Susuhunan Kasunanan Surakarta ( sesudah pecah dengan kasultanan Jogjakarta) paku Buwono V adalah raja yang sangat terpelajar...... pneghimpun Almanac jawa Serat Centini yang sudah dicetak dalam huruf latin 12 jilid )
Konon, karya sang Sinuwun yang sangat dikagumi dikalangan empu keris Istana, diberi nama keris Kiai Kaget, mengherankan karena eloknya. Menurut saya, sang Susuhuhan yang terpelajar ini mencari asal usul sejarah "meriam" kecil yang pecah ini, maka beliau menempa pecahan besi "meriam" ini menjadi keris, hasil daur ulang dari pusaka yang asal usulnya sangat misterius dan mestinya juga mempunyai daya tarik bagi beliau. Apabila keris yang didapat dari daur ulang besi "meriam" kecil mesterius ini, SAMA DENGAN KERIS ASLI BUATAN MAJAPAHIT, dibandingkan dengan keris pusaka peninggalan Majapait asli yang ada di Keraton Surakarta,, Maka dapat dipastikan pembuatan pusaka istimewa “meriam lantakan” ( mungkin nama asli dari meriam adalah kalantaka sebab nama itu masih tercantum di suluk pedhalangan wayang purwo) adalah peninggalan kerajaan yang telah lama lampau ini dan dicetak/ dituang pada jaman itu. Mungkin tinggal satu-satunya, dan beliau curiga yang inipun akan didaur ulang Belanda sebagai senjata dari sana, untuk menghapus sejarah kebanggaan bangsa ini, yang pernah membuat lantaka/senjata api sendiri. Kemudian pada kurun waktu hidupnya Sinuwun Paku Buwono ke V ini namanya sudah jadi "meriam."
Adapun nama Guntur Geni sebagai meriam kecil dari besi tuang (wrought iron) WAKTU ITU NAMANYA MASIH KALANTAKA, telah muncul paling sedikit sekali dalam legenda atau dongeng yaitu dalam Babad Nitik Pangeran Kajoran, atau Babad Kajoran. Bahwa Pangeran Kajoran Putra Panembahan Romo, berakar dari keturunan Ki Ageng Giring, sosok yang bermunajad kepada Allah agar keturunanannya dapat menjadi Raja di Tanah Jawa, dua generasi di atas Panembahan Senopati. Mungkin juga "Babad Tanah Jawi" menjebut nama senjata ini, meskipun sudah ditukangi Belanda, dengan nama "meriam".
Sekali lagi legenda pusaka meriam kecil ini menjadi benang merah legalitas suksesi raja di kala itu, menyangkiut legalitas suksesi dari kerajaan Majapahit, karena kekuatan fisik “tokoh” menurut kharismanya sudah tidak bisa mutlak diandalkan ( sering didukung diam diam oleh Belanda dari Batavia). Ki Ageng Giring menetap di tanah yang dijadikan nafkah keluraga besarnya dari bhumi perdikan pemberian pemerintahan Majapahit, dekat Klaten sekarang bernama Kajoran diragukan oleh Sultan Mataram.
Konon menurut babad, salah satu keturunan dari sini berani menerima tantangaan Sultan dari Mataram untuk menerima bhumi sesigar semangka asal berhasil menadahi dengan dadanya tembakan meriam tersebut. ( Apa ini bukan kiasan bahwa Kajoran mendapatkan legalitas hak turun temurun tanah tersebut dari Majapahit, yang diragukan olah Sultan Mataram? ? ). Jadi meriamnya di Zamana Mataram Peniggalan Sultan Agung sudah menjadi pusaka kraton dan masih berfungsi, itu enandai legalitas dari kerajaan Majapahit.
Apakah ini dongeng menyembunyikan cerita yang sebenarnya ? bahwa Meriam itu sebenarnya memang pusaka dari peninggalan zaman Majapahit, yang diwariskan kepada kerajaan Tanah Jawa untuk legalitas kekuasaan berturut-turut Demak, Pajang, Mataram dengan ibu kota Plered, di mana dan kapan peristiwa sayembara ini terjadi.
Ada seutas benang merah yang panjang direntang guna mempertegas legalitas suksesi kekuasaan mulai dari Majapahit, ke Demak Bintoronya Raden Fatah yang konon adalah Putra Brawijaya yang Islam.
Persoalannya adalah, pemindahan kekuasaan Sultan Tranggono sultan ke III Demak Bintoro, ke Sultan Hadiwijoyo, yang hanya menantunya. Bahkan kemudian memindah Kota Raja ke Pajang, sebagai dasar kekuasaan Sultan Hadiwijoyo alias Jaka Tingkir, memperkuat benang merah suksesi kekuasaan ini dengan hubungan ketururunan dari Majapahit juga, lewat Ki Kebo Kenongo yang memeluk Islam esoteric, sudah ada sejak zaman Majapahit.
Apakah ini dongeng menyembunyikan cerita yang sebenarnya ? bahwa Meriam itu sebenarnya memang pusaka dari peninggalan zaman Majapahit, yang diwariskan kepada kerajaan Tanah Jawa untuk legalitas kekuasaan berturut-turut Demak, Pajang, Mataram dengan ibu kota Plered, di mana dan kapan peristiwa sayembara ini terjadi.
Ada seutas benang merah yang panjang direntang guna mempertegas legalitas suksesi kekuasaan mulai dari Majapahit, ke Demak Bintoronya Raden Fatah yang konon adalah Putra Brawijaya yang Islam.
Persoalannya adalah, pemindahan kekuasaan Sultan Tranggono sultan ke III Demak Bintoro, ke Sultan Hadiwijoyo, yang hanya menantunya. Bahkan kemudian memindah Kota Raja ke Pajang, sebagai dasar kekuasaan Sultan Hadiwijoyo alias Jaka Tingkir, memperkuat benang merah suksesi kekuasaan ini dengan hubungan ketururunan dari Majapahit juga, lewat Ki Kebo Kenongo yang memeluk Islam esoteric, sudah ada sejak zaman Majapahit.
Termasuk anaknya yang telah membunuh Ario Penangsang, dalam perang tanding di tepi bengawan Sore, Sutowijoyo atau Panembahan Senopati. Sosok Penembahan Senopati ini mendapatkan bumi Hutan Mentaok ( wilayah Jogjakarta) dari Sultan Hadiwijoyo ya karena kemenangan ini, sedang wilayah tersebut juga telah jadi wilayah kekuasaan nenek moyang Ki Ageng Mangir sejak zaman Majapahit, dan terjadi sengketa antara Panembahan Senopati dengan Ki Ageng Mangir, berakhir dengan kematian Ki Ageng Mangir, (konon kepalanya dibenturkan pada batu tempat duduk Panembahan Senopati, sewaktu menerima sembah sang Ki Ageng Mangir, karena sudah jadi menantunya).
Mulai dari sinilah setiap sosok yang menganggap dirinya mempunyai hubungan benang merah dengan Brawijaya dari Majapahit mengukuhi haknya atas suksesi raja tanah Jawa atau hanya baik secuil wilayah tanah Jawa.
Kekalahan Demak, Mataram dan Kartasura kalah dari penjajah Portugis, Inggris maupun Belanda adalah dari keunggulan dukungan meriam yang dimiliki kaum penjajah ini. Sedangkan Majapahit telah berdiri megah di Nusantara untuk mewujudkan Sumpah Palapa oleh Mpu Mahapatih Gajah Mada, mengandalkan kalantaka (merian) besi tuang yang lebih kecil dan ringan bisa dimuat di haluan parahu model Madura yang jauh lebih kecil walau sangat lincah. Perbeadaan kaliber meriam ini selanjutnya menghasikah kemenangan bagi bangsa Porugis pada setiap perang laut, kecualai kaliber meriam juga ukuran kapal layar mereka lebih besar, karena di Europa ada tanaman bahan pembuat kain layar yang lebih kuat dan ringan untuk satuan luas layar yang sama , sehingga mampu menghimpun tenaga dorong angin yang lebih besar, tapi tidak terlalu membebani tiang agung yang tinggi, membuat kapal layar tidak stabil, sedangkan Majapahit awal masih kesulitan mendapatkan bahan untuk kain layar yang ringan dan kuat lebih lebar seperti kain layar dari flax/linnen (Linum spp. L) atau sutra yang digunakan sebagai kain layar oleh jung dari China. Lain halnya dengan suku Bugis/Makassar yang sudah menenun kain sutra sendiri, nyata perahu pinisi mereka lebih besar dari prahu Madura.
Apakah sosok intelek seperti Adipati Anom R. Sugandi yang sebelum jadi Pakubuwono V , menghimpun almanac pertama Jawa “Serat Centini” tidak penasaran ?
Pakubuwono V meneliti pecahan meriam misterius ini dengan memanasi dan membakarnya layaknya membuat keris, bila ternyata hasil keris teresebut sama dengan keris dari Majapahit yang ada di gudang senjata kraton, maka dapat dipastikan si pembuat keris Majapahit pada jamannya juga mencetak “lantak” atau “kalantaka” sebagai senjata, yang di sejarah Melayu oleh penulis Malaysia disebut “rentaka”. Konon keris Majapahit dibuat dengan mencetak bentuk keris secara masal dari peleburan pig iron, kemudian baru dikikir dan disempurnakan diberi ornament, banyak yang bilah keris jaman Majapahit jadi satu dengan gagangnya. Dalam kakawin Nagarakertagama naskah kronik perjalanan keliling kerajaan Wilwtikta di Pulau Jawa, sasterawan dengan nama samaran Prapanca, menulis di pupuh delapan naskahnya, bahwa kota Wilwatikta , komplex Kedaton dikelilingi tambok tebal dan kokoh, sedangkan gerbang komplex ini disebelah utara telah dipasang pintu gerbang dari BESI yang merupakan ukiran ram .indah ( wrought iron seperti rangka kursi taman zaman sekarang) wrought iron adalah hasil proses lanjutan dari pig iron hasil peleburan bijih besi. Selanjutnya menurut legenda lisan, pemasangan pintu ram besi ini adalah empu Keleng dari Madura..(Tentu saja tidak ada hubungan dengan kata klinknagen bahasa Belanda yang di indoneisakan dan di Jawakan jadi keling plat besi)
Pakubuwono V pasti meneliti peninggalan pusaka lama yang kemungkinan dari kerajaan Majapahit yang masih dihormati Keraton dari zaman itu umpamanya pecahan “meriam” Majapahit Kiai Guntur Geni, yang mestinya ada nama sendiri yang umum untuk senjata itu pada jamannya ?
Sebab sampai sekarang kata “ meriam” itu dipinjam dari mana, dari kata apa ?, nama senjata ini semakin gelap saja. Nama Jawa untuk meriam model dulu, yang diisi dari moncongnya adalah “meriam lantakan” juga “bedil lantakan” , untuk membedakan dengan bedil karabin. Emas yang dijual langsung dari peleburan adalah “emas lantakan” yang
bentuknya silindris. Jadi emas lantakan ada hubungan langsung dengan bentuk silindris dari peleburan logam. Jadi kata lantakan hidup, dan artinya dalam perdagangan logam yang dicetak dari peleburan yang bentuknyua silindris. Jadi tanpa kata “meriam”, lantakan ini bisa dimengerti sebagai barang yang dilebur dari logam yang dicetak silinidris, diisi mesiu dari moncongnya.
Mulai dari sinilah setiap sosok yang menganggap dirinya mempunyai hubungan benang merah dengan Brawijaya dari Majapahit mengukuhi haknya atas suksesi raja tanah Jawa atau hanya baik secuil wilayah tanah Jawa.
Kekalahan Demak, Mataram dan Kartasura kalah dari penjajah Portugis, Inggris maupun Belanda adalah dari keunggulan dukungan meriam yang dimiliki kaum penjajah ini. Sedangkan Majapahit telah berdiri megah di Nusantara untuk mewujudkan Sumpah Palapa oleh Mpu Mahapatih Gajah Mada, mengandalkan kalantaka (merian) besi tuang yang lebih kecil dan ringan bisa dimuat di haluan parahu model Madura yang jauh lebih kecil walau sangat lincah. Perbeadaan kaliber meriam ini selanjutnya menghasikah kemenangan bagi bangsa Porugis pada setiap perang laut, kecualai kaliber meriam juga ukuran kapal layar mereka lebih besar, karena di Europa ada tanaman bahan pembuat kain layar yang lebih kuat dan ringan untuk satuan luas layar yang sama , sehingga mampu menghimpun tenaga dorong angin yang lebih besar, tapi tidak terlalu membebani tiang agung yang tinggi, membuat kapal layar tidak stabil, sedangkan Majapahit awal masih kesulitan mendapatkan bahan untuk kain layar yang ringan dan kuat lebih lebar seperti kain layar dari flax/linnen (Linum spp. L) atau sutra yang digunakan sebagai kain layar oleh jung dari China. Lain halnya dengan suku Bugis/Makassar yang sudah menenun kain sutra sendiri, nyata perahu pinisi mereka lebih besar dari prahu Madura.
Apakah sosok intelek seperti Adipati Anom R. Sugandi yang sebelum jadi Pakubuwono V , menghimpun almanac pertama Jawa “Serat Centini” tidak penasaran ?
Pakubuwono V meneliti pecahan meriam misterius ini dengan memanasi dan membakarnya layaknya membuat keris, bila ternyata hasil keris teresebut sama dengan keris dari Majapahit yang ada di gudang senjata kraton, maka dapat dipastikan si pembuat keris Majapahit pada jamannya juga mencetak “lantak” atau “kalantaka” sebagai senjata, yang di sejarah Melayu oleh penulis Malaysia disebut “rentaka”. Konon keris Majapahit dibuat dengan mencetak bentuk keris secara masal dari peleburan pig iron, kemudian baru dikikir dan disempurnakan diberi ornament, banyak yang bilah keris jaman Majapahit jadi satu dengan gagangnya. Dalam kakawin Nagarakertagama naskah kronik perjalanan keliling kerajaan Wilwtikta di Pulau Jawa, sasterawan dengan nama samaran Prapanca, menulis di pupuh delapan naskahnya, bahwa kota Wilwatikta , komplex Kedaton dikelilingi tambok tebal dan kokoh, sedangkan gerbang komplex ini disebelah utara telah dipasang pintu gerbang dari BESI yang merupakan ukiran ram .indah ( wrought iron seperti rangka kursi taman zaman sekarang) wrought iron adalah hasil proses lanjutan dari pig iron hasil peleburan bijih besi. Selanjutnya menurut legenda lisan, pemasangan pintu ram besi ini adalah empu Keleng dari Madura..(Tentu saja tidak ada hubungan dengan kata klinknagen bahasa Belanda yang di indoneisakan dan di Jawakan jadi keling plat besi)
Pakubuwono V pasti meneliti peninggalan pusaka lama yang kemungkinan dari kerajaan Majapahit yang masih dihormati Keraton dari zaman itu umpamanya pecahan “meriam” Majapahit Kiai Guntur Geni, yang mestinya ada nama sendiri yang umum untuk senjata itu pada jamannya ?
Sebab sampai sekarang kata “ meriam” itu dipinjam dari mana, dari kata apa ?, nama senjata ini semakin gelap saja. Nama Jawa untuk meriam model dulu, yang diisi dari moncongnya adalah “meriam lantakan” juga “bedil lantakan” , untuk membedakan dengan bedil karabin. Emas yang dijual langsung dari peleburan adalah “emas lantakan” yang
bentuknya silindris. Jadi emas lantakan ada hubungan langsung dengan bentuk silindris dari peleburan logam. Jadi kata lantakan hidup, dan artinya dalam perdagangan logam yang dicetak dari peleburan yang bentuknyua silindris. Jadi tanpa kata “meriam”, lantakan ini bisa dimengerti sebagai barang yang dilebur dari logam yang dicetak silinidris, diisi mesiu dari moncongnya.
Kemungkinan besar di-identifikasi dari nama “Kalantaka” atau “lela” saja. Belum diperkuat dengan akar kata “be-rantaka-n” dan kata “luluh lantak” yang mengandung maksud yang sama, mengandung sylabel “rantaka” dan ka-“lantak”-an. yang tidak bisa dihubungkan dengan kata meriam, nama yang dipakai pada zaman berikutnya . Begitu juga istilah “merajalela” yang ada hubungannya dengan “lela” yang menguasai medan perang.
Semoga tulisan ini dapat jadi perangsang bagi Sejarawan kita untuk menggali kembali, sejak kapan kita punya kalantaka, atau rentaka untuk perang ini, bukan “meriam” dari orang Europa.
Penulis dari Malaysia, sangat mencurigai benda senjata ini juga sudah dipunyai oleh lasykar kerajaan Melayu untuk menghadapi Gubernur Inggris, sampai sang Gubernur terheran-heran.
Di sejarah kerajaan Melayu nama meriam adalah “Rentaka” jenis yang mudah di bawa kemana-mana, apalagi dengan perahu dagang. Era dominasi Penjajah dari Eropa, senjata jenis rentaka , “meriam” lantakan yang buatan pribumi makin jarang, karena sengaja dihapuskan keberadaannya untuk menipiskan kepercayaan diri dari bangsa yang dikalahkan.
Semoga tulisan ini dapat jadi perangsang bagi Sejarawan kita untuk menggali kembali, sejak kapan kita punya kalantaka, atau rentaka untuk perang ini, bukan “meriam” dari orang Europa.
Penulis dari Malaysia, sangat mencurigai benda senjata ini juga sudah dipunyai oleh lasykar kerajaan Melayu untuk menghadapi Gubernur Inggris, sampai sang Gubernur terheran-heran.
Di sejarah kerajaan Melayu nama meriam adalah “Rentaka” jenis yang mudah di bawa kemana-mana, apalagi dengan perahu dagang. Era dominasi Penjajah dari Eropa, senjata jenis rentaka , “meriam” lantakan yang buatan pribumi makin jarang, karena sengaja dihapuskan keberadaannya untuk menipiskan kepercayaan diri dari bangsa yang dikalahkan.
Bila kalah dalam pertempuran dirampas oleh penjajah dan dilebur menurut bentuk senjata mereka,
beberapa dijadikan satu, otomatis caliber nya lebih besar. Semakin lama semakin habis bahkan cara membuatnya juga tidak pernah diwariskan, karena tidak ada order. Mudah kan ? Menghapuskan sejarah setelah empat ratus tahun ? O iya, dapur pelebuan logam kita adalah bejana keramik seperti guci yang besar yang mempunyai lubang untuk udara masuk baik dari angin maupun dari ububan ( semacam pompa angin), jadi kapasitasnya tidak bisa besar terbatas pada tebalnya guci, sedangkan orang barat membuat peburan logan dari batu bata tahan api dari bangsanya keramik juga bisa dibentuk silindris seperti cerobong dengan lubang angin masuk dari bawah makanya kapasitasnya lebih bebas, jadi meriam atau lantaka yang dicetak juga besar, untuk mempersejatai kapal besar, perang darat makin besar makin sulit bergerak, sedang diatas kapal besar makin baik dengan jarak tembak lebih jauh. *))
Note
Pada tahun 2018. kebetulan saya mendengarkan suluk pardhalangan wayang purwo di you tube, di situs suluk goro goro, yang dilantunkan oleh dhalang gaya Ngoyognyokato, ki Hadi Sugito, diunggah tg 29 okt.2017, (jadi di you tube situs yang benar "suluk goro goro dhalang ki Hadi Sugito alm, 29 okt 2017"sebab ada goro goro lain dari lyang yang sama narasinya dirubah bukan yang ada kata meriam kalantaka.
Pada akhir janturan ( narasi) mengenai keadaan Suralaya yang gonjang ganjing, sesudah tirta prawita di teteskan oleh Sang Hyang Girinata , maka berhentilah keguncangan di swargaloka, dan terdengan suara gemuruh diangkasa seperti suara meriam klantaka.
Suluk wayang puwa ini sudah ada zaman Majapahit, tapi janturannya (narasi) masih memakai bahasa jawa Kono atau bahasa Kawi, pada zaman Demak Bintoro, hingga Mataram Kerto dan Mataram Plered, janturan sulu ditambahi banyak syair janturan memakai bahasa jawa zaman itu sedikit dicampur bahasa kawi dan jawa kuno, yang lebih disukai para dhalang, meskipun kosa katanya sering berubah dari aslinya, karena para dhalang hanya menghafal dari seniornya - kata meriam ditambahkan pada kalantaka menjadi meriam kalantaka, sebab nama kalantaka dalam sehari hari sudah diganti dengan meriam dengan sengaja. Menyertai lenyapnya kelantaka ini karena dirampas kompeni, konon dibawa ke Buthan dipantai teluk Benggala oleh kumpeni dicetak kembali oleh orang sana, jadi cannon dan culverin yang kalibernya lebih besar dipakai oleh kumpeni di kapalnya dan dinamai meriam, sewaktu barang kuno yang tidak praktis untuk berperang yang paling besar dihadiahkan pada Raja Jawa - dilabel dengan nama meriam hanya yang ini dari perunggu kuno dan besar besar dan beratnya lebih dari 10 ton sangat sulit dibawa bertempur. Satu upaya untuk melenjapkan kepercayan diri, bahwa pribhumi juga bisa membuat kalantaka dari besi, jadi yang ada hanya meriam, milik pelayar Europa. Sedangkan sejarawan dari Malaysia menuturkan di google, Gupernur jendrak Inggris pernah heran heran kok orang Melayu punya rentaka - yang kecil, lebih bisa untuk manuver asykat darat. Kan ndak jauh antara rentaka dan kalantaka ? Sedang lela juga sudah tidak dipakai karena barangnya memang lain, untungnya masih ada di dalam bahasa tutur seperti merajalela, berantakan adalah kata turunan dari rentaka dan lela.*)
beberapa dijadikan satu, otomatis caliber nya lebih besar. Semakin lama semakin habis bahkan cara membuatnya juga tidak pernah diwariskan, karena tidak ada order. Mudah kan ? Menghapuskan sejarah setelah empat ratus tahun ? O iya, dapur pelebuan logam kita adalah bejana keramik seperti guci yang besar yang mempunyai lubang untuk udara masuk baik dari angin maupun dari ububan ( semacam pompa angin), jadi kapasitasnya tidak bisa besar terbatas pada tebalnya guci, sedangkan orang barat membuat peburan logan dari batu bata tahan api dari bangsanya keramik juga bisa dibentuk silindris seperti cerobong dengan lubang angin masuk dari bawah makanya kapasitasnya lebih bebas, jadi meriam atau lantaka yang dicetak juga besar, untuk mempersejatai kapal besar, perang darat makin besar makin sulit bergerak, sedang diatas kapal besar makin baik dengan jarak tembak lebih jauh. *))
Note
Pada tahun 2018. kebetulan saya mendengarkan suluk pardhalangan wayang purwo di you tube, di situs suluk goro goro, yang dilantunkan oleh dhalang gaya Ngoyognyokato, ki Hadi Sugito, diunggah tg 29 okt.2017, (jadi di you tube situs yang benar "suluk goro goro dhalang ki Hadi Sugito alm, 29 okt 2017"sebab ada goro goro lain dari lyang yang sama narasinya dirubah bukan yang ada kata meriam kalantaka.
Pada akhir janturan ( narasi) mengenai keadaan Suralaya yang gonjang ganjing, sesudah tirta prawita di teteskan oleh Sang Hyang Girinata , maka berhentilah keguncangan di swargaloka, dan terdengan suara gemuruh diangkasa seperti suara meriam klantaka.
Suluk wayang puwa ini sudah ada zaman Majapahit, tapi janturannya (narasi) masih memakai bahasa jawa Kono atau bahasa Kawi, pada zaman Demak Bintoro, hingga Mataram Kerto dan Mataram Plered, janturan sulu ditambahi banyak syair janturan memakai bahasa jawa zaman itu sedikit dicampur bahasa kawi dan jawa kuno, yang lebih disukai para dhalang, meskipun kosa katanya sering berubah dari aslinya, karena para dhalang hanya menghafal dari seniornya - kata meriam ditambahkan pada kalantaka menjadi meriam kalantaka, sebab nama kalantaka dalam sehari hari sudah diganti dengan meriam dengan sengaja. Menyertai lenyapnya kelantaka ini karena dirampas kompeni, konon dibawa ke Buthan dipantai teluk Benggala oleh kumpeni dicetak kembali oleh orang sana, jadi cannon dan culverin yang kalibernya lebih besar dipakai oleh kumpeni di kapalnya dan dinamai meriam, sewaktu barang kuno yang tidak praktis untuk berperang yang paling besar dihadiahkan pada Raja Jawa - dilabel dengan nama meriam hanya yang ini dari perunggu kuno dan besar besar dan beratnya lebih dari 10 ton sangat sulit dibawa bertempur. Satu upaya untuk melenjapkan kepercayan diri, bahwa pribhumi juga bisa membuat kalantaka dari besi, jadi yang ada hanya meriam, milik pelayar Europa. Sedangkan sejarawan dari Malaysia menuturkan di google, Gupernur jendrak Inggris pernah heran heran kok orang Melayu punya rentaka - yang kecil, lebih bisa untuk manuver asykat darat. Kan ndak jauh antara rentaka dan kalantaka ? Sedang lela juga sudah tidak dipakai karena barangnya memang lain, untungnya masih ada di dalam bahasa tutur seperti merajalela, berantakan adalah kata turunan dari rentaka dan lela.*)