Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

INDONESIA PUSAKA TANAH AIR KITA

Indonesia Tanah Air Beta, Pusaka Abadi nan Jaya, Indonesia tempatku mengabdikan ilmuku, tempat berlindung di hari Tua, Sampai akhir menutup mata

This is default featured post 2 title

My Family, keluargaku bersama mengarungi samudra kehidupan

This is default featured post 3 title

Bersama cucu di Bogor, santai dulu refreshing mind

This is default featured post 4 title

Olah raga Yoga baik untuk mind body and soul

This is default featured post 5 title

Tanah Air Kita Bangsa Indonesia yang hidup di khatulistiwa ini adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus senantiasa kita lestarikan

This is default featured post 3 title

Cucu-cucuku, menantu-menantu dan anakku yang ragil

This is default featured post 3 title

Jenis tanaman apa saja bisa membuat mata, hati dan pikiran kita sejuk

Senin, 26 Desember 2011

PELAJARAN DIANTARA PENGIKUT: Mexico dan Phillipine, China Taiwan dan Korea Selatan, Pakistan dan Indonesia

   Pengikut Amerika Serikat yang paling senior adalah kelas penguasa Tuan tanah Mexico. Kemudian Phillipine menjadi wilayah protektorat Amerika Serikat sejak selesai Perang Dunia Pertama. Sedangkan Pakistan menjadi pengikut Amerika Serikat sejak Jendral Zia Ul Haq, dan Jendral Musyaraf, sejak India punya bom nuklir. Indonesia jadi pengikut Amerika yang paling muda, sejak Bung Karno digulingkan oleh Amerika. Bung Karno tidak disukai Amerika Serikat karena, yang pertama; sempat dicurigai oleh Amerika pro Jepang dalam PD II, kemudian makin tidak disukai ketika Bung Karno menjalin persahabatan dengan bekas USSR dan Blok Timur pada era perang dingin. Amerika segera mengganti Bung Karno dengan rezim Orde baru tahun  1965.
   Dilihat dari kesamaannya, Mexico dan Phillipines, sama-sama negara dengan masyarakat mayoritas Katholik yang taat, dibawa oleh Kerajaan Spanyol pada abad pertengahan.

   Sedangkan China Taiwan dan Korea Selatan kemudian menjadi pengikut Amerika Serikat pula. Taiwan menjadi pengikut Amerika sejak Chiang Kai Sek kalah perang melawan tentara merah Mao di mainland China. Dan Korea Selatan merapat ke Amerika minta perlindungan karena takut diduduki Korea Utara yang sosialis.

  Pakistan : Bekas Negara Non Blok yang  dikatakan amoral oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat era perang dingin, John Foster Dulles, karena tidak berpihak untuk menghadapi perang dingin. Pakistan ditinggal mati Pemimpin Bangsanya, Ali Jinnah. Mirip dengan Soekarno di Indonesia, kepemimpinan Pakistan cepat diganti oleh golongan militer yang pro Amerika Serikat.
  Sejak Ali Bhuto digantung, konon karena permusuhan antar keluaga kaya,  Negara itu sudah menjadi pengikut Amerika Serikat lahir-bathin, dipimpin oleh kaum militer Zia Ul Haq dan perdana menteri sipil langsung dioper oleh militer lagi oleh Jendral Musyaraf. Dengan dalih Pakistan takut kepada India yang mempunyai bom atom dan dekat dengan USSR, tetap mempertahankan kedekatannya sesudah USSR bubar, menjadi Republik Russia. Negara Pakistan hampir 100 % penduduknya beragama Islam, lebih dekat dengan kehidupan oasis di padang pasir daripada Muslim di Indonesia, hampir semua bisa baca tulis bahasa Arab.
   Penduduk Negara ini sebenarnya dulu ya sama sama penduduk India, hanya pertentangan antara Islam dan Hindu mengenai persoalan ritual, umpama persoalan sapi, dan lain-lain  prosesi keagamaan dianggap sangat penting. Mudah menyulut garis keras dalam menjalani agama masing masing, makanya ngotot pisah.
Berkaca pada konflik berbasis religial antara Pakistan India ini, tidak heran ketika puluhan tahun kemudian pertentangan Palestina dan Israel menempatkan Amerika Serikat dalam situasi yang sulit.
  Demokrasi, yang mengatur kepekaan dari kelas Penguasa, Industrialis dan Tuan tanah terhadap  infra structure yang menyangkut kehidupan masyarakat banyak tidak berjalan semestinya,  ditimpakan kepada sentiment anti Amerika Serikat.

Indonesia:
  Indonesia jadi pengikut Amerika Serikat karena Golongan Orde Baru secara ekonomi dan politik kemudian sosial-budaya memang pengagum, dan nge “fans”secara fanatik kepada Amerika Serikat, terutama pada cara hidup Amerika yang selalu nampak gemerlap dan enteng.
  Tahun 1965 Orde Baru, militer dan ormas yang didukung oleh Amerika membantai semua orang yang dicap kiri  karena anti Imperialisme, dan anti dominasi  satu bangsa terhadap yang lain (maklum bekas jajahan). 
Masyarakat Indonesia mayoritas Islam. Karena itu mau tidak mau kaum Muslim di Indonesia beraliran moderat, karena iklim tropic basah dan pertanian sawah tergantung pada kaum wanita, ancaman paling hebat adalah penyakit dan parasit, ecto  dan endoparasite yang pengobatannya menjadi domain kalangan wanita, karena kaum wanita lebih teliti, ini sudah bejalan sudah ribuan tahun (matriarchat).  
Sedangkan Hinduisme saja yang sudah ribuan tahun berpengaruh di Nusantara tidak bisa menancapkan patriarchal murni akan tetapi bercampur dengan matriarchal yang diperoleh dari alam tropic basah.
Sedangkan Islam mengikatkan dirinya pada patriarchal padang pasir yang diperlunak, artinya bayi perempuan tidak dibunuh, itu adalah  jahiliah yang dikutuk.
Kaum Muslim di negeri ini masygul dan heran mengapa Amerika Serikat sangat membela Israel. Sebenarnya tidak, Israel hanya kuuaya sekali (very rich), dan di AS semua bisa dibeli, itu saja.
Hanya mereka tidak habis mengerti sifat orang padang pasir bila saling berperang, yang kalah dihabisi seluruh puaknya, yang menang dapat makanannya.
Bagi yang penghuni wilayah tropic basah, ribuan tahun bayi bayinya dimakan malaria  dan berbagai penyakit, yang bertahan sampai dewasa hanya kurang dari 10 %.
Bayi kok dibunuh, di tropic orang heran atas perilaku padang pasir ini, wong kalau bisa besar sedikit saja, anak kecil bisa cari makan sendiri, resources alami hampir tidak terbatas di hutan-hutan.
Kalau di Oasis situasinya gimana ?? Kering, keras dan tough life.

Pola yang nampak jelas beda dari “pengikut” Amerika Serikat adalah dalam pengembangan infra structure, pasangan pengikut-pengikut yang disebutkan sebagai contoh ini Mexico dengan Phillipine, China Taiwan dengan Korea Selatan dan Pakistan dengan Indonesia.

Infra Strukture:
Phillipine, dikuasai oleh para Tuan Tanah keturunan Spanyol, dan sebagai Pengusasa tradisional turun temurun, puluhan generasi memperlakukan infra structure Negaranya untuk keperluan mereka sendiri, yang tanahnya paling baik dan luas sekali, hanya perlu jalan dan jembatan antara Pabrik Gula, gudang-gudang dan pelabuhan. Mereka, si Tuan-Tuan Tanah yang tidak banyak jumlahnya akan tetapi tanahnya luas sekali hanya memerlukan itu. Tentu saja Cathedral dan Mansions dan Haciendas, juga diperlukan.  Jadi bila infra struktur di negeri-negeri ini tidak memadai untuk perkembangan  selanjutnya, ya  maklum.

Mexico begitu juga, para tuan tanah sekaligus Raja Minyak mentah sebab dibor di tanah mereka, kekuasaan Negara di tangan mereka dari generasi ke gererasi hidupnya dihabiskan di Florida dan California, sangat kaya. Sedangkan Para Panco Villa (rakyat jelata) sudah puas dengan kuda-kuda dan keledai-keledainya sejak lama, buat apa infra structure banyak memakan beaya. Begitulah Negara yang dikendalikan oleh para Tuan tanah, dengan  banyak Haciendanya lebih banyak lagi di Florida dan California.
Sedangkan Amerika Serikat adalah pendukung mereka yang handal, apa saja punya, dengan beaya tentunya. Pemerintahan Amerika Serikan dari Congressman ke Senator dan deretan Senor Le Presidente Democrat atau Republic sama saja butuh buaaanyak uang untuk kampanye, klop bertangkup tangan dengan para pemilik Latifundia.
Infra struktur di Mexico ? sudah cukup itu, ndak sepadan dengan potensi Negaranya, wong memang ndak mau repot.

Lha sekarang China Taiwan.
Besarnya Cuma se Jawa Timur, bermusuhan dengan Cina Daratan yang sosialis, itu dulu. Sekarang kita bisa melihat di channel TV kalau paham new sosialis versi China adalah " Visi Sosialis China adalah kita menjadi kaya bersama", ujar Deng alm.
Dari Pulau kecil Formosa atau Taiwan dijadikan benteng, infra structure militer maupun ekonomi segera dibangun, bukan di Kausyung (Kaoh Siung) saja, tapi di seluruh negeri.
Rakyat pengikut  dari Daratan cuma sedikit, sebagian besar balatentara Chiang Kai Shek, dan Penduduk Asli banyak diintegrasikan, sekolah dengan buku dari seluruh dunia walau jiplakan tidak peduli, itu dulu.
Ciang Kai Shek rupanya putar haluan, dia dan kroninya sudah malang melintang, jadi embahnya dan datuknya korupsi di China Daratan, sudah kapok rupanya, pulau ini mendapat berkah oleh kesadaran mereka. Mereka bangun infra structure untuk bekal masyarakatnya mencintai rezimnya, iya  cuma sebanyak penduduk Jawa Timur.  Infra strukturnya cukup untuk bekal merdeka, karena kroni Ciang dan bangsanya memang rajin dan ingin merdeka. Utusan Taiwan khusus datang ke Wahington, Senator dapat setoran, Congressmen dapat, President dapat, pokoknya pulau ini jangan sampai dicaplok Republik Rakyat China Daratan yang sosialis. Uang bantuan dari Amerika Serikat dipakai (masih banyak sisanya) untuk dagang dan membangun infra structure, kan cuma se Jawa Timur ? Cukup untuk modal merdeka.

 Korea Selatan.
  Negara ini lebih aneh lagi, pernah tersisa selebar bayangan payung, selain itu sudah di tangan Korea Utara balatentara Jendral China Lin Piao, sudah itu Jendral Mc Arthur mendaratkan Marinir Amerika jauh di Utara kalau nggak salah di Inchon, nah tentara jendral Lin Piao terputus garis garis supply-nya, tepaksa mundur tergesa-gesa. Maka itu bangsa Korea Selatan yang dibantu Amerika Serikat semua pernah mengungsi, nyaris kehilangan negara.
  Presiden Syingman Rhee yang kurang tanggap terhadap semangat rakyatnya di coup d’etat oleh Jendral Park Chung Hee, mulai pembangunan dengan tempo cepat infra structure untuk mengimbangi indutrialisasi, sekaligus menyiapkan kaum pekerja yang disiplin dan murah. untuk para Chaebol. Meskipun President Park terbunuh oleh cup d’etat, tapi garis perjuangannya masih dikembangkan oleh para Pemimpin dan Chaebol (seperti Kabushiki Kaisha (KK) di Jepang), Korporasi raksasa yang dekat dengan Pemerintahan. Mereka bekerja dengan sungguh-sungguh, itu bedanya dengan rezim Orde Barunya Jendral Suharto, kapitalis iya, tapi unsur unsur Nasionalis yang mendarah daging ada disana (Jepang) di Indonesia tidak, cuma kapitalisnya saja.
Tidak salah, pandangan Chaebol ini terhadap unsur sumber daya manusia Korea Selatan  ya mengherankan uniquenya. Ya Korea Selatan ini memang tukang tempeleng, tapi menyediakan Infra strukture dibangun untuk hidup rakyat lebih nyaman, seimbang di semua wilayah dan lebih dari cukup untuk merdeka bahkan seratus tahun lagi.

  Lha sekarang Pakistan, bagaimana Pemimpin masyarakat Pakistan bereaksi terhadap kemajuan zaman sejak lima puluh tahun terakhir?
Rupanya mereka kurang peka terhadap pertambahan penduduk selama lima  puluh tahun ini, rakyat menuntut kenyamanan sanitasi dan hidup sehat, memerlukan infra structure yang mendesak, kota dan penghidupanya lebih mirip dengan kota oasis, tidak ada sanitasi umum, jadi tidak nyaman, kemarahan yang tidak dimengerti ini, menyebabkan Kelas Penguasa yang sudah tradisional, keluarga keluarga kaya berlindung dari rakyatnya sendiri kepada Amerika Serikat.
  Kemarahan rakyat, dengan dalih apa saja bisa terjadi, apalagi sekarang zamannya Islam garis keras.

Sesama pengikut Amerika Serikat ke-enam Negara yang diambil sebagai contoh sebenarnya berbeda-beda dalam pengetrapan niatnya sebagai ”pengikut”.

Sebaliknya ada Pemimpin Domestik lokal yang yang bersifat “centeng”, Rezimnya berlindung di bawah Amerika Serikat, supaya leluasa menggurita dengan korupsi kolusi  dan nepotisme, terutama untuk dilindungi kroninya dari rakyatnya sendiri, artinya Pemerintah Amerika Serikat diharapkan menjamin kehidupan korup elite ini, e...e kok enggak. Amerika hanya merekomendasikan hutang pada World Bank, IMF, Asian Development Bank, jangan salah lembaga fund ini bukan negara, mereka tidak punya Nasionalitas, mereka Trans-nasional,  yang amat sangat perhitungan, sehingga lebih dari 20% hutang kotor sudah kembali berbentuk fee pada Consultant, mark up untuk ongkos proposals designs dan supervisions dari projects, lebih suka yang cukup lama hinga selesai, dan setiap tahun digabungkan dengan bargain politik baru, lanjut apa enggak.
Yang penting infra tructure bantuan macam ini hampir tidak ada arti buat otot kemerdekaan. 
Cuma itu, boro-boro Anggaran Belanja Negaranya untuk membangun infra stukture yang canggih, memajukan pendidikan, wong seluruh Republiknya saja  hanya Republik Pura-pura.
Yang dipiara bukan Kaisha, bukan Chaebol, bukan Penarik Pajak yang kerja untuk Negara, tapi penguasa Pajak, Negara hanya disetor sisanya, malah hasilnya disimpan oleh Pendamping yang layaknya putri, dimaui oleh seluruh bank bank - di Bank Negara, hanya untuk “tambel butuh” untuk Bank yang “dikhawatirkan” kalah clearing 6,5 triliun, oh sayangku oh kekasihku aku tombokin elu ! e e malah lari keluar negeri.
Pemimpin yang beginian kerjaan sesungguhnya adalah Centeng beneran. 
Wong di dalam negara ini ada lembaga yang terima upah sebagai pembelian “keberpihakan”, ah kok sulit sekali ya untuk mengakui hal ini, ya merasa tidak salah gitu saja kok repot, padahal lembaga penegak hukum lho itu.
Ya jangan salahkan Amerika Serikat, wong dia kan hanya akan membangun infra structure di negerinya sendiri, cari modal, perkara lain bukan urusannya. Buktinya atas upayanya sendiri Republik Korea Selatan bisa merdeka, Republik China Taiwan bisa merdeka. (*)

Minggu, 18 Desember 2011

PENGHIJAUAN

Sejak Bhumi Nusantara terasa gundul, maka lahirlah istilah penghijauan.
Di Pulau Jawa, waktu aku umur 10  tahun setiap rumah tangga memakai kayu bakar sebagai bahan bakar masak di dapur, atau bagi rumah tangga kaya, mereka memakai arang kayu. Sejak tahun lima puluhan mulai dipakai kompor minyak tanah dengan konstruksi pembakaran sumbu yang diperpanjang dengan semacam ruang pembakaran taambahan sejengkal lebih, sehingga pembakaran uap minyak tanah menjadi lebih semurna. Konstruksi ini sederhana, tapi model kompor ini tidak pernah ada sebelum tahun 1950  atau sekitar tahun itu. Maka rumah tanggalah yang menjadi sasaran kritik terhadap penggundulan hutan, selama Perang Pasifik dan perang Kemerdekaan kira-kira 10 tahun, dari 1940 sampai 1950. 
Di luar pulau Jawa, yakni  pulau Sumatra, dan  pulau  Kalimantan masih sama sekali belum terjamah, karena kebutuhan kayu bakar dan arang ( khusus untuk menyetrika baju, membakar  sate dll) masih tidak berarti sama sekali dibandingkan dengan luas hutan rimba. Di pulau-pulau itu mulai terasa pembabatan  hutan, semenjak glondong berdiameter raksasa sampai satu meter laku keras untuk di di export tahun 1955 ke atas,  terutama untuk membuat veneer pencetak beton, sebab Dunia lagi booming, ekonomi berkembang pesat, kot- kota Negara Industri diperbaharui dengan beton terutama untuk bangunan pencakar langit jalan dan jembatan, viaduct saluran air dsb .  Semua ini untuk memenuhi kebutuhan gedung- gedung perkantoran, hunian condominium, jalan-jalan dan jembatan maupun viaducts, saluaran-saluran dll. Sampai sekarang masih meningkat scara progressive.
Hingga sekarang kita punya hutan primer sudah tinggal sangat langka, sedang hutan rimba di pulau Sumatera dan Kalimantan sekarang jadi tinggal 40 % dibabat dengan segala dalih. 
Saya amati benar yang terjadi  di pulau Sulawesi,  pulau yang sangat khusus karena sebagian besar  sangat tipis, bingga cuma 50 km  menurut garis potong lurus, puncak tetinggi di tempat tanah genting itu hanya sekitar 200 m di atas muka laut, tapi meliuk-liuk panjang sekali. Akan ternyata bahwa pulau ini, terutama di tanah gentingnya,  problem hutannya sama dengan pulau pulau kecil di NTT.
Setengah abad terakhir dari abad 20, Dunia jadi ramai karena issue penghijauan kembali, sudah sangat akut, bahkan ada indikasi terjadi pemanasan global, karena efek rumah kaca, terjadi ketidak-seimbangan antara CO2 yang dihasilkan dari pembakaran semak, dan hutan sebagai penyumbang CO2, dan jauh lebih penting hutan rimba merupakan pengguna terbesar CO2, mengurangi kadar CO2 dari udara kita, yang dicemari berat oleh pabrik-pabrik di negara Industri, mengurangi efek rumah kaca.
Issue mengenai penghutanan kembali di Indonesia menjadi ajang apa saja yang sangat ramai, umpama:
-Untuk bumbu ngomong supaya terdengar lebih berbobot:
-Iklan iklan di TV agar nampak sangat anggun, ditayangkan dua kali sehari padahal nyatanya ya cuma iklan, beberapa anak menanam pohon dari bibit.
-Menggunakan issue penghijauan untuk mencari popularitas saat kampanye: Padahal ngomong doang, atau cuma simbolik saja memberi bibit kayu rimba bahkan bibit apa saja dan di shoot TV dari bermacam sudut, trus ditayang berkali -kali diberita minggu ini, mesti saja dengan bayaran.
Menggunakan issue penghijauan untuk mencari dana buat keperluan lain: 
Lembaga Swadaya Masyarakat, Dinas-Dinas yang ada dana supaya kelihatan terpakai, Yayasan -Yayasan supaya kelihatan keren:
Membagikan bibit buah-buahan dan tamanan pelindung di perempatan jalan ramai di shoot TV entah lanjutannya untuk apa.
Menggunakan issue penghijauan untuk performance upacara:
Bapak Penjabat apa saja desertai dengan puluhan pengikutnya berseragam training set, disertai dengan puluhan bahkan ratusan Pramuka, bener-bener menanam bibit pepohonan di lahan terbuka (entah bisa hidup berapa lama bibit pohon itu ?), setelah itu entah jadi apa?. Wong hanya upacara.
Melihat itu semua orang (saya terutama) jadi eneg deh.
Kok bisa bisanya, hari gini issue penghijauan yang sudah jadi taruhan perubahan iklim, kok masih dibuat mainan. Please, jangan jadikan penghijauan sebagai acara seremonial belaka.

Memang, bila dicermati, lahan-lahan yang terbuka, malah waktu kemarau nampak gundul karena semak semaknya yang tetumbuhan musiman mati, itu memang ada sebabnya.
Mestinya jauh jauh hari, mbok mereka yang mengerti  soal tanam menanam itu memberi pengertian, artinya Lillahi Ta’Alla.
Menanam kembali lahan terbuka, itu bukan kerja sehari dua hari, harus ada pemeliharaan selama paling sedikit sampai tumbuhan yang ditanam itu bisa mandiri, persis seperti memelihara bayinya apa saja, syukurlah kepada Sang Pencipta, bahwa bayinya tumbuhan yang bisa sebesar pepohonan yang diameternya bisa semeter tanpa di bantu manusia itu, syaratnya kan hanya melihat hanya selama tiga musim kemarau saja. Hanya mengamati bibit tumbuhan apa saja yang baru ditanam pada kemarau pertama, pada pemarau ke-dua, dan pada kemarau ke-tiga.
Artinya apakah tumbuhan yang kita tanam di lahan terbuka itu masih mendapatkan air apa tidak ? Soalnya kemarau pertama bibit itu akarnya masih pendek, tidak bisa mencapai lapisan tanah yang masih basah, kan kesempatan untuk membuat akar hanya maximum lima bulan ? Itupun bila bibit ditanam pada permulaan musim hujan ? Itupun bila bibitnya benar, ditanam dengan benar dan disiram sesudah ditanam.
Bibit tumbuhan yang benar : Kan kita nanam di lahan tebuka gundul waktu kemarau itu, yang mati,  kan tumbuhan semusim atau semak semak yang walau dia tumbuhan tahunan, tidak mampu mencari air. Lha kita menanam disitu, mestinya kita cari tumbuhan yang akarnya tumbuh kebawah dengan cepat memanjang, selama maximum 5 bulan sudah mencapai kedalaman yang aman di musim kemarau.
Apa ada tumbuhan macam itu ? `Pasti ada, Tanya sama Ahhlinya. Menanam tanaman yang akarnya cepat panjang menghunjam kebawah, memerlukan perlakuan khusus, wong bakatnya berakar panjang, jadi bibitnya ya akarnya panjang, jangan nanam yang akarnya pendek kerena putus.
Bila sudah di kantong plastik, bakat akarnya panyang, kan kantongnya harus extra panjang ?
Lahan, tanah yang kita  risih kok gundul dimusim kemarau itu ada apa ?
Lha bila dimusim hujan juga gundul  ya maaf, itu mungkin batu besar.
Tanah dengan dasar batu kapur, tanah miring, tanah berpasir dalam, itu memang rawan jadi lahan “kritis” artinya jadi sasaran kritik, sebab aku tidak tau kenapa dinamakan lahan ”kritis”.
Di lahan itu air hujan cepat hilang, atau lebih cepat mengalir di permukaan  yang miring (run off), atau cepat menyerap kebawah tanpa ada  lapisan penahan di zona akar yang normal, biasanya diatas batu dasar lapisan batu kapur yang mirip saringan, pori-porinya banyak dimana-mana, air hujan meresap jauh ke bawah zona perakaran, begitu pula tanah berpasir.
Bila bibit sudah dipilih dari yang berakar panjang,  lantas tanahnya macam apa ?
Ngototnya yang mau menanam pepohonan bagaimana?
Terhadap run off yang berat, kita ada akal membuat sabuk gunung (terrasering), atau  bila biaya mepet ya individual terassering.
Terhadap tanah yang tumbuh di atas bukit kapur yang porus,  kita lihat saja tunbuhan apa yang mampu bertahan di situasi itu, ya dia jadi pilihan kita untuk penghijauan.
Bila ngotot, ya pilih tunbuhan yang tahah kering, kita bantu sebisanya pada tiga musim kemarau yang pertama dengan menyiram sebisanya, mungkin pada kemarau ketiga akarnya sudan cukup menghunjam ke lapisan yang masih mengandung air.
Sudah itu di lereng, tanah dimana air hujan melorot kebawah zona akar, masih ada bagian lereng, yang di bawahnya ada batu besar atau ceruk batuan yang lebih massif, sehingga diatasnya tanah masih ada air terperangkap, disitu semak-semak tumbuh secara alami, bila tumbuhan yang kita maksud akan ditanam sebaiknya memilih tempat yang walau musin kemarau, masih ada segerombol tumbuhan yang masih hijau. 
Penduduk Pulau kecil di NTT pada musim kemarau yang panjang, terpaksa minum air yang menetes dari akar Pisang Saba (Musa  accuminata ) yang dipotong, dalam sehari semalan tertampung segelas air.
 Pisang yang sama, di sekitar Klakah di tengah-tengah wilayah berbukti rendah antara Selat Madura/Probolinggo dan Laut Selatan Lumajang, disitu tanah berbukit rendah, ada di bayangan hujan gunung- gunung  tinggi di barat maupun di timur, tanah lereng bukit dan hujannya  kurang, tapi wilayah itu merupakan tempat buah-buahan dijual sepanjang jalan, baik musim penghujan maupun musin kemarau.
Ternyata penduduk daerah itu ada yang mampu menanam pohon buah-buahan di lereng-lereng yang jauh dari sumber air,  yang mampu mereka tanam adalah; Nangka, Apukat, Pisang Saba dan Pisang jenis murahan yang lain, Kelapa muda, Kenitu (sebangsa Sawo warna kulitnya hijau, kadang Mangga). Kita bisa jadi merasa heran, kok bisa melewat tiga musim kemarau?  apakah pohon buah-buahan di atas bukit sana pernah dibantu disiram manusia ya ?
Pembaca, boro-boro nyiram pohon Nangka bayi di atas bukit, mandi saja harus pergi lima enam kilometer.
Caranya yang saya amati begini; di lereng tempat yang terpilih, mereka penduduk yang arif sesuai dengan kearifan lokal, mulai dengan menanam Pisang Saba, setelah tumbuh serumpun, perlu dua tiga tahun, kemudian di bawah persis serumpun Pisang Saba itu mereka tanami bibit Nangka setinggi dua jengkal, tentu saja di permulaan musim hujan, selama musim hujan no problem, air turun dari langit, biar run off seperti apa. 
Musim kemarau mulai ada problem, rerumputan sudah kering, kemudian semak-semak, namun rumpun Pisang tetap bertahan. Lha, si bibit Nangka yang ditanam dibawah rumpun Pisang tadi itu mendapatkan air dari tetesan air akar pohon Pisang yang sengaja dipotong dengan sabit, diulang-ulang sampai kemarau ganti musim hujan yang kedua bagi si bibit yang selamat melewati kemarau pertama.
Kemudian kemarau kedua, akar dan pohon Nangka sudah bertambah panjang, masih perlu naungan daun Pisang yang agak merana di musim kemarau, namun memadai.
Diulang pemotongan akar Pisang dengan menyisipkan arit di tempat perakaran Pisang dekat pohon Nangka yang ditanam, akhir kemarau kedua dilewati dengan selamat.
 Kemarau yang ketiga bibit Nangka telah besar lebih dari setengah meter, dengan akar yang cukup dalam, sehingga rumpun Pisang agak menggaggu pertumbuhan didongkel. Akhirnya seluruh rumpun Pisang didongkel pada tahun ke empat. Kemudian barulah  kita heran-heran kok ada pohon Nangka muda di lereng tinggi diatas bukit ? (Bila ada Penjabat Eselon yang melihat pohon Nangka tadi, namun tak tahu kisah nanamnya, Eselon itu kemungkinan langsung berteriak jumawa: “Lihat yang diatas bukit saja bisa ditanam Nangka, kenapa ndak minta dana untuk penghijauan besar besaran, kan gampang !” gitu ujarnya keras-keras.)
Padahal asal para pembaca tahu,  bibit buah-buahan macam-macam asal agak tahan kering dapat ditanam dengan cara yang sama. Karena belum pernah ada orang menyiram setinggi di atas lereng-lereng bukit.(*)
Semoga berguna. Wahai eselon belajarlah. 

Jumat, 16 Desember 2011

REPUBLIK PURA-PURA II


Aku dibesarkan saat Negara ini dilanda perang Kemerdekaan.
Tahun 1946 aku kelas satu SR dalam setahun aku berganti sekolah tiga kali karena mengungsi, ayahku bukan Pegawai Negri, saudaraku banyak sembilan orang. Tidak perduli, kaum pecinta kemerdekaan pilih mengungsi, bak bulu Garuda yang sedang berkelahi, tercerabut morat marit.  Zamanku adalah zaman romantisme, melaksanakan mimpi kemerdekaan. Kami mengungsi meninggalkan Kota Surabaya di Bulan Desember 1945 setelah hampir sebulan bertahan dari kepungan sekutu, semenjak pendaratan sekutu di Surabaya dan meletus pertempuran 10 Nopember 1945. Setelah insiden tewasnya Brigjen Malaby, sekutu membombardir Surabaya. Kami warga Surabaya tahunya hanya melawan NICA yang ikut menumpang kapal Inggris. Prinsipnya kami tidak ada masalah dengan Inggris. Hanya saja kata kakak tertuaku kita melawan NICA Belanda yang hendak kembali lagi menjajah Indonesia. Kakak tertuaku kemudian bergabung dengan Batalyon TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) kakakku itu namanya adalah Mukadi yang juga bertempur pada tanggal 10 Nopember 1945 di Surabaya, komandannya adalah Mas Isman.
Pembaca, karena rumahku di kawasan Tambak Sari Surabaya, maka pertempuran antara Arek-arek Suroboyo melawan serdadu Sekutu (kebanyakan resimen Gurkha, Inggris), adalah dekat. Aku lihat sendiri kakakku mengokang senjata dan menembak dengan senjata rampasan Jepang yang baru didapatnya membobol gudang-gudang logistik Jepang di Surabaya. Di radio suara Bung Tomo terus membakar semangat arek-arek Suroboyo.
Saat itu informasi yang kami dapat tidak jelas, apakah Inggris hanya akan melucuti tentara Jepang yang telah kalah perang, atau justru membantu NICA Belanda untuk come back berkuasa kembali di Surabaya. Yang jelas kami telah muak dengan penjajahan Belanda. Dan warga Surabaya telah siapkan 'penyambutan khusus'  berupa mitralyur bagi NICA dan sinyo Belanda. Untuk itu, kakakku Mukadi yang saat itu baru berumur 14 tahun, kelas 3 SMP ikut bertempur, dan sempat kulihat dia mengevakuasi kawannya yang gugur akibat tertembak persis di kepalanya. Kulihat Mas Gumbreg alm. pemegang Artileri anti serangan Udara di posisi dekat viaduk. Mas Gumbreg akhirnya gugur syahid setelah duel bertempur satu lawan satu dengan pesawat Sekutu, sampyuh, beliau gugur, pesawat musuh jatuh terbakar. Makamnya Mas Gumbreg ada di kompleks makam pahlawan di Ngagel, Surabaya sekarang.
Karena logistik menipis, dan tentara Indonesia memutuskan mundur dari Surabaya, maka pada Bulan Desember 1945 kami sekeluarga  mengungsi ke selatan, terus ke Sidoarjo, dan meninggalkan Jawa Timur, tujuan kami sekeluarga adalah Solo, tempat kakek nenekku tinggal. Di Solo kembali agressi Belanda, kami juga mengalami. Namun Alhamdulillah, masih diberi keselamatan oleh Alloh SWT.

Pada awal kemerdekaan, setelah tamat SMA dari SMA Negeri 2 Surabaya, (kakak kelasku dua tahun diatasku aku ingat betul adalah Tri Sutrisno, pemuda gagah yang juga ketua pelajar SMAN 2 Surabaya).  Singkatnya setelah lulus SMA, aku pilih sekolah di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta, sekolah murah tinggal pilih. Saudara pembaca, maklumlah saat itu Negara Indonesia muda bak Garuda yang melebarkan sayap, meregangkan otot-otot, Negara harus dibangun di segala bidang, sekolah murah. Rakyat makan bulgur bantuan pangan dari Amerika (gandum biji kelas rendah belum digiling).
  Seperti yang sudah kuceritakan aku berhasil mendapat beasiswa ke Russia, akhirnya aku lulus dari  Fakultas Pertanian  dan balik ke Indonesia pada masa gawat-gawatnya di era 1965-1966.  Banyak kawanku yang memilih tinggal. Tapi dengan tulus  akupun memilih pulang.
Waktu itu karena serba dicurigai dan kadang dimusuhi, karena aku lulusan Russia, (yang lulusan barat dicintai setengah mati dan langsung jadi menteri). Tak terpikir aku bakal dapat nafkah dari mana, orang tua saya hanya pegawai swasta kecil seperti petani tak bertanah, tapi jelas kami adalah Republikan, yang mengalami menngungsi dari kota ke kota, kami semua ngebelain kakakku Mukadi yang umur empat belas tahun ikut memanggul senjata perlawanan hingga dewasa dan merdeka.

Kenyataan berkata lain, kami sungguh cinta Bung Karno, Geo Politik hanya ada dua pilihan ikut Barat atau Timur. Indonesia non blok dimaki 'tak bermoral' oleh Amerika. Bung Karno waspada dengan bujukan hutang Amerika, karena Bung Karno melihat imperialisme dibaliknya. Prinsip Bung Karno yang aku tahu adalah "Indonesia untuk Indonesia, bukan Indonesia untuk disedot asing".
Namun Amerika Serikat bukan macan kertas, buat apa dia mengusir Jepang dari Indonesia kalau engga dapet apa-apa? Karena negara baru seperti Indonesia ini dianggap kurang dekat dengan dia dan malah asyik ngobrol dengan blok musuhnya, segeralah Amerika menyatakan dirinya sebagai Adhi Kuasa di seluruh Dunia. Setelah sukses menggulingkan Bung Karno, CIA segera menggantikan pemimpin-pemimpin sipil di Indonesia  dengan para Jendral Angkatan Bersenjata. Seketika Garuda Merdeka langsung jadi rezim militer totaliter, di tahun 1965. Sipil yang berani berpikir kritis hilang atau dipenjara. Kritik sedikit, tangkap atau di-cut dari sistem ekonomi dan sosial. Kondisi jelas tidak menguntungkan bagi saya untuk berpendapat kritis, meski itu tidak bermaksud melawan militer, hanya sumbang saran saja saya masih berpikir : "awak ini sudah lulusan Russia berani omong pula, bisa-bisa awak langsung dapat tiket ke pulau Buru yang masih open 24 jam untuk para lulusan Russia".
Sejak itu secara sistimatik Republik Garuda dijadika Republik Pura-pura.
Dibentuk dongeng baru, “pambangunan yes politik no” yang dimaksud pembangunan di era Orde Purapura I,  adalah pembangunan Rezim yang secara total pengikut Amerika Serikat, yang artinya sejahteralah anak-anak si Tuan dan Nyonya, biarkan mati anak si Emboke dan Pake, entah mati bayi entah dewasa membakar diri, yang dimaksud dengan politik no adalah kekuasaan hanya monopoli rezim, nggak bakalan kekuasaan Negara untuk Rakyat.
Hanya beras untuk rakyat melimpah karena sarana partanian disubsidi besar besaran, selama minyak bumi dan emas untuk Tuan-Tuan di Wall Street masih ada, minyak bumi habis ya subsidi untuk seluruh sumberdaya Orde Purapura II habis. 
Karena namanya masih Republik Puapura II subsidi itu diganti dengan BLT ( Bantuan Langsung Tunai) untuk kaum miskin,, untuk beberapa lokasi dan beberapa bulan ya, sesudah itu ya purapura membantu saja, kenyataannya kaum miskin makin hari makin tambah banyak terimbas inflasi dan resesi di Amerika Serikat, negeri Tuan-Tuan kita.
Bukan karena kekurangan tapi karena orang super kaya yang beberapa persen saja mengatur Congress dan Pemerintahan AS, untuk memanjakan  mencarikan lahan jajahan baru, membuatkan infra structure baru untuk menggandakan uangnya, namanya “pertumbuhan”  dengan uang rakyat, oleh keringat dan darah rakyat Amerika Serikat  (yang gugur di Afganistan, Irak ? ). Ular ini waktunya berganti kulit yang lebih longgar, kerena gendutnya sudah menyesakkan kulit yang lama.
Celakanya ekonomi Negara kita sudah digadaikan ke Wall Street yang lagi di “duduki”  kaum menengah Amerika Serikat, (bukan ekor nya si menengah ini yang terinjak kaget, tapi perutnya yang tergencet, baru sadar dia).
Celakanya lagi, Republik Purapura kita sudah kadhung  terlanjur kalah tidak punya otot-otot infra structure untuk merdeka. Pemerintahan hanya bisa pura-pura saja, kabar terakhir mau buka satu juta Hektare lahan sawah, e e kok lagu lama.
Kapan  sawah hijau melambai disiarkan TV tentu saja cuma iklannya.?
Anggaran bejibun, hanya untuk pencitraan di TV.
Anggaran setiap Kementerian dihamburkan untuk siaran iklan di TV, di iklan ini pura-pura mendidik pemuda pemudinya di Sekolah Menengah Kejuruan yang canggih, dengan murid purapura dari para artis yang menggemaskan.
Purapura menanam pohon satu milyar pohon disiarkan sebagai iklan di TV setiap menjelang musim hujan, (toh akhirnya mati di musim kemarau pertama)  untuk mengganti penggundulan hutan yang sungguh sunguh, jutaan hektar per tahun yang tak terkendali.
Purapura mempersiapkan TKW dengan pelatihan  di iklan siaran TV, seolah olah Depnaker nya ada kemauan anggaran untuk itu.
Kok bisa-bisanya ya ?
Yang lebih elok lagi, di Republik Indonesia, ikutan purapura mengangkat derajad petani dengan menjadikan mereka petani plasma kebun kelapa sawit, di-shoot oleh perusaah iklan TV berlatar belakang rumah gedung yang jadi miliknya berkat kemitraan dengan perusahaan Inti sawit,  e e ternyata muka bopeng Penguasa nampak hari ini di TV. Setelah diredam nyaris dua bulan, borok ini muncul di permukaan, insiden maut meledak di Mesuji, Lampung, 20 petani dibantai oleh pihak mana belum jelas benar. Padahal sudah ada aparat keamanan di lokasi tapi petani gurem kok masih dibantai pula, (koran Surya 15/12/201), hanya untuk mencaplok desanya demi Perusaan Perkebunan P.T Silva Inhutani yang hendak memperluas lahannya. Kok ada jeruk makan jeruk ya,  yang aku baca dan lihat di media massa menurut Mayjen (purn) Saurip Kadi -yang telah disiarkan oleh berbagai media massa-, peristiwa ini sudah kesekian kalinya, tapi tidak muncul di media (sukses diredam).
Entah purapura apa lagi ini, kok sampai tega mengorbankan sekain puluh nyawa ?
Zamanku dulu adalah zaman romantisme, zaman rakyat (dalam pemilihan Konstiuante, Pemilihan umum yang pertama, Pemilu yang kedua ndak ada Golput) karena kami rakyat pada waktu itu bersungguh-sungguh mempersiapkan membangun Negara, yang korupsi ya ada, banyak, kami terlalu sibuk, membangun mimpi, wong pabrik semem Gresik saja baru dibangun.
Kebanyakan pemuda-pemudi memilih sekolah sesuai kemampuan otaknya, bukan untuk nafkah saja tapi untuk mimpi membangun Negaranya. Belajar jadi Ahli teknik, Sipil, Mesin, Kimia, Perkapalan, Geodesi dsb ok saja, mau jadi ahli Pertanian, Kedokteran Hewan, Farmasi, Paedagogy ok saja, maklum masyarakat negara yang romantis lagi akan membangun.
Sekarang lain lagi, cari yang lebih pragmatis, artinya tahu kenyataan, Negara ini sudah jadi Negaranya kaum hamba. ‘Scope’ keahlian para hamba lebih menyempit lagi. Raihlah keahlian menghitung dan menggandakan uang, carilah posisi keahlianmu dekat-dekat dengan gudang uang (tentu saja milik Tuan-Tuan kita di Wall Street sana), jadilah oportunis.  Raihlah keahlian Pengobatan, bukan karena Tuan-Tuan kita berpenyakitan, tapi para hamba masih sayang dengan nyawanya, daganganmu tidak pernah bisa ditawar,  sakitnya para hamba sudah beraneka macam, karena makan segala bahan kimia, pengawet, pelembab, pengering renyah, pengental, pewarna nurut citra bianglala, hasil tani rekayasa genetica dsb, mentalnya tidak sehat digerogoti credit card yang bunga-berbunga.
Ilmu Pengobatan adalah ilmu mempergunakan bahan kimia obat obatan bikinan pabrik canggih dan super mahal, benang operasi, clam micro,  pisau operasi laser, alat bantu pernafasan, alan pengendali tekanan darah, alat bantu memantau fungsi tubuh, anti biotica, Rumah Sakit adalah  barang khusus yang super mahal, konon honorarium para akhli pengobatan hanya dapat seperenam dari ongkos pengobatan seluruhnya ( kepemilikan modal dan keuntungan Rumah Sakit dan peralatannya yang canggih tidak bisa di bicarakan, sebab anonym)  yang merupakan sewa alat alat tersebut,  segitu saja sudah leluasa untuk berlibur keluar negeri dua kali setahun kadang kadang umroh untuk selingan, dan memadati perumahan mewah restoran mewah dan jalan raya dengan beberapa mobilnya, didunia para hamba ini, belum deposito dari devident Ruamah sakit dan alat alatnya yang disewakan super mahal.  Dilain Negara, kelemahan posisi si penderita dikuati Pemerintah.  
Jadi meraih keahlian selain mengatur uang Tuan Tuan kita, menghilangkan nyeri para hamba dan kankernya, memperpanjang hidup derita hamba hamba ini,masih menjanjikan imbalan lebih baik dari keahlian lain, karena soal nyawa dan rasa sakit, pasti disediakan dana olee penderita dan keluarganya.
Akhli Pendidikian ? Ya bolehlah , cetaklah hamba yang meneng manut mangan, tanpa kreasi sesuai dengan pesanan para Tuan.
Ini Republik Purapura II,  Republiknya para hamba, orang muda, jangan buang tempo ontuk belajar keahlian lain yang Tuanmu bisa dan tidak membutuhkan, jangan  bersaing  di bidang yang memerlukan sedikit Ahli saja  ahli Architecture) atau hanya melayani orang miskin (ahli Pertanian, ahli Pengobatan dan pemeliharaan hewan), siapa yang bayar ?, atau Korupsi saja mumpung ada kesempatan, pisang tidak berbuah duakali kan ?. Akhir kata Do'a saya : "Ya Alloh, untung Pulau Buru tempat pembuangan kawan-kawanku dari Russia sudah engkau tutup, dan kini (berkat usaha kaum buangan) Engkau jadikan lumbung padi yang makmur di Timur Indonesia sekarang, dan Boven Digul tempat pembuangan orang-orang berpikir jaman Belanda juga sudah Engkau jadikan monumen hidup, bahwa pikiran manusia tidak dapat dihilangkan,  dibungkam, dibuang dan dikekang. (*)

 



Selasa, 13 Desember 2011

JERUKKU SAYANG, JERUKKU MALANG

Ingin aku mengemukakan nasib jeruk kita (Citrus ) yang malang nan mengenaskan.
Empat puluh tahun yang lalu, kita masih mengenal jeruk dari Garut, dari Tawangmangu, dari Singaraja, dari Pacitan, ternyata kini nama daerah jeruk itu sudah tinggal kenangan. Mungkin jeruk di wilayah itu punah karena diserang CVPD (citrus vein phloem degeneration) syndrome, satu jenis serangan virus pohon jeruk yang tak kenal ampun, hampir semua verietas dan cultivar jeruk kita rentan terhadap serangan virus ini.
Virus ini ditularkan lewat vector hama pengisap Diaphorina citri, ada yang juga mennyebut thrips dan aphyds dan lain penghisap daun, malah ada penulis yang mengatakan bisa menular dengan kontak dengan alat alat menyanbungpun bisa menularkan virus. CVPD ini mmpunyai masa inkubasi yang panjang.
Jeruk keprok - C. reticulata - kena
Jeruk manis – C. sinensis - kena
Jeruk Bali,  C maxima cultivar “nambangan” - kena
Jeruk nipis semua varietas – kena dan sangat cepat symtome nya nampak.
Jeruk purut , nama lainnya jeruk makrut crossing dengan C. hystrix – tidak kena (Wikipedia)
Semua jeruk kita yang biasa sampai di pasaran kena tular virus ini kecuali jeruk purut.
Tandanya buahnya yang sudah dijual meskipun masak tanpa cacat apapun dari luar, di dalamnya sebagian atau semua air buahnya kering, tinggal isinya yang mengeras, dan dengan sendirinya relative lebih ringan.
Selama empat puluh tahun lebih lahan jeruk varietas “siem” selalu berpindah pindah, karena punah  diserang virus tersebut.
Cabang-cabangnya daunnya menguning dengan tulang daun masih hijau, akhirnya cabang cabang itu mati, seluruh tanaman merana dan mati.
Rupanya varietas Siem ini sangat disukai petani karena cepat berbuah dan berbuah luar biasa lebatnya, malah sifat ini menjadi problem sendiri dari penanam jeruk. Kecuali panen yang baik, cultivar ini juga bagus ditanam di dataran rendah bahkan bekas sawah. Empat lima tahun kemudian dilokasi itu seperti Ponorogo punah, pindah ke Jombang juga punah setelah empat lima tahun,  bgitu pula Pantai Utara P. Bali, dari Seririt sampai Tejakule.
Mojokerto kemudian Lumajang, Banyuwangi dan Terakhir di Jember Selatan.
Di Sulawesi Selatan di Bulukumba, kemudian di Malangke, daerah Palopo, entah sekarang.
Kini jeruk siem local di pasar pasar berasal dari Sumatra Utara atau dari Kalimantan Barat, dan jeruk bali (Pomelo )  cultivar “nambangan” dari Kabupaten Magetan dan Madiun masih sampai di pasaran bila musim yang sangat singkat, meskipun sebenarnya jeruk ini sangat tahan dijajakan berbulan-bulan.
Selain itu semua jeruk pasti  import, dari China, dari Thailand bahkan dari Pakistan.

Semua makhluk tumbuhan, binatang, termasuk manusia dapat terseang virus, dan obat penangkal virus tidak ada kecuali daya tahan organisme si terserang, malah bukan daya tahan saja daya tahan, tapi bahkan kekebalan tubuh organisme terseranglah  yang dapat diandalkan.  Jadi, jeruk local masih mempunyai harapan untuk berkembang, dengan persilangan dan seleksi yang sangat menguras tenaga, kesabaran dan beaya,
 bila upaya ini dikerjakan. Sayangnya tidak ada berita apakah upaya ini sudah dikerjakan dan sampai dimana?
Kehidupan memang silih beganti, satu cultivar bisa punah tapi satu species lebih liat perjuangannya untuk bertahan. Cultivar baru bisa timbul dengan sendirinya, tapi kebanyakan masih  dibantu hasil seleksi manusia, yang memperhatikan kemunculanya diantara populasi tanaman, terus diperbanyak.
Sudah banyak cultivar jeruk yang menghilang dari pasar seperti jeruk keprok Tawangmangu, jeruk keprok Madura yang khas kulitnya tidak halus dan tebal berwarna kehijauan, inipun saya curiga akibat serangan virus CVPD.

Saya cenderung ke pendapat Ir. Sutopo MSi dari Balitjespro yang menulis di Wikipedia bahwa CVPD merupakan kambing hitam dari sulitnya penananam jeruk masa kini. Secara keseluruhan hama hama tambah banyak, termasuk vector CVPD , alam sudah berubah.
Di samping itu sentra sentra penanaman jaruk yang dulu dmotori oleh Landbow Kring hampir delapan puluh hingga Sembilan puluh tahun yang lalu dizaman Penjajahan dan dibimbing secara “cultuur technisch” saya coba omong Belanda, en petani pananam jeruk masih sedikit, makin lama makin banyak petani yang asal tanam tanpa bimbingan teknis, karena jeruk memang budidaya yang menguntungkan, dan bimbingan teknis ini jadi projek, yang ada bila ada dana, terutana “Grant” asing.
Bahkan tahun delapan puluhan petani jeruk di pantai utara Pulau Bali sekitar Singaraja menantang bahwa bila saja tanaman jeruk Siem-nya bisa panen tiga kali saja, sudah untung,  yang kena ya disulam, kadang jumlah daun-daunya sama dengan jumlah pentilnya,  bahkan sayang untuk dikurangi !  Akhirnya, tahun tahun kemudian wilayah itu bukan sentra jeruk lagi.
Akhir tahun delapah puluhan saya kenal dengan seorang petani jeruk siem dari kota Purwokero, sekarang entah di mana lahannya yang ditengah kota itu, mengatakan bahwa dia abaikan CVPD itu karena dia mempertahankan rangka pohon ( jorget )  3 cabang kemudian diatasnya tiga lagi,  tidak pernah mengizinkan adanya cabang air yang banyak tumbuh, mempertahankan perbandingan jumlah daun sehat dan pentil (buah yang masih kecil sebesar kelereng) seingat saya satu pentil berbanding dengan 20 -25 daun sehat. Beliau pergunakan pestisida sistemik khusus untuk mengendalikan hama pengisap, selalu memberi pupuk berimbang dan memetik pentil yang berlebihan tanpa ampun, sungguh tahan uji kenalan saya ini.
Saya melihat tanaman jeruk kultivar grape fruit di Kecamanat Kemang Bogor, tepatnya ya di “Kavelling” para Penggede zaman Orba, selama lima tahun ini hanya berbuah lebat sekali, tiga tahun yang lalu, meskipun dipelihara baik (karena miliknya orang kaya), tapi jelas ndak pernah di pupuk organic maupun buatan  oleh penunggunya,
Karena orang kaya zaman Orba hanya mengerti mengambil hasil Negara,  ndak pernah mengerti memupuk Negara. Semoga ceritanya tidak habis disini, jeruk purut yang kebal terhadap virus CVPD ini apakah bukan merupakan suatu titik permulaan dari harapan ?

Bedanya Negara kita ini dengan Kerajaan Thailand, di sana uang juga dikuasai oleh Raja, bukan bukan oleh para Bankir saja. Kerajaan membeayai research pertanian jangka penjang secara konsekuen, sedangkan  di kita uang ada pada para bankers, yang allergy terhadap pertanian.(*)   

Selasa, 06 Desember 2011

REPUBLIK PURA-PURA

Aku hidup di Republik Purapura, lokasinya di khatulistiwa, yang jelas bukan Republik Singapura.
Yang saya akan bahas di sini adalah pendidikan warganya dan isi otak yang dihasilkannya selama President Diktator menguasainya selama satu setengah generasi bahkan dua generasi dengan pengaruh terhadap anak anak yang belum dewasa saat Orde ini bangkrut.

Berkah Perang Dingin antara Sovyet Rusia dan Amarika Serikat pada masa lalu, jatuh begitu saja berkah itu ke kaum Militer dan Presiden Diktatornya, yang telah membantu salah satu fihak dengan atrocities dan genocides pada rakyatnya sendiri.
Sang Diktator Mandataris berkuasa lama sekali, mengusai hampir satu setengah generasi.
Ternyata, bekas bekas dari kekuasaan militeristic ini  lama ada pada otak bergenerasi generasi warganya, karena melekat pada pendidikan yang dijejalkan sejak kecil semasa meliterisme berkuasa, sedang hasil pendidikan yang paling membekas di jiwa adalan pendidikan katakan sepuluh tahun yang pertama, para Pakar Paedagogy tahu itu.
Ciri khas dari meliterisme adalan pemujaan kekuatan fisik, sangat dekat pada semboyan “yang kuat adalah benar” bahasa pinternya adalah “the might is ringht”, tidak ada pertanyaan dan tidak ada perdebatan.
Dinegeriku ini, zaman Diktator Mandataris,  kaum militer menggunakan mereka yang memakai symbol symbol agama sebagai wahana ambisi politiknya, sebagai mitra untuk mendapatkan dukungan rakyat, akibatnya kaum politisi yang berideologi agama diberi angin asal tdak meminta bagian kekuasaan.
Akibatnya kaum politisi yang berbasis agama  yang bukan rochaniawan ini,
kaum politisi yang tidak mengenal kecanggihan agama menuntun manusia ke jalan yang benar ini, mamasukkan adat dan ritual  yang menjadi kulit luar agama kedalam kurikulum pendidikan umum pada setiap tingkatan, malah menuju ke fanatisme, rentan menjadi pengikut terorrisme kemudian, kenyataanya terjadi pada masa kini.

Untuk mengambil hati kaum beragama yang merupakan mayoritas penduduk negeri ini, Pemerintah menjadikan agama mata pelajaran pokok sekolah sekolah Negeri pada setiap tingkatan.
Ini benar, bila perekrutan para Ustadz, Pendeta, Pemangku   dalam menyajikan silabi seimbang,  yaitu seimbang antara bimbingan rokhani, budi pekerti, yang negacu pada tingkah laku dengan pengajaran bahasa, baca dan tulis dalam bahasa induk agama masing-masing.
Kebanyakan para pengajar agama lebih berat kepada baca tulis ayat-ayat suci tanpa mengemukakan pola tingkah laku agamawi yang tidak kurang pentingnya. Malah dalam tradisi yang masih kuno,  mengajar dengan otoriter  kasar maupun halus untuk mendapat kepatuhan sang murid, yang mestinya mengetengahkan kebijaksanaan kesabaran.
Malah oknum-oknum ini sesudah lengsernya kekuasaan militer masih berkiprah di Departemen Agama dan dimana mana dengan bau korupsi dan kolusi yang konyol di Republik Purapura ini, menjadikan hujjahnya mentertawakan.

Di kelas-kelas sekolah dasar tentu saja yang terkuat sekaligus ter “pandai” adalah Guru.
Waktu itu  perilaku otoriter sang Guru, otomatis adalah lambang dari -“the minght is right”- ini didukung oleh iklim seluruh Kekuasaan yang Despotic , begitulah perilaku guru terhadap muridnya sangat tergantung dari “moral attitude” dari pribadi pribadi sang guru, beliau beliau terbawa arus apa tidak. Yang terjadi  ya kebawa arus. Yang jelas kemutlakan  otoriter “kebenaran” yang didapat dari “kunci” jawaban “multiple choices” ada pada guru, didapat dari Atasan, para murid tidak bisa membantah, meskipun sering pertanyaan-pertanyaan dari multiple choices itu sendiri mempunyai multi tafsir, yang benar tetap “kunci” yang ada pada guru, inilah benih despotisme.
Yang tidak kurang pentingnya di zaman itu adalah membudayakan menghafal segala credo dan falsafah Negara untuk menghasilkan generasi yang hebat menurut versi meliter, yang dengan sendirinya diturut, bukan dari kesadaran yang di-induksi-kan dari mencontoh teladan yang baik.
Setelah masuk SMP dan SMU menjelang usia dewasa, anak didik diperkenalkan dengan despotisme yang nyata, Sang Kepala Sekolah memacu murid yang pintar kayak Gladiator, sedangkan segala keperluan mencetak Gladiator dibebankan kepada orang tua murid, untuk lulus di Perguruan Tinggi bergengsi. Dana membanjir masuk setelah para siswanya banyak yang diterima di Perguruan Tinggi bergensi, Sekolah dan Kepala Sekolahnya akan mencuat menarik para ortu kaya yang berani membayar tinggi, demi menjadi siswa di SMU ini. Seluruh waktunya habis untuk membahas soal multiple choices, dengan guru muda yang sudah kelelahan. (Siapa lagi yang guru yang mau kerja extra kecuali mereka yang masih belum diangkat Pegawai Negeri ?)

Akibat dari ketidak seimbangan silabi agama, mereka sering lupa ikrarnya, bahwa sebagai makhluk yang beragama, memandang alam  sangat pemurah, terus-menerus semakin mencurahkan rakhmatnya semakin deras, bila digali dengan ilmu pengetahuan,  hanya untuk melaksanakan ikrar  hidup  rakhman dan rakhim, bukan untuk bersaing berebutan demi nafsu duniawi yang egoistic, karena watak rakhman dan rakhim ini watak esoteric, watak  sejatinya manusia dialam sana, dan  di alam sini.
Semua agama seharusnya menuntun jalan ke alam sana yang baik. 

Mahkota dari setiap sistem pengajaran dan pendidikan adalah perguruan tinggi, sebab perguruan tinggi sejak dulu bukan hanya lembaga pendidikan dan pengajaran untuk warga suatu bangsa, tapi juga berfungsi sebagai lembaga penelitian dan lembaga keilmuan, yang bisa  menjangkau jauh ke depan, bukan mencetak orang pinter untuk mendapatkan income yang tinggi, tidak peduli si employers (pemakai jasa ilmunya)  merugikan masa depan umat manusia.
Lembaga Perguruan Tinggi berlomba lomba menjual pepesan kosong, gelar gelar kesarjanaan yang tanpa prestasi jelas dalam dibidang bidang keilmuan, hanya untuk mendapatkan dukungan financial untuk pribadi ataupun Organisasi.

Organisasi UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang bebasis keagamaan pun hanya menuntun kearah exclusivisme, kesalehan ritual dan melupakan hubungan keilmuan dengan pengabdian kepada ikrar hidup yang menuntun ke kesalehan sosial yaitu menjadikan dirinya Khalifah di Bhumi yang hanya dengan berperilaku rakhman dan rakhim terhadap sesamanya dan seluruh alam, malah pada memakai UKM sebagai anak tangga memanjati kepemimpinan masyarakat, meraih ketokohan Pempinan Nasional untuk  korupsi triliunan rupiah. 
Tidak heran kader-kader semacam ini hanya mampu mempunyai pengikut yang doyan bayaran fanatic dan beringas, menyebabkan orang segan mengeluarkan pendapat yang santun dan tapi mengeritik perbuatan mereka yang hanya mampu menjadi oknum Pemimpin yang begini saja.

Bila beberapa generasi sesudah kaum militer berkuasa, bangsaku ini tidak menemukan jalan untuk sekuat tenaga mencurahkan ilmu dan teknology guna membangun infra structure myarakat maju secara mandiri, membangun masyarakat yang peka  terhadap keadilan, mengesampingkan nafsu egoisme yang corrupt, yang semua ini harus ada dalan silabi pelajaran agama, juga mengendalikan kepentingan pribadi demi Bangsanya, maka Republik Purapura adalah Negera dari Bangsa yang gagal, sebab pendidikannya hanya menghasikan generasi penerus yang koruptor dan pemuja hedonisme. (*)

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More