur, digambarkan bahwa kerbau sapi di lapangan penggembalaan sore hari akan pulang sendiri sendiri, tanpa digiring oleh penggembalanya, tidak ada pencurian ternak atau pencurian apapun.

Pertemuan Guruji Sang Dutanggira dengan Syekh Jumadil Kubro terjadi, karena kebetulan Guruji Rsi Dutanggira berkenan mengunjungi pertemuan besar kaum Bhairawa dari sekitar Wlwatiktapura di tepi Sungai Brantas yang berpasir dan sepi, yaitu di pertemuan dua sungai, Kali Brantas dan Kali Konto, dan ini adalah tempat yang dekat dengan Wilwatikapura, jadi tempat berkumpulnya kaum Bhairawa warga dari Wilwatikapura, dan tepian yang  luas berpasir  berbentuk cangkang penyu. Tempat ini tepat untuk pertemuan kaun Bhairawa karena  pada zaman itu sepi sekali, juga gersang  melulu berpasir yang dibawa oleh aliran sungai Konto, sisi barat gunung Anjasmoro.

Semingu sebelumnya dilaporkan di wilayah itu ada perampasan dan pencurian ternak, penculikan gadis gadis desa yang muslimah dilakukan secara misterius, yang meresahkan peduduk desa desa sekitarnya. Merpati pos dilayangkan segera dari telik sandi diwilayah Kertosono, diterima langsung oleh Lurah Bhayangkari Mpu Mada. biasanya kejahatan terhadap masyarakat semacam itu dilakukan oleh golongan yang mau menang sendiri mengandalkan kekuatannya.  Mpu Mada menghubungi Asyram Islam di Wilwatiktapura, dan kebetulan ada Pembiming yang sangat dihormati bertamu disana, Waliullah Syekh Jumadil Kubro, Syekh ini sudah lama bermukim di Sedayu, di asram mbah Pancir, kelana dari Lembah Pansyir dekat Pakistan sekarang.(makanya sekarang nama tempat itu adala Paciran. Syekh ini linuwih, manusia luar biasa yang bisa datang dan pergi semaunya, bisa berada dimana mana satu saat yang perlu, dan mempunyai kehidupan wadag yang hanya melulu demi mengamalkan rakhman dan rakhim, disamping kehidupan biasa sebagai petani.  Kepadanyalah  dibisikkan satu pass word  mendatangkan satu  Malaikat dari Allah, satu sandi asma agar bisa menghadirkan Malaikat ini guna melindungi  dirinya seketika, melindungi dari kekuatan apapun yang bukan dari Allah.

Orang Hindu menamakan aji Cunda Bhairawa ( mungkin kata “cunda” yang hanya ada di sastra Jawa lama jadi asal kata pe-cunda-ng yang artinya nengalahkan atau merendahkan) , karena kaum Bhairawa sangat menghindari barang siapa yang memiliki ajian ini.  Perlindungan yang diberikan oleh Malaikat  berlaku sebagai cermin, yang memantulkan kekuatan magi hitam apapun yang menyerang dengan kekuatan pentulan berkali kali lipat.

Disaat rembulan mencapai bulatnya pada tanggal limabelas bulan “pranata mangsa” (hitungan kalender petani di Jawa) mangsa kesembilan, ratusan kaum ini menari liar ( maudra) setengah telanjang mabuk (ma’argya) dan memuaskan diri dengan makan daging binatang liar (mamsa dan matysa) dan ternak curian, hanya dibakar sekenanya saja, diselingi pesta minuma keras (ma’argya), sungguh meriah dan menjijikkan disekeliling api unggun yang besar pemuda pemudi gila, oran tua sinting, orang setengah baya,  melakukan orgy sex (maituna) terbuka berserakan dimana mana, ditengah bunyi tetabuhan gendang dan bedug menderu deru. Sang Bhismasadana menyertai Shekh Jumadil Kubro yang berpostur tubuh seperti tokoh Semar dari pewayangan Jawa, mendadak sudah ada di tengah kalangan dekat unggun api yang besar.

     Tetabuhan yang berdentang menderu deru mendadak berhenti. Api unggun mendadak mengecil hampir padam. Sang Rsi Dutanggira sangat murka, badannya yang hitam itu mendadak nengkilat, rambutnya yang hitam gimbal itu berdiri berkibar kibar. Dengan suara yang melengking diakhiri dengan bentakan sebagai geledek membuat api unggun berkobar kembali dengan api kebiru biruan.

    

        “Makhuk apa kalian berani mengharu biru upacara kaum Bhairawa yang lagi dipimpin oleh Datuknya ?"

 Segera cemeti menyala nyala menyambar nyambar kearah Syekh Jumadil Kubro dan sang Bismasadana. Suara menggelegar membalikan arah sambaran cemeti disertai kobaran api menyambar Rsi Dutanggira, mebelitnya tanpa ampun. Kobaran api cemeti melilit siapa saja yang hadir sehingga mereka sadar dan kalang kabut mencebur sungai sambil menjerit dan melolong. Sebentar saja tubuh Rsi Dutanggira yang hitam legam menjadi memerah manpak meronta ronta,  masih dililit oleh api biru dari unggun yang menyala kembali, akhirnya tubuh Rsi yang tak terhitung umurnya ini  meneteskan lelehan yang berapi api, akhirnya mengecil dan habis.

Sunyi senyap dipinggiran Sungai, ratusan  anak buah kaum Bhairawa tenggelam di sungai, atau terbakar menjadi abu. Rsi Dutanggira habis menjadi tetesan api yang menyala nyala sampai habis semua.

Saat itu Syekh Jumadil Kubro bersabda kepada Rsi Bismasadana, bahwa setiap tetesan api wadag Dutanggira ini akan masuk menetes kedalam wadag para Nara Praja Wlwatiktapura pada ratusan tahun kedua Wilwatiktapura, yang mereka berdua tidak akan menyaksikan. Kini Wilwatiktapura aman tenteram tanpa gangguan kaum Bhairawa. Mereka yang bersekutu ketahuan, mereka yang berencana membalas dendam tersapu bersih.

Sedang makin  sedikit murid dari perguruan Sarapwaja yang telah terpilih telah mewarisi pass word mendatangkan Malaikat untuk melindungi diri dikalangan mereka,  dengan sendirinya makin sangat selektip mewariskan pengetahuannya. Pengetehuan pass word ini hanya cocok utuk dipunyai kaum sufi, yang sudah ditingkat selaras dalam nenjalani perintah Allah dengan rahman dan ahim.

Password ini rupanya diberikan pada para santri yang sudah tajam rasa dan pengertiannya, oleh karena mudah disalah mengertikan. Sampai kini hanya satu dua orang saja yang menyadari adanya pass word ini.

Selanjutnya abad abad kekuasaan Wilwatiktapura memasukkan dalam Undang Undangnya bahwa menggunakan magic untuk mencelakai orang lain dianggap kejahatan yang bisa dihukum berat, dengan barang bukti berupa boneka yang ditulisi nama orang, rerejahan yang menyebut nama orang. Akan tetapi ilmu magic hitam tetap sulit dibuktikan    

 JATUHNYA JAYAKATWANG DARI SINGGASANA KADIRI DAN KEKOSONGAN KEKUASAAN DI BHUMI MPU SINDOK

 

Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, bawa Kerajaan Mataram Hindu, yang terletak dikaki gunung-gemunung  yang subur dan indah, diantara lembah dan gunung Merapi Merbabu dan  pegunungan Dieng., Akhirnya ada bencana besar dari ledakan gunung Merapi yang memuntahkan lava dan “wedus gembel” yaitu awan sangat panas dan meluncur sangat cepat sepanjang lereng berpenduduk petani dengan sistim pengairan sawah berundak  yang mrnjadi bagian besar dari pedukung ekonomi Kerajaan Mataram  Hindu. Bencana alam itu dijuluki  Mahapralaya. 

Anehnya juga, kali ini ledakan besar itu menyamping, meledak kesisi lerengnya, tidak seperti biasanya kearah mulut kepundan dipuncak, jadi kurang lebih meledak kearah atas, kali ini  banyak menyaping ke timur, memporak peranskan lereng timur yang penuh dengan usaha pwertanian pendukung kerjaan mataram Hindu. Sidang darurat segera diadakan setelah Mahapralaya , kiamat kecil ini, ternyata sebagian besar penduduk persawahan yang subur telah tersapu “wedus gembel” awan yang sangat panas campur debu vulkanic, persawahan dan desa desa akan sangat sulit dipulihkan. 

Sesudahah bdeberapa tahun lewat, bencana besar yang menyebabkan mahapralaya ini, Kepala Keluarga besar Kerajaan Hindu yang ada di Jawa Tengah Empu Sindok, memutuskan memindah kerajaan mereka ke Timur. 

Sesudah penelitian para Brahmana dan Ksatria, mereka sependapat di dataran antara Gunung Bromo dan kumpulan gunung Arjuno Anjasmoro dan Welirang, dilereng Tenggara Gunung Pananggungan. Mpu Sindok membentuk wangsa Isyana dengan sederetan penerusnya antaranya Raja yang terkenal Sang Airlangga, kemdian kerajaan dibagi dua Janggala dan Kadiri.

Dalam perjalanan waktu, timbul pusat kekuasaan baru, di Tumapel, dengan Ken Arok sebagai pendiri wangsa Girindra, wangsa ini ditabalkan jauh sesudah pendirinya sendiri meniggal, antara lain   oleh kekuasaan Kerajaan baru. Pendukung berdirinya wangsa ini adalah Mahaprabhu Kartanegara yang telah menaklukkan Bali dan Kerajaan di Sumatra.

Setelah Sang Jayakatwang, jadi penguasa Kerajaan Singhasari, dengan sendirinya jadi yang dipertuan dari Negara Singhasari dan Kadiri. Singhasari jatuh  oleh serbuan kilat pasukan berkuda dari Kadiri. Maka di Bhumi jang diberi arti oleh Mpu Sindok menjadi tanpa penguasa yang pasti.

 Raden Wijaya, sebagai sang menantu dari Mahaprabhu Kartanegara, yang mati mengenaskan oleh serbuan kilat pasukan berkuda sang Jayakatwang, penguasa Kadiri, kemudian Raden Wijaya diampuni menjadi bawahan sang Mahaprabu yan baru setelah berkutat dalam pelaraian yang panjang. Faktanya dialah sosok yang ada di pusat pusaran peristiwa peristiwa penting yang sangat mendadak, tanpa kemuauannya sendiri. 

Tanpa pengumuman kemenangan, tanpa tiupan terompet dan tambur, Raden Wijaya membuka hutan dekat Wirasabha. Tepatnya antara Wirasabha dan Tambelang, yang merupakan tanah datar karena sedikit sekali kaki gunung Anjasmoro itu disini menonjol. Di pinggir selatan Sungai Brantas yang mepet dengan hutan perbukitan kaki Gunung Anjasmoro, dikiri kanan bukan persawahan yang mempunyai pengairan yang baik, melainkan kebun dan tegalan. Juga hutan hutan. Di barat daya agak jauh, melewati punggung rendah perbukitan kaki gunung Anjasmoro, ada persawahan yang luas, wilayah persawahan ini dialiri oleh  saluran   pengairan dari bendung Harinjing diseputar Kecamatan Kandangan sekarang, bendung terbesar pada zaman itu. Sistim pengairan itu sekarang jadi wilayah Pare atau Majalegi utara  berbatasan dengan Jombang selatan.

Memang wilayah hutan yang dijadikan kota itu banyak pohon maja yang rasanya pahit. Sepotong wilayah itu ditemuka oleh Mpu  Bismasadhana, melihat keletakannya yang membelakangi hutan dan bukit agak terjal rupanya perbukitan kapur sangat tua lebih tua dari pegunungan Kendeng, tanpa sungai yang besar, mehadap ke sungai Brantas, bila orang menghadap ke Utara, disisi barat daya agak jauh ada persawahan luas yang tidak terlalu berundak, berkat pengiran dari bendung Harinjing, di  di Kandangan Mojlegi, Pare sekarang,  kebun kebun dan tegalan, di tenggara hutan yang besar kaki gunung Anjasmoro. Topografi wilayah ini bila diperhatikan sangat teliti akan berupa cangkangnya penju, pipih dan menonjol ditengah.

Empu Bhismasadhana menyuruh Raden Wijaya membuat permukiman disitu, dengan emas dan perak rampasan tentara Mongol yang jatuh ke tangannya tanpa dia sengaja.  Membuka hutan  memerlukan beaya banyak ini mencengangkan para Bhupati wilayah yang bertetetangga, yang menurut aturan silsilah Girindralah yang lebih berhak mengganti posisi Raja Kadiri yang kosong, karena Wangsa Girindra telah dicederai Prabu Jayakatwang. Maka dari Wangsa Girindralah yang menggantikan sang Jayakatwang. Merasa sangat kepingin untuk segera mencaplok kesempatan ini menggantikan sang Kartanegara yang telah dikalahkan oleh sang Jayakatwang, Rangga Lawe sebagai paman dari putra putri Kartanegara, paling tidak berbagi kekuasaan dengannya.   

Sekali lagi kecerdasan  Raden Wijaya dan Putri Tribhuaneswari, yang memutuskan memberi upah tinggi pada para pekerja dan petani maupun undagi segala bidang, untuk bekerja membuka hutan disitu dan mendirikan Kota yang sudah direncanakan Rsi Bismasadhana, menggali saluran perahu dari kali Brantas, lebar panjang dan lurus, menggali dan menimbun lahan untuk tanah hunian, lahan dengan saluran pematusan, dan saluran air bersih dengan gorong gorong gerabah, membangun tembok tembok hunian raden Wujaya, membagun sabha besar/wantilan Agung, dan istal kuda, candi bentar dan candi pemujaan para pitri. Picis emas dan perak diambah bekal armada dari jung lasykar Mongol lebih dari cukup untuk itu, sambil mengamati para tenaga kerja. Kesanggupan memimpin, bersemangat, dan memiliki kecerdasan, akan terpilih jadi perwira. Dari para pandega ini akan dipilih  oleh Raden Wijaya sendiri dan sang putri. Banyak sahabat Pangeran Wijaya dari Madura menjadi pandega perahu Majapahit, dan pembuat perahu Madura di pantai Tuban.

Juga pembentukan pasukan bela diri yang bebas dari intrik kekuasaan, karena beaya yang dikeluarkan untuk membangun kota ini memang extra tinggi, lebih dari biasa. 

Tepat seperti yang derencanakan, para undagi, pandega, ahli segala bidang. Dari tempat tempat jauh sekitar bhumi bekas hutan maja yang rasanya pahit ini,  berbondong bondong datang dengan rombongannya, seperti laron tertarik pada api obor. 

Semua mereka merasa puas dengan upah yang diterima setiap lima hari, setiap hari pasaran Kliwon, bagi pekerja. 

Pembayaran beaya untuk para Pandega segala bidang dibayar tepat pada hari Soma manis, meliputi pelaksanaan  suatu rencana yang disepakati bersama dengan teliti (  sekarang namanya “bestek”). Uang emas dan perak, dibayarkan dibawah pengawasan sang putri  Narendraduhita, putri Jayendradewi dan putri yang paling cerdas berurusan dengan pembangunan Wantilan Agung, dan hunian, putri Gayatri.  Bisa ditebak, Raden Wijaya hanya tertarik kepada penggalian saluran dari sungai Brantas yang digali ditampung ke kolam pengendapan pasir dan lumpur kemudian baru dialirkan ke penambataan perahu perahu tepat dimuka gudang gudang  khusus. Atas prakarsa Raden Wijaya diadakan telaga besar dan dalam, untuk menampung pasir sungai Barantas. Air sungai jadi bersih dari pasir dan lumpur sebelum air dimasukkan ke saluran tambatan perahu besar, saluran ini sampai selebar tigapuluh depa. Kolam kolam pasir ini dibangun serupa kantung saluran dengan sudut masuk yang kecil dari kali Brantas, dari sana,  telaga pengendapan pasir itu, baru air dialirkan ke saluran yang dibangun dengan sudut kecil juga  untuk keluar ke kali Brantas lagi. Keletakan pinggir sungai di sini mengizinkan untuk membuat saluran ini. Emas perak dua gerobak sapi baru enam bulan sudah ludes. Ribuan pekerja yang dibawa oleh pandeganya masing masing lebih suka tinggal di Kota tiban (jatuh dari langit) ini, masing masing membawa keluarganya. Disinilah saluran  jalannya perahu itu di kerjakan dengan sunguh sunguh tepinya di tembok dengan batu kapur yang digergaji besar besar, sampai sehasta setiap rusuk batu batu kapur ini merupakan dadu raksasa,  diangkut dengan perahu dan disarat dari gunung Kendeng ke kali Brantas. Selain itu semua bangunan dibuat dari batu bata yang dicetak  dan dibakar dari timur kota, yang kebetulan ada sungai  kecil dan tanah liat berpasir sedikit yang sangat baik untuk mencetak batu bata. Salah satu adik laki laki sang putri mengawasi pencetakan dan pembakaran batu bata ini. Pemgkukutan kayu olahan, batu bata ini mendatangkan sapi dari Perdikan Mada, sapi benggala yang kuat berponok.

Semacam semen dari timbunan abu vulcanik yang merupakan debu,  tertimbun di punggung rendah suatu bukit dikaki gunung Anjasmoro, karena tertimbun ribuan tahun yang lalu, dan tanahnya naik, maka timbunan abu ini tetap kering dibawah, seperti kita menuang air di setumpuk tepung, tanpa mengaduk aduk tepung yang dibawah masih kering. Pengambilan semen abu vulkanik ini sampai sekarang masih berupa trowongan orang sekarang menamakan sumur gumuling ( sumur yang rebah). Debu ini sangat baik untuk dicampur pasir dan batu kapur tohor (sesudahnya dibakar disiram air), menjadi bubur kapur. Ketiga komponen ini dengan perbandingan tertentu, bisa kering menjadi sangat keras, untuk melekatkan batu bata satu sama lain, bahkan untuk membuat pintu pintu yang bagian atasnya lengkung. Samai zaman berikutnya bahkan sampai sekarang diganti dengan bubukan batu bata,ayau semen merah.  

Jalan jalan di Kota baru ini dibuat lurus dengan banyak perempatan dan semua pinggir jalan untuk pejalan kaki, dihamparkan lantai batu bata bagi pejalan kaki, bersegi enam. Semua atap wantilan atau rumah dari genteng, tidak bisa sembarangan dibangun, diawasi sudut luncur air hujan oleh sang putri Gayatri sendiri, apalagi untuk atap gudang gudang, dasar banguna harus dalam dengan dasar atau pondasi yang kuat.  Tidak ada yang terlalu kecil sudutnya dan tidak juga terlalu besar sehingga nampak tidak seimbang. Semua umpak saka guru dan umpak umpak lain didatangkan dari Wirasabha dan Watu kosek diangkut dengan perahu dari Japan dan Kadiri.

Setelah dua belas bulan bekerja tanpa berhenti  dengan menghabiskan dua gerobak picis emas dan perak baru Kabupaten kabupaten seperti Kling, Wirasabha, bahkan Madyun dan Wengker mengirimkan bantuan berupa kayu jati gelondong, dari Kling mengirimkan sapi dan kerbau seratus ekor, dari Wengker mengirim kambing dan babi yang digiring sepanjang jalan sambil digembala, setelah dua bulan baru sampai,  beras dari Maja Legi (sekarang Pare),  dan pemberian para Bupatti yang bersimpati kepada para putra putri Kartanegara. Ada yang datang dari Modo, rombongan penyarat dan pengolah kayu jati, dijadikan papan tebal kayu tiang dan usuk berbagai ukuran, dikirim lewat Bengawan Solo dan berlayar mudik kali Brantas, hadiah dari Rsi Pandega sang Curadharmayogi, yang dipimpin oleh pemuda gagah, Bernama Gajah Gombak dari  Mada.

Pemuda ini kaget sekali ketika bertemu dengan orang Marga Yap yang jauh juah dari Kadiri mampir di Kota yang baru dibangun, menemui Raden Wijaya di tembok batu  yang besar besar dari batu kapur yang digergaji, diatas dinding bantaran saluran ditutup dengan dengan batu gunung yang keras sebagai bagian atas. Tiga orang bertemu diatas tembok bantaran terusan  sungai Brantas, terusan untuk perahu pengangkut ke gudang gudang yang baru dipasang pondasinya.

 

Jam 6 30

MATAHARI TERBIT DI   WILWATIKTAPURA

 

Kedua tamu yang ketemu di bantaran kali buatan ini, Raden Wijaya masih memakai baju dan lancingan komprang a’la pandega Madura, Gajah Gombak dari Mada mengenakan salwar dari tenun gedog Tuban  menyelempang tali kabrahman, dibimbing oleh orang marga Yap yang sahabat lamanya menuju Raden Wijaya yang lagi berdiri dengan satu kaki dan kaki yang lain menginjak  tiang batu pendek yang berbentuk palu untuk tambatan perahu. Melihat kedua orang itu dia menguncupkan tangan didepan dada dan memangil mendekati temannya itu. Raden Wijaya tahu pemuda Gajah Gombak putra Brahmana gryasta Rsi Curadharmayogi, ini dari kemarin waktu menyerahkan hadiah kayu jati olahan dari Rsi gryasta dari Desa Modo. Raden yang lagi mengukur kedalaman terusan atau pelabuhan buatan ini heran dan menanyakan bagaimana mereka sudah bisa saling kenal.     

Raden Wijaya mengajak pulang  bersama, mengambil kudanya yang di tambat di halaman gudang, sambil menyuruh mandor dari para pekerja untuk meminjam kuda dua ekor lagi dari Pandega pembangunan terusan. Sang mandor, mengerti dan  tergopoh gopoh melapor Pandeganya, Sebentar dua kuda lagi diberikan pinjam oleh pandega pembangunan terusan. Raden Wijaya ganti menerangkan pembuatan jalan jalan, yang dilaluinya, dengan lantai gerabah untuk pejalan kaki, rencananya lantai pejalan kaki itu dipasang di jalan jalan penting Kota Baru ini yang Sang Raden menyebutnya sebagai kota Wilwatiktapura.

Sesampai di “rumah” yang mestinya bagian dapur dari istana yang belum  jadi, mereka ditemui oleh sang putri Tribuaneswari, sekarang mereka berempat, Saudagar Yap menceriterkan kapan dan dimana dia bertemu dengan putra Brahmana gryasta ini, dia diberi keterangan dan petunjuk dan dibantu mencari alur urat tambang batu kawi, dagangan saudagar Yap, bahwa profesinya adalah pelebur dan pencetak segala barang dari kuningan, berhubung kuningan banyak kelemahannya antar lain berat dan mahal, dua berusaha melebur besi.  

 Undagi Yap memulai ceritanya waktu baru datang dari China bagian selatan, kota kecil, tidak berarti, tapi pamannya mengusahakan pengecoran kuningan dengan dia sebagai pembambantu.  Sekarang mengirim batu kawi berkadar tinggi dari Kadiri Selatan. Waktu senggang dia mengerjakan peleburan kuningan dan besi dan batu kapur ditambah batu kawi,  persis seperti para empu keris di Lamajang Selatan,  keris keris ini sampai sekarang dnamai keris Majapahit, ciri khasnya berpamor hitam batu kawi.  Pemuda Gajah dari desa Mada, menyatakan bahwa dia ingin sekali membuat laras meriam dari besi tuang, dia kagum sekali pada meriam meriam tentara laut dari China, yang konon dapat memporak perandakan Kedhaton Kadiri. Raden Wijaya terus terang bahwa dia bukan menggantikan Jayakatwang, karena sebenarnya Kerajaan Kadiri bukan dia yang menaklukkan, bahkan bukan dia yang membakar perahu jung perang tentara Manchu, melainkan rakyat dari pinggir sungai yang dapat membuat panah gajah yang disulut dengan api nafta, malah faktanya putra putri Kartanegara lah yang mengajar Rakyat membidikkan panah api ke perahu perahu jung perang dari China ini, berbulan bulan demi membantunya  melaksanakan tugasnya, melindungi Ibu Kota Kadiri bila ada musuh mendekati dari sungai Brantas, maka putri ini memutuskan mengajari rakyat untuk membuat panah gajah, konon di Negara dinasti Rama dari negeri Ayuttya , ditepi sungai Mekong, mempertahankan tahtanya dan Negaranya dengan panah ini.  Untung saja sungai Brantas tidak selebar sungai Musi atau Barito, terbukti kemahiran rakyat dan niat mereka bertahan merdeka, dapat menghancurkan jung jung perang pasukan Mongol. Siapa mengira bahwa usaha ini semacam pisau bermata dua, bukan berangkat mudiknya perahu perahu jung perang ini dihujani panah gajah yang berapi, tapi justru pulangnya ! 

Bila terjadi di Sungai Musi atau Barito tentu saja setiap jung bisa berlayar ketengah tidak bisa dicapai oleh panah gajah sekalipun. 

Sang pemuda Modo ini mohon untuk diberi pekerjaan di kota yang baru ini,  bagi Raden Wijaya untuk Wilwatikapura yang baru ini agak sulit, Raden Wijaya tidak bisa menawarkan jabatan apa apa, dia bukan Raja, seandainya diangkat jadi Raja oleh para Bupati yang berdarah biru, pasti mereka minta upah kedudukan yang pantas yang mereka incar, kabupaten yang kaya, atau penarik pajak dari wilayah yang ditinggalkan Jayakatwang. nanti mereka akan saling bersaing. Yang dia bisa tawarkan hanya menjadi pembantu pribadinya, katakan Bhayangkarinya, menyelamatkan dia dan adik adiknya dari usaha mereka yang serakah. Kota ini lebih  baik dari Kadiri maupun Janggala, apalagi Singhasari, tidak dimaksudkan untuk jadi sasaran empuk mereka  yang mengincar secara sembunyi sembunyi, maupun terang terangan. 

Raden Wijaya meneruskan bahwa dia memang sedang memilih perwira dan tamtama prajurit secara diam diam dari mereka yang ikut bekerja membangun kota ini. Tapi tidak seorangpun yang sekira bisa diserahi pekerjaan jadi pelindung Keluarga Wijaya dan Wilwatiktapura. Jabatan ini diterima dengan senang hati oleh Gajah Gombak dari Modo ini.   Untuk jadi prajurit ,tamtama dan perwira, mereka yang terpilih ada duratus lima puluh orang. Semua dikirim ke pulau Gili Raja, diselatan Sumenep, dengan rahasia untuk dilatih keprajuritan dan berenang dilaut, mendayung, mengendalika perahu layar. Raden Wijaya tidak mau Kabupaten Kabupaten tetangga berfikir bahwa dia sedang menyiapkan pasukan. Karena pasukan tentara pada waktu itu adalah petani, yang mendapat ganjaran lahan dari Raja sebagai gaji, Raden Wijaya  tidak membangun tanah berpengairan disekitar kota Wilwatiktapura, Jadi pendiri Kerajaan Besar Majapahit ini membayar tukang tukang untuk bekerja membangun kota, sambil memilih diantara mereka untuk nanti dijadikan pasukan inti. Sementara Wiwatiktapura belum jadi seluruhnya, mereka dilatih ditempat yang terpencil Gili Raja disatu pulau kecil di selatan kota Pamekasan, enam bulan, kemudian dipulangkan dan kembali sebagai buruh bangunan yang sewaktu waktu disiap siagakan, jadi tidak menggaji orang menganggur. Sungguh cerdas. 

Sebaliknya secara menyolok Gajah Mada di beri wewenang untuk membentuk pasukan dari orang orang yang terpilih untuk menjadi Bhayangkari Kota Baru yang sangat ramai itu. Hampir enambelas  ribu keluarga sudah bermukin disekitar Kota, lokasi yang sudah dipetak petak dengan jalan lalan yang lurus dan bersih, tinggal mendirikan rumah, dan kampong kampong. Bhayangkari ini hanya bersenjatakan tongkat, selalu berkeliling mengawasi keramaian. Mereka berpakaian biasa hanya berkampuh poleng hitam putih, seperti para pacalang di Bali sekarang yang menjaga keamanan pada hari Raya Nyepi. Hanya mereka yang telah mengenyam khidupan di dunia persilatan dapat menandai mereka yang berilmu tinggi dan berniat membuat keonaran. Pemuda Gajah Gombak dari Mada sebagai yang ditandai Raden Wijaya mampu mengendalikan hal hal semacam ini. Warung tuak, tempat perjudian, dan tempat keramaian dimana banyak kerkelahian, semua diatasi oleh Bhayangkari yang dipimpin oleh Gajah Mada ini. Di suasana inilah Gajah mada mengenal organisasi rahasia dari kaum Bhairawa yang ikut nimbrung mencari pengaruh di Wilwatiktapura. Untuk sementara dia amati gerak geriknya.

Sebaliknya, Raden Wijaya mengirm Ki Wiradenta ke Kadiri bersama dengan Adik iparnya untuk mempersiapkan pasukan serbaguna, dan sesudah genap enam bulan dikirim ke Wilwatiktapura, sebagai Pasukan dari Kadiri, yang berkedudukan di Brangkal,  mengimbangi permohonan Bupati Wirasabha menempatan Perwakilannya, yang tentu saja dengan balatentaranya di Kota baru Wilwatiktapura ini. Bupati Kling tidak mau kalah menempatkan perwakilannya  di Wilwatiktapura, seorang Pengeran, dan menempatkan pasukan khususnya di Perak. Tidak ketinggalan Bupati Rajegwesi mengirimkan perwakilannya ke Wiwartiktapura seorang pangeran juga, dan pasukannya ditempatkan di Ploso. Para  bupati ini khawatir Kota tiban yang kaya ini jatuh ke Bupati tetangganya yang mempunyai Pasukan dan perwakilan di Majapahit, baik secara kasar maupun secara halus. Mesti saja dengan mengambil hati  untuk memperistrikan salah satu dari putri mahaprabhu Kartanegara, atau putri Narendraduhita, atau putri Jayendradewi atau putri Gayatri. Sedangkan kota Wilwatiktapura masih dibangun belum selesai baru  seperlima  bagian saja dari seharusnya  yang seperti dalam gambar. Keserhanaan dan kesibukan putri putri Kartanegara tidak punya waktu buat melayani para Perwakilan itu di perjamuan perjamuan Kerajaan wong perjamuan perjamuan ini tidak pernah ada, wong Raden Wijaya memang bukan Raja apapun, maka Raden Wijaya dan saudari saudari iparnya sedang sangat sibuk bekerja dan menerima perkerjaan yang harus dibayar. Persaingan antara Perwakilan Kabupaten tetangga ini sering merepotkan sang Gajah Mada.  Waktu itu baru mendirikan jaringan telik sandi dan pasukan Bayangkari, yang mengatur kota baru yang ramai itu.   Ada aturan baru yang diundangkan oleh Lurah Bayangkari Wilwatiktapura: Selain Raden Wijaya, para adiknya  dia sendiri dan para pandega pekerjaan penting yang diberi tanda, baik siang atau malam, dilarang mengendai kuda di jalan jalan yang ada dikota Wilwatiktapura. 

Sang pemuda Gajah Gombak merasa risih dalam waktu yang sibuk ini para putri dan putra Raja, Raden Wjaya dan dia sendiri sangat sibuk berlalu lalang dijalan yang sudah selesai dibangun maupun dijalan yang belum jadi, para putri dengan mudah melompati selokan dan gorong gorong  sedepa lebarnya dengan kudanya tanpa berniat untuk pemer, terpaksa terganggu oleh ulah para utusan dari Kabupaten tetangga berkuda memperagakan kekayaan dan kebangsawanannya dengan nenggunakan jalan, sehigga sangat mengganggu keperluan yang mendesak dalam mengawasi pembangunan kota oleh putra dan putri raja dan raden Wijaya sendiri, yang selalu bekuda dengan maksud yang penting.

Apalagi menjelang hari Soma manis. Kapan para putri harus menghadapi para pandega untuk mohon bayaran dari pekerjaan yang sudah selesai, harus diteliti sendiri oleh para penanggung jawab ini. Sering terlihat putri Gayatri mengenakan pakaian lelaki, memacu kudanya ke tempat bangunan diseluruh kota sambil menggamblok di punggungnya gulungan kulit kambing, ddikuti oleh pembantunya berkuda dengan bawaan yang sama,  tongkat ukuran, gambar detail dari bangunaan yang diperiksa, semua putri maupun putra dan Raden Wijaya sendiri saban hari sangat sibuk menggunakan jalan jalan ini. Dengan sangat menyesal para perwakilan hanya dibolehkan naik tandu, di jalan jalan yang sudah dihampari lantai untuk pejalan kaki maupun yang belum. Repot juga bagi para perwakilan ini bersikap, karena Raden Wijaya dan adik adik iparnya bukan raja dari kota ini, apalagi lurah Bayangkari, tapi merekalah yang memang merencanakan dan membayar upahnya dari pembangunan kota baru ini, jadi apa boleh buat, mereka ganti profesi dari pesolek menjadi penerima pekerjaan…  Setiap kali ditawarkan oleh Keluarga Wijaya pekerjaan, dengan ukuran dan gambarnya. Apa boleh buat, ini bukan pekerjaan para ksatria yang seperti ini, mereka rata rata hanya bisa mengerti untuk menerima pekerjaan menguruk dan menggali apa saja, sedang untuk membangun tembokpun mereka tidak sanggup untuk menterjemahkan gambar dan kenyataan apalagi mengatur upah dan beayanya.  Mereka barsaing datang di Wiwatiktapura untuk mendapat perharatian dari putri putri raja yang sayangnya lagi sibuk bekerja. 

Ada kejadian yang sangat merepotkan Raden Wijaya, ketika putra Bupati Wengker yang dikirim sebagai utusan, menerima pekerjaan menggali saluran yang panjangya  dua setengah  ribu langkah, sedalam  tiga setengan depa, harus selesai dalan 35 hari. Upah sudah disetujui 100 keping picis emas dan lima ratus perak, teryata sudah dua puluh lima hari pekerjaan belum sampai separoh,  bayaran buruhnya yang kebanyakan kiriman dari Wengker kurang  dibandingkan dengan buruh orang setempat yang mendapat upah dari keluarga Wijaya, mereka mogok pada tidak mau bekerja. Pekerjaan di saluran bayarannya hampir dua kali lipat. Keadaan ini sampai ditelinga Raden Wilaya, langsung diambil alih pengerjaannya oleh mandor dari orang setempat dan besok paginya semua orang berkerja sampai malam. Pangeran dari Wengker ini murka besar, tapi tanpa banyak cing cong pekerjaan yang belum selesai dibayar penuh oleh Raden Wijaya, sedang sepuluh hari berikutnya pemakai tenaga kerja diambil alih oleh  Mandor orang setempat sedangkan upah tetap dibayar apa mestinya oleh raden Wijaya. Ternyata sang Pangeran dari Wengker salah perhitungan, dikira dengan wibawa, cambuk dan ancaman, pekerjaan bisa selesai dengan sendirinya. Tenyata bukan saja upahnya yang murah tapi memang jumlah tenaga pekerjanya yang didatangkan dari  Wengker memang kurang, jadi bagaimanapun pekerjaan  akan selesai pada waktunya. Karena sumpah serapah dan ancaman sang Pangeran, semua buruh ini mohon untuk diterima jadi warga Kota Wilwatiktapura, kepada lurah Bayangkari sang Gajah Mada, dan tanpa banyak tanya mereka langsung diterima dan diberi tanah sebelah timur kota setengah bahu tegalan setiap orang, karena malu sang pangeran pulang ke Wengker, tanpa pamit atau bicara dengan tuan Rumah raden Wijaya, apalagi berpamitan pada putra putri Kartanegara, (yang menurut pandangan pangeran Wengker ini, semua putri putri Raja Karanegara  tidak menarik, kelaki lakian)

. Sungguh merepotkan tetangga Kabupaten dan Kabupaten yang lain menyaksikan betapa mewah dan nyaman rencana kota Wilwatiktapura, tanpa dilindungi oleh satu kekuatan besar di kawasan bekas kekuasaan Kadiri ini. Sebenarnya Kerajaan Kadiri lumpuh karena Ibu Kotanya terutama Kedathon Kadiri dihancurkan oleh jung jung perang dari pasukan Mongol. Habis Ibu Kota Kadiri, kedhatonnya dijarah olen pasukan Mongol, ganti jung jung peyerang itu diserang panah gajah oleh rakyat pinggiran sungai Brantas hingga kocar kacir, akibat akalnya putri Gayatri, yang semula buat pertahanan Kadiri demi kepercayaan Sang Mahaprabhu Jayakatwang, ternyata sebagai pisau bermata dua, bisa menyerang berangkatnya bisa menyerang pulangnya satu armada yang berani melayari sungai  Brantas. Kali ini serangan dengan panah gajah pada saat pulangnya armada jung perang.  Laksamananya bunuh diri dan raja yang ditawan dipenggal lehernya sebelum sang laksamana bunuh diri. Raden Wijaya memang tidak mempunyai pasukan apapun. Sedang Bhumi Wilwatiktapura memang ada di kawasan Kadiri, dimana Keturunan Kartanegara dan Raden Wijaya membeayai pembangunan kota dengan semua kenyamanan jaman itu. Enam bulan sesudah rencana kota itu dIlaksanakan untuk dibangun, sudah selesai seperlimanya, antara lain jalan jalan dan gorong gorong air pematusan seluruh kota, Jalan ke Pura Pemujaan para Pitri, jalan yang dilapisi pasir tebal, dan untuk pejalan kaki dilapisi lantai dari gerabah bersegi enam sejengkal lebih tinggi dari jalan, dengan perempatan menuju ke Wantilan Agung yang baru nampak pondasi dan umpak umpaknya, Rumah dalam siti hinggil yang sudah jadi bagian dapur dan perangkat rumah belakang. Sejalur dengan sungai buatan yang sudah di tembok dengan dadu batu kapur besar besar tapi belum diisi air. 

 Gudang gudang sudah dipakai disebelah wantilan Agung, dan sudah berfungsi.  Diwaktu itu sosok yang paling menonjol adalah Bupati Tuban, Yang dipertuan Bupati Ranggalawe, yang membesar besarkan pertolongannya pada Raden Wijaya waktu dikejar kejar pasukan berkuda Mahaprabhu Jayakatwang. Memberikan nasihat supaya minta perlindungan kepada Aria Wiraraja. Dan Aria Wiraraja sendiri, yang oleh Raden Wijaya sudah dikirimi sejumlah bagian dari harta rampasan balatentara Mongol, sebagai balas budhi perlindungungannya kepada dia bersaudara,  rekayasanya untuk mempertemukannya  dengan Mahaprabhu Jayakatwang, itupun sudah diterima dengan bersyukur. Sebagi tanda hubungan  baiknya dengan Raden Wijaya dia menawarkan pulau Gili Raja untuk basis latihan latihan perwira, tamtama dan pajurit dari Wilwatiktapura, secara rahasia. Tempat yang sangat terpencil, tidak mudah diketahui orang.

Kali ini Ranggalawe, Bupati Tuban, menuntut bagian harta rampasan dari  pasukan Mongol, atau menjadikannya sebagai wali dari Kota yang baru dibangun bila kota ini jadi Kota merdeka, karena Ranggalawe juga termasuk dalam wangsa Girindra dan dekat dengan sang Kartanegara  saudara sepupunya. Ini dikemukakan sebagai dalih karena Kota baru ini harus dilindungi oleh pasukannya dari caplokan fihak lain, mengerti bahwa Wilwatiktapura tidak punya pelindung tentara yang kuat. Atau minta diangkat sebagai Mahamantri Hino di Wiwatiktapura bila menjadi kerajaan yang menggantikan ibu kota kerajaan Kadiri.

Tentara Tuban  dibawa ke Desa Dadu  atau Kudadu memang besar jumlahnya, dengan persenjataan lengkap. Raden Wijaya mimenemuinya di Kudadu pada hari ketiga sesudah permintaan paksa ini dikemukakan oleh fihak Tuban, sebenarnya hanya menunggu sampainya Gajah Mada di Tuban. Hari ketiga, ada  kabar berita dari merpati pos bahwa pasukan kecilnya sudah sampai di Tuban, dan Tumenggung penjaga Praja di Tuban sudah bekirim berita bahwa Gajah Mada sudah meduduki kota di Tuban, menuntut penyerahan Kota untuk untuk dilindungi dari penjarahan dan dibakar, Sang Tumenggung tidak bisa berbuat banyak, karena saat itu Gajah Mada sudah diperkuat dengan lebih dari seribu  orang dari  sekitar Penyaradan kayu jati dari Modo, bersenjatakan tombak panjang berkait sebagai tambahan dari pasukan berkudanya yang kecil jumlanya. Sang Tumenggung Penjaga Kota tidak berani gegabah melawan, sebab Tuban memang kosong. Berita ini tiba dibawa gandek, berkuda siang malam.  Adipati Ranggalawe sangat terkejut, dia mengaku kalah, minta Tuban Jangan dirampok, sebagai gantinya Adipati Ranggalawe mundur segera dengan pasukannya yang besar.

Tidak hanya itu, pasukan Kadiri dari Brangkal telah datang ke tempat penyeberangan sungai dimana raden Wijaya berperahu menyeberang sungai Brantas dari Utara sungai, sedang dari seberang selatan sungai terdengar sorak sorai sangat ramai ribuan mulut pasukan Kadiri beserta panah gajah ditembakkan kearah buritan perahu penyeberangan Raden Wijaya. Bala tentara Kadiri ini pada berdiri ditepi sungai Brantas dengan senjata pasukan Mongol, tombak berkait. Para balatentara Tuban merasa sangat lega dan bersyukur karena tidak diperintahkan menyeberang meskipun perahu perahu rampasan dari kiri kanan sungai sudah dipersiapkan, karena bila nekat menyeberang tentu terjadi korban yang sangat banyak mati konyol karena terbakar oleh panah gajah yang berapi dari nafta, sedang pasukan Kadiri dari Brangkal ternyata telah menunggu secara sembunyi. Bupati Ranggalawe menghentak hentakkan kakinya ke tanah dengan geram, meniggalkan pinggiran sungai Brantas sebelah utara.

Gerombolan penyarat dari Mada sangat senang karena perjalanan mereka tidak sia sia, mereka mendapatkan ujung tombak  pasukan  Mongol dari besi tuang, dan uang dari Mpu Mada, cukup buat bekal pulang, atau memborong tuak dari Tuban yang terkenal itu.

Pemuda Gajah Mada ternyata bukan saja lurah Bayangkari yang handal, tapi juga pemimpin pasukan yang bisa diandalkan, telah membuat malu Bupati Tuban Ranggalawe. Enam bulan lebih keadaan Wlwatiktapura telah menjadi perhatian seluruh bhumi yang ditandai Mpu Sindok, akan jadi Negara besar. 

Menjelang pitra yadnya, semua libur, pekerjaan dihentinan tiga hari tiga malam. Malam menjelang libur panjang ini Gajah Mada, Raden Wijaya isteri dan ipar iparnya pada kumpul di wantilan kecil, lebih mirip gazebo dari wantilan. Meski mereka putra putri Raja, Pangeran dan Brahmana, tapi umur mereka masih muda, dan matang ditempa keadaan. Mareka duduk dengan santai sebab kecuali istri Raden Wijaya semua berpakaian komprang cara pandega dari Madura. Membicarakan kejadian yang baru saja terjadi dengan Tuban,  mereka cekikikan menggunjingkan Bupati dari Tuban, Rakryan Ranggalawe yang marah besar karena siasatnya kandas menghetak hentakkan kakinya.  Untung saja ada kali Brantas yang menghentikan pasukannya.

Raden Wijaya membuka suatu pembicaraan, bagaimana secara murah dapat mempertahankan Wilwatiktapura dari orang orang semacam Ranggalawe, yang tidak diragukan dapat mengerahkan pasukan besar dengan iming iming mengenai pembagian harta rampasan nanti. Yang Dipertuan Rangalawe dapat mengumpulkan begitu banyak serdadu darat, sebagian besar mereka adalah nelayan miskin, karena sekarang lagi musim angin yang ganas, rakyatnya gampang dikumpulkan dan diajak berperang, memang lagi laip, selanjutnya mereka adalah nelayan. Tuban hidupnya dari tanaman kacang tanah yang selalu dicari oleh para pedagang dari China, baik kacang lepas kulit maupun minyak kacang dan bungkilnya. Kacang tanah ditanam di tegalan dataran diantara dua barisan gunung kapur Kendeng, tepian utara Bengawan Solo, memanjang dari barat ke timur sekarang para petani kacang lagi sibuk memelihara tanaman kacangnya, juga dari Kayu Jati yang tumbuhnya dekat pantai, mudah disarat ke laut. Jadi seperti di Kabupaten lain mereka tidak membayari tentaranya sepanjang tahun, mereka abdi untuk mengerjakan tanah yang  diberi pengairan oleh Yang Dipertuan Bupati, setiap kali selesai pekerjaan sawah bagi kaum pria, mereka diwajibkan ikut perang oleh Rajanya. Gajipun sering tidak diberikan, apalagi bila perangnya kalah, akan tetapi pangan mesti disediakan.

Raden Wijaya membuka persoalan kepada Lurah Bhayangkari dan putra putri Kartanegara  itu. Adu kecerdasan memang dalam banyak hal putri Gayatri sering berpendapat lebih  unggul. Kali ini dia hanya menggumam pada dirinya sendiri, sementara ada uang, mengapa penyarat glondong jati sepanjang pantai itu tidak diberi beban pekerjaan supaya enggan diajak perang oleh Bupati yang dipertuan Ranggalawe ?  Sementara umpama membuat perahu, dengan meminjam tangan para pandega dari Madura ? Memang untuk satu perahu dibutuhkan banyak orang untuk bekerja, misalnya memilih dan menebang kayu dari hutan, kemudian menyeretnya ke galangan perahu dipinggir pantai, mengolahnya untuk jadi papan lambung, gading perahu, lunas perahu, lantas membuat dempul pendeknya untuk satu perahu dengan ukuran lima ribu kati bisa membuat banyak orang terlibat untuk menerima upah. Empat puluh perahu cukup banyak untuk seluruh masyaraka nelayan ada kesibukan selama musim angin barat yang ganas.

        Putri Tribhuaneswari angkat bicara, bahwa Wilwatiktapura sebaiknya jadi kota merdeka, sipapapun boleh ikut membangun dan diberi hak untuk menyewa lahan yang mereka bangun, jumlah sewanya akan ditentukan oleh sidang para pemilik  lahan sewaan, untuk gudang dan tambatan perahu, mereka berhak ikut menentukan bersama harga sewanya. Uang sewa bisa untuk membayar pesukan Bhayangkari yang menjaga kota sekaligus mempetahankan kota dari serangan. Beaya untuk telik sandi dan pekerjaannya dipegang oleh pemilik kota Merdeka ini Raden Wijaya. Sehingga kelanjutan pembangunan kota, anggarannya bisa dialihkan ke pembuatan perahu perahu untuk pengamanan lalulinatas laut Jawa dan Maluku, terus ke Selat Malaka, sampai kerajaan Sulu dan selat Karimata, sampai perairan kepuluan Natuna dan di utaranya, menjaga pembajakan dari Mindanao  Terurtama sekitas pangkalan perompak lanun di Tumasik, perlu armada besar sekaligus, tdak bisa di cicil dari sedikit.

Untuk bangunan Pasar dan gudang ada pajak yang harus dibayar kepada memilik kota. Pembuatan bangunan lain dan gudang gudang mutu bangunaannya harus dirundingkan dengan putri Gayatri. Setelah keputusan ini ditanda tangani oleh Raden Wijaya, di umumkan keseluruh perwakilan Kabupaten Kabupaten dan dikirim keleseluruh Perdikan atau sima yang kaya, sebulan berikutnya Kabupaten Wiarasabha mengambil pekerjaan membangun Pasar, djalan dan hunian disekitarnya, Perdikan Mada pilih ngerjakan jalan dan pergudangan yang menuju kesana, jalan jalan ke permukiman, dengan harapan bisa menjual kayu jati olahan untuk bangunan dan perabotan, merasa bebas dari Kabupaten Rajegwesi, Kabupaten Kling membuat jalan pendek ke candi pemujaan bhatara Wishnu dengan bangun candinya untuk menempatkan Brahmana waisanawa sebagai Kepala Pemujaan disitu, dan masih banyak lagi, sehingga beban pengeluaran pembangunan kota menjadi sngat berkuarang , dan bisa untuk pesan perahu perahu kepada para pendega di Madura yang pembuatannya di pantai utara Tuban. Hanya pasukan Bhayangkari yang pekerjaannya tambah berat demi menjaga persaingan dantara mereka tidak meruncing, supaya merasa ikut mempunyai kota baru ini.

Benar juga perhitungan putri putri Kartanegara ini, maklum mereka sudah digembleng dalam perjuangan mati hidup selam berbula bulan dikejar kejar oleh pasukan telik sandi Jayakatwang, tetap tidak melupakan siapa sebenarnya yang membantu Raden kita ini. Ketika menghadap kepadanya beberapa tokoh dari Ampel Denta dan Sidayu untuk meramaikan kota baru ini, mohon agar bisa mendirikan perguruan ilmu dan Agama Islam di  Wilwatiktapura, Raden Wijaya tidak keberatan, megerti pendapat orang sufi dari Lebanon Ki Besari yang sudah jadi pencerah agama Islam di Ploso, dengan caranya sendiri yang mengerti semua agama, dan pencerahan ini menjadikan pendengarnya bahwa Islam merupakan petunjuk hyang Widi yang bisa difikir, dan masuk akal untuk melanjutkan petunjukNya.....dari sumber yang lain secara menentramkan, Risalah ini yang pernah diikuti raden Wijaya selama berbulan bulan, mengingat jasa Ampel Denta waktu  dikejar kejar sang Jayakatwang, mereka diajak melihat peta kota, dan memilih tempat dan luas tanah yang diperlukan, yang memang disediakan untuk asyram dan pendidikan, tanah diberikan gratis, disebelah barat kota, penggir kali Brantas, Gajah Mada mngetahui akan hal ini segera menyanggupi menyumbang kayu bangunan dan tenaga. Disertai sembah dan salam cara islam mereka pamit dan sangat puas, dengan Penguasa Kota Baru ini. Semua penghuni Wilwtiktapura yang ikut membangun keperluan umum kota tidak ditarik pajak apapun selama lima tahun.                                    

 Gudang gudang kelas satu pembangunannya dawasi sendiri oleh putri  Gayatri, dia tahu bahwa gudang yang baik harus kering, ada pertukaran hawa yang bagus, dan harus bisa menyimpan dengan ringkas namun yang pertama datang harus dimungkinkan untuk dikeluarkan dulu. Jadi pembuatan gudang dekat terusan kali Brantas ini letaknya tinggi, diatas rata rata banjir tertinggi setenga depa,  cukup dari tanah galian terusan yang dipadadatkan, seluruh tanah dibawah atap sebelum diperkeras dengan teliti dibersihkan dari kayu mati dan perakaran pohon yang tertinggal supaya tidak jadi makanan dan sarang rayap, diperkeras dengan batu dan dilapisi bubuk batu kapur sejengkal baru dilapisi pasir sungai Barantas dua jengkal dipadatkan atau depasang lantai dari gerabah, supaya tidak mudah terbakar dindingnya dibuat dari batu bata, yang derekat dengan abu gunung api gamping dan pasir. Pendeknya gudang yang baik bakal menjamin mutu barang yang disimpan didalamnya, dan pembuatannya lebih menuntut pengawasan dari membuat istana Raja. Di pinggir saluran buatan untuk tambatan dan berlalu lintas perahu, sebagian besar pengeluaran hanya untuk tujuan ini. Raden Wijaya begitu menuntutnya tentang pembuatan gudang ini kepada putri Gayatri, tidak peduli berapa beayanya, karena pengalamannya di Japan, dimana kerugian besar bila gudang penyimpanan bermutu rendah atau kebanjiran. Putri Gayatri langsung mengerti prinsip ini. Raden Wijaya pun sadar bahwa Wilwatikapura hasil karyanya akan menghidupi diri sendiri dari gudang gudangnya yang semua kelas satu, berdinding tembok dan beratap genteng dengan sudut yang menjamin tuntasnya air hujan, tahan lama meski kena hujan angin karena  ketebalannya, semua kayu bagian atas adalah jati, yang tidak dimakan rayap. Raden Wijaya tahu betul bahwa saat angin timur, saat datangnya perahu perahu pinisi dan lombo dari pulau pulau ditimur dan Luwu membawa rempah rempah dan pada saat angin barat saatnya perahu perahu besar dari Atas Angin,  China, dan Campa datang menukarkan dagangannya dengan rempah rempah wilayah timur. Jadi terusan dan gudang gudang ini lebih penting dari Istana sekalipun.   Putri Gayatri tahu betul dari petunjuk Raden Wijaya bahwa berat kaki tembok yang tependam dalam tanah harus lebih besar dari berat dari tembok dan atap bangunan apapun, dan dia sangat teliti dengan ketentuan ini.  Putri Gayatri punya mainan dadu besar besar semua dari bahan bahan bangunan berukuran lima jari setiap rusuk, digosok halus dan rata, untuk membuat perbandingan berat semua bahan bagunan, sehingga semua bagian bangunan baratnya bisa diperbandingkan dengan mengukur jumlah isinya. Dia mendapat pengetahuan ini dari Raden Wijaya dan Raden Wijaya mendapatkan dari Empu Bismasadhana, bagaimana menghitung isi satu benda berukuran tertentu.

Pokoknya Wilwatiktapura akan hidup dari gudang gudangnya. Kunci dari upaya ini semua adalah keamanan pelayaran ke Sokadana dan Maluku. Itulah gunanya perahu parahu yang dipesan dari para pandega dari Madura, sayangnya perahu perahu itu tidak mempunyai senjata yang mirip dengan jung perang dari Mongol, meriam meriam perunggu, karena terlalu berat. Raden Wijaya hanya bisa mengandalkan panah gajah yang harus ditembakkan dari busur yang panjang, sulit untuk digabungkan dengan keadaan diatas perahu. sampai di puncak pemikirannya hanya bisa menggambarkan kemungkinan untuk membuat kajang ( atap perahu) yang bisa diubah menjadi papan tembak panah gajah. Itupun dengan jumlah yang sangat terbatas karena panjang perahu juga terbatas. Kecuali itu penembakan panah panah gajah akan sering terganggu dengan keadaan layar, maka perlu ada latihan yang rumit untuk setiap anak buah perahu perang untuk menggunakan panah gajah dengan arah yang dikehendaki. Latihan ini di kerjakan di Gili Raja. Akan terjadi olah gerak yang rumit untuk menembakkan panah gajah kearah angin bertiup karena posisi layar akan menutupi sasaran. Jadi layar harus extra besar, atau ada satu lagi di cerocok haluan perahu, untuk mendapatkan posisis diatas angin dari lawan, baru mengadakan olah gerak perahu untuk mengarahkan panah gajah. Akan tetapi kemahiran olah gerak dan ketekunan perahu parahu Madura ini meronda perairan antara Pulau Jawa dan Sokadana pada waktu musim timur sudah mengurangi banyak ulah para bajak laut dari Sampang dan dari Pulau Laut, membuat gudang gudang di Wilwatiktapura berisi, barang dagangan yang dihasilkan dari hutan hutan di Sokadana, misalnya getah jelutung, getah damar, kayu garu, bekasam ikan, dendeng ikan gabus kering dsb yang disimpan di gudang gudang ini dengan baik untuk menunggu angin barat, kapan prahu perahu dari Atas Angin menukar dagangannya.

Raden Wijaya masih ingat seorang pangeran dari Blega, yang keahliannya memelihara merpati pos.dan kuda, untuk di undang ke Wilwatiktapura, sosok pangeran Madura ini diberi perkerjaan penting membantu Lurah Bhayangkari menyelengarakan kandang kandang merpati di Wilwatiktapura, Kadiri, Gili Raja dan Sumenep. Diperkenalkan dengan para Pengajar dari Ampel Denta, yang sudah memlihara merpati merpati ini di Wlwatiktapura, udangan ini disambut dengan gembira oleh sang Pangeran yang kegemarannya direndahkan oleh sidang pagelaran kepandaian di Singhasari, pada Pemerintahan Mahaprabhu Kartanegara, kini dia mendapat kedudukan disamping Lurah Bhayangkari., Berhubung Wilwatiktapura bukan kerajaan, tapi dia mendadapat gaji yang sangat bagus dengan uang mas, disamping mempunyai tetangga yang sama kesenangannya memelihara merpati pos, para Kiai dari agama Islam Ampel Denta, yang juga membangun asyram di Wilwatiktapura.

Raden Wijaya terpaksa menyewakan sebagian dari gudangnya ke pedangang Bugis dari Sulawasi, dengan harga separoh, karena hanya pedagang Bugis dengan perahu pinisinya yang mampu berlayar di laut timur yang penuh dengan pembajak dan perompak sehingga sangat menggangu pengadaan barang yang sangat menguntungkan, rempah rempah dari timur yang sangat dinantikan oleh pedagang dari Atas Angin dan dari China. Bagusnya gudang gudang Reden Wijaya dilengkapi dengan halaman berlantai gerabah segi enam yan miring ke terusan, baik sekali untuk menjemur pala dan fuli yang dari sananya masih setengah basah, belum mencapai kekeringan yang sulit menghisap air kembali, jadi sesempai di Wilwatiktapura harus dijemur beberapa lama, hingga kering betul  tidak mudah jadi lembab dan berjamur. 

Setelah lima tahun Raden Wijaya sekeluarga beserta lurah Bhayangkarinya, mengelola kota merdeka Wilwatiktapura, bukan sebagai apa apa melainkan pemilik Kota Bandar, Raden Wijaya mendapat kesimpulan bahwa perahu rondanya harus mampu mengangkut meriam china dari perunggu yang sangat berat, konstruksi perahu perang Madura tidak mampu untuk itu, kasulitan ini juga dialami oleh semua Laksamana dari seluruh sudut tempat bangsa bangsa yang melayarkan perahu. Palayaran untuk berdagang menjadi mahal oleh beaya upaya pengamanan dari perompak  laut. Dan kota merdeka Wilwatiktapura pemasukan dari gudang dan perdagangan sendiri, pajak perdagangan yang dibayar oleh pedagang, hanya pas pasan dengan upaya kota untuk mempertahankan keamanannya. 

 Para Bupati disekitar Wilwatiktapura sudah bosan dengan upaya mencaplok kota ini karena dengan  adanya sosok yang menguasai kota ini sebagai pelindung pedagangan, barang dagangan makin meluas dan lancar, seperti kerajinan emas dari Bangil, karajinan kuningan dari Wirasabha, tikar lampit dari Trung, tenun dari Tuban hasil kerajinan kulit dari Kling dapat dipertukarkan dengan mudah dan adil disana, dengan banyak macambarang yang menarik dari manca negara.  

Tahun ketujuh semenjak Kota Tiban Wilwatiktapura berdiri, para Bupati Seluruh bhumi Mpu Sindok, sepakat untuk menjadikan Raden Wijaya menjadi Raja perserikatan Bupati Bupati, yang berkedudukan Di Wilwatiktapura, oleh mereka disebut Kerajaan Majapahit, dan kerajaan Majapahit ini tidak pernah menuntut apa apa dari mereka, masuk dalam perserikatan itu termasuk Kabupaten Tuban.

Tuntutan Arya Ranggalawe untuk menjadi Rakryan I Hino, tepap ditolak dengan kasar oleh Kebo Anabrang, Bupati Tumapel, akhirnya mereka perang tanding di Tambak Beras dan Ranggalawe terbunuh disitu. Anehnya Kerajaan Baru ini tidak punya Rakryan Mapatih, dan Gajah Mada tetap jadi Lurah Bhayakngkari dari Pabhu Kertarajasa Jayawardhana.

Raden Wijaya tetap berkutat untuk memperbaiki keunggulan olah gerak perahu Madura dengan Lurah Bhayangkari Gajah Mada, akan tetapi tidak ada jalan keluar yang baik untuk menggabungkan nya dengan panah meskipun sudah dipasang dihaluan didepan tiang layar,   Ketiga putri Mahaprabhu Kartanegara akhirnya diperistri oleh Prabhunata Kartarajasa Jayanegara.*)

 

 

                  


jam 6 30 . MATAHARI TERBIT  DI WILWATIKTAPURA

 

MAHAPRABHU KERTARAJASA JAYAWARDHANA RAJA PERTAMA DI

WILWATIKTAPURA, HARUS MENGHIDUPI IBU KOTANYA SENDIRI

 

Tidak ada perubahan yang berarti, bahwa Raden Wijaya sebagai pengelola Wilwatiktapura ataupun sebagai Raja Majapahit dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana, tetap belum punya Mahamantri, beliau tidak punya Mahapatih hanya lurah Bahayangkari dan ke empat istrinya yang semua pekerja keras.

Salah satu dari ipar Raden Wijaya diberikan kekuasaan di Kadiri, menyediakan pasukan yang ditempatkan di Brangkal dekat Wirasabha, Keempat putri Prabhu Kartanegara sudah diperistri oleh Raden Wijaya yang menyebabkan para Bupati di bhumi Mpu Sindok agak kecewa, tidak ada jalan mudah lagi untuk mendekati tahta Wilwatiktapura, tapi mereka tidak berani protes mengenai pernikahan ini. Ketika Raden Wijaya diangkat sebagai Raja Majapahit oleh para Bupati,  kena imbas berkah  pengaruh kota perdagangan Wilwatiktapura, hanya Kabupaten Tuban Adipati Ranggalawe yang mengajukan syarat untuk diangkat jadi Mahamantri ri Hino, artinya Ketua Keluarga besar, wangsa Girindra, yang berhak menunjuk pengganti Raja, itupun sudah ditolak dengan ejekan oleh Kebo Anabrang yang menyebabkan perkelahian satu lawan satu dan Adipati Ranggalawe terbunuh. Keluarga sang Adipati Tuban dipindah ke Wilwatiktapura mendiami salah satu bagian dari Kedathon Wilwatiktapura yang besar. Sedangkan di Tuban kekuasaan diserahkan pada adik ipar Raden Wijaya yang satu lagi, untuk menjamin kayu jati bagi galangan perahu Madura disana,  artinya Majapahit tidak perlu membayar harga kayu jati dari hutan hutan Tuban. Para perjaka lancing dari keluarga Ranggalawe di serahkan pada Mpu Mada untuk dididik,  mestinya di Gili Raja Pamekasan. Akhirnya mereka bertiga jadi laksamana yang handal dari Armada Majapahit. Kebo Anabrang menunggu kesempatan besarnya putra Raden Wijaya, sang Kalagemet, karena dia adalah abdi pengasuh dari putra Tribuaneswari, yang kurang dapat perhatian dari bapak ibunya, jadi pemuda berandalan. Kartarajasa Jayawardhana wafat sesudah memiliki kota merdeka Wilwatiktapura selama duabelas tahun, Raja atau bukan Raja, Sebelum wafatnya Kertarajasa Jayawardana memberikan kekuasaan bang wetan ( Bhumi Timur) termasuk Lamajang dikuasai oleh Putra Aria Wiraraja, Sang Wraha Nambi. Di bang wetan semua Kabupatennya  merupakan Kerajaan kecil yang didukung  oleh  para petani, yang hanya senggang setelah panen, mengabdi sebagai prajurit. Sedang zaman menandai Kejayaan satu Negara didapat dari perdangan.  Begitulah falsafah Raden Wijaya sebelum wafat.

Kalagemet menjadi raja baru meningkat dewasa, kekuasaan sebanarnya ditangan putri Gayatri, dengan Ibu Suri  Tribhuaneswari dan Gajah Mada Lurah Bhayangkari. Sosok sosok yang sangat tahu bagaimana susahnya mencari uang, bukan saja dari pajak tapi memberi peluang kerja kepada yang jujur dan mampu, baru dapat bagiannya. Itulah falsafah hidup Raden Wijaya. Sayang putra Arya Wiraraja ini  tidak mewarisi kecerdikan dan kamampuan diplomatik seperti ayahnya, hanya terdidik sebagai putra pangeran yang gemar berburu, menunggang kuda dan memanah, berkawan dengan sesama pemburu yang gemar mengembara di hutan hutan, pada suatu ketika dia menemukan rombongan kuda beban yang banyak, kebih dari enampuluh kuda beban, masing masing mengangkut kantung kantung yang berisi pasir besi, yang akan dibawa ke Probolinggo dan Kling, untuk undagi Yap mencoba mencetak laras meriam kecil dari besi tuang  yang diprakarsai oleh lurah bayangkari Gajah Mada, sebagai kelanjutan dari cita cita Raden Wijaya selama hidupnya.  Rombongan ditahan di Kabupaten Lamajang.  Berita merpati pos segera dilayangkan oleh kepala rombongan, diterima oleh lurah Bhayangkari  lima hari kmudian dari sarang merpati pos di Japan, rupanya khabar ini disampaikan dengan merpati pos berantai, dari Luamjang ke Probolinggo dan dari Probolinggo ke Japan kemudian baru ke Wilwatiktapura, dan gajah Mada segera berunding dengan Ibu Suri. Surat dari Lumajang masih dinanti satu minggu kemudian, berisi peringatan bahwa apapun yang dibawa keluar dari Negara bang wetan harus minta izin dari Mahaprabhu kerajaan Majapahit bang wetan, Mahaprabhu Wraha Nambi, bergelar Dewarajasasinghanambi. yang ditabalkan dengan upacara di Pura gunung Mahameru dipimpin oleh Rsi dari  Dharmasraya. Surat disampaikan kepada pengganti Raden Wijaya, sang Kalagemet Raja baru bang kulon yang bergelar Sri Jayawardhana. Hanya soal pasir besi dipantai Pasirian yang beberapa ratus kati dangkut denga kuda lebih kurang enampuluh ekor.

Segera ibu Suri mengatakan hal yang sebenarnya mengenai pasir besi yang sangat perlu untuk percobaan mencetak meriam besi yang bisa mempersenjatai perahu Madura apabila bisa dicetak, juga disampaikan rahasia sang ayah mengenai obat misiu yang sedang digarap di Wirasabha sudah lama, juga obat petasan. Raja muda usia ini, naik pitam dan atas prakarsanya sendiri akan berangkat sendiri dengan pasukannya dari Kadiri, semula Ibu Suri dan bibi bibinya sebagai penasihat raja, tidak mengizinkan,  memilih jalan lunak sebab peperangan tidak ada perlunya.  

Memberi pelajaran kepada keturunan sahabat ayahandanya yang tak kenal persahabatan ini, toh Majapahit tidak memerlukan  wilayah pertanian, malainkan keamanan perdagangan. Dua anak muda yang lepas kendali, memang Sang Mahaprabhu Muda Jayanegara haus akan identitas diri, dan pasukan Kadiri tidak dibawah Pemerintahan Majapahit, melainkan dibawah Bhupati Kadiri.  Kedua pemuda bekas brandalan ini tidak mewarisi kesantunan diplomasi orang tuanya masing masing, malah lebih suka saling bermusuhan dengan pasukan yang berhadap hadapan. Semua tahu bahwa perang adalah permulaan yang buruk. Pasukan bang kulon dipimpin sendiri oleh Sri Jayanegara lewat lereng selatan Gunung Mahameru,  tanpa bisa dihalang halangi oleh para sesepuh Majapahit. Lewat jalan rintisan para pemeluk agama Hindu menuju lereng Timur Gunung Mahameru, sebagai gunung suci. Satu bulan pasukan bang kulon sudah sampai, Kebetulan Lamajang adalah kota berbenteng  Sadeng, kota berbentang kecil sebab memang jumlah penduduknya sedikit,  penghuni kota benteng atau desa desa sekitar kota juga sedikit, kecuali ditimur sampai ke Jember. Benteng berdinding tanah balok batu  dan batu bata ini oleh bala tentara Kadiri kota dikepung, dihujani panah gajah  berapi dengan api nafta yang sulit dipadamkan. Percuma kota kecil itu dipagari tembok benteng, wong rumah dan istana beratap alang alang dan ijuk yang mudah terbakar, berjarak kurang jauh dari tembok. Prabhu muda Dewarajasasinghanambi akhirnya merasa kewalahan  sang Prabhu  Dewarajasasinghanambi  dan pasukannya di pimpin oleh pasukan berkuda keluar dari pintu benteng Sadeng, untuk disambut dengan tombak tombak berkait warisan dari tentara Mongol, Sang Prabhu Wraha Nambi terbunuh dalam pertempuran itu. Meninggalkan dendam dari teman temannya, yang masih di Wilwatikapura.

Majapahit disatukan lagi oleh Raja kedua, Prabhu Jayanegara, Kebo Anabrang dijadikan Bhupati Lamajang. Percobaan mengecor laras meriam kecil dari besi tuang berlanjut.

. Belum lama agak tenang di Ibu Kota, mendadak ada berita bahwa sang Mahaprabhu muda Sri Jayanegara dibunuh oleh tabibnya sendiri Ra Tanca. Semua komplotan yang membalaskan dendam Wraha Nambi digulung oleh Lurah Bayangkari Gajah Mada, karena sudah ditandai sebelumnya, hanya Ra Tanca yang lolos dari catatan, dan dihukum berat. Termasuk Ra Kalabang Kuti yang sangat ditakuti, karena dia ahli ilmu mangiwa.

Ibu suri Tribhuaneswari  jatuh sakit berat dan putri Gayatri menjadi bhiksuni dan Tahta digantikan oleh putri anak dari Putri Gayatri, bergelar Rajaputri  Tribhuanatunggadewi. Beliau  ini tahu tugas Gajah Mada terhadap kotanya dan cita cita kakeknya Raden Wijaya. Oleh dukungan sang Rajaputri ini percobaan mencetak laras meriam kecil yang namanya kalantaka ini berhasil di dua tempat Kling  (sekaramg Nganjuk)  dan Probolinggo  Dimana ada beberapa bulan kemarau dengan angin besar. imtuk membantu ububan tungku peleburan. Pencetakan besi berjalan dua tahap, yang pertama mencairkan pasir besi dicampur buun  batu kawi dengan batubara berlapi lapis dengan kapur dan pasir besi, setelah lelehan capuran pasir mendingin dikumpulkan dan setelah di jadikan bahan semacam pasir halus, dicapur dengan bubuk batu bara dan sedikit bubuk batu kawi sekali kagi dilelehkan dengan cara yang sama..... maka  tercetak kalantaka sepanjang tiga hasta. Setelah dihaluskan lubang larasnya dan permukaannuya, dalam pemeriksaan dipukul pukul seluruh permukaan kalantak ini tidak ada tanda keropos mapun pecah rambut,,,,, pencetakan kalantaka  berhasil sempurna.

Maka sang Manggala Yuda Gajah Mada sudah mersa bhwa “matahari telah terbit di Wilwartiktapura”, neskipun dia sangat bersyukur tapi sangat disayangkan bahwa junjungannya yang mengahabiskan waktu untuk memperoleh daya guna perahu perang, memnfaatkan sifat perahu perang model Madura sudah pasti didapat, dengan menggabungkan olah gerak armada yang lincah dan ketepatan tembakan salvo kalantaka.

Akhirnya  perahu model Madura mendapatkan pasangannya yang ditunggu tunggu oleh Raden Wijaya. Empat puluh laras meriam dicetak tanpa cacat dihaluskan larasnya. Dihaluskan bagian  dalamnya  dan dibagian luar, dipasang dudukan dengan empat roda kayu walau kecil tapi tebal, setiap perahu perang dipersenjatai dengan dua laras kalantaka ini, dan dua cadangan, untuk diisi mesiu dan peluru bergantian.

Waktu dicoba di medan percobaan setelah mendapat pengalaman, sasaran tembak tetap dan sasaran tembak bergerak, perahu ber olah gerak dengan kemudi, maka ternyata benar bahwa penembakan sasaran tidak menganggu kedudukan yang seharusnya  dari  layar agung, maupun layar tambahan, karena letaknya dihaluan didepan  tiang pengikat layar, cukup untuk dua kalantaka. Dengan sangat berhasilnya laksamana Wreha Nala di laut Arafura, menhancurkan gerombolan perahu perang kora kora dengan ratusan pendayung, yang tujuan satu satunya adalah menabrak dan membanjiri lawan dengan pasukan berkelewang dan perisai kayu,  jarang perahu pinisi yang diawaki oleh pelaut Bugis,  bisa lolos dari siasat ini.

Adanya ronda perahu perahu Madura yangbersenjata kalantaka di laut Banda dan laut Saparua, wilayah timur dapat mengirim rempah rempah dengan leluasa ke gudang gudang Majapahit, dengan sendirinya pedapatan dari gudang gudang meningkat secara keseluruhan, malah Kerajaan Kota Wilwatiktapura dapat membeli sendiri rempah rempah dari sana, berbagi dengan perahu perahu pinisi bugis yang ada. Mpu Mada malah tidak mengusulkan pada junjungannya untuk menaikkan sewa gudang untuk perahu pinisi Bugis yang membawa rempah rempah, sebab dilaut tidak perlu ada permusuhan apapun, karena taufan dan cuaca jelek tidak kenal kawan dan lawan. Orang Bugis sangat menghormati sikap ini. Malah galangan kapal di sepanjang bengawan Solo dan Tuban mendapatkan pesanan perahu pinisi banyak dan besar besar dari kerajaan Luwu yang kaya mendadak karena menemukan  tambang emas. Bagaimanapun kayu jati masih ditangan Wilwatiktapura, kecuali di utara gunung Muria, melulu untuk galangan jung cina dari kota galangan jung terbesar di Asia tenggara, Sanpaolung.(Semarang).  Yang ini pasukan laut Wilwatikta belum menyentuh. Kayu jati di lereng gunung Muria jadi penghasilan Kerajaan Islam di Demak kemudian hari.(*)   

                                                                

 



                                                                

 MATAHARI TERBIT DI WILWTIKTAPURA

 

TERNYATA LURAH BHAYANGKARI WILWATIKTAPURA ADALAH PENDEKAR BERILMU TINGGI ALIRAN BUTONG (Wu-Dang)

 

Sisi yang tak pernah dicurigai oleh ahli sejarah sekarang adalah kapasitas Lurah Bhayangkari Wilwatiktapura, Mpu Gajah Mada adalah pendekar silat klas tinggi dari aliran Butong.Pamuda GAjAH Gombak dad ideas MADA, BEGURU ADA SEORANG KAKEK TUA KAKEK BANGKONG FAMG SELALU BAI HATI KEPADA SING PEMUDA GOMBAK, MERMUKIN DI TEPI BENGAWAN SOLO DESA WIDANG – SANATG MRP DENGAN KATA WU DANG ATAU BU TONG.

Meskipun perawakannya gempal, Mpu Mada bisa bergerak sangat gesit, badannya bisa lunak seperti kapas dan bisa kaku seperti besi lonjoran. Kepandaiannya meloncat dengan enteng sulit mendapat tandingan di jamannya. 

Kepandaian beliau ini dapat ujian dikala menelanjangi komplotan yang  membalas dendam dari sahabat Prabhunata Dewarajasasinghanambi, Raja Mjapahit bang Wetan dengan Kota Raja Sadeng sekitat Lumajang sekarang. 

Mpu Mada ingat Kakek Bangkong Gurunya pernah berkata, bahwa jalan raya terbentang panjang dan lebar di nusa Jawa ini bagi orang berkenpandaian tinggi, yaitu lewat pokok pokok kelapa dari pelepah ke pelepah tanpa patah, ternjata pelepah pelepah nyiur ini cukup kuat, tanpa kuwatir jatuh, bila di negeri China rumpun bamboo di Jawa berupa pokok kelapa, maka pemuda Gajah Gombak mulai berlatih meloncat dari pokok kelapa satu ke pokok ke pokok yang lain zigzag dengan berbagai posisisi, 

Pemuda tanggung Gajah Gombak melihat kelakuan daun daun kelapa saat ada angin besar, jarang yang patah, melainkan meliuk liuk, jadi dengan ilmunya meringankan tubuh meggunakan tenaga dalam, pelepah pelepah kelapa ini layaknya dipemainkan angin prahara  saja. 

Latihan ini dipertegas oleh sang Guru, karena seorang Pendekar harus bisa bergerak cepat tanpa diketahui orang. 

Akkhirnya pemuda Gajah Gombak mengetahui sifat pokok dan dauh kelapa bila kena angin basar tidak pernah patah dan dia meloncat dari pucuk ke pucuk pohon kelapa tidan pernah mematahkan tangkai daunnya.

Pada suatu malam yang sangat gerah, Mpu Lurah Bhayangkari ini tidak bisa tidur, dan ingat latihannya waktu masih muda, dia mencoba melompat bertengger pada pelepah daun kelapa, ya, karena selama dua belas tahun pemerintahan Raden Wijaya ditambah dengan dua tahun tahta Majapahit diduduki pewarisnya Kalagemet , pohon kelapa disana rata rata umurnya kurang dari dua belas tahun, banyak yang sudah berbuah berjenis kelapa puyuh dan yang berjenis kelapa dalan belum berbuah, 

Disekitar huniannya, dekat dengan wantilan Agung,  pohon kelapa puyuh ditanam sepanjang pagar, ternyata benar, pokok kelapa merupakan jalan raya daun daun  kelapa berada sambung menyambung tanpa mengenal batas rumah maupun kampong, bisa dilompati dengan mudah, seolah olah jadi jalan pribadi untuk mereka yang berkepandaian. 

Mpu Lurah Bhayangkari mendapat laporan bahwa ditimur kota, berdampingan dengan kampong yang dihuni  mereka yang datang dari wilayah Sengguruh ( sekarang Malang) sering didatangi tamu misterius yang datang pada pagi dan siang hari, sesudah itu tidak pernah kelihatan keluar lagi. 

Kebetulan di muara jalan kampong yang bersih tetapi tidak lebar ini ada seorang berjualan ronde (minuman hangat dengan jahe dan santan) pada sore dan malam hari, bila siang mulai pagi pagi warung kecil ini berjualan bubur Madura, Suami istri yang berjualan ini adalah pembantu telik sandi yang memang ditempatkan disana oleh bawahan Mpu Mada. 

Karena Sengguruh menjadi pusatnya kaum Bhairawa dan Mpu Mada ingin tahu seberapa besar bahaya pengaruh kegiatan mereka ini terhadap keamanan dan ketenteraman Wilwatiktapura. 

Ternyata barisan pohon kelapa bisa menghubungkan tempat dia berdiri tenang diatas pelepah kelapa dengan garis lurus menuju ke kampong orang Sengguruh. 

Sekali enjot pelepah kelapa yang menjadi tumpuan dia berdiri dia melompat ke pokok kelapa lain di arah tenggara kira kira sepuluh depa, terus ke pelepah pokok kelapa berikutnya sambung menyambung, ternyata dia belum lupa bagaimana melompat lompat diantara dedaunan dan pelepah kelapa, kadang perlu menjusup rendah kadang harus dihinggapi dari atas sambil berjumpalian, menambah kegenbiraan sang Mpu Bhayangkari. Ternyata kampung orang Sengguruh tidak besar, sepetak yang dikelilingi jalan raya masih bercampur dengan orang Banyuwangi, sebagian jadi tegalan karena masih kosong. Di halaman kosong ini warung minuman hangat ronde berada. 

Karena sudah lewat tengah malam, warung ronde ini sudah tutup, dan berada dibawah pokok kelapa dimana Luran Bayangkari berada dua kakinya memijak pelepah yang masih muda masih tumbuh menuju ke atas layaknya berdiri diantara mata gunting. 

Sambil memnfaatkan dedaunan untuk menyamarkannya dari  mata orang, karena pokok kelapa disitu tidak tinggi hanya lebih kurang empat lima depa, tetapi berdaun lebat. 

Mendadak ada dua sosok berpakaian ringkas, memakai ikat kepala kain hitam, meloncat dari rumah Kelabang Kuti ke dahan atas pohon kenanga besar, rupanya pohon peninggalan hutan yang sengaja tidak ditebang, trus melesat ke barat lewat atas pepohonan, tiga depa diatas sang Mpu bertengger diatas dededaunan kelapa yang tegak keatas.

Mpu Bhayangkari segera menjejakkan salah satu kakinya ke pelepah kelapa yang diinjaknya, sementara pelepah itu mengayun kembali ke asalnya sang Mpu Bhayangkari sudah lenyap kebarat mengejar dua orang berilmu tinggi yang mencurigakan itu. Dari Ranting pepohonan yang masih bergerak aneh Mpu Bhayangkari tahu persis jejak para pejalan malam yang mencurigakan ini. Ternyata dua pejalan malam itu lenyap di antara rimbunan rumpun bambo kuning yang tumbuh di dalam halaman rumah Ra Tanca, tabib kepercayaan sang Kalagemet yang kini adalah Mahaprabhu Jayanegara. 

Kejadian itu tepat tiga hari sesudah Lumajang jatuh dan raja Prabhunata Dewarajasasinghanambi gugur dalam peperangan dalam upaya menembus kepungan pasukan dari Kadiri, yang dipimpin langsung oleh Sang Mahaprabu Jayanegara. Merpati pos belum datang dari pasukan penyerbu ini ke Majapahit, jadi seluruh Wilwatiktapura belum mengerti akan kemenangan Rajanya, termasuk Mpu Mada. 

Mpu Lurah Bhayangkari merenung di kesunyian dedaunan pokok kelapa, ada hubungan apa gerangan antara Kelabang Kuti dan Ra Tanca, sehingga Kelabang Kuti sampai mengutus dua orang berilmu tinggi ini mengunjungi secara rahasia di kegelapan malam ? 

Orang yang terkemuka dikalangan  pergaulan Petinggi Narapraja Majapahit, tabib pribadi Mahaprabhu Jayanrgara, yang bisa keluar masuk peradauan Mahaprabhu yang masih bujangan ini Sang Mpu Bhayangkari memutuskan untuk balik pulang ke Istananya, dekat Wantilan Agung secepat angin puyuh hanya menyisakan dedaunan kelapa yang dilewatinya kembali ke bentuk semula. 

Setelah membersihkan diri dengan air hangat yang berasal dari tempayan besar yang diletakkan diatas api tumang  untuk memanaskannya siang malam, supaya sang Mahapatih pergunakan setiap waktu dengan mengalirkannya ke kulah pemandian yang terbuat dari batu pualam hadiah Kaisar Tiongkok, sebagai balasan dari kiriman hadiah kayu cendana kayu gaharu yang di China sangat dihargai tinggi. Mpu Mada mengeringkan dirinya mengeringkan rambutnyayang sudah mulai beruban, mengenakan jubah kebrahmanan dan langsung masuk Sanggar Pemujaan, 

Sebagaimana kebiasaan kaum Brahmana. Dalam benaknya masih terlekat pikiran ada hubungan apa antara tokoh yang meragukan seperti Kalabang Kuti dengan Ra Tanca, seorang Tabib terhormat di Wilwatiktapura, berkat kedekatannya dengan Sribaginda Jayawardhana, sebagai tabib pribadi Raja.

Dalam Samadhi sayup sayub Nampak peta pulau Madura, segera sang empu menyudahi samadhinya, memuja para Pitri, dan berangkat ke peraduannya sudah hampir pagi.

Kebetulan hari itu hari Anggoro Kliwon, hari penghadapan tebatas, Mahaprabhu Jayawardhana dengan Penasihatnya Ibu Suri  Tribhuaneswari, putri Narendraduhita, Jayendra, Gayatri, dan Lurah Bhayangkari mpu Mada. Senyampang tidak dihadiri oleh Sang Mahabrabhu Jayanegara karena masih memimpin penyerbuan ke Lamajang. Sayangnya tidak dihadiri oleh dua adik lelaki empat bersaudari ini, seolah olah olah mereka lagi bercengkerma perkumpul para pendiri Majapahit, yang  sudah berkurang satu Raden Wijaya. 

Di pertemuan istimewa itu Mpu Mada sebagai   Lurah Bhayangkari Kerajaan menceriterakan sambil merenung, ada hubungangan apa antara tokoh hitam Kelabang Kuti dengan Ra Tanca, orang dekat putra mereka sang Kalagemet. Mendadak Putri Gayatri seperti biasanya menghubungkan naman Ra Tanca dengan Lora Tanca, artinya panggilan Ra adalah singkatan dari Lora, bokan singkatan dari rahadyan., panggilan kehormatan orang Madura pada Pemimpinnya, Apa Ra Tanca orang Madura ?. Selanjutnya sang Putri Gayatri mengingatkan saudari saudarinya bahwa sewaktu lari dari Pakuwon Puwosari, ada dua emban yang ikut, salah satunya diperisteri oleh Prajurit penamping Raja yang sudah meninggal. Dia sering mendengarkan gossip dari para emban dan wanita Kedhaton Sumenep, barangkali ada hubungan dengan Lora Tanca, maka perlu untuk Mpu Mada mampir ke Kaputren menemui emban itu, menanyakan hal ihwal mengenai Ra Tanca, secara smbil lalu diatara canda, agar tidak mencurigakan.

Betapa terkejutnya Lurah Bhayangkari dan putri Gayatri, Si Emban yang setia ini langsung saja menceriterakan bahwa menurut gunjingan rahasia para wanita istana Sumenep, Rahadyan Wraha Nambi adalah putra Ra Tanca, yang diambil oleh Permaisuri Aria Wiraraja semenjak bayi kerena sang putri tidak punya anak laki laki,  sedangkan Lora Tanca adalah sepupu dari ibu lain dari istri  Aria Wiraraja yang pertama. 

Mendengar uraian yang didengar oleh  Putri Gayatri dan Lurah Bhayangkari, menutupi pengetahuan mengejutkan ini dengan canda seadanya kepada si Emban Tua ini, dan mereka berdua segera meniggalkan emperan dapur istana. Lurah Bhayangkari merasa menelan duri di tenggorokannya dan putri Gayatri tidak bisa berucap sampai beberapa saat. Ada  kesulitan besar menjaga keselamatan Prabhunata Jayawardhana untuk memisahkan baliau dari tabib pribadinya. 

Hal ini perlu segera dilakukan sebelum Sang Mahaprabhu pulang dari pernyerbuan ke Lamajang dengan berhasil atau tidak, kok sampai terlanjur memerangi putra Ra Tanca. Mahaprabhu Jayanegara ada dalam bahaya besar, tanpa putri Gayatri mampu memberi tahu kakaknya Ibu Kandung dari Kalagemet. 

Keadaan saling hubungan dianatara Pelindung Kerajaan Lingkaran dalam Kedaton Majapahit , sangat tegang, dalam usahanya menjauhkan Mahaprabhu Jayanegara dari tabib Pribadinya, Ra Tanca. Atas perintah Tetua Kerajaan, Ibu Suri, dan tiga saudarinya, Ra Tanca diutus mengobati Ibu Bupati Wrasaba yang mendadak tidak bisa bicara dan tangan kakinya  lumpuh, beliau sahabat kental mereka. Tidak perlu tergesa gesa pulang ke Wilwatiktapura sebelum si sakit menunjukkan kemajuan. 

Tiga hari setelah Ra Tanca berangkat ke Wirasabha, baru ada kabar dari merpati pos yang dibawa pasukan Kadiri Bang Kulon ada empat puluh ekor dikirim ke Kadiri, dari Kadiri segera lain kelompok burung merpati pos dikirim ke Wilwatiktapura yang bisa mencapaWilwatiktapura hanya lima, satu diantarnya luka parah akibat serangan burung pemangsa, dapat diduga sepanjang jalan dari Lamajang ke Kadiri disambung dengan lain sarang merpati pos ke Wilwatiktapura lewat pegunungan dan hutan rimba yang penuh dengan burung pemangsa, jadi sudah untung bahwa lima burung dengan pesan yang sama  bisa kembali, bahwa Lamajang jatuh dan Rajanya gugur dalam pertempuran. 

Belum sampai ada upaya yang tepat untuk memisahkan Baginda dari Ra Tanca, sang Tabib pulang ke Wilwatiktapura dengan diam diam. Hari itu juga melakukan pembunuhan terhadap Mahaprabhu Jayanegara. Ra Tanca menyerahkan diri kepada Bhayangkari yang menjaga Raja, kabar Raja dibunuh segera dilaporkan kepada Ibu Suri, oleh Lurah Bhayangkari, dalam detik itu seluruh Kerajaan telah tau bahwa Mahaprbhu Jayanegara telah dibunuh oleh Ra Tanca tabib pribadhi belau. Ibu Suri Tribuaniswari, jatuh sakit berat disertai pingsan selam dua hari. Putri Gayatri masuk ke Biara jadi Bhiksuni. Tahta diberikan kepada Putri sulung  Gayatri yang bergelar Prabhustri Teribhuanatunggadewi. 

Dialah yang mengangkat Mpu Gajah Mada menjadi Mahamantri, Cajah  mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal “Sumpah Palapa” untuk mengobati luka bathin yang dalam, dan menyalahkan diri sendiri, bahwa seorang yang berjiwa Brahmana seperti dia, sebenarnya  tidak cocok untuk jadi lurah Bhayangkari. Karena berdasarkan keterangan yang belum dicocokan dengan pemeriksaan terhadap si tersangka sendiri, orang tidak bisa dihukum berdasarkan keterangan orang lain, tanpa pengakuan sendiri dari si tersangka dari hasil pemeriksaan. Mpu Mada sangat menyesal kanapa tidak segera mengambil tindakan yang keras misalnya penahanan, atau membunuh diam diam  Lora Tanca, berdasarkan keterangang Emban Tua dari Purwosari itu, bahwa dia adalah Bapak yang sebenarnya dari Wraha Nambi, bukan Sang Aria Wiraraja. 

Ini demi keamanan Sang Raja. Nasi sudah menjadi bubur, Keluarga Wijaya menderita dukacita hebat, tapi Wilwatiktapura sudah menjadi Negara besar, menjamin ketertiban dan nafkah seluruh wilayahnya yang sangat besar dan berpenduduk sangat banyak, Wangsa Kartarajasa harus mempertahankan tahta agar Negara tidak mengalami kekacauan. 

Mpu Mada merasa harusmenjalankan kewajibannya untuk mempertahankan Negara ini, maka “Sumpah Palapa” diucapkan: Isun  hamukti palapa….. amun huwus kalah ring Nusantara………….*)

 

 

 Jam 7 30                                                                         MATAHARI TERBIT DI      WILWATIKAPURA

 

PERTEMPURAN DI LAUT  TERNATE

 

Pertempuran laut antara Armada Majaphit dan Armada kora kora dari kerajaan Tidore.

Setelah” Sumpah Palapa” di ucapkan, seperti kata pepatah mengatakan “Ucapan seorang lelaki sejati, seperti panah api yang dilepaskan, pantang untuk ditarik kembali.

Sejenak Mahapatih Gajah dari desa Mada, Ksatria Brahmana , tertegun oleh ucapannya sendiri, lah iya sahabat juga majikannya yang imbang dengan dia,  baik dalam pengalaman  maupun cita cita, sudah tiada, Mahaprabhu Kartarajasa Jayawardana, meskipun terhadap Mpu Mada ini tetep Raden Wijaya.

Dengan siapa dia akan berunding, menghadapi exspedisi laut  dengan armada Majapahit yang baru saja dibentuk baru menyesaikan latihan maneuver laut enam bulan pada akhir musin timur ?

Benar selama sang Patih Gajah Mada menjadi Panglima Mandala Majapahit dibawah Mahaprabhu Kartarajasa Jayawardhana sudah dibangun empat puluh perahu perang yang menurut ukuran parahu  model Madura sudah besar, muat lima –enam ribu kati dengan   aman. Diasebut perahu perang karena lambungnya sedikit lebih langsing dari perahu Madura yang biasa untuk muatan, perahu ini khusus  untuk perang, lagi ada tambahan layar di anjungan, untuk menambah laju berlayar. Selebihnya tetep design perahu Madura, dengan lunas yang melengkung layaknya sabut kelapa, inilah konstruksi andalan perahu model ini, yang akan sangat mudah dibelokan, laksana piring cekung mengapung diatas air. Menggunakan,  dua layar lateen (berbentuk segitiga) satu layar agung dengan betuk nyartis trapasium karena layar agung ini di sisi atas di ikatkan membujur pada sepotong bambu petung yang panjang dan kokoh, dibawah diberi rangka batang bambu yang  lebih kecil tapi panjangnya sedikit leih pendek dari rangka diatas, untuk mengatur sudut layar terhadap angin. satu lebih kecil dipasang dihaluan (layar jib) tanpa rangka bambu yanya tali temaIi saja bila perlu.  Perahu ini diawaki oleh tujuh belas awak perahu, dan memuat empatpuluh prajurit,  empat (meriam) kalantaka, dua dipasang di haluan dan dua lagi untuk disediakan demi  kecepatan mengisian obat mesiu dan peluru setelah menembakkan peluru. diisi cara bergantian.

Pada gladi perang yang terakhir, dua bulan yang lalu, semua berjalan lancar, setiap perahu perang dapat menembakkan peluru empat puluh tembakan, atau duapuluh pasang, dalam waktu yang cepat, sebab bubuk bubuk mesiu sudah ditempatkan dalam kantong kantong anyaman agel (daun tal), tinggal mengisikan dan mendorong dengan galah trus   sampai kedasar lubang kalantaka, peluru peluru sesudah itu. Jarak tembak terjauh  tiga ratus depa, dengan sudut tigapuluh derajad. Semua peralatan bisa belerja dan ada gunanya. 

Untuk prajurit laut disediakan seligi  ( tombak untuk dilempar) sebanyak lima belas batang setiap awak, teribuat dari bambu khusus,  berujung besi tuang  runcing dengan dengan kait dan pembakar nafta. Gandewa hanya empat untuk dipasang dan ditarik dengan seluruh badan, sambil terlentang dijejak dengan kaki dan dibidikkan sambil terlentang dikenal dengan panah gajah. Kena apa tentara laut tidak dilengkapi dengan panah ? Karena dilaut selalu angin sehingga panah sedikit manfaatnya.

Formasi yang telah dicoba adalah “jajar pandawa”, perahu perang berurutan lima perahu, angin dari samping  keburitan, secara serempak semua haluan formasi  diputar  kearah angin, langsung menembakan   bareng tiga kali,  sejarak dua ratus depa, seratus  lima puluh  depa dan seratus depa. Baru satu formasi inilah yang secara memuaskan dikerjakan, maneuver diakhiri dengan maneuver “pedang ligan”, formasi berlayar maju berlima dengan jajar melebar.  Juga dilaksanan maneuver Rantai wura wari, berlayar berurutan sampil menenbakkan panah gajah yang ujungnya api nafta. Selama musim timur seluruh armada mengadakan perjalanan muhibah ke barat dikenal dengan pelayaran Pamalayu yang pertama, dipimpin oleh Patih Raganatha ke II  dengan mandala laut dipimpin oleh Wraha Nala, seorang bhayangkari raja, mengabdi R. Wijaya bersama Gajah mada, berasal dari Tanjung Bhumi  pulau Madura.

 

Meskipun pengabdian pertama sebagai Bhayangkari Raja, tapi  Gajah mada, tahu betul bahwa Wraha Nala telah dididik oleh sukunya untuk berlayar sebagai pelaut, tahu asam garam kelautan.

Wraha Nala itulah sosok yang Gajah Mada bisa mengajak berunding saling menimbang pendapat masing masing. Mahapatih Gajah Mada, memanggil Wraha Nala untuk merundingkan pelaksanaan exspedisi pertama ke wilayah bawah angin di timur, Kapulauan Tanimbar, wlayah Kerajaan Tidore yang lagi naik daun.

Wraha Nala tahu betul, meskipun formasi  “jajar pandawa” ini baru di digladikan sekali, dengan hasil baik, dia yakin bahwa selama pelayaran ke timur bisa di gladikan lain lain formasi, seperti rantai wura wari yang dapat menenbakkan anak panah api lebih jauh. Ketepatan penembakan kalantaka untuk sasaran yang bergerak maupun sasaran diam.

Mahapatih Gajah Mada merasa sedikit tentram dengan mempunyai Panglima Madala laut Wraha Nala. Segera Mahapatih pada hari penghadapan Soma manis, menghadap Prabhustri Tribhuanatunggadewi, untuk mengangkat Wraha Nala menjadi Laksamana Mandala Laut,  dalam waktu tiga bulan menyiapkan pelayaran exspedisi penaklukan kerajaan Tidore ke timur.

Dalam tiga bulan disiapkan perlengkapan tiga puluh perahu perang dengan seratus kalantaka dan mesiunya, panah gajah seratus duapuluh, seligi, tameng logam, perlengkapan perahu perang dan mandala laut seratus limapuluh orang, awak perahu lengkap dengan Pandeganya masing masing. 

Pada bulan Kanem,(tahun penagalan bulan) pertengahan kedua musim barat, mandala laut Kerajaan Majapahit mulai mengadakan exspedisi ke timur melaksanakan “Sumpah Palapa”  

Semenjak sumpah sang Mahapatih di ucapkan, ramailah telik sandi dari Negara tetangga, Bali dan Tarnate, Tidore, Bugis mengirimkan berita berita supaya Negerinya memperkuat Pertahanan mandala laut, 

  Tentu saja Kerajaan Tidore sudah mulai siap dengan Banyak suku suku pelayar yang handal dengan menggunakan kora kora yang sama saja dipakai untuk perang maupun untuk angkutan dagangan, hanya jarak jelajahnya tidak bisa jauh, paling jauh sampai ke Timor, Banda dan pulau Kei. Tapi mandala laut yang berani mati amat banyak, dengan peralatan perangnya, busur panah dan seligi tidak terhitung.

Kora kora adalah perahu panjang dengan ratusan pendayung, dan layar yang lemah. Andalan dalam perang laut adalah menabrak dan menyerbu naik ke perahu musuh.

Mendekati laut Ternate, angin mulai berganti ganti arah, laksamana mandala tahu bahwa ini saatnya kora kora mendatangi armadanya dari kepulauan disekitar laut itu. Segera diperintahkan untuk semua perahu siaga mebentuk formasi jajar pandawa, berlayar kearah timur laut dimana angin dari samping kanan buritan, keutara. Formasi perahu perang menuju ke timur laut. Laksamana Nala tahu benar bahwa kora kora akan mucul dari utara, sekarang masih tersembunyi di pulau pulau kecil di utara.

Benar dugaan sang Laksamana, kora kora mengandalkan prajurit pendajung yang ratusan setiap kora kora, semua lengkap bersenjata, panah dan seligi, dari jarak seribu depa Nampak semua pendayung sambil berdiri dengan bersorak sorak seolah olah sudah menabrak formasi mandala Majapahit.

Jarak limaratus depa dengan haluan menuju ke formasi jajar pandawa, kora kora yang menyemut ratusan jumlahnya, menyempitkan jarak satu sama lain, dengan cepat akan menabrak formasi, yang segera meniup terompet kerang, serempak haluan perahu perang Madura dengan angin dari buritan,  menghadap ke utara, dengan cepat jarak memendek jadi duratus depa dan serentak enampuluh kalantaka dari tiga puluh perahu formasi jajar padawa, jadi formasi pedang ligan, memuntahkan peluru tepat ke haluan perahu perahu cepat kora kora yang  saling mendekatkan lambungnya, terkonsentrasi ke tiga puluh perahu perang  Majapahit yang siap dengan formasi pedang ligan, sebelum tembakan kedua dengan jarak seratus lima puluh depa, keadaan kora kora berubah jadi neraka, bukan suaranya saja yang sangat memekakkan telinga, tapi guncangan kora kora yang kena peluru kalantaka  haluannya dan membuat semua pendayung berantakan dan kora kora banyak yang tenggelam pada penembakan kedua dari jarak reatus limapuluh depa, belum lagi tembakan ketiga sudah ada aba aba dari terompet kerang agar melanjutkan formasi jajar pandawa lagi,  menuju timur laut. Dengang cepat layar terisi angin dari buritan samping kanan meliuk meninggalkan kora kora yang sungsang sumbel.  Banyak prajurit pemburu tenggelam ada dua puluh empat kora kora yang tenggelam sisanya saling bertabrakan dan terbalik. Sewaktu aba aba dengan terompet kerang berbunyi lagi, ketiga puluh perahu perang Majapahit menuju kebarat, berada di utara neraka laut akibat kora kora saling bertabrakan. Tembakan panah api dari gandewa panah gajah diarahkan ke gerombolan kora kora yang sedang berkutat menolong satu sama lain, semua kora kora yang sedang sibuk menyelamatkan temannya, panah api ini sekedar meyakinkan bahwa semua kora kora rusak, agar tidak bisa pulang mempertahankan pelabuhan Tidore. Ternyata kalantaka ini bisa mengenai sasaran dengan jarak tigaratus depa, dengan menambah serbuk mesiu setengah kantung mesiu, meninggikan sudut tembak, akibatnya peluru  jatuh dari atas, sehingga melubangi lunas, bukan lambung, ini penemuan baru dari kemampuan kalantaka, dan celakalah prajurit pendayung kora kora yang menyemut ini. 

Pelabuhan Tidore kosong, tidak ada satu kora korapun, dengan tergopoh gopoh Raja dan segenap keluarganya menuju ke pelabuhan, menakluk sambil mamohon ampun.

Laksamana Wraha Nala bijaksana, ampunan atas nama Maharani Tribhuanatunggadewi diberikan, malah Sang Ratu, Prabhustri mengirimkan kain dari India dan Cina, kain destar bathik Majapahit puluhan kodi. Selang tiga hari para prajurit pemburu yang gagah berani pulang ke kota Raja sendiri dan berombongan, menemukan Ibu Kota aman saja, hanya sedikit prajurit laut berkemah di pantai, dengan penjagaan diri yang rapi. Masing masing bertukar buah segar dan sayuran dengan penduduk dengan ramainya. 

Sedangkan para perwira menjadi tamu agung kerajaan.     

Segera enam puluh burung merpati pos yang didatangkan bibit bibitnya dari Cina, ddikirim ke Ibu Kota, Wilwatikta pura akan sampai dalam waktu paling lama satu minggu, burung merpati pos ini dengan gagah berani tebang melawan angin, hujan dan menghindari badai, empat puluh delapan sampai di sarang anaknya di Wilwatikta pura.  Segera berita dari merpati merpati itu disampaikan ke Mahapatih Gajah Mada tanpa rintangan ketangan Paduka Mahapatih. Matahari sedang tenggelam, berita ini pecah ke seluruh Ibu Kota. Mendadak saja semua lampu ditambah obor dan lampion lampion dinyalakan di Istana Wilwariktapura disusul dinyalakannya obor dan dian dimuka halaman setiap penduduk, ibukota bersinar laksana siang. Tetabuhan disetiap pura ditabuh dengan ramainya dengan irama degung dan baleganjur.(*) 

 

 

 

 Jam 7 30.- jam 10 00

X. MATAHARITERBIT DI WILWATIKTAPURA

 

   PAMALAYU KE II DARI

MAJAPAHIT 

 

Lima puluh perahu perang jenis perahu Madura milik Wilwatiktapura telah siaga, lengkap dengan persenjataannya yang telah dicoba di Timur, melawan perahu kora kora yang menyemut, penuh dengan pasukan perang dari seluruh kepulauan Tidore. Tujuan semua perahu yang didayung oleh ratusan jagoan berkelahi dengan kelewang dan tameng kayu yang sempit namun kuat, armada perang dengan kora kora dan ratusan jagoan ini andalannya adalah menabrak armada lawan. Menabrak perahu lawan dan membanjiri dengan serbuan para jagoan berkelahi. Fomasi Jajar Pandawa yang harus mengubah dengan serentak haluan parahu Madura ini dari  mempertahankan formasi berjajar, menjadi formasi berhadab hadapapan dengan kora kora yang menjemut dengan pendayung yang tambah bersemangat, secara serempak menembakkan kalantaka, pada jarak tiga ratus depa, sementara lemparan tombak tombak belum sampai. Hasilnya luar biasa, banyak kora kora yang langsung terbalik, banyak haluan kora kora yang kena tembak dan berubah haluan saling bertabrakan 

Kali ini siasat perang laut melawan parahu perang model lancang yang bercadik, bisa berlayar melawan angin dengan sudut menyerong, dan berlayar sangat cepat. Mereka selalu menyerbu barsama sama, mencari posisi diatas angin. Persenyataan yang diandalkan adalah seligi atau tombak yang dilempar, dan periuk api, yang dilempar sambil melintas cepat dalam fomasi berjajar. Masalah besar untuk membangun perahu model madura dengan bobot mati yang besar diatas 20  ribu kati, bukan dari bahan kayu dan papan perahu, bukan dari konstruksinya tapi dari pengadaan kain layar yang harus ringan kuat dan luas, kala itu (malah sampai sekarang) kapas kita tidak bisa dipintal dai ditenun menjadi kain layar yang kuat untuk perahu layar yang seberat itu. Perahu model Pinisi dari Bugis, sudah mempunyai layar dengan serat ulat sutra yang diperoleh bibit ulatnya dari China ( Bombuch madarina L) sejak dulu, dan dapan dijadikan layar yang ringan luas dan kuat, ulat sutera dipiara diberi makan daun tanaman murbei (Morus alba) di dataran tinggi diatas Sengkang di Rantepao, sedang penenun sutra ada di  diseputar danau Tempe, jadi petani pemelihara ulat sutra tidak menguasai teknologi sutra, sedang penenun sutra tidak memelihara ulat sutra ini. Akibatnya tidak ada batasan ukuran pembuatan pinisi yang besar besar. Tapi toh perahu model madura yang relatip kecil dengan bobot mati 10- 15 ribu kati sudah memadai untuk masuk kedalan sungai sungai yang relatip dangkal dengan kain layar yang sudah ada, dari benang kapas yang dicampur serar kenaf.


 Latihan berkali kali dilaksanakan dilaut dimuka pelabuhan Tuban dengan menggunakan parahu nelayan “jaten” yang disewa sebagai  lawan, sangat mirip lancang dari Malayu, memang perahu nelayan pancing model “jaten “  yang lincah dengan cadik  hanya disatu sisi lambung, mirip lancang dari Melayu. Malam menggunakan angin darat, angin dari daratan karena daratan udaranya lebih padat dimalam hari,  sedang siang  hari  udara diatas laut lebih padat jadi mengalir kedarat.  Sedangkan perahu perang Madura harus mencari formasi dimana serangan dari atas angin bisa dipatahkan dengan menghadapkan haluan perahu ke penyerang dari atas angin. Formasi ini harus menghasikan pemusatan tembakan kalantaka ke parahu lawan yang mendekat dengan angin buritan. Kemungkinan cara ini ada, dan dapat dicoba dengan Manuver jajar pandawa karen kecepatan lancang kira kira sama dengan kecepatatan kora kora yang didayung oleh ratusan jagoan perang yang lagi bersemangat. Repotnya, angin di pantai Sumatra meskipun sangat dipengaruhi oleh angin para nelayan yang rutin, tapi diakhir musim timur kadang kadang ada angin kebarat yang dominan dan kuat, Sehingga kecepatan mengisi peluru kalantaka dan ketepatan memperhitungkan jarak sasaran yang bergerak harus lebih cepat dari kora kora mendekati perahu yang bermanuver sangat menentukan hasil peperangan laut menang atau kalah. Maka latihan maneuver mengubah haluan menentang  angin dan menembak dengan jarak tiga ratus depa harus tepat. Dalam situasi apa saja.

Strategi yng dipilih adalah berlayar  agak menjerong atas angin perahu disejajarkan haluannya, dan mendadak diputar

Kearah angin, sambil nenjatuhkan layar, agar tembakan panah api tidak mengenai layar, sikaligus menembak sasaran yang mendekat dengan cepat.  

Armada Majapahit agak minggir ke pantai antara empat atau enam yojana, memanfaatkan angin nelayan, karena pinggir pantai dangkal maka ombak akan sangat  mempengaruhi perahu perahu kecil seperti lancang perang ini, mungkin ketepatan melempar  seligi sangat terpengaruh oleh ini. Bagusnya perahu perang model perahu Madura ini kecepatan maneuver merubah haluannya sama mudahnya dengan perahu yang lebih kecil, meskipun kalantaka yang di bawa berkaliber lebih besar.

Armada Majapahit dibawah komando Laksaman Wreha Nala, dengan lima puluh perahu model Madura, dua diantarnya berbobot lebih dari delapann ribu kati, membawa kalantaka yang lebih jauh jarak tembaknya memcapai tuju ratus depa ikut dalam armada, juga dua katamaran dengan layar  tunggal yang besar, dengan angin buritan bisa dua kali lebih cepat dari perahu Madura, 

tetapi sulit bermanuver, digunakan menolong pelaut  tercebur laut bila memungkinkan. Dan satu  perahu model Madura yang lebih kecil, bobot muatan hanya seribu kati berlayar ganda untuk kurir. Telik sandi memberi peringatan   lancang Melayu ada yang dilengkapi dengan panah api yang diterbangkan dengan obat mesiu dapat mencapai jarak enam ratus depa, tapi ketepatanya diragukan, jarak tembak dengan sasaran yang dikenainya dengan jarak dua ratus depa, berbahya bila dirubah jadi panah api, berguna untuk merobek layar dan membakarnya. Dengan perhitungan bahwa panah model ini tidak banyak, maka armada Majapahit  tidak ada perlengkapan khusus untuk menangkal senjata model ini. Semua perlengkapan perang di bawa oleh lima perahu pinisi, ke laut Jawa, utara Tuban, karena pada musim begini biasanya di utara Tuban, lautnya tenang. Bulan Kapitu, armada berangkat kebarat, mulai pelayaran perahu perang Pamalayu ke II, ke Jambi dan Tanjungpura.

Ternyata dugaan arah angin sesampai di muara sungai yang menuju ke Jambi berubah arah keutara, dari muara sungai keluarlah ratusan lancang perang dengan ratusan pejuang berseligi, berlayar menyerong ke tenggara untuk mendapat bantuan angin buritan pada saat mendekati armada perahu perang Madura,  Tiga  yojana, armada ratusan lancang perang ini sudah ada diatas angin armada perahau Majapahit. Armada lancang yang ratusan jumlahnya ini merasa bahwa armada Majapahit lamban malah menjerong angin menuju ke barat daya, apa tidak tahu bahwa keistimewaan lancang lancang ini bisa berlayar jauh lebih baik dalam sudut berlayar menentang angin, hanya terdorong sedikit kearah samping. Mereka pikir musuh akan bersembunyi dibalik lajar lancang lancang itu agar lemparan seligi dan periuk api terhalang oleh layar lancang, manuver yang biasanya lebih cepat, yang ini kok malah menutup layar dan neghadapkan haluan kearah angin? Armada lancang tambah bersemangat memacu perahunya dengan angin buritan, sampai haluan lancang lancang ini melonjak lonjak kena ombak kecil kecil, mengibaskan air kekanan dan kekiri, Dalan hitungan detik, terdengar bunyi terompet kerang, sebelum lancang mendekat dengan cukup sepelempar seligi, sudah terdengan salvo kalantaka, yang menerbangkan layar layar lancang, mengubah haluannya mendadak sehinga tabrakan antar penyerang tidak terhindarkan, lancang lancang  dibelakang masih bisa menghindar kekanan dan kekiri dengan lincahnya untuk melemparkan periuk api, nayris menabrak lancang yang sudah mengggumpal jadi satu, terus dengan cepat menuju ke armada Majapahit, ternyata perahu yang lebih besar delapan ribu kati dengan kalantaka lebih besar bisa menembak limaratus depa, yang ditempatkan dimuka dan dibelakang fomasi jajar pandawa masih bisa menembak lancang yang bermanuver belok kekanan dan kekiri, mengenai layarnya ada yang terbang dan ada yang terguncang miring dan tenggelam.

Waktunya dua perahu katamaran dengan layar besar mengiris ombak dan angin, berlayar menyerong tajam menuju ke pempat bejubelnya lancang lancang, untuk memberi pertolongan pelaut yang tercebur, luka dan sudah tidak berdaya. 

Semua lancang dari Indrapura, jang rusak tanpa haluan ada duabelas, yang tanpa layar dan tiga puluh dua yang cadiknya patah dan terbalik ada limapuluh enam semua, semua lancang diperbaiki sementara dan didayung ke Indrapura oleh anak perahunya masing  masing masing,  mereka diperintahkan membuka jalan, sebab pelabuhan Indrapura dijaga dengan dua meriam basar dari perunggu yang dipasang di dekat pelabuhan. Begitu kalantaka kuningan besar penjaga pelabuhan tahu bahwa semua perahu perang lancang diperintahkan brlayar sebagai perisai  didepan, meriam meriam didarat terpaksa bungkam dan membiarkan lancang itu masuk kuala dengan diikuti oleh armada Majapahit.        

Salvo kalantak majapahit kosongan menandai datangnya Armada Majapahit, diikuti dengan kegemparan kota Tanjungpura yang biasanya sunyi disiang hari seperti ini. Suara kalantaka waktu peperang laut tidak terdengar dari kota pelabuhan itu. Dengan tergopoh gopoh Syahbandar Tanjungpura menghadap Laksamana Wreha Nala. Syahbandar diperintah agar  kalantaka kuningan penjaga pelabuhan diputar arahnya kekota. Sambil menunggu Syahbandar Tanyung pura dperintahkan memberikan surat ke Istana kerajaan Tanjungpura untuk sang Raja Marmadewa. Sore hari Hari Paduka Raja dan Laksamana Wreha Nala bertemu di wantilan pelabuhan. Melihat arah maha kalantyaka pelabuhan sudah dipindah menuju kota, Raja Marmadewa mengajak sang laksamana untuk berkunjung ke Istana, dengan naik tandu yang disediakan, laksamana menolak dia memilih mengendarai kuda yang dibawa dari Majapahit.

Atas ulah para ksatria Tanjungpura yang gagah berani, armada Majapahit harus membakar sekian banyak mesiu dan peluru berapi, maka dari itu sang Prabhu harus mengendalikan para ksatrianya yang gagah berani untuk mengamankan jalan laut dari bajak bajak darimanapun asalnya.  Prabhu Marmadewa harus menanda tangani suatu pernyataan bahwa keamanan laut sebagai jalan perdagangan, Indrapura harus ikut mengamankan perahu perahu yang membawa dan mengambil dagangan  dari dan ke Wilwatiktapura. Setelah surat perjanjian ditanda tangani oleh sang Raja, laksamana Wreha Nala mohon pamit, dan meninggalkan uang emas seribu keping, untuk para ksatria laut yang menjadi korban keberaniannya. Untuk lain kali perbuatan serupa tidak akan diberi kerugian apa apa. Sekian perintah dari Maha Patih Gajah Mada. Raja dan datuk Bendahara Kerajaan sampai terlongong longong tidak tahu apa yang akan diperbuat, Hanya berjanji dengan sunguh dungguh akan memenuhi pesan rakryan Mahapatih Gajah Mada. Mereka berdua memberikan surat perjanjian yang dibawa Laksamana Wreha Nala, sambil menerima kantung seribu keping emas.

Sore itu juga Amada majapahit Keluar dari kuala dan berlayar menuju Pahang.(*)

  

      

 

 

 

 

 Jam 8 00 – jam 2 00

 MATANARI TERBUT DI    WILWILWATIKTAPURA

 

RA. SAPUANGIN MEMEGANG JANJI DI PELAYARAN PAMALAYU KE 9

 

Ingatkah pembaca ketika Gajah Gombak mengampuni bajak dari Sampang ?

Ternyata sosok Sapuangin tetap jadi pengikut alias pelayan pribadi Gajah Gombak, secara sukarela. Mulai rombongan mencari pembuat keris di Pantai Selatan arah Lumajang, Sapuangin yang tidak lebih muda dari pemuda Gajah Gombak melayani kebutuhan pribadi sang Gajah Gombak. Tekad Sapuangin ini dimulai waktu dia memimpin teman temannya mendayung perahu pengelana, mulai mengadakan pembicaraan dengan anak perahu

dan pemuda dari Penyaradan Mada, dia mulai mengerti rombongan apa yang dibajak itu.  Sebenarnya dia menjadi pemimpin bajak bajak ini  karena dari Pamekasan dia berniat mencari ayahnya yang konon pemimpin bajak laut di Sampang, sedang ibunya adalah putri seorang Brahmana tingkat rendah yang baru saja meninggal dunia, sang kakek memilih jalan hidup sebagai brahmana gryasta pembuat keris dan alat alat besi karena kegemarannya membuat senjata keris dan besi inilah maka dia pergi ke Pasirian dengan anak buahnya, setelah ditinggal mati oleh satu satunya anak permpuannya, yaitu ibu si Sapuangin. Ketika dia tiba di Smampang, Sapuangin mendapatkan bapaknya baru mengadakan pelayaran ke barat dengan dua perahu, sedang pulangnya tidak pasti. Para pemuda Sampang yang ditemui, alias kerabatnya tahu bahwa berkepandaian lumayan diantara pamuda pemuda kerabat ayahnya, maka dia dipilih untuk mulai memimpin  gerombolan pembajak, dan mulailah karirnya sebagai kepala pembajak perahu yang lewat dekat dekat perairan Sampang. Ini adalah pelayarannya untuk membajakan yang ketiga kalinya. Mengetahui teman temannya ngacir dengan mendayung perahu secepat cepatnya meninggalkan dia dan teman  awak perahunya, maka tawarlah hatinya untuk melanjutkan karirnya sebagai bembajak. Si Sapuangin memilih jadi pelayan gajah Gombak untuk mempelajari ilmu memainkan cambuk yang hebat begitulah diungkapkan oleh dia kepada sang Brahmana Muda Gajah Gombak.

Begitu kagumnya dan begitu   menghormatnya si Sapuangin kepada pemuda gempal ini. Sehingga Sapuangin bicara terus terang bahwa dia mohon untuk menjadi murid Sang Gajah Gombak dalam menggunakan cambuk panjang, dan sanggup mengabdikan dirinya seumur hidup bila sang pemuda menerimanya. 

Aneh, pemuda Gajah Gombak merasa kasihan akan nasib Sapuangin pemuda malang yang mencari ayahnya ini. Meskipun tidak menyanggupi apa apa tapi mengizinkan si Sapuangin mengikuti rombongan. Apalagi setelah Sapuangin menceritakan bahwa kakeknya Mpu Keleng adalah pandai besi dan mencairkan pasir besi di pantai selatan Pasirian untuk mencetak keris, dan membuat bahan baku besi tempa untuk senjata. Rombongan mereka sudah berangkat satu bulan yang lalu. Disinilah anehnya Hyang Widiwasa mengatur masib hidup manusia, cucu Brahmana ditemukan dengan anak Brahmana guna diluruskan jalannya. Dirupakan tekad yang aneh untuk mengabdikan diri kepada Gajah Gombak. 

Sapu angin seterusnya selalu mengikuti Gajah Gombak sambil meneruskan melayani kebutuhan sehari hari yang tidak banyak macamnya. Mendengarkan Cajah Gombak berceramah dihadapan Pemuda pemuda pilihan yang ikut dalan perjalanan ke Pantai Pasirian tentang penyaluran tenaga dalam.

Tidak heran dia juga ikut ke Wilwatiktapura yang baru dibangun di aliran sungai Brantas tepatnya dekat Wirasabha ( sekarang Mojokerto), dikaki gunung Anjasmoro, mendekati dataran rendah yang dialiri sungai Brantas menghilir. Sapuangin termasuk rombongan pertama dari calon calon perwira yang dikirim ke pulau kecil selatan Madura Gili Raja untuk dilatih mengendalikan perahu model Madura dalam perang laut, berbagai formasi Tentu saja Sapuangin termasuk dalam kelompok Pandega Pandega yang membawa perahu model Madura ini untuk pertempur ke Timur dan ke Barat sampai terhimpunnya jumlah kekuatan perahu perahu tempur model ini menjadi armada laut yang besar, terdiri dari ratusan perahu tempur model Madura dan perahu perahu cepat model pinisi Bugis, lengkap dengan sedikitnya empat kalantaka setiap perahu tempur dengan amunisinya. Sapuangin juga tahu keterbatasan ukuran perahu Madura dari mandala laut Majapahit, karena ketiadaan kain layar yang kuat dan ringan, jadi para pandega perahu perang model Madura dari mandala Laut Majapahit sangat kergantung kecapakan menggunakan perahu yang tidak besar ini untuk bermanuver, mengunakan kelebihan yang sangat handal yaitu kalantaka di anjungannya, kecepatan mengisi mesiu dan ketepatan tembakannya pada sasaran, cepat berolah gerak secara serentak dalam formasi perang, nyaris tanpa perintah.

Pada pelayaran Pamalayu yang ke Sembilan, perahu tempur Sapuangin sudah menjadi  tulang punggung armada laut Majapahit yang mengibarkan bendera matahari terbit. Dipersenjatai dengan Kalantaka yang dapat menenbakkan paluru sejauh limaratus depa dengan sudut tembak yang kecil, artinya dapat ditujukan ke lambung kapal lawan.

Laksamana Wraha Nala mendengar bahwa Kerajaan  Malaka telah memiliki beberapa jung tempur lengkap dengan maha lela perunggu dua laras, yang tentu saja jung tempur ini berukuran besar, paling sedikit bertiang agung dua, dengan layar bersusun tiga, lebar dan kuat terbuat dari bahan sutera . Kerajaan Malaka minta Majapahit membayar separuh harga jung ini dan ongkos pelayarannya  meronda dikawasannya, juga menuntut bagaian dari keuntungan perdagangan dari Atas Angin, Siam, Campa dan China setiap tahun, setara dengan tiga ribu tael emas.  Satu permintaan yang wajar, tapi Wilwatiktapura tidak memerlukan armada pengamanan yang lain, apalagi dengan menyebutkan beayanya yang sangat besar, yang disebut di surat itu, Mulai terbitnya surat ini, selat    Malaka, selat Karimata lewat kepulauan Natuna menjadi terlarang bagi armada perahu perang Wilwatiktapura, tanpa izin dari Kerajaan Malaka.

Ini  adalah tantangan terang terangan yang kurang ajar bagi armada Wilwatiktapura, yang perahu perangnya ukurannya jauh lebih kecil dari jung perang China milik mereka. Mahapatih Gajah Mada membalas permintaan itu dengan surat lewat Duta Kerajaan Malaka, bahwa Armada Majapahit belum mempunyai bukti kemampuan jung jung tempur Malaka untuk mengamankan jalur pelayaran yang sangat luas yang disebut dalam surat kepada Wilwatiktapura, beberapa jung tempur dengan mahalela  (dalam bahasa Melayu kalantaka jadi rentaka) perunggu yang besar besar tapi kekurangan jumlah jung untuk meronda perairan itu. Dinyatakan dalam surat  Mahapatih Gajah Mada ini, bahwa armada perahu tempur Majapahit  sewaktu waktu akan sampai di Kuala pelabuhan Malaka untuk memeriksa kemampuan beberapa jung perang Kerajaan Malaka.

Pada saat itu masih saat angin timur, Dua puluh hari setelah surat dilayangkan ke Duta Melaka di Wilwatiktapura, armada barat Wilwtiktapura yang ada di Palembang telah mendapat isyarat dari Mpu Mada, bahwa jung tempur Malaka akan memperlakukan armada Barat Wilwatiktapura sebagai musuh, tidak perlu ragu ragu untuk mengeroyok  bila perlu menenggelamkan jung tempur tersebut. Segera Laksamana Wraha Nala di Palembang mengirim merpati pos ke Tanjungpura dan Jambi untuk siaga tempur bagi setiap satuan tugas perahu perahu tempur di pelabuhan sekitar selat Malaka.

Kebetulan satuan perahu tempur sejumlah sepuluh perahu yang dipimpin oleh Prangwadhana Pandega satuan tempur di Jambi, yang dipimpin oleh Prangwadana ring Jalanidhi Sapuangin. Dia putuskan untuk menyatukan segera kekuatan satuan tempurnya dipangkalan lebih keatas angin  artinya lebih keselatan, untuk memperoleh posisi diatas angin yang baik, dengan mengumpulkan perahunya yang masih tersebar diseluruh kuala sungai sungai penting di Sumatra, menjadi satuan tempur yang terdiri dari tigapuluh perahu tempur di Tanjungpura. Prangwedhana Sapuangin sendiri segera angkat jangkar menuju keselatan, dengan tujuh perahu tempur.

Menjelang siang, waktu angin nelayan menuju ke darat, angin diselat Malaka berubah arah ke barat laut mengutara, sekira matahari dua jengkal diatas ufuk timur, mampak layar dua perahu jung dengan bentuk layar  drentang dengan bambo,  dihaluan masing masing yang terbuka nampak mahalela masing masing dua buah dianjungan, jung jung perang itu tepat ada di atas angin. Kalantaka perunggu besar atau mahalela ini dapat menembakkan pelurunya hampir lurus sejauh tujuh ratus depa, satu kemampuan yang besar dikala itu. Sajangnya jung perang ini harus mendapat angin buritan agar mudah berolah gerak mengarahkan mahalelanya. Jelas ada dua pilihan bagi armada perahu Madura yang kecil ini, yaitu harus segera diputuskan. Lari menghilir angin berpencar untuk bersembunyi di pulau pulau kecil di pantai timur Sumatra, atau mengatur formasi tempur yang biasa untuk menghadapi situasi ini.

Prangwedhana Spuangin sudah mendapat petunjuk bahwa jung perang China tidak seperti perahu perang Madura harus mengarahkan haluannya ke sasaran, apabila sasaran agak kesamping kanan atau kiri dari haluan makan kemudi harus mengantisipasinya, otomatis posisi layar harus tetap mendapat angin, karena kemudi saja tidak akan kuat memutar haluan jung, sedang perahu perang Madura menuver kecil mengubah hanuan sampai memutar prahu tidaklah perlu menunggu angin buritan. bila layar pada satu posisi tertentu mau atau tidak akan hampir sejajar dengan arah lambung, Akibnya jung jadi miring terdorong oleh layar sedang gerakan memutar jadi sangat  sulit hampit tidak mungkin. situasi ini yang dipergunakan oleh pandega Sapuangin. Sebaliknya perahu perangnya mendapat angin dari depan masih bisa berlayar menyongsong angin secara mengiris angin dengan layar sejajar lanbung meyerong angin, kemudi masih dengan mudah digunakan karena bentuk layar trapesium runcing didepan, pertaruhan manuver ini membutuhkan keberanian dan saraf baja, karena menghadapi moncong mahalela perunggu berukuran besar dan nampak nyata, begitu moncong laras mahalela musuh nampak sekajap saja maka tamatlah riwayatnya. Makanya dia berdiri di anjungan sampil tangannya memberi aba aba kepada jurumudi perahu perangnya. Seluruh awak perahu mengerti  taruhan situasi posisi berhadap hadapan ini, semua awak menghadapinya denga menengadah dada, siap secepat kilat melaksanakan perintah, tetapi sebagai Pengwedana kawakan, dia yakin masih ada peluang unutk mengiris angin sambil  melambung dan mendekati jung perang ini sahingga mencapai jarak tembaknya bahkan dengan cikar kanan posisi layar akan berubah mendorong perahu perang ini menggeleser mendekati jung itu untuk menembak dan mulai penyerbuan dengan baja dingin. Artinya menyerbu meloncat ke geladak lawan.

Tanpa ragu ragu Prangwedhana Sapuangin memerintah meniupkan kulit kerang aba aba untuk melaksanakan manuver Jajar Pandawa yang biasa, tanpa menurunkan layar. Segera kedua armada yang bermusuhan ini mencapai jarak tembak mahalela di dua jung ini, dan segera memenbakkan pelurunya. Tembakan dari jung pertama mengenai air sepuluh depa didepan haluan  bagian tengah berahu yang berjajar dengan layar menuju arah angin terkembang berkibar kibar tanpa daya dorong, sedangkan tembakan jung kedua mengenai haluan dua perahu tempur yang ditengah disertai sorak sorai awak jung dari Malaka. Tanpa ayal kemudi perahu perahu perang Wilwatiktapura bermanuver mengarahkan perahu Madura itu dengan cepat terpisah kedua arah agak menyerong angin sehingga layar segera terisi dan jajar pandawa terpecah jadi dua, kearah kiri dan kanan lintasan kedua jung ini. manuver ini nyaris tanpa perintah, mengandalkan intuisi para pandeganya, jadi bisa dilakukan seketika. Begitu juga haluan kedua jung yang mendapat angin buritan. Tembakan kedua luput semua, pecahan armada perahu Madura tinggal lima perahu tiga melambung kekanan dan dua dimana Sapuangin berada melambung kekiri, rupanya manuver jung jung perang ini kurang cepat sehingga tembakan meleset. Perahu Sapuangin cikar kanan, sehingga layar terisi angin dari kiri dan mengiris arah angin mendekati jung yang dengan susah payah ngengikutinya dengan haluan  diarahkan ke perahu Sapuangin yang tertiup angin samping menggeser arah lambung mendekat salah satu jung perang yang sampai miring kebarat karena layar terlalu tajam dipasang menyamping, begitu pula perahu perang Sapuangin. Maksud manuver kedua perahu yang mati matian bermusuhan ini jelas, jung berusaha mengarahkan haluannya ke perahu perang Madura, sedang perahu perang Majapahit dengan dorongan angin dari samping lambung kanan  mengiris angin mendekat secara pasti kearah jung,menyesuaikan dengan jarak tembak yang efektip,  dengan moncong kalantaka lurus ke papan lambung jung,  Sapuangin memerintahkan memasang dua bilah galah bambu  yang akan digunakan melentingkan dirinya kearah tiang agung jung,   jarak keduanya  mengecil jadi limapuluh depa, Sapuangin memerintahkan kalantaka ditembakkan kearah papan lambung yang mestinya dibawah air  terangakat angin, tidak sia sia tembakan dua perahu perang ini lurus mengenai lambung batas air yang terangkat karena kemiringan jung dengan suara sangat keras, sambil cikar kanan untuk menghindari tabrakan perahu Madura melentingkan Sapuangin meloncat tinggi kearah tiang agung jung dan berjumpalitan lalu bertengger disana sambil mengayunkan cemetinya dan memotong talitemali layar jung, yang segera menegakkan kemiringan jung dari pisisi miringnya, akibatnya air laut masuk   dari lubang di lambungnya menyebabkan panik awak jung.  Pelempar seligi beberapa orang mendadak lemas tangannya karena terkena cemeti yang meledak  ledak keras. Sendirian Sapuangin mengamuk di geladak jung dengan cemetinya yang ampuh, menyebabkan kegaduhan besar besaran. Dengan mudah perahu Madura membalikkan arah haluannya sejajar dengan jung makin mendekat, dan dari jarak dua tombak sudah belasan prajurit laut Majapahit yang mampu meloncat keatas geladag jung dengan golok dan celurit, memulai pertempuran dengan senjata parang. dan clurit Teriakan anak perahu yang berbangsa China bahwa perahu bocor dan segera tenggelam membuat panik anak buah jung orang Melayu, disamping terdengar lagi tembakan kalantaka kearah geladak yang sudah penuh belatentara laut Melaka dari perahu perang Mejapait dari sisi lain, menyapu prajurit laut yang lagi mendapat latihaan. Puluhan anak perahu yang rupanya sedang dalam latihan memilih menyerah. Segera Sapuangin memasang layar jung menyamping terisi angin dan mendorong jung kesamping sehingga miring, dan lambung yang bocor terangkat diatas permukaan, langsung diperbaiki oleh anak perahu Majapahit dari ketiga perahu yang lain, dengan cepat lubang ditmabal dngan papan papan diperkuat dengan gading darurat, kebocoran antar papan ditambal dengan pelangkin ( semacam aspal ) dan segera bisa diatasi. Dengan sorak sorai membahana bendera matahari terbit dan bendera gula kelapa mengudara di tiang agung jung taklukan. Anak parahu orang China dipisahkan dengan anak perahu orang Melayu, dengan tangannya semua terikat, dipindah ke perahu perahu perang Madura yang ada.

Jung yang satu lagi sudah lama lolos tidak Nampak ikut bertempur, kerena ada perlawanan dari anak buah orang China kepada perwira perwira  Malayu. 

Sidang perang secara kilat diadakan di perahu dipimpin Prangwadhana Sapuangin, membahas situasi hasil perang laut yang mendadak ini, makan korban dua perahu perang Madura sangat memukul kebanggaan Prangwadhana Sapuangin. Yang satu karam dengan empat kalantaka dan dua anak perahunya meninggal, satu rusak anjungannya dan tidak layak layar. Akan tetapi telah bisa dirampas satu jung perang dengan memenangkan pertarungan di geladag jung musuh menggunakan baja dingin begitulah istilah perang digeladak kapal dengan senjata parang pedang pedang  clurit dan tombak  para awak perahu Majapahit ganas mengamuk, Pasukan Laut Diraja Melaka, memang sedang berlatih sangat kurang pengalaman tempur, apalagi melawan pasukan laut Wiwtiktapura yang kenyang makan garam, baru tereakan perangnya saja sudah menyeramkan, banyak bala tenatara muda Melaka yang memilih mencebukan diri kelaut daripada beradu senjata dengan golok dan clurit dari harimau Sampang ini. Kemenagan yang cepat ini sangat membanggakan anak perahu Majapahit. Dengan pengorbanan empat prajurit gugur karena kehabisan darah, sepuluh luka luka yang perlu perawatan. Baik kawan maupun lawan yang luka semua dirawat sama rata, diberikan candu untuk meringankan kesakitan, luka dan patah tulang semua dapat perhatian yang sama dari tabib kedua belah fihak. Mereka ditinggal dengan perbekalan cukup disatu pulau kecil yang bertebaran di selat Malaka. 

Sidang perang kilat memutuskan bahwa jarang sekali ada kesempatan untuk serangan mendadak dengan mudah ke Kuala Malaka. Sedangkan kesempatan yang tidak akan kembali sudah ada ditangan didepan mata. 

Dengan tertawannya jung perang Malaka yang dengan sedikit perbaikan lambungnya bisa layak berlayar sampai kuala Malaka dengan angin buritan. Pasti jung yang telah ngacir sendiri tela melapor bahwa mereka telah berhasil menenggelamkan paling sedikit dua perahu perang Majapahit, dan yang satu lagi masih sedang membereskan perahu perang Majapahit  dari armada yang tertinggal.

Jung yang ngacir disambut dengan meriah di Kuala Melaka, sambil menunggu jung kawan searmadanya, sama sekali tidak terpikir oleh para Panglima Johan Pahlawan Diraja Melaka bahwa dengan baja dingin artinya parang dan pedang, jung yang tertinggal telah berganti tangan. 

Bendera Majapahit diturunkan dan diganti dengan bendera dan umbul umbul kemenangan dari Malaka , yang kini berkibar ditiang agung dengan megahnya. Jung rampasan berlayar disiang hari bolong ke Kuala Malaka, hingga menjelang senja. Jung perang yang pulang lambat dengan kemenangan yang gemilang disambut oleh Tuanku Syahbandar dari bandar Kuala Melaka dengan aba aba supaya menunggu perahu pendayung agar bisa ditarik kedalam kuala. Tak terkira terkejutnya tuanku Syahbandar Kuala Malaka melihat Panglima Armada Malaka tertawan menemui tuanku Shaybandar dibawah ancaman senjata, dan sekalian sang Tuanku Syahbandar dipaksa dengan keris dileher tanpa kentara dari darat seolah olah berangkulan, harus memberi aba aba penarikan jung segera dilakukan. Jung perang ditarik ke tambatan Kuala Malaka dikemudikan oleh jurumudi dari Majapahit, yang berdandan a’la perwia laut Melaka,  diarahkan bukan sejajar dibelakang jung perang yang terdahulu, tapi kok malah  terlalu ketengah, perahu pendayung mengerti pasti jung sombong ini mau tambat didepan jung kawannya supaya nampak dialah penakluk sebenarnya. Sebenarnya tidaklah demikian, bahwa tujuan utama adalah mengarahkan haluan ke jung jung yang tambat terdahulu, berjajar, ada tiga jung yang tambat sejajar, jung kawannya yang datang duluan di nomer tiga, sedang dua jung yang lain tanpa awak akan menunggu gilirannya dilatih dengan awaknya sehari kemudian.

Apa lacur, jung sombong yang ditarik disamping lambung jung nomer dua dan dan nomer satu  tiba tiba memuntahkan peluru mahalelanya kearah lambung dua jung nganggur tanpa awak begitu dekatnya jarak tembakan itu sehingga menimbulkan kerusakan nyaris meremukkan lambung jung jung itu, dan jung rampasan sendiri berakhir dengan melintang kuala, jung rampasan ini mengarahkan muncongnya ke jung kawannya di urutan yang ketiga, tembakan yang hanya bejarak beberapa depa mengancurkan lambung dengan potongan papan yang kecil kecil menyebar barsama ledakan yang tidak dinyana. Selanjutnya balik kanan putar haluan keluar muara. Jung yang ditunggu tunggu untuk penyambutan kehormatan, kok malah mengamuk dan memutar haluan dibantu dengan arus keluar kuala yang agak deras, Yang Nampak mendekat malah lima layar segitiga perahu perang Majapakit yang jauh lebih kecil, dengan bendera Majapahit masuk Kuala Malaka sambil menembakkan kalantaka membabi buta, sekaligus memutar haluan keluar dari kuala tanpa pamit dengan kurang ajar.  Walhasil dalam waktu yang sangat singkat tiga jung perang dengan mahalelanya duduk tanpa bisa bergerak geladak dan lambungnya hancur luluh lantaka di tambatan Kuala Melaka, tidak terhitung yang mati terinjak injak dari rombongan upacara penyambutan. Isak tangis dan kerusakan hebat dari bangkai tiga jung ditinggalkan di tambatan perahu Kuala Malaka.

Melihat hasil yang begitu  merusakkan semua anak buah Armada Majapahit terdiam sambil keluar dari Kuala Melaka. Mereka mengenang kawan kawannya yang gugur dan yang luka luka masih tertinggal di pulau kecil, menyayangkan mereka tidak ikut dalam serangan mendadak yang berhasil gemilang ini.

Tinggal Prangwadhana Sapuangin, teronggok memegang bumbung la’ang tua, memikirkan bagaimana melapor kepada Laksamana mandala Barat Sang Wreha Nala.   

Dalam sangkar sangkar burung merpati untuk ke Tanjungpura tinggal lima ekor, belum tentu bisa sampai ke Tanjungpura karena disamping melawan angin juga banyak burung pemangsa sebangsa elang di pantai perairan Sumatra. Hanya terkirim berita singkat, bahwa armada jung perang Malaka sudah dibersihkan di sarangnya Kuala Malaka, satu dengan luka lambung ditawan dikalahkan dengan baja dingin (artinya dikalahkan dengan pertempuran  geladak),  anak perahunya luka luka dan tertawan dibawa ke Palembang, jung masih layak laut.

Berita dibawa oleh hanya satu merpati yang sampai disarangnya di Tanjungpura lima hari kemdian dan segera diteruskan persis seperti yang ditulis dengan merpati dari Palembang yang dengan jumlah merpati hampir tujuh puluh ekor.

Dari tujuh puluh ekor merpati dari sangkar Palembang yang dilepas di Tanjungpura, hanya kurang dari empat puluh ekor yang sampai dalam seminggu. Berita diterima oleh Laksamana Wreha Nala dengan keheranan dan sedikit kebingungan dari Laksamana yang berpengalaman ini. Berita penting ini ditahan oleh Laksamana hingga armada kecil lima perahu perang Madura dan satu jung perang tawanan sampai di Palembang dengan menggunakan angin nelayan yang tidak pasti, dan pada umumnya melawan angin ke Palembang. dengan terpaksa menggunakan tawanan Melaka untuk mendayung sepanjang pelayaran ke palembang, hitung hitung juga latihan.

Lima  hari armada kecil ini selamat tanpa halangan sampai di pelabuhan sungai Musi di Palembang. Tanpa upacara apa apa. Prangwadhana Sapuangin pagi itu juga menghadap Laksamana Wreha Nala. Sambil menghirup suguhan sederhana minuman jahe dengan gula nira, juadah dan manisan, ikut dihidangkan mpek empek Palembang yang terkenal itu. Sapuangin menceriterakan bahwa dia keluar dari muara Jambi kepergok oleh dua jung perang Malaka dengan posisi armada kecilnya dibawah angin, Jajar pandawa yang dia  lakukan kurang cepat dari berkurangnya jarak antar dua armada jadi lebih cepat, akibatnya dua perahu perang Madura kena tembak jung dari jarak tujuh ratus depa. Darahnya mendidih, tiga perahu perang Madura langsung berlayar mengiris angin ke kiri dan ke kanan, dia ada di satu perahu yang ke kiri. Rupanya anjungan jung diarahkan mengikuti arah perahunya, menunggu kesempatan  melepaskan tembakan. Masih untung anjungan jung sudah tidak bisa mengikuti perahunya yang melingkar lambung dengan cikar kiri, akhirnya dia mengubah arah haluan ke cikar kanan dan perahunya terikut angin ke lambung kanan mendekati jung. Dengan jarak sepuluh tombak dia melompat ke tiang agung jung perahunya menghujani tembakan dengan jarak kurang lebih sepuluh tombak mengenai lanbung dibawah air yang niak karean miring menghadap ke haluan perahunya, disambung dengan cikar kanan dan  sehingga jarak mereka mendekat disertai dengan lompatan semua prajurit dari anak buahnya yang mersenjata cambuk dan celurit, anak perahu jung yang china tidak ikut bertempur dan berteriak perahu bocor, anak perahu orang Melayu menilih menyerah.

Sidang perang armada kecil ini memutuskan untuk menggunakan kesempatan menyerang mendadak Kauala Malaka dengan bendera Armada Laut Malaka, kesmpatan yang sulit didapat. masuk kuala Malaka dan menghujani tiga jung yang tertambat di tambatan perahu Kuala Malaka. Mereka yang terluka dan mati tujuh orang tentara laut Majapahit gugur dalam pertempuran ini dua perahu perang tenggelam, sebaliknya keempat jung perang yang dibeli dari Kaisar China semua musnah dengan satu jung tertawan. Selanjutnya Sapuangin menyatakan dirinya bersalah sebab untuk melakukan upaya yang menyangkut keselamatan armada Majapahit hanya Laksamana yang seharusnya memutuskan.

Laksamana lama merenung, setelah menyatakan terima kasihnya yang mendalam mengenai dihancurkannya armada Malaka,  penantang terang terangan armada Majapahit. Tetapi masuk kedalam kuala Malaka dengan bendera jung Malaka dan umbul umbul kemenangannya untuk mengejar jung yang lain,  benar perkataan Sapuangin, sebagai Prangwadhana armada kecil yang kurang informasi mengenai Kuala Malaka seharusnya tidak dilakukan oleh prangwadhana yang lain, sebab kekurangan informasi adalah satu perjudian.

Apa boleh buat, Wreha Nala akan melaporkan kehancuran tiga jung perang China milik Kerajaan Malaka akan sangat mendapat penghargaan istimewa dari Mpu Mada pribadi, sebab ramalan dalam suratnya lewat Duta dari Malaka sangat cepat terlaksana, walau dengan armada yang kecil saja.  Laksamana Wreha Nala sendiri akan menyambut anak buahnya dengan sasanti jaya jaya Mandala Barat dengan semestimya  besuk, Laksamana Wreha Nala menyilahkan para jagoannya ini beristirahat. 

Adapun setelah duapuluh hari.  tibalah utusan Mahapatih Mpu Mada Ke Palembang untuk menjemput Prangwadhana Sapuangin ke Wilwatiktapura beserta Laksamana Wreha Nala adalah pantas.

Mpu Mahapatih Gajah Mada, ratu Tribhuanatunggadewi menyambut kedua pahlawan laut ini di depan wantilan agung, barisan kehormatan satu mandala darat dibariskan dikiri kanan alun – alun penuh dengan  tentara berpakaian kehormatan yang mencorong keemasan, guna mendengarkan pidato kemenangan Mpu Mada,  arsitek dari Sumpah Palapa.

Tepat tiga jengkal matahari muncul dari ufuk timur, Sang Laksamana mandala laut Wreha Nala disejajarkan dengan Prangwadhana Sapuangin yang berpakian khas Madura Baju dan celana komprang sutra hitam dengan kampuh dari batik Tanjung bumi melibatnya pinggangnya dengan rapi, Kedua penunggang kuda ini tetap duduk dipelananya berhenti dihadapan wantilan agung. Mahapatih Mpu Mada berkendaraan kuda mendanpingi Sri Ratu Tribhuwanatunggadewi, diiringi oleh tamu umdangan para pedekar laki laki perempu berkepandaian tinggi  menunggang kuda berbaris mendekat dari kiri kanan wantilan Agung. Ratu Tibhuwanatunggadewi, berdandan serba biru, dari biru yang paling muda ke biru yang paling tua, komposisi busana parjurit dibuat dari sutra china terbaik, makkota dari emas tipis berhiaskan batu mulia biru dan biru laut, dandanan  ringkas, untuk penunggang kuda. Sang Ratu mampu tanpa kehilangan keagungan sang Rajaputri  duduk dipelana kuda secara lelaki. Setelah bunyi genderang dan bedug bertalu talu memainkan lagu gubahan  karya Sanggar dari Lembu  Anindita dan Lembu Andini yang diundang jauh jauh dari Banuwangi  ke Wilwatiktapura, Menyatakan bahwa dia, Prabhustri Tribhuwanatunggadewi, atas laporan Sang Mahapatih Gajah Mada, marasa wajib menyambut sendiri kedatangan wakil Mandala Laut yang sangat berjasa bagi Wiwatiktapura, dengan melenyapkan kelilip dari mata Wilwatiktapura. Nun di Kuala Melaka. Prang wedana Sapuangin telah menghacurkan ketiga jung perang dan menawan salah satunya/ Keempat jung  perang itu  telah dipersenjatai  dengan  mahalela dari Kerajaan Melaka, pembelian dari China.

Tangannya melambaikan pataka kemenangan sebelum  disampaikan kepada Panglima mandala Laut, disambut dengan sasanti jaya jaya dan dirgahayu Wiwatiktapura oleh sebegenap wadya yang berbaris dan penduduk warga Wiwatiktapura. Sudah tertundukkan musuh yang sombong, dan sepertinya Dewa Dewa mengizinkan dalam waktu yang sangat singkat armada dan mahalelanya sekalian telah dihancurkan, dan satu jung perang ditawan, kini jadi bagian dari mandala laut Wilwatiktapura. Prabhustri berkuda Laksamana Mandala Laut berkuda, Laksamana Mandala Laut maju menuju ke tanah yang ditinggikan agar semua wadya dan penduduk bisa melihat, kepala kuda menghadap ketimur, menuju ke tanah tanah sudah ditinggikan. Akan menyambut pataka yang akan disampaikan pribadi oleh Prabustri Tribhuanatunggadewi. Prabhustri sebagai penunggang kuda yang piawai memerintah kudanya dengan kakinya di sanggurdi, tepat kuda itu menurut berdiri berdampingan, satu di utara satu diselatan sedang kepala kuda Lasamana menghadap ketimur dan kepala kuda Prabhustri menghadap kebarat, sisi tangan kiri Prabbhustri memasukkan tiang pataka ke kulit tempat pataka didukung, terikat pada  pelana kuda  Laksamana. dan tangan kanan menyodorkan dengan tegas dan anggun pataka Mandala kepada Laksamana. Laksamana menyembah dengan kedua tangan menerima pataka yang sudah dalam penyangga dikudanya sambil duduk dan mengangkat muka sangat tegas. Penyerahan terjadi tidak lebih dari satu  yang sangat menarik semua hardirin.

Disambut dengan surak sorai sasanti  jaya Majapahit, jaya Wilwatiktapura oleh ribuan tenggorokan baik dari baris prajurit maupun dari hadirin penduduk. Sesaat Laksamana menghadapkan kudanya ke alon alon, mencabut pataka dan melambai lambaikan kearah mereka semua yang hadir di alun alun. Prabhustri juga menghadapkan kudanya ke alun alun sambil melambaikan tangannya pada hadirin, yang membuat mereka histeris. Laksamana tinggal di tanah yang ditinggikan dengan muka tegak dan memegang pataka sedang Prabhustri menjalankan kudanya dengan anggun kearah tempatnya semula. Kini puncak dari upacara adalah memberian tombak kehormatan untuk Tumenggung yang baru dan peresmian pengangkatannya sebagai “Tumenggung Manggala Yudha ring Jalanidhi” Sapuangin, oleh Mahapatih Gajah Mada. Dengan cara yang sama keduanya bertemu berdampingan kudanya di tanah yang ditinggika diiringi dengan “gending bahasa Madura, yang setiap penghuni ibu Kota Wiwatiktapura sudah hafal: “Olek olang paraona ajelen”, mendadak hadirin ribuan tenggorokan ikut melagukan gending rakyat yang sama sama mereka kenal, disambung irama yang cepat dengan guntur ketug tetabuhan jenis bedug  terbang dan genderang, Sang Tumengggung Pandega menyembah kemudian menyambut tombak kehormatan yang ternyata telah ditempa dan dikikir dihaluskan siang malam dalam waktu singkat kurang dari sebulan oleh kakek Empu Keleng sendiri atas pesanan kilat dari Mahapatih Gajah Mada. Tombak lantas di angkat tinggi oleh Sapuangin dan disambut dengan sorak sorai hadirin yang tambah histeris dengan gending Baris Ageng yang heroic. Kuda sang Mahapatih ikut menghadap ke alun alun dan mereka merapatkan kuda kudanya, dan melambai lambaikan tombak pusaka ditangannya.

Tapi pelajaran berikutnya yang sangat berharga diumukan, ternjata berlaku sampai bertahun tanun kedepan bagi armada Majapahit, dalam sidang para Perwia laut Majapahit, bahwa  satuan satuan kecil dibawah Prangwadhana tidak diperkenankan memutuskan memulai penyerangan laut sendiri tanpa informasi dan koordinasi dengan atasannya setingkat Tumenggung Manggala Yudha ring Jaladri, tidak boleh ada lagi meski kesempatan ada, mengingat tipuan yang sama akan diciptakan lawan untuk satuan mandiri yang kecil, sehingga kekeliruan diderita oleh satuan kecil yang terjebak tersebut sulit untuk diberi pertolongan oleh armada dikawasan yang sangat luas. Pweyerangan pada pangklan pangkalan peorumpak di tehuk teluk yang tersembunyi, harus dimulai dengan pengetahuan mutahir mengenai situasi pertahanan pantainya dengan setepat tepatnya, terutama adanya klantaka  pantai berkaliber besar harus dihindari, bila rencana tidak dikerjakan oleh Prangwedana dan Tumenggung prang ring jalanidhi, melibatkan wadya darat dan pasukan berkuda dari arah belakang.

 

Bendera armada Wilwatiktapura sudah bisa bertahan dilaut dan pantai pulau pulau Nusantara dengan anggun sebab setiap satuan tempur untuk meronda lautan dan samudra sudah berjumlan semakin besar, mencpai ratusan perahu perang model Madura dan model Pinisi dari Bugis yang lebih besar dengan layar sutra, tanpa menembakkan peluru kalantaka sekalipun, kecuali tembaan kalantaka hampa dengan salvo yang gemuruh untuk upacara dipangkalan pangkalan disetiap pulau selat dan kuala yang sukup besar siseluruh Wilayah Majapahit *)

 

Seri 8 untuk untuk bu Liumila

 jam 4  00  siang sampai sandyakala  sejak dari. MATAHARI TEBIT DI WILWATIKKTAPURA

KEMUNDURAN MAJAPAHIT SESUDAH SERATUS TAHUN MENANJAK

 

Benar sekali pemikiran Raden Wijaya dikala dia mendirikan Wilwatiktapura dari semak dan hutan dikawasan kaki Gunung Anjasmoro, agak masuk hutan dari aliran sungai Brantas. 

Wilwatiktapura memberi kesempatan yang sebaik baiknya untuk para pelayar dari Atas Angin, dari China, dari Campa untuk mendapat dagangan dari wilayah timur kepulauan ini yang hanya bisa dikunjungi oleh kapal layar setahun sekali dikala angin passat tropis dan disambung dengan angin musson barat (bulan Oktober – April ) kurang lebih selama empat bulan, sebab dua bulan adalah musim pancaroba. 

Sedangkan dagangan dari Timur kepulauan Nusantara juga hanya bisa dikapalkan  dalam waktu yang sebaliknya (bulan April – Oktober) dikurangi masa pancaroba. 

Yang  diperlukan pada era zaman itu  adalah rempah rempah kering dari Timur. Perahu layar hanya selama empat bulan bisa mengikuti angin musson timur dari Australia ke Asia Tengah (bulan April –Oktober),  dipenggalan tahun Masehi yang yang kedua. ( Bulan Mei –September )

Sedangkan Wilwatiktapura kurang lebih ditengah tengah kedua jurusan kapal layar ini, disamping pelayaran ketimur selalu berisiko besar, oleh perompak sepanjang pelayaran di selat Malaka dan selat  Karimata, menuju ke laut Jawa, sampai ke laut Banda dan laut Arafura, yang kala itu agak liar. 

Berkat gudang gudang kelas satu dan penjemuran ulang yang dimungkinkan di Wilwatiktapura kala itu, para pelayar dari timur sangat menyukai pelabuhan pedalaman kali Brantas di Wilwatiktapura. 

Ini semua berkat ketekunan patroli perahu parahu perang Majapahit yang sangat aktip baik di Sokadana sampai hulu sungai yang besar besar, Laut Jawa, Selat Makasar  sampai ke Sangir Talaut dan Laut Banda, Arafura, bahkan sampai ke Madagaskar pulau pulau kecil dan selat selat di Nusa Tenggara, Bali dan Lombok, tidak satupun Penguasa setempat yang tidak memperhitungkan kekuatan perahu perang Majapahit dalam menjaga keadilan. 

Berkat kalantaka yang dipasang dihaluan perahu model Madura yang sangat mudah berputar haluan, 

Dikatakan bahwa andaikata Bhatara Kala perlu mencongkel selilit diantara giginya, maka dia hanya berenang mendekati perahu perang Majapahit sambil menganga, maka selilit itu pasti bisa dicongkel oleh kalantaka yang dipasang dianjungan perahu model Madura ini. 

Selama seratus tahun keamanan ini terjaga baik dan seratus tahun berikutnya, tapi keadaan perdagangan sudah berubah. Kebutuhan akan rempah rempah dan hasil hutan yang langka dari Sokadana ( Kalimantan) berubah jadi kebutuhan akan beras, yang sangat dimaui pasar karena di anak benua China, di anak benua India,  sering ada peperangan antar Negara disana hingga kehidupan pertanian jadi kacau dan sering terjadi kelaparan merajalela. 

Disamping itu pada seratus tahun kedua berikutnya matahari Majapahit, rakyat di pedesaan makin menggemari kain tenunan benang kapas hasil usaha pertenunan di China dari tempat tempat antara Canton dan Sianghai, perahu perahu jung China pun semakin besar muat hingga  dua puluh ribu, lima puluh ribu kati. 

Sedangkan tembikar porselin dan seladon, kebutuhan kalangan atas makin diproduksi secara masal di China dan makin banyak diperdagangkan sebagai barang kebutuhan sehari hari. 

Akibatnya permintaan beras di wilayah Majapahit sangat melonjak, karena transportasi semakin ketinggalan oleh tidak adanya jalan dan Jembatan yang memadai, maka beras tidak bisa diadakan dengan cepat, dan semakin ketinggalan dalam peyediaan  dari kebutuhan komoditas beras ini.

Selanjutnya di abad kedua keberadaan Wilwatiktapura, ada sentra sentra produksi beras baru yang dapat menghasilkan komodity beras setara dengan daya angkut  jung raksasa ini tanpa menunggu waktu pengumpulan yang lama, dari sawah sawah yang dicetak dirawa rawa dimuara Bengawan Solo, tepatnya di Pmotan Utara, Bungah, Sidayu, dan di Manyar. 

Upaya semacam ini  tidak pernah  dikerjakan sebelumnya, yaitu mencetak sawah dirawa rawa pasang surut. 

Ini merupakan hasil pengetrapan teknologi dari Mesopotamia, yang telah lama menggunakan rawa rawa dilembah sungai Euphrat dan Tigris, semenjak zaman Babylonia. 

Rawa ini dikurangi ketinggian airnya sedikit demi sedikit untuk memenuhi kebutuhan tanaman, sistim pembuatan saluran saluran ini dicangkok dari sana oleh ulama ulama Islam yang datang dari Parsi zaman itu. 

Penyebaran Islam dari Parsi lebih mungkin terjadi lewat Asia Tengah terus menghilir Sungai Yangtsekiang dari wilayah Yunan,  dari sanalah Ulama Islam yang pertama menyebarkan Agama Islam di Nusantara, 

Bagusnya saluran saluran itu juga dapat digunakan mengirim hasil panen dengan perahu perahu berlunas datar dan berlambung lebar sehingga bagian yang  tenggelam sedikit saja, sangat mengurangi kesulitan transportasi darat tanpa jalan yang diperkeras dan jembatan jembatan yang menjadi kendala pulau pulau tropis yang subur di zaman itu. (Kondisi transpotasi yang sangat menghalangi kendaraan tarik beroda yang lebih efisien)

Meskipun harus lewat saluran yang dangkal dan berpintu air gandapun mudah saja. Perahu perahu ini dibuat dengan sederhana dari anyaman bambu (sekarang masih ada di wilayah Lamongan dan Demak.  Dibuat kedap air dengan lilin lebah dan batu aspal dari pulau Buton. Dapat muat beras atau gabah sampai tiga  koyan (kira kira 2 ton), Sampai ke penyosohan gabah, dan kemudian diangkut ke jung jung yang tidak harus menunggu lama di pelabuhan jung jung yang semakin besar, sejumlah ratusan koyan beras dalam keadaan kering, siap kirim, tanpa kuwatir akan penurunan kualitas selama dalam palka jug jung raksasa itu. Disebabkan padi yang ditanam tidak rontog, sudah di angin anginkan selama dalam penyimpanan sesudah panen. padi jenis bulu maupun jenis cempo.

Muatan barang dari China bisa dipilih jenis jenis yang untuk pasar kelas menengah bawah di jung besar besar jaitu seladone, gerabah perselin kasar, kain tenunan kapas kasar, sampai sekarang disebut cita sinbun, kain makao ( sekarang ditenun di  Amerika, untuk bungkus tepung gandum), paling halus cita kembang, dan besi yang dirupakan batangan dan diperlakukan sebagai uang. ( penulis dongng ini curiga. Dari kata Psar uang ini maka ada kota pelabuhan di jawa Timur ysng namanya Pasuruan – dari Pasar uang)

 Besi ini dapat ditempa sebagai perkakas karena tidak mengandung banyak carbon dan lain kotoran dan sudah dibakar dengan bijih Mangan sehingga tidak getas/ pecah.

 Maka dari itu bila disimak, ajaran Islam yang ada waktu itu bernuansa aliran Di Mesopotamia yaitu aliran Syi’ah.

 Aliaran khilafah ini di Nusantara kurang tajam dalam pertentangannya dengan kaum Suni. Hanya kaum ini sangat menyesalkan  kena apa keturunan Nabi dihabisi demi  kekuasaan, sedang Daulah Islamiah dipimpin oleh aliran Suni, dari bani Mu.awiyah yang agrasive sebagaimana bangsa Padang Pasir, menaklukkan Negera Negara  kebarat sampai Granada dan ketimur sampai Bagdad, bahkan menyeberangi Sungai Indus. 

Dalam expedisi penaklukkannya, aliran Suni ini pada kurun zaman itu belum  sampai di Nusantara.

Selanjutnua pada zaman berikutnya ganti wangsa  Abbasiah yang dari Parsi mendominasi daulah islamiah  berbarengan dengan kedatangan para ulama dari Parsi dan Yunan dan bermukim di Garowisi sekarang Gresik.

Mereka sangan peawai mengembangkan ilmu tasawuf Islam karena sisa kebudayaan yang sudah tinggi dari wilayah asalnya. Penyiar islam yang ini jauh lebih mudah berinteraksi dengan kaum brahmana Hindu. Sehingga tidak ada perselisihan dikalangan bawah karena dikalangan atas bisa saling mengerti. 

Hanya, islam lebih egaliter dalam pendekatannya terbukti pada semangat mengajar ilmu pada kaum bawah yang berdagang jaitu ilmu berhitung pembukuan dalam huruf arab. Sedangkan Hindu tidak pernah mengizinkan wangsa bawah kaum Waysia apalagi kaum sudra. Dilarang belajar membaca, yang terpenting  dengan angka lambang bilangan arab, yang sangat cepat di pakai seluruh duna perdagangan sampai sekarang, sangat mudah menghitung laba rugi dengan pembukuan lajur. Karena agama Itu semua gara gara Hindu melarang kaum bawah membaca Wedda.

Sedangkan dagangan yang harganya mahal lebih disukai di pasar pasar ujung barat jalan Sutera, nun disana di wilayah orang Arab dan Punisia (sekarang mungkin Lebanon), tempat orang kaya baru berbelanja  sutra sutra halus dan perselin halus, karena tidak ada saingannya. Kain muslin dari kapas India, kain dari kapas  Mesir, telah ditenun di Balkan ( sampai sekarang namanya tenun Damask) dan Perancis selatan.  Maka di abad kedua Majapahit, Wilwatiktapura menjadi semakin tersaing dengan singgahnya jung jung raksasa  untuk mendapat barang kebutuhannya berganti beras lebih murah dan lebih banyak  dari Trung dan Ampel Denta, bekas wilayah Jenggala. Lagipula harga beras yang ditawarkan dengan tukaran barang barang keperluan rakyat menengah ini lebih miring, dan barang dagangan beras dalam jumlah besar bisa didapat sepanjang tahun, berkat pengairan rawa. Bagaimana tidak lebih murah dari yang berasal dari Wilwatiktapura, wong ngangkutnya dari sawah dengan perahu yang lunasnya datar, jadi lewat saluran pengairan sawah-rawa secara estafet pun jadi. Sedangkan di Wilwatiktapura diangkut dari Majalegi (Sekarang Pare), dan Jombang, wilayah pengairan bendung Harinjing (salah satu bendung kali yang tertua di pulau Jawa) dengan kuda lebih dari lima puluh yojana sampai ke jung jung ini berlabuh, tanpa jalan dan jembatan yang memadai.

Memang beras bukan dagangan utama Wilwatiktapura sejak semula. Lagi pula untuk bekal perahu model Madura dan Pinisi patroli Majapahitpun, beras bekal armadanya malah beli di Ampel Denta dan Garowisi.

Permulaan abad ketiga Majapahit telah dijangkiti Pejabat tukang peras, penarik pajak  anggauta sekte nyleneh Bhairawa,  suka menang sendiri. Bayangkan kota perdagangan yang diperebutkan banyak kaum Ksatria berdarah biru untuk menjadi Penguasanya, dengan segala cara, maka pemerintahannya sangat lemah. Para Nayaka Praja, kepentingannya terbelah belah, mendukung Pangeran Pangeran yang mereka jagokan. Kekuatan jahat para Bhairawa yang mengumbar hawa nafsu, yang telah mengendap sebagai rahasia  pergaulan masyarakat Wiwatikapura selama ini, mulai muncul dan mendominasi situasi pergaulan dikalangan para Narapraja, tidak aneh karena kenikmatan Ma lima ada didepan mata. 

Penyangga ekonomi Kerajaan kerajaan sejak semula sudah tidak mampu melayani kebutuhan pasar, surut oleh zaman yang berubah, pengelola Praja yang korup dan penggemar Ma lima, menjadi anggauta kehormatan kaum Bhairawa, di abad abad kedua dan ketiga Majapahit adalah tanda suramnya matahari senja di Wilwatiktapura.*)    

 

EPILOG

CERIA SESUNGGUNYA

BULAN SABIT TELAH TERBIT DILANGIT BARAT LANGIT YANG  LAGI TEMARAM 

 

   

HUNIAN MASYARAKAT ISLAM DI PANTAI     UTARA JAWA TIMUR

 (Bab 1 ).

Garowisi bukanlah tempat yang  penting  dalam pandangan Penguasa Majapahit.

 Tanah berbukit  bukit kapur yang menjorok kelaut, gersang disini hanya  tegakan pohon Tal  atau Siwalan yang berumur sangat panjang saja, yang cukup berharga  untuk disadap niranya   dari malai bunga yang belum mekar, disiapkan secara khusus, yaitu dipukul pukul dan akhirnya lemas bisa dilengkungkan kebawah ke mulut bumbung yang di kaitkan di mayang setelah diikat menjadi satu lagi masih dalam seludangnya trus ujungnya dipotong dari sana menetes nira, ke esokan harinya sementara nira masih belum meragi, pemotongan malai yang sudah disiapkan dengan cara diatas, diulang lagi sedikit sehingga niranya menetes lagi, dan seterusnya hingga malai itu  habis  Nira ini untuk bahan baku tuak dan arak maupun cuka, juga  gula  dan daunnya untuk segala macan alat   termasuk alat penting,  berfungsi sebagai kertas  untuk mencatat segala sesuatu . namanya “rontal”  ( ron  bahasa Jawa berarti daun, tal adalah enau},   

Pohon Tal atau siwalan, baru berbuah sesudah tiga puluh tahun.,  jadi  sipakah petani 

yang begitu jauh pandangannya untuk menanam siwalan yang hanya akan dinikmati

setelah sekian lama,  akan tetapi siapapun yang menyadap nira   dia  akan selalu  

menanan benih tal sepanjang perjalanan  dari pohon ke pohon selama  dia menyadap  

tanpa berfikir kapan dan siapa yang bakal memanfaatkan  hasil benih itu   sesudah

sekian puluh tahun  karena dia sendiripun menyadap pohon tal yang  entah siap yang menanan dulu.

Diwilayah perbukitan yang gersang  sepeti  Garowisi tidak ada  Pura ataupun  Candi  sekecil apapun.

 Para  Pemelihara  Pura,  Pamangku   juga tidak ada, apalagi   para Pedanda,  dan  Para   Ida,  merekalah  yang mahir menulis dan  membaca rontal., Mereka mengajar murid muridnya dari kalangan Brahmana dan  Ksatria  yang  dilahirkan dari Ibu Brahmana ,  Asyram yang  besar besar biasanya hanya  disekitar Pura penting  dimana Sang Brahmana  Tuan Pandita   memimpin upacara dan mengajar.

Ada  sosok  wangsa Ksatia menjabat sebangai   Kaum / Pemangku di Banjar Romo,  seberang kali Lamong , jalan ke Gresik,,  dialah yang memimpin upacara  kelahiran,  perkawinan dan kematian dari  kawula  Hindu  Majapahit,  Pande Sila melayani wilayah gersang ini, semua   warganya dari kasta rendahan,   jadi  semua upacara menjadi sekadarnya saja. 

Pande  Sila  bisa membaca rontal dan bisa menulis huruf Jawa  bahasa resmi Majapahit, malah penduduk  yang sangat jarang diwilayah gersang ini sering datang dari jauh minta tolong  menuliskan pesan di  rontal dan menuliskan  ongkara, huruf bermantera untuk  tumbal gubug mereka.. tentu saja dengan sekedar imbalan..

Masa muda Pande  Sila  menjabat sebagai petugas pajak penyeberangan  kali Lamong,  menghabiskan  semua hasil  pemasukan  penyeberangan, dan setelah bertahun  tahun  tidak mempersembahkan  baktinya kepada  Pejabat atasannya  di  Tandes,   bagitu   penyeberangan   yang ditunggui  oleh Pande Sila  menjadi sepi  dia  tidak  lagi  diberi  jabatan  apapun,  penyeberangan Kali Lamong   dari Garowisi  ke  Banjar Romo dan  seterusnya  lewat jalan setapak dan becek bisa sampai ke  Tandes  sudah diabaikan, diganti dengan tempat penyeberangan agak jauh kebarat

dengan jalan yang lebih bagus menuju ke  Tandes  juga..

Begitulah sosok Pande  Sila  menjelang  setegah baya  menjadi   Kaum /agama Hindu Jawa, di Bali setingkat Pemangku, juru tulis rontal  ditempat yang terpencil  di banjar Romo.

Tentu saja tawaran  Juragan Sonokeling untuk mengajar  anaknya Ken Ampyang  diterima baik karena  bayarannya cukup besar  dan hanya setiap pekan saja dia  datang ke  rumah Juragan Sono  dari matahari condong ke barat sampai  malam,   menginap semalam  diwantilan Juragan Sono dan paginya dia bisa belanja  ke pasar Garowisi yang semakin ramai.

Ki Sonokeling memperlakukan  Pande Sila dengan baik sekali,  setiap kali  Pande Sila datang sebelum duduk di bale di wantilan  Ki Sono  dengan anaknya  berjongkok meraba  jari  kaki   Dang  Guru Pande, seperti layaknya  orang Hindu memperlakukan Guru  dari wangsa  Brahmana.

Upacara pengangkatan Guru dengan persembahan rupa rupa dan sebentuk cincin emas   sepuluh  tail juga diminta oleh Pande Sila,  meskipun  di hanya seorang  Kaum  sebab memang begitulah seharusnya menurut  ajaran  yang ada..

Pande Sila masih minta tambahan kain cindai cina untuk  sarung, mengingat bahwa  tidak seorangpun dari wangsa rendah yang bisa diterima di  Asyram  para Ida Brahmana  untuk  belajar menulis dan membaca.

Dang Pande Sila  bisa menulis dan membaca sekadarnya  karena  dulu ayahnya yang  berasal dari wangsa Ksatria  bekerja  sebagai  undagi  ukir di Pura   Agung  di Wirasaba.,  Ida berkenan menyuruh mengajari  pemuda tanggung Pande  kepada  Jejanggan ,  pembantu Ida  dari wangsa Ksatria   mengurusi  bidang  bidang  pekerjaan selain Weddangga, . Bagi  kasta  rendahan   sulit sekali untuk mendapat  kesempatan  seperti itu    meskipun   seluruh keluarga  kasta  rendahan itu sudah mengabdikan dirinya kepada keluarga Ida  sepanjang hidupnya ,  mengerjakan sawah ladang, memelihara rumah tangga dan ternak  itu semua  bukan  pembuka kesempatan untuk diajari membaca dan menulis. Satu satunya hadiah yang tak ternilai adalah mereka diperkenankan  ikut dibakar tulang belulangnya pada waktu ada palebon agung keluarga sang  Ida,  di tempat lain  yang tidak menyolok,  pada rangkaian upacara yang sama.

 

 Begitlah  Ken Ampyang  mulai belajar menulis dan membaca setiap  sore  hari  Umanis,  datanglah Sang Guru,  setelah dijamu secukupnya, dipersilahkan ke  sanggar,  satu bangunan empat persegi, beratap  ilalang  yang tebal dan tesusun rapi berbentuk limas yang tidak terlalu tinggi ,  dengan dinding  anyaman bambu halus  setinggi orng bersila sedang   sampai ke atap ilalang disambung dengan  bilah bilah bambu yang disilang silangkan  membentuk lubang lubang berbentuk ketupat yang teratur, lantai  batu kapur  dialasi seluruhnya dengan tikar  anyaman rotan yang halus,  pertanda inilah sanggar  orang kaya.

Ditengah ruangan sanggar  ini dipasng semacam meja  rendah   manpak kokoh karena semua pasak sambungan kaki kakinya kelihatan dan agak besar dari  perabotan biasa,  diatasnya ada satu  kotak papan yang rendah penuh berisi pasir halus.. diatasnya digantung lampu  balencong   minyak  kemiri bersumbu lima  

Setelah sang murid nenguncupkan jari bersembah,  mulailah pelajaran menulis huruf  Majapaht,  pengembangan huruf  Palawa  yang asalnya  ciptaan kaum Brahmin di India.,  sekarang kita menamakan huruf Jawa kuno

Ha, Na, Ca, Ra  dan seterusnya. samapai  Nga

Semua ditoreh dengan jari  dipermukaan pasir halus,  berlenggak lenggok,  semula semuanya nampak lancar, tapi telah  dua purnama  kemajuan menjadi seret,  karena  sag Guru mulai sangat rewel dalam  menilai keserasian lenggokan setiap huruf, bahkan setelah tiga purnama  Joko Ampyang belum dapat menuliskan namanya sendiri.

Sang Guru, dari kasta ksatria  dengan  kata kata  yang merendahkan  mulai  memberi wejangan panjang lebar bahwa setiap huruf itu  adalah tanda para  Dewa Agung  Syiwa, Brahma dan Wisnu,  dan Dewa – Dewi penting lainnya,  jadi anak Waisya   yang tidak ditakditakdirkan  untuk  melayani para Dewa Dewi ini  seharusnya tidak belajar menulis  kalau  tidak tahan uji ,  salah  menulis  satu huruf saja,  akan  besar sekali  kutukan  yang akan dijatuhkan para Dewa , termasuk Guru yang berani mengajarkannya,  jadi  sebagai  Guru  anak Waisya   dia  harus sangat berhati hati.

Rupanya tambang kepingan  perak Majapahit   harus digali selama mungkin  untuk dinikmati ,  sang Guru tengik ini tahu Juragan Sonokeling  memang kaya dan sangat kuat kemauannya untuk  menjadikan anaknya  pintar  menulis dan mebaca. !

Lagipula  kapan lagi ditempat yang  jauh dari  Budaya ini ada orang  gila yang mau mengeluarkan  keping keping perak untuk belajar ilmu Brahmana ?

 

Setelah tiga purnama,  kedatangan   Dang Guru  Pande Sila  menjadi  suatu yang sangat  menganggu  Ken  Ampyang,  menjelang  hari Umanis  Joko Ampyang sudah kelimpungan,  dia mohon betara   Kala dan  Dewi Durga untuk mendatangkan penyakit bagi Gurunya,  Dewi Dalbo dimintanya  dengan sunguh sungguh  untuk mendatangkan air bah dikali Lamong  berbula bulan supaya dia bebas dari kunjungan  tukang  ancam dan orang sombong itu.

 

Siapapun  orang dewasa  dirumah tangga  juragan Sonokeling, tidak akan mengira bahwa  Ken Ampyang  yang hampir sembilan tahun umur nya  itu , sudah  mempunyai pandangan yang lain dari mereka,  walau Bapak Ibunya sendiri.

Kebanyakan teman bermain Ken Ampyang adalah anak anak sebaya dari kampung yang agak  jauh diutara  rumahnya, kampung Tuan Molana., mereka ramah  dan pemberani.,  sahabat kentalnya yang dari  Kampung Tuan Molana  benama  Alibin, nama yang aneh, semua temannya memanggil Ali, tapi Joko Ampyang memanggilnya Alibin, kerena  teman yang satu ini  selalu meperkenalkan dirinya dengan nama Alibin  selanjutnya sangat panjang dan aneh,  jadi Joko Ampyang  memanggilnya dengan  Alibin saja. Anak beumur sepuluh tahun  dari kampung Utara ini matanya sangat tajam dan berwarna sangat  hitam   begitu  juga rambutnya yang dipotong sangat pendek.. Alibin tidak takut mencari telur ayam hutan dibawah batu kapur  yang tegak menjulang tinggi dan besar, tidak takut  memancing  ikan di  Karang  Hantu, begitu pula teman  teman Alibin dari kampung Utara..

Bersama mereka ken Ampyang berani datang ketempat tempat itu, meskipun waktu pertama kali  jantungnya tidak tetolong berdegub kencang. 

Alibin menjelaskan, menurut  anak anak yang  lebih besar dari kampung  Utara,  juga   Guru  pelatih mereka,  ditempat tempat yang dibilang sangar , yang harus diwaspadai adalah binatang berbisa dan binatang buas,  reperti ular berbisa , kala  dan lipan besar  ada tempatnya  sendiri  yang disenangi  masing masing jenis dan punya waktu khusus untuk tidur dan berburu,  guru guru mereka yang masih muda muda itu yang mengajak membuktikan  kebenaaran  tanda tanda adanya binatang yang berbahaya  ditempat tempat  yang  diceriterakan.  Bahkan, tutur Alibin, mereka  malam malam telah menbuktikan bahwa  pendar pendar cahaya kemerahan  di  hutan  bambu ori itu  ternyata hanya jamur  bukan  Banaspati pemangsa  anak.  Tepian air yang sepi dan tenang   sering  menjadi tempat buaya mnenyergap mangsanya  yang kurang waspada,   dirawa rawa dan  kuburan mayat  yang baru sering ada nyala api pada malam hari, sebenarnya hanya   uap  hawa  saja, dari kotoran ayam dn kotoran sapi pun  para Guru  muda dari Kampung utara bisa membuat  hawa yang  bisa menyala dimalam hari   Alibin tahu itu semua.

Sebaliknya kenalan  Jaka Ampyang  yang dari kampung sepanjang sungai  Lamong anak tukang perahu dan anak para nelayan dan penganyam bambu,  mereka sungguh sungguh   membuatnya  meremehkan, banyak sekali ceriteranya yang aneh aneh  mengerikan,  yang didukung oleh  kenyataan   seperti nyala api  ditengah rawa,  pendar pendar cahaya dihutan bambu ori,  sebaliknya dia  juga sudah  mendengar ini  dari teman teman  Akibin. yang   nyatanya  begitu  sederhana,  kasihan anak  anak  dari kampung piggir kali  ini selalu  dirundung ketakutan.  Apalagi  waktu malam,  sedangkan  para tetuanya juga  sama saja bodohnya  maklum mereka adalah  orang kasta rendahan yang campur aduk  dengan   orang  dari  suku -suku yang  tinggal dipulau  - pulau  yang jauh  yang terdampar di Gresik,  jadi  begitulah mereka termasuk wangsa Pariah,  mereka yang selalu  dibuat  contoh  jelek  dan dinista oleh  Dang Guru  Pande Sila., karena  tidak pernah  bisa   menyelenggarakan  upacara yang suci dan  benar,  hanya banten kepadada makhluk makhluk halus saja.

..

Suatu waktu Alibin dan beberapa temannya datang bermain  ke halaman  Ken Ampyang,   mereka bemain  jirak kemiri, biji kemiri  diatur   membentuk formasi dan dilempar dengan biji yang sama dari jaral kurang lebih empat depa,  dari  posisi yang kena lempar   telah ditentukan jumlah  biji yang dimenangkan bagitulah kira kira aturan permainannya..

Menjelang sore hari Anggara  Kasih,  Ibu  Ken Ampyang  membawa sesaji beberapa canag  sari dan  dupa yang mengepul dari  sepotong sabut kelapa  yang kering ,  keliling pagar tembok  halamannya yang luas,  serta merta Alibin berbisik kepada Ken Ampyang  

“ Itu Dewa apa yang makannya begitu sedikit ? “

Ken Ampyang turut tersenyum  sebab selama ini dia tidak pernah memperhatikan apa  yang kadangkala  dilakukan oleh  Biangnya, maklum suasana   Banjar  Hindu sudah  tidak ada  ditempat  itu, sedang tetuanya adalah  Bapa dan Biangnya saja, yang juga sangat sibuk,  pembantu pembantu Ki Juragan  orang  dari gunung gunung  di pedalaman  yang   tidak terlalu  mengerti  tentang tata cara   mereka  di  huniannya   hanya tahu dari tetua Desa  saja  mengenai apa yang  harus lakukan untuk menyenangkan  para penunggu  batu besar pohon pohon yang besar dan menyendiri  kedung dan jeram itu saja,  semua dengan bumbu dongeng yang seram seram  tidak ada  lain di  benak  meraka.,  mereka juga  tidak memuaskan  Joko Ampyang..

Lagipula  dia ingat betapa  sulit membuat  lenggak lenggok huruf  Jawa  ajaran  Guru Pande Sila  supaya tidak dikutuk para Dewa , yang makannya begitu sedikit.

Saking jengkelnya dia pernah  menuliskan  huruf  dengan sekenanya,  dan tidak terjadi apa  apa  padanya.,  galaknya  tidak terbukti, makannya sedikit,   lucu  pikirnya.  .

Hanya sekali itu saja,  selanjutnya  Alibin dan teman temannya tidak pernah  mebicarakan  apa  yang dilakukan  oleh  keluarga  Ki  Sono,  apapun  yang  menyangkut  upacara  dan   cara hidup  ken Ampyang.

Rupanya Guru- Guru muda usia dari kampung Utara telah  wanti- wanti membekali Alibin dengan  perilaku  yang harus  dijaga dirumah  Ki Sonokeling.

.Joko Ampyang uring uringan  karena  kemiri mudalnya satu  bakul kecil hsmpir hsbis karena kalah.

“Ya,  kau  Bin,  memang  penembak tepat,  tapi aku sekarang  belajar menulis !

apa kau  juga diajari menulis dan membaca ? “ ucapnya dengan  muka tengadah  bangga,

 

“ Hai,  kami sudah belajar menulis dan membaca  satu tahun yang lalu,  malah kami

 juga belaja berhitung , nih  buktinya ! “

Alibin mengambil  kemiri miliknya dari  kantong  anyaman daun pandan  yang  menggelemung ,   setakar  tempurung  kelapa   kemiri  dionggok-kan di tanah  dan  dua genggam lagi dionggok-kan   bersebelahan dengan cepat.

“ Sekarang  hitung setiap unggok  dan jumlahkan  berapa kemiiri dua onggok itu kalau digabung !”

Tantangan yang mendadak ini membuat Joko Ampyang  terkesima,  dia memang bisa menghitung jarinya,  tapi smpai ke jari kaki  dia  ragu ragu bagaimana  urutan-nya.

Untung  Alibin  ketek ini ikut menghitung dengan cepat  dan  dengan suara melengking,  satu onggok besar  duapuluh tujuh dan  onggokan yang lain  duabelas,

Alibin mncorat coret tanah  dan  sambil jongkok membelakangi  Joko Ampyang,  sambil menghapus ingus dengan  belakang telapak tangannya   dia menoleh  ke Joko Ampyang  yang  melongo, dua telapak tangannya yang mendandak berkeringat diusap usapkannya pada  kampuhnya,  tidak pernah selama ini dia begitu tidak berdaya..

Melihat  Joko Ampyang  begitu kedodoran, dia menoleh ke coretan-nya ditanah dan  dia bersorak penuh kemenangan 

“ Jumalnya tigapuluh sembilan “

Ampyang yang   lagi  buntu pikirannya ikut melihat corat coret  Alibin ditanah tapi heran, dia tidak mengenal satu hurufpun.

“ Nah, inilah Ilmu  Berhitung,  sekarang coba tulis namanu sendiri !”

“Saya belum bisa menuliskan nama saya sendiri,   kan saya baru  tiga pernama  dengan sekarang   belajar kepada  Dang Guru Pande Sila dari Banjar Romo”

“Lengggak lenggok huruf  Jawa,  yang juga mewakili  nama para Dewa menurut Guruku ,  tulisanku   tidak pernah memuaskannya, seperti  ini  misalnya “

I Ampyang   melenggokan garis di tanah huruf Jawa  ‘sa’  yang bentuknya  paling sederhana  adalah  nama Dewa Iswara   tidak boleh sembarangan”

“Lantas huruf yang lainnya bagaimana”

-- “ Lebih sulit , Guruku selalu tidak puas, aku bisa dikutuk oleh Dewa yang  namanya

       di huruf itu.!”

“Untung yang kupelajari adalah huruf  Arab,  tidak ada Dewa  apapun  pada huruf hu-

   huruf Arab,  angka-angkanya  yang melambangkan bilangan  mudah sekali  ditiru lain dari huruf  Jawa yang kau pelajari.”

--“Apakah kau juga belajar  menulis huruf Jawa ?”

“aku baru dua purnama belajar huruf Jawa , nih contonya “

Alibin mecoretkan  lidi melenggak- lenggok  dengan cepat  duapuluh huruf Jawa

---Wah,  apakah Gurumu tidak rewel  dengan lenggokan huruf huruf itu ?

“Semula memang  aku selalu dituntun  mereka ,   tapi lihat sendiri apakah huruf   huruf ini ada yang salah?”

---“Wah saya mengenali semua kedua puluh huruf ini, entahlah ,hanya Guru Pande saja yang tahu benar tidaknya  tulisanmu  ini  apalagi  dimata para Dewa., mana aku tahu !”

 

“Menurut para   Kakak  Guruku,  kami  belajar menulis dan  membaca  untuk nanti bila kami sudah  harus  berkerja  berdagang atau menjadi nakhoda  jadi apa  saja , bisa baca tulis uruf apa saja  yang bisa dipelajari. akan  sangat berguna, juga ilmu berhitung.”

 

Rasa  kecewa  dercampur aduk  dengan  kagum   bercampur heran, mengapa  dia  mendapatkan guru yang lain sekali dengan  Alibin  yang  rumahnya  tidak  luas,  ayah Alibin  sering melakukan perjalanan jauh , dan nampaknya  sederhana, itu saja yang  Joko Ampyang  tahu.

 Semua percakapan menjadi bubar, rupanya  Ibu Joko Ampyang  kaluar dari bangunan dapur sambil membawa nampan  anyaman lidi daun tal dialasi daun pisang, 

--- “  Ken. ini ibu buatkan  ketan juruh  kalian bisa makan bersama, cuci dulu muka dan tanganmu”

Nampan yang serupa piring agak besar itu berisi  ketan yang baru  ditanak,  ditaburi kelapa parut yang serupa permadani putih dan  diatasnya dilumuri  cairan kental coklat kehitaman,   gula  dari nira  tal yang dicairkan dengan bumbu  daun pandan  dan kayu manis yang harum..

Serentak empat anak laki laki tanggung menyerbu tempajan besar yang ada  lubangnya dibawah  mirip  anak lelaki lagi  kencing, disumbat dengan sepotong kayu yang diraut , air yang di-isikan  kedalam tempayan besar   diambil dari  embung dan sudah diendapkan dan disaring dengan tempayan lebih besar lagi yang sepertiganya diisi arang  ditutup dengan  pasir,  lubang  ditutup dengan  cara yang sama ,  bila  perlu ainya bisa dikucurkan masuk ke tempayan  dibawahnya untuk membasuh mukat dan tangan,  alat yang lazim dipakai dirumah  rumah  di Gresik pada  waktu itu.,  Ki Sonokeling  tiggal membeli dari  pasar saja..

 

Sejenak kemasgulan Ken Ampyang  terlupakan, setidaknya  Alibin dan temannya  mengagumi   kebaikan hati Ibunya , ketan juruh yang dimasak Ibu Ken Ampyang sudah licin tandas, tinggal daun pisang diatas nampan  anyaman lidi  daun tal saja yang nampak mengkilat tanpa sebutir ketanpin.

 

Siang yang panas,  matahari sedikit condong ke barat,  burung emprit gantil dari jauh  bernyanyi   dengan suara memelas  yang khas terdengar sayup sayup lebih membuat suasana menjadi tambah  panas menekan.,  tiga siulan panjang dan sayu disusul dengan satu siulan menggetar  lebih pendek   ..... tiiiiiiiiit,   tiiiiiiiiit. Tiiiiiit.  Tir-r-r-r-r berulang ulang.

Hari Umanis,  sebentar sore  Dang Guru  Pande  Sila  pasti datang,  sungguh Ken Ampyang sangat bosan  mendengarkan celotehan sang Guru yang makin lama makin barlagak itu..

 

Ken Ampyang  memberanikan diri  mendatangi  wantilan panjang  dengan meja kasar yang panjang juga dimana  Ayahnya sedang sibuk menghitung rencengan uan gobog Majapaghit dan  rencengan uang gobog  Cina,  dihadapannya  enam- tujuh laki kali setengah telanjang, hanya bercawat kampuh saja,  caping tutup  kepala  dipegang  masing masing  meskipun mereka masih berdestar , mereka   duduk bergerombol  diundag  wantilan ,menunggu pembayaran  beras merah  yang mereka  pikul bersama   beberapa puluh tukang pikul yang menunggu dibawah pohon sawo kecik agak jauh dari wantilan.

Para tukang pikul itu  tidak berdestar,  hanya berikat  kepala saja dari tali  atau daun lontar  sekenanya, mereka sedang sibuk mengunyah sirih pinang yang  disediakan oleh  Biang Juaragan.,

Mereka mengunyah dengan nikmat, memang  dirumah Juragan Sono daun sirih selalu tersedia segar dan banyak  beserta buah pinang yang  tepat sekali waktu memetiknya, tidak terlalu muda tan tidak terlalu  tua,  tukang tukang pikul itu mampak puas dan santai.

Ken Ampyang menunggu Ayahnya  berdiri agak jauh dengan tangan disilangkan dan raut  muka  seperti  dilipat.   Juragan Sono melihat  sekilas, walau  mukanya   nampak msih menghadap  ke meja panjang sambil memanggil  nama salah satu  laki laki yang berdestar lusuh., dia memberikan  rencengan gobog dan bererapa gobog lepas  dengan menyorongkan tumpukan  gobog  (mata uang chna dari kuningan bundar dengan lubang persegi ditengah) itu   kearah laki laki  yang ia panggil,

sambil tersenym dan menguncupkan tangan didada,   demikian  juga selanjutnya untuk laki laki berdestar  yang dia panggil sampai selesai.

 

Setelah semua  pemasok beras merah  langganan lama  sang Juragan  pergi ke balai balai besar  dimuka rumah dapur untuk dijamu tuak dan makan dengan ikan laut berbumbu mangut, dan beristirahat  seperti biasanya,

Juragan  Sono  memandang anaknya lurus  lurus, tanpa sepatah katapun, tangannya diletakkan di meja  papan kayu  sukun  tebal  dan  nampak kasar  meskipun  setiap bilah papan-nya  disambungkan dengan rapi sekali. Ki  Sono duduk di bangku panjang.

 

Dengan isyarat itu  Joko Ampyang  mulai mendekati  ayahnya   masih tetap sambil berdiri., anak tanggung  ini bicara dengan nada  menuntut, maklum  meski dia tdak dimanja tapi begitulah anak laki- laki semata wayang  dikeluarga  Hindu.

“Isun  tidak mau belajar  kepada Guru Pande lagi”

“Ayah,  isun tidak malas dan sudah berusaha  keras, tapi  rupanya usaha  isun  tidak ada yang  benar dimata  Guru  Pande,  begitu pula dimata Dewa- Dewa.!”

 

Men Sonokeling  berasal dari wangsa rendahan,  kaum  Waisya  dari  Banjar  jauh ditepian Kali Porong.,   dia sudah kenal sekali dengan  kesombongan kaum diatasnya,

apalagi  menyangkut   keistimewaan  wangsa mereka terhadap wangsa dibawahnya.

 

Juragan Sono memandang tangannya  kepalanya tetap tegak,  hatinya   mencelos,  kecewa dan nelangsa,  apaka seterusnya dia dan keturunannya tidak bisa jadi  orang yang lebih pintar ?

“Isun ingin sire  bisa baca dan menulis Ampyang,   isun akan mencarikan Guru  lain,

kalaupun ada, kalau perlu sire  isun kirim ke  bandar  Terung,  berguru  kepada Pendeta  Kasogatan, meskipun  sira harus gundulan dan hidup dari  minta minta  seperti para murid  pendeta Kasogatan  umumnya.

 

“Itu  isun gemang Bapa! , sun mau ikut teman isun dari  kampung Utara ,   Alibin

dia punya Guru msih muda muda   juga belajar berhitung,  isun sangat  ingin belajar hitungan seperti  dia ,  boleh ya Bapa”.

 

Tole,  isun segan  menemui tetua kampung  Utara  itu untuk menanyakan  tentang hal berguru  membaca dan menulis  apalagi  hitung  menghitung,  mereka orang Islam., apa mereka mau menerima sire ?”

 

Joko Ampyang  makin cemberut  saja mukanya,  sebab dia mendengar  bahwa  I  Sotil anak Biang  Tenggok   pembuat gula  yang berkasta  Pariah dan miskin  juga telah ikut  berguru di kampung Utara, dia baik baik saja.

 

““Bapa, I  Sotil  anak  biang Tenggok   ikut belajar di kampung Utara setiap sore,  kelihatannya dia baik baik saja, dia tidak Islam karena  kulup kemaluannya tidak dipotong seterti   Alibin”

 

.Sebenarnya  celoteh Ken Ampyang   inilah jawaban yang dia cari cari,  begitulah sirna kergu raguan-nya.

 

“Baik tole,  besok  sore saya akan menemui tetua kampung Utara yang  sudah kita kenal lama,  tapi sore nanti tmuilah gurumu seperti biasa”

 

Ken  Ampyang   membalik badan sambil  bersorak  seperti  kesurupan,  berlari  ke dapur menemui Ibunya.

 

.” Biang ,  Bapa  membolehkan  isun  belajar menulis dan membaca  di kampung Utara  bersama denan teman teman   I  Alibin!”

 

Dalam  benak sang Ibu,  belajar menulis akan membantu banyak  bila nanti dia dan suaminya sudah tua, sekarang saja  sudah banyak  kesalahan  dalam menagih dan membayar,  coretan kapur sirih dan arang dimana mana sudah  sulit untuk membantu  mengingat begitu banyak  urusan jual beli  setiap hari.

 

“Tole , belajarlah  bersungguh sungguh, jangan mudah bosan, sire anak lelaki kami satu satunya, kalau dengan  Dang Pande Sila tidak cocok   ya belajarlah dari guru yang lain,  asal tidak pergi terlalu jauh, Ibu tidak suka kamu   mondok di Asyram

yang jauh.”

 

Ibu menyuruh pembantu menangkap dua ayam yang masih muda  yang paling gemuk,  disuruhnya sembelih dan  dibersihkan bulunya,  dia akan membuat pecel ayam panggang buat Dang Guru , untuk  mengurangi rasa msygul   lelaki  dengan lagak  tinggi  yang sebenarnya Biang Sono tidak begitu suka., toh  ini untuk terkhir kalinya.

 

Begitulah setelah suami- istri   Sonokeling menunggui   Pande Sila  selesai makan dengan lahap dan menghabiskan sendiri dua ayam muda tanpa sisa , Ibu memberikan mangkok gerabah berisi air untuk mencuci tangan, 

Guru Pande Sila mengibaskan jari jarinya dengan anggun diatas mangkok yang  disangga dua   telapak tangan Ibu seperti layaknya tamu agung,

 

Setelah semua sisa makanan dibersihkan oleh Pembantu,   Ki  Sono  dengan serta merta, dan bahasa halus, mengatakan bahwa anaknya yang  tidak berbakat  tidak akan  melanjutkan  belajar  pada Guru Pande lagi.

 

Pande Sila yang telah menikmati kehormatan besar  sebagai Dang Guru  yang belum pernah dia rasakan sebelumnya,  terhenyak dari kantuk  kekenyangan..

Menyadari bahwa  kehormatan dirumah Juragan   bakal berakhir,  pundi- pundinya  bakal  kempes kembali, dengan sengit dan bersemangat   berusaha meyakinkan Juragan Sono,  bahwa pelajaran harus dilanjutkan,  akan sirna  saja usahanya yang keras selama ini,  Pande Sila juga mengemukakan betapa beruntngnya Ken  Ampyang mendapatkan Guru seperti  dia  yang berani kena kutuk para Dewa karena mengajari anak dari wngsa rendah menulis dan membaca, dia bicara  mengenai Dharma  secara bersemangat,  makin ngelantur dan menekankan  setiap katanya  dengan gerkan tangan  seperti  membelah kayu..

Usaha meyakinkan  sebisanya sebagai Guru  yang sebenarnya  sangat pas pasan, akhirnya  muncul-lah kata kemarahan karena kecewa:

“ Gusti (dia mebahasakan dirinya  sebagai wangsa  tinggi) harus mebuat upacara besar untuk mohon maaf dari para Dewa  mempunyai murid kepalang tanggung,

Gusti bisa kena kutuk  , bagaimana dengan anak istri  Gusti nanti ?”

Ki Juragan sudah  siap  terhadap  ledakan kemarahan semacam ini yang dia sudah sering hadapi waktu masih berdagang di  sepanjang kali Porong dengan petugas Kerajaan  yang minta suap., dia ulurkan kedua tangannya yang mengapit beberapa keping perak,  tertangkup diantara kedua telapaktangannya   ke telapak tangan   dang Guru  sampai punggung telapak tangan  dang Guru tiban  merasakan  tebal  dan lebarnya bundaran  logam itu,   sejenak  tekanan darah  Dang Guru  menurun.

Dengan cekatan dia genggam  kepingan-kepingan perak itu, sambil menarik tangannyaa dia  berkata  bahwa   meskipun upacara permohonan maaf sudah pasti dia lakukan tapi sekira  Ken Ampyang sudah mau belajar lagi, dia masih bersedia  membantu..

Begitulah Dang Guru berpamitan pulang dan tidak menginap diwantilan  Juragan Sono seperti biasanya, sedang Juragan Sonokeling  suami- istri  tidak menahannya..

Malam itu Ken Ampyang mimpi indah., berlayar dibawah  bulan purnama..

Besok paginya, Juragan Sono mengutus dua  pembantu  laki lakinya, yang  seorang ini sudah ikut Jauragan lima tahun  bahasanya baik dan lancar.  Dia suruh  masing masing mebawa satu bojog beras  hasil  panen padi gogo  merah, dan sebojog lagi  beras  gogo mentik wangi yang putih dan jarang ada. beserta  segantang dendeng daging  sapi dari  Rajeg Wesi , yang dibumbui   ketumbar,  garam dan gula kelapa

 diijemur diatas perahu yang berlayar menghilir Bengawan Solo dendeng ini enak dan bersih karena ditengah bengawan yang lebar itu tidak ada lalat.

Utusan ini membawa pesan bahwa nanti setelah matahari  rembang ke barat setinggi dua jengkal  Juragan Sono akan berkunjung  

 

Juragan Sonokeling sudah berkenalan  dengan Tetua  Kempung  Utara yang dikenal dengan kampung   Molana sudah sejak pertama kali  dia  membuat gubug  di  sebidang tanah  semak semak ditepi pantai  diselatan  Kampung yang ramai itu, agak jauh berselang satu lidah bukit  rendah yang agak menjorok kelaut.  Ki Sono ingat sekali betapa   mudah dan ramah dia disambut  kala itu,  tanpa ditanya ini dan itu malah ditawari  untuk  ikut menggunakan air embung   milik Kampung untuk mandi atau mengambil air,  yang Ki Sono merasa sangat  beterima kasih.

Dasar Ki  Sono  orangnya  mudah  dan selalu bersahabat sejak masa  muda.. sewaktu dia   jadi  padagang asongan dengan peerahu kecil  dari  kapal  ke kapal  di sepanjang kali Porong..  Dia mudah meniru sapaan bahasa asing  yang dia tidak tahu peersis artinya dan bercanda  dengan awak kapal., itulah kebiasaannya., dengan awak jung atau dhow ataupn pinisi ,ataupun lancang bercadik yang  punya dua layar  dari tanah  Jambi atau Tumasik., yang  paling  sering  adalah :  Asalaaaamu alaikum.................

Warokhmatullaaah   sambil   tersenyum lebar  kaarena dia tahu jawabannya pasti sapaan yang sama  tapi jauh lebih panjang  yang sama sekali tidak dia mengerti meskipun dilantunkan dengan sangat  bersemangat,  pertanda baik untuk  dagangannya mendapat perhatian.

Kenangan masa muda mendadak menggelitik  sanubarinya saat dia naik di  undag tangga batu kapur  gerbang halaman rumah Tetua kampung,  menyeberangi halaman bersih yang tidak begitu luas ,  ternyata Tetua Kampung yang kini rambut dan kumis- janggutnya  kepuitihan  sudah menunggu di wantilan rendah,  meledak begitu saja ucapan  Salaaaamalaikum.............. sambil tersenum lebar persis sewatu dia masih  sangat muda  begitu dia  menengadah  menghadapi  awak parahu dhow !

 

Sapaan itu langsung dijawan Pak Tetua Kampung dengan bersemangat tapi tidak begitu panjang dan disambung dengan tawa, langsung saja suasana menjadi    penuh canda. tidak sesuai  dengan suasana untuk mohon sesuatu   yang selalu dimulai dengan suasana yang resmi  dan   takzim,

 

.”Saudara tetangga yang baik,  kenapa andika mau berkujung saja pakai utusan  pembritahuan dengan membawa bingkisan   yang mengagetkan, aduh ki Sonokeling,  jangan sering bikin kaget orang tua,  saya tahu andika secara teratur  mengantar  kiriman yang kami terima dengan senang hati,  hantaran bahan  makanan itu kami gunakan dengan  baik  memberi makan anak mirid kami yang dari jauh dan mondok disini., tapi yang  kali  ini sepertinya  sangat berbeda.,  jangan sungkan kisanak,   katakanlah   apa yang bisa kami bantu.”

Begitulah Pak Tetua kampung menyambut Ki Sono dengan  tergopoh opoh, mengulurkan  tangan untuk bersalaman dengan  ki Sono.

Saudagar Sonokeling mnyambut uluran tangan  itu dengan kedua tangannya  menggenggamnya   sambil membungkuk mengucapkan terima kasih dengan tulus.

 

Tetua Kampung Molana  memakai sarung yang dikencangkan dengn sabuk kulit lebar,

 Bajunya  berlengan lebar  sebatas dibawah siku dan  dadanya terbuka  dia memakai ikat kepala yang   di bebatkan seperti sorban  longgar.  Semua dari kain kasar kecoklatan ,  warna  rebusan kulit pohon bakau..

 

Setelah mereka berdua  telah  sama sama duduk bersila ditikar pandan yang baru dan bersih,  Tetua kampung menyuguhkan sirih pinang secara khidmat,  merea berdua sama sama mengatur daun sirih yang telah dilumuri dengan sedikit kapur, Tetua kampung melanjutkan bicara:

“Ki Juragan,  saya  merasa sangat terhormat   menerima kunjungan andika,  setelah andika  membuat embung sendiri lebih dekat dengan rumah andika, kita aungguh menjadi jarang bertemu !”

 

“Aduh tuan Petinggi,  mohon maaf bahwa baru sekarang  hamba  bisa  datang menemui  andika,  kesibukan sehari hari membuat  hamba  berlaku begitu alpa!”

Tangan ki Sono  menguncupkan sembah dengan daun sirih masih teselip diantaranya.

 

“ Ha, ha.  .ha........ Ki  Juragan,  andika jangan salah terima,   kami penduduk kampung sini berterima kasih kepada andika karena sekarang kami punya dua embung,   jadi apabila kemarau panjang datang  kami disa mengatasi kekurangan air “

 

“Tempat yang andika pilih  untuk membuat embung sungguh tepat,   embung yang dalam dan air hujan yang tertampung   bersih dari longsoran tanah,  andika telah  mengeleluarkan dana yang besar untuk  itu.”

 

“Ki Juragan  untuk selanjutnya panggil saja saya dengan Ki Bantal, itulah panggilan saya di kampung ini”*) tg 22/4/2005

 

Baca dan belajarlah

Ini bab II   GAROWISI, CERITA MENGENENAI KEN AMPYANG

 Tetua Kampung Molana ternyata  juga murid pendiri  perkampungan  kaum yang memeluk agama  Islam,  perkampungan ini sampai  sekarang bisa  dihuni berkat upaya pendirinya, Tuan Maulana Malik Ibrahim  yang berasal dari  wilayah  lebih kebarat dari India  antara Samarkan dan Bukhara.  Beliau  dengan beberapa muridnya dan  keluarga Islam dari Leran  dengan tekun  membuat embung penampungan aliran  air hujan  yang  terkumpul  lewat saluran  - selokan air yang   membelah belah lereng  bukit kapur yang tandus , embung berupa  danau  kecil ini  menyimpan air cukup untuk  kebutuhan air penghuni perkampungan  selama musim kemarau.

Semula   lokasi embung itu  merupakan dasar kaki sebuah tebing batu kapur  yang tegak menjulang  setinggi sepuluh depa ,tebing batu kapur itu sengaja dipotong dengan beliung dan gerdaji besar dengan gigi yang cocok unutk memotong batu kapur,  sepotong –sepotong  sebesar kerbau dengan batang batang  pohon tal   dan tali agel sebesar lengan  potongan   batu kapur itu diluncuran  miring   kebawah ditampung oleh susunan papan tebal  yang bisa digulirkan berkat  potongan potongan  batang  tal,  disusun menjadi tembok tebal penguat  dinding embung. yang merupakan tanah liat yang kedap air  setinggi satu setengah depa ditempat yang paling  dalam.

Kesabaran dan ketelitian  perencanaan –lah  yang   membuat  pekerjaan  besar itu  bisa diselesaikan  oleh  sekelompok  pekerja yang jumlahnya kurang dari  limapuluh orang.,

 Konon mereka adalah  para santri  dari   Leran, Sidayu dan Ampel Denta dan  desa desa sepnjang pantai utara  yang sengaja datang untuk membangun permukiman baru

ditengah tengah  kegersangan   Garowisi yang  merupakan   tempat    tidak menarik sama sekali  bagi   Pejabat Penguasa Wilayah  Majapahit  di  Tandes maupun Terung...

Di Kampung Molana  Tetua kampung  yang ditemui oleh  Juragan Sonokeling dipanggil Ki Bantal.,  dijelaskan kapada Juragan Sonokeling bahwa siapa saja  boleh  ikut belajar menulis dan membaca,  karena  untuk hitung menghitung lebih  gampang memakai huruf Arab,  maka pelajaran pertama  adalah menulis dan membaca huruf Arab,  kemudian  sesudah mahir  akan dilanjutkan menulis dan membaca huruf  Palawa.,  beaya  belajar  sukarela  adapun  beaya makan .   semua  penghuni perkampungan  saling  bekerja sama,  makan diberikan oleh mereka yang dibantu bekerja.,  kampung itu  merupakan keluarga besar  orang Islam.

Untuk mempelajari agama Islam semua pemeluknya  sangat  diharapkan bisa membaca  dan menulis huruf  Arab, karena mempercepat pelajaran dan menhindari lafal yang berbeda dengan lidah jawa, huruf arab model ini dinamakan huruf arab gundul, atau “huruf arab gundil” tanpa tanda bunyi pada consonannya, hanya bisa dimengerti oleh orang berbahasa jawa.  Kemudian   setiap  pemeluk Agama Islam  sangat dianjurkan belajar  termasuk belajar menulis dan membaca  tulisan  Majapahit dan  Bugis.,  jadi semua anak anak laki perempuan di Kampung   Molana  sudah disiapkan sejak dini  untuk bisa mebaca dan menulis., guna memenuhi anjuran agamanya.

Selanjutnya bagi Ken Ampyang dia tidak diharuskan memeluk Agama Islam atau disunat,  sampai  ada  kemauan-nya sendiri  kelak yang tidak bakal ditolak.

Ki Sonkeling merasa sangat puas  dia merasa  begitu  lega dan ringan, terutama  suasana yang  tidak  menghubungkan-nya dengan bayar membayar,  upacara dan  diabaikannya  asal usul wangsanya.  Sebaliknya dia merasa sangat tersanjung  sebab setiap kali Ki Bantal dengan rendah hati  mengucapkan  penghargaannya  terhadap kiriman  - kiriman  beras dan  gula, garam   yang  diberikan  kepada Tetua kampung

yang menurut Juragan Sono hanya sekedar  membayar persahabatan  untuk menggunakan air embung,  sebelum dia membangun embungnya sendiri,  dia merasa terhormat,  sebab  pada waktu Ki Sono membangun embungnya sendiri, bantuan tenaga dan saran, terutama untuk  memperkuat  bendung dengan  bongkahan besar batu kapur  yang  dibentuk serupa balok  yang besar di turunkan dari tebing kemudian diseret dengan  papan  dan potongan-potongan  pohon tal  yang menggelinding dibawah  papan tebal  yang melandasi  balok kasar sebesar kerbau, sehingga pekerjaan menjadi cepat dan mudah.. Sungguh bantuan yang sangat berharga, meskipun tidak diminta  sebelumnya.

 

Besoknya, selepas tengah hari, teman teman Joko Ampyang dari kampung Utara pada berdatangan berombongan kerumah  Juragan Sono,  tidak sabar menunggu sampai sore  bergabungnya sahabat  lama  untuk belajar  bersama,  mereka bubar sesudah mandi  di embung bersama sama..

.

Setelah matahari tinggal dua jengkal itngginya  dikaki langit sebelah barat,  Joiko Ampyang  dengan  memakai  kampuh  kain  batik,  baju baru  digunting   secara cina dengan leher bundar dan lengan panjang,  terbuat dari  tenunan  kapas dari India berwarna puith bersih, baju ini sedianya untuk upacara  di Banjar  asal usul Ki  Sonokeling. Di tepian Kali Porong.,  tapi untuk peristiwa sepenting ini  Biang Sono  menyuruh  Ken  Ampyang mengenakannya.

 Diiringi oleh dua  orang yang membawa  obor  dibuat dari  daun tal dan daun kelapa yang kering dan  diikat  dengan tali bambu  setiap sejengkal  serupa tongkat  sepanjang setengh depa  mereka  membawa beberapa batang ,  juga  arit panjang dari Madura.

Matahari sudah memerah dikaki langit,  Joko Ampyang  bertiga baru tiba  tak seberapa jauh dari rumah ki Bantal,  didepan  banguna serupa wantilan  yang atapnya tinggi tebuat dari  alang alang  yang disusun rapi dan tebal  ada halaman bersih dan luas dengan jajaran pohon sawo manila agak dipinggir,  wantilan itu menghadap ke timur.

Serentak dari segenap penjuru. Anak anak kampung Utara  mendatangi Joko Ampyang,  mereka merubung mengagumi baju dan kampuh serta  destar  Joko Ampyang,  Alibin memegang lengan  Joko Ampyang   dia memberi tahu bahwa sebentar lagi  mereka akan sholat  dan Joko  Ampyang   serta dua pengantarnya dipersilahkan menuggu   dibalai  balai kecil  terbuat dari pangkal  bambu ori,   yang meliuk  menurut   lengkungan orang  tidur  setengah duduk   dibawah  pohon sawo.

Sesudah sholat , Ki Bantal sendiri akan menemui  Ken Ampyang bagitulah  Alibin menjelaskan.

Puluhan orang berdatangan ke wantilan terbuka  ini, mereka menamakan tempat sholat ini masjid.

Setiap laki-laki  memakai kampuh dan sarung,   mengenakan tutup kepala berupa destar juga  banyak yang mengenakan  tutup kepala semacam canang bundar dari anyaman rotan halus atau kain tenunan kasar yag dijahit.. kabanyakan lelaki berambut pendek bahkan banyak yang plontos.

Beberapa wanita berkerudung juga berdatangan.

Semua mereka memakai alas kaki dari  macam macam bahan,  para lelaki kebanyakan memakai alas kaki dari kayu berbongkol  untuk  dicepit antara ibu jari kaki dan jari sebelahnya,  namanya gamparan.., wanita memakai semacam terompah dari kulit dan tenunan kain yang dijahitkan  untuk bagian atas dihiasi banyak manik manik.’

Banyak pengunjung yang terus mencuci muka bergantian di pancuran seperti yang ada di rumah Joko  Ampyang.

Mendadak dari dalam wantilan ada suara  orang melantunkan semacan  kata berlagu dengan keras dan panjang, membuat Joko  Ampyang dan pengirngnnya   merasa aneh dan agak tekejut,  baru beberapa hari kemudian   Joko Ampyang tahu  bahwa itu adalah suara  adzhan.

Dian dan Blencong segera dinyalakan memberikan penerangan yang temaran dalam wantilan itu  dan semua orang pada  masuk dan  duduk  dalam barisan  rapat  berlapis lapis,  selang beberapa saat acara bersama dimulai  dengan gerakan yang belum pernah disaksikan oleh Ken Ampyang sebelumnya, mereka bergerak membungkuk dan  ,  duduk dan menyentuhkan dahi ke alas tikar secara  teratur dan bersamaan, semua lain sekali dengan  per-sembah-hyang-an di  Pura  yang pernah  dia saksikan dua kali selama hidupnya di Pura Tandes.

Anehya Ken Ampyang tidak merasa  gelisah apapun,  dia tahu pasti  Alibin dan teman teman-nya akan   membantunya.

Acara di wantilan telah selesai, banyak  dari mereka pada pulang  ada yang  brjabat tangan satu sama lain , dan mendadak saja muncul dihadapannya sosok orang   tua  yang tegap dan ramah,  Ki Bantal sendiri yang datang menghampiri  Ken Ampyang dan pengiringnya, 

“Benarkah engkau Ken Ampyang  putra Juragan Sonokeling  nak?”

“ Enggih Gusti “  Kem Ampyang terbata-bata  berdiri dari duduknya  kemudian  bersiap siap untuk jongkok  dan  meraba jari kaki  Ki Bantal, seperti  yang dia lakukan terhadap Guru Pande Sila..

“ Nak,  kami ini  tidak menerima  sembah, dan bukan  terikat pada wangsa”

Orang setua itu mengulurkan kedua tangannya  dibawah ketiak Ken Ampyang dan seta merta mengangkat seluruh badan Ken Ampyang dengan mudahnya  Ken  Amyang tepaksa berdiri  sambil masih menbungkuk,  telapak tangannya ditangkap oleh  Ki Bantal sambil tertawa.

“Kami disini  beersalaman seperti  ini “

“Mari aku antar engkau mulai  belajar  anakku,  putra Juragan Sono !”

Entah mengapa begitu dia memandang muka Ki Bantal ,  dia  merasa  senang sekali,

seperti melihat orang yang dirindukannya,  meskipin  Joko Ampyang belum pernah  berhadapan sedekat itu dengan orang  tua ini,  memang Joko Ampyang  dari keluarga kecil perantau yang belum pernah bertemu kakek atau nenek-nya..

Dia pasti orang yang hebat .

Aku  akan selalu berusaha  menbuat hatinya senang begitulah  Joko Ampyang berfikir..

.Memang ciri masyarakat yang penuh perjuangan seperti masyarakat Islam

di pantai Utara Jawa pada  zaman Majapahit, saat Islam mulai mengembangkan sayapnya,  perhatian dan persahabatan generasi tua dengan generasi yang paling muda   sangat  erat dan  terjaga  berkat perilaku generasi tua,   yang melibatkan diri dalam mengajar,  bercengkerema dan  bermain  tanpa ada  batasan   yang aneh aneh  oleh adat dan  sopan santun  yang dibuat buat,   semua berjalan wajar., bahkan nenek –nenek sering megundang semua bocah yang melintas  didepan  rumahnya sebagai cucunya untuk berbagi buah  yang baru didapatnya dikebun  atau  makanan yang baru dibuatnya.

Sebaliknya masyarakat Jawa  Majapahit,  beragama Hindu  Jawa dan Budha sudah menyertai terbentuknya kerajaan – kerajaan   terorganisasi yang besar dengan  pembagian kerja dan tingkatan   hak dan  bagian  berkah  yang berbeda beda,  cenderung untuk menganggap anak, keturunan sebagai kelalnjutan dari diri mereka sendiri  diperkuat  oleh   ketatnya  aturan agama  mengenai  kasta atau wangsa.,  derajad dalam tata kekuasaan, dan derajad kedekatan dengan penguasa  yang  dipersaingkan antara warga secara  ketat   untuk mengukur keberhasilan  hidup atau  restu   dari  Dewata.

Pada saat  itu  dalam Masyarakat Majapahit   generasi yang lebih tua  harus mendapatkan   diri  lebih  tinggi dari generasi mudanya, karena merekalah

yang mewariskan  restu Dewata kepada  kaum Muda., begitu juga kedekatan dengan Sang Penguasa..

Orang orang tua sangat pandang bulu., dan kebanyakan  herga dirinya sangat titonjolkan,  disamping sering merosot sebagai penjilat tanpa malu- malu apabila  ada kesempatan dihadapan  siapapun yang dianggap lebih tinggi.

.Keluarga Juragan Sonokeling yang terpencil dari  masyarakat  Hindu Jawa pada umumnya   sangat mengutungkan perkembangan jiwa anaknya Ken Ampyang.

Wantilan yang dinamankan masjid  dalam sesaat berubah,  dipenggir pinggir wantilan telah dengan rapi diatur semacam meja pendek berderet deret, anak anak lelaki ada disebelah kanan dan anak perempuan disisi sebelah kiri  wantilan..

dua tiga anak berbagi satu meja pendek berhadapan dengan  pemuda tanggung yang rupanya  menjadi pelatih mereka.

Ki Bantal memanggil pemuda tanggung  yang namanya  Muslimin,  dia  ini tinggi kurus dan berkulit  bersih agak kekuningan, matanya besar dan keningnya bagus, dia mengenakan tutup kepala  serupa canag  bulat dari anyaman daun lontar  yang ti raut halus,  pakaian  dan saluwarnya dari tenun gedog kasar tapi bersih...

Hanya mereka berdua  yang duduk dihadapan satu meja rendah,  sang pelatih sudah menyediakan selembar kulit kambing yang sudah digosok  dengan pasir halus beserta alat tulis sepotong arang dari ranting  kayu sawo manila. yang di-arangkan dengan cara  khusus sehingga  meskipun keras  tapi enak untuk berlatih menulis..

Setelah mereka berdua bersalaman  tepatnya Ken Ampyang menirukan menjabat tanngan Muslimin dengan kikuk dan menirukannya menempelkan ke dada

Sambil berucap  assalamualaikum warakhmatullah................yang dia biasa mendengar  dan  ucapan selanjutnya yang sering dia dengar juga  tetapi itdak hafal dan  tidak paham  dia tidak mampu menirukannya. Melainkan hanya tersenyum saja.

Suara hiruk pikuk  hampir tak terdengar oleh Joko Ampyang  karena tekadnya yng besar untuk segera belajar  seperti temannya si Alibin.

Tak terasa  waktu sudah habis  karena tiba aatnya sholat malam.

“ Menurutku kemauanmu besar sekali untuk belajar Ken Ampyang, bila kau bisa pertahankan semangatmu seperti ini  untuk beberapa pekan,  sebentar lagi kamu bisa menyusul temanmu  si Ali, aku senang sekali  membantumu”

“Selama kami melakukan sholat Isya’ kau boleh menungguku bersila  dibaris  paling belakang  dan jangan melakukan apa apa,  apa sire  mau ?”

“ Baik isun mau,  isun akan duduk diam “

Lepas shalat Isya’  pemuda tanggung  Muslimin segera menemui Ki Bantal  di baris terdepan, menunggu   disamping  belakang Ki Bantal yang sedang tekun berdo’a,  sejenak Ki Bantal  menghentikan do’anya menoleh kepada  pemuda tanggung Muslimin sambila tersenyum.

“ Bagaimana tole Muslimin ?”

“ Muird  yag baru ini semangat dan kecerdasannya baik sekali Kyai,  sahaya  sangat ingin  membantunya   mnedapatkan  kepuasan bisa membaca menulis dan berhitung, sayangnya dia belum Islam, bagaimana Kyai ?”

“ Tole   dengan kebaikan engkau akan membuat dia salah satu diantara kita  dengan sukarela,  biarkan dia  menysuaikan diri dilingkungan kita,  jaga jangan sampai dia  ditegur oleh  salah  satu diantara kita karena  belum mengerti tatacara  masjid., dan tata cara  menyapa  gadis gadis,  misalnya ?” 

Ki Bnatal  bicara dengan mata yang berbinar binar  dengan bibir yang mengerut lucu

“ Baik akan  sahaya ingat dan laksanakan  nesihat Kyai”

 

 

Pergaulan rakyat Majapahit pesisir utara  dengan bahasa Jawa  Majapahit, sangat mirip dengan bahasa Melayu pada umumnya. Mereka tidak sulit bertutur dan mengerti bahasa Melayu Palembang dan jambi , Pahang ataupun Tumaasik, begitu pula  peergaulan Ken Ampyang di Gresik.

Dua Purnama tidak terasa,  entah sudah berapa  ikat obor daun kelapa  dan daun tal kering  sudah dipakai setiap malam,  bahkan  pengiring   Ken  Ampyang juga ikut belajar secara diam –diam   mengenali huruf huruf dan angka Arab.

Ken Ampyang benar benar  menikmati  belajar di  Kampung Molana, bahkan atas kemauannya sendiri dia beserta pengiringnya   berangkat lebih siang  setelah matahari sedikit condong ke barat.

Sesudah hari pertama,  Ken Ampyang  berpakaian  biasa  seperti pemuda pemuda tanggung yang lain,  salwar selutut,  kampuh  kain batik dan  destar dari kain yang sama tenun gedog  dari Lamongan yang  kuat dan kasar karena  benang  lawe dari kapas serat  pendek,  akan tetapi  sewaktu ditenun  diselingi dengan serat tanaman rawa dari Benggala yang sangat liat  diratakan membujur dan melintang..

Menurut  petunjuk Muslimin,  pakaian untuk belajar di masjid harus bersih artinya tidak berbau  keringat yang mengganggu orang  lain.

Inipun  tidak asing bagi Ken Ampyang yang Biangnya sangat   rewel terhadapm bau badan Ken Ampyang

pakaian apabila  dia  tidak mecucinya atau  mengganti denga pakaian yang bersih sewaktu  makan  dibalai balai dapur  Biangnya.

‘ Hai anak  Waysia,  jangan kau tunjukkan  wangsa dirimu dengan bau badanmu

setidaknya  baumu boleh seperti  para   Brahmana,   mandilah dan cuci pakainmu., atau biar  biangmu ini mneyuruh cucikan pakaianmu. itu”  bagitulah selalu  sejak  Ken Ampyang mengenal  pakaian.,  karena orang tuanya cukup berada.

Bahkan ayahnya mebiasakan  Ken Ampyang  memakai  ceripu dari kulit kerbau yang tebal karena tanah  bebatuan disekitar rumah ditumbuhi  tumbuhan  liar berduri dan banyak kala dan  serangga beracun berkeliaran di  mana mana., meskipun memakai ceripu apalagi dari kulit kerbau adalah kebiasaan kaum Brahmana saja.

Sungguh lega rasanya  melihat anaknya  begitu bersungguh sungguh  belajar di kampung Molana,  dan tidak ada tanda tanda  bahwa Kem Ampyang  berubah perangainya  yang membuat Ki Sono tidak senang.

Sepertinya sampai dua purnama  kedaan makin baik saja  ki Sono  merasa lega..

 

Delapan purnama, dari musim kemarau  sampai pertengahan musim hujan,  Ken Ampyang belayar di kampung Utara hampir setiap sore sampai malam .

Ki Sono betul betul merasa sangat bangga dan terharu  sewaktu tiba tiba saja

Ken Ampyang mendekati ayahnya pada suatu siang sesudah mereka makan,

Sambil mnunjuk-kan rontal yang ditulisnya , anehnya ditulis melintang, jadi rontal  dibaca berdiri sedangkan  susunan  jahitan yang mebujur menjadi lajur lajur tegak.

Lajur pertama nama hari  dan sasih, disambung dengan lajur kedua nama barang dagangan,  lajur ketiga jumlahnya dan harga saat dibeli adalah lajur keempat

Sedangkan rontal lajur ke enam dan ketujuh adalah jumlah dan harga yang terjual

Semua ditulis dalam  dua pekan menurut keterangan Biang dan para pembantu  yang menangani masing masing barang .

Rupanya cita- citanya  untuk meniru  cara dagang Daeng Botak  sudah didepan mata dalam waktu  sesingkat itu.

.Ki Sonokeling tidak habis heran bagaimana  jumlah barang yang begitu besar dan jumlah kepeng tembaga dan  perak  Majapahit  yang senilai barang –barang yang diperjual belikan selama dua pekan dapat diketahui antara yang dibeli dan yang dijual

Memang itulah kelebihan dari angka Arab dan pemakaiannya  untuk  menghitung

Sangat mudah  menyatakan jumlah nilai sampai laksa  dan yuta  tanpa tempat yang banyak  hanya menyusun angka saja.

“ Nak,  kalau  hitunganmu ini benar , pasti beras merah yang ada di gudang tingal  beberapa  pulu bojog saja, sebab banyak sekali yang terjual sedangkan pembeliannya hanya hampir satu koyan saja,  memang aku sudah merasakan hal ini, marilah  kita nyatakan di gudang beras!”

Ki Sono Punya “catatan “  sendiri   dipintu gudang menggunakan  kapur sirih  berapa bojog  beras  merah   isi gudang pada akhir musim kemarau,  saat pembelian dari langganan terkhir. Sedangkan sesudah itu hampir tidak ada pembelian lagi kecuali pada  dua purmnama yang lalu dari  seorang juragan perahu dari  Lamongan yang dia juga masih ingat  berapa jumlahnya.

Memang ternyata benar beras merah di gudang tinggal beberapa pulu bojog saja,  akan tetapi,  Ki Sono Sudah tidak ingat lagi, berapa batang baja Luwu  yang ada  di gudangnya  ratusan batang baja  Luwu dan besi dari  Sokadana........   akan senilai beberapa puluh perahu  madura   yang bisa memuat  duapuluh koyan beras  dari  Jenggala   yang   bisa diloloskan dari  pengawasan   -para Demang  di  Gedangan   sampai   Simping dan Wonoayu  tanah datar berawa  di hilir Brantas,   bisa  mencapai ribuan bojog  semua ini sangat diminati oleh  langganan pemasok garam dan kayu jati olahan

yang semakin  dicari oleh para  juragan perahu  lombo dan pinisi dari tanah timur..

Juragan Sonokeling berfikir saatnya sudah dekat untuk melibatkan  langsung  Ken Ampyang ,andaikata dia sudah agak  dewasa, Ken Ampyang baru menjelang sebelas   tahun saja  masih terlalu muda  gumamnya pelan.

 

Sebagai tanda terima kasih  yang  tulus, Juragan Sonokeling   mengirim beberapa bojog beras  putih dari Jenggala  serta minyak jarak dan minyak kelapa  beberapa  ruas bambu  setiap dua pekan kepada Ki  Bantal yang juga diterima dengan tulus.

 

Bahkan  Ki Sonokeling memutuskan  untuk  ikut  menyumbang  beberapa ekor kambing pada perayaan  hari  lahir  Nabi Kaum Muslim untuk selamatan bersama denga para santri  sewaktu dia diundang oleh Ki Bantal untuk ikut menghadiri selamatan itu..

Kedatangannya di Kampung Molana  disambut dengan gembira oleh  penduduk kampung   Ki Sono diberi tempat terhormat disamping  para tetua  Kampung dan  para tamu dari luar desa seperti Romo dan Leran yang jauh,  tanpa ada prasangka apa apa  meskipun mereka tahu bahwa Ki Sonokeling   bukan Islam.

Pidato  singkat oleh Ki Bantal dlucapkan dalam bahasa Majapahit halus  memuji  Sang Utusan  Allah juga Hyang  Tunggal,  Nabi  Muhammad yang  menyampaikan kepada pengikutnya  wahyu pertama   perintah  untuk membaca.

Ki Sono sangat terkesan kepada sesorah yang sederhana ini,  Muhammad memang utusan Hyang  Widi yang sesungguhnya  ini  meneguhkan  bathinnya,  karena yang disampaikan adalah kebenaran yang sangat mengena  dilubuk hatinya.

Lagipula ajaran kepada para pengikutnya,  kaum Islam,bahwa   Hyang Widhi, Allah  tidak membeda bedakan manusia  dengan batasan apapun kecuali dari perbuatannya,  ini dihayati dengan sepenuh hati  oleh  penduduk kampung Molana., sungguh Ki Sono  tidak menyesal  mengikuti petunjuk  seorang  pengelana belasan tahun  yang lalu untuk pindah ke daeran yang gersang ini,  dadanya mengembang lega.

Perayaan memperingati  hari kelahiran  Baginda Rasul Muhammad di  kampung Molana saat itu rupanya  dilaksanakan  khusus  mengundang para tamu dari  kalangan  agama  Hindu Jawa  sosok- osok yang telah  mengenal dan menjalin hubungan baik  dalam waktu yang lama seperti  Arya  Mliwis  Bang , petugas pengawas Garowisi dari  Jajaran pejabat kecil  yang sering  mengujungi  Garowisi,  segenap pengikutnya yang berjumlah sepuluh  orang yang bermukim sekitar  menara tinjau  yang ada tiga  tempat   dengan satu istal kuda- kuda  tunggang,  petugas pajak penyeberangan  kali Lamong Ki Sodor  mereka semua telah saling mengenal  dengan Ki Sonokeling.

Banyak diantaranya dari wangsa  Ksatria,  hanya satu kesamaan diantara mereka, mereka tinggal ditempat yang terpencil dari  prgaulan budaya  Hindu dan budaya kerajaan.,  dan  Ki Sonokeling adalah yang terkaya diantara mereka dang sangat terbuka tangannya  menolong dikala mereka kesulitan,  kesulitan uang.,   terutama untuk bekal  hari- hari  ‘pesowanan”  di  Wirasaba  memerlukan   bekal  perjalanan dan uang  banyak.  Wangsa Ksatria enggan  berdagang apalagi  mengolah tanah.

Memang, pejabat kecil Kerajaan seperti Arya Mliwis bang,  sebenarnya  adalah  bekas  Wiratamtama  pasukan laut  Kerajaan  yang  kaki kirinya cacat akibat  terlindas kalanrtaka sewaktu perang laut di Sokadana melawan para bajak dari  Mindanao,  dialih tugas menjadi pengawas  menara tinjau  di Garowisi  dan mendapat bumi lungguh  di Manyar  yang meskipun sangat luas  tapi berupa rawa sebagian besar sehingga penghasilan-nya sedikit saja dari  petak –petak  ladang garam yang dikelola   kira kira lima puluh  keluarga  orang dari Madura.,  selebihnya  penghasilan Aria miskin ini dari  menyewakan perahu konting yang sudah agak tua  meskipun masih kokoh  karena tebuat  dari  papan jati yang  tebal  bekas milik  pasukan laut yang sudah  tidak dipakai karena  teerlalu kecil  untuk pelayaran jauh.

Perahu konting  ini telah  diubah dengan  menambah  tinggi lambungnya dengan  papan jati  lima jengkan setiap sisi, sehingga mirip dengan perahu bugis jenis lombo,

Akan tetapi haluan dan buritanmya masih nampak bentuk semula-nya, seperti perahu konting, dilengkapi dengan ruangan palka rendah  dengan atap kajang  dan papan yang kuat,   cocok untuk mengangkut beras dan garam.,  tanpa muatan penuh  perahu  jenis campuran ini sangat sulit dilayarkan  karena keseimbangan yang buruk.  Begitulah maka perahu tempat  Aria miskin ini menggantungkan nafkahnya  menjadi   alat  angkutan  perdangan   beras dan garam  dari  Gresik ke  Madura dan dari Madura ke  Gresik  sampai akhir musim timur  sepanjang tahun,  disewa oleh  Ki Sonokeling...

Aria  Mliwis bang   juga punya seorang putera sudah berusia lima belas tahun, dipanggil  Balencong, lengkapnya  Rahadyan Balencong.

Pada akhir  menjelang  keruntuhan   Kekuasaan  Majapahit,  dipusat  kebudayaan dan   Pemerintahan, Wilwatiktapura  ditepian Kali Brantas,  secara diam diam  telah tumbuh dan berkembang pesat suatu  kekuasaan tandingan  oleh dukungan  kaum  Bhairawa

yang mencampur aduk-kan  ajaran dan  prerilaku aliran hitam dan sedikit   ajaran   aliran putih,  yang kemudian menjadi kekuatan   tersembunyi.

Golongan ini sangat berpengaruh dalam menentukan  penempatan  maupun  penunjukan  jabatan  disemua   kegiatan  pemerintahan.,  hanya kalangan bangsawan tinggi dan kaum Brahmana terkemuka saja  yang mampu menembus  lingkaaran kekuasaan tersembunyi dari  kaum  ini.

 

Raden Balencong

Arya Mliwisgang  tidak berniat untuk  mengirimkan anak tunggalnya  ke  Ibu  Kota untuk magang   sebagai tamtama pasukan laut.  Dia khawatir akan  pengaruh buruk dari prgaulan di Ibu Kota.

Dirumah tangganya yang tak begitu besar, serang  lelaki tua  sudah  begabung menjadi angauta   sejak  lamasekali,  beliau adalah  paman Aria Mliwisbang dari  istri  ampil ayahnya, perempuan dari kasta endah..Ki Watu bukur.

Semasa muda pernah begarbung dalam pasukan laut Majapahit.

Dengan berlayar dia  ingin melupakan  kesedihanya

Pernah  paman ini berkeluarga,  sejak dia mengabdi  kepada   Rakryan  i Hino  sebagai juru  pemeliraha   rontal   catatan ,  dia berbadan bersih dan tulisannya rapi

Penampilan  yang mirip  sosok  wangsa Brahmana.

Keluarganya musnah mati  tenggelam   dikali Brantas ,   perahu penyeberangan yang mereka tumpangi terbalik   diterjang arus, hanya dia yang masih selamat..

 Paman  Watubukur  ikut bergabung dengan pasukan laut Majapahit,  sebagai  pemanjat tiang layar yang tak kenal takut  menghadapi segala cuaca,  mengggulung  layar dipuncak tiang agung saat badai adalah   pekerjaan yang selalu dipercayakan kepadanya oleh  Mpu Pandega,  dan dia menghadapi bahaya dengan gembira,   seolah ingin petemu anak istrinya yang  telah meninggalkannya.,  seluruh awak kapal  memperlakukan dia dengan baik, meskipun dalam hati  mereka menganggap  Watubukur gila.

Ki Watubukur sudah  ada  di kapal bendera pemimpin armada Wilwatikta  dengan  umbul umbul Gulakelapa  sejak kapal perkasa bertiang agung tiga  itu  diluncurkan  di  lapangan pembuatan kapal besar di  Canggu   tepian  landai  berlumpur dari kali Bratas.  Dia awak kapal yang tidak pernah ikut mabok mabokan dan pandai membaca rontal  kidung dan kandapat,  suaranya tidak keras tapi  berkat oto otot perutnya yang sangat kuat  dan latihan pasuk wetu  nafas, suaranya bisa  terdengar jauh sampai   buritan  tempat jurumudi..

Tiga kali  kapal  pemimpin armada  berganti  Narotama  Pandega,  yang terkhir telah mengandaskan  kapal  hebat ini di teluk Bangil tanpa bisa diselamatkan lagi karena terpaan  arus dan ombak yang semakin menancapkan lambungnya ke gosong karang.

Ki watubukur turun dan bergabung dengan keluarga pekonakannya  Arya Mliwisbang.

Tinggal di bukit rendah tepian bengawan Solo.

Ki Watubukurlah  yng mengajari  putra Arya Mliwisbang   membaca dn menulis huruf  Majapahit  secara bermain main sejak sngat dini,  kemdian mengajarinya berenang dan menyelam, dasar anak cerdas yang selalu ingin meniru.

Dapat dimengerti bahwa Ki Watubukur  menyayangi   anak  yang  dia panggil Encong,   lebih dari  orng tua  bocah ini.

Saat memudarnya  sinar kerajaan Majapahit  dan muculnya  kelompok kolmpok  warga pesisir yang memeluk agama  Islam dikalangan para pedangang berkasta  rendah,

Banyak perahu dagang dan permukiman yang dijarah  oleh kaum   bajak dan bahkan para Arya  yang mencari jalan pintas   demi mencapai  jenjang kemuliaan ,  yang di Ibu Kota Majapahit  bisa   “dibeli”  dari  kalangan   penguasa  dari  Istana,  dari hampir semua Rakryan yang banyak jumlahnya  dan saling bersaing.

Untungnya, di  Sidayu,  dekat muara Bwngawan Solo,  datang seorang pengelana  Islam dari  tanah  Pansir,  Pengelana ini  mengajari  orang orang muda  dan orang dewasa dari  masyarakat  kecil Islam  Ilmu bertempur menggunakan tombak pendek yang seluruhnya dari  baja,   dengan panjang sedepa lebih beberapa jengkal atau  setinggi pemakainya,  semacam tombak akan tetapi dari gagang sampai ke mata  tombak yang sangat lebar, selebar hampir lima jari,  semua dari besi baja yang menyatu,    umunya dinamakan talempak .  Ditempat asal  ki Pancir,  satu  lembah berbatu   semua orang harus mahir memainkan  senjata dan alat kerja ini,  nun disana tanahnya  sangat gersang dan  hawa udaranya dingin menusuk tulang dimusim dingan dan panas  seperti tungku dimusim panas,   panduduk lembah Pansyir menggali gunung cadas dan batu keras untuk mendapatkan bijih emas dan bijih logam lainnya juga besi baja, . talempak hanya bisa dimainkan dengan  menggunakan tenaga dalam yang mahir.,

Sebab  beratnya bisa  mencapai sepuluh kati dan karena  pendek talempak harus dimainkan dengan cepat. Jurus perubahannya sangat banyak,  semua gerakan pokok ditumpu oleh  kekuatan  perut dan pinggang.  Inilah raja dari segala senjata  untuk pertarungan  yang menentukan hidup dan mati.

Diantara murid yang  unggul   dari  puluhan tahun  yang lalu   adalah Ki   Bantal dan  Ki Ageng Sedayu. yang sewaktu mudanya digembleng oleh Ki  Pansir  di  perbukitan pantai  utara antara Tuban dan Sedayu, yang menjadi pusat  pelatihan  sang Pendekar.

Pembela  hunian Islam yang masih terlalu lemah.

 

Ki Watubukur menemukan  Ki  Ageng Sedayu dan muridnya  secara tidak disengaja  dan sangat kebetulan.

Sewaktu ki Bukur dan Encong  cucunya yang berumur hampir delapan tahun berburu  celeng rawa dimusim  kemarau,  mereka berdua menyusuri  anak sungaai kecil yang mengalir diantara  lebatnya  nipah dan kayu  api api  dengan  perahu tembo,  disatu tempat terbuka  hampir  dekat    pantai berlumpur di wilayah Manyar,  ada  sekelompok orang  aneh  yang  potongan badannya macam macam,  ada yang brjanggut tinggi besar ada yang pendek kekar.  Yang tidak berjanggut  hampir semuanya anak anak muda yang telanjang dan badannya mengkilat oleh peringat dan lumpur..  mereka bekerja dengan  tekun  mengeduk tanah lumpur yang  tiris tapi belu mengering,  membuat parit dan tanggul..

Yang menarik perhatian  Ki Watubukur adalah alat dan cara mereka bekerja.

Sosok tinggi besar dan sosok pendek gempal dan para anak muda semua menggunakan semacam dayung  hanya  seluruhnya terbuat dari besi yang beratnya  dia taksir  sampai lebih dari tujuh kati,  si tinggi besar  alatnya lebih  mengerikan  besarnya  talempak dari besi yang beratnya menurut kerkiraan Ki Bukur bisa mencapai  duabalas kati.

Karena berat alat  itu,  waktu ditancapkan ke  limpur yang sudah tiris itu bisa menancap hampir sehasta,  dengan  kaki yang bertumpu  pada   jurus kuda kuda sekenanya, si tinggi besar melemparkan  sebongkah demi sebongkah lumpur tiris yang mengkilat sejauh tiga depa membuat sebaris tanggul dengan rapi, begitu pula si pendek gempal, mereka berdua seolah olah bertanding., sedang lima anak muda yang telanjang  dan berlkilat kilat badannya   berbuat yang sama, mengikuti irama   tetuanya  dengan  kaki  kaki mereka mengatur kuda kuda  seperti pesilat, hanya lemparan mereka tidak jauh , sedepa lebih saja  dan langkahnya ketinggalan  beberapa depa dari tetuanya.

 Ki Bukur  terhenyak melongo,  tembonye diikatkan ke tangkai dau  nipah sehingga perahu tembonya   berhenti seperti  kapal lego jangkar., begitu pula  si Encong   yang segera mengerti kena apa  pengasuhnya  menghentikan perahu ,

dengan gembira dia berteriak teriak  Sambil bertepuk  tangan,  mereka terus bekerja,  dua tetua itu makin  mempercepat   irama   kerjanya sedangkan para pemuda dengan sekuat tenaga,  mengikuti sampai  lancingan  Ki  Bukur  yang tebal itu mengering,

jadi  hampir seratus jurus  pertarungan  beneran.

Dia pgang tangan cucunya agar tidak berisik sudah terlambat, apaboleh buat.

 Ki  Watubukur  tidak asing dengan   pertarungan dan pertempuran didarat maupun diatas kapal, meskipun tugas nya adalah  bertengger ditiang layar dengan senjata   keris panjang  yang lebih mirip pedang  orang Romawi yang diselipkan di belakang pundak  dan tujuh pisau  terbang  berat  yang tersisip rapi diselempang kulit lebat menyilang dadanya..  Meskipun Ki Watubukur bukan  petarung tapi berkat ketekunannya berlatih melempar pisau  dari Guru seorang Cina di  Canggu.  Dia mampu menerbangkan pisaunya  secepat kilat sejauh sepuluh depa dan jarang meleset diluar sasaran  sebesar kelapa., berkat otot perut dang  otot   pinggangnya yang istimewa, sedang tangannya kanan kiri lentur seperti tali  tiang agung..

Dengan kepandaiannya   melempar pisau itu dia pernah menyelamatkan  nyawa   Arya  Pandega   sewaktu  ada  serangan   membokong   yang sangat mendadak oleh  bajak laut  yang naik  memanjat kapal  dari perahu lancang yang banyak  merubung perahu bendera Majapahit nun di  pantai Bengkalis.  Ditengah gegap gempita  pertempuran , pisau terbangnya dilempar dari ketinggian   meluncur bagai  patokan  ular  menembus bahu  penyerang  berpedang panjang dari arah belakang   Arya  Pandega  sehingga pedangnya jatuh   berdentang  kena  kalantaka disamping sang Pandega.  Sejak  itu Ki Bukur tidak pernah ditugaskan pindah ke kapal lain. 

 

Ki Bukur tahu betul  bahwa  sosok tinggi besar dan temannya itu bukan orang sembarangan, mereka pendekar tangguh dengan tenaga dalam yang sangat  kuat

Sedangkan  pemuda pemuda yang  telanjang itupun sudah  sangat tangguh  tenaga dalamnya.

 

“Sahaya  Ki Watubukur  dengan cucu  sahaya  secara tidak sengaja  melihat andika berlatih  silat  tingkat tinggi kisanak,  maka maafkam kami bila cucu saya ini menganggu, gubug kami didesa  Bungah tepian bengawan Solo”

Dengan demikian dia berusaha  memberi  isyarat bahwa  diapun orang yang tidak asing dengan  penguasa Kerajaan Kajapahit.  Dan tidak  diperlakukan dengan sembarangan oleh   orang orang   persilatan itu andaikata  mereka  dari kumpulan Bhairawa.

Berkata  demikian dengan khidmat,  sambil  mengunncupkan kedua telapak tangannya  menyembah,  dengan suara  yang biasa dia lantunkan waktu   menembangkan  kandapat,  suara  yang didukung  oleh  tenaga otot perut yang terlatih..dengan samadhi,   masih was was  apakah mungkin ada  sosok aliran Bhairawa  yang  datang  sangat  jauh    dari  sarangnya yang pasti dekat dekat dengan  kenikmatan  di kota  kota  besar.

 

Si Tinggi besar dan si Gempal  meluncur mendekat aliran sungai kecil dengan papan luncur  yang biasa dipakai oleh orang orang daerah pantai berlumpur  untuk mncari kerang ,tapi bedanya,  pendekar berdua ini mengendarai papan ini dengan kaki tegak  bertumpu di telapak  kakinya bukan dengan lututnya dan  mendayung dengan  telapak kaki sebelah dengan cepat., pertanda ilmu silatnya sudah sangat tinggi.

 

“ Masya Allah  kisanak, kami  hanya mencoba mengajari  anak anak kami bekerja mebuat tambak  ikan ,  anda pasti  Ki Watubukur dari keluarga  Arya Mliwisbang

maafkan kami kisanak apabila anda benar ki Watubukur  dari keluarga  Arya Mliwisbang, kami mengerti wilayah ini  adalah kekuasaan lungguh sang  Arya”

 

“ Duh ki Sanak,  saya jadi sangat  malu,  pengetahuan andika  dengan tepat menebak  keadaan kami sekeluarga sungguh luar biasa,  tanah lungguh   Arya Mliwisbang yang berupa rawa rawa ini  merupakan tempat buangan bagi mereka yang  disingkirkan.

Bolehkah sahaya tahu siapakah andika semua ini ?

 

“Dari sikap dan tutur kata  suara andika, dapat kami perkirakan bahwa andika orang yang   terbiasa bergaul dengan  kaum yang berpedidikan ,  dan  kelurga itu satu satunya diwilayah ini adalah Arya Mliwisbang, andika  betah bertempat  tinggal ditempat yang jauh dari keramaian ini pasti tidak  dekat dengan kaum Bhairawa  bagitukah Ki  Watubukur. ?”

Begitulah dengan wajah yang lucu dan tangan mengucupkan sembah  sosok yang pendek dan gepal itu  berkata sambil tersenum.

 

Sahaya adalah Ki  Bantal dari  Kampung Molana di  Garowisi, sedangkan saudara saya yang tinggi besar ini   Ki  Sidayu, dari  Sidayu,  kami  ini kawula Majapahit  yang setia, hanya kami bersanak kelurga ti tempat terpencil dimana kami dibutuhkan,

Kami kaum Islam  juga menempa  dan melatih  keluarga dan sanak kadang kami untuk mempertahankan diri dari   ancaman  kaum Bajak dan perampok, juga kaum Bhairawa yang   rasa kemanusiaan-nya rendah , seperti andika lihat sendiri.

 

“Sahaya sangat  beruntung dapat bertemu dan  menyaksikan jati diri  andika semua. 

 Sahaya mohon andika semua jangan berkecil hati,  sahaya dan anak sahaya  Arya Mliwisbang akan  dengan senang hati  berkunjung ke  Garowisi atau Sedayu  menemui  para pendekar yang berilmu itinggi seperti andika berdua beserta sanak keluarga  andika.”

 

Tole, Balencong, beri sembah kepada  Para  Pendekar dan mhonlah maaf atas kelancanganmu,  kalau engkau beruntung  mungkini   engkau bisa berguru kepada beliau berdua.” 

 

Balencong yang masih sangatmuda itu menghdapkan tubuhnya dengan susah payah kepada para pendekar  yang  penuh lumpur itu sampil bertumpu pada lututnya  keduatangannya menguncupkan sembah, oleh karena  perahu tembo  itu akecil dan posisinya  tidak tepat maka menjadi oleng  begoyang goyang lucu,  Balencong menjadi   gopoh dan menjerit

“Mohon maaf   Dang Hyang  Pendekaaar”  sambil berpegang bibir perahu, diiringi tawa  para santri telanjang yang sedang berjalan dilumpur dengan susah payah..

 

Smua tertawa  tiba tiba  termasuk para tetua yang  lagi serius,  meskipun tawa itu dipicu oleh alasan msing masing.

Ki Bantal dan Ki Ageng Sedayu tertawa karena dipanggil Dang Hyang yang berarti   Siluman setengah Dewa,  Ki Bukur tertawa karena Arya kecil ini sangat sombong   menyatakan  dia sudah pintar mengatur keseimbangan dirinya  diatas perahu tembo, apalagi bila diingatkan  kakek pengasuhnya itu, sedang para santri tertawa riuh karena   memang  keadaan  bocah Balencong sangat kocak,  bergoyang goyang akhirnya jatuh hampur tertelungkup  sedang permintaan   maafnya   dilantunkan dengan suara   aneh bergetar karena terkejut dan takut..

 

“Selamat jalan tole.sampai jumpa  nanti, 

 

 Ki Bukur melanjutkan mendayung  mudik  kali kecil itu sampai   matahari agak condong ke barat   perairan yang penuh nipah dan  ada sungai  agak  lebar  mengalir ke utara,  dia  berbelok menghilir sngai itu  karena setelah  sore laut mulai surut,  setelah sungai itu  keluar dair rawa rawa dan berbelok ke timur karena terhalang  oleh lereng rendah mereka menambatkan perahu  tembo  dan  berjalan pulang.

 

Malam sebelum keluarga Arya  Mliwisbang   tidur,  biasa  mereka duduk duduk di balai besar didepan rumah dapur diterngi oleh dilah minjak  sederhana,  rupanya tinggal   Arya Mliwis  dan Ki Watubukur, nampamknya nereka  sedang membicarakan   sesuatu  persoalan yang serius.

 

“ Jarot,---  bagitulah Ki Bukur slalu memanggil Arya Mliwis dengan nama kecilnya,  ---  apakah  andika  menyadari bahwa didesa desa tepencil sekitar kita , ditempat terpencil ini  sudah lama bermukim  orang orang  luar biasa,  pendekar berilmu tinggi

dengan muird-muridnya   yang sudah lama digembleng   ilmu pernafasan dan menghimpum tenaga dalam mereka sungguh  luar biasa.”

 

“ Isun sudah menyadari Lik,  hanya sayangnya  isun hanya mendengar kabar saja dari

anak buah isun di Garowisi, bahwa  sudah  hampir lima  tahun  sampai sekarang,   kaum bajak dari  Sampang  dan  Arya  dari Terung dn Porong  sudah jarang  menjarah perkampungan sepanjang  pantai utara sampai ke perbatasan  Tuban,  rupanya mereka selalu terpukul undur. dan jera”

Sahaya  hanya pernah menyaksikan dari  menera tinjau Garowisi,  satu perahu bajak dari Sampang  diburu oeh dua  kapal konitng  biasa  pada suatu malam  mendung,  dan anehnya  kedua konting  kecil   itu  mampu menghujani  panah api   satu perahu bajak  dengan layar besar  yang meenggelembung  dengan tiupan angin barat,  anehnya panah  panah api itu  hampir sepanjang tombak  dan dapat  mencapai   limapuluh depa dengan api  di ujungnya   menyala nyala sebesar periuk !”

“Menurut anak buah saya   konting konting kecil itu dari Sedayu.,   layar perahu bajak  yang perisi lebih dari duapuluh  orang  bersenjata arit besar itu   terbakar dan  dengan cepat tersusul oleh konting yang mendekati dari lambung kanan dan kiri  ditengan kepanikan  para bajak yang rupanya ada yang tertembus panah  tombak  peperapa orang kelihatan  melenting dari konting  konting yang  rendah  melayng lima depa  dan selanjutnya  entah apa yang terjadi,  dengan cepat peruhu bajak itu tenggelam,  tidak sempat terbakar, haluannya nyungsep   maasuk  ke air ,  dengan cepat  konting konting itu memutar haluan ke utara, meninggalkan para  bajak   berenang mengitari  perahunya.”

Ki Bukur  menyahut dengan  bersemangat,  dan mata yang menatap jauh:

“Isun tahu  panah api  sebesat tonbak  itu,  senjata   ampuh      adalan   api  orang  Cina,  yang ditembakkan dengan  semburan api yang mendorongnya,  pernah lancang tempur dari   Pamelayu  juga dipersenjatai dengan tombak   kayu yang berat,   semjata itu hanya dilucurkan dengan   tenaga  saja, paling jauh hanya lemabelas depa,

itupun tidak berujung baja., tapi  panah api Cina , siapa yang mampu membuatnya , lagipula   panah api  Cina ini  sangat sulit   dibidikkian dengan tepat  ?”

 

“ Lik,  tombak berapi itu tidak  menyemburkan api kebelakang jadi bukan panah api Cina!”  sang  Arya menjawab.

“Adalagi satu kemungkinan, itu adalah  panah dari busur  ysng panjangnya dua depa lebih dan ditarik sambil terlentang   dengan   kadua kaki menjejak busur dan anak panah , sebenarnya tombak ditarik dengan kedua tangan sampil meregangkan  otot pinggang dan otot perut, tapi senjata ampuh tu adealah senjatanya orang  Cempa untuk berburu gajah di darat,  harus sangat berpengalaman untuk bisa membidikkiannya dengan tepat, khusus dari peahu konting yang digoyang ombak

 “Untuk menghimpun tenaga dalam  begitu hebat  memerlukan latihan  dan cara yang tepat, menurut keterangan yang saya dengar dari rekan rekanku sewaktu saya  ukut berlayar  dengan armada  Majapahit,   ilmu  pengaturan nafas pasuk wetu dari  Ida  Rsi  Baradah  yang mampu nenghancurkan  sasaran yang wadag maupun halus,  ilmu ini sudah jarang yang mampu  mempelajari  sampai ke puncaknya karena godaannya yang sangat berat.”

 

Selanjutnya  Ki  Bukur  seolahlah  berkata pada dirinya sendiri:

“ Barang siapa yang berhasil  menghimpun  tenaga pasuk wetu  di pusar,  dan menyalurkannya , maka  kekuatan ototnya  menjadi kekuatan  Hyang Brahma pribadi,

                  Bahwa pada tingkat pertama perahu perang MajapahIt yang model perahu Madura juga dipersenjatai dengan panah gajah itu hampir setahun, sebelum kalantaka dicetak untuk perlengkapan perahu perang Majapahit oleu Yang Mulia Mpu Mada, diwilaya timur senjata itu danamakan lela, dai sinilah tecipta kata “merajalela” *)

 

sudah menyediakan selembar kulit kambing yang sudah digosok  dengan pasir halus beserta alat tulis sepotong arang dari ranting  kayu sawo manila. yang di-arangkan dengan cara  khusus sehingga  meskipun keras  tapi enak untuk berlatih menulis..

Setelah mereka berdua bersalaman  tepatnya Ken Ampyang menirukan menjabat tanngan Muslimin dengan kikuk dan menirukannya menempelkan ke dada

Sambil berucap  assalamualaikum warakhmatullah................yang dia biasa mendengar  dan  ucapan selanjutnya yang sering dia dengar juga  tetapi itdak hafal dan  tidak paham  dia tidak mampu menirukannya. Melainkan hanya tersenyum saja.

Suara hiruk pikuk  hampir tak terdengar oleh Joko Ampyang  karena tekadnya yng besar untuk segera belajar  seperti temannya si Alibin.

Tak terasa  waktu sudah habis  karena tiba aatnya sholat malam.

“ Menurutku kemauanmu besar sekali untuk belajar Ken Ampyang, bila kau bisa pertahankan semangatmu seperti ini  untuk beberapa pekan,  sebentar lagi kamu bisa menyusul temanmu  si Ali, aku senag sekali  membantumu”

“Selama kami melakukan sholat Isya’ kau boleh menungguku bersila  dibaris  paling belakang  dan jangan melakukan apa apa,  apa sire  mau ?”

“ Baik isun mau,  isun akan duduk diam “

Lepas shalat Isya’  pemuda tanggung  Muslimin segera menemui Ki Bantal  di baris terdepan, menunggu   disamping  belakang Ki Bantal yang sedang tekun berdo’a,  sejenak Ki Bantal  menghentikan do’anya menoleh kepada  pemuda tanggung Muslimin sambila tersenyum.

“ Bagaimana tole Muslimin ?”

“ Murid  yag baru ini semangat dan kecerdasannya baik sekali Kyai,  sahaya  sangat ingin  membantunya   mnedapatkan  kepuasan bisa membaca menulis dan berhitung, sayangnya dia belum Islam, bagaimana Kyai ?”

“ Tole   dengan kebaikan engkau akan membuat dia salah satu diantara kita  dengan sukarela,  biarkan dia  menysuaikan diri dilingkungan kita,  jaga jangan sampai dia  ditegur oleh  salah  satu diantara kita karena  belum mengerti tatacara  masjid., dan tata cara  menyapa  gadis gadis,  misalnya ?” 

Ki Bnatal  bicara dengan mata yang berbinar binar  dengan bibir yang mengerut lucu

“ Baik akan  sahaya ingat dan laksanakan  nesihat Kyai”

Pergaulan rakyat Majapahit pesisir utara  dengan bahasa Jawa  Majapahit, sangat mirip dengan bahasa Melayu pada umumnya. Mereka tidak sulit bertutur dan mengerti bahasa Melayu Palembang dan jambi , Pahang ataupun Tumaasik, begitu pula  peergaulan Ken Ampyang di Gresik.

Dua Purnama tidak terasa,  entah sudah berapa  ikat obor daun kelapa  dan daun tal kering  sudah dipakai setiap malam,  bahkan  pengiring   Ken  Ampyang juga ikut belajar secara diam –diam   mengenali huruf huruf dan angka Arab.

Ken Ampyang benar benar  menikmati  belajar di  Kampung Molana, bahkan atas kemauannya sendiri dia beseta pengiringnya   berangkat lebih siang  setelah matahari sedikit condong ke barat.

Sesudah hari pertama,  Ken Ampyang  berpakaian  biasa  seperti pemuda pemuda tanggung yang lain,  salwar selutut,  kampuh  kain batik dan  destar dari kain yang sama tenun gedog  dari Lamongan yang  kuat dan kasar karena  benang  lawe dari kapas serat  pendek,  akan tetapi  sewaktu ditenun  diselingi dengan serat tanaman rawa dari Benggala jang sangat liat  diratakan membujur dan melintang..

Menurut  petunjuk Muslimin,  pakaian untuk belajar di masjid harus bersih artinya tidak berbau  keringat yang mengganggu orang  lain.

Inipun  tidak asing bagi Ken Ampyang yang Biangnya sangat   rewel terhadapm bau badan Ken Ampyang

pakaian apabila  dia  tidak mecucinya atau  mengganti denga pakaian yang bersih sewaktu  makan  dibalai balai dapur  Biangnya.

‘ Hai anak  Waysia,  jangan kau tunjukkan  wangsa dirimu dengan bau

setidaknya  baumu boleh seperti  para   Brahmana,   mandilah dan cuci pakainmu., atau biar  biangmu ini mneyuruh cucikan pakaianmu. itu”  bagitulah selalu  sejak  Ken Ampyang mengenal  pakaian.,  karena orang tuanya cukup berada.

Bahkan ayahnya mebiasakan  Ken Ampyang  memakai  ceripu dari kulit kerbau yang tebal karena tanah  bebatuan disekitar rumah ditumbuhi  tumbuhan  liar berduri dan banyak kala dan  serangga beracun berkeliaran di  mana mana., meskipun memakai ceripu apalagi dari kulit kerbau adalah kebiasaan kaum Brahmana saja.

Sungguh lega rasanya  melihat anaknya  begitu bersungguh sungguh  belajar di kampung Molana,  dan tidak ada tanda tanda  bahwa Kem Ampyang  berubah perangainya  yang membuat Ki Sono tidak senang.

Sepertinya sampai dua purnama  kedaan makin baik saja  ki Sono  merasa lega..

 

Delapan purnama, dari musim kemarau  sampai pertengahan musim hujan,  Ken Ampyang belayar di kampung Utara hampir setiap sore sampai malam .

Ki Sono betul betul merasa sangat bangga dan terharu  sewaktu tiba tiba saja

Ken Ampyang mendekati ayahnya pada suatu siang sesudah mereka makan,

Sambil mnunjuk-kan rontal yang ditulinya , anehnya ditulis melintang, jadi rontal  dibaca berdiri sedangkan  susunan  jahitan yang mebujur menjadi lajur lajur tegak.

Lajur pertama nama hari  dan sasih, disambung dengan lajur kedua nama barang dagangan,  lajur ketiga jumlahnya dan harga saat dibeli adalah lajur keempat

Sedangkan rontal lajur ke enam dan ketujuh adalah jumlah dan harga yang terjual

Semua ditulis dalam  dua pekan menurut keterangan Biang dan para pembantu  yang menangani masing masing barang .

Rupanya cita- citanya  untuk meniru  cara dagang Daeng Botak  sudah didepan mata dalam waktu  sesingkat itu.

.Ki Sonokeling tidak habis heran bagaimana  jumlah barang yang begitu besar dan jumlah kepeng tembaga dan  perak  Majapahit  yang senilai barang –barang yang diperjual belikan selama dua pekan dapat diketahui antara yang dibeli dan yang dijual

Memang itulah kelebihan dari angka Arab dan pemakaiannya  untuk  menghitung

Sangat mudah  menyatakan jumlah nilai sampai laksa  dan yuta  tanpa tempat yang banyak  hanya menyusun angka saja.

“ Nak,  kalau  hitunganmu ini benar , pasti beras merah yang ada di gudang tingal  beberapa  pulu bojog saja, sebab banyak sekali yang terjual sedangkan pembeliannya hanya hampir satu koyan saja,  memang aku sudah merasakan hal ini, marilah  kita nyatakan di gudang beras!”

Ki Sono Punya “catatan “  sendiri   dipintu gudang menggunakan  kapur sirih  berapa bojog  beras  merah   isi gudang pada akhir musim kemarau,  saat pembelian dari langganan terkhir. Sedangkan sesudah itu hampir tidak ada pembelian lagi kecuali pada  dua purmnama yang lalu dari  seorang juragan perahu dari  Lamongan yang dia juga masih ingat  berapa jumlahnya.

Memang ternyata benar beras merah di gudang tinggal beberapa pulu bojog saja,  akan tetapi,  Ki Sono Sudah tidak ingat lagi, berapa batang baja Luwu  yang ada  di gudangnya  ratusan batang baja  Luwu dan besi dari  Sokadana........   akan senilai beberapa puluh perahu  madura   yang bisa memuat  duapuluh koyan beras  dari  Jenggala   yang   bisa diloloskan dari  pengawasan   -para Demang  di  Gedangan   sampai   Simping dan Wonoayu  tanah datar berawa  di hilir Brantas,   bisa  mencapai ribuan bojog  semua ini sangat diminati oleh  langganan pemasok garam dan kayu jati olahan

yang semakin  dicari oleh para  juragan perahu  lombo dan pinisi dari tanah timur..

Juragan Sonokeling berfikir saatnya sudah dekat untuk melibatkan  langsung  Ken Ampyang ,andaikata dia sudah agak  dewasa, Ken Ampyang baru menjelang sebelas   tahun saja  masih terlalu muda  gumamnya pelan.

 

Sebagai tanda terima kasih  yang  tulus, Juragan Sonokeling   mengirim beberapa bojog beras  putih dari Jenggala  serta minyak jarak dan minyak kelapa  beberapa  ruas bambu  setiap dua pekan kepada Ki  Bantal yang juga diterima dengan tulus.

 

Bahkan  Ki Sonokeling memutuskan  untuk  ikut  menyumbang  beberapa ekor kambing pada perayaan  hari  lahir  Nabi Kaum Muslim untuk selamatan bersama denga para santri  sewaktu dia diundang oleh Ki Bantal untuk ikut menghadiri selamatan itu..

Kedatangannya di Kampung Molana  disambut dengan gembira oleh  penduduk kampung   Ki Sono diberi tempat terhormat disamping  para tetua  Kampung dan  para tamu dari luar desa seperti Romo dan Leran yang jauh,  tanpa ada prasangka apa apa  meskipun mereka tahu bahwa Ki Sonokeling   bukan Islam.

Pidato  singkat oleh Ki Bantal dlucapkan dalam bahasa Majapahit halus  memuji  Sang Utusan  Allah juga Hyang  Tunggal,  Nabi  Muhammad yang  menyampaikan kepada pengikutnya  wahyu pertama   perintah  untuk membaca.

Ki Sono sangat terkesan kepada sesorah yang sederhana ini,  Muhammad memang utusan Hyang  Widi yang sesungguhnya  ini  meneguhkan  bathinnya,  karena yang disampaikan adalah kebenaran yang sangat mengena  dilubuk hatinya.

Lagipula ajaran kepada para pengikutnya,  kaum Islam,bahwa   Hyang Widhi, Allah  tidak membeda bedakan manusia  dengan batasan apapun kecuali dari perbuatannya,  ini dihayati dengan sepenuh hati  oleh  penduduk kampung Molana., sungguh Ki Sono  tidak menyesal  mengikuti petunjuk  seorang  pengelana belasan tahun  yang lalu untuk pindah ke daeran yang gersang ini,  dadanya mengembang lega.

Perayaan memperingati  hari kelahiran  Baginda Rasul Muhammad di  kampung Molana saat itu rupanya  dilaksanakan  khusus  mengundang para tamu dari  kalangan  agama  Hindu Jawa  sosok- osok yang telah  mengenal dan menjalin hubungan baik  dalam waktu yang lama seperti  Arya  Mliwis  Bang , petugas pengawas Garowisi dari  Jajaran pejabat kecil  yang sering  mengujungi  Garowisi,  segenap pengikutnya yang berjumlah sepuluh  orang yang bermukim sekitar  menara tinjau  yang ada tiga  tempat   dengan satu istal kuda- kuda  tunggang,  petugas pajak penyeberangan  kali Lamong Ki Sodor  mereka semua telah saling mengenal  dengan Ki Sonokeling.

Banyak diantaranya dari wangsa  Ksatria,  hanya satu kesamaan diantara mereka, mereka tinggal ditempat yang terpencil dari  prgaulan budaya  Hindu dan budaya kerajaan.,  dan  Ki Sonokeling adalah yang terkaya diantara mereka dang sangat terbuka tangannya  menolong dikala mereka kesulitan,  kesulitan uang.,   terutama untuk bekal  hari- hari  ‘pesowanan”  di  Wirasaba  memerlukan   bekal  perjalanan dan uang  banyak.  Wangsa Ksatria enggan  berdagang apalagi  mengolah tanah.

Memang, pejabat kecil Kerajaan seperti Arya Mliwis bang,  sebenarnya  adalah  bekas  Wiratamtama  pasukan laut  Kerajaan  yang  kaki kirinya cacat akibat  terlindas kalanrtaka sewaktu perang laut di Sokadana melawan para bajak dari  Mindanao,  dialih tugas menjadi pengawas  menara tinjau  di Garowisi  dan mendapat bumi lungguh  di Manyar  yang meskipun sangat luas  tapi berupa rawa sebagian besar sehingga penghasilan-nya sedikit saja dari  petak –petak  ladang garam yang dikelola   kira kira lima puluh  keluarga  orang dari Madura.,  selebihnya  penghasilan Aria miskin ini dari  menyewakan perahu konting yang sudah agak tua  meskipun masih kokoh  karena tebuat  dari  papan jati yang  tebal  bekas milik  pasukan laut yang sudah  tidak dipakai karena  teerlalu kecil  untuk pelayaran jauh.

Perahu konting  ini telah  diubah dengan  menambah  tinggi lambungnya dengan  papan jati  lima jengkan setiap sisi, sehingga mirip dengan perahu bugis jenis lombo,

Akan tetapi haluan dan buritanmya masih nampak bentuk semula-nya, seperti perahu konting, dilengkapi dengan ruangan palka rendah  dengan atap kajang  dan papan yang kuat,   cocok untuk mengangkut beras dan garam.,  tanpa muatan penuh  perahu  jenis campuran ini sangat sulit dilayarkan  karena keseimbangan yang buruk.  Begitulah maka perahu tempat  Aria miskin ini menggantungkan nafkahnya  menjadi   alat  angkutan  perdangan   beras dan garam  dari  Gresik ke  Madura dan dari Madura ke  Gresik  sampai akhir musim timur  sepanjang tahun,  disewa oleh  Ki Sonokeling...

Aria  Mliwis bang   juga punya seorang putera sudah berusia lima belas tahun, dipanggil  Balencong, lengkapnya  Rahadyan Balencong.

Pada akhir  menjelang  keruntuhan   Kekuasaan  Majapahit,  dipusat  kebudayaan dan   Pemerintahan, Wilwatiktapura  ditepian Kali Brantas,  secara diam diam  telah tumbuh dan berkembang pesat suatu  kekuasaan tandingan  oleh dukungan  kaum  Bhairawa

yang mencampur aduk-kan  ajaran dan  prerilaku aliran hitam dan sedikit   ajaran   aliran putih,  yang kemudian menjadi kekuatan   tersembunyi.

Golongan ini sangat berpengaruh dalam menentukan  penempatan  maupun  penunjukan  jabatan  disemua   kegiatan  pemerintahan.,  hanya kalangan bangsawan tinggi dan kaum Brahmana terkemuka saja  yang mampu menembus  lingkaaran kekuasaan tersembunyi dari  kaum  ini.

 

Raden Balencong

Arya Mliwisgang  tidak berniat untuk  mengirimkan anak tunggalnya  ke  Ibu  Kota untuk magang   sebagai tamtama pasukan laut.  Dia khawatir akan  pengaruh buruk dari prgaulan di Ibu Kota.

Dirumah tangganya yang tak begitu besar, serang  lelaki tua  sudah  begabung menjadi angauta   sejak  lamasekali,  beliau adalah  paman Aria Mliwisbang dari  istri  ampil ayahnya, perempuan dari kasta endah..Ki Watu bukur.

Semasa muda pernah begarbung dalam pasukan laut Majapahit.

Dengan berlayar dia  ingin melupakan  kesedihanya

Pernah  paman ini berkeluarga,  sejak dia mengabdi  kepada   Rakryan  ri Hino  sebagai juru  pemeliraha   rontal   catatan ,  dia berbadan bersih dan tulisannya rapi

Penampilan  yang mirip  sosok  wangsa Brahmana.

Keluarganya musnah mati  tenggelam   dikali Brantas ,   perahu penyeberangan yang mereka tumpangi terbalik   diterjang arus, hanya dia yang masih selamat..

 Paman  Watubukur  ikut bergabung dengan pasukan laut Majapahit,  sebagai  pemanjat tiang layar yang tak kenal takut  menghadapi segala cuaca,  mengggulung  layar dipuncak tiang agung saat badai adalah   pekerjaan yan selalu dipercayakan kepadanya oleh  Mpu Pandega,  dan dia neghadapi bahaya dengan gembira,   seolah ingin petemu anak istrinya yang  telah meninggalkannya.,  seluruh awak kapal  memperlakukan dia dengan baik, meskipun dalam hati  mereka menganggap  Watubukur gila.

Ki Watubukur sudah  ada  di kapal bendera pemimpin armada Wilwatikta  dengan  umbul umbul Gulakelapa  sejak kapal perkasa bertiang agung tiga  itu  diluncurkan  di  lapangan pembuatan kapal besar di  Canggu   tepian  landai  berlumpur dari kali Bratas.  Dia awak kapal yang tidak pernah ikut mabok mabokan dan pandai membaca rontal  kidung dan kandapat,  suaranya tidak keras tapi  berkat oto otot perutnya yang sangat kuat  dan latihan pasuk wetu  nafas, suaranya bisa  terdengar jauh sampai   buritan  tempat jurumudi..

Tiga kali  kapal  pemimpin armada  berganti  Narotama  Pandega,  yang terkhir telah mengandaskan  kapal  hebat ini di teluk Bangil tanpa bisa diselamatkan lagi karena terpaan  arus dan ombak yang semakin menancapkan lambungnya ke gosong karang.

Ki watubukur turn dan bergabung dengan keluarga pekonakannya  Arya Mliwisbang.

Tinggal di bukit rendah tepian bengawan Solo.

Ki Watubukurlah  yng mengajari  putra Arya Mliwisbang   membaca dn menulis huruf  Majapahit  secara bermain main ejak sngat dini,  kemdian mengajarinya berenang dan menyelam, dasar anak cerdas yang selalu ingin meniru.

Dapat dimengerti bahwa Ki Watubukur  menyayangi   anak  yang  dia panggil Encong,   lebih dari  orng tua  bocah ini.

Saat memudarnya  sinar kerajaan Majapahit  dan muculnya  kelompok kolmpok  warga pesisir yang memeluk agama  Islam dikalangan para pedangang berkasta  rendah,

Banyak perahu dagang dan permukiman yang dijarah  oleh kaum   bajak dan bahkan para Arya  yang mencari jalan pintas   demi mencapai  jenjang kemuliaan ,  yang di Ibu Kota Majapahit  bisa   “dibeli”  dari  kalangan   penguasa  dari  Istana,  dari hampir semua Rakryan yang banyak jumlahnya  dan saling bersaing.

Untungnya, di  Sidayu,  dekat muara Bwngawan Solo,  datang seorang pengelana  Islam dari  tanah  Pancir,  Pengelana ini  mengajari  orang orang muda  dan orang dewasa dari  masyarakat  kecil Islam  Ilmu bertempur menggunakan tombak pendek yang seluruhnya dari  baja,   dengan panjang sedepa lebih beberapa jengkal atau  setinggi pemakainya,  semacam tombak akan tetapi dari gagang sampai ke mata  tombak yang sangat lebar, selebar hampir lima jari,  semua dari besi baja yang menyatu,    umunya dinamakan talempak .  Ditempat asal  ki Pancir,  satu  lembah berbatu   semua orang harus mahir memainkan  senjata dan alat kerja ini,  nun disana tanahnya  sangat gersang dan  hawa udaranya dingin menusuk tulang dimusim dingan dan panas  seperti tungku dimusim panas,   panduduk lembah Pansyir menggali gunung cadas dan batu keras untuk mendapatkan bijih emas dan bijih logam lainnya juga besi baja, . talempak hanya bisa dimainkan dengan  menggunakan tenaga dalam yang mahir.,

Sebab  beratnya bisa  mencapai sepuluh kati dan karena  pendek talempak harus dimainkan dengan cepat. Jurus perubahannya sangat banyak,  semua gerakan pokok ditumpu oleh  kekuatan  perut dan pinggang.  Inilah raja dari segala senjata  untuk pertarungan  yang menentukan hidup dan mati.

Diantara murid yang  unggul   dari  puluhan tahun  yang lalu   adalah Ki   Bantal dan  Ki Ageng Sedayu. yang sewaktu mudanya digembleng oleh Ki  Pancir  di  perbukitan pantai  utara antara Tuban dan Sedayu, yang menjadi pusat  pelatihan  sang Pendekar.

Pembela  hunian Islam yang masih terlalu lemah.

 

Ki Watubukur menemukan  Ki  Ageng Sedayu dan muridnya  secara tidak disengaja  dan sangat kebetulan.

Sewaktu ki Bukur dan Encong  cucunya yang berumur hampir delapan tahun berburu  celeng rawa dimusim  kemarau,  mereka berdua menyusuri  anak sungaai kecil yang mengalir diantara  lebatnya  nipah dan kayu  api api  dengan  perahu tembo,  disatu tempat terbuka  hampir  dekat    pantai berlumpur di wilayah Manyar,  ada  sekelompok orang  aneh  yang  potongan badannya macam macam,  ada yang brjanggut tinggi besar ada yang pendek kekar.  Yang tidak berjanggut  hampir semuanya anak anak muda yang telanjang dan badannya mengkilat oleh peringat dan lumpur..  mereka bekerja dengan  tekun  mengeduk tanah lumpur yang  tiris tapi belu mengering,  membuat parit dan tanggul..

Yang menarik perhatian  Ki Watubukur adalah alat dan cara mereka bekerja.

Sosok tinggi besar dan sosok pendek gempal dan para anak muda semua menggunakan semacam dayung  hanya  seluruhnya terbuat dari besi yang beratnya  dia taksir  sampai lebih dari tujuh kati,  si tinggi besar  alatnya lebih  mengerikan  besarnya  talempak dari besi yang beratnya menurut kerkiraan Ki Bukur bisa mencapai  duabalas kati.

Karena berat alat  itu,  waktu ditancapkan ke  limpur yang sudah tiris itu bisa menancap hampir sehasta,  dengan  kaki yang bertumpu  pada   jurus kuda kuda sekenanya, si tinggi besar melemparkan  sebongkah demi sebongkah lumpur tiris yang mengkilat sejauh tiga depa membuat sebaris tanggul dengan rapi, begitu pula si pendek gempal, mereka berdua seolah olah bertanding., sedang lima anak muda yang telanjang  dan berlkilat kilat badannya   berbuat yang sama, mengikuti irama   tetuanya  dengan  kaki  kaki mereka mengatur kuda kuda  seperti pesilat, hanya lemparan mereka tidak jauh , sedepa lebih saja  dan langkahnya ketinggalan  beberapa depa dari tetuanya.

 Ki Bukur  terhenyak melongo,  dayungnya disisipkan diantara tangkai daun  nipah sehingga peranu tembonya   berhenti seperti  kapal lego jangkar., begitu pula  si Encong   yang segera mengerti kena apa  pengasuhnya  menghentikan perahu ,

dengan gembira dia berteriak teriak  Sambil bertepuk  tangan,  mereka terus bekerja,  dua tetua itu makin  mempercepat   irama   kerjanya sedangkan para pemuda dengan sekuat tenaga,  mengikuti sampai  lancingan  Ki  Bukur  yang tebal itu mengering,

jadi  hampir seratus jurus  pertarungan  beneran.

Dia pgang tangan cucunya agar tidak berisik sudah terlambat, apaboleh buat.

 Ki  Watubukur  tidak asing dengan   pertarungan dan pertempuran didarat maupun diatas kapal, meskipun tugas nya adalah  bertengger ditiang layar dengan senjata   keris panjang  yang lebih mirip pedang  orang Romawi yang diselipkan di belakang pundak  dan tujuh pisau  terbang  berat  yang tersisip rapi diselempang kulit lebat menyilang dadanya..  Meskipun Ki Watubukur bukan  petarung tapi berkat ketekunannya berlatih melempar pisau  dari Guru seorang Cina di  Canggu.  Dia mampu menerbangkan pisaunya  secepat kilat sejauh sepuluh depa dan jarang meleset diluar sasaran  sebesar kelapa., berkat otot perut dang  otot   pinggangnya yang istimewa, sedang tangannya kanan kiri lentur seperti tali  tiang agung..

Dengan kepandaiannya   melempar pisau itu dia pernah menyelamatkan  nyawa   Arya  Pandega   sewaktu  ada  serangan   membokong   yang sangat mendadak oleh  bajak laut  yang naik  memanjat kapal  dari perahu lancang yang banyak  merubung perahu bendera Majapahit nun di  pantai Bengkalis.  Ditengah gegap gempita  pertempuran , pisau terbangnya dilempar dari ketinggian   meluncur bagai  patokan  ular  menembus bahu  penyerang  berpedang panjang dari arah belakang   Arya  Pandega  sehingga pedangnya jatuh   berdentang  kena  kalantaka disamping sang Pandega.  Sejak  itu Ki Bukur tidak pernah ditugaskan pindah ke kapal lain. 

 

Ki Bukur tahu betul  bahwa  sosok tinggi besar dan temannya itu bukan orang sembarangan, mereka pendekar tangguh dengan tenaga dalam yang sangat  kuat

Sedangkan  pemuda pemuda yang  telanjang itupun sudah  sangat tangguh  tenaga dalamnya.

 

“Sahaya  Ki Watubukur  dengan cucu  sahaya  secara tidak sengaja  melihat andika berlatih  silat  tingkat tinggi kisanak,  maka maafkam kami bila cucu saya ini menganggu, gubug kami didesa  Bungah tepian bengawan Solo”

Dengan demikian dia berusaha  memberi  isyarat bahwa  diapun orang yang tidak asing dengan  penguasa Kerajaan Kajapahit.  Dan tidak  diperlakukan dengan sembarangan oleh   orang orang   persilatan itu andaikata  mereka  dari kumpulan Bhairawa.

Berkata  demikian dengan khidmat,  sambil  mengunncupkan kedua telapak tangannya  menyembah,  dengan suara  yang biasa dia lantunkan waktu   menembangkan  kandapat,  suara  yang didukung  oleh  tenaga otot perut yang terlatih..dengan samadhi,   masih was was  apakah mungkin ada  sosok aliran Bhairawa  yang  datang  sangat  jauh    dari  sarangnya yang pasti dekat dekat dengan  kenikmatan  di kota  kota  besar.

 

Si Tinggi besar dan si Gempal  meluncur mendekat aliran sungai kecil dengan papan luncur  yang biasa dipakai oleh orang orang daerah pantai berlumpur  untuk mncari kerang ,tapi bedanya,  pendekar berdua ini mengendarai papan ini dengan kaki tegak  bertumpu di telapak  kakinya bukan dengan lututnya dan  mendayung dengan  telapak kaki sebelah dengan cepat., pertanda ilmu silatnya sudah sangat tinggi.

 

“ Masya Allah  kisanak, kami  hanya mencoba mengajari  anak anak kami bekerja mebuat tambak  ikan ,  anda pasti  Ki Watubukur dari keluarga  Arya Mliwisbang

maafkan kami kisanak apabila anda benar ki Watubukur  dari keluarga  Arya Mliwisbang, kami mengerti wilayah ini  adalah kekuasaan lungguh sang  Arya”

 

“ Duh ki Sanak,  saya jadi sangat  malu,  pengetahuan andika  dengan tepat menebak  keadaan kami sekeluarga sungguh luar biasa,  tanah lungguh   Arya Mliwisbang yang berupa rawa rawa ini  merupakan tempat buangan bagi mereka yang  disingkirkan.

Bolehkah sahaya tahu siapakah andika semua ini ?

 

“Dari sikap dan tutur kata  suara andika, dapat kami perkirakan bahwa andika orang yang   terbiasa bergaul dengan  kaum yang berpedidikan ,  dan  kelurga itu satu satunya diwilayah ini adalah Arya Mliwisbang, andika  betah bertempat  tinggal ditempat yang jauh dari keramaian ini pasti tidak  dekat dengan kaum Bhairawa  bagitukah Ki  Watubukur. ?”

Begitulah dengan wajah yang lucu dan tangan mengucupkan sembah  sosok yang pendek dan gempal itu  berkata sambil tersenum.

 

Sahaya adalah Ki Bantal dari  Kampung Molana di  Garowisi, sedangkan saudara saya yang tinggi besar ini   Ki  Sidayu, dari  Sidayu,  kami  ini kawula Majapahit  yang setia, hanya kami bersanak kelurga ti tempat terpencil dimana kami dibutuhkan,

Kami kaum Islam  juga menempa  dan melatih  keluarga dan sanak kadang kami untuk mempertahankan diri dari   ancaman  kaum Bajak dan perampok, juga kaum Bhairawa yang   rasa kemanusiaan-nya rendah , seperti andika lihat sendiri.

 

“Sahaya sangat  beruntung dapat bertemu dan  menyaksikan jati diri  andika semua. 

 Sahaya mohon andika semua jangan berkecil hati,  sahaya dan anak sahaya  Arya Mliwisbang akan  dengan senang hati  berkunjung ke  Garowisi atau Sedayu  menemui  para pendekar yang berilmu itinggi seperti andika berdua beserta sanak keluarga  andika.”

 

Tole, Balencong, beri sembah kepada  Para  Pendekar dan mhonlah maaf atas kelancanganmu,  kalau engkau beruntung  mungkini   engkau bisa berguru kepada beliau berdua.” 

 

Balencong yang masih sangatmuda itu menghdapkan tubuhnya dengan susah payah kepada para pendekar  yang  penuh lumpur itu sampil bertumpu pada lututnya  keduatangannya menguncupkan sembah, oleh karena  perahu tembo  itu akecil dan posisinya  tidak tepat maka menjadi oleng  begoyang goyang lucu,  Balencong menjadi   gopoh dan menjerit

“Mohon maaf   Dang Hyang  Pendekaaar”  sambil berpegang bibir perahu, diiringi tawa  para santri telanjang yang sedang berjalan dilumpur dengan susah payah..

 

Smua tertawa  tiba tiba  termasuk para tetua yang  lagi serius,  meskipun tawa itu dipicu oleh alasan msing masing.

Ki Bantal dan Ki Ageng Sedayu tertawa karena dipanggil Dang Hyang yang berarti   Siluman setengah Dewa,  Ki Bukur tertawa karena Arya kecil ini sangat sombong   menyatakan  dia sudah pintar mengatur keseimbangan dirinya  diatas perahu tembo, apalagi bila diingatkan  kakek pengasuhnya itu, sedang para santri terawa riuh karena   memang  keadaan  bocah Balencong sangat kocak,  bergoyang goyang akhirnya jatuh hampur tertelungkup  sedang permintaan   maafnya   dilantunkan dengan suara   aneh bergetar karena terkejut dan takut..

 

“Selamat jalan tole.sampai jumpa  nanti, 

 

 Ki Bukur melanjutkan mendayung  mudik  kali kecil itu sampai   matahari agak condong ke barat   perairan yang penuh nipah dan  ada sungai  agak  lebar  mengalir ke utara,  dia  berbelok menghilir sngai itu  karena setelah  sore laut mulai surut,  setelah sungai itu  keluar dair rawa rawa dan berbelok ke timur karena terhalang  oleh lereng rendah mereka menambatkan perahu  tembo  dan  berjalan pulang.

 

Malam sebelum keluarga Arya  Mliwisbang   tidur,  biasa  mereka duduk duduk di balai besar didepan rumah dapur diterngi oleh dilah minjak  sederhana,  rupanya tinggal   Arya Mliwis  dan Ki Watubukur, nampamknya nereka  sedang membicarakan   sesuatu  persoalan yang serius.

 

“ Jarot,---  bagitulah Ki Bukur slalu memanggil Arya Mliwis dengan nama kecilnya,  ---  apakah  andika  menyadari bahwa didesa desa tepencil sekitar kita , ditempat terpencil ini  sudah lama bermukim  orang orang  luar biasa,  pendekar berilmu tinggi

dengan muird-muridnya   yang sudah lama digembleng   ilmu pernafasan dan menghimpum tenaga dalam mereka sungguh  luar biasa.”

 

“ Isun sudah menyadari Lik,  hanya sayangnya  isun hanya mendengar kabar saja dari

anak buah isun di Garowisi, bahwa  sudah  hampir lima  tahun  sampai sekarang,   kaum bajak dari  Sampang  dan  Arya  dari Terung dn Porong  sudah jarang  menjarah perkampungan sepanjang  pantai utara sampai ke perbatasan  Tuban,  rupanya mereka selalu terpukul undur. dan jera”

Sahaya  hanya pernah menyaksikan dari  menera tinjau Garowisi,  satu perahu bajak dari Sampang  diburu oeh dua  kapal konitng  biasa  pada suatu malam  mendung,  dan anehnya  kedua konting  kecil   itu  mampu menghujani  panah api   satu perahu bajak  dengan layar besar  yang meenggelembung  dengan tiupan angin barat,  anehnya panah  panah api itu  hampir sepanjang tombak  dan dapat  mencapai   limapuluh depa dengan api  di ujungnya   menyala nyala sebesar periuk !”

“Menurut anak buah saya   konting konting kecil itu dari Sedayu.,   layar perahu bajak  yang perisi lebih dari duapuluh  orang  bersenjata arit besar itu   terbakar dan  dengan cepat tersusul oleh konting yang mendekati dari lambung kanan dan kiri  ditengan kepanikan  para bajak yang rupanya ada yang tertembus panah  tombak  peperapa orang kelihatan  melenting dari konting  konting yang  rendah  melayng lima depa  dan selanjutnya  entah apa yang terjadi,  dengan cepat peruhu bajak itu tenggelam,  tidak sempat terbakar, haluannya nyungsep   maasuk  ke air ,  dengan cepat  konting konting itu memutar haluan ke utara, meninggalkan para  bajak   berenang mengitari  perahunya.”

Ki Bukur  menyahut dengan  bersemangat,  dan mata yang menatap jauh:

“Isun tahu  panah api  sebesat tonbak  itu,  senjata   ampuh      adalan   api  orang  Cina,  yang ditembakkan dengan  semburan api yang mendorongnya,  pernah lancang tempur dari   Pamelayu  juga dipersenjatai dengan tombak   kayu yang berat,   semjata itu hanya dilucurkan dengan   tenaga  saja, paling jauh hanya lemabelas depa,

itupun tidak berujung baja., tapi  panah api Cina , siapa yang mampu membuatnya , lagipula   panah api  Cina ini  sangat sulit   dibidikkian dengan tepat  ?”

 

“ Lik,  tombak berapi itu tidak  menyemburkan api kebelakang jadi bukan panah api Cina!”  sang  Arya menjawab.

“Adalagi satu kemungkinan, itu adalah  panah dari busur  ysng panjangnya dua depa lebih dan ditarik sambil terlentang   dengan   kadua kaki menjejak busur dan anak panah , sebenarnya tombak ditarik dengan kedua tangan sampil meregangkan  otot pinggang dan otot perut, tapi senjata ampuh tu adealah senjatanya orang  Cempa untuk berburu gajah di darat,  harus sangat berpengalaman untuk bisa membidikkiannya dengan tepat, khusus dari peahu konting yang digoyang ombak

 “Untuk menghimpun tenaga dalam  begitu hebat  memerlukan latihan  dan cara yang tepat, menurut keterangan yang saya dengar dari rekan rekanku sewaktu saya  ukut berlayar  dengan armada  Majapahit,   ilmu  pengaturan nafas pasuk wetu dari  Ida  Rsi  Baradah  yang mampu nenghancurkan  sasaran yang wadag maupun halus,  ilmu ini sudah jarang yang mampu  mempelajari  sampai ke puncaknya karena godaannya yang sangat berat.”

 

Selanjutnya  Ki  Bukur  seolahlah  berkata pada dirinya sendiri:

“ Barang siapa yang berhasil  menghimpun  tenaga pasuk wetu  di pusar,  dan menyalurkannya , maka  kekuatan ototnya  menjadi kekuatan  Hyang Brahma pribad 

Bahwa pada tingkat pertama perahu perang MajapahIt yang model perahu Madura juga dipersenjatai dengan panah gajah itu hampir setahun, sebelum kalantaka dicetak untuk perlengkapan perahu perang Majapahit oleu Yang Mulia Mpu Mada, diwilaya timur senjata itu danamakan lela, dai sinilah tecipta kata “merajalela”

        

 Wadah dan isi

 

Para lelaki dewasa in berbaris didepan  wantilah guna menyambut tamu,  yang   sudah berjalan didampingi oleh Ki Ageng Sidayu sendiri,  ternyata  beliau sudah menyambut didepan berbang berundag semacam candi bentar.

KI Ageng mengenakan jubah pendek dan salwar  juga mengenakan   sorban   ringkas  jadi semacan destar orang Jawa Tengah.,  destar ini  yang membedakan beliau dengan penampilan para Brahmana.

Setelah Ki Ageng mmperkenalkan para tamu dengan murid muirdnya  yang  sudah  menjadi pembimbing  di  padepokan,  merka saling memberi hormat cara  Majapait, dan akhirnya dipersilahkan duduk di wantilan.seedangkan  bocah Balencong   duduk bergerombol  dibarisan belakang  mereka bersila dan bersalam salaman seperti layaknya kaum muslim, karena bocah  maka Aria kecil ini  tidak  canggung dalam bergaul memperkenalkan nama masing masing.

Setelah  menjawab  pertanyaan Ki Ageng mengenai   keadaan  pelayaran dengan angin sakal dan pancaroba  yang menandai musin saat itu,  Aria Mliwisbang juga  menjelaskan  barang bawaannya yang   berupa batangan batangan besi baja Luwuk yang sekira diperlukan oleh Padepokan Ki Ageng., sebab menurut erita yng didengar oleh Aria Mliwisbang bahwa di Sidayu ada  Empu  pembuat senjata yang akhli.

Aria Mliwisbang,   dengan khidmat menyampaikan juga kotak kayu  yang berisi batang logam berat   dijelaskannya bahwa logam itu adalah barang wasiat istrinya yang  diperoleh sebgai hadiah perkawina mereka dari orang tua angkat  istrinya yang budiman.,  Sang Aria  menyerahkan kepada Ki Ageng  karena  dia merasa tidak mampu untuk menggali dayaguna logan itu dan lebih cocok  dikelola oleh Kageng Sidayu.

Aria Mliwisbang juga  menjelaskan bahwa  sepeninggal Ki  Ageng dari rumahnya dia merasa  ada jalan  melaksanakan cita citanya   mecarikan  Guru bagi puteranya

Rahadyan Baalencong.

Agar tidak merepotkan padepokan  Aria Mliwisbang juga  menyatakan bhwa Ki Watubukur bakal  ikut  tingggal di Padepokan perlu mengurusi  kebutuhan sehari hari  cucunya yang masih  bocah.

Sekali lagi  mereka berdua suami istri  merangkap telapak tangannya kearah Ki Ageng Sidayu  untuk mohon agar anaknya bisa  diterima menjadi murid   padepokan Ki  Ageng. Sidayu.

“ Sumbangan andika  berupa bahan untuk membuat senjata baja  dari Luwuk  sahaya terima Aria Mliwisbang,  adapun putra  andika  Rahadyan Balencong,  meskipun masih terlalu muda dibandingkan dengan  murid seangkatan-nya , bisa diterima sebagai murid di Padpokan Sidayu ini asal bisa lulus dari  ujian  pendadaran sebagai murid seperti yang lain, sebagai andika ketahui Padepokan Sidayu  mengajarkan terutama Ilmu  membela diri   yang berarti  pertarungan dan pertempuran  disamping Ilmu  yang lain”.

“Adapun  Agama Islam  adalah dasar kami menggali  kekuataan  diatas  kekuatan  wadag”

“Para sahabat  para tamu  yang sudah  sahaya anggap  anak dan saudara, legakanlah hati andika sekalian,  penyatuan kita  asebagai  keluarga  adalah  jodoh, takdir yang sudah digariskan oleh  Allah”.

“Ilmu bela diri sangat diperlukan  dalam  menghadapi musuh secara  pertarungan, sedangkan  ilmu  perbintangan,   ilmu  hitung   aljeber  sangat diperlukan dalam  pelayaran,  pembuatan  bangunan,   jalan dan saluran air,  adapun ilmu peprangan mempelajari banyak hal  yang menyangkut  watak wilayah,  watak alam, dan watak manusia., semua dalam  lingkup ilmu hitung  yang  menyangkut   pemuatan dan penggunaan  alat perang  ,  ruang , bobot dan waktu,  apalagi ilmu  Agama yang kami sendiripun  masih belajar mendalaminya.,  sahaya  jamin  Raden Balencong pasti  akan  mendapatkan  ilmu yang cocok bagi  dia  lewat pengujian kami.”

 

Pengujian  yang dilakukan oleh Ki Ageng Sidayu terhadap calon murid  yang belum  di persiapkan oleh guru  yang mengirimkan ke Sidayu  akan meliputi:

Watak dasar  yang harus cock dengan ilmu ang akan dipelajari terutama apabila akan mempelajari ilmu mengolah tenaga dalam  untuk bela diri dalam pertarungan ,  yaitu tidak mudah marah,  mempunyai ingatan yang kuat,  punya daya tahan  dan tekad .

Daya ingat  otak  dan daya imaginasi  diperlukan untuk mempelajari ilmu- ilmu peperangan.dan kenegaraan.

Jadi menurut pemikiran  Ki Ageng Sidayu, dalam misinya  melindungi kaum  Muslim dari   penindasan dan perampokan, dia harus mendapat muird yang  memenuhi  salah satu dari watak dasar yang diperlukan atau dua-dua watak dasar itu ada, yang akan bercabang dengan sendirinya  menurut jalan hidup masingmasing murid.

Keperluan  mendidik  para pendekar dan menghimpun dalam satu   kekuatan  sangatlah mendesak.

Dalam lingkungan padepokan,  ikatan peersaudaraan  antara  penghuninya sangatlah erat,  jadi meskipun belum Islam,  dan tidak bakal dipaksa untuk menjadi Islam,  penghuni baru seperti Ki Watubukur dan  Bocah Balencong   tidal bakal mengganggu dan diganggu   dalam  menjalankan  keperluan pribadi masing-masing.

Semula  Ki Watubukur dan  bocah Balencong  ditempatkan di satu pondok yang agak jauh dari  kelompok pondok pondok yang mengitari   lapangan  depan bangunan masjid ,  pondok sederhana  ini bahan utamanya adalah bambu sedang atapnya  yang tidak begitu tinggi dari  welit  atau  daun alang alang yang dijepit dengan bilah bambu,  disusun kebawah  berlapis lapis dengan  jarar hanya empat jari  jadi akhirnya atap alang alang itu  merupakan atap yang tebal  yang menjamin kehangatan waktu malam dan  kesejukan waktu siang hari. Dibelakang sudah tersedia jambangan besar dengan pancuran air dari  batang bambu, yang rupanya batang batang bambu  itu disambung sambung dari arah atas bukit khusus  ke pondok itu.

Pondok sederhana  ini rupanya  dirancang khusus untuk tamu  yang belum biasa dengan  kehidupan  para santri, letaknya agak jauh dari hunian pondok dan masjid supaya  tidak terganggu watu pagi , waktu takbir subuh dikumandangkan,  tersedia  dapur sederhana  lengkap dengan periuk gerabah,  cerek  tembaga piranti masak air,

Bebapa cawan  tembikar cina  dan macam macam bumbu dapur.

Keluarga Aria  Mliwisbang  menginap semalam di pondok ini.

Rupanya sejak pagi kedatangan rombongan kecil  dari  Garowisi beserta awak perahu  Madura menjadi hari istimewa bagi padepokan  Ki Ageng  Sidayu.

Sayang sekali,  suasana  padepokan   yang  pada hari kedatangan  keluarga  Aria Majapahit itu   meskipun nampak sumringah tapi masih  ada kekurangan-nya  bahwa padepokan itu  rupanya khusus untuk kaum  pria saja karena  kekhususannya   pada  ilmu  jaya kawijayan , ilmu  silat tingkat itinggi yang dilandasi Ilmu Agama Islam.

Pada hari biasa, semua penghuni padepokan  setelah sholat subuh  segera meninggalkan   pondok masing masing dan   bergabung dengan kelompok masing masing untuk menjalankan tugas,  , kehutan,   kehuma,   dan tegalan semua sudah lengkap dengan  alat alat yang diperlukan., hanya mereka yang bertugas  memelihara  komplek  padepokan saja yang masih tinggal  dan tidak seberapa.

Kali  ini lebih banyak  murid yang bertugas  di  padepokan, jadi hari  manpak istimewa sampai  malam tiba.

Kebiasaan di padepokan ini   penghuninyamakan  bersama hnnya sekali waktu  habis  magrib, sebab merrka makan pagi dan makan siang ditempat kerja masing masing,  sekiara  jam sepulu siang,  makan bekal nasi timbel dan lauk seadanya  yang dipanasi  dibara api , sering olahan ikan laut.

Setelah penyambutan resmi selesai, para tamu dipersilahkan  beristirahat di  bangunan pondok  untuk beristirahat dan menunggu sampai habis isya.

 

Menjelang    sore setelah  matahari condong ke barat   orang di padepokan menyebut setelah waktu  asyar,   sewaktu Ki Watubukur menyalakan api untuk merebus air,  tiba tiba datang satu rombongan kecil  santri santri muda usia, membawa   nyiru dtutup daun pisang dan  satu ceret tembaga.,     

KI ageng Sidayu  masih dengan pakaian yang sama  mengikuti robongan itu.

Assalaualaikum warokhmatullahiwabarokatuh !”

Bocah  Balencng segera menjawab dengan kata yang sama sambil tersenyum lwebar.

Sebelu yang lain sempat membuka mulut.

.Semuaorang menjadi tertawa riuh.

 

3.     Kunjungan bab 3                                                                                                                                                                                    

Sebulan sesudah pertemuan  antara Ki Watubukur dengan   dengan  kelompok santri dari  Sidayu  yang dipimpin sendiri oleh Ki Ageng  Sidayu  secara kebetulan  ditngah rawa ‘waled’ atau sedimentasi lumpur.    saat Ki Ageng Sidayu sedang melatih murid muridnya   mencoba kekuatan dan daya tahan  otot  otot pinggang dan otot perut,  sambil  melaksanakan percobaan pembuatan tambak  dengan membuat tanggul di lahan berlumpur  akibat endapan dari sungai   yang dinamakan tanah  ‘waled’.

Ki Bantal dan  Ki Ageng Sidayu, mereka adalah saudara seperguaruan,  pada masa mudanya  mereka  telah bertahun tahun menjadi santri murid  Syekh  Pancir, seorang  pengelana  Islam  yang datang dari tanah jauh  diantara   Hindustan dan  dan Farsistan,  satu lembah berbatu yang dinamakan kembah Panshir.

Rupanya  atas saran para  Pimpinan Ulama Islam  sepanjang  Pantai Utara pulau Jawa Syekh Pancir, begitulah  julukan  yang didapatnya dari  penduduk setempat, yang kemudian nama itu tetap disandangnnya,  bermukin  dipinggir pantai di desa nelahan antara  Tuban dan Sidayu,  para nelayan  di  desa ini  sangat ramah, mereka kebanyakan sudah mengenal   tatacara Islam  dan   menerma ajaran  pokok Islam dari para  Penganjur yang sudah bwermukin di desa itu.

Pada umumnya rakyat nelayan ini sangat sederhana dan  digolongkan  dalam kassta yang terendah yaitu kast Sudra bahkan Pariah karena   sangat tepencil  desanya .

rendahnya derajad mereka dimata  masyarakat luas Majapahit  yang Hindu,  jarang dirasakan oleh penduduk desa itu,  kecuali  kejadian yang tidan mereka senangi yaitu

‘dawuh’ Pamotan ( Sekarang Lamongan) untuk  berbulan bulan bekerja   menyeret  kayu jati dari  bukit bukit  kapur  ke Bengawan Solo  saat permulaan  musim hujan, dan  “dawuh’ ini sering terjadi ,   .disanalah mereka dinista oleh  para  tamtama prajurit Majapahit,  banyak  diantara keluarga meraka yang jatuh sakit dan sampai mati,  mereka dikubur tanpa upacara apapun, karena tidak  seorang kaum, atau pemangku  yang ada  d gubug gubug dtengan hutan,  para  pengawas  yang berkasta  lebih  tinggi  menyuruh mengubur bangkai secepat mungkin  dan mulai bekerja.

Para  penganjur  Islam  yag masih muda muda  menyertai dengan sukarela bersama para nelayan untuk hidup di gubug gubug   dihutan yang penuh nyamuk  untuk ikut melaksanakan ‘dawuh’  menyeret gelondong- gelondong jati  ke pingggir bengawan Solo.  Mereka, para penganjur muda ini  bahu membahu dengan rakyat, dan bisa meyakinkan   Narotama Pengawas  yang sering kejam dan bodoh,  untuk mencari jalan menyarat gelondong  lewat lereng yang  melandai secara tetap meskipun agak jauh dari pada jalan yang  ditunjuk  oleh  Pengawas   Narotama yang meskipun nampaknya kebih mudah karena lereng  yang cukup curam sehingga  sekali dorong gelondong itu  meluncur  dengan sendirinya.  Akan tetapi akhirnya setelah sampai didasar jurang,  penyeretan  gelondong  gelondong itu menjadi sangat sulit.

Saran para santri Penganjur Islam sering diterima.

Orang orang muda  ini juga  menguasai  ilmu pengobatan   menggunakan dedaunan,

dan rimpang rimpang ‘temu’ segala rupa yang biasanya hanya dikuasai oleh kasta Brahmana saja  karena dihubungkan  dengan upacara dan mantra mantra..

Orang  orang muda yang  pandai ini tidak mengenal kasta.

Akibatnya  dengan senang hati penduduk desa nelayan  ini mengikuti  anjuran dan  cara hidup  orang  Islam, meskipun banyak yang hanya  ‘rubuh gedang’  mengikuti imam di mesjid sederhana tanpa  mwengucapkan do.a sendiri karena mereka adalah mualaf.

Brgitulah lahan subur untuk berpijak bagi  Syekh  Pancir  menyebarkan Ilmu  lebih lanjut sudah terbentuk di Desa yang kemudian dinamakan  menurut  Syekh  yang dihormati itu desa  Panciran.

Semenjak Shekh  Pancir  bermukin di desa itu, berdatanganlah para pemuda dari sepanjang pantai  pulau Jawa, bahkan  dari  pedalaman  tanah Pengging dan  Sokawati , bahkan dsri  Pamalayu  dan Luwuk  rupanya mereka dikirim oleh Guru masing masing.

Syekh Pancir  menggembleng  pemuda pemuda  ini dalam ilmu  bela diri dan ilmu mengerahkan tenaga  dalam  untuk  memainkan senjata tombak pendek  yang seluruhnya dari besi baja,   ilmu silat yang dilandasi  tenaga dalam  memerlukan murid murid yang berbakat.

Landasan   hidup lahir bathin yang diberikan  oleh Agama Islam  waktu itu,  mencetak  pemuda pemuda  yang  bisa mengendalikan hawa nafsu,  yang menjadi landasan utama  dari  penghimpunan dan pengerahan tenaga dalam untuk  bertarung., Islam ajaran Syekh Pancir,  saat bertarung adalah menghhilangkan “marah “. Ini adalah  kondisi  bathin yang harus  sangat  dihindari.

Tenaga yang luar biasa  mengalir ke otot , tulang dan kulit  tetapi  berasal  dari  sumber  lain , dari tubuh yang bukan tubuh, dari makanan yang bukan makanan,

dari   kemau-an yang bukan kemau-an..

Dalam pertarungan  dan pertempuran,  bathin  mempunyai  tunggangan, kendaraan tubuh dan anggauta badan,   panca indria yang  luar biasa   kuat dan cerdasnya.,  menangggapi segala kemngkinan,   tubuh dan panca indria  menyatu,  bersenjata atau  tangan  dan kaki  bergerak secepat kilat   dengan tenaga yang luar biasa, sedangkan bathin tetap tenang  sebagai obor didalam  gua-garba,  tenang dan bercahaya..       

.Pada puncak ilmunnya  para murid ini sudah  mencapai pengertian yang hakiki  dari Islam yaitu berserah diri. – inilah pengertian yang  masih sulit  sekali  sampai berabad abad kemudian,  kerna bagaimana mungkin, pendekar yang  mampu  bergerak bagaikan kilat,  ratusan jurus dengan  gerakan  ringan tepat  dan  kuat melumpuhkan lawan lawannya  kok  saat itu juga   bathinnya berserah diri ?.

 

Ki Ageng Sidayu  melatih muirid muridnya  untuk  mengendalikan “marah” dengan puasa dan berzikir,  melatih daya tahan otot  -ototnya dengan  latihan badan,  mengangkat  batuan untuk bangunan masjid,  berlari dan berenang, melatih  keuletan.  membangunkan tenaga dalam dengan   latihan zikir dan pernafasan,  disrtai dengan  mrngheningkan cipta,    mengenal  kehalusan   rasa diri   setiap   bagian tubuh dan memusatkannya  di pusar,  inilah sumber   “tenaga    tambahan”  seluruh otot,  tulang  dan kulit.. 

Paitan,  kudu laos,  kunir temulawak,  cabe puyang   adalah minuman  jamu yang diwajibkan   diminun  bergantian   setiap  ampat hari  pagi dan sore untuk menjaga  kekuatan seluruh tubuh terhadap  lingkungan dan penyakit.,   begitu pula  rebusan  inggu dan  pinang tua untuk mengusir cacing dari perut harus diminum setiap bulan.

Tidak heran ketahanan badan dan  kekuatan tekad murid murid santri Ki Ageng Sedayu   sangat mengesankan  Ki Watubukur sewaktu  dia menyaksikan bagaimana  mereka   membangun tanggul untuk tambak,  menggunakan lempak besi  yang berat  hingga hampir seratus jurus..

.

  Atas  anjuran  Ki Bantal maka  Ki Ageng Sedayu  berkunjung  ke  rumah   Arya  Mliwisbang.

Ki Ageng  hanya sendirian,  pada musim  hujan seperti saat itu, salwar selutut dan  baju jubah pendek  dari kain  kasar  dengan  lengan lebar   yang digulung sampai ke siku  Ki Ageng juga memakai sorban dari  kain coklat tua, hanya itu..

Badannya yang tinggi besar dan berkumis berewok yang hitam, apalagi matanya yang bersinar sangat tajam , walupun tidak mencerminkan  kekerasan,  itu lah yang mengesankan  penjaga  pintu masuk  halaman   rumah  kediaman Aria Mliwisbang   yang   tergenang   curahan  hujan lebat  sampai mata kaki  hampir disemua tempat.

Sambil beeteduh di gerbang   batu  kapur   yang beratap alang alang agak lebar  tebal akan tetapi pinggirnya  hanya dipotong sekenanya,   sedangkan pintu  kayu  dengan  rangka pintu yang besar dan kuat  dari kaju jati   hanya terbuka saja,  rupanya penjaga rumah itu tidak pernah menutup pintu  gerbang.

 

“Tuan, silahkan beerteduh  disini dahulu, apakah tuan  tamu  paduka

Aria Mliwisbang ?

 

“ Nggih  saudara,   sahaya   dari Sidayu  perlu  mampir ingin bertemu dengan tuanmu dan Ki Watubukur  kenalanku.”

 

  Mari hamba antar  ke  waantilan belakang,   kebetulan beliau derdua masih duduk duduk di bale,   karena pekerjaan membuat   lumbung garam dihentikan karena hujan ini..”

“Sambil mempersilahkan jalan  menempuh hujan  penjaga berusaha dengan susah payah  kakinya berjingkat  kedua tangannya  diulur tingi tinggi  menutup  atas kepala tamu  dengan caping  raksasa  “Mari  silahkan”  sambil dia berjalan miring..

 

“ Mari  sahaya sendiri akan  memakai caping ini  dan andika  paman pakai caping yang satu lagi ,  berjalanlah  tunjukkan teempat beliau .

 

Mereka berdua berjalan mengitari wantilan  utama  dan  menuju ke serambi dibalik wantilan utama. 

 

“Assalamu’alaikum”  Ki  Ageng Sidayu   bersalam   dari  halaman  didepan  serambi sambil membuka  caping raksasanya   agar tuan rumah melihat muka beliau.

 

“ Duh Dewa ratu” – “Kiranya andika  Ki Ageng Sidayu “

berkata demikian   KI Watubukur  dengan  setengah berlari  menuju ke halaman  lupa hari masih gerimis besar.

“ Mari, marilah Ki Ageng,   sambil menggandeng tangan kiri Ki  Ageng   dengan kedua tangannnya  mengajak masuk ke  serambi  dengan tergopoh gopoh.

Setelah berteduh di  serambi  dan menyerahkan  caping raksasa  kepada pengantarnya  Ki  Ageng  Sidayu  masih berdiri,  membiarkan mukanya ditatap oleh  Ki Watubukur   tubuhnya dihadapkan kepada sosok yang mendatangi,  Aria Mliwisbang sudah berdiri   berjalan menuju  mereka berdua smbil  menekapkan kedua tepak tangannya  dibawah pusar,  dengan badan setengah membungkuk.

“Inilah  beliau,  Ki Ageng Sedayu  yang isun ceritakan tole,   berilah  hormat kepada beliau”   ki Bukur juga menyuruh penjaga memanggil Balelcong.

 Sambil mnguncupkan tangan didada  sebagai sembah,  Aria Mliwisbang  berkata:

“ Saya merasa terhormat  menerima kunjungan  Ki Ageng  Sidayu  kerumah saya”

“Masya Allah  Tuan Aria  Mliwisbang,,   cerita  apa yang dibawa oleh sahabat baru sahaya, Ki  Watubukur  sehingga  saya mendapat kehomatan sebesar ini ?”

“ Sahayalah yang datang kemari  untuk menghadap kepada andika  Aria”

“Duh Ki Ageng,  janganlah andika begitu sungkan,  saya bukan penjabat  Majapahit

sahaya hanya prajurit penjaga  menara  tinjau di Garowisi.  Silahkan duduk dibalai ini

sementara sahaya menyiapkan tempat yang  lebih tepat di wantilan   depan”.

 

Dengan serta merta, sudah datang  seorang pelayan membawa pasu berisi air untuk membasuh kaki  Ki Ageng   Sidayu,  beserta   kain tenun gedog yang bersih untuk mengeringkannya,   Ki Ageng  duduk dipinggir balai membersihkan kaki dan  mengeringkannya dengan kain  dikerjakannya sendiri,  yang membuat kikuk pelayan  yang bertugas, sebab itulah tugasnya untuk membasuh kaki tamu yang sangat dihormati oleh keluarga  Aria .

Pandangan paman dan  keponakan  ini sama sama tajam  untuk melihat bahwa  berjalan dengan kaki telanjang  saat hujan di daaerah  berlumpur ini  pastilah  kaki dan salwar seseorang akan kena lumpur dan kotor, ini sebaliknya, salwar Ki Ageng Sidayu tidak basah dan kakinya sangat bersih  bahkan sebelum dicuci,  mereka berdua saling melirik dengan kagum..

“ kalau andika mengizinkan  bolehkah  sahaya  bertemu andika disini saja?”

Begitulah Ki Ageng dengan tenang menyelesaikan  membersihkan kakinya dan mulai duduk besila dibalai dengan takzim.  

Balai balai itu besar dan rendah, ditutup oleh  alas tikar  pandan  yang dianyam halus dan beersih.,  rupanya tikar pandan itu  meskipun  sangat umum  dan tidak mahal  adalah  pesanan khusus  kepada tukang anyam tikar.

Sebelun paman dan keponakan  duduk di balai- balai, mendadak ada suara  bocah  lelaki   berlari dan bersorak dari samping serambi .

“Haiyaa  ada  Dang Hyang  Pendekar datang,  dimana murid mirid andika  yang lucu lucu  itu  dang Guru ?

“ Aih Dewa Ratu,  jangan  sire kurang ajar,   beliau tamu  kami yang terhormat, berilah sembah  pada  telapak  kaki beliau” 

Begitulah K Watubukur  segera menyambung dengan  setengah  menjerit. sedang ayah bocah itu  Arya Mliwisbang hanya tersipu sipu.

“ Rahadyan Balencong,  ada satu  muird saya  disini  begitulah Allah mengkehendaki.”

Sambil tetap bersila  Ki Ageng yang  tinggi besar itu membiarkan   Dyan  Balencong merba kakinya nurut adat Hindu,

sambil  bertelekan pada kedua lututnya  kedua tangannya  dikuncupkan seperti menyembah  sampai ke lutut  Ki Ageng  dan bocah ini meciumnya.

Cara ini sering dilakukan oleh ibunya  yang  seorang wanita dari Cina., sewaktu bersemabahyang  dihadapan  kayu berukir kecil diruang tidur mereka..

“ Sembahmu  isun terima tole, sekarang  sire boleh melajutkan permainanmu.”

Ki Ageng  berkata demikian sambil meraba kepala  bocah Balencong,  kata itu diucapkan denga tenang  berwibawa   sangat  berpengaruh kepada meraka bertiga.

Bocah Balencong beringsut mundur dan kemudian  berlari  balik ke kiri serambi dan hilang  dari padangan mata..

.Ki Bukur terpana melihat adegan  itu, rupanya orang  luar biasa ini mampu membaca angan angannya   yang menurut hemat  Ki Bukur  sulit bisa  terlaksana, akan tetapi  ucapan  itu, sikap itu,   satu  isyarat  yang sangat  nyata., beberapa saat Ki Bukur  seperti terbius..

“Aria Mliwisbang,   datang saya kemari  untuk minta maaf  karena  kami  menggarap  sesuatu di tanah wilayah anda tanpa izin lebih dahulu dan kalau diizinkan kami akan mengajukan  rencana kerja  sama membuat tambak ikan ditanah rawa  lungguh andika  Aria”

“ Sahaya adalah  wiratama laut  Majapahit yang miskin  Ki  Ageng,   pembuatan tambak  sangat  memerlukan biaya  dan tenaga,  bumi lungguh   sahaya adalah rawa yang tidak menghasilkan apa apa kecuali di  sedikit sawah  dimana air asin tidak  mencapainya.,  saya sangat senang andika bisa mambimbing murid murid andika  meramaikan   wilayah  rawa , yang hanya  dihuni oleh celeng biawak dan buaya., ambilah hasilnya  seberapa  murid muird andika  mau Ki Ageng!”

.”Pasukan laut Majapahit semakin lemah dan para wiratama yang masih  menguasai perahu perahu perang lebih suka  berbuat mencari keuntungannya sendiri, berbuat  mengganggu rakyat pantai  utara,  sama seperti bajak dari Sampang.,  sahaya juga pernah menyaksikan   pada suatu nalam  satu perahu bajak  diusir dan dibakar  layarnya kemudian tenggelam  oleh dua perahu konting dari Sidayu,  sahaya ingin  bertetangga baik dengan  andika Kiai”

 “Andika  bicara  seperti seorang prajurit  Aria  Mliwisbang,   pernyataan  andika  memang benar,   banyak kejadian  perompakan dilaut dan  penyerbuan  gerombolan kecil  pasukan Majapahit mengganggu   hunian  pedagang Islam di  wilayah Sidayu, akan tetapi kejadian itu tidak sering, yang paling mengganggu   kami di pesisir  utara adalah kaum bajak  yang membajak  pedagang pedagang dari Jepara dan Lasem  yang sering mengunjungi  hunian  terpencil  dipantai ,   perdagangan  ini sangat dibutuhkan oleh hunian tepencil dipantai utara,  kami akan lawan sekuat tenaga., sebab mereka  telah memeluk Agama Islam, sedang bajak bajak itu  sebenarnya tidak pilih pilih dalam mencari mangsa,  hanya untuk  mencari  muka kepada  para  Rakryan pedagang di  Japan saja  mereka berdalih, seolah olah para bajak itu  melindungi kepentingan gudang dudang kerajaan dari pedagang liar”

Mereka bertiga  membicarakan  hari depan kerajaan Majapahit  begitu  bersungguh sungguh sehingga   tidak  terasa   istri  Aria Mliwisbang  telah berdiri disamping balai  balai  seraya berdehem kecil,  wanita Cina  semampai ini  mengenakan  busana sehari hari wanita  Majapahit,   kain batik  sebagai  kampuh dan pending perak,  akan tetapi untuk bagian atas  yang  biasanya  telanjang dada, dia mengenakan   semacam baju   rompi  tidak berlengan dan lengannya yang putih bersih  pas dengan   lengan rompi  sutera itu.,  wanita ini masih  mengenakan baju dibalik rompi semacam kebayak

ringkas  berleher  semacam kebaha sekarang  dan berlengan panjang,   dia mengenakan kerudung yang longgar dari kain yang sama ,   masih  nampak    rambutnya di  gelung dua dan diikat dengan pita hitam..

“ Tuan-tuan  makanan telah  tersedia di wantilan  utama,   mohon andika semua

mencicipi   suguhan kami yang sederhana,  disni kami  tidak makan babi dan  minum arak,  karena  suamiku  sangat  menghargai hamba.,  orang tua hamba  semasa hidupnya beragama  Islam.”

Pembicaraan terhenti sejenak, sedangkan Ki Abeng Sidayu,   memandang  wanita yang rupanya istri  Aria sendiri,  menganggukkan kepala sambil menguncupkan sembah dan  bersalam

“Assalamualaikun  wa rakhmatullahi wabarokatuh”

Alahmbulillah,  sayaha  dijamu oleh sesama Muslim dirumah  Aria  Mliwisbang

Wiratama Majapahit.”  Berkata demikian  Kia Ageng sambil tersenyum.

Wa salamu’alaikum warakhmatullahiwabarokattuh ‘ dengan fasih  istri Aria Mliwis yang masih muda itu menjawab,  lantas disambungnya dengan tebata bata:

“Hamba masih belum muslim Ki Ageng, sawaktu ditinggal oleh orang tua hamba, hamba masih  anak- anak,  selanjutnya  hamba  ikut  keluarga pedagang yang budiman di Cangu”

“ Busana ini  hamba   kenakan sebisanya untuk  menghormati andika sebagai  orang Islam   Ki  Ageng   Sidayu ,  sehari hari   hamba berbusan seperti wanita Majapahit,  tanpa baju  ringkas dan kerudung ini”

“ Allah  meberi berkah kepada orang yang berusaha  melakukan kabaikan,  sahaya sangat bersyukur bisa bertemu dengan keluaga andika  Aria Mliwisbang”.

 

Ki Watubukuur sedikit membungkuk kearah  Ki Ageng Sidayu,  mundur dari   duduk bersilanya , berjalan menuju ke pintu  yang menghubngkan serambi belakang dengan wantilan utama di depan,   membukanya dan tetap berdiri disamping pintu yang sudah terbuka lebar, menunggu  nyonya rumah membimbing tamunya beserta Aria  Mliwisbang

Lantai wantilan utama  dari batu kapur yang luas   dua lembar  tikar pandan halus sudah dihamparkan  ditengan  wabtilan utama,  dengan  tiang sokogugu empat ,  didukung oleh empat umpak  dari batu yang sama , belandar balok balok kayu  jati yang disusun  layaknya  pandapa  yang umum di Kota  Raja,  hanya  pengerjaannya  agak kasar,   ada semacam rak untuk  tempat payung tanda jabatan dan sederet tombak upacara  dari  besi dan  trisula, lambang tentara laut Majakahit.  Menempel pada keempat sokoguru   pada ketinggian  sejengkal diatas kepala orang berdiri   ada empat  balencong munyak jarak dari kuningan ang digosok mengkilat.

Hidangan yang disuguhkan adalah sayur kangkung putih  yang dipetik hanya ujngnya yaang lembut saja  dimasak secara orang Cina  dengan sedikit kuah dan minyak  kacang, ikan  kakap dikukus dengan jahe muda,  selanjutnya potongan daging ayam muda dengan udang besar digoreng  beserta sambal terasi.,nasi putih  masih panas ditempatkan  dalam   ceting  besar  anyaman  bambu  halus  dan entong pengambil nasi dari  kayu sawo.

Mangkok berisi air  di  unjukkan  oleh  istri  Aria  Mliwis  dengan kedua tangan untuk membasuh tangan Ki Ageng,   sebagai penghomatan,  dan pengakuan  terhadap orang tua yang dihormati  secara   tulus  dilambangkan oleh  nyonya rumah yang cerdik itu  dengan  menyodorkan  mangkok  itu juga kepada suaminya  untuk mencuci tangan dengan  air  bekas  Ki  Ageng mencuci tangan yang diterima oleh  suaminya  dengan  sangat  beerterima kasih dalam hati  atas kecerdasan istrinya..

Sedangkan pelayan satu satunya  gadis tanggung  melayani Ki Watubukur dengan mangkok lain.

Ki Agrng Sidayu hanya duduk bersila dengan santai  sambil tersenyun- senyum.

Setelah Ki Watubukur mempersilahkan dengan hormat   kedapa  Ki Ageng Sidayu untuk   mulai mengabil hidangan,  beliau menengok kekananan kekiri  tersenym dan bertanya:

“Lha mana tole Balencong ,  Ki Bukur sahabatku,  tolong panggilkan  cucumu itu untuk  menemani  sahaya makan,  di  pondok sahaya hampir tidak ada bocah, semua  pemuda dan orang orang  tua” 

berkata   sambil tertawa sehingga giginya yang putih nampak disela sela lumisnya yang  lebat, dengan  demikian segala kekakuan melumer cair.

Ki  Bukur memberi  isyarat kepada genduk  pelayan untuk memanggil  Dyan Balencong. 

Bocah Balencong datang rambutnya sudah resisir rapi dengan gelung keci diatas kepalanya dan diikat dengan  pita merah,  dia juga telah berganti pakaian  dengan salwar  dibawah lutut da  baju  ringkas  berlengan  lebar dibawah siku, semua  terbuat  dari  kain tenun gedog yang kasar dan berwarna  kapas aslinya  putih  kecoklatan  dengan jahitan yang rapi., bocah ini manpak bersih dan badannya kokoh.

Tangannya dirangkap didepan dada  meberi sembah kepada  Ki Ageng  Sidayu,

Dia hendak mengatakan sesuatu  akan tetapi  mendadak tertahan,   tapi matanya sudah bicara , dan bocah itu hanya tersenum lebar saja.

 Ki Ageng juga tersenyum lebar,  sambil berkata:

“Iya.....iya,  untuk selanjutnya panggi isun kakek saja,  mari mendekatlah  ini   sire saya  ambilkan   bagian ikan kesukaanmu”. Sambil Ki Ageng menyodorkan  piring  tembikar cina  berisi kepala ikan kakap  kukus dengan sebagian daging  dibelakang kepala,  ......”biar  biyungmu  mengambilkan  lainnya.”

Ki  Bukur  menyaksikan adegan  itu  hanya tersenyum dan memejamkan  matanya sasaat agak lebih  lama,  dalam hatinya dia  berkata,  semoga isyarat yang diberikan oleh  orang yang  “winangwong ing Jawata “  ini  menjadi kenyataan, besar  sekali peruntunganmu tole.

Dengan luwes  dan  tepat  Ki Ageng mengambik makanan  seperlunya  mencedok kuah denga irus irus kecil yang sudah disediakan   mempersilahkan  yang  lain segera  mulai dengan gembira..

Nyonya rumah bersimpuh agak  kebelakng  tempat  suaminya duduk,  mengambilkan nasi dan kuah sayur  dari nangkuk mangkuk besar yang disodorkan suaminya   kesamping badannya,   goreng udang dan ayam untuk anaknya yang duduk bersila di  sebelahnya  semua sudah menikmati hidangannya sedangkan dia  tidak ikut makan  hanya  mengawasi dengan puas  pemandangan didepan matanya.

Ayah dan Ibunya  adalah  pesilat yang lumayan tangguh,  sejak bayi  dia ikut  ayah ibnya  merantau  didaratan Cina  beserta  pemuda pemuda tanggung  asuhan ayahnya.

Di Utara.  Disana, tuan tanah dn Penguasa  menjadi  penindas rakyat,  gurunya tebunuh  saat bertempur  matian matian melawan kepungan  pesukan  Kerajaan Monggol terhadap rumah peerguruannya,   sesudah  itu susul menyusul   terjadi  perubahan besar dari kehidupan bocah  perempuan usia  lima tahun ini,  dari kehidupan tenang sebagai pengawal barang  dagangan  antar  provinsi,  menjadi  penghidupan perantauan  yang dicari cari  oleh   Pemerintah Mongol,  sampai  bersilang jalan denggan suku Uighur yang Islam dan Ayah Ibunya   ikut memeluk Agama Islam meskipun mereka  orang Han.

Sempat memperoleh pelajaran  dasar silat dari Ayah Ibunya dan  Kakek angkatnya orang Uighur,  sampai umur sepulu tahun harus melarikan diri  lagi karena  Bangsa  Uighur  melawaan dan kalah terhadap tentara Mongol.

Ayah Ibunya  beserta  dua anak asuhnya  ikut berlayar dengan jung ke selatan yang jauh  dengan awak kapal  orang Han dan Mongol bergama Islam.

Jung mereka dihantam gelombang  dan badai di laut yang dangkal  di barat tanjung Awar Awar  Dekat  Tuban,  jung yang sudah berlayar  satu bulan dengan selamat  menyeberangi selebar  laut Kuning  dan  Selat  Karimata  dengan taifun yang dahsyat ,   ternyata hancur  dibanting   ke  gosong karang oleh ombak bersabung di laut dangkal   Utara pulau Jawa.,  malang tak bisa ditolak , suami-istri  pesilat perantauan dari  daratan  Cina  dan kedua murid asuhannya  hilang ditelan ombak, sedangkan putri mereka, oleh mu’jizat Tuhan  terdampar di pantai Jenu dan ditolong oleh  para nelayan .  diserahkan kepada  keluarga pedagang Cina dari Canggu.

Kebiasaan bangsa Uighur yang masih melekat  pada sifat  gadis yatim piatu asuhan pedagang  Cina dermawan  ini,  menjadikannya  gadis Han  ini yang  lain dari biasanya ,  dia  berwatak  bebas, dan itu dimengerti oleh oleh orang tua asuhnya yang bangsa Han

Sifat itulah mempertemukannya dengan Wiratama  laut Majapahit nun di bandar Japan  dan  diperistri  pada usia enambelas tahun.. tanpa harta  bawaan.

Orang tua asuh gadis  yatim piatu ini merasa bersyukur,  karena dengan  perawakan dan tulangnya   yang   tinggi dan kuat , meskipun mukanya lonjong   tapi tidak cantik menurut  orang  Han, apalagi tanpa harta  bawaan,  gadis seperti ini sulit mendapat jodoh  dikalangan orang Han,  jadi selirpun  kurang diminati.

Ada saling mengerti yang dalam  antara Ki  Watubukur dengan menantu keponakannya,   mungkin mereka beernasib sama , keluraganya musnah oleh kecelakaan  pelayaran. Kasih sayang nereka berdua ditumpahkan ke bocah Balencong..

Setelah  hidangan minum kahwa  hangat  dengan gula  kelapa,  Ki  Ageng  Sidayu  membersilahkan   Ki Watubukur dan Aria  Mliwisbang  datang ke  Sidayu ,  dan menyatakan bahwa  tanda persahabatan  dengan   Aria Mliwisbang  akan dipateri dengan   membuat tambak  di  selatan ditanah waled   yang asin,  karena menurut Ki  Ageng Sidayu  di pantai Panciran setiap musim  ada banyak sekali  bibit ikan yang konon di  pantai pantai wilayan Campa  bisa dipelihara di tambak air payau dn cepat sekali  menjadi besar,   ini bisa  merupakan penghasilan   tambahan petani dan melayan  kapan ada  angin badai atau  kekeringan,   asal bukan banjir besar saja.

Malah  Ki  Ageng  Sidayu menambahi  bahwa  bagi kaum Islam  segala ilmu itu untuk  diamalkan, artinya  ya digunakan  untuk kebaikan dan  juga diajarkan untuk kebaikan,

bukan dengan  pamrih  keuntungan pribadi tapi untuk  bebrayan agung.   

Masih banyak yang ditanyakan  oleh Aria Mliwisbang ,   terutama tentang perkembangan wilayah   pantai utara ,  mata  hari sudah rembang kebarat.

Hujan sudah lama reda,  Ki Ageng minta  kendi besar, sedang nyonya rumah mengerti untuk apa  air kendi itu,  diperintahnya genduk pelayan mengambik kendi pratola  di ruang  gandok kulon,   setelah dia terima  biang Mliwis  mempersilahkan Ki Ageng mengambil air wudhlu   sambil dpancurkannya air  itu ke teritis wantilan utama,  semua berjalan dengan  sendirinya seolah olah   lakon itu sudah  biasa dilakukan sehari hari, yang pada kenyataannya, bahkan Ki Bukur saja tidak mengerti apa maksudnya.

Genduk pelayan sudah mebawa kain tilam sulaman yang  ada di bawah kayu sejengkal berukir huruf cina,  lalu sambil berjenket  kain itu    dirapikan di  tikar wantilan dan mempersilahkan Ki Ageng  sambil menbungkuk. Kearaah Ki Ageng .beliau  berdiri  menghadap ke barat dan mulai sholat  asyar. dan kain tilam sulaman itu untuk   melandasi dahinya  ketika sujud.

Semua   sudah beres,  akirnya Ki Ageng Sidayu berpamitan untuk pulang ke  Sedayu.

Mereka mohon Ki ageng Sidayu untuk menginap supaya tidak kemalaman di jalan, akan tetapi dengan halus namun tegas  permintaan  itu ditolaknya,  Ki  Ageng   mengelak bahwa masih ada  muridnya yang akan dikunjunginya    di  sekitar  penyeberangan  Bengawan, mumpung hari masih  siang.

 

Merka semua  mengantar Ki Ageng sampai  ke  pintu gerbang,  Ki Ageng                                               Sidayu  minta diri sekalilagi  dan berjalan dengan santai  sampai kira kira  limauluh langkah,  mendadak bocah  Balencong medongak keatas  menujuk nunjuk  sambil beteriak:

“Burung  besar ......burung besar!!”

Semua  pengantar dari rumah   Aria  Mliwisbang  mendungak keatas,  benar saja ada burung elang yang tidak biasa  besarnya melayang agak rendah,  kemudian meninggi sampai dibalik pohon kepuh, mereka kembali melihat kejurusan  Ki Ageng  Sidayu berjalan   dijalan lurus yang serupa tanggul  rendah itu,   akan tetapi beliau sudah tidak nampak  lagi.

Semua heran dan bertanya tanya,   kemana beliau  itu,  masa secepat itu  orang berjalan  sampai sejauh pandangan  orang ?   Bahkan  berlari sekencang kencangnya-pun,   dijalan yang  lurus itu masih akan nampak. !

Mereka kembali ke serambi belakang wantilan utama masing masing dengan pikirannya sendiri,  hanya bocah Balencong yang bicara   keras , bahwa  kakek  Guru tebang .

Bertiga mereka duduk di balai balai rendah di serambi belakang,  bocah Balencong  berbelok  mengagumi  kambing gibas yang dituntun  pembantu Aria  masuk ke kandangnya dibalakang rumah dapur.

  Hari ini isun  menyaksikan  kesaktian dua ajian  yang dimiliki oleh  tokoh tokoh sakti, para  satrya penandita  yaitu ajian “panglemunan”  dan  “ajian sepi angin “

Mungkin sekarang ini brliau sudah smpai di Sidayu !”                                         

Yang pertama menciptakan  burung elang besar untuk mengalihkan perhaitan kita yang  kedua bergerak secepat  angin  ke suatu tempat yang jauh,  kepandaian itu memang ada.

Istri  Aria  Mliwias menimpali

“Dinegara  asalku bapa,  banyak orang berilmu tinggi,    tenaga  dalam dan ilmu meringankan tubuh sehingga bisa melompat seperti terbang,  tapi yang seperti ini baru sekali ini hamba menyaksikan.

“Dari  saat hamba mendengar ceritera  bocah Balencong  tentang pertemuan   andika dengan  Ki Ageng Sidayu  dirawa rawa, hamba merasa ingin sekali  menitipkan anak hamba  yang satu ini  kepada beliau  untuk berguru, hamba merasa itu adalah jodohnya.”

Aria  menimpali perkataan istrinya:

“satu pandangan  yang jauh istriku,  tapi apakah Balencong tidak terlalu kecil,  dia baru  lepas tujuh tahun dan masih belajar dari Paman Watubukur untuk membaca dan  menulis”

“ Anakmu memang cerdas, isun mengajar dia membaca sejak  kecil dengan potongan gerabah  yang isun tulis dengan huruf  dan  “sandangan”nya,  ternyata dengan cepat dia  mengenal ciri masing masing bunyi huruf  dan menyusun-nya menjadi kata yang beraneka macam sambil bermai main,  aku tidak hanya memuji, kenyataanya dia sekarang sudah mulai membaca rontal kandapat dan selalu bertanya  arti setiap kata sampai isun   repot dibuatnya.”

“Suamiku,  hamba sangat mencintai anak hamba ,   andika  telah  menghadiahi hamba dengan kebahagiaan yang   tidak bisa diukur dengan adanya Balencong,  tapi orang bijak berkata   bahwa lebih baik menempa besi selagi   membara,  niatmu dalam hati ,  dan niat  Bapa Watubukur dan  niat  hamba untuk  memberi kesempatan seluas luasnya kepada anak hamba   dalam  menyempurnakan dirinya,  mengatakan bahwa hamba harus  sabar dan mengalah,  ke Sidayu tidak jauh , mohonlah kepada beliau  secepat mungkin,   bila hamba terlalu  rindu kepada  Balencong hamba bisa datang kepadepokan  Ki Ageng  Sidayu, sekaligus  mohon ajaran  pengetahuan. agama” 

“Orang tua angkatku suku Uighur  di negeri Cina beragama Islam dan tidak membedakan  kasta dan memandang rendah perempuan dalam  menimba  ilmu.”

  .  

 “Baiklah  Mei Lan,  siapkanlah bekal  pakaian secukupnya untuk Balencong,  aku akan ke Gresik,  menmui sahabatku pedagang untuk  meminjam, maksudku  berhutang   sepuluh batang  baja  olahan dari Luwuk  sebagai hadiah kepada padepokan  Ki  Ageng Sidayu. Saya dengar di Sidayu ada Empu  yang pandai membuat senjata, mungkin bisa membuat talempak dari baja  Luwuk  setiap batangnya  bahan  ini sebarat lemabelas kati.”

“Suamiku,  hamba andika nikahi  dengan  cara  Ksatria  manurut  adat Hindu,  akan tetapi sewaktu andika menemui  orang tua angkat  hamba yang  budiman  sesudah andika melarikan  hamba,  berkata begitu dengan mukanya berubah  bersemu dadu, beliau  menyerahkan satu kotak  kayu kecil tapi berat  kepada hamba,  yang isinya  menurut beliau  adalah baja pilihan  untuk dijadikan pedang yang hebat,  beliau pedagang beras yang kaya, kotak itu pemberian  sesama perantauan dari Cina yang  terlantar di pelabuhan  Canggu , ternyata dia adalah awak kapal jung  karena sakit berat, dan ditinggalkan oleh  sang nakhoda., oarang tua angkat hamba  merawat  orang yang malang itu,  dari rasa terima kasihnya selama dirawat berbulan bulan, dan dia sudah tidak punya apa-apa kecuali kotak  sejengkal

 itu yang dihadiahkan kepada orang  tua  angkat  hamba.

 

Orang tua angkat hamba yang budiman  berkata bahwa isi  kotak itu tidak berjodoh dengan beliau,   mungkin  berjodoh dengan hamba karena hamba diperistri   Narotama Majapahit.

Bawalah kotak itu  dan persembahkan kepada  Ki Ageng  Sidayu,  mungkin beliau mengerti kegunaan  baja itu”.

.

Kotak kayu  dari papan  dengan sambungan disetiap pojoknya  seperti gigi saling mengigit  nampak  tua dan  kokoh,  berisi sebatang logam abu abu  kebiru-biruan,

Beratnya  hampir empat kati., yang  jelas   bukan bahan baja biasa   yang digunakan  di Nusantara. ini.

.

Sebulan kemudian  seluruh keluarga  akhirnya  berangkat ke Sidayu dengan perahu yang tidak begitu besar. Mereka akan berklayar menyusur pantai  menggunakan angin para nelayan,  karena  angin pncaroba  sudah mulai  sering datang dan angin barat sudah melemah.

Selang dua hari,  perahu  mancung  Madura itu  mendarat di pantai  Sidayu  yang berbatu  rejeng,  sewakatu rombongan itu menurunkan muatan berupa  bekal  dan  batang batang  baja luwuk,  disana sudah  ada beberapa  pemuda tanggung bersalwar dan telanjang dada,   mengenakan kopiah  bundar dari kain, 

Mereka menyapa:: “ Hai  ini dia Gus Balencong  saatria dari Majapahit ! ‘’

Bocah  ini  menegakkan dadanya   memandang pemuda yang menegurnya,

Dengan mata  bundar heran,    akhirnya  Balencong tertawa terbahak-  bahak

Bocah ini ingat bahwa  rombongan ini adalah  pemuda yang berkerja  dengan hebatnya dirawa  tempo hari  watu itu mereka semua telanjang.

Mereka membantu mengangkut semua bawaan dengan wajar sambil tertawa tawa.

Aria Mliwisbang,  Ki Watubukur, brpakaian  cara prajurit Majapahit,  meskipin tanpa  senjata,  Istri Aria Mliwis berpakaian ringkas   seperti pesilat mengenakan kerudung longgar, begitu pula  bocah Balencong,  berpakaian ringkas dari kain gedog  berwarna  tua, memakai ceripu dari  kulit kerbau seperti teompah orng Romawi.

 

Semua muatan sudah diturnkan termasuk  batang –barang  besi baja  dari Luwuk

Padepokan  Ki Ageng Sidayu terletak diatas bukit rendah dan rata,  penuh ditumbuhi pepohonan terutama pohon sawo manila dan sawo kecik  selebihnya merupakan hutan kecil kayu mentaos  diselingi   rumpn rumpun bambu  ori yang seolah olah memagari  kelompok rumah rumah hunian  yang anehnya berukuran serba kecil

Kecuali satu bangunan masjid yang merupakan  pendopo  bertiang  lima, satu tiang besar ada titengah ruangan dikelilingi oleh  empat sokoguru sedang  tembok batu kapur yang dipotong  disusun  sekeliling sokoguru empat selaigus untuk penyangga  kaso yang disusun seperti  rangka payung.,   beratap genteng  dari gerabah  yang berukuran besar mewarna  kemerahan.

Para tamu diterima di wantilan  disampng masjid,   wantilan ini beratap rendah dari  alang alang yang disusun rapi dan tebal,  penggir  teritisnya dipotong sangat rapi.

Ada  kira  kira sepuluh pria  rata-ata berbadan tegap   semua perambut cepak dan mengenakan  kopiah  atau  destar ringkas, mengenakan salwar dibawah lutut,  baju  yang serupa dengan baju judoka   dibuat  dari  kain    kasar, sedangkan  baju itu dibalut rapi dipinggang dengan kain sarung dari tenun lurik atau batik*). Rombongan tamu dan penjemput telah melewati jalan yang naik, berjalan didampingi oleh Ki Ageng Sidayu sendiri,  ternyata  baliau sudah menyambut didepan berbang berundag semacam candi bentar.

Ki Ageng mengenakan jubah pendek dan salwar  juga mengenakan   sorban   ringkas  jadi semacan destar orang Jawa Tengah.,  destar ini  yang membedakan beliau dengan penampilan para Brahmana.

 

 

6  Wadah dan isi

PERGGURUAN SILAT  DIDASARI AGAMA ISLAM DI SEDAYU

Rombongan tamu dan penjemput telah melewati jalan yang naik, berjalan didampingi oleh Ki Ageng Sidayu sendiri,  ternyata  baliau sudah menyambut didepan berbang berundag semacam candi bentar.

Ki Ageng mengenakan jubah pendek dan salwar  juga mengenakan   sorban   ringkas  jadi semacan destar orang Jawa Tengah.,  destar ini  yang membedakan beliau dengan penampilan para Brahmana.

 Para lelaki dewasa in berbaris didepan  wantilah guna menyambut tamu memperkenalkan para tamu dengan murid muridnya  yang  sudah  menjadi pembimbing  di  padepokan,  merka saling memberi hormat cara  Majapait, dan akhirnya dipersilahkan duduk di wantilan.seedangkan  bocah Balencong   duduk bergerombol  dibarisan belakang  mereka bersila dan bersalam salaman seperti layaknya kaum muslim, karena bocah  maka Aria kecil ini  tidak  canggung dalam bergaul memperkenalkan nama masing masing.

Setelah  menjawab  pertanyaan Ki Ageng mengenai   keadaan  pelayaran dengan angin sakal dan pancaroba  yang menandai musin saat itu,  Aria Mliwisbang juga  menjelaskan  barang bawaannya yang   berupa batangan batangan besi baja Luwuk yang sekira diperlukan oleh Padepokan Ki Ageng., sebab menurut erita yng didengar oleh Aria Mliwisbang bahwa di Sidayu ada  Empu  pembuat senjata yang akhli.

Aria Mliwisbang,   dengan khidmat menyampaikan juga kotak kayu  yang berisi batang logam berat   dijelaskannya bahwa logam itu adalah barang wasiat istrinya yang  diperoleh sebgai hadiah perkawinan mereka dari orang tua angkat  istrinya yang budiman.,  Sang Aria  menyerahkan kepada Ki Ageng  karena  dia merasa tidak mampu untuk menggali dayaguna logan itu dan lebih cocok  dikelola oleh Kageng Sidayu.

Aria Mliwisbang juga  menjelaskan bahwa  sepeninggal Ki  Ageng dari rumahnya dia merasa  ada jalan  melaksanakan cita citanya   mecarikan  Guru bagi puteranya

Rahadyan Baalencong.

Agar tidak merepotkan padepokan  Aria Mliwisbang juga  menyatakan bhwa Ki Watubukur bakal  ikut  tingggal di Padepokan perlu mengurusi  kebutuhan sehari hari  cucunya yang masih  bocah.

Sekali lagi  mereka berdua suami istri  merangkap telapak tangannya kearah Ki Ageng Sidayu  untuk mohon agar anaknya bisa  diterima menjadi murid   padepokan Ki  Ageng. Sidayu.

“ Sumbangan andika  berupa bahan untuk membuat senjata baja  dari Luwuk  sahaya terima Aria Mliwisbang,  adapun putra  andika  Rahadyan Balencong,  meskipun masih terlalu muda dibandingkan dengan  murid seangkatan-nya , bisa diterima sebagai murid di Padpokan Sidayu ini asal bisa lulus dari  ujian  pendadaran sebagai murid seperti yang lain, sebagai andika ketahui Padepokan Sidayu  mengajarkan terutama Ilmu  membela diri   yang berarti  pertarungan dan pertempuran  disamping Ilmu  yang lain”.

“Adapun  Agama Islam  adalah dasar kami menggali  kekuataan  diatas  kekuatan  wadag”

“Para sahabat  para tamu  yang sudah  sahaya anggap  anak dan saudara, legakanlah hati andika sekalian,  penyatuan kita  asebagai  keluarga  adalah  jodoh, takdir yang sudah digariskan oleh  Allah”.

“Ilmu bela diri sangat diperlukan  dalam  menghadapi musuh secara  pertarungan, sedangkan  ilmu  perbintangan,   ilmu  hitung   aljeber  sangat diperlukan dalam  pelayaran,  pembuatan  bangunan,   jalan dan saluran air,  adapun ilmu peperangan mempelajari banyak hal  yang menyangkut  watak wilayah,  watak alam, dan watak manusia., semua dalam  lingkup ilmu hitung  yang  menyangkut   pemuatan dan penggunaan  alat perang  ,  ruang , bobot dan waktu,  apalagi ilmu  Agama yang kami sendiripun  masih belajar mendalaminya.,  sahaya  jamin  Raden Balencong pasti  akan  mendapatkan  ilmu yang cocok bagi  dia  lewat pengujian kami.”

 

Pengujian  yang dilakukan oleh Ki Ageng Sidayu terhadap calon murid  yang belum  di persiapkan oleh guru  yang mengirimkan ke Sidayu  akan meliputi:

Watak dasar  yang harus cock dengan ilmu ang akan dipelajari terutama apabila akan mempelajari ilmu mengolah tenaga dalam  untuk bela diri dalam pertarungan ,  yaitu tidak mudah marah,  mempunyai ingatan yang kuat,  punya daya tahan  dan tekad .

Daya ingat  otak  dan daya imaginasi  diperlukan untuk mempelajari ilmu- ilmu peperangan.dan kenegaraan.

Jadi menurut pemikiran  Ki Ageng Sidayu, dalam misinya  melindungi kaum  Muslim dari   penindasan dan perampokan, dia harus mendapat muird yang  memenuhi  salah satu dari watak dasar yang diperlukan atau dua-dua watak dasar itu ada, yang akan bercabang dengan sendirinya  menurut jalan hidup masingmasing murid.

Keperluan  mendidik  para pendekar dan menghimpun dalam satu   kekuatan  sangatlah mendesak.

Dalam lingkungan padepokan,  ikatan peersaudaraan  antara  penghuninya sangatlah erat,  jadi meskipun belum Islam,  dan tidak bakal dipaksa untuk menjadi Islam,  penghuni baru seperti Ki Watubukur dan  Bocah Balencong   tidal bakal mengganggu dan diganggu   dalam  menjalankan  keperluan pribadi masing-masing.

Semula  Ki Watubukur dan  bocah Balencong  ditempatkan di satu pondok yang agak jauh dari  kelompok pondok pondok yang mengitari   lapangan  depan bangunan masjid ,  pondok sederhana  ini bahan utamanya adalah bambu sedang atapnya  yang tidak begitu tinggi dari  welit  atau  daun alang alang yang dijepit dengan bilah bambu,  disusun kebawah  berlapis lapis dengan  jarar hanya empat jari  jadi akhirnya atap alang alang itu  merupakan atap yang tebal  yang menjamin kehangatan waktu malam dan  kesejukan waktu siang hari. Dibelakang sudah tersedia jambangan besar dengan pancuran air dari  batang bambu, yang rupanya batang batang bambu  itu disambung sambung dari arah atas bukit khusus  ke pondok itu.

Pondok sederhana  ini rupanya  dirancang khusus untuk tamu  yang belum biasa dengan  kehidupan  para santri, letaknya agak jauh dari hunian pondok dan masjid supaya  tidak terganggu waktu pagi , waktu takbir subuh dikumandangkan,  tersedia  dapur sederhana  lengkap dengan periuk gerabah,  cerek  tembaga piranti masak air,

Bebapa cawan  tembikar cina  dan macam macam bumbu dapur.

Keluarga Aria  Mliwisbang  menginap semalam di pondok ini.

Rupanya sejak pagi kedatangan rombongan kecil  dari  Garowisi beserta awak perahu  Madura menjadi hari istimewa bagi padepokan  Ki Ageng  Sidayu.

Sayang sekali,  suasana  padepokan   yang  pada hari kedatangan  keluarga  Aria Majapahit itu   meskipun nampak sumringah tapi masih  ada kekurangan-nya  bahwa padepokan itu  rupanya khusus untuk kaum  pria saja karena  kekhususannya   pada  ilmu  jaya kawijayan , ilmu  silat tingkat itinggi yang dilandasi Ilmu Agama Islam.

Pada hari biasa, semua penghuni padepokan  setelah sholat subuh  segera meninggalkan   pondok masing masing dan   bergabung dengan kelompok masing masing untuk menjalankan tugas,  , kehutan,   kehuma,   dan tegalan semua sudah lengkap dengan  alat alat yang diperlukan., hanya mereka yang bertugas  memelihara  komplek  padepokan saja yang masih tinggal  dan tidak seberapa.

Kali  ini lebih banyak  murid yang bertugas  di  padepokan, jadi hari  manpak istimewa sampai  malam tiba.

Kebiasaan di padepokan ini   penghuninyamakan  bersama hnnya sekali waktu  habis  magrib, sebab mereka makan pagi dan makan siang ditempat kerja masing masing,  sekiara  jam sepulu siang,  makan bekal nasi timbel dan lauk seadanya  yang dipanasi  dibara api , sering olahan ikan laut.

Setelah penyambutan resmi selesai, para tamu dipersilahkan  beristirahat di  bangunan pondok  untuk beristirahat dan menunggu sampai habis isya.                                                                   Sore setelah  matahari condong ke barat   orang di padepokan menyebut setelah waktu  asyar,   sewaktu Ki Watubukur menyalakan api untuk merebus air,  tiba tiba datang satu rombongan kecil  santri santri muda usia, membawa   nyiru dtutup daun pisang dan  satu ceret tembaga.,     

KI ageng Sidayu  masih dengan pakaian yang sama  mengikuti robongan itu.

Assalaualaikum warokhmatullahiwabarokatuh !”

Bocah  Balencng segera menjawab dengan kata yang sama sambil tersenyum lebar.

Sebelum yang lain sempat membuka mulut.

.Semuaorang menjadi tertawa riuh.

Tenaga   linuwih.

Ki Watubukur menerima pencerahan dari Pendekar Bukit Paciran

Entah sejak kapan  manusia  yang dikodratkan  menjadadi   pemelihara dan pemburu sekaligus,   yang nyatanya tidak mempunyai kelebihan  apapun secara badaniah terhadap  buruannya ataupun  kelebihan apapun terhadap  hama tamanannya, ternyata  sampai mampu untuk  hidup dan berkembang memenuhi muka bumi dengan  kedududkan yang sangat menonjol dibandingkan dengan makluk ciptaan Allah yang lain., sekalipun dibandingkan dengan para Yaksa dan para  Dewa,  Jin dan Malaikat sekalipun.

Kelebihan manusia ternyata dia bisa berfikir dan kemudian bersabar.

Setiap benih tumbuhan  selalu segera  menggunakan daya hidupnya untuk segera tumbuh  kapan saja  waktu suasana  mendorongnya,  begitu hujan, satu biji terendam air  dan tumbuhlah dia.,  begitu juga serangga  pemakan tumbuhan, juga dari telur sebangsanya. Bagitu mendapatkan tumbuhan muda tumbuh menggapai langit, bertelurlah dia di ujung pucuknya yang masih muda, dengan harapan  mendapatkan  makanan bagi ulat ulat yang  jumlahnya sangat banyak,  maka   upaya  biji tumbuhan itu juga bisa gagal karena tenaganya habis. Disisi lain jumlah biji yang bereaksi alami teradap cuaca akan banyak sekali sehingga sebagain akan selamat karena kebetulan lolos dari serangan ulat.

Manusia berfikir, menunda beberapa waktu untuk menebar benih, menunggu ketika tanda tanda  bila bumi sudah mendingin, baru menebar benih tumbuhan yang dikehendakinya, dan benih tumbuh menggapai langit,  sedangakn kupu kupu hama sudah bertelur ditempat lain.

Dengan demikian manusia menjadi pemelihara tanaman, bukan tumbuhan lagi.

Begitu juga dengan  perburuan, pemburu makhluk lain jenis atauau Predator yang dengan kekuatan dahsyat, seperti  harimau dan ular sanca, akan tetapi kedua makhluk Allah yang istimewa ini harus mendekati atau didekati oleh buruannya,  memunggu  jarak yang  cocok untuk mulai penyerangan., sedangkan manusia berburu mengunakan alat  untuk memperjauh jangkauannya, mempertajam  senjatanya, dengan  tombak panah dan jerat maupun jaring., bukan hanya bersabar akan tetapi juga berfikir,  kemudian manusia menjadi penggembala bukan berburu lagi, tapi memelihara  ternak..

Dengan bersabar dan berfikir,   manusia  menjadi  berkecukupan  dan berkembang biak memenuhi muka bumi,   sambil  memegang teguh ingatan akan  pemeliharanya,

Sang Pneciptanya., karena sepanjang  sejarah turun temurun manusia, manusia merasa  ada  satu  “rasa “  yang mengingatkannya  kepada bahaya yang belum nampak,  ada  buah akal yang mendadak mncul disaat  yang  gawat,  sehingga dia terselamatkan.

Akhirnya manusia mengenal  sumber  fikiran , sumber  tenaga  yang lain, semula dianggapnya para leluhur, kemudian dianggapnya itu para Dewa,  dan akhirnya ditemukannya sumber yang sesungguhnya ,   yang disampaikan oleh utuasanNya sendiri Allah sang Maha Pencipta.

Sebelum sampai kesana, manusia  sudah mengenal tenaga luar biasa dari “cipta”  dengan demikian mampu bersinggungan dengan makhluk makhluk dari alam lain,  dan ribuan tahun teromabing ambing diantara  angggapan buah fikiran yang disesatkan oleh makhluk makhluk alam lain yang jahat sehigga  “cipta” dari manusia menjadi sekeruh  keruhnya  tersesat dan mengalami kehancuran..

.Demikian uraian  Ki Ageng Sidayu  kepada Ki Watubukur. Kemudian beliau melanjutkan:

Sebenarnya semua agama yang ada  apakah Hindu atau Budha atau yang  lain,  akhirnya  akan menemukan ajaran  utama seperti “Baghawat Gita”  pada  agama Hindu dan  ‘Pencerahan “ yang didapat pada agama Budha. Semua menyatu kepada sumber dari segala sumber,  dengan  macam macam nama dam sebutan..

Allah memberi jalan kepada Manusia untuk  memurnikan “cipta” nya  sehingga dapat mencapai  derajad yang semestinya dan dapat  mencapai  alam alam yang  lain, juga untuk mendaya gunakan  tenaga yang luar diasa, dan demikianlah manusia menjadi  “sarira Bhatara”  atau berbadan  Dewa. Bagi kerpercayaan Hindu,  seperti Arjuna bisa  beradu  panca indra dengan Bhatara Shiwa  dalam kitab  “Arjunawiwaha”  gubahan Mpu Kanwa.  Hanya dengan menyembah Allah orang bisa mengenal Allah,  begitulah Sang Arjuna, setelah dengan segenap  hatinya   mengalungkan untaian bunga kepada   arca tanah liat  buatannya  dengan tangan  yang pasrah  dari orang yang disadarkan,  melambangkan sang Mahadewa., maka ia melihat bahwa untain bunga itu makin indah  dan bersinar sinar dileher Pemburu lawannya beradu panca indra  bertarung  mengadu  kekuatan., begitulah inti sari kitab Arjunawiwaha., gubahan Empu Kanwa.

Tentu saja semua  sastra  puncak  puncak  kebudayaan   Hindu di Jawa dan  Kitab Mahbharata yang mrupakan Wedda yang kelima telah decerna habis oleh Ki  Watubukur,  dan selama ini belum pernah dia  berfikir  mengenai ajaran dari kitab kitab itu  dengan sinar yang diberikan oleh Ki Ageng Sidayu, dia tertunduk dan terpana sampai beberapa saat.

Mendadak ada kilasan  diraut muka Ki Watubukur,  lembut  dan cerah , seperti  terangnya  gagat rahina,    detik detik berikunya semakin cerah,  seperti  pagi  dimulainya hari yang baru.

“ Hamba  mengenal kata kata tuan,  itu semua telah brkecamuk didalam diriku sekian lama, sebagai mega  mendung,   kebagai kilatat  tatit, andika  meluruskan dan memberi  penjelasan yang menerangi relung relung hatiku, ya Guru.”   

“Sejak saat ini  terangilah jalanku siang dan malam,   hamba serahkan jiwa ragaku yang sudah  tua ini  kepada andika Guru”

Masya Allah,  sareh,    bersabarlah Ki Watubukur,  sinar hidayah telah menerangi andika.

Tenangkanlah hati andika, inilah  air putih minumlah sampai habis, semoga Allah membimbing andika”

 Setelah minum air pemberian  Ki Ageng Sidayu  dari tempurung kelapa gading, yang entah karena apa terasa sejuk  diseluruh tubuh ki Watubukur dia mrasa segar lahir dan bathin.

Tidak sulit bagi andika untuk mereguk air hikmah Islam yang tiada batasnya   Ki Watubukur, andika hanya perlu waktu  untuk  mengenakan busana ragawi saja,

tatacara  bersembah  kepada Allah dan hidup menurut  contoh yang diberikan kepada utusanNya.

Pada saatnya nanti, denggan izin Allah andika akan mengerti bahwa  segala contoh yang diberikan oleh Utusann Allah  Muhammad,  akan menjadikan  tatacara yoga  dan samadhi  yang biasa anda jalani, menjadi jelas.

Semua agama yang  besar dan  sudah ribuan tahun keberadaannya , sama sama  memberikan   suatu gambaran dan juga jalan untuk mengerti mengenai suatu tenaga linuwih  dan hanya manusia yang bisa  mengenal dan menggunakannya, hanya goda dan kesesatan kenikmatan ma 5, pada zaman akhir ma ke 6 manguwasai DUNIA, selalu mengikutinya jejak angkah si Pemguasa sehingga manusia mampu membuat kerusakan yang jauh lebih besar, Karena Yaksa dan  Danawa, Malaikat sesat tidak akan rela, manusia nenjadi MANUSIA*)

TAMAT.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

. 

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

 

 

 

 



  

 

 

 

 

 

 

 

  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  

 

\

 

 

 

 

                          

 

 

 

                            

                                 

 

 

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More