fin
I “ MATAHARI TERBIT DI
WILWATIKTAPURA”
Masih di alam mimpi
Intermezzo penafsiran sejarah
Susuhunan Kasunanan Surakarta ( sesudah
pecah dengan kasultanan Jogjakarta, karena pejanjian Giyanti dengan Kompeni
belanda) Paku Buwono V adalah raja yang sangat terpelajar...... (penghimpun
Almanac Jawa Serat Centini yang sudah dicetak dalam huruf latin 12 jilid )
Beliau juga akhli membuat keris.
Konon, karya sang Sinuwun yang sangat
dikagumi dikalangan empu keris Istana, diberi nama keris Kiai Kaget,
mengherankan karena eloknya. Menurut saya, sang Susuhuhan yang terpelajar
ini mencari asal usul sejarah "meriam" kecil yang pecah yang masih
tersimpan di gudang senjata pusaka di keratonnya.
Maka beliau menempa pecahan besi
"meriam" ini menjadi keris, hasil daur ulang dari pusaka yang asal
usulnya sangat misterius dan mestinya juga mempunyai daya tarik bagi
beliau. Apabila keris yang didapat dari daur ulang besi
"meriam" kecil mesterius ini, sama dengan keris asli Majapahit, bila
dijajarkan, dengan keris pusaka peninggalan Majapait asli yang ada di Keraton
Surakarta,, Maka dapat dipastikan pembuatan pusaka istimewa “meriam lantakan” (
mungkin nama asli dari meriam adalah kalantaka sebab nama itu masih
tercantum di suluk pedhalangan wayang purwo) adalah peninggalan kerajaan
yang telah lama lampau ini dan dicetak/ dituang pada jaman itu. Mungkin tinggal
satu-satunya, dan beliau curiga yang inipun akan didaur ulang Belanda sebagai
senjata dari sana, untuk menghapus sejarah kebanggaan bangsa ini, yang pernah
membuat kalantaka,/senjata apinya sendiri. Kemudian pada kurun waktu masa hidupnya
Sinuwun Paku Buwono ke V ini namanya sudah jadi "meriam."
Adapun nama Guntur Geni sebagai
meriam kecil dari besi tuang (wrought iron) yan sudah pecah it nama “kalantaka”
sudah kabur. Dalam sejarah yang ditukangi Belanda untuk pencatatan sejarah bikinannya,
kata “meriam” telah muncul paling sedikit sekali dalam legenda atau
Babad yaitu dalam Babad Nitik Pangeran Kajoran, atau Babad Kajoran. Bahwa
Pangeran Kajoran Putra Panembahan Romo, berakar dari keturunan Ki Ageng Giring,
sosok yang bermunajad kepada Allah agar keturunanannya dapat menjadi Raja di
Tanah Jawa, itu terjadi pada dua
generasi di atas Panembahan Senopati. Juga "Babad Tanah Jawi"
bahasa Jawa jenis tembang, huruf latin, menjebut nama senjata ini “meriam”, jelas
sudah ditukangi Belanda.
Sekali lagi legenda pusaka meriam kecil
ini menjadi benang merah legalitas suksesi raja di kala itu, menyangkut
legalitas suksesi dari kerajaan Majapahit, karena pernampilan fisik, polariltitsas
“tokoh” menurut kharismanya sudah tidak bisa mutlak diandalkan ( sering
didukung diam diam oleh Belanda dengan ringgit dari Batavia). Ki Ageng Giring
menetap di tanah yang dijadikan nafkah keluraga besarnya dari bhumi
perdikan pemberian pemerintahan Majapahit, dekat Klaten sekarang bernama
Kajoran diragukan oleh Sultan Mataram. keturunan Panembahan Senpati.
Konon menurut babad, salah satu keturunan
dari Perdikan (bhumi merdeka) Kajoran berani menerima tantangaan
Sultan dari Mataram untuk menerima bhumi sesigar semangka
asal berhasil menadahi dengan dadanya tembakan peluru meriam
tersebut. ( Apa ini bukan kiasan bahwa Kajoran mendapatkan legalitas hak
turun temurun tanah tersebut dari Majapahit, yang diragukan olah Sultan Mataram
? ).Pangeran Kajoran mampu menerima tembakan meriam Guntur Geni……. alih alih
dihadiahi bhumi sesigar semangka..... malah harus menyerahkan nyawanya.
Apakah sosok intelek seperti Adipati Anom
R. Sugandi yang sebelum jadi Pakubuwono V , menghimpun almanac pertama Jawa “Serat
Centini” tidak penasaran ?
Pakubuwono V meneliti pecahan meriam
misterius ini dengan memanasi dan membakarnya layaknya membuat keris, bila
ternyata hasil keris teresebut sama dengan keris dari Majapahit yang anda di
gudang senjata kraton, maka dapat dipastikan si pembuat keris Majapahit pada
jamannya juga mencetak “lantak” atau “kalantaka” sebagai senjata, yang di
sejarah Melayu oleh penulis Malaysia disebut “rentaka” (google). Konon keris
Majapahit dibuat dengan mencetak bentuk keris secara masal dari peleburan pig iron, kemudian baru dikikir dan
disempurnakan diberi ornament, banyak yang bilah keris jaman Majapahit
jadi satu dengan gagangnya. Dalam kakawin Nagarakertagama naskah kronik
perjalanan keliling kerajaan Wilwtikta di Pulau Jawa, sasterawan dengan nama
samaran Prapanca, menulis di pupuh delapan naskahnya, Nagara Kertagama, bahwa di
kota Wilwatikta , komplex Kedaton dikelilingi tambok tebal dan kokoh, sedangkan
gerbang komplex ini disebelah utara telah dipasang pintu gerbang dari
besi yang merupakan ukiran ram .indah ( wrought iron seperti rangka kursi taman
zaman sekarang, Negarakertagama saduran sejarawan Pofesor Dr. Slamet Molyono ).
Selanjutnya peleburan besi wrought iron adalah hasil proses lanjutan dari pig
iron . Selanjutnya menurut legenda lisan, pemasangan pintu ram besi ini adalah
empu Keleng dari Madura..(Tentu saja tidak ada hubungan dengan kata klinknagen
bahasa Belanda yang di indonesiakan dan di Jawakan jadi keling plat besi)
Pakubuwono V pasti meneliti peninggalan
pusaka lama yang kemungkinan dari kerajaan Majapahit yang masih dihormati Keraton
dan pecahan “meriam” Majapahit Kiai
Guntur Geni, yang mestinya ada nama sendiri yang umum untuk senjata itu
pada jamannya ?
Sebab sampai sekarang kata “ meriam” itu
dipinjam dari mana, dari kata apa ?, nama senjata ini semakin gelap saja.
Nama Jawa untuk meriam model dulu, yang diisi dari moncongnya adalah “meriam
lantakan” juga “bedil lantakan” , untuk membedakan dengan bedil karabin. Emas
yang dijual langsung dari peleburan adalah “emas lantakan” yang bentuknya
silindris. Jadi emas lantakan ada hubungan langsung dengan bentuk silindris
dari peleburan logam. Jadi kata lantakan hidup, dan artinya dalam perdagangan
logam yang dicetak dari peleburan yang bentuknyua silindris. Jadi tanpa kata
“meriam”, lantakan ini bisa dimengerti sebagai barang yang dilebur dari
logam yang dicetak silinidris, diisi mesiu dari moncongnya.
Kemungkinan besar di-identifikasi dari
nama “Kalantaka” atau “lela” saja. Diperkuat dengan akar kata
“be-rantaka-n” dan kata “luluh lantak” yang mengandung maksud yang sama,
mengandung sylabel “lantak” dan ka-“lantak”-a. yang tidak bisa dihubungkan
dengan kata meriam, nama yang dipakai pada zaman berikutnya . Begitu juga
istilah “merajalela” yang ada hubungannya dengan “lela” yang menguasai medan
perang.”berantakan” dengan rentaka atau klantaka.
Semoga tulisan ini dapat jadi perangsang
bagi Sejarawan kita untuk menggali kembali, sejak kapan kita punya kalantaka,
atau rentaka untuk perang ini, bukan “meriam” dari orang Europa.
Lebih pasti, kata kalantaka disebut dalam
suluk pedalangan wayang purwa atau wayang kulit yang digubah para Wali islam
tanah Jawa, dilingkungan kekuasaannya untuk menyebarkan agama islam pada abad
ke 13 sampai abad abad berikutnya, menggubah cerita suci India Mahabharata,
sampai sekarang di sebut dalam suluk ( narasi dalam tembang yang dinyanyikan
oleh sang Dalang) sebagai “meriam kalantaka”. Supaya pemirsa wayang kulit zaman sekarang mengerti
bahwa kalantaka itu meriam.
Penulis dari Malaysia, sangat mencurigai
benda senjata ini juga sudah dipunyai oleh lasykar kerajaan Melayu untuk
menghadapi Gubernur Inggris, sampai sang Gubernur terheran-heran.
Di sejarah kerajaan Melayu nama meriam
adalah “Rentaka” jenis yang mudah di bawa kemana-mana, apalagi dengan perahu
dagang. Era dominasi Penjajah dari Eropa, senjata jenis rentaka , “meriam”
lantakan yang buatan pribumi makin jarang, karena sengaja dihapuskan
keberadaannya untuk menipiskan kepercayaan diri dari bangsa yang
dikalahkan.
Bila kalah dalam pertempuran dirampas oleh
penjajah dan dilebur menurut bentuk dan kaliber ,senjata mereka.
.
PRAKATA DARI PENGARANG CERITA INI
“MATAHARI TERBIT DI WILWATIKTAPURA”
Cerita ini sepenuhnya dalah fantasi
saya sendiri, saya ceritakan menurut urutan waktu unsur unsur peristiwa yang menyangkut
ekonomi mengawali terbitnya matahari di
Majapahit, puncak kejayaannya dan berubahnya faktor ekonomi, yang menyurutkan
kejayaannya, karena tak teratasi, maka perubahan jadi sangat sulit diaksanakan. Sebagian
nama dari pelaku adalah tokoh sejarah yang benar benar ada, yaitu tokoh tokoh
Kerajaan Singhasari dan zaman yang mengikutinya. Para pendiri dan tokoh
antagonisnya pendirian kerajaan Majapahit.
Tempat tempat yang disebut
adalah tempat tempat dengan nama yang dipakai pada zaman itu th 1100 –
1300 M, dari Dinas Purbakala, untuk menyesuaikan suasana cerita, tidak ada
penelitian apapun. Kejadian yang diceritakam ditempat itu hanya dari
imajinasi pengarang melulu. Hanya semua tempat tempat itu penah dikunjungi
oleh pengarang secara kebetulan dan bukan untuk tujuan
menulis,sudah disebutkan nama nama pada zaman Majapahit, Seperti “Pamotan”
dalam buku Dinas purbakala. Menurut penulis Pamotan beasal dari kata bahasa
jawa “ngamot” artinya memuat atau memungah barang ke perahu atau kendaraan lain,
bahkan kuda beban di kedua sisi badannya. Lokasi dengan nama Pamotan, zaman
Majapahit, sekarang adalah Lamongan kala itu masih di muara Bengawan Solo, bandar penting untuk
memuat beras ke jung china yang besar besar mencapai bobot 200 -500 koyan
beras. Sebab rawa di wilayah bengawan Solo sudah menjadi sawah atas prakarsa
para wali tanah Jawa, sepengatahuan penguasa Majapahit, karena wilayah rawa
adalah tanah yang di abaikan. Sedangan nama Widang untuk satu lokasi di dekat kota
Babat juga tepian Bengaan Solo wilayah Tuban, pada zaman itu, mungkin dari kata
“Wudang” bahasa Mandarin, dilafalkan dengan Bu Tong dalam bahasa Hokkian – nama
dari aliran ilmu silat China, sempalan dari aliran silat Siau Lim.
Pengarang mempercayai adanya
nama dan tokoh tokoh yang disebut dalam prasasti yang ditinggalkan
oleh kurun zaman itu, yang jadi sumber autentik dari para sejarawan kita
zaman ini, Bahwa prasasti itu kebanyakan semacam ketetapan hak atas
tanah pertanian, ataupun untuk menerangkan pendirian candi candi yang dibuat
beberapa generasi setelah yang dicandikan meniggal, melulu untuk
kepentingan yang masih hidup. Mungkin juga manuskrip dalam lontar lontar yang
sekarang masih bisa dibaca oleh para sejarawan yang serius, juga dibuat atas
pesanan keturunan yang masih hidup, meskipun dikerjakan oleh Mpu
yang terkenal, barangkali karena dekat dengan kekuasaan saat itu, kayak
Profesor Nugroho Notosusanto, yang berusaha keras mengganti Bung Karno yang
didukung oleh mayoritas rakyat Indobesia, diganti dengan peran
Jendral Suharto yang didukung oleh sebagian ABRI saja. Yang
kemudian jadi sumber kebenaran ahli ahli Archeologi . Saya bayangkan
seratus tahun setelah kita kita ini, bagaimana generasi generasi penerus itu
mengerti sejarah kita, tanpa malu malu, malah disengaja oleh ahli sejarah
semacam Profesor Nugroho Notosusanto memalsukannya untuk menghapuskan peranan
rakyat dan Bung Karno, atas pesanan Orde Baru, dari sejarah perjuangan
untuk menegakkan kemerdekaan .
Dimulai dengan ditiadaknnya
tanggal 10 Novermber 1945 sebagai hari yang diberi tanda warna merah
artinya hari libur Nasional.
Jadi apa salahnya bila
fantasi saya dan imaginasi saya, mambuat cerita sendiri yang masuk akal dari
segi materi dan moral saat itu, dan cocok dengan logika pada umumnya yang
abadi sepanjang zaman .
Begitu pula legenda dan
babad yang menceritakan zaman yang lalu, apalagi isi kitab kitab yang dikarang
pada zaman itu, yang ditulis para pujangga kenamaan umpama empu Sedah Empu
Penuluh Empu Prapanca dan empu Kanwa, itu bukan atas pesanan Penguasa ?
Pustaka yang ada jadi
pusaka kita sampai sekarang yang digeluti oleh para sejarawan dan ahli ahli
archeology zaman sekarang ya itu. Selebihnya akhli sejarah kita dari SMA nya
sudah di bagain sastra, jadi tidak diajari ilmu Kimia, Ilmu Fisika, ilmu
Matematika dan Kinematika, jadi daya analisanya terhadap kejadian alam lemah.
Seperti pembuatan mesiu, peleburan logam, panas pembakaran bermacam macam
arang, sulitnya pembuatan jalan dan jembatan, daya dorong layar dan besarnya
perahu, jadi apa salahya bila saya memasukkan unsur unsur alat dan barang yang
ada sebagai alat pendorong atau pembatas kemampuan orang didalam kejadian
sejarah zaman itu ?
Penyerbuan armada jung perang
untuk menhukum Baginda Kertanegara, raja Singhasari yang menghina utusan raja
China Kublai khan setelah tiba di Nusa Jawa sudah tahu bahwa sang Kertanegara
sudah mangkat, ditaklukkna oleh raja . Kerajaan Kadiri sang Jayakatwang telah
menemukan urat emas di tambang emas di wilayahnya pantai Selatan Pulau Jawa. Karena Kadiri bisa
dicapai dengan jung perang, melayari mudik Sungai Brantas yang cukup dalam untuk
mencapai ibu kota Kadiri..... Maka Pemimpin expedisi penaklukan wilayah selatan
tertarik oleh kekayaan Kerajaan Kadiri, sebagai penakluk Kerajaan Singhasari
dan Wengker, yang menemukan urat emas didua tempat itu, dengan rencana
mendobrak kota dan menjarah dengan bantuan kalantaka perunggu kaliber besar dan
sangat berat dari jung jung perang, yang sangat sulit digunakan diwilayah
darat, jauh dari jalan air/ Jadi tidak
ada hubunganya dengan dongeng mengenai anjuran atau bujukan Raden Wijaya menurut
sejarah resmi, yang telah diampuni oleh Jayakatwang, dia bermukin di bumi Tarik
dekat bandar Trung, muara sungai Mas, cabang sungai Brantas dekat muaranya.
Hanya sekembalinya armada
jung perang ini, dicegat oleh perlawanan pasukan rakyat di kiri kanan tepian
sungai Brantas dengan “panah gajah” kiat anjuran para putri Kertanegara yang sudah
wafat dan menjadi pelarian dari Kerajaan Kadiri, dengan raja naru sang Jayakatwang , rombongan pelarian bersama dengan kakak iparnya R Wijaya dan istrinya, alias kakak sulung mereka.
Hingga berbulan bulan selalu berpindah pindah tempat, tanpa bisa tertangkap....... berkat bantuan
banyak fihak yang bersimpati pada R. Wjaya dan Singhasari, dari wilayah Japan,
Jenggala, Ampel Denta dan Gresik....... yang terdiri dari kaum merdeka penyelenggara
perdagangan dengan perahu saudagar dari China, India dan Melayu. Perlawanan
dengan panah gajah sebagai panah api
yang sedepa pajangnya, melambung jatuh dari atas. Suatu cara menyerang perahu
perang musuh yang ditiru dari Kerajaan Thai, Ayuttya wangsa Rama yang sudah
sangat tua bertahan menghadapi musuh yang datang dengan perahu perang...lewat
sungai Mekong.. Karena kegiatan perlawanan dikerjakan dengan panah gajah untuk
mencegat semua jung perang yang datang menyerbu, dengan panah jenis ini, jadi kepulangan
armada jung perang menjadi tanpa daya dan hancur...... harta rampasan dan bekal
expedisi jatuh ke tangan para putra putri Kertanegara – atas petunjuk dari guru
mereka cukup buat mendirikan kota baru Wilwatiktapura, yang dikhususkan menjadi
pusat pengeringan kembali semua rempah rempah dari timur, yang masih setengah
basah, kurang cocok untuk dimuat di jung dan perahu mereka, dalam playaran yang
cukup lama.
Karena terlalu naïf
bila kita tanpa curiga apapun percaya bahwa Raden Wijaya, ksatria konon
keturunan Lembun Tal dan selanjutnya keatas sampai ke Ken Arok dan
Ken Dedes, mengalihkan sasaran penaklukan. Demi mengembalikan R. Wijaya
pada proporsi yang pantas terjadi pada saat itu. Pemuda Wijaya mestinya dididik
cara ksatria yang mengutamakan Dharma, , hukuman yang harus diterima oleh sang Prabu
Kartanegara, yang sudah pernah menghina Dutanya. Hlo bila dipikir apa mungkin
seorang Laksamana kerajaan Kublai Khan, datang ke Asia Tenggara dengan misi
penaklukan atau pemberian hukuman pada raja yang melawan, kok ndak tanya atau
mendengarkan laporan, atau mengirim mata mata terlebih dulu, wong disini sudah
banyak pedagang China yang sudah lama bermukin ?
PROLOG
ASAL USUL PARA PENDIRI
KERAJAAN MAJAPAHIT ATAU WILWATIKTAPURA
Saya andaikan masih jam 5
pagi sebelum Matahari terbit di Wilwatiktapura, sesudah ini jam Matahar tebit
di Wilwatiktapura, diandaikan edaran matahari siang hari dari terbit sampai
menjelang sandyakala..
Sebenarnya, supaya
mudah dibaca urutan cerita nya jadi Tempat lahir dan pendidikan Gajah
Mada. Pada tulisan berjudul Dongeng untuk cucuku, termasuk dituliskan di
bab “Dapur Istana ada ditengah hutan”
dilanjutkan dengan segala cerita mengenai wilayah antara Sidayu sampai
Probolinggo pelayaran dengan pertemuan dengan bajak laut dari Sampang
misalnya. Keadaan di perjalanan antara Probolinggo sampai pantai Pasirian
tempat pengecoran keris Majapahit yang memang hasil cor besi tuang canpuran
bubuk bijih Mangan, yang jadi pamor
berwarna hitam.
Digambarkan dngan jelas
dalam kakawin kronik perjalanan raja Hayam Wuruk keliling Wilayah Jawa Tengah
dan Jawa Timur oleh Mpu Prapanca didalam kropak "Negarakertagama"
pupuh delapan bahwa gerbang komplex keraton Majapahit disebelah utara dibuat
dari besi. ram berukir indah ( wrought iron seperti rangka kursi taman zaman
sekarang) sedangkan wrought iron ini adalah proses lanjut dari besi cor- pig
iron yang menjadi keris Majapahit.
Tempat Raden Wijaya di
didik dan hasil pendidikan raden Wijaya, disini saya masukkan pelajaran budaya
Jawa asli yang ada juga di Bali, tertulis di buku dari Bali “Kandapat Sari”himpunan
Gde Bandesa ‘K’ Tonjata.. yang menguraikan kepecayaan Jawa “ Dulur Papat Kalimo
Pancer” yang lahir bareng si jabang bayi, jadi kepercayaan sebelum Hindu,
yang anehnya di Bali kepercayaan ini memang memberi pencerahan bahwa para
dwija lmu ini dapat mengalahkan efek ilmu gaib yang putih maupun yang
hitam, maupun kutuk para Dewa Hindu asal ada pada posisi yang benar, akan ”kajanaprya”,
artinya unggul. Pada waktu itu olah guna tenaga linuwih dari sisi
mempertahankan perbuatan baik tidak dilarang oleh dotrin Hiduisme, aeperti yang
dihikayatkan dalan kitab Bhima Suci, yang di India tidak ada.
.. “Pelarian Raden Wijaya”
sebagai hasil dari penyerbuan sang Jayakatwang. “Aria
Wiraraja” , “Tumenggung bebeteng Praja” dan “Kutukan Ni Ratri” dan
“Jatuhnya Jayakatwang, Dalam naskah “Kekosongan kekuasaan di bhumi Mpu Sindok”
dan “Wilwatiktapura kota merdeka” Pengarang mengurutkan kejadiannya yang paling
mungkin terjadi., bukan yang diriwayatkan ratusan kali ya itu itu saja.
Untuk selanjutnya, Raden
Wijaya..... yang memang terdidik di Pelabuhan Japan, tertarik kepada konstruksi
perahu model Madura itu memang demikian, dan kemungkinan besar, diperhatikan
olehnya karena sering bermain perahu di bandar Japan, menggunakan perahu
bermacam macam bentuk, seperti “tembo” yang sekarang mirip kayak. Perahu
konting jawa yang berlambung rendah untuk perairan dangkal, sampai ke perahu
model Madura yang sangat dia gemari karena bila dipasang layar bisa dengan
mudah mengiris angin menyerong menentang angin dan sangat mudah berganti
haluan,cukup dari kemudi dibelakang, kalau lunasnya cukup runcing,haluannya
tidak mudah terbawa angin ke samping.
Dengan bersemangat
dipelajarinya karena kemudahan untuk bermanuver itu memang jadi ciri perahu
perang Majapahit untuk menaklukkan pantai pantai dan tepian sungai besar,
dengan dua laras meriam kecil di anjungan, sehingga dengan mudah masuk ke
padalaman sungai sungai di Sumatra maupaun di Kalimantan atau di kepuluan Riau,
dan menaklukkan kubu kubu pertahanan para penguasa kuala atau pantai dan selat.
Sehingga dalam waktu singkat Sumpah Palapa di realisasikan.
ANDALAN UTAMA TEGAKNYA KERAJAAN
MAJAPAHIT ATAU KERAJAAN WILWATIKTA PURA ADALAH DARI PENGUASAAN DAN PENGAMANAN
JALUR PELAYARAN DARI TIMUR NUSANTARA OLEH ARMADA YANG MERONNDA DENGAN PERAHU
PERANG MODEL PERAHU MADURA DIPERSENJATAI DENGAN KALANTAKA.
Diceriterakan mengenai
peleburan bijih besi dari pasir besi, Batu kapur (CaO) dan batu mangan
(MnO) maupun belerang (S) yang disini mudah didapat, selanjutnya di
lelehkan dan menghasikan “pig iron”, yang sudah ada di kebudayaan Campa/Vietman
pada zamam sebelum Masehi di kebudayaan Dong song, yang bisa diwariskan
pada zaman zaman berikutnya, yang karena kemudahan membeli besi yang sudah
jadi, kepandaian melebur besi ini jadi musnah, di pulau Jawa.
Hanya, perkembangan
peleburan bijih besi dari pasir besi memang perlu arang dari tambang di Sukadana
(Kalimantan) dalam jumlah besar untuk melelehkannya. Dikemudian hari peleburan
besi dari bijih besi jenis lain (limonit,atau laterit) dari Luwu Sulawesi
menggantikan bijih besi dari pasir besi, karena bisa mengurangi kebutuhan
arang/batu bara dan kualitas lelehannya tidak terlalu gampang patah. Mestinya
kota kota penting di Nusantara sebenarnya bukan kota “benteng”, sebabnya tidak
pernah diterangkan, mungkin karena pemeliharaan kavaleri/pasukan berkuda memang
sulit dan mahal diwilayah tropik basah ini karena penyakit, lain halnya dengan
di tepian gurun dengan iklim kering sedang seperti di China atau di
India, merupakan pinggiran gurun besar, padang rumput, memang habitat
bangsa Kuda ( genus Equus -Tarpan) Sampai sekarang di
Nusantara masih ada wabah penyakit kuda “ bolor” (Malleus) yang mematikan
secara masal sulit dikendalikan. Malah pada zaman penjajahan Belanda, ada
peraturan, bahwa bila ada kuda yang menujukkna tanda tanda menderita peyakit Maleus
atau bolor kuda, harus segera ditembak mati
supaya tidak menular. Sebab dari pentingnya pemeliharaan kuda treanspor dan
kavaleri pada zamam itu..
Jadi betapa sulit
mengumpulkan pasukan berkuda.
Menjadikan sepanjang
sejarah kerajaan kerajaan Jawa, gerakan barisan tentara infanteri secara
besar besaran selalu dapat dipantau oleh calon musuh kota kota tujuan
penyerbuan dan dapat diupayakan perlawanannya. Dibandingkan bila pengumpulan
pasukan kavaleri ini cuma pada waktu singkat, umpama lima tahun masih masuk
akal, sesudah itu jadi sangat sulit.
Relanjutnya, mengenai pelaksanaan
“sumpah Palapa” . Tidak pernah menyebut alat perang apa yang bisa memenangkan
kertempuran dijalur pelayaran dari Atas Angin ke tempat dagangan rempah rempah
dihasilkan, semua dipinggir pantai kepulauan
Nusantara, tempat tempat itu ditaklukkan dalam satu watu tidak lebih dari 40 tahun
saja Dalam cerita ini logika mengharuskan bahwa satu armada, dengan meriam
kecil sesuai dengan kain layar yang mampu mendorong perahu perang armada itu, telah
mampu menaklukkan sarang pembajak, bukan oleh pasukan infanteri bukan kavaleri yang
didaratkan untuk bertempur didarat, tapi salvo kalantaka dari pantai dan
isolasi lintas laut sangat menekan
Penguasa yang suka membajak, sangat membuat mereka kapok. Kecuali itu, armada
peronda juga membeli dengan harga pantas..... hasil apapun yang mereka
kumpulkan dari hutan, atas petunjuk dan permintaan perahu Majapahit.
Apakah salah bila saya
bayangkan, bahwa fakta sampai sekarang, konstruksi perahu Madura memang mudah
dikendalikan, baik layar maupun arah haluannya, karena konstruksi lunasnya
merupakan sabut kelapa yang tentu saja sangat mudah berputar diatas air,
ditambah dengan factor X, yaitu dipakainya kalantaka, atau rantaka atau lela di
anjungannya. Meskipun tidak ada bukti apapun secara material tentang adanya
senjata jenis tersebut yang kemudian sesudah perang penjajahan orang
Eropa memakai canon dan demi kanon, dipasang dilambung kapal kapal besar
hingga muat 40 sampai 100 cannon, menembakkan peluru lewat jendela bersusun dan
berderet di lambungnya yang tinggi, kayak parahu layarnya ”The Pirate of
Caribia” Maka istilan meriam diselundupkan kedalam bahasa Melayu kemudian
Bahasa Indonesia. Tapi anehnya meskipun nama asli senjata andalan tersebut sudah
diganti, masih ada "kata" keseharian, hidup dipakai asampai
sekarang dalan pengertian “meraja lela",
"berantakan", " luluh lantak", "meriam lantak",
"emas lantak" yang menggambarkan peleburan pencairan dan
pencetakan logam, atau besi atau perunggu atau emas. Dan kata yang
gambaran akibat dari dipakainya senjata ini, misalnya berantakan, lluluh
lantan, semua pemakai bahasa Indonesia atau bahsa Melayu tahu, apa yang
dimaksud bila orang mengatakan lela, rantaka, kalantaka tanpa menyebutkan
meriam. Kenapa nama senjata ini lambat
laun diganti dengan meriam ? Kata ini ada setelah orang Eropa berdagang
sambil menaklukkan wilayah orang Melayu dan Nusantara dengan senjata ini,
seolah olah hanya monopoli mereka, sehingga orang Melayu di Nusantara hanya mengerti
arti kata lela, rentaka, kalantaka, lantak bila dimukanya diberi tambahan
kata *meriam* Nama yang sekarang bahkan dipakai oleh bahasa Indonesi untuk
pasukan Artileri kita, entah dari kata
apa. yang jelas itu senjata mereka. Nama lain, kita tidak pernah punya, itu
tujuannya, susah payah menghapus nama asli lela dan kalantaka atau rentaka.
Bukankah ada upaya untuk
menhapus ingatan bahwa Bangsa ini pernah menggunakan senjata yang ampuh dengan
misiunya sekalian yang kita mengerti sebagai campuran antara bubuk sendawa,
bubuk arang, dan bubuk belerang dengan perbandingan tertentu yang didapat dari
resep China untuk mebuat petasan ?
Tidak heran bahwa pada
tahun l810 – 1823 seorang Pangeran dari Madura Raden Sugandi ahli sastra
Jawa dan empu membuat keris pada masa mudanya, kamudain diangkat jadi Susuhunan
Surakarta Pakubuwono ke V, menghimpun “serat Centini” satu almanac
Jawa yang komplit pada waktu itu.
Susuhunan intelek ini pasti
penasaran bila membaca catatan perjalanan zaman Raja Hayam Wuruk, raja keempat
dari Majapahit, kakawin Negarakertagama yang jelas dimiliki Kratonnya.
Menjelaskan bahwa komplex karaton Majapahit dikelilingi tembok kokoh dan
gerbang utara Kedaton itu dipasang pintu besi ram berukir indah. Beliau pasti
penasaran dari mana didapat besinya sebanyak itu?
Meneliti peninggalan
pusaka *kalantaka" kraton yang sudah rusak, sepenggal meriam kuno yang
pecah ketika dipakai perang tahun 1740, berdalih membuat keris dari pecahan
senjata itu ( waktu itu sudah dinamakan meriam), siapa tahu dasar senjata
rusak itu yang kemungkinan pehinggalan Majapahit, karena bahannya sama dengan
keris peninggalan zaman itu yang konon dibuat sengan melelehkan bijih pasir
besi dengan bubuk batu mangan , yang tentu saja bisa melengkapi perahu perahu
perang Majapahit, untuk memenangkan Sumpah Palapa Mahapatih Gajah Mada
MATAHARI TERBIT
DI WIWATIKTAPURA
MENGENAI
MAHAPATIH GAJAH MADA :
. Gajah Mada sebagai putra Brahmana memulai carriernya
sebagai negarawan, mulai dari jadi Lurah bhayangkari atau kalau sekarang
dia adalah komandan lapangan Pasukan Pengawal Kota, mungkin setingkat Kapten Pasukan
Pengawal, kota pelabuhan Majapahit yang masih sangat muda, malah yang ada
duluan adalah sebagian dari rencana kota pelabuhan sungai Wilwatiktapura, sejak
Raden Wijaya belum jadi Raja dia yang
membangun Kota ini.
Pendiri Kerajaan Majapahit, Pangeran Wijaya, melewati
waktu waktu yang sangat genting dengan melarikan diri dari serbuan mendadak
yang sangat berhasil dari kerajaan Kadiri, sehingga sang mertua Raja Kertanegara
terbunuh dan kerajaan Singhasari jatuh.
Besar kemungkinan seorang pemuda anak seorang Brahmana
gryasta (Brahmana yang membina keluarga) dari desa Modo ini. Kini
jadi kota Kecamatan Modo, yang sampai sekarang masih dengan nama yang sama,
terletak dilereng pegunungan kapur Kendeng kearah selatan kira kira
sepuluh kilometer dari kota Babat kabupten Lamongan pinggiran Bengawan
Solo. Pemuda anak Brahmana ini disebut Gajah Gombak – kebetulan melawat ke Kota
“tiban”, artinya dengan cepat ada. dan sang pemuda yang terlatih jadi ksatrya.
tertarik kepada pendiri kota Milwatiktapura,
sangat terdorong oleh semangat keperwiraannya dalam ilmu silat dan ilmu sastra
dari Wedda sebagai anak seorang Brahmana
terkemuka.
Modo desa ditengah hutan jati yang sejak dulukala
sudah ditanami tegakan kayu jati ( Tectona grandis L - teak wood)
bercampur baur dengan tegalan dan kebun, kelebihannya dari lokasi lain,
Desa Mada terletak dilereng landai menghadap ke Bengawan Solo, terpotong
potong oleh anak sungai pendek ke bengawan Solo yang lurus dan licin mengalir ke
utara sepajang lereng pendek ini, licin karena tanahnya liat, sebagai tanah
lempung dibanyak dataran rendah yang terpecah pecah bila kering berwarna abu
abu putih dan berwarna hitam dan sangat liat bila basah, bisa menyimpan air
banyak, sulit meneruskan air, merkipun mudah basah dan sangat licin. Iiat dan
licin bila basah ini sangat memudahkan menyeretan geondong jati yang besar dan
berat ke jalan air bengawan Solo...... Juga sepanjang tepiannya banyak galangan
perahu besar kecil.
Hutan selebar lebih kurang limpuluh kilometer dan sepanjang lereng utara
pegunungan Kendeng dari Pamotan (sekarang Lamongan) sampai dengan perbatasan
Rajegwesi (sekarang Bojonegoro) sebelah timur adalah hutan dengan tegakan jati yang
menjanjikan karena cukup luas, mengandung tegakan jati yang ditanam semenjak
zaman Pemerintahan Paduka Erlangga dengan lereng landai memanjang
menghadap ke bengawan Solo.
Kayu jati
adalah dagangan yang sangat dimaui oleh pembuat perahu dagang, yang berbulan
bulan menjelajah samudra, karena sangat tahan terdap air laut dan binatang
sebanga cacing laut yang mampu membuat lubang, berjuta juta lubang untuk bersarang hingga perahu itu tiba tiba ringsek ditengah pelayaran
di tengah laut. ..... Ternyata kayu kayu penguat bangun perahu besar ini bagian
bawah air sudah keropos.....Padahal bahan kayu jati sangat tidak disukai
binatang kerang yang biasa menempel erat dilambung perahu besar bagian bawah air dan cacing kaut perusak kayu yang ganas..
Seorang Brahman gryasta tinggal didesa ditengah hutan,
adalah satu yang tidak biasa.
Sebab lebih mungkin sang Pendeta gryasta ini ada
di desa desa sekitar asram di wilayah tanah pertanian berpengairan, sebagai
pengendali pembagian air, pengelola candi, asram dan bangunan suci, sebagai
pemimpin pemeliharaan sistim saluran air pengairan. Lain halnya sengan Brahmana gryasta
ini, dia adalah Adminisrtator dari tanah Perdikan bertanggung jawab untuk
memelihara ratusan sapi zebu, besar dan berponok didatangkan langsung dari
Benggala, harus dibiakkan secara murni, demi kekuatannya menyeret gelondong
jati, bukan mengepalai asyram atau mengelola dan membagi air pengairan
beberapa Kelian Subak ( di Bali Ketua pengairan tingkat desa), atau menjabat
sebagai Kelian Subak sendiri, dibawah Mpu Sedahan Agung..
Brahmana Kerajaan urusan Pengairan dan pajak
(di Bali masih ada jabatan Sedahan Agung hingga kini membawahi
semua subak pengairan disatu wilayah, lembah beberapa sungai).
Seorang Brahmana turun temurun mempunyai hak
untuk membaca Kitab Weda, dan tentu saja kitab kitab yang lain, yang
pasti bisa membaca dan menulis bahasa Jawa kuno maupun kekawin dan sloka
bahasa Sansekerta mereka mahir.
Gelondong jati yang tanpa cacat dan lurus,
makin panjang makin baik mungkin panjangnya lebih dari lima
depa hingga sepanjang masih bisa di tarik ke sungai dengan umur lebih
dari 80 tahun, jati diameternya hingga kurang lebih 70 cm, sangat
dicari oleh pembuat perahu perahu besar untuk pelayaran samudra, karena
kayu jati sangat tahan terhadap cacing laut yang merusak perahu perahu besar
pelayaran samudra membuatnya tidak aman dalam pelayaran yang makan waktu
berbulan bulan.
Gelondong jati ini sangat dibutuhkan di galangan
perahu besar disepanjang bengawan Solo, ada model dhow Persia,
perahu besar bercadik model teluk Benggala, perahu ini meskipun
besar tapi harus dipasang cadik kiri kanan karena untuk menjaga keseimbangan
perahu yang mestinya berat diatas karena bobot dari layar yang besar,
seperti yang tergambar di dinding candi Boobudur ditingkat
Rupadatu/Kamadatu.
Kala itu sudah mulai jarang dibuat karena model
mempunyai banyak kelemahan, antara lain boros kayu dan kurang laju,
layarnya lemah karena tidak mungkin dibuat lebih besar, mengingat bahan kainnya dari serat kenaf yang
berat.,
Sebagian besar model jung dari Cina,
dengan ukuran super besar karena nanti dapat dipasang layar dari sutra yang luas,
ringan dan kuat. Galangan lokal mengerjakan Model konting dari
pantai Utara Jawa, beberapa pandega dari Bugis memimpin
pembangunan perahu model pinisi dan model lombo dari Sulawesi yang labih besar
karena layarnya dari sutera yang di Sulawesi sudah dikembangkan, ada banyak
galangan perahu sepanjang tepian Bengawan Solo sampai daerah Sidayu.
Asal usul nama Gajah Mada.
Perdagangan gelondong jati untuk perahu pelayaran
samudra, merupakan penghasilan Kerajaan yang diandalkan, karena hasil
hutan yang ini adalah milik Kerajaan dan dikuasakan kepada para
Bahupatti.
Pekerjaan sulit adalah membawa gelondong
gelondong ini sampai ke sungai urat nadi pelayaran, mulai
dari mencari tegakan yang baik kualitasnya, mengeringkan dengan mengupas
kulit pokok jati, kemudian menebang dan menyeretnya ke sungai besar hingga
sepuluh kilometer atau lebih, menuruni lereng berhutan dan semak,
sungai sungai kecil, menyeret dengan tenaga sapi sapi
Zebu, sapi besar berponok didatangakan khusus dari Benggala.
Sapi sapi ini dibiakkan secara murni dan teliti
ginealogynya oleh Brahmana yang berwajib, tali temali dari kenaf (konon
nama ini dalam bahasa Parsi) nama latinnya Hibiscus canabius tanaman
serat yang dibudidayakan dirawa rawa berasal dari teluk Benggala (
sekarang Bengladesh ) dan rotan yang dipilin sebesar lengan orang
dewasa, maupun rantai rantai besi, semua disediakan di Perdikan Mada.
Setiap hari puluhan sampai ratusan orang membawa
tongkat tongkat kayu kekar dan panjang dari kayu walikukun yang padat dan
liat, sangat berguna untuk pengungkit, segala alat penggali tanah dan
pemotong kayu, juga setiap orang membawa kelewang dan mata tombak seperti
akan perang, berangkat dan pulang ke pakuwon Modo.
Mereka bekerja di hutan berhari hari,
sampai beberapa bulan, berbekal beras merah, garam kacang
kacangan dan tuak, juga dupa dan soma (candu), soma ini
sangat penting untuk membujuk para makhluk halus yang menguasai
pohon pohon besar, batu dan lubuk disungai sungai agar
tidak mengganggu perkerjaan menyarat gelondong kayu jati yang
sangat berat dan berbahaya ini.
Paling sedikit bau soma terbakar yang khas
bisa menenteramkan para pekerja dan sapi sapi zebu !
Selain itu mengandalkan hasil hutan, dedaunan,
umbi umbian dan binatang buruan kijang dan babi hutan, landak dan pelanduk,
ular sanca, madu, ulat kayu, kepompong ulat jati, larva
lebah hutan, belalang, ayam hutan cendawan bila lagi musim semua
enak dimakan, lebih lebih setelah seharian kerja berat, hanya air kadang kadang
harus dicari dari tempat yang jauh bila penyaratan gelondong jati dilakukan di
musim kemarau.
Pada musim kemarau tanah menjadi keras penyaratan
gelondong gelondong besar mengandalkan roda bantalan kayu bulat yang diatur
melintang sepanjang gelondong dan kayu bulat ini juga didukung oleh
bantalan kayu rimba semacan rel sepanjang “jalan” yang
direncanakan.
Disinilah diperlukan kecerdasan dan ketegasan mengambil
keputusan untuk menggunakan wilayah lereng pegunungan Kendeng, disini
“jalan” lurus belum tentu menjadi pilihan, sebaliknya jalan melambung
dengan pendakian ringan kadang kadang merupakan pilihan yang tepat,
disamping pertimbangan pemilihan lintasan yang tidak terlalu banyak
mengorbankan tegakan jati yang belum siap di panen, juga
menghindari arah yang akan bertemu dengan rintangan
yang sulit, yang harus diupayakan adalah mencari arah lintasan dengan lereng
yang panjang dengan sedikit rintangan dan kelokan tajam, menjadikan penyaratan
lebih “ringan”.
TERBENTUKNYA
KEPRIBADIAN GAJAH MADA
Daerah Modo dengan lereng landai sepanjang kurang
lebih sepupuh yojana ( sehabis kekuatan mata memandang orang berediri dikaki
langit) memberikan “jalur” relatip mudah untuk upaya penyeretan gelondong
gelondong yang besar dan panjang dengan berat puluhan ribu kati,
karena banyak anak sungai kecil kecil yang kelokannya tidak telalu tajam
atau kelandaian lereng yang baik hingga tepian sungai bwngawan Solo di kota Babat
( kata bahasa jawa yang artinya memotong habis.... dalam hal ini hutan jati)
Pembabatan hutan jati ini dibantu dengan adanya tanah
hitam yang liat dan licin pada musim hujan, disitulah letak pakuwon Modo,
sedangkan tegakan jati disekitar situ masih ratusan ribu batang.
Jadi mestinya tidak mengherankan bila desa Modo
merupakan sentra pemeliharaan sapi sapi besar perponok dari India sapi
Zebu yang jumlahnya ratusan, maka diperlukan seorang Administrator yang
handal untuk upaya exploitasi hutan jati ini, sekaligus memelihara kesehatan
sapi sapi khusus milik kerajaan, termasuk mengembang biakkan hewan
yang sangat berharga ini. Tentu saja tepat sekali apabila seorang
Brahmana gryasta menjadi Pandega, ayahanda pemuda Gajah Gombak, Mpu Suradharmayogi
Pemuda gempal ini menyelempangkan tali kebrahmanan
menyilang dadanya, sudah mampu merencanakan jalur penyeretan gelondong jati
besar besar, memimpin mengendalikan ratusan tenaga yang merupakan satu team
dengan puluhan sapi sapi zebu.
Perkenalan putra Mpu Suradharmayogi, sang Pandega,
dengan sosok misterius yang bekerja di galangan perahu besar jung cina di
tepian Bengawan Solo adalah wajar, ternyata kakek Bangkong
(begitulah para penghuni tepian Bengawan menjuluki kakek baik
hati ini) adalah pendekar kungfu aliran Butong ! . Sampai sekarang ada desa
dekat Babat tepian bengawan Solo yang namanya Widang, mengingatkan kita pada
nama Wu Dang atau Bu Tong satu aliran silat gi Negri Cina merupakan cabang
dari aliran silat Siau Lim.
Memang dari usia belasan tahun pemuda putra Brahmana
dari Mada ini menjadi murid kakek Bangkong. Anak laki laki tanggung
ini berlatih ilmu silat dan kungfu dengan dasar keteguhan otot ,
ketajaman naluri dan latihan pernafasan dari Butong, yang intinya
secara bertahap dan hati hati mempersiapkan seluruh fibrasi
hidup untuk beresonansi dengan energi fibrasi dari
alam dimensi yang lebih tinggi,
Melatih pernafasan, renang di Bengawan Solo bisa
sangat membantu upaya ini dengan bimbingan kakek Bamgkong. Meneguhkan
kuda kuda denga rakit yang digoyang oleh sang Guru, bersamadi memang hasil
gemblengan sebagai anak Brahmana. Dari hasil latihan ini Gajah
Gombak mampu mengirimkan suara hingga didengar sampai satu yojana.
Ciri khas kungfu alirang Butong pada tingkatan
atas adalah penajaman naluri dan harmoni seluruh otot otot badan sehingga
aliran tenaga murni dapat secara efisien mendorong gerak refleks secepat
kilat berkesimanbungan dan diluar kemampuan gerak otot orang biasa, bahkan
diatas rata rata pesilat dan akhli kungfu yang terikat pada pengolahan otot
untuk melakukan jurus jurus silat.
Inti sari umum semua aliran persilatan adalah
mempersiapkan arah tenaga pukulan maupun tangkisan dan kecepatan berkelit yang
dibebankan pada otot tertentu seperti umumnya pegangan pokok
aliran aliran persilatan.
Aliran Butong pada dasarnya tidak terikat pada jurus
jurus, hanya latihan dasar saja yang menggunakan jurus jurus umum, menjaga
titik penting tubuh sambil membalas serangan dari semua jurusan, seluruh
badan panca indra dan indra keenam dilatih secara luwes melakukan dengan
tenaga yang terkendali oleh gerakan refleks, pada kemampuan yang sudah tinggi
mampu menghantar seseorang pesilat untuk mendayagunakan resonansi dengan
fibrasi alam dimensi tinggi sehingga tenaga yang dipusatkan pada
dorongan, pukulan dapat sampai ke sasaran jauh lebih cepat dari kontak yang
sebenarnya.
Juga mampu membelokkan arah tenaga lawan yang tersalur
lewat mata pedang tajam dan mata tombak sambil secara refleks menggeser
bagian tubuh yang menjadi sasaran beberapa millimeter hingga energinya
lewat atau membuyarkan tenaga hantaman benda tumpul sebelum sampai
ke sasaran dengan keluwesan yang dibimbing oleh tenaga dalam, mendekati tenaga
adikodrati.
Begitulah, apakah kemudian Lurah Bhayangkari Majapahit
sang Gajah Mada yang ternyata tidak berhasil menyelamatkan Rajanya, tapi
mampu menggulung komplotan makar Waraha Nambi, Lembu Sora, Kalabang Kuti yang
ditakuti ini, mampu melatih dirinya hingga jadi pendekar tingkat tinggi,
sangat diliputi kabut rahasia, yang jelas sebagai seorang Brahmana, seperti
juga para Pendekar Siaulim dan Butong yang pemeluk agam Budha, taat
pada pantangan membunuh dan berkelahi.
Yang kemudian terbukti, Laksamana Armada Majapahit,
selalu menyertakan perahu perahu cepat berlambung ramping sepasang dihubungkan
dengan geladak layaknya “katamaran” digunakan khusus untuk menyelamatkan
prajurit laut yang parahu perangnya karam, baik lawan maupun kawan,
ini perintah khusus dari Rakryan Manggalayudha Gajah Mada.
Pergaulan
pemuda Gajah Gombak, anak Brahmana gryasta, Pandega penyaratan gelondong
jati dari pakuwon Modo. dengan masyarakat campuran di tepian Bengawan Solo
sangat berguna kemudian, perkenalan secara kebetulan dengan pasangan suami istri
bangsa Han dari negeri Cina.
Kemahirannya berenang pemuda Gajah Gombak telah
neyelamatkan seorang bocah yang nyaris ditelan olakan pusaran Bengawan Solo
sewaktu tembonya (perahu kecil dari sebatang kayu yang lubangi sepanjang lebih
kurang tiga depa) terbalik karena menerjang pusaran air yang cukup besar
disekitar kedhung ( lubuk ) bengawan Solo.
Pemuda dari Modo ini berenang sekuat tenaga
menggunakan gaya ikan lumba lumba sewaktu tubuhnya melesat diatas ombak olakan
layaknya ikan lumba lumba, sambil memantau dengan cepat kemana
bocah ini dihanyutkan oleh olakan yang ada sekitar seratus hasta di depannya.
Kemudian merubah jurus renangnya dengan gaya ikan hiu
meluncur tanpa suara kecipak air, bahkan tidak ada percikan air dari
gerakan jurus renang ini, hanya gerakan lengan kiri kanan secepat baling baling
jantera menandai luncuran perenang sebagai anak panah sehasta dibawah
air.
Tepat pada waktunya leher baju bocah nahas ini
di raih sebelum tubuhnya dihisap pusaran air. Sang penyelamat segera berganti
jurus berenang terlentang sambil menumpangkan kepala si bocah china ini di
dadanya sementara itu tenaga tendangan kedua kakinya yang dilandasi kemahiran
kungfu sangat kuat disertai keluwesan ikan sembilang dengan tangan kanan
mengayuh sekuat tenaga sambil mempertahankan keluwesan balalai gajah
mina, maka kedua insan ini mampu
keluar dari olakan air yang sangat berbahaya dan berenang ke pinggir
disambut dengan isakan kelegaan seorang ibu.
Pasangan keluarga cina yang juga bermukim
sementara ditepian Bengawan Solo.
Singkatnya cerita, ternyata pasangan suami istri cina
suku Han ini ahli melebur logam dari bijihnya, tembaga, timah putih dan
besi, juga logam capuran seperti kuningan, mereka sedang mencari urat
tambang batu kawi atau bijih mangan, masuk pedalaman pulau Jawa lewat bengawan
Solo.
Gajah gombak juga memperkenalkan suami istri marga Yap
ini kepada kakek Bangkong, mereka segera menjadi sahabat yang saling cocok.
Entah apa yang dilihat oleh orang marga Yap ini
sehingga mau membeberkan keahliannya melebur logam kuningan yang hampir semua
undagi sudah mahir, kepada pemuda Gajah Oling ini, terutama keahlian yang
saat itu masih langka yaitu melebur besi dan mencetataknya.
Sedangkan batu kawi (sekarang bijih Mangan yang
mengandung unsur Mn kurang lebih 50 %) digunakan untuk menghilangkan keropos
atau gelembung udara dari besi tuang dalam proses pembuatan meriam besi
tuang yang lebih kuat dan dengan kaliber yang sama lebih ringan dari
meriam kuningan atau perunggu, karena jauh lebih tipis. Sedangkan harga
perunggu lebih mahal dari besi tuang.
Kedua suami istri ini berusaha menjadi pengumpul batu
kawi untuk dikirim ke negeri China di pelabuhan Teluk Tonkin, tempat
marganya mengusahakan peleburan logam, yang saat itu berusaha mencoba membuat
usaha peleburan besi tuang
Bagaimana
pemuda Modo ini tertarik pada peleburan besi tuang, bisa dimengerti bahwa
penyaratan gelondong jati yang beratnya mencapai ratusaan ribu kati ini
memerlukan rantai rantai besi yang ditempa dari besi yang tidak keropos liat seperti
baja masa kini
Atas restu ajahanda Mpu Suradharmayogi, gajah Gombak
diizinkan ikut expedisi pencarian urat tambang batu kawi atau batu mangan
dan sekaligus belajar menuang besi cair menjadi perkakas.
Petualangan bersama keluarga Yap berjalan hampir lima
bulan, hingga musim hujan tiba, dengan tambahan bekal dana dan tenaga penyerta
duapuh pemuda kuat dan bersemangat dari Pakuwon Mada ditugaskan
mengiringi expedisi ini oleh ayahanda Mpu Muda Pandega Modo dengan restu dari Mpu Curadharmayogi..
Atas petunjuk Mpu Pandega, perjalanan berbalik ke
selatan Gunung Mahameru, dimana para Mpu pembuat keris melelehkan pasir besi
dan mencetaknya menjadi keris, jenis keris ini kemudian dikenal dengan keris
Majapahit, dari besi tuang (pig iron ) yang keras tapi getas artinya
mudah patah, dengan ciri panjang dan tebal layaknya senjata perang
brubuh, saat itu sudah dituang dicampur butiran batu kawi yang
mrupakan “pamor” berwarna hitam dan keris nampak basah, yang mampu mengurangi
sifat getas atau mudah patah ini (mungkin lebih kuat karena berkurangnya
gelembung udara). Gajah Gombak belajar karakter/huruf Cina----------------------
PEMBUATAN KALANATAKA
OLEH SAHABAT GAJAH MADA – ASISTEN
PRIBADI RADEN WIJAYA
Baru ratusan tahun kemudian dikenal pembuataan keris
dengan pamor batu meteor nickel yang berwarna perak, diperkenalkan oleh
para wali agama Islam seperti sunan Giri Prapen. sesudah Sudah pada abad
ke 15 - 16
Rupanya kepandaian ini diwarisi dari pembuat senjata
baja dari Damascus ( Damascent steel)
Pantai selatan Lamajang memang sangat ideal untuk
pengerjaan melebur pasir besi, disamping letaknya yang langsung
diatas hamparan pasir besi, angin timur yang kencang dan bertiup tanpa berhenti
dibulan bulan Ketiga hingga Kesanga, angin ini sengaja dipergunakan untuk
membantu meniupkan udara ke rongga tungku pembakaran.
Tungku peleburan yang dibuat dari gerabah tanah
liat putih beranpur pasir bintang yang lembut (sekarang kaolin dan pasir
kwarsa) mampu melebur 30 hingga 50 kati pasir besi, memang kecil.
Mulut tungku yang melebar dihadapkan ke timur
menentang angin, dan dari samping selatan dan utara ada lubang untuk pipa
“ububan” yaitu pompa untuk meniupkan udara kedalam rongga pembakaran. Bagian bawah
tungku yang lima kali lebih gendut dari bagian atas tungku tempat pasir besi
melebur, diisi dengan arang kayu walikukun,, arang kayu kosambi kayu santigi
dan arang kayu kamboja , batu bara dari Sokadana ( batu bara Kalimantan)
dan meberapa jenis kayu yang keras dari hutan pantai pegunungan kapur, dibagian
atas berisi lapisan pasir besi ditaburi bubuk batu kapur bergantian dengan
lapisan butiran batu bara dari Sokadana ( sekarang Kalimantan),
diatur berlapis lapis sampai beberapa hasta, Pasir besi akan meleleh
menjadi besi tuang beberapa puluh kati.
Pada puncak musim angin timur, semua
tungku peleburan dinyalakan dan akan menjala selama beberapa hari diiringi
dengan pujamantra dan ububan dari dua jurusan yang meniupkan udara terus
menerus siang malam sampai ratusan kati arang yang diatur dengan bijih pasir
besi dan batu kawi habis terbakar, menghasilkan cairan besi yang
nyaris tak bebusa ( rongga)
Beberapa saluran dari grabah yang berisi besi cair
dipecah diujungnya dengan hati hati disertai suara berat puja mantra,
cairan logam yang memijar mengalir kebawah di isikan dalam cetakan pasir halus
memanjang diatur diatas papan panjang, cetakan keris dengan berbagai
bentuk dan ukuran.
Tungku peleburan pasir besi yang lebih besar tidak
mungkin digunakan karena dinding tungku gerabah semacam tempayan yang
tinggi dibawahnya ada lubang besar untuk angin masuk didua sisi yang lain ada
lubang dengan leher sejengkal untuk sambungan dengan pipa ububan ( pompa) dari
dua jurusan, gerabah dari lempung putih ini sulit dbuat dan diangkut apabila
ukurannya besar.
Begitu pula makin besar harus makin tebal, sangat
sulit dibakar menjadi bejana atau tempayan untuk peleburan pasir besi.
Expedisi pertama dari rombongan kecil keluarga Yap dan
orang dari Mada sudah brhasil dengan baik. Hanya selanjutnya kelurga Yap pindah
ke hulu Sungai Brantas, mendekati urat batu kawi yang dicari cari, selanjutnya
puluhan marga Yap dan Go ikut usaha mengumpulkan batu kawi, mengirim
dengan jung jung besar dari Terung dan Ampel Denta muara sungai Brantas ke
pelabuhan di Cina selatan.
Pada satu saat nanti, waktu Gajah Mada sudah menjadi Manggalayuda
Bhayangkari Raja,
Dua belas tahun sesudah saling berpisah dengan
keluraga Yap yang kemudian tinggal di Kadiri, Suadagar logam dan undagi Yap
menemui Gajah Mada di Wilwatiktapura, singkatnya dengan bersemangat Undagi Yap
mengabarkan bahwa dia pernah ke Sokadana disana ada undagi tembikar tempayan
dari lempung putih yang mampu membuat tempayan tempayan besar yang kokoh
menggunakan tungku pembakaran naga.
Ide kedua sahabat ini sama, bagaimana bila tungku
peleburan pasir besi ini di pisah jadi tiga bagian dan di buat di Sokadana
untuk kemudian dipasang lagi di dataran yang berangin besar di Probolinggo, dan
di Kling tepi sungai Brantas, pasir besi diambil dari Lamajang,
kayu walikukun dan kayu keras sebangsa kosambi mudah didapat, sedangkan
batu kawi sudah tersedia dengan mutu yang bagus dari pegunungan kapur selatan
Kadiri
Sang Manggalayudha Gajah Mada tidak sulit mendapatkan
dukungan dari Paduka Prabhu Nata Jayanegara, terutama ibu Suri Gayatri tiga
bulan sesudah pertemuan kembali dengan Undagi Yap, tungku peleburan sudah
terpasang di dua tempat.
Sebulan sesudah tungku besar yang bisa meleburkan
duaratus kati pasir besi sudah bisa dicoba, saat itu masim kering angin keras
dari timur, berhari hari, dengan upacara dan pemercikan air suci oleh Rsi
kasyaiwan tungku peleburan dinyalakan ububan dari gulungan lempeng
tembaga sebesar pokok kelapa delapan biji terus menerus meniup tungku menimbulkan
kobaran api arang bergemuruh selama empat hari, setelah pipa tembikar dengan
hati hati di lubangi sebesan kepalan, mengalirlah cairan besi membara kuning
kemerahan kemilau ke cetakan pasir halus laras meriam dengan lubang peluru
sebesar kepalan tangan orang dewasa lubang laras ini dibuat dari tembikar dipasang
ditengah cetakan sekali tuang dua cetakan.
Undagi peleburan logam warga Yap tua telah mencoba
berkali kali melelehkan pasir besi dengan mencampurnya dengan bubuk batu kapur
dan bubuk batu kawi dengan skala kecil an dia mendapat kesimpulan bahwa
ada campuran dengan perbandingan tetentu dan ukuran butir butir bubuk batu kawi
dan bubuk batu kapur sangat menentukan mutu besi tuang, yaitu hilangnya
keropos, tidak boleh ada keropos walau sedikit, cacat pencetakan
ini sama sekali harus dihilangngkan.
Dari empat tungku peleburan yang sudah di siapkan buat
dibakar, semua sudah dengan campuran pasir besi dengan bubuk batu kawi dan
bubuk batu kapur dengan kehalusan seukuran hasil percobaan yang terbaik, hanya
tinggal berapa banyak bubuk batu kawi yang menghasilkan besi tuang paling baik,
satu diantara empat tungku harus memberi petunjuk untuk pekerjaan mencetak
meriam besi untuk dicoba menembakkan peluru yang sebenarnya.
Beberapa hari setetelah mendingin cetakan dipecah dan
dua laras meriam kalantaka menampakkan diri sempurna berwarna hitam
kecoklatan, tinggal menghaluskan permukaan laras dari dalam.
Pemeriksaan pertama
dengan pukulan palu besi, tidak ada tanda tanda laras retak atau tercetak cacat
keropos, begitu pula dengan pemeriksaan timbangan apung, setiap laras seberat
seratus limapuluh kati, panjangnya dua hasta lebih lima jari. Kelompok kecil
para undagi sangat bergembira saling merangkul dengan sang Manggalayudha Gajah
Mada, malah undagi Yap menitikkan air mata.
Jam 6 pagi Manggalayudha Gajah Mada menyadari bahwa
matahari telah menyingsing di muka bhumi Majapahit.
MATAHARU TERBIT DI WILWATIKTA PURA.
Dia membayangkan alangkah bahagia sahabat dan tuannya
Raja Majapahit yang pertama sang Krtarajasa Jayawardhana, sebab pengetahuan
beliau ketika masih menjadi sosok Pangeran pelarian di Madura, mengabdi di
Kedhaton Sumenep kepada sang Prabhu Patti Arya Wiraraja, belajar membuat
perahu dari undagi Pandega galangan perahu di pantai Camplong.
Bukan hanya memembuat, tapi juga mendalami pati sari
rancang bangun perahu khas madura, yang dijelaskan kelebihannya dan
kekurangannya kepada pengawalnya Lurah Bhayangkari Gajah Mada.
Gajah Mada memang sangat tergila gila dengan mahalela
yang dia pernah lihat di geladak jung dari pasukan Kublai Khan.
Sayangnya meriam perunggu itu sangat besar dengan
berat hampir tiga ribu kati, berapa juta kepeng tembaga diperlukan
untuk membuatnya ? Sedangkan satu kepeng tembaga bisa ditukar dengan
beras setengah beruk atau dua kepeng tembaga satu tempurung kelapa beras
!
Sekarang ditangannya laras meriam besi tuang kalantaka
dengan peluru batu dibalut timah sebesar telur angsa, bisa menembus
lambung perahu di seantero kepulauan Nusantara, asal bukan jung dari Cina atau
perahu besar bercadik dari Benggala, yang papan lambungnya tebal tebal.
Atau peluru sebesar telur angsa ini diganti dengan
petasan dibalut timah dengan sumbu yang meledakkan petasan setelah ditembakkan
tigaratus depa ?
Dia ingat semasa menjadi Tumenggung bebeteng Praja di
Tarik, Raden Wijaya bertutur bahwa beliau memperlakukan dengan baik seorang
Perwira tawanan bangsa Uighur yang bergabung di Armada Tartar beragama
Islam, karena perilakunya sopan dan Perwira ini bekerja pada bagian obat pasang,
bubuk mesiu, atau pembakar petasan. Mengerti cara membuat garam sendawa
dari kotoran kelawar dan kotoran ayam,
Perbandingan dengan campurannya bubuk arang dan bubuk
belerang. Setelah Prabhu Krtarajasa Jayanegara wafat, Perwira Uighur ini
masih mengepalai balai pembuatan petasan dan kembang api di Wilwatriktapura,
Balatentara majapahit masih sangat sedikit dan mengandalkan persenjataan yang
lazim, tombak, pedang, keris dan perisai, baju zirah (yang ini sulit sebab
harus dikerjakan dengan besi berkadar karbon dan mangan rendah untuk bisa
ditempa) tidak ada kelebihan yang lain, mengandalkan kecepatan dan
keberanian, terutama jumlah, keris Majapahit pejal keras dan panjang
layaknya pedang pendek, seperti prajurit Romawi.
Perang laut mengandalkan pedang keris dan seligi
(tombak yang dilempar), juga periuk api berisi nafta yang dilemparkan
untuk membakar tali temali dan layar.
Selebihnya perang laut sangat mengandalkan jumlah dan
keberuntungan oleh cuaca.
Prabhustri
Tribhuanatunggadewi tahu betul bahwa Manggala Bhayangkari Kerajaan, Mpu Gajah
Mada, dalam banyak hal mengetahui betul betul pemikiran Pendiri Majapahit Ra
Dyah Wijaya, yang membayangkan bagaimana seandainya Kerajaan
muda ini mengandalkan kelincahan mengubah haluan perahu perahu Madura,
digabungkan dengan meriam meriam yang dipunyai oleh jung jung Cina yang
sayangnya berat sekali terbuat dari perunggu. Sayangnya bukannya perahu
besar itu tidak bisa dibuat, kayu banyak, tapi kain layar yang sebesar itu kuat
dan ringan, wilayah ini belum bisa menghasilkan, jadi seandainya dipaksakan,
perahu besar dengan layar ini akan terlalu membebani tiang agungnya, perahu
besar ini berat diatas sehingga tidak stabil, perlu dipasang cadik, yang
kenghambat kecepatan, pemunggahan muatan dan penuruan muatan.
Dulu sang Prabhustri sering menyaksikan dan ikut
mendengarkan pembicaraan kakeknya dan mpu Mada dua orang “muda” semangatnya
yang bercita cita tinggi ini bewawan sabda sampai lupa diri, mengenai
perang laut yang mereka bayangkan berdua, seolah olah mereka hanya dua sahabat
dari mandala laut saja.
Pertemuan dan pembicaraan yang sangat kental dengan
kengetahuan dan pengalaman ini terjadi tanpa rencana disetiap ada
kesempatan ditempat yang sepi di bangku batu taman-taman istana, isyasat selalu
disampaikan kepada Wira Bhayangkari ini untu bertemu sang Baginda.
Dengan bekal dan pengetahuan seperti ini tidak
heran Manggalayudha Gajah Mada ketika dinobatkan sebagai Mahapatih pada
Pemerintahan Prabhustri Tribhuanatunggadewi, berani mengucapkan Sumpahnya yang
terkenal : “ Sumpah Palapa” yang ternyata terwujud sempurna dalam kurun
waktu kurang lebih 40 tahun.
“Lamun huwus kalah Nusantara isun hamukti palapa, amun
kalah ring Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompu, Bali, Sunda,
Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa” (*)
PADA EPILOG CERITA INI : TERBITNA BULAN SABIT DI BUMI JAWA..... DMULAI DENGAN
BELAJAR MEMBACA DAN MENULIS..... TERUTAMA MERHITUNG.
---------------------baca dan belajarlah------------------------------------------------------
Lanjutan dari dongeng ini adalah kegiatan para santri
di Garowisi
Dilanjutkan dengan gambaran pertempuran laut, angkatan
laut Majapahit,
Perang laut antara armada perahu perang “Lancang” dari
Melayu melawan armada Perahu Madura dengan dua laras “kalantaka” di haluannya,
kemudian kalantaka ini berubah ucapan menjadi “lela” saja, diwilayah
timur.
Nama baru ini bisa segera dimengerti, seperti yang
digambarkan dengan kata ungkapan “meraja lela”. Untuk mandala laut Majapahit.
Ungkapan ini mengingatkan bagaimana aksi armada perahu
Majapahit yang hanya tiga puluh perahu melawan armada yang menyemut dari perahu
perang kora kora nun dllaut Arafura.
Kelincahan merubah haluan dan kecepatan mengisi peluru
kalantaka, telah memporak perandakan kora kora yang didorong oleh layar dan
dayung ratusan prajurit, Yang tujuan utamanya menabrak dan membanjiri perahu
lawan dengan kelebihan jumlah prajurit.*)
,
DAPUR ISTANA DITENGAH HUTAN JATI
Hari ini rombongan penebang dan penyarat glondong
jati, yang terdiri dari tigapupuh orang, berangkat dari pakuwon Mada agak
siang, karena letak pohon yang dituju hanya dua belas yojana. Dalam rombongan
termasuk tiga pasang sapi zebu dan peralatannya, dan lima ekor anjing pemburu,
Kliwon Cenik dan Pon Burik ada diantara rombongan. dua orang ini tidak
diingat namanya bila tidak mempunyai kepandaian istimewa, yaitu mencari bahan
makanan ditangah hutan yang gersang, tapi kebetulan saat itu permulaan musim
penghujan. Tiga puluh orang ini berangkat dengan membawa segala peralatan
menyarat gelondong jati yang beratnya puluhan ribu kati, juga belanga dan
piranti masak dari tembaga yang mahal harganya, cukup untuk menyediakan makan
buat tiga puluh orang dan lima anjing dibagi dalam tiga kelompok. Nampaknya
tidak ada yang ngaggur bahu dan tangan mereka, bila tidak punggungnya mengusung
sesuatu alat , pundak mereka memikul sesuatu beban yang tidak kurang dari
tigapuluh kati, kecuali anjing anjing pemburu, yang mengikut tanpa tali dan
bebas beban apapun.
Rombongan ini jadi istimewa karena dipimpin sendiri
oleh Gajah Gombak, putra Mpu Curadarmayogi. Makanya si Pon Burik dan Klion
Cenik ikut dalam rombongan, Yang satu ahli menangkap segala sato wana, walang
atogo, yang satu lagi ahli mencari tumbuh tumbuhan yang bisa dimakan dan enak.
Pon Burik memikul jala dan tali temali, Klion Cenik memikul belanga tembaga
besar kecil, persis seperti orang mau jual dawet.
Segala keperluan yang lain telah disediakan oleh hutan
rimba, kecuali garam, tuak dan soma, yang sangat mahal harganya karena
didatangkan dari Atas angin, makanya dibawa hanya tiga butir masing
masing sebesar kemiri termasuk bungkusnya dari lilin tawon yang tebal, dibawa
oleh pemimpin rombongan dengan hati hati.
Rombongan berjalan masuk hutan sambil mencari untuk
masing masing tumbuhan yang sangat pahit untuk mengusir nyamuk dak pacet,
sambiloto, digosok gosokkan keseluruh tubuh mereka sambil jalan, sebentar saja
mereka sudah lenyap ke barat ditelan hutan yang baru bersemi. Waktu
matahari tinggal tiga jengkal dari ufuk barat yang juga diselimuti mendung
tipis mereka sampai dipohon jati yang dituju. Aneh dimata mereka pohon
itu istimewa, karena gelondongnya nyaris tidak bercabang dibawahnya, dan
senjakala tertimpa matahari dari barat berwarna keputih putihan, terpisah
dari latar belang hijau yang cenderung gelap, kebetulan disebelah
baratnya agak terbuka dari pohon besar, karena rupanya entah berapa puluh tahun
yang lalu pernah dirambah orang untuk berhuma. Disitu ada beberapa
puluh tegakan jati kira kira umur empat puluh tahun, dan rumpun pisang yang
porak peranda, karena habis deserbu babi hutan. Dipinggir bekas
hunian peladang huma ini ada pohon pucung yang buahnya masak dan bijinya
berceceran di tanah, yang tidak luput dari pandangan si Klion, dan tidak aneh
ditempat dia berdiri ada pokok jeruk purut selingan, si Klion memegang pokok
jeruk purut ini sambil tersenyum. Di lahan itu juga tidak sulit ditemukan
segala empon empon (rimpang obat dan bumbu (familia Singiberaceae) mulai dari
kunyit, laos, jahe puyang, ditempat yang agak terlindung masih tumbuh kencur
dsb, termasuk lombok rawit, yang tumbuh disisa bekas dapur yang masih ada sisa
abunya.
Karena lokasi itu agak terbuka, segera semua orang
meletakkan bebannya dan mulai berkerja, ada yang mendirikan pondok dengan atap
dedaunan palem hutan dan daun pisang hutan, ada jang mulai membuat api,
ada yang mencari sumber air, menurut petunjuk Gajah Gombak sang
pemimpin, agak ketimur laut sebentar ada sendang yang jernih dan segera
dua orang kesana untuk mencari air dengan membawa dua kantong kulit kambing masing
masing. Sore itu mereka makan bekal dari rumah masing masing, yang terdiri dari
nasi dilapisi daun pisang, ( rupanya sewaktu panas di ratakan di daun pisang setebal
dua buku jari, setelah agak dingin lalu digulung erat erat dikedua
ujungnya di jepit dengan penusuk bambu dikedua ujungnya, cara ini membuat
nasi awet tidak bau dan lauk seadanya kebanyakan ikan asin dan sambal,
beralaskan dedaunan, nampaknya nikmat sekali.
Kedua kawan kita sudah pergi entah kemana, yang
satu dengan anjing anjing, yang satunya lagi pergi kebawah pohon pucung, dan
berjongkok agak lama satu tempat lain, rupanya sedang mengali empon
empon, peninggalan pemukim huma itu puluhan tahun yang lalu, trus tumbuh
meliar, selama hampir empat puluh tahun. Rupanya Klion Cenik lagi beruntung,
hampir semua bumbu ada, termasuk rumput sereh!
Lain halnya si Pon, selang beberapa waktu,
sekira menjelang tengah malam dia datang dengan memikul dua ekor kijang
yang terikat kaki kakinya di pikulan, sedangkan jala-nya dia tinggal tergulung
ditengan hutan. Anjing anjing ikut meramaikan suasana. Selang beberapa
menit anjing anjing dapat bagiannya segala usus dan isi perut kedua kijang itu
dan mereka lagi berpesta duluan.
Tulang dan daging kijang segera direbus dalam ketiga
belanga tembaga, menjelang pagi api unggun sudah mati dan daging kijang
yang direbus sudah masak baru diberi bumbu oleh si Klion, rupanya bumbu rawon,
yang ditumis dengan minyak kacang !
Ternyata tidak rugi dia membawa satu buli buli
minyak kacang, untuk dipakai pada kesempatan yang baik, rupanya
kesempatan itu saat ini, kapan lagi dia menyertai Gajah Gombak. Minyak kacang
untuk menumis bumbu rawon, siiip.
Pagi pagi sekali seluruh hutan mencium bau
harumnya rawon si Klion. Membuat beberapa orang anggauta rombongan yang penakut
berdiri bulu kuduknya, hanya buyar rasa takut mereka, mengingat bahwa si
Burik kemarin malam telah mendapatkan dua kijang, tapi kok aneh mereka
berdua bisa mengolah rawon ditengan hutan ini. Tidak menyangka bawa bumbu apa
yang ditingalkan oleh penghuni huma empat puluhan tahun yang lalu, malah tumbuh
menyemak, hanya orang yang seperti Klion Ceniklan yang bisa memanfaatkan
harta karun itu.
Semua anggauta rombongan sarapan sekenyangnya.
Bila tidak ingat akan siang kapan mereka perlu makan
lagi, belum tentu seberuntung ini
Nati siang masih butuh makan lebih banyak, semua rawon
maunya disikat pagi itu juga. Rombongan penyarat gelondong jati biasa mulai
bekerja pagi pagi benar, tali temali direntang, tegakan jati yang sudah
dikeringkan selama setengah tahun dipanjat lalu diikat bagian atasnya dengan tali
lebesar lengan anak anak, menjulur kearah mana dia harus direbahkan. Sapi sapi
penyarat disiapkan dengan pasangannya, jalur lintasan yang telah direncanakan
Gajah Gombak semenjak kayu itu di kupas kulitnya untuk dekeringkan, mulai
dirintis dengan bantalan kayu rimba mumbujur Jalur lintasan, sebagian orang
membuat roda roda dari kayu bulat dipotong sedepa dengan garis tengah yang agak
sama, sekira tengah hari jalur sudah siap dua ribu depa. Beliung kapak
dan kelewang dengan sebat bekerja, menjelang tengah hari tegakan jati yang
sudah dikering setengah tahun berdebam tumbang kearah yang
ditentukan, tinggal dipotong segala cabangnya ternjata wutuh gelondong itu
lurus bisa mencapai 12 depa, panjang dan agak melengkung dengan busur
yang nyasis kentara. Bagian luar gelondong jati kira kira empat lima jari,
adalah kayu luar yang berwarna cerah, tidak ada gunanya
untuk diikutkan dalam pengolahan gelondong jati untuk
jadi balok atau papan, karena kayu “putih” masih terlalu muda,
bagian dalam berwarna tua sampai kehitaman, inilah yang menjadi dasar
bahan kayu olahan.
Dibagian luar gelondong ini dibuat banyak takik
untuk tempat tambang tambang besar diikatkan dan juga lubang lubang untuk
menancapkan kayu, mendorong dan mengarahkan gelondong disarat
sepanjang alurnya. Gelondong selalu disarankan mrenyarat gelondong
jati dengan bagian kayu yang terbawah di depan. Sang Pandega
berdiri di bagian ini tengan berpengang pada kayu yang ditancapkan pada pangkal
kayu gelondong, bila delondong agak sedikit tidak lurus tapi membentuk
lengkungan sedikit, maka bagian luar lengkungan itu di arahkan dibawah bergeseran
dengan tanah. Tali temali derentangkan dengan tiga pasang sapi benggala,
dengan rantai rantainya. Penyarat yang tigapuluh orang itu sudah membagi kerja dengan
sendirinya, ada yang membuat “rel” ada yang memasang gelondong kecil
“roda” tinggal mengungkit gelondong besar itu keatas roda. Setelah semua
paripurna, gelondong mulai ditarik sapi sapi dan didorong oleh sebagian besar
penyarat, hanya Gajah Gombak yang naik diatas gelondong berpegangan pada kayu
kemudi, kali ini dibelakang gelondong besar. Setelah semua pada
tempatnya, gelondongong mulai ditarik, terdengan bunyi lecutan cambuk
pada sapi sapi berponok dan,,,,,,,,,nampak ringan saja glondong itu bergerak
maju, disertai sorak sorai ketiga puluh orang tukang sarat dan gonggongan
anjing anjing melampiaskan kesenangan. Empat atau enam orang memindahkan
roda kayu bulat yang telah dilewati, cukup berat di angkat dua orang,
diletakkan didepan gelondong yang lagi disarat, bagitu seterusnya. Rintisan rel
dari kayu kayu rimba tiga ribu depa telah dilewati dengan selamat dan ringan,
kerena arah rintisan yang agak miring kebawah, matahari sudah tiga
perempat lengkung langit, mereka siap siap untuk beristirahat, makan siang dan
makan malam jadi satu. Memang sejak dulu kaum petani di pedesaan makan duakali
sehari, pagi pagi makan sisa kemarin malam, dan tiga perempat hari siang
mengolah hasil pengumpulan makanan sejak pagi. Kali ini klion dan Burik
tidak begitu beruntung, karena mereka hanya memperoleh ubi hutan cukup banyak,
satu landak yang kesiangan dan sebakul sarang tawon gung yang berisi
larva tawon dan sedikit madu.
Sisa
bumbu yang oleh Klion kemarin terkumpul masih banyak, hanya dipilih lengkuas,
kunyit, sekali lagi sisa minyak kacang dari desa. untungnya sekitar situ
dihutan masih banyak popon salam dia ambil dua gengggam, masih ada kedondong
hutan yang buahnya kecil kecil dan daunnya berasa asam, dia ambil daun
kuncupnya artinya secukup lengannya memeluk. Ubi mereka bakar dengan dibenamkan
di abu, sedang tiga tempayan tembaga cukup buat mereka
semua,
Lenkuas yang dipukul pipih segenggan setiap tempayan
dauh salam segenggam setiap tempayan, kunyit yang sudah
nyaris hancur karena dilindas batu, dan garam,
semua dimasukkan kedalan tempayan berisi sepertiga bakul larva tawon gung
dan daging landak, kemudian daun kedondong hutan yang masih muda, lombok
rawit wutuh llima geggam setiap tempayan dan madu yang masih bercampur baur
dengan sisa rumah lebah, seadanya, lalu didihkan sekali lagi, hasilnya sungguh
sungguh aroma yang menggugah selera ( munkin aroma daun kedondong Lombok
rawit daun salam dan serta aroma larva tawon).
Langsung masing masing orang mencedok dengan tempurng
kelapa, mengambil alas makan entah dari daun talas hutan, atau dari daum pisang
hutan dan sebangsannya untuk antri mencedok sayur larva lebah gung dengan
kuahnya, menghantar ubi hutana bakar, mereka sangat mengagumi kepandaian
si Klion, minum kuah dari wadah masing, dengan lidahnya berkecipak puas,
meskipun makan sore hanya ubi bakar dengan seekor landak dan sayur larve lebah
tawon gung untuk tiga puluh orang, dengan kuah banyak, tapi justru rasa
enak itu di bumbu dan sayurnya.
Sampai sekarang
sayur asem asem daging menjadi menu unggulan di warung makan atau restoran sepanjang
jalan utama di Bojonegoro, yang rasanya segar agak asam dan pedas.
Kembali ke dua
ribu depa penyaratan gelondong jati sudah dkerjakan dengan rapi, matahari sudah
tinggal dua jengkal dari ufuk barat, semua penyarat sudah puas makan ubi dan
asem asem daging landak ditamah larva tawon, semua puas dan mulai meyiapkan
tempat untuk tidur dengan menganyam daun daun palem, membuat gubug dari kayu
hutan dan dedaunan agar bisa menjadi tempat berteduh bila mendadak hujan turun,
sebab masa sudah memasuki musin hujan. Mereka pada minum tuak dan makan sisa
ubi, hingga akhirnya semua pada mengantuk meski matahari barusan tenggelam. Ada
yang gemar uro uro, artinya mendendangkan lagu kebetulan iramanya dandang gulo,
disambung dengan kidung yang menjadi penjaga diwaktu malam, hanya untuk
mempercepat mereka yang sudah mengantuk kepayahan dan pengaruh tuak.
Tidur datas
anyaman daun palem hutan yang digelar sembarangan diatas dedaunan yang
berjatuhan di hutan yang ternyata hangat, dedaunan bagsanya sambiloto yang sangat
pahit untuk mengusir nyamuk yang digosok rata dikulit, menjadikan para penyarat
ini tidur pulas laksana raja raja yang tidak memikirkan apa apa, seputar api
unggun.
Besok paginya, lintasan harus disiapkan agak menyerong ke
utara, meskipun mengurangi penurunan yang landai tapi penghindari rawa rawa
yang memanjang ke timur yang tidak pernah mereka ketahui dasar dan
kedalamannya.
Menjelang siang
penyaratan agak terhambat dengan rintisan yang agak menanjak, tapi apa lacur,
gelondong malah melenceng, dari rintisan yang melambung menjadi
rintisan yang lurus, menuju ka rawa rawa, yang memang tidak direncanakan. Gajah
Gombak tetap berdiri di buritan kelondong sambil berteriak memberi aba aba, apa
boleh buat, gelondong sudah terlanjur meluncur dengan perlahan meluncur
sendirinya lurus kearah rawa rawa. Sebelum meluncur cepat Gajah Gombak
neretas tali temali sapi sapi penyarat, dengan goloknya, sampil tetap berdiri
diatas delondong yang mulai cepat luncurannya.
Gajah Gombak
sendirian menjaga keseinbangan badannya diatas gelondong yang meluncur makin
cepat, diikuti oleh rombongan penyarat. Rombongan tertinggal dari kecepatan
luncuran gelondong, hanya Gajah Gombak sang pemimpin rombongan tetap berdiri
diatas gelondong dengan mempertahankan keseimbangan tubunya meloncat kedepan
kebelakang dengan ringan, rupanya member arah lucuran ke tempat yang agak
renggang dari pohon pohon besar, langsung meluntur tercebur ke rawa.
Karena daya luncur yang besar, delondong terdorong sampai ditengah rawa
dengan Gajah Gombak tetap diatasnya. Begitu rombongan penyarat sampai ditepian
rawa, Gajah Gombak berteriak, sudah turun dari gelondong berdiri ditengah rawa
dengan kedalaman air sedada.
Ternyata dasar
rawa ditengah berpasir dan agak keras, Cuma berlumpur senata kaki.
Rawa yang
membujur ke timur itu ditengah dasarnya tidak berlumpur, dan dangkal dengan
kedalaman sedada orang dewasa. Keadaan rawa seperti ini, tidak pernah
dibayangkan oleh para penyarat.
Semula
rombongan para penyarat agak takut masuk ketepian rawa, mereka membuat tongkat
dan mencoba kedalaman lupur di pinggiran, ternyata lebih dari sedepa. Apa boleh
buat, untuk memperoleh kembali gelondongnya mereka menebang pokok randu dan
pokok dadap yang ringan untuk jembatan menuju ke tengah rawa dimana Gajah Gombak
duduk digelondong yang muncul dari air sedikit saja, tanda bawa gelondong jati
kering ini berat. Akhirnya dengan pertolongan pokok randu alas yang besar rombongan
peyarat berhasil sampai ketengah rawa yang dasarnya ternyata keras.
Dengan sebat
mereka membuat jembatan dari rakit dari pohon pisang hutan, pokok randu dan
pokok dadap untuk menyelamatkan gelondongnya kalau kalau tenggelam
setelah lama tercelup diair.
Ternyata tidak,
mereka mulai menarik gerondong ketepi tapi sebatas dimana mereka bisa berjalan
diair tanpa terganggu yang makin ketepi makin dalam lumpurnya, Dengan
tegar sang Pandega memutuskan untuk mengikatkan gelondong randu sebagai
pelampung, dan menyarat diatas air dengan rombongannya, menuju ke timur.
Rawa itu
memanjang ke timur dengan dasar yang sama ditengah agak berpasir dan keras,
Gajah Gombak menuntun rombongan di depan, memilih kedalaman air se pusar dan
lumpur yang di injak tidak dalam.
Akhirnya
penyaratan di rawa mencapai sepuluh ribu depa ditempuh dengan sangat ringan,
hanya gangguan lintah lintah, yang dihadapi
Anehnya, sang Pandega,
Gajah Gombak tidak digigit lintah, kulitnya yang basah kecoklatan mengkilat
ditimpa sinar matahari, akhirnya ternyata tepian timur rawa itu sudah dekat
dengan Bengawan Solo, tinggal setengah hari penyaratan.
Menyaksikan
kejadian ini diam diam rombongan penyarat ini percaya bahwa sang Pandega
mempunyai ilmu yang tinggi, dengan meretas tali temali sebesar lengan secepat
itu, maka sapi zebu penyarat bisa diselamatkan dan cara Gajah Gombak dengan entengnya
berdiri di glondong puluhan ribu kati mengarahkan luncuran supaya tidak
menabrak pohon kayu hutan langsung meluncur ke rawa.
Untuk
seterusnya rintisan lewat tengah rawa ini dipakai oleh ratusan rombongan penyarat,
sehingga tegakan jati dibarat desa pakuwon Mada nyaris habis digantikan dengan
huma dan tanaman muda.(*)
CERITA YANG SESUNGGUHNYA DARI MATAHARI TERBIT DI
WILWATIKAPURA
PELAYARAN DARI RAJEGWESI KE PROBOLINGGO
Dari Rajeg wesi ke Sidayu perahu rombongan Pengelana
hanya menghilir sungai Bengawan Solo yang airnya mulai menyusut karena dibagian
hulu sudah jarang ada hujan lebat. Dari Sidayu baru Sungai ini bercabang cabang
yang merupakan wilayah Delta, cabang yang menuju agak keutara kebanyakan akan mendangkal
dan lebar lebar, sedang cabang yang keselatan menuju ke Manyar lurus agak sempit
tapi kedalamannya baik, hal ini terjadi karena wilayah selatan merupakan kaki
gunung kapur Pegunungan Kendeng selatan. Justru diwilayah sungai ini orang
Garowisi membuat tanggul tanggul dan terusan terusan, agar bisa menuntaskan air
payau bila surut, dan menaikkan air tawar bila pasang besar naik membendung
aliran air tawar dari bagian hulu sungai. Semula Gajah Gombak heran, ditengah
tengah rawa jauh dari mana mana kok ada orang yang menggali terusan terusan
yang Nampak dari perahu rombongan ini , apakah kurang pekerjaan ? Yang jelas
menggali terusan dan membangun tanggul dirawa rawa adalah satu pekerjaan yang
sangat berat.
Anak sungai di delta bengawan Solo ini memang mengalir
di tempat yang bisa mempertahankan ketinggian wilayah, karena di pangkal percabangannya
merupakan tanah yang terangkat naik oleh gerakan terangkat daratan selama
jutaan tahun. Disinalah air payau didorong masuk ke daratan watu pasang
naik dan mengalir kelaut waktu surut. Vegetasinya adalah khas tanah payau
berupa nipah, sebangsa palem. konon selokan selebar dua depa sepanjang
ratusan tombak ini buatan orang Sidayu dan Garowisi untuk mencetak
sawah dilahan tersebut. Selokan aneh ini amat berat pengerjaannya terutama kerena
lahan tersebut sangat berlumpur, gunanya untuk menahan air tawar bila pasang
naik, justru tanah galiannya untuk dijadikan tanggul sekalian, sungguh perbuatan
orang setengah waras. Tidak tahunya bahwa saluran saluran ini diberi pintu
ganda, agar hasil panen bisa diangkut dengan perahu tanpa mengganggu ketersediaan
air tawar. Justru fungsi pengangkutan hasil bumi yang ter cipta oleh
sistim saluran ini akan menyaingi kemampuan Wilwatiktapura dalam mengadakan
stok beras dikemudian hari.
Manjelang senja perahu sudah di Selat Madura utara
pelabuhan Garowisi, angin mati perahu masih didayung menuju agak ketimur
mendekai pulau Madura. Menjelang pagi angin melai bertiup dari barat daya, dan
perahu rombongan menggunakannya untuk berlayar ke timur. Perahu rmbongan sengaja
mendekati pulau Madura, menghindari gosong gosong lumpur di depan muara kali
Porong. Angin tetap menuju ke timur, mendekati perairan Sampang yang konon
gawat oleh para bajak laut dari Sampang. Ternyata jauh didepan perahu rombongan
pengelana ini ada dua titik yang menandakan layar dua perahu dari desa desa
sekitar Sampang melaju ke barat daya, diperkirakan haluan prahu ini akan
memotong alur pelayaran prahu rombongan. Gajah Gombak memerintahkan Pandega
maupun Jurumudi untuk tidak merubah haluan, untuk mengetahui maksud dua peerahu
ini sebenarnya. Benar juga, tidak ada perubahan arah dua perahu yang keluar
dari perairan Sampang ini, melainkan akan tepat memotong jalannya perahu
rombongan, bararti ada kemauan yang pantas dicurigai. Benar juga sesudah jarak antara
mereka tinggal limaratus tombak, nampak puluhan orang mengacung acungka
senjata, semacam arit besar panjang dan golok, mereka mengenakan baju dan celana
hitam komprang selutut, semua memakai destar cara Madura. Gajah Gombak tidak
ayal kagi, menyuruh anak buahnya dari penyaradan Mada menyiapkan dua bilah
batang bambu, diselipkan antara dua balok penguat geladak yang melintang badan
perahu miring kearah haluan perahu guna tumpuan melintingkan
loncatan
jarak jauh, setelah jarak mencapai duapuluh tombak Gajah Gombak mulai meloncat
ditas ujung dua bilah bamboo yang dipasan miring, jarak limabelas tombak,
haluan perahu rombongan darahkan persis kearah tiang pengikat layar perahu
perompak. Dengan bersenjatakan golok pendek dan cambuk panjang yang disiapkan
melilit pundak kiri dan pinggangnya, pemuda gempal ini melocat berjumpalitan
diudara, tepat pada jarak sepuluh tombak, dia mendarat persis diujung tiang pengikat
layar perahu pembajak, dengan tangan kiri meretas tali layar hingga layar
jatuh, sambil berdiri disatu kaki di ujunng tiang pengikat layar, sekaligus mengayunkan
cambuknya bercuitan diantara gerombolan pembajak dan terdengar suara mengaduh
dantara suara senjata celurit berkerontangan di geladak diantara layar yang mendadak
jatuh. Dengan berteriak murka, seorang kepala bajak yang meluncat dari
buritan loncatan yang ringan dan pesat, setinggi tiang pengikat layar sambil
mengayunkan celurit, nampak pemuda Mada ini tidak bisa menghindar hantaman
celurit yang mencuit kearah pundak kanannya kebawah. bersamaan dengan itu pemuda
Modo ini dalam sekejap sudah tertelungkup diatas diang pengikat layar, bertumpu
diatas telapak tangan kirinya yang mencekeram ujung tiang, sambil nengayunkan
cambuk panjangnya, ayunan camuk
ini sekejap mata lebih cepat dari ayunan celurit, maka apa yang terjadi, bahwa pinggang
kepala perompak terlilit cambuk panjang,
dengan gerakan ikan sili melentik, pemuda Modo menegangkan tubuhnya menggeliat diatas tiang layar, cambuk sekaligus menegang dan menarik tubuh kepala
perompak ini keatas dan meluncur menurut garis arah loncatatannya, lewat diatas
badan Cajah Gombak luncurannya diteruskan lima tombak menuju laut, arah
haluan perahu perampok. Untung waktu jatuh diair dengan deburan keras,
seandainya bukannya pinggang yang terlibat cambuk panjang tapi bila
lehernya, bisa mati dia, ternyata celuritnya jatuh waktu diayunkan,
mengenai tempat kosong tanpa tenaga. Perahu perompak yang satunya segera putar
haluan dan menuju ke daratan dengan didayung secepat cepatnya. Gajah Gombak
sudah berdiri disatu kaki lagi diatas tiang pengikat layar, sambil mengayunkan cambuk
panjangnya, menantang siapa yang mau mandi lagi. Semua perompak lebih dari dua puluh
orang mengangkat sembahnya diatas kepala, sambil mohon hidup.
Setelah perahu perompak dan perahu pengelana diikat
lambungnya satu sama lain, gerombolan perompak dan Pemimpinnya yang baru
selesai berenang digiring ke haluan sambil berjongkok. Mereka semua menyatakan
menakluk dan minta ampun pada sang pendekar.
Pemimpin perompak mengaku namanya Lora Sapuangin, dia
dan kawan kawannya sanggup menebus kesalahannya dengan mendayung perahu
pengelana sampai tujuan sebagai ganti kemurahan sang pendekar memberi mereka
hidup. Dua puluh empat pendayung telah siap dibagi dikedua sisi lambung,
sebelumnya setiap mereka diberi makan satu ketupat dan sepotong dendeng sapi
panggang, untuk menghangaatkan badan dihadiahkan sebumbung tuak untuk diminum
bergantian. Segera haluan perahu diarahkan ke tenggara dengan menggandeng
perahu perompak. Dalam sehari dijamin akan mendarat di Probolinggo dengan
kecepatan ini, kekuatan layar dibantu dengan duapuhuh empat dayung. Perompak
diampuni setelah berjanji tidak sembarangan merompak lagi, dan Lora Sapuangin
mohon untuk ikut rombongan kemana saja, dengan harapan ditambah ilmunya oleh
Gajah Gombak yang penakluknya yang kepandaiannya sangat dikagumunya. Gajah
Gombak berfikir ada baiknya membawa dia menyertai rombongan agar memudahkan
merintis jalan ke Pasirian.
Di Probolinggo, gajah Gombak sengaja membeli kerbau jantan dua ekor, disembelih
dan dendengnya dibumbui dan dikeringkan untuk dibuat tambah bekal daging,
kecuali itu dikuliti dengan potongan khusus dibelah dari sebelah punggung
sehingga bagian dari dada kebelakang wutuh, dan bulunya dibersihkan. Kulit
tidak disamak, dikeringkan dengan garam dan sejenis minyak damar akan menggumpal
dan mengeras. Kulit lembu mentah dikeringkan dan sebelum kering benar dipotong
memanjang menjadi pita dari selebar sejari hingga selebar tiga jari. Setelah
kering benar di anjam sambung menyambung menjadi tali sepanjang tiga tombak,
bagian perut menjadi tebal dan agak lentur bisa diiris menajam dari anyaman
cemeti itu. Sedangkan irisan kulit bagian punggung sangan liat dan kuat. Kulit
seekor kerbau jantan menjadi enam cambuk panjang, yang cocok untuk pertarungan.
Memang Gajah Gombak dalam perjalanan akan mengajari pemuda pilihan dari Mada
yang ikut rombongan untuk membuat cambuk panjang dan membuat senjata tempur
yang handal. Kelihatannya sang Gajah Gombak membiarkan Sapuangin mengikuti
semua proses pembuatan cemeti tempur ini. Ditangan seorang pendekar, cemeti
semacam ini bisa menjadi senjata istimewa, dan serba guna.
Dalam perjalanan ke Sadeng, Pasirian, saban sore
pereka memmbuat kemah peristahatan, dan Gajah Gombak mulai melatih tenaga dalam
para pengikutnya, dan si Sapuangin ada diantaranya.
Sebenarya latihan menghimpun tenaga dalam manusia itu
adalah cara untuk mgnhubungkan tenaga non fisik dengan tenaga fisik otot
manusia. Tentu saja otot otot hewani kecepatannya ditentukan oleh jumlan
rangsang adrenalin yang tersedia terutama otot jantung. Otot otot ini sangat
berhubungan dengan tingkat metabolisme. Di alam raya ada sumber energi yang
jauh lebih hebat dari energi metabolism. Otot manusia terlalu dikendalikan oleh
pikiran, bila perkerjaan otot orot ini sedikit dibebebaskan dari pikiran, seperti
otot kaki belalang yang menyepak, seperti otot sayap burung merpati yang
terbang menentang angin, seperti sayap lebah yang bergetar sekian ratus kali
sedetik, otot bersinergi dengan alam dan mengeluarkan tenaga yang bukan
dari metabolism saja, melainkan sinergi dengan alam sebagai angin terhadap
layar perahu . Begitu pula tenaga yang harus disalurkan lewat cemeti yang
panjangnya lebih dari tiga tombak, pesilat harus mampu membebaskan pikirannya
dari katerbatasan ujung cemeti, artinya ujung cemeti harus dialiri kemampuan
untuk bersinergi dengan alam. Cemeti yang sudah mengandung tenaga pendekar yang
memainkannya, akan kaku sebagai tombak dan sekaligus lemas sebagai tali.
Latihan meditasi membantu pesilat membebaskan ujung cemeti dari pengaruh
pikiran, jadi seharusnya dibawah pengaruh kesadaran, tapi bebas dalam
bersinergi dengan alam. Jadi meditasi yang sifatnya bukan berkonsentrasi
melainkan membebaskan dari contradiksi pikiranlah yang diupayakan.
Seminggu perjalanan darat yang tidak tergesa gesa,
melewati pemberhentian dekat dengan sumber air minum biasanya hunian dengan
sedikit penduduknya, melulu menyediakan keperluan orang beristirahat.
Lima hari perjalanan ini sungguh sangat berarti bagi
Sapuangin, karena latihan silatnya sangat menuruti satu urutan kegiatan otot
yang dinamakan jurus jurus silat. Sedangkan yang ini membebaskan otot dari
pikiran. Untung Gajah Gombak meskipun masih muda tapi mewakili sosok guru yang
sabar dan mengerti persoalah setiap muridnya. Dia menotok Sapungin dibeberapa
tempat di belakang leher, disamping badan dibawah ketiak kanan kiri, sambil
berkata inilah gerbang untuk mengalirkan tenaga dari pusar. Latihan berikutnya
Sapuangin telah merasa tenaganya tersalur sampai ujung cemeti, dia rasakan itu
dengan sangat kegirangan dan bersyukur.
Setelah sampai di pantai selatan Pesirian, diantara
rombongan rombongan para undagi dan Barahmana yang menyertai pembutan keris,
sangat mudah untuk menemukan Empu Keleng. Rombongan Mpu Keleng dari Sumenep mendirikan
perkemahan dan peleburan pasir besi ditanjung yang mampak menjorok kelaut di
arah barat tempat mereka bertanya.
Mereka bertemu dengan Mpu Keleng sendiri, seorang pria
yang berbadan lebih besar dari rata rata, telah agak bongkok, bercambang dan berjenggot
tidak teratur mentupi bagian bawah mukanya, hanya matanya yang berbinar binar
melihat cucunya yang masih dikenalinya si Sapuangin, berdiri disamping pemuda
gempal bersalwar dan dadanya menyelempang tali kebrahmanan, sambil telanjang
dada, juga mengenakan ceripu dari daun lontar. Sapu angin segera berlutut dan
meraba kaki Mpu Keleng sebagai tanda bhakti cucu kepada kakeknya, sedang Mpu
Keleng dan Gajah Gombak menangkupkan sembah didada sambil mengucap “Om swasti
astu” sebagai lazimnya tata cara Hindu.
Mpu Keleng membimbing tamunya ke wantilan sedehana
kecil semacam gazebo mereka bersila, kebetulan ada sosok anak buah Mpu
Keleng yang dipesan untuk
menjemput rombongan yang masih ada di pinggir pantai sebelah
timur. Gajah Gombak membiarkan kakek dan cucunya saling berceritamelepaskan
rindunya satu sama lain. Mpu Keleng berkata pada cucunya dengan maksud agar
gajah Gombak ikut mendengarkan. Sapuangin sangat beruntung dapat bimbingan
dari sesamanya Brahamana Gryasta dan harapannya agar pandangannya ke masa depan
tidak salah, behwa Gajah Gombak akan menjadi orang besar di tanah Nusantara,
bahwa Sapuangin sangat beruntung bila bertahan melayaninya dan berguru
kepadanya. Lantas Gajah Gombak menceriterakan tentang robongnnya yang jauh jauh
datang ke Pantai Pasirian ini yaitu untuk belajar dan menyaksikan peleburan
pasir besi, terutama mencetak secara benar
. Kartarajasa Jayawardana (1294 -1309) Raja Majapahit Pertama – Raden Wijaya
Satu bayi laki laki dilahirkan sebagai
cicit dari seorang putri yang luar biasa, Ken Dedes putri Brahmana
yang diperistri oleh dua raja berturut turut, Akuwu Tumapel dan
pendiri kerajaan Singhasari.
Ken Arok yang kemudian menjadi raja Singhasari
pertama bergelar Sri Ranggah Rajasa sang Hamurwabhumi.
Hasil perkawinan keturunan Ken Dedes dengan
Tunggul Ametung Akuwu Tumapel, pemuda Anusapati membalas dendam membunuh
sang Raja Ranggah Rajasa alias Ken Arok, mengambil haknya sebagai
Raja, kemudian dibunuh oleh saudaranya sendiri dari lain bapa , Rangga Tohjaya.
Saling balas membalas kematian berakhir karena rangga
Tohjaya mati muda, kemudian pada keturunan ketiga dari Ken Dedes saling
berdamai, membuahkan Raja Singhasari terakhir Krtanegara.
Pangeran Wijaya atau Raden Widjaya adalah rumpun
keturunan Putri Ken Dedes juga, diambil menantu oleh Raja Krtanegara Raja Singhasari,
yang tak lama kemudian mati terbunuh oleh serangan kilat Raja Kadiri Jayakatwang.
Raden Wijaya dengan istrinya dan adik adik iparnya
melarikan diri dan dikejar kejar berbulan bulan. Karena di Tuban
pun yang kerabatnya juga tidak aman menurut berita dari Tuban
Adipati Rangalawe, diberi petunjuk untuk berlindung ke pulau
Madura dibawah naungan Raja muda wilayah Madura : sang Aria Wiraraja.
Arya Wiraraja Bahupatti Sumenep dan Sang Jayakatwang
Raja kadiri :
Sebagai seorang Penguasa Wilayah pinggiran Singhasari
yang sudah berumur dan bijaksana menyadari posisinya sebagai penguasa
wilayah yang tidak penting dibawah kerajaan Singhasari. Bawahan dan
sahabat Prabu Krtanegara, juga akrab juga dengan raja raja Kadiri baik turunan
langsung Mahaprabu Erlangga, maupun yang bukan seperti Sang Jayakatwang
yang telah menjatuhkan Singhasari.
dan Prabu Kartanegara terbunuh saat penyerbuan kilat istana
Singhasari.
Konon telah tersebar luas bahwa sang Jayakatwang
menguasai banyak ilmu gaib, akhli menyilangkan kuda kuda, dengan saksama
membangun tentara berkuda yang sangat kuat, setiap prajurit berkuda diwajibkan
untuk menyatu dengan kuda kudanya yang merupakan pemberian pinjam dari sang
Raja. Prabhu Nata Jayakatwang tahu persis prajurit dari Pakuwon mana dan
mendapat “gaduhan” kuda dari keturunan kuda pilihan yang mana,
Ratusaan kuda milik kerajaan mempunyai ginealogi
yang jelas dan dipelihara oleh pemuda pemuda pilihan yang di uji bertingkat tingkat
kemudian dan dididik dengan saksama, sampai prajurit prajurit ini memilih
mati bersama kudanya dalam perang maupun dalam damai.
Tanah sawah gogolan dihadiahkan kepada setiap prajurit
berkuda, Seorang tamtama pasukan berkuda melakukan latihan perang perangan
setiap seminggu di pakuwonya, setiap bulan sekali diadakan lomba kepantasan
kuda kuda anak buahnya yang tigapuluh orang, setiap kuda perang betina yang
nenunjukkan tanda tanda telurnya masak/birahi, harus dilaporkan segera
kepada Tamtama atasannya dengan isyarat yang dikirim dengan burung merpati,
kelalaian perajurit penggaduh sering harus dibayar dengan nyawa.
Pejantan ditentukan oleh Petugas Brahmana
gryasta di kabupaten. Setiap kuda perang betina yang bunting harus masuk
istal di Pakuwon Tamtama pemimpin, lengkap dengan catatan ginealoginya.
Enam tahun tahun Jayakatwang berkuasa sudah
berani menentang Singhasari dalam hal keagamaan, misalnya Kerajaan
Kadiri mendukung prosesi pemujaan di candi kaum Waisnawa secara menyolok
dimana candi itu terletak diwilayah Singhasari.
Candi kasyaiwan di wilayah Singhasari terlantar karena
Sang Prabhu Nata Krtenegara adalah Pendeta Kepala aliran Tantra, kaum
Bhairawa, yang sering berperilaku menjijikkan.
Apapun rencana menghukum pendeta dan pengikutnya yang
berani menerima dukungan secara menyolok dari Raja jayakatwang,
selalu mentah karena ketahuan sejak semula dan selalu dihindari atau
ditangkal.
Pengiriman pasukan penghukum yang di pimpin oleh
tamtama dan prajurit pilihan Singhasari untuk menangkap komunitas
waisnawa yang masih dalam wilayah Singhasari saat itu pindah ke
daerah terpencil, selalu digagalkan dengan aneh, satu saat diserang habis
habisan oleh lebah hutan di lembah berbatu batu dekat Wlingi sehinga harus
berlarian serabutan tanpa bisa berkumpul kembali dan melanjutkan formasi penyerangan.
Apakah ini ilmu gaib dari Prabu Jayakatwang begitulah dalam hati sebagian
besar prajurit Singhasari.
Banyak Brahmana Kasyaiwan, Brahmana Waisnawa dan
pendeta Kasogatan tidak menyukai perilaku sang Psabu Krtanegara, terutama
dukungannya yang menyolok kepada kaum Bhairawa dengan cara hidup yang nyleneh,
memuaskan semua hawa nafsu, duniawi untuk mencapai kesempurnaan
mokswa.
Heran bagaimana Rakryan Tua dari Madura ini Baginda
Wiraraja dapat mengikat persahabatan dengan Kedaton Kertanegara sekaligus
dengan tokoh misterius Prabu Jayakatwang, tidak sulit dijelaskan.
Yang jelas setiap tahun, waktu Penghadapan
Agung, Arya Wiraraja selalu membawa hadiah berpeti peti guci berisi arak
obat yang konon aphrodisiac dan obat kuat yang sangat ampuh dan hanya sang Arya
dari Madura ini yang tahu cara membuat ramuan rahasia ini, peti peti ini
diterima baik dengan sorak sorai hadirin dipenghadapan agung di Singhasasi
naupun di Kadiri.
Pelarian raden Wijaya yang sangat kritis
keadaannya berbulan bulan, hanya bisa berhasil diwilayah yang “ilmu gaib”
Paduka Jayakatwang lemah, ilmu gaib ini adalah jaringan telik sandi dengan
merpati merpati terlatih dan gandek gandek ( kurir) berkuda ternyata melemah di
wilayah Trung, Pamotan, dan Janggala sendiri, karena wilayah ini mempunyai
pusat pusat perdagangan yang kuat dengan peredaran uang sangat besar.
Pelaku perdagagan adalah saudagar dari segala macam
suku dan kepercayaan, satu satunya kepercayaan bagi telik sandi adalah uang dan
emas.
Diwilayah ini banyak telik sandi dan pejabat yang bisa
dibeli, pengabdiannya hanya kepada uang dan emas saja.
Berkat kesebatan para saudagar dari Japan, dekat muara
sungai Porong yang merupakan pelabuhan besar dan kawasan pergudangan milik
kerajaan maupun milik para sudagar. Ada alasan mengapa perkumpulan
sudagar kawula Singhasari dari Japan ini bersimpati kepada
Pengeran pelarian yang mereka kenal baik, menurut berita bisik bisik dari
para bakul sinambi wara, bakul yang suka bergosip, rombongan
melarikan diri kearah utara, makanya mereka segera
mencari kontak dengan rombongan pelarian dan berusaha membimbingnya
dengan kerahasiaan dan laporan tipuan yang diumpankan kepada telik sandi
Kadiri.
Para kawula Singhasari yang pedagang ini secara
rahasia menyediakan tempat persembunyian, perahu dan kuda kuda.
Regu regu pencarian disertai dengan penunjuk jalan dan gandek gandek yang
mengetahui persis letak sarang sarang merpati komunikasi untuk secara
cepat mencari jalur pelarian yang aman untuk penunjuk jalan apabila bertemu
dengan rombongan pelarian, informasi dari lingkungan yang masih setia
kepada Singhasari, terutama bersimpati kepada sosok raden Wijaya.
Tentu saja Japan sudah dikepung dengan jaring rahasia
diatur oleh Prabu Jayakatwang sendiri.
Sebaliknya dilawan dengan jaringanan informasi yang
lebih setia dan mengakar melibatkan banyak orang karena dihati setiap orang di Japan maupun di Janggala
mereka tau siapa Raden Wijaya, segera hubungan terentang sampai
ke Tuban, Wirasabha, dan Madura.
Anehnya bantuan jaringan merpati pos bisa diperoleh
dari pedagang Islam di Garowisi (Gresik) dan Ampel Denta, meliputi
seluruh pantai utara, Madura, Jenggala, Singhasari, bahkan Kadiri.
Geng pedagang di Japan ini adalah kaun
Waysia dan Sudra yang mendapat tempat terhormat di kalangan
perdagangan Japan.
. Masa remaja
Raden Wijaya
Kawula Singhasari golongan ini mengenal raden Wijaya
sebagai Pengeran miskin dan yatim piatu dari Watu Kosek, karena saat saat
meningkat dewasa Raden Wijaya tinggal bersama dan menjadi siswa kerabatnya di
perdikan Sendang, kaki bukit Watu kosek sebelah utara, tidak jauh dari Japan.
Semasa pemuda Wijaya belajar ilmu ilmu yang berguna di Perdikan Sendang
dari Ksatria pendeta, perjaka setengah baya yang sejak puluhan tahun telah menjalankan
ikrar Brahmacarya, artinya tidak melakukan hububungan pria-wanita.
Sang Bismasadana.
Mereka, murid Ki Bismasadana ketiganya
sebaya, Raden Wijaya bersama dengan dua pemuda tanggung putra
wangsa Ksatrya rendahan dari Jenggala, orang tua mereka berhasil menjadi kaya
oleh perdagangan, hanya kaum Ksatria yang nyleneh saja yang mau terjun ke dunia
perdagangan. Pemuda tanggung anak orang kaya, Carat Seta dan Lembu Sagara, yang
kemudian selalu menemani Raden Wiajaya sang pangeran miskin, meskipun membawa
watak masing masing yang kadang kadang berlawanan.
Sedikit mengenai masa muda raden Wijaya hingga
terpilih oleh Prabhu Krtanegara menjadi menantu kerajaan, masa muda yang
mungkin bisa sedikit mengungkap juga kenapa menantu Prabhu Kertanegara
ini mendapat curahan simpati dari para sudagar dari Japan disaat yang
sangat genting ini.
Kumpulan saudagar Singhasari ini, di Japan merupakan
patembayan campur aduk dengan pandangan yang yang praktis dan telah menyerap
pengetahuan baru menyangkut pelayaran . berhitung dan kepercayaan, yang
masih dipandang rendah oleh para Dwija dan Guru dari kalangan Brahmana. Mereka
menjalankan perdangangan dengan jujur, selalu menepati janji, membina hubungan
luas tanpa memandang Kasta dan Bangsa, pergaulan ini mebuat Ksatria rendahan
dari Janggala belajar dengan cepat ilmu ilmu yang sangat berguna dari pemukim
wilayah pelabuhan Japan
Banyak pemukim dari mancanegara, dari
Gujarat, Cina, Parsi dan Arab, yang mempunyai petugas tetap untuk membeli
dagangan dari Wilayah Timur Nusantara dan menyimpan di gudang gudang mereka
menunggu armada dari Negaranya berlabuh menjemput dagangan, dan memunggah
barang barang dari mancanegara atas pesanan dan sebagai dagangan biasa.
Banyak saudagar pribumi yang telah mahir menggunakan abacus
untuk berhitung, menggunakan catatan angka dengan angka huruf Arab yang sangat
praktis daripada angka huruf Palawa, bahkan ada yang sudah mampu belajar
ilmu perbintangan untuk menentukan posisi perahu ditengah lautan, karena ada
pendatang baru yang sangat royal mengajarkannya, adalah pedagang dan
Penyiar agama Islam dari Yunan sebelah timur - laut negeri Parsi
Tiga pemuda tanggung murid sang Bismasadana, sebagai
layaknya pemuda tanggung lainnya sangat gemar mengunjungi keramaian di pelabuhan
Japan, sepanjang sungai Porong yang tanggulnya semakin lama semakin
panjang dan luas sedikit demi sedikit di timbun dengan bebatuan dan tanah liat
dari bukit bukit sekitarnya.
Ki Bismasadana, lain dari Guru umumnya zaman itu,
hidup sederhana dari hasil tanah perdikan Sendang yang tidak berapa luas,
perperilaku ramah dan suka menolong penduduk Japan yang membutuhkan, tapi
hidupnya agak tertutup dari pergaulan luas.
Sangat wanti wanti kepada muridnya supaya berpakaian
sederhana, rendah hati dan selalu menghormati orang lain dari kasta manapun,
bangsa manapun, dan lebih suka memberi dari meminta. Menjauhi tempat perjudian
dan perkelahian. Mereka bertiga berpesiar di kota Pelabuhan Japan mengenakan
seluar kain temun gedok kasar coklat tua dari rebusan kulit kayu saga,
tali pengikat seluar ini dibalut dengan kain batik penutup
pinggang sampai paha, batik kasar gaya Tanjung bhumi Madura, memakai
destar gaya pesisiran, gaya berpakain ini masih dipakai di tanah Melayu
dan pakaian adat Surabayan , kemudian kain batik penutup kolor ini dibelit
dengan sabuk kulit lembu hitam dengan timang dari besi tuang.
Raden Wijaya karena memang masih pangeran, meskipun
miskin, kain yang membalut tali celana selutut ini adalah bahan kain
batik yang sama hanya motif lukisannya lebih halus konon dlukis di
pembatikan Singhasari, mengenakan timang besi juga, hanya bercorak
garuda, dikenakan tertutup sembarangan dengan batik membalut pinggang,
mungkin untuk menyamarkan timang tersebut, karena motif garuda hanya
boleh dipakai oleh kerabat Kerajaan.
Pada umumnya di Pelabuhan Japan yang hiruk pikuk tidak
banjak orang yang peduli corak timang, apalagi timang besi, kaum Arya dan
Pejabat Kerajaan punya cara yang lebih menyolok untuk mengenakan pakaian yang
menunjukkan derajatnya.
Dua hamba yang selalu mnjadi pengasuh anak
bangsawan ini sudah lama menikmati kemerdekaan, mengerjakan apa saja yang
disukai di perdikan, bukan mengiringkan tuannya, yang lebih suka sendirian
bersama rekannya.
Kedua pemuda dari Jengggala lebih suka menonton
pertunjukan macam macam sedangkan raden Wijaya lebih suka mengunjung kenalannya
orang Gujarat tua yang gemar bermain catur, pengelola kedai teh yang ramai, dan
penginapan sederhana namun bersih, sang raden suka main catur disana dan
makin lama makin mahir saja.
Sikap yang rendah hati dan bersahaja membuat orang
suka bermain catur dengan Pengeran Miskin ini, mereka penggemar catur di
Japan menyukai langkah langkah tak terduga sang Raden dalam permainan
catur gaya dan jurus apapun, gaya pembukaan garuda nglayang yang
hati hati namun cepat menukar buah catur, gaya pembukaan
Benteng pendem yang sangat hati hati dan menghindari pertukaran buah catur terutama
perwiranya dengan tiap pengorbanan dan jurus selalu demi memenangkan kedudukan
pengepungan, gaya pembukaan emprit neba yang ruwet membuka medan tempur dimana
mana, Reden Wijaya memang bermental juara dalam catur, dari tahap
pembukaan, tahap pertengahan memenangkan posisi dan mobilitas perwira
perwira catur sehingga tahap akhir, pada tahap akhir selalu ada saja langkah
manis yang mengubah kekalahan menjadi seri, bahkan kemenangan yang
gemilang, di tahap inilah dia menjadi terkenal dikalangan penggemar catur
di pelabuhan Japan, dikalangan pedagang, saudagar, dan orang kaya
di Japan, sering mengundang bermain catur, karena sifat Pangeran Wijaya
yang tidak membeda bedakan Kasta dan asal usul bangsa, selelu rendah hati dan
sopan.
Tanpa dirasa Raden Wjaya mahir berbahasa Madura,
bahasa Cina, dan Urdhu, bahasanya pedagang Benggala, juga tentu saja
Bahasa Sansekerta, bahasa kitab Wedha.
Tahap pelajaran menguatkan bathin dari sang Guru.
Sebenarnya bukan hanya pemuda pemuda tanggung ini yang
belajar dari masyarakat perdangangan pelabuhan Japan, tapi sang Ksatria
pandita Bismasadana yang tinggal di perdikan Sendang sangat dekat
denga Japan, sudah sejak lama mendalami pemikiran pemikiran baru mengenai alam
semesta, ilmu perbintangan, dan edaran bintang dan planet, ilmu pengobatan dari
sumber selain sumber sumber formal agama Hindu dari Yajur Wedda, meditasi agama
Budha, bahkan latihan pernafasan dan pengendalian pranapun beliau perbandingkan
dengan apa yang dimengerti dan didalami oleh sumber sumber dari Cina, Parsi dan
Jawa asli.
Ki Bismasadana adalah empu pembuat gandewa panah, yang
sangat mumpuni, mencoba membuat busur atau gandewa
dari lempengan baja yang pengolahannya masih merupaka rahasia para
empu senjata, sangat tertarik pada panah api orang cina dan dia juga pemanah
yang handal, sangat menaruh perhatian kepada upaya mengatasi para bajak laut,
tanpa melatih para awak perahu dengan Ilmu imu silat yang sangat makan waktu,
sebab tidak banyak pendekar handal yang mau menjadi awak perahu.
Upayanya mempelajari pembuatan bubuk obat pasang
terpusat pada pembuatan sendawa, yang dibeberkan dengan panjang lebar kepada
Raden Wijaya disela sela pelajaran menulis dan kemudian membaca sloka sloka
epos Mahabharata yang sangat digemari.
Inilah yang sangat membekas pada pemuda tanggung
Pangeran miskin ini.
Ternyata ki Bismasadana juga mumpuni dalan catur India
dan catur Cina yang prinsipnya sangat berbeda, catur India dilakukan dengan
melenyapkan kekuatan kekuatan lawan, catur Cina melenyapkan mobilitas lawan
dengan mengusai “jalan” strategis dengan buah catur sesedikit mungkin hingga
lawan tak mampu bergerak.
Ilmu Perang yang diajarkan layaknya kepada para
ksatrya, secara tidak langsung dari mpu Bismasadana lewat papan catur.
telah dipelajari oleh mpu Bismasadana dari kitab dan penuturan para Pengembara
dari tempat tempat yang jauh, yang sengaja ditemui oleh sang Ksatria pendeta,
sesuai dengan berita dari banyak sahabatnya di Garowisi, Ampel denta, Trung dan
Japan, terkumpul menjadi catatan pribadi, dengan senang hati diturunkan semuanya
kepada sang siswa, terutama Raden Wijaya, kemungkinan besar dari tulisan Sun
Tsu.
Ilmu bela diri yang diajarkan oleh sang Ksatrya
pendeta hanya jurus jurus yang umum saja, hanya ditekankan pada penguasaan
simpul simpul jalan darah yang harus dieserang cara menyerangnya atau
melidungi titik titik penting disekujur tubuh manusia.
Ilmu Kebathinan diperkenalkan kepada siswa
adalah hal yang diluar ajaran formal Hindu dengana alirannya. Tapi Hindu Jawa yang mengenal “catur sanak”
yang lahir bersama si jabang bayi, barang siapa yang mengenal catur sanak
bersama diri pribadinya sebagai tokoh kelima, akan kajanaprya (Jawa, Bali
artinya unggul ) , unggul sebagai ksatrya menjadi tempat berlindung
makhluk yang teraniaya, Brahmana petapa dan orang tua, tetap pada dharma,
ini bisa dicapai dengan tapa berata dan Samadhi atas bimbingan sang Guru, yang
intinya upaya merambah alam diantara tidur dan jaga antara hidup dan mati yang
diupayakan dengan tapa berata dan ditutup dengan hamati geni (tidak makan dan
minum) selama sehari semalam, kemudian bersamadi setelah tengah malam pada
akhir hamati geni, siswa tidak boleh bergejolak jiwanya sedikitpun,
terkejut, bingung, takut harus dibuang jauh jauh, sesudah perasaan hilang tapi
kesadaran masih ada, keadaan semacam itu harus dipertahankan selama lungkin
dengan bantuan sang Guru, dengan pancaran instruksi bathin yang sudah bisa
diterima oleh siswa, maka ketenangan bisa berlanjut sampai fajar menyingsing,
akan didapatkan kunci pertanda apapun, kalimat, siulan, tarikan nafas, sikap
mudra telapak tangan, tulisan di udara yang kemudian dapat menjadi kunci
penghubung kembali dengan catur sanaknya sesaat di ingat dalam bhatinnya.
Pengenalan pertanda ini masing masing siswa berbededa beda, dan
masih harus dilatih pada pelajaran pelajaran berikutnya desertai berata dan
menahan hawa nafsu secara berkala, dengan pengendalian pikiran, sehingga keadaan
sambung rasa dengan catur sanaknya bisa diulang, semakin banyak latihan bersama
Guru atau dilakukan sendiri, semakin mahir mengadakan hubungan dengan
catur sanaknya. Siswa akan lulus sesudah kira kira tiga tahun berlatih secara
tetap dibawah bimbingan sang Guru. sesudah lulus, bila diperlukan
delam sekejap situasi hubungan dengan catur sanak bisa dicapai dan apapun
bantuan yang diminta bisa secepat cipta ada, apakah dalam menghadapi pertarungan,
atau menyingkir dari bahaya, melindungi diri dari serangan makhluk gaib,
menghadapi kekuatan alam yang tidak biasa catur sanak akan menugaskan Bathara
Bathari bahkan Mahadewa berkenan melaksanakan dalam sekejap, bahkan “mahawak
Kalamrcu” arinya merubah dirinya jadi raksasa yan tinggi besar.atau berubah
wujud pun mampu bila perlu, asal untuk
menghadapi lawan yang setara, asal pribadi sudah menyatu dengan kehendak
Jiwatman.
Hubungan dengan catur sanak akan lestari erat apabila
hidup bisa menurut alur dharma. Makin menyimpang dari dharma makin sulit
mendaptkan kembali rasa hubungan catur sanak, bahkan yang masuk adalah isi
Alam hitam, yang datang dengan sekejap, karena pintu terbuka sudah ditinggalkan
oleh penjaganya.
Maka pribadi akan jatuh ke jurang yang tanpa
dasar.
Begitulah gemblengan Ki Bismasadana terhadap tiga
siswanya, dua yang lain harus bersabar dan memgulang dari permulaan melakukan
tapa berate awal, menghilangkan gejolak jiwa di alam antara sampai bekali kali
gagal, toh akhirnya dinyatakan berhasil oleh sang Guru, meskipun bimbingan di
alam itu hanya peneguhan peneguhan yang “terdengar” agar tidak terlempar
kembali kealam nyata, namun belum sempat “mendapat rasa”
pertemuannya dengan catur sanak, melainkan hanya sekejap mata karena jiwanya
kembali bergejolak karena gembira, walaupun sang Guru sudah menyatakan
memadai, dan kapanpun sang Guru akan membantu mengajari mendatangkan bantuan
catur sanak masing masing dengan mantra yang pada saatnya akan diajarkan,
untuk menjaga diri yang bersifat umum.
Sebagai gantinya akan diajarkan beberapa jurus ilmu
silat yang bisa diandalkan untuk membela diri.
Sedangkan mengapa pangeran miskin Wijaya berhasil, karena
sejak kecil sudah yatim piatu dan meskipun Ibunya adalah Putri Pangeran
Singhasari tapi bapanya dalah Brahmana gryasta sah makayangan ( meningal)
karena bencana topan yang menenggelamkan Perahunya di laut antara pulau kecil
Masalembu dan Nusa Jawa di utara Madura, Ibundanya mangkat dua tahun sesudah ditinggal
sang suami.
Kakeknya Pangeran saudara tiri sang Krtanegara
sudah mangkat. Putri janda, nenek bocah ini masih mengabdi Keraton
sebagai Pengatur banten dibalai pemujaan para Pitri, dengan cucundanya dicukupi
keraton segala kebutuhannya.
Hanya Raden kecil ini karena urutan kedekatan dengan
suksesi Raja cukup jauh, urutan ke 12 maka segala apa dalam giliran permainan
maupun pelajaran dalam kelompok pengeran pangeran dan putra putri kecil krecil,
Raden ini ada di giliran akhir. Anak lelaki ini sejak dini telah terpaksa
belajar sabar dan rendah hati sampai batas yang nyaris tidak ada pada anak anak
lumrah , melainkan pada orang dewasa.
Sejak kecil Raden Wijaya telah belajar menahan diri,
tidak menunjukkan kegembiraan maupun ksusahan melainkan bersikap datar, karea
dengan dmikian dia bisa menghindarkan diri dari rasa kecewa. Ini sabda
sang nenekda yang belum waktunya, tapi entah kenapa kok
merasuk kedalam ingatan dan kesadaran anak laki laki ini.
Begitu pula mulai dari masa anak anak, sudah diperlakukan
sebagai peserta cadangan atau yang mendapat giliran paling akhir.
Disetiap pemainan panahan, anak panah dan sasaran
jumlahnya selalu lebih sedikit dari peserta yang terdiri dari putra putra pangeran
yang dibawa oleh orang tuannya ke Kedaton dalan suatu acara, anak anak ini
pasti desertai dengan para abdinya yang sangat memperhatikan dan megusahakan
dengan bersemangat agar tuan kecilnya mendapat giliran atau tempat, sedangkan
Wijaya hanya dititipkan kepada emban Gusti Ratu yang lagi tak bertugas, yang
sibuk bergosip ria dengan emban emban yang lain atau bercengkerma dengan
juru taman.
Pada gilirannya, semua pangeran kecil dan manja sudah
pada berlarian srabutan dan tidak ada yang memperhatikan bagaimana dia memanah
dan bagaimana dia meregang busur, anak panah terlalu melenceng kemana, jadi dia
dengan sabar memilih anak panah yang paling baik, memilih busur yang paling
baik dan mencoba mebidik sasaran tanpa ada penggembira yang memperhatikan, dia
mencoba menirukan pemuda pemuda bangsawan yang dilatih memanah di
kasatryan.
Karena arena sudah sepi ditinggal oleh setan setan
kecil dia bisa mendapatkan anak panah dengan mudah dan banyak bidikan yang
tepat tanpa ada yang memperhatikan, ini selalu terjadi. Keadaan
inilah yang melatih Wijaya untuk tidak telalu berharap pujian, tidak meledak
gembira, gampang mengubah alur perhatian ke hal hal lain yang
konstruktip bila gagal, menjadi kebiasaan bersikap datar.
Bisa dimengerti bahwa kebiasaan yang dihimpun sejak
masa bocah, untuk tidak mengumbar emosi, sangat membantu saat bermeditasi
sesudah hamati geni ( tidal makan dan minum selama sehari semalam)
Merembes ke alam liyep yang gawat karena kesadaran
harus lengkap tapi tidak terpengaguh oleh sensasi apapun, terkejut, khawatir,
refleks gerak seperti berubah irama nafas dan detak jantung
harus tidak bergeming terombang ambing, sesudah sang Guru berhasil
membimbing siswa melewati alam liyep, diambang alam sunya ruri,
dimana rasa menyatu atau bertemu dengan catur sanak yang sensasinya
mendadak gembira, mesra, seperti kerinduan yang terobati campur aduk, inilah
satu kejapan saat yang berbahaya, siswa samasekali harus ta’zim, berserah diri
dam meberikan puja panyambarama kepada catur sanak , sebab bagitu
terbawa oleh emosi, begitu semua lenyap, meditasinya buyar. Sebaliknya siswa
yang berhasil masuk dalam alam sunya ruri dengan selamat akan mendapat satu
kunci sandi yang “berwujud” macam macam, bisa derwujud ucap mantra,
bahkan swara saja, misalnya pemandangan wujud yang indah, bisa melihat
dirinya menguncupkan sembah dengan sikap mudra tertentu, bisa
mendengarkan sepotong irama, sepotong tulisan yang terbaca oleh
sang siswa, yang itu semua nanti bisa diulang dalam bathin, disaat
diperlukan, untuk menyambung kembali hubungan dengan catur sanak yang
menjadi sarana bantuan kepada ksatrya guna menjalankan
dharmanya.
Sang Bismasadana selau menutup wawancara mengenai
Dharma dengan kalimat Sang Karna Kuntiputra dalam bahasa Jawa saat itu:
“Tan hana Dharma mangrua” yang terucap oleh sang
Karna disaat yang sangat genting, sang Karna harus memlilih kebenaran
antara dua, berpihak kepada Pandawa sebagai yang
dimohon Ibundanya yang selam ini dirindukannya, Dewi Kunti, karena
sebenarnya Pandawa adalah para sudara saudara kandungnya, sedangkan
para Kurawa yang telah melimpahkan budhi kepada sang Karna yang baginya
besarnya tak ternilai, yaitu meneguhkan dirinya sebagai Ksatrya – saat keabsahan
derajad dirinya dipertanyakan dihadapan umum. Ibunda Kunti mendatanginya
saat kedua wangsa yang masih sepupu ini sudah bersiap akan saling
membunuh di medan perang besar dimana sang Karna merasa wajib membalas
budhi walau sampai gugur dimedan laga - arti jawaban sang
Karna kepada ibundanya adalah “tidak ada kebenaran yang mendua”, kemudian
diabadikan oleh Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma.
Selanjutnya, kepada siswa yang telah melewati tahap
pelajaran ilmu Kebhatinan Hindu Jawa setingkat ini, dua hal yang di tekankan
oleh Sang Guru, kesatu adalah mengulang kembali menyambungkan hubungan dengan
catur sanak hingga bisa dilaksanakan sekejap mata, kedua pelajaran Dharma yang
artinya disingkat dengan “kebenaran”
Pelajaran Darma bukan saja bersifat “scholastic” mebaca
dan membahas kitab kitab yang terkenal misalnya Mahabharata dan Ramayana,
Danghyang Kamahayanikan, Upanishat Wedanta dsb, tapi juga melakukan raja
yoga, untuk memperteguh pengendalian nafsu.
Masa berguru kepada sang Bismasadana tujuh tahun tanpa
dirasa, diantara latihan tapa berata dan ceramah mengenai ilmu ilmu yang lain,
Pemuda Wijaya angat tertarik kepada pembuatan perahu perahu besar, Sang
Raden banyak berkenalan dengan para undagi mpu Pandega galangan perahu,
membahas gambar rancangan lunas dan lambung perahu dan penyambungan
setiap bagian bagiannya, pembuatan dempul yang unik- dari bubuk kapur dan
minyak jarak (Recinus communis L),………. begitu sedikit minyak jarak dibandingkan
dengan bubuk kapur yang dicampurkan nyaris tak masuk akal,……. toh akhirnya
menjadi satu gumpal dempul yang kuat menahan gempuran ombak disela sela papan
papan lambung perahu dan geladak, betapa celakanya bila pada saat
gempuran ombak dempul ini mrotholi, lepas dari celah celah papan lambung atau
haluan perahu, pasti perahu akan tenggelam. Dipelajari juga pemakaian damar dari
Sokadana (Kalimantan), yang meskipun lebih sederhana tapi mudah pecah, hanya
untuk papan papan perahu kecil saja yang melayari sungai, lain halnya dngan
aspal dan pelangkin dari pulau Buton, sangat tahan air dan lemas, berguna untuk
membuat anyaman bambu kedap air. Pemilihan kayu kayu yang cocok untuk digunakan
ada kayu yang khusus untuk pasak lunas dan gading, ada kayu yang khusus unuk pasak
pasak papan lambung, ukuran ketebalan papan yang tidak sama disemua tempat dan
kegunaannya dan sebagainya. Raden Wijaya mahir menggunakan alat pertukangan kayu
untuk bangunan perahu.
Raden Wiaya muda juga hafal membuat dan
melepaskan banyak macam simpul tali temali layar dan kegunaanya dan tidak
canggung memanjat tiang agung untuk bertengger di papan peninyauan saat
mendekati pantai yang bergosong karang dan saat bertempur. Kemahiran yang
kemudian hari sngat berguna.*)
Pisowanan
sinoman Kerabat Raja Singhasari
Sinom bahasa Jawa artinya semula daun muda, kemudian sekarang
berarti daun pupus pohon asam (Tamarindus indicus L ) atau daun muda pohon asam
yang diperas ainya untuk jamu.
Pada tanggal limabelas bulan lima tahun Saka,
bukan tahun candra, sang raja berkenan supaya para muda dari wangsa
Girindra ( keturunan Ken Arok dan keturunan ken Dedes menghadap Raja untuk
diperkenalkan, karena dikalangan bangsawan jaman itu mereka saling dijodohkan,
jadi keturunan sezaman dengan raden Wijaya baik dari sisi Ibu
maupun dari sisi bapak akhirnya di puncak pasti merunut ke Ken Dedes atau
ken Arok atau keduanya, walaupun itu dari Anusapati maupun dari Tohjaya. Ini
terjadi tujuh tahun setelah pemuda tanggung Raden Wijaya berguru dan tinggal di
Perdikan desa Sendang, wilayah Watu Kosek, dekat sungai Porong menjadi
murid sang Bismasadana. Ada puluhan pemuda pemudi yang umurnya dibawah
duapulu tahunan, dan ada perjaka tua diatas duapuluh lima tahun bebarapa
orang, para putri , yang sudah kawin tidak diundang.
Peristiwa istimewa ini melanjutkan tradisi Sang
Ranggawuni dan sang Mahisa Wongateleng yang bisa saling rukun sesudah
generasi sebelumnya saling membunuh akibat kutukan Mpu Gandring.
Sabda resmi baginda Raja Kertanegara, adalah demi
kejayaan Singhasari, dharma para putri dan ksatria yang diundang
mengabdi kepada Negara, demi memulyakan para Pitri (leluhur ).
Setelah dengan khidmat mendengarkan sabda sang Kertanegara,
Mahapatih Aragani menjelaskan dalam beberapa hari sesudah acara andrawina dan
perkenalan dengan Keluaraga Kerajaan, para hadirin undangan diminta untuk membuat
karangan singkat mengenai cita citanya untuk kerajaan Singhasari,
kebisaan dan kegemaran masing masing, untuk dipersembahkan kepada Raja,
Kebanyakan undangan disertai oleh pemuda, sahabat dan Orang Bijak, baik
dari wangsa Ksatrya maupun dari Brahmana yang menguasai sastra yang
dituakan oleh keluarga masing masing, untuk menjadi Paranpara.
Pada hari yang ditetapkan masing masing undangan
secara bergilir dipersilahkan menggelar karyanya di Wantilan Dalam dengan
dihadiri oleh Sang Raja, sang Mapatih keluarga dekat Kerajaan dan para nindya
mantri.
Dalam menggelar karya tulis ini boleh dalam bentnk prosa
dibaca sebagai janturan dalam pedalangan maupun puisi
yang diikat dengan tembang, disediakan dua perngkat gamelan dan penabuh
istana untuk mengiringi tari sembah, maupun silat sembah, gending baris,
dimana banyak gendang ditabuh bila dibutuhkan. Ksatrya muda dan Putri
mempunyai hak dan kuwajiban sama kepad Rajanya dan Negaranya, oleh karena itu
gending yang dipilih juga tidak dibedakan.
Giliran pertama jatuh pada Putra Pangeraan Rakryan Singanabda,
salah satu Panglima pasuka Singhasari. Ksatrya berotot dengan tinggi badan
limajari lebih diatas rata rata prajurit pilihan, mengenakan lancingan ringkas
berwarna gelap dengan penggiran perada sulaman perak sedikit dibawah lutut
dengan belahan disamping tigajari bermotif nagapasa. Dodot ( penutup pinggang
sampai paha) kain halus batik bermotif gajah oling ringkas manun banyak
wiru/lipatan untuk keleluasaan gerak dililit sabuk kulit lembu disamak hitam dengan
timang garuda mas. Bertelanjang dada, nampak berkulit cerah dengan wajah cerah
dengan celak mata garis tebal hitam dilukis memanjang satu jari di pelipis,
berambut tebal di ikat diantas kepala sebagai gelung padat diikat ringkas
dengan tali sutra merah setebal jari. Sangat mengesankan. Degung baris ditabuh
dengan gemuruh, Ksatrya Gajah Wiromba masuk kalangan berlari menuju singgasana
dengan lutut tertekuk tajam, telapak kaki tidak terangkat layaknya
meluncur cepat limabelas depa mengikuti irama degung yang
cepat, telapak kedua tangan didada bersikap mudra, tepat tabuh berhenti Ksatrya
jatuh berlutut trus mneyembah, tanpa bunyi seolah olah lutut yang menumpu
berat seluruh tubuhnya ikut jatuh diatas bantal yang tebal menandakan dia akhli
tenaga keras sekaligus tenaga lunak dan kuda kudanya sangat kokoh.
Sang Kertanegara tersenym dan memberi tanda uutuk mulai. Karya tulis
perupa prosa, dibaca dari segulung kulit anak kambing, diiringi gending girisa
yang dibawakan dengan lirih.
Dinyatakan bahwa dia pemuda yang belum pernah
mempersembahkan jasa apa apa kepada Baginda dan Singhasari. Tetapi yakin
bahwa ketekunan Bapa Ibu dan gurunya melatih ilmu jaya kawijayan ilmu
mengerahkan tenaganya akan mampu menahan serudukan gajah mengamuk,
apalagi hanya serangan pasukan berkuda, dia dan prajurit Singhasari
membuat benteng pasukan yang kokoh bersenjatakan tombak panjang dari kayu
walikukun dan galih kayu gelam dari Sokadana, yang keras dan liat untuk
merobek perut kuda kuda gila, tenaga yang tersimpan pada sikap kuda kuda
silatnya bagai dinding batu karang yang siap melindngi Singhasari.
Semua hadirin puas dan mengumandangkan sesanti jaya
jaya Singhasari, Ksatrya muda Gajah Wiromba bersembah kililing dan undur diri.
Peserta undangan dari wangsa Girindra yang mendapat
giliran menggelar karya tulisnya adalah seorang Putri remaja, dengan perawakan
tinggi badan sedang, bekulit seperti warna temugiring, putih dengan semu yang
kuning pucat matanya cemerlang seperti mata burung merak bulat dengan pulupuk
mata tipis dan ekor mata yang memanjang, alis tipis melengkung dan bulu mata
tidak menjolok namun ditebalkan dengan celak yang serasi hidung dan bibir
serasi dan tidak besar, mengenakan pakaian para putri dari Campa.
Sang putri remaja laksana putri bangsawan dari Campa,
masuk di kalangan dengan tubuh dan leher tegak berjalan dengan diiringi
ending kinanti, tangan kiri dengan anggun dan lemas memegang tepi selendang dan
tangan kanan menganbil posisi laksana pendeta budha, dihadapan baginda
raja sang putri membungkukkan badan kemudian menyembah. Setelah baginda
memberi isyarat, sang putri mengambil kertas sempit dan agak panjang,
menempatkan kertas catatan debagai dengan posisi solah olah mnimang
bayi.
Rebab ( biola hindu ) memberi nada dasar gending
macapat dan sang putri mulai menembangkan ikatan syair yang menceriterakan
bahwa dirinya adalah warga Singhasari wangsa Grindra dari ayahanda sedang
bundanya adalah putri dari Campa. Dia mahir bahasa dan tulisan
Campa, adat dan kebudayaanya, mulai umur lima tahun diajar oleh Sastrawan
bangsa Han bahasa Cina dengan tulisannya sekalian seni sastra Cina dan adat
serta bahasa Istana Cina, dia juga mahir bahasa Tartar yang lebih sederhana,
bahasa Tartar dia pelajari dalam pelayaran ke Negara Ibundanya menumpang
jung cina beberapa awak jung yang ditumpanginya adalah orang Tartar, dia
sanggup menyumbangkan dirinya dengan kebisaannya kepada Negara Singhasari
dengan mengabdikan diri kepada baginda raja, disamping dia pernah
belajar ilmu kalawisa kepada Ni Kalaniti yang tersohor di gunung Lengis, Tuban.
Sang Raja sangat terharu berkenan bangkit dari dampar mendekati
sang putri remaja dan meletakkan tapak tangannya ke pudak sang putri dan
membimbingnya mundur. Sunyi senyap di Wantilan dalam, di sesusul dengan suara
helaan nafas banyak hadirin. Bahkan ada seorang nindya mantri tua yang
begitu terharu hingga menitikkan air mata.
Pada hari kedua hari ketiga dan keempat banyak digelar
ilmu silat dan ilmu kekebalan tubuh, Seorang Ksatrya muda akhli melatih kuda
dan melatih burung merpati pembawa berita, putra wangsa Girindra
dari Balega pulau Madura mengutarakan dengan tembang gambuh bahwa kekuatan
pasukan berkuda adalah serangan mendadak, akan tetapi bukan untuk menduduki
suatu wilayah. Maka itu diperlukan pengiriman berita ke arah Sasaran yang di
ketahui jauh lebih cepat dari larinya kuda.
Putra Ksatrya dari Balega Madura ini selesai dan
menyembah sang Prabu Kertanergara, beliau hanya mengerutkan kening sesaat,
hanya mahapatih Aragani yang meberikan pendapatnya bahwa Singhasari cukup
besar untuk melayani musuh dari sisi manapun perbatasan Negara untuk
sampai ke ibukota ”tanpa diketahui” tidaklah mungkin.
Sedangkan burung burung merpati yang ternyata bisa
menyeberangi laut Jawa kurang berarti untuk mengabarkan berita penyerangan
Persembahannya dicatat tapi kurang mendapat sambutan
dari bangsawan narapraja yang hadir karena pikir para bangsawan Narapraja
ini keahliaan melatih merpati dan kuda hanya pantas untuk kaum waisya dan
sudra saja, bukan pekerjaan Ksatrya.
Alangkah menyesalnya para Narapraja termasuk mahapatih
Aragani bila masih mengingat persembahan Ksatrya muda dari Balega ini,
karena beberapa tahun kemudian dihari yang nahas Ibukota Singhasari ditembus
dari utara secara mendadak hanya oleh beberapa ratus pasuka berkuda pilihan
oleh raja Jayakatwang dari Kediri, kuda kuda ini diangkut oleh perahu perahu yang
dihubungkan dengan geladak menghilir Sungai Brantas diturunkan di hutan
Tarik menyusuri lereng gunung Pananggungan yang banyak asram dan candi candi kaum
waisnawa dalam dua malam sudah brkumpul di jurang Baung pakuwon
Plawangan, Dari jurang Baung di Plawangan (sekarang kota Lawang) 15 yojana dari
Singhasari menjelang tengah malan dari Plawangan kuda dipacu kencang
lurus keselatan melewati jalan jalan di persawahan yang lagi bero (kering)
upet baru terbakar tujuh jari pasukan berkuda sudah masuk gerbang
kota raja langsung berpencar pada tujuan masing masing yaitu Istana
dan dalem Narapraja setelah kedaton porak peranda, istana para
Narapraja dikota raja disatroni tanpa sempat mengadakan perlawanan, bahkan
tidak sempat bersembunyi atau menakluk, semua dibantai ternasuk mahapatih
Aragani dan paduka raja Kertanegara. pasukan berkuda menghilang, Istana
terbakar hebat, dalem narapraja rata dengan tanah karena terbakar lebih cepat
tanpa dipadamkam, banyak prajurit jaga yang tembus oleh panah panah yang
ditembakkan dari kuda yang berlari kencang, sedangkan perwira perwira
pendekar yang lebih sebat menilai situasi, mendadak saja diikuti oleh “pengawal
yang memegang obor ganda mereka adalah pasukan baris pendem yang sudah
ada di Ibu kota sepekan sebelumnya untuk menandai keberdaan pendekar pendekar
yang perlu penangan khusus dari penyerbu yang sepadan kepandaiannya.
Disini di potong ke bab berikutnya.
Pengendara kuda berkepandaian tinggi langsung
menyerang sambil meloncat turun dari kuda yang
berlari kencang sebagian lain memanah sambil mengikuti kuda yang kabur
ditingalkan oleh penunggangnnya, walau berkepandaian silat yang tinggi,
diserang secara demikian jatuh juga pendekar Singhasari atau tertembus
panah atau kena sabetan kelewang rakyat digiring oleh pasukan baris
pendem untuk menjaga rumah masing masing sambil memukul kentongan jangan
sampai meninggalkan balai kampung.
Menjelang fajar semua sunyi, rakyat gemetar melihat
istana yang megah dilalap api yang masih menyala dan dan para narapraja rata
jadi abu, disana sini isak tangis rakryan ibu para emban dan selir, putra
putri kipeluk oleh para emban. Hilang semua kemegahan narapraja Singhasari yang
disaksikan oleh rakyat yang masih gemetar, fajar menyingsing dikota raja
yang dinodai dan dikalahkan.
Balatentara Singhasari aeperti ular tanpa
kepala. Telik sandi Prabhu Jayakatwang mengetahui presis siapa yang
dicari dan siapa yang sudah dibantai pada hari pertama serangan mendadak.
Selain itu bisa diurus kemudian.
Akhirnya malah sisa sisa Pemimpin Masyarakat
Singhasari mengirim utusan ke Kadiri, menyerahka kekuasaan Singhasari kepada
sang Jayakatwang tanpa perang.
Singhasari dijadika Pakuwon lagi, Akuwunya diangkat
dari Pejabat Akuwu aebelumnya.
Ini benar terjadi setelah beberapa tahun kemudian
setelah pisowanan sinoman kerabat Singhasari, yang bila dinilai dari
bobotnya sangat tidak berarti dibanding dengan kegiatan sehari hari para
Narapraja Ibukota Kerajaan*)
.
Titik balik
nasib raden Wijaya
Pada hari kelima raden Wijaya mendapat giliran pertama
menggelar tugas yang diberikan.
Karena dia hanya ditemani oleh saudara seperguruan
Gajah Segara dan Carat Seta tidak berguna mengenai ilmu sastra dan ilmu
bheksa wirama, selama lima hari dia ditemani oleh sang Nenek yang hampir tak
berdaya masih bisa mengelus kepala sang cucu yang sejak kecil menjadi yatim
piatu. Segala perasaan campur aduk, Raden Wijaya dengan sabar mengikuti
sang nenek menjalankan tugasnya dibalai pemujaan para pitri.
Waktu sang nenek menanyakan apa yang akan
digelarkan dihadapan Baginda, Raden Wijaya lantas menceriterakan apa yang
dipelajari dari Empu Bhismasadana sampai ilmu kebathinan pengenalan catur
sanak hingga dikuasainya, ilmu ilmu penting untuk membimbing perahu
ke tujuannya, ilmu perbintangan dengan edaran bulan matahari dan
rasi rasi bintang , tanda tanda alam sesuai dengan posisi rasi bintang
tertentu dilIngkup langit, membahas Dharma dari kitab kitab suci, juga bermain
catur.
Neneknda tercinta sambil berkaca kaca, matanya yang
sudah berkeriput mengguman seolah olah pada dirinya sendiri, kepandaianmu
mengerahkan catur sanak tidak bisa kau gelar dihadapan Raja, ilmu ilmu yang
diajarkan Bhisma tidak layak hanya diceriterakan karena untuk apa ? Semua itu
sangat benar dan berguna bagi seluruh manusia sesudah semua kau gengam
ditanganmu cucuku, benar sekali Bhisma mewariskannya kepadamu. Mendadak mata tua
sang nenek berbinar, apa kau tadi bicara sering bermain catur dengan
gurumu itu ? Benarkah ?
Kebetulan sang Prabu adalah pemain catur yang sangat
piawai, banyak tamu dari jauh dari manca Negara menghadap sang Prabu dengan
membawa hadiah yang barang langka dan sangat berharga hanya untuk bermain catur
dengan Baginda, seperti juga ayahmu yang sudah makayangan.
Ya cucuku bila waktunya tiba, bawalah papan catur dan
buahnya yang nenek masih simpan dibalai pemujaan para pitri seizing Baginda,
pakailah selempang kebrahmanan, tapi gelunglah rambutmu disini nenek akan
bantu mengenakan penampilan satrya pinandita.
Ajaklah baginda bermain catur dua babak, wahai murid
sang Bhismasadana!
Dia akan mengenal seluruh sosokmu luar dalam tanpa
kamu bicara dan tanpa orang lain tau, bagus sekali, nenekmu percaya mpu
Bhisma tidak sia sia mengajar kamu.
Pagi hari Soma, Raden Wijaya keluar dari salah satu
kamar disamping bale pemujaan para pitri dimana neneknya tinggal,
mengenakan alas kaki dari anyaman daun tal dan rumput rawa yang
dikeringkan, seperti yang biasa dipakai oleh kaum brahmana, salwar putih
sampai mata kaki, mengenakan kampuh sutera berwarna kuning pucat
diperkuat dengan pending perak selebar empat jari bertelanjang dada dan
mengenakan selempang tali sebagai seorang brahmana, tetapi rambutnya yang tebal
digelung padat diatas kepala diikat oleh pita hijau dengan banyak lilitan oleh
nenenda, pinggangnya nampak ramping, otot dibawah kulit tidak begitu menonjol
namun nampak seingsat tanda aliran darah seputar tubuh berjalan sangat baik,
penampilan satrya pinandita, sambil mengepit kotak kayu cendana berikut
anak caturnya, panjangnya antara sehasta inilah papan catur
dengan buahnya dari gading dan kayu hitam.
Bertemu saudara seperguruannya di halaman Wantilan
Barat menunggu dijemput untuk diantar masuk kalangan, Raden Wijaya masuk
kalangan dengan menguncupkan sembah walau berjalan biasa tapi memancarkan hawa
kuat dan nyaman seolah olah sudah sering hadir dilingkungan
yang mestinya memancarka keangkeran dan wibawa ini, sehingga tidak ada
suara apapun. Pada tempat yang ditentukan Raden Wijaya berjengket meletakkan papan
catur yang berbau cendana. yang menarik perhatian sang Raja, dengan
segera baginda mengisyaratkan supaya mulai mengelar karyanya.
Dalam keadaan berjengket dan menguncupkan sembah,
Raden Wijaya menuturkan tentang dirinya dengan suara yang lirih namun berisi
tenaga murni yang tak terukur karena hadirin seluruh wantilan
mndengar dengan jelas.
Selanjutnya dia menuturkan bahwa neneknya
yang bekerja dibalai pemujaan para pitri di istana Baginda, bahwa dia
adalah murid Mpu Bhismasadana dari perdikan Sendang di Japan, berusaha menjadi
abdi Singhasari yang berguna sebagai seharusnya anggauta wangsa Girindra. Akan
diutarakan dengan permainan catur menghadapi baginda bila berkenan.
Baginda tertegun sejenak, merasa gembira karena
teringat sebulan yang lalu, beliau bermain catur dengan brahmana Rsi Damardana,
dan mengalahkan dengan telak setelah melakukan langkah langkah pertukaran
merugi tapi empat langkah berikutnya terbukalah jalan kemenangan ternyata
beliau mampu memperhitungka segala kemungkinan empat langkah yang belum
digelar dengan segenap kemungkinannya untuk dipertimbangkan.
Jadinya Baginda sangat bersemangat
mengingat keberhasilannya – segera memerintahkan mantri
Jero dengan tertawa gembira, menyiapkan permaina catur langsung atas petunjuk
Baginda, satu meja rendah diletakkan ditengah kalangan, bginda menmerintahkan
mengambil dampar dalem untuk beliau bersantap bersama permaisuri, tempat
duduk yang lebih nyaman lebih rendah dudukannya dari dampar pisowanan
yang tinggi, menyilakan Raden Wijaya untuk menghadapi beliau sambil bersila.
Semua hadirin bisa melihat jelas papan catur
yang mulai disiapkan. Beliau sangat ingin mengukur murid mpu Bhismasadana yang
lama beliau kenal dan puluhan tahun tidak bertatap muka, baginda malah
berharap meskipun murid Mpu yang berilmu tinggi toh masih muda mestinya masih
lebih rendah dari Rsi Damardana.
Sebagai penantang Raden Wijaya memegang buah
putih yang melangkah lebih dulu, dengan cepat Baginda melakukan langkahnya,
sampai lima langkah kedepan masih pembukaan yang umum, langkah ke
enam Raden Wijaya tidak menempuh jalan yang umum tapi penyerangan dari
dua sisi dengan memindah raja selangkah kedepan. Semua hadirin menghela
nafas atas kesembronoan sang penantang yang cari penyakit, karena langkah ini mengandung
resiko tinggi pada setiap langkah berikutnya, apalagi menghadapi Prabhu
Kartanegara yang tersohor mumpuni dibidang ini.
Hening henap di pendapa dalem, Baginda duduk dengan
santai menikmati anyaman pemikirannya yang nenjangkau jauh kedepan, terus
menenerus memberi tekanan tanpa ampun kepada raja putih yang terbuka. Raden
wijaya setengah memejamkan mata dengan takzim melakukan langkah demi langkah,
dalam keheningan dengan bantuan catur sanak Raden Wijaya menembus anyaman
pemikiran Baginda, Baginda merasa ada kilatan kilatan sambung rasa antara
beliau dan lawannya, beliau segera meusatkan pikiran , lenyap rasa alam
disekitarnya yang ada adalah kilatan Tanya jawab mengenai pertarungan catur
langkah langkah yang sedang dihadapi dan lain pemikiran saling bertanya dan
saling menjawab yang sangat intense zaman sekarang dinamakan ilmu falsafah
dialektika yang menyegarkan pendapat, dan pertanyaan diutarakan diantara
langkah langkah buah catur yang semakin berat disela sela bau cendana yang
semakin terasa bagi segenap hadirin, seolah olah menandakan kehadiran
para pitri, yang nampak mereka yang saling bertempur dimedan catur tapi apa yang
mereka berdua bahas dalam saling masuk ke anyaman pemikiran masing adalah
kilatan tanya jawab mengenai hukum alam semesta keseimbangan abadi
semakin nenonjol ditandai dengan langkah berbahaya yang selalu ada jalan keluar
yang menimbulkan bahaya baru silih berganti. merupakan silih bergantinya
pertumbuhan dan perkembangan suasana alam semesta. Roda dharma dan melesatnya bhathin
manusia mebumbung transenden merambah alam atas. Kedua petarung kelihatan semakin
santai dan mereka memejamkan mata, sedang penonton terus menerus terombang
ambing diantara kelegaan dan kecemasan. Meskipun yang nampak permainan
catur ini dilakukan dengan irama yang tetap tidak melambat maupun makin cepat
tapi dalam penyatuan bathin mereka berdua ada tanya jawab dan argumen meninjau seluruh intisari kitab kitab Wedda,
Upanishad, dan Wedda kelima yaitu Mahabharata, riwayat sang suci Rama, kitab
Tripitaka dari Sang Budha, kitab danghyang Kamahanikan ajaran Sun tsu,
Sebagian dari ajaran Islam yang dibawa oleh penggembara dari Parrsi dan Yunan
semua diutarakan untuk mendukung setiap langkan jurus catur yang
dimainkan.
Jadi sebenarnya yang terjadi adalah mereka berdua
bersama mencari kebenaran semesta dan setiap langkah adalah Dharma, kebenaran
yang mandiri yang mereka cari bersama. Rwa binedha akhirnya seri.
Hadirin sampai lupa bahwa permaina babak pertama sudah
berakhir.
Permainan biasa yang tidak cepat dan tidak lambat,
dimainkan hingga tiga puluh lima jurus, begitu ghaibnya sehingga hadirin
kehilangan rasa mengenai waktu, mereka mendapatkan resonansi tergetar
jiwanya sesuai dengan tingkat tingkat pencarian masing masing, semua merasakan
kelegaan pencerahan samadi yang berhasil. Tanpa merasa hadirin
saling memegang tangan dengan teman duduk disebelahnya, gembira tanpa sebab
seperti anak anak.
Oleh karena waktu sudah habis dan peserta kedua untuk hari
itu sudah dipersiapkan, maka permainan kedua ditunda khusus sesudah
sandyakala, para hadirin diperkenankan ikut menjaksikan.
Suasana meriah tanpa sebab mengawali pagelaran peserta
undangan hari itu.
Dua dara kembar dari kadipaten Jagaraga,
cabang dari keturunan Rakryan Ranggawuni.
Segera gamelan ditabuh dengan irama degung, kedua
gadis kembar ini masuk wantilan dengan menari baris putri yang mereka ciptakan
sendiri
Dua dara kembar berkulit kuning langsat semampai
diatas rata rata putri bangsawan, dirias sempurna sebagai penari srimpi,
hanya untuk mebawakan tari baris putri ini, kain dodot yang berjuntai
sampai menyapu lantai diantara kedua mata kaki sudah ditekuk
keatas diselipkan erat dengan pending emas, menyingkap betis yang
sempurna dengan gelang kriningan emas dimata kaki kanan. Mengenakan lancingan
beledu merah tua yang pingggirnnya melingkar dibawah lutut untuk kebebasan
gerak, dengan penggir yang disongket dengan benang emas bermotif garuda. bagian
dada mengenakan lilitan kain sutra seperti penari bali
berwarna merah saga dengan songket benang emas, mengenakan destar bathik
kecoklatan untuk meringkas rambut yang panjang.
Irama dan gerak gagah mirip tari ngremo yang kini
menjadi ciri Surabaya mengawali masuknya kedua putri penari. Ditempat
yang ditentukan segeran berjengket gaya prajurit dengan satu lutut kiri
menumpu badan, kaki kanan menapak penuh menumpu paha untuk keseimbangan. Kedua
telapak tangan menguncupkan sembah sambil melantunkan syair terikat dalam
gending dandang gula. Memperkenalkan diri mereka dan menuturkan mereka sudah
lama bermukim di Ibukota Singhasari belajar menari dari umur lima tahun
bertekat untuk mempersembahkan senibudaya tari untuk Kerajaan Singhasari
sebagai gerakan yang menyehatkan jiwa raga , gending kinanti
ditutup disambung dengan irama sampak dengan kendang keras dan bleganjur.
Secepat kilat kedua penari serempak berdiri dan dodot
dturunkan\destar dilepas, kedua penari menjelma menjadi penari serimpi.
Dengan rambut yang terurai.
Sulit dirunut peristiwa menyenangkan yang saling
susul ini, Baginda Kertanegara merasa sangat gembira karena belum pernah
selama hidupnya bermain catur tanpa kesalahan dan penuh tenaga sampai akhir
walau berkesudahan seri, merasa kepalanya ringan tanpa beban karena paham
gerakan dan getaran bhuana agung, rasanya seperti Bhatara Mahadewa yang
lagi menari untuk menciptakan dunia seisinya.
Kedua penari putri kembar Mahisa Andini dan Mahisa
Anindita mendapat sambutan yang meriah dari para hadirin, Baginda lanjutkan kegembiraannya
dengan mengundang hadirin bersantap andrawina secara mendadak
dihalaman taman dalam Istana Singhasari, membuat abdi istana dan
tumenggung rumah tangga istana bertindak sigap, dan para abdi
kedathon kalang kabut. Puluhan prajurit diutus menangkap ikan
tambera dan ikan gurami dikolam besar diluar siti hinggil, menangkap
semua babi dan kambing muda punya penduduk Mager sari ditukar dengan uang
perak kedathon, sekejap terkumpul bahan untuk babi gulig dan
kambing guling bebek dan ikan gurami semua dipanggang di bara api arang
bathok/tempurung kelapa dari dapur istana dialasi daun pisang dan piring
piring besar dari Cina, entah kenapa pohon magga di pinggir balai
pemujaan para pitri nampak berbuah ranum dan lebat pada hari itu,
apakah dihari hari lain tidak diperhatikan ?. Tanpa dirasa semua hidangan sudah
tersedia tidak termasuk tuak dan brem, buah mangga dan jambu dharsana masak
ranum halaman istana, nasi beras merah yang harum sudah teesedia di beber di
nampan nampan besar dari perak sambil dikipasi para abdi supaya mendingin.
Sambal puluhan cobek batu di lembutkan oleh para abdi
ditempat menjadikan suasasana sangat meriah, semua bersantap andrawina dengan
lauk yang sederhana manun nikmat luar biasa, karena hampir tidak pernah baginda
Krtanegara begitu santai dan tanpa beban, sehingga mempengaruhi seluruh istana
dihari itu. Mungkin para pitri brkenan membantu mnciptakan makanan dan suasana
senikmat ini dalam sekejap, tanpa direncanakan. Para penabuh gamelan, pengikut
dan pendamping pemuda pemudi bangsawan sinoman yang diundang berkumpul
diseputar wantilan, semua mendapatkan makanan lorodan ( sisa makanan ) dari
santap handrawina dadakan baginda Raja dan para nayaka narapraja,
Pemaisuri dan para putra putri raja yang sudah dewasa, peserta sinoman wangsa
Girindra putra putri, pendamping dan pengikut mendapat samtapan dengan tertib
dan bebas, tak habis habis sampai para penabuh gamelanpun mendapat lorodan
dengan sangat bersyukur, bahkan mereka hanya makan sedikit yang penting akan
dibawa pulang konon makanan lorodan santapan raja pada hari itu adalah hadiah
para Dewa bertuah untuk azimat rumah tangga mereka.
Para pemuda pemudi sinoman merupaka kelompok yang
istimewa kerena putra putri Baginda dan putra putri para Nindya Mantri
bercengkrema dengan bebas diluar kebiasaan etiquet istana yang ketat saling
mempersilahkan makan saling melayani dan minun makan sangat sederhana, kelapa
muda yang baru dipangkas langsung, nasi merah dan panggang daging di beralaskan
daun pisang sambal mentah terasi layaknya petani makan di dangau bukan andrawina
kerajaan. Sungguh peristiwa yang luar biasa. Para emban tua pengirng putri kedaton
entah kenapa pada saat itu seperti kena sihir mebiarkan asuhannya lepas dari
tatacara istana dan makan sirih sambil melamun berbisik satu sama lain tesenyum
dan menerawang mengingat masa muda mereka. Sesudah sepenggalan dupa tebakar
habis, Baginda berkenan mundur ke pakuwon dalem dan andrawina
dadakan yang meriah dan aneh ini ditutup.
Para emban putra putri raja terhenyak dan bergegas
membimbing asuhannya masuk pintu pagar tembok rendah yang dirupakan candi
bentar gapura yang sempit. Segera hadirin para muda mudi sinoman
kerajaan ingat diri berjengket menyembah dibalas sembah sambil sedikit meneku
lutut dan ucapan trima kasih atas keramahan mereka sambil yesenyum, ada empat
putri kerajaan dan dua putra pemuda tanggung, yang sudah tinggal di sayap
kseatryan kedaton Singhasari. Belasan sinoman kerajaan diiringi Paranpara dan
pembantu pagelararan yang jumlahnya empat kali lipat dan masih ada yang
menunggu diluar pintu kedaton dalam. Raden Wijaya pamit kepada dua teman seperguruannya
yang setia menemaninya, pamit untuk mengembalikan papan catur
kepada sang nenek yang menunggu di satu pavilion mungil di sebelah balai
pemujaan para pitri dalam puri Singhasari.*)
Titik balik nasib Raden Wijaya – Pertarungan diatas papan catur babak kedua
Telah masuk senja, matahari di ufuk barat tersembunya
dibali pepohonan yang tinggi dluar kedathon, tinggal sinar cerah yang
berwarna kuning muda memenuhi udara dan langit, candik ayu. Semua penghuni Kota
Raja Singhasari pada bercengkerma diluar rumah, anak anak berteriak, menjerit
berlari lari, gadis gadis sudah bersolek, mebicarakan keajaiban di kerataton,
yang beritanya sudah tersebar dimana mana. Gamelan di Banyak Pura ditabuh sengan
irama gembira, menambah semaraknya suasana.
Raden Wijaya, sudah keluar dari komplek rumah pemujaan
para pitri, sambil mengepit papan catur, dia merasa segar, setelah minum
teh wangi ditemani manisan waluh bligo a’la China, dari pavilion
Nenenda.
Nampakya penonton bertambah banyak, sampai wantilan
Barat yang serupa doyo untuk bermain silat penuh sesak, ditambah dengan
rombongan para Brahmana Rsi, yang diundang secara langsung untuk hadir
oleh Seribaginda.
Sekarang arena dibuat khusus untuk permainan catur,
dengan penonton hadirin mengelilingi satu meja rendah dan dampar dalem serta
permadani untuk bersila lawan beliau.
Bila sang Raden tadi siang bertelanjang dada dan
mengenakan selempang kabrahman, kali ini selempang dan bagian atas badan
ditutup oleh semacam rompi berwarna gelap, pemberian nenenda, rupanya nenek ini
masih menyimpan milik suaminya yang makayangan puluhan tahun yang lalu. Rompi
ini secara kebetulah pas singsat menutupi dadanya yang bidang, memang
tidak berlengan dan dikancingkan untuk penahan dingin, terbuat dari bulu biri
biri dari china, yang dipintal sebagai kain, meski tidak tebal rompi akan
tetapi hangat bila cuaca dingin dan tidak gerah bila cuaca panas.
Penuh sesak wantilan doyo, penonton putri tidak
ada, para Brahmana kasyaiwan ada dibelakang dampar Raja, tenang bersila.
Hadirin banyak yang mengenakan baju berlengan panjang a’la China, kebanyakan
berwarna coklat muda dan putih, seolah olah nenghadiri upacara keagamaan yang
penting.
Hadirin beringsut memberi jalan Raden Wijaya ke
tempat yang disediakan lewat jalan setapak lurus ke meja rendah ditengah
doyo, sambil mebungkuk dia berjalan hati hati sambil nguncupka sembah, dan
mengucapkan sasanti kepada hadirin lirih, tapi semua mendengar.
Selelah beberapa lama bersila sambil mengatur buah
catur, baginda datang diiringi oleh dua putra perjaka lancur, dan empat
putri remaja, rupanya Raja telah memutuskan sesuatu yang penting untuk putra
putrinya, kenapa mereka diminta oleh sang Raja untuk turut menyertainya diluar
kebiasaan.
Putra putri ini datang dengan berpakaian sederhana
layaknya akan menghadiri upacara di pura istana. Semua dipersilahkan duduk
ditempat yang disediakan dibelakang sang Raja, yang mengenakan baju dan
dodot didominasi warna putih, gelung Baginda diikat dibawah kain penutup
kepala dipererat oleh mahkota emas layaknya tutup kepala cara Arab.( egal )
Wijaya bersembah mengucupkan tangan diatas
kepala dibawah hidung dan didada dengan takzim. Dibalas oleh Raja dengan mengembangkan
telapak tangan.
Sang Prabhu Kertanegara membuka buah catur dengan
permainan Raja Hindustan, tiga bidak berbaris kedepan dua langkah, Raden Wjaya
meladeni dengan tekun pembukaan Raja Hindustan yang agresive, Raden Wijaya
menjaga penukaran perwira harus disertai pengorbanan yang berat. akhirnya
dengan penuh percaya diri Baginda memberika pengorbanan yang beliau
pertimbangkan paling kecil.
Sekali lagi ada kilatan saling tanya dan saling jawab
mengenai dharma, mengenai keinginan yang mebanjir menggebu gebu, gelora
agresivitas segera merubah barisan putih jadi barisan emprit nebha
artinya pertempuran dimana mana, dijawab dengan kelenturan yang nyaris
menyudutkan raja, tinggal mencari saat memukul balik bila para perwira dan
prajurit semua dimedan laga yang jauh, dan pengawalan raja kosong, peringatan
yang jelas dari Wijaya.
Menjelang langkah ke empat puluh dua, Baginda berucap wahai
anakku, jangan andika berpura pura, aku mengerti dharma, aku mengerti
kewajiban, aku mengerti aku kalah. Diucapkan dengan lirih, tapi mengandung
kabahagiaan yang tidak dimengerti olah hadirin yang semua bisa mendengarkan,
berkat tenaga dalam yang tidak kalah kuat dengan lawannya.
Raden Wijaya bersujud takzim, tidak berucap apa apa,
semua kosong yang ada hanya kuwajiban dari Yang Memberi Hidup, hamba
menjalankan dengan ikhlas Begitulah jawab Wijaya tanpa berucap dengan
kata tapi hatinya didorong oleh catur sanak berucap tanpa kata.
Baginda tersenyum lebar kepada putrinya, anakku
putri sulung tahta Singhasari, inilah jodohmu, aku ajak kalian ke
perjamuan singkat ini, engkau aku jodohkan dengan Wijaya, dari Wangsa
Girindra yang terpilih, jalanilah dengan ikhlas, bagaimana ?
Alangkah terkejut sang putri raja, dihadapan hadirin
sebanyak ini. secepat ini, tapi dia Putri Raja, sudah digembleng
menomersatukan kuwajiban, dia teringat sekilas satu bagian dari Mahabharata,
di Wanaprastha parwa, bagaimana keadaan bathin Putri Drupadi dari Pancala
sewaktu dijodohkan dengan Pandawa, karena Arjuna berhasil mngangkat sang
Gandewa, yang siapapun tak berhasil mengangkat, kecuali sang Karna, yang dia
tolak sebelum membidik sasaran dan sekaligus memanah, tapi Arjuna ini
mengangkat dengan mudah sang Gandewa, membidik tepat pada sasaran yang
bergerak.
Segera dia singkirkan perasaan harga diri
pribadi, mengetengahkan kuwajiban berbakti pada orang tua, tanpa malu
malu dia tabah, tanpa malu dan takzim dia berdatang sembah sendika dawuh. Raden
Wijaya menguncupkan sembah didada, memandang lurus lurus kearah tuan Putri
sulung, menatapnya dengan tanda tanya betulkah ucapanmu itu setulusnya
? Raden Wijaya menandai ada kilatan tekad dan kelegaan dari sang putri yang
hanya sekilatan thatit ( secepat kilat), hatinya kini malah terguncang,
hampir saja dia menitikkan air mata, mengingat dia satria miskin yang
yang yatim piatu dari masa mudanya, sang raden memancarkan aura sangat
bersjukur, untungnya guncangan bathinnya bisa disembunyikan dengan
sekejap nemutup mata. Dasar tenaga dalamnya sudah cukup kuat, detak jantungnya
biasa, mukanya tidak memerah, hatinya yang berbunga bunga tidak nampak dimuka
umum.
Sikap seorang yang bisa menguasai dunia.
Menghadapi situasi yang mengguncangkan hati setiap
orang yang mendengar keberuntungan ini hadirin tetap diam, membeku, baru
kemudian atas pertanda dari sang Brahmana Rsi, hadirin tebata bata dan
akhirnya bersorak gembira, yang tidak habis habisnya. Sebab perkataan Brahmana
dan Raja, seperti panah api, sekali dlepaskan pantang ditarik kembali.
Atas isyarat sang Brahmana dengan sikap mudra,
berdiri, semua hadirin melantunkan puja, mengucap sasanti jaya jaya.
Berita kilat dengan cepat merambat ke hunian dan kampong kampong di Kota
Raja, bahwa Baginda akan mantu empat puluh hari sejak hari ini
.TATA LETAK KEDATON SINGHASARI
Di bekas lokasi Akuwu Tumapel sudah samasekali
tidak ada pada masa pemerintahan Prabhunatha Kartanegara,
diganti samasekali dengan bangunan Kedhaton Baru, sesuai dengan derajad
kerajaan Singhasari sebagai Kerajaan yang telah menaklukkan kerajaan Janggala,
Kerajaan Kadiri yang tegak mulai Maha prabhu Erlangga, Kadhipaten Lamajang,
Tuban, Jagaragha, Wengker dan Kling telah menyatakan tunduk kepada Mahaprabhu
Kertanegara. Lahan Kedhaton dibuat seperti bukit landai ditengah tengah
merupakan kediaman Raja dan Ratu, yang merupakan pusat dari
tanah datar dibawahnya yang berbentuk silang utara selatan dan barat
timur.. empat penjuru mata angin ini dibangun sabha yang berupa wantilan
agung disetiap mata angin.
Yang terbesar adalah wantilan sebelah timur, yang
dipakai upacara kaprajuritan, dengan sendirinya menghadap alun alun yang sangat luas, yang menjadi
batas antara kota raja dimana mayoritas penduduk tinggal dengan pusat pasarnya
yang selalu ramai, dengan wilayah alun alun dan Kedhaton
Disebelah barat dari denah silang itu dibangun wantilan
untuk pendadaran khusus semacam doyo .
Diselatan dibangun wantilan serba guna untuk pertemuan
terbatas para bangsawan dan untuk menyambut para Duta dari jaban Rangkah.
Di utara dibangun wantilan dan balai penghormatan
pamujan para pitri, dengan beberapa pavilion untu krabat dekat
Kedaton yang sudah tua tua,
Untuk mempertahankan denah silang dengan rumah
kedhaton ditengah tengah, maka seluruh silang geometris ini di bangun
tembok keliling dengan pintu gerbang pada setiap ujung persilangan itu, kecuali
di timur yang menghadap ke alun alun.
Dalam tembok Kedhaton dilarang untuk kegiatan rakyat
biasa.
Bentuk kota Singhasari menurut hunian para
pendukung kerajaan, misalnya para prajurit dan peralatannya di sebelah timur,
sedang hunian para Pendeta Kasyaiwan, Waisnawa, Kasogatan dan Brahmana ada
di sebelah utara, para pedagang dan pasar ada disebelah selatan, dan para
undagi ada di sebelah barat .
Semua hunian dihubungkan dengan jalan yang diperkeras
dengan batu raen, tidak perlu lurus karena Singhasari ada di lereng gunung,
jadi jalan sering dibangun menurut kerataannya ( contour) tanah.
Halaman depan rumah hunian dipagar tembok rendah dan
ada gerbang candi Bentar untuk setiap rumah,halaman berisi rumah kerabat dan
rumah hunian magersari. Tanah kosong ditanami pepohonan buah buahan kolam ikan,
atau disatukan dengan aliran pengairan sawah.
Kota Singhasari tidak bertembok dan pintu gerbang,
hanya kolompok istana yang bertembok dan berpintu gerbang empat menurut
mata angin, timur gerbang ini tersembunyi menhubungkan wantilan agung
dengan tempat tinggal Raja, utara barat dan selatan, ada gerbang berbentuk
candi bentar yang megah, sedang di timur ada dua patung dwarapala dan gerbang
candi bentar yang lebar tidak berundak
JAYAKATWANG, TOKOH LEGENDARIS DIKALANGAN ILMU HITAM
Dengan seringnya sanghaprabu Kertanegara mengikuti
acara di gua istana ditebing laut pasir gunung Bromo, satu murid tingkatan atas
gua kedathon makin merasa tersisihkan.
Satu murid istimewa yang benar benar merasakannya
adalah tokoh hitam dari Kadiri, sang Kalakatawang, yang artinya pembawa
becana dari angkasa. Sebab sang Kalakatawang sudah malang melintang di wilayah
kedathon Kediri, membuat miris semua hulubalang Kerajaan.
Berturut turut mati mengenaskan narapraja manggala
yudha kedaton Kadiri, darahnya habis diisap makhuk misterius.
Kabar slentingan meberitakan adanya sosok misterius
yang sedang mengembangkan ilmu hitamnya, dan darah para pesilat yang telah
mencapai tingkat tertentu melatih tenaga dalam adalah salah satu syarat ilmu
hitam itu, karena pada zaman Mahaprabhu Erlangga juga ada kejadian semacam itu.
Ternyata pengacaunya adalah tokoh pangleyakan dari Bali, yang sedang terjadi
entah siapa dan apa ilmunya.
Tudingan terahasia jatuh ke tokoh yang baru, badannya
tidak tinggi maupun besar, hanya seperti rata orang biasa, tidak mengesankan,
tapi ada sinar jang aneh pada tatapan matanya. Meskipun bukan rahasia
lagi bagi rakyat Kediri bahwa tokoh ini menjalin percintaan dengaan salah satu
saudari Baginda, sosok putri yang sudah setengah baya.
Sang Kalakatawang menyadari bahwa ilmu kanuragan, guna
desti, kala wisa, walau sampai pada tingkatan yang paling tinggi, tidak bisa
berpengaruh pada orang banyak, apalagi mengerahkan tenaga dan mendayagunakan
rakyat banyak, kecuali seorang Raja. Sedangkan dia ingin membalas dendamnya
kepada seorang Raja, yang menghalangi dan mengecilkan arti hubungannya dengan
gadis liar berilmu tinggi, anak Totok Kerot yang “merajai” golongan hitam di
gunung Klotok, Ni Ratri.
Semenjak menjadi kekasih tetap Baginda Kertanegara di
dunia kaum Bhairawa, Ni Ratri tadak nengacuhkan Kalakatawang lagi.
Aneh sebagai manusia golongan hitam andalannya adalah
kekuatan liar , tanpa kendali makin tinggi ilmunya makin liar, tapi tidak akan
bisa menjadi Raja jang menguasai wilayah dan segenap perangkat Pemerintahan,
barbuat semaunya. Raja. yang menguasai wilayahnya juga tidak bisa berlaku
seenaknya sendiri tanpa kendali, seperti golongan hitam. Karena itu dia
kepingin jadi Raja, berapapun pengorbanannya untuk itu, agar seimbang dengan
Baginda Kertanegara, merupakan obsesinya yangsangat kuat.
Kebetulan yang menjadi sasaran adalah Kerajaan Kadiri,
yang sudah terlalu lama hidup aman tenteram, para ksatria Narapraja sudah
membentuk lemak diperutnya yang sudah buncit. Baginda Raja jarang menampakkan
diri dimuka umum, kehidupan Kota Raja bagi Kalaketawang menjadi sangat tidak
berwarna dan sangat membosankan.
Meskipun dia warga yang tadak karuan asal usulnya,
mempunyai banyak guru dari semua kalangan, yang meragukan, terutama golongan
hitam yang tidak peduli bahwa perilakunya itu jahat atau baik. Ada kegilaannya
yang tidak menyangkut golongan manapun adalah kegemarannya kepada makhluk
yang namanya kuda, atau bahasa kunonya turangga. Dia tidak punya tempat tinggal
yang tetap, terlalu sering menghadiahi kenalannya diantara petani, lurah
dan demang, kuda kuda pilihan untuk dipelihara. Biasanya orang yang beruntung
ini bukan gembira, tapi malah susah, seperti kena bencana, sebab bila kuda ini
kelihatah sakit sakitan atau mati, nyawalah taruhannya.
Kalaketawang jadinya telah mempunyai ratusan kuda kuda
bagus di desa desa sekitar ibu kota, yang dia pasti satu saat di menengok
nengok kuda kudanya, hampir semua orang Penjabat atau bukan menghindari
permusuhan dengan Kalaketawang yang tidak bisa ditebak, apalagi hanya karena
kuda.
Dari dendamnya kepada Baginda Kertanegara, hanya
dia sediri yang tahu, dia membulatkan tekad untuk jadi Raja.
Kebetulan kakak perempuan Raja Kadiri sudah
pertengahan umur tapi tidak menikah, inilah jalan mudah untuk mengetahui seluk
beluk kehidupan Raja.
Tidak sulit bagi seorang tokoh ilmu hitam semacam dia
untuk menjalankan taktiknya, yang lancar berjalan sebagai jalannya jam. Tuan
Putri tergila gila kepadanya berkat di tiupkan aji Cambra berag yang telah langka,
meskipun banyak diantara Bhayangkari Kedathon yang berusaha
mencegah hal hal jang mengancam junjungan mereka dengan lebih menggiatkan
ronda, mati satu persatu mereka mati dengan aneh, tanpa luka darahnya habis.
Baginda Prabhu Lembuamiluhur akhirnya mangkat
karena sakit yang lama.
Bila ada tokoh jahat yang bercampur aduk dengan
kehidupan Kedhaton satu Negara, tandanya Negara itu lemah, kalau Negara lemah
pasti Rajanya yang lemah. Begitu pula di Kadiri saat itu. Tidak menarik bila
diceritakan, tapi fakta mengatakan dahwa Baginda Raja Kadiri akhirnya
mangkat dan kakanda putri tertua yang setengah baya berani menggertak sidang
keluarga dekat Raja, dan minta pengalihan kekuasaan ke dirinya sebagai Ratu
Kadiri, dengan dukungan Kalaketawang dari belakang layar.
Kalaketawang mengundang sidang para kerabat dekat Raja
yang baru saja di aben, dengan bade tingkat delapan, karena yang kesembilan
disediakan untuk Ide Pedanda Brahmana Rsi Kadiri.
Ada satu halaman kecil yang luput dari perawatan
di Kedhaton Kadiri yang ditumbuhi semak alang alang,
diluar wantilan untuk sidang terbatas keluarga
dekat Raja yang jarang terpakai, terletak didepan dalem
Kedhaton.
Kalaketawang duduk bersila diatas rumpun alang alang
kumitir, tanpa sedikitpun membengkokkah rumpun alang alang yang tegak,
kumitir kena angin, sambil berseru bahwa dia tidak menghendaki tahta, wong tahta
dia lebih bagus dan langka, ya tempat yang diduduki itu. Dia hanya akan
mendampingi Raja Putri kekasihnya yang menjadi Rajaputri di Kadiri. Kalau ada
yang menghendaki kejayaan Kerajaan kadiri, menaklukkan dan menjarah kerajaan
tetangga, ayo ikuti rencana Kalaketwang mendampingi Sri Ratu, bila tidak, silahkan
meniru duduk di atas rumpun alang alang kumitir ini. Mereka kerabat dekat Raja
terdiam, bahkan tidak mampu melawan tatapan mata tokoh ini, lagipula penaklukan
Negara tetangga tidak merugikan mereka, bahkan menguntungkan. Walaupun ratu Kadiri
yang setengah baya itu dijauhi para kerabat karena takut, tidak menganggu atau
berani mengungkapkan ketidak setujuannya kepada sang Ratu, anggapnya dia
sebagai Seri Ratu bisa memisahkan diri dari dia sebagai pribadi, Sang Ratu
tidak tahu bahwa pembiaran itu karena para kerabat takut.
Tidak pernah ada yang menyangka bawa disiang bolong,
dihadapan orang banyak disatu halaman yang ditumbuhi alang alang, seorang tokoh
menggelarkan ilmunya, sebenarnya hanya tipuan sulap, layaknya David
Copperfield, menidurkan gadis pembantunya di udara tanpa alas
Yang ini dia hanya duduk bersila dipucuk pucuk daun
alang alang yang kumitir ditiup ngin, apa bedanya.
Perbuatan Kalaketawang dengan mengatur terlerbih
dahulu rumpun alang alang dengan meja yang
ditutup bagain bawahnya dengan cermin tegak diantara
kakidepan meja itu dengan cermin dantara alang alang, dan suasana menjelang
senja, memang benar benar mengesankan dia duduk diatas alang alang kumitir.
Kalakatwang pesilat tingkat tinggi, meloncat
sambil salto dan langsung bersila dengan enteng adalah perkerjaan mudah sekali,
dengan efek yang sudah diperhitungkan. Artinya Kalaketawang cukup realistis,
tidak mungkin ilmu hitam bahkan ilmu silat bisa menjadikan dia Raja, tapi
mengolah dan menganyam suasana disertai dengan sedikit sulapan murahan,
tapi dengan situasi yang tepat, dia yakin akan berhasil.
Sedang hadirin melihat dia duduk bersila santai diatas alang alang efek
yang sudah diperhitungka masak masak, adalah sambaran petir bagi jiwa jiwa yang
lagi labil. Terlebih akibat tawaran untuk mengabdi Kadiri menaklukkan Kadipaten
kanan kiri, dari sosk yang sesati itu, yang sabenarnya hadirin ya condong untuk
melaksanakan, tapi tidak mampu, Yang ini hanya menerima bagian dari harta
rampasan yang akan memakmurkan mereka, sifat serakah, sudah menancap dalam jiwa
mereka.
Sebagai suami Sri Ratu, Kalaketawang diberi
gelar dan julukan kehormatan Pangeran Agung Jayakatwang.Para
Brahmana mengarangkan silsilah sang Jayakatwang untuk dipercaya rakyat,
silsilah Pengeran agung langsung dari Bhatara Guru.
Segera Kadiri berubah. Sidang Kerajaan Kadiri menjadi
sidangnya para pemelihara kuda, ahli kuda ahli penunggang kuda, karena sang
Jayakatwang sangat piawai tentang kuda dan ahli menunggang kuda, yang
sebenarnya tidak dia perlukan, ilmu hitamnya dapat membawa dia kemanapun
secepat kilat. Para ahli ilmu hitam bisa mencuri satu pusaka tapi tidak bisa
merampok kekayaan satu Negara. Para ahli ilmu hitam bisa dengan mudah masuk ke
peraduan Raja musuhnya dan membunuhnya tapi tidak bisa menaklukkan Negara,
Jayakatwang sangat mengerti itu, makanya dia merencanakan untuk menjadi Raja
dengan gabungan segala daya upaya meski sangat rendah dan sederhana seperti
sulap, dan memikat perawan tua.
.Kadipaten Kling, belajar dari pengalaman kabupaten
Wengker,
Kabupaten kling (sekarang Nganjuk),menakluk membayar
upeti. Selang empat tahun Jayakatwang jadi Raja di Kadiri pasukan berkudanya
sudah empat ribu lasykar dengan kuda kuda pilihan, busur panah yang agak kecil,
cocok buat lasykar berkuda, bisa detembakkan dari atas kuda yang sedang berlari
kencang, busur ini diperkuat dengan tulang rawan hiu tutul yang dikeringkan,
ikan ikan ini sebenarnya jinak, setiap tahun mengunjungi pantai walayah Probolinggo.
Potongan tulang rawan kering ini diikat dengan otot menjangan untuk menyatukan
dengan busur dari Kayu hutan Sokadana, yang khusus untuk busur panah, mata
panah dari besi tuang yang runcing seperti kucup bunga kantil, lantas seluruh
anak panah digosok licin dengan minyak jarak yang tidak mudah kering, sehingga
bisa menembus perisai dari kulit kerbau yang tebal, dengan mudah. Bagi
umumnya prajurit darat, perisai dari logam memang kuat, tapi kerlalu berat
untuk digunakan perang yang mengandalkan kelincahan, lalu di ciptakan perisai
dari kulit kerbau yang dikeringkan berbingkai dan pegangan dari kayu walikukun
yang liat dan padat, toh masih seperlima dari beratnya perisai logam
kuningan, yang berat dan mahal. Nampaknya perisai macam ini untuk tentara
darat sudah memadai, tapi kali ini tidak, untuk menghadapi gerombolan limaratus
penunggang kuda yang merentangkan busur istimewanya sambil mengeprak kuda yang makin
menggila berlari secepat terbang dan dari jarak lima depa melepaskan panahnya,
tentu saja mendadak saja perajurit darat Wengker dengan perisai jenis ini pada
jatuh bergelimpangan, terutama yang ada ditengah tengah barisan garuda nglayang
yang digelar oleh Panglima Wengker. Masih disususul dngan ratusan gerombolan
oenunggang kuda yang berlari sepeti gila, tepat menembus barisan bagian dada
dan kepala garuda, yang tentu saja pasukan yang patuh pada aba aba
Panglimanya, dan sekarang tidak ada aba aba kedengangaran, mereka yang sempat
lebih suka membuang perangkat perangnya dan berlari minggir secepat cepatnya,
malah ada yang memanjat beringin kembar ditengah alun alun. Pendek kata
kacaunya barisan garuda nglayang Wengker seperi cerita ini.
Jayakatwang sudah memperhitungkan
kekacauan ini, telik sandinya sudah berbulan bulan sebelumnya sudah berada di
Wengker, menyiapkan rute penyerbuan, menyiapkan di hutan hutan tempat
berkumpulnya pasukan dengan sembunyi sembunyi, menyiapkan rintisan kearah
gunung Wilis dan kearah Parsembunyian di hutan yang lebat di Slahung.
Menyembunyikan pasukan berkuda dengan lima ratus kuda kuda dalam waktu lima
hari bukanlah barang gampang’
Sebulan sebelumnya di hutan
Slahung ditengah tengah perbukitan sekitarnya yang konon masih dihuni
macan gembong, malah dilepasi macan macan gadungan dari Lodoyo dan Campur Darat,
wilayah Kadiri, disana disamarkan tempat menyenbunyinya kuda kuda perang,
dengan rombongan penyarat kayu jati.
Sebulan sebelumnya di hutan Slahung ditengah tengah
perbukitan sekitarnya yang konon masih dihuni macan gembong, tempat
menyenbunyikan kuda kuda perang, disamarkan dengan rombongan penyarat
kayu jati. Sapi panyarat diganti dngan kuda kuda meskipun tidak wajar
tapi cukup beralasan, bukitnya cukup terjal, tegakan kayu jati meski istimewa
lurus dan panjang tapi berdiameter tidak lebih dari 20 jari, jadi sebenarnya
ringan saja. Seratus kuda dapat disamarkan selama lima hari dengan baik.
Sebagian besar kuda kuda disembunyika di lembah sempit
sungai kecil yang menjadi hulu sungai Madiun, trnyata lembah itu mampu menyembunyikan
kuda kuda yang empat ratus sekor, penungganngnya berlaku sebagai pimpinan
pasukan perintis yang diatur melingkari kandang kuda dengan jarak satu
yojana, dua yojana dan lima yojana, tidak satupun pencari kayu atau
kelana perambah hutan yang sampai tahu adanya persembunyian kuda luda itu, bila
perlu mereka itu dibunuh ditengah hutan daripada menyiarkan berita kecurigaan.
Telik sandi giat mengabarkan penyaratan gelondong kecil dari Slahung, yang lain
kelompok menyiarkan berita adanya gladi perang di alun alun pada hari Anggoro
Manis tiga hari mendatang ini, pokoknya berita berita menjadi ramai simpang
siur disertai dengan suguhan tuak keras untuk mengangkat semangat penduduk
diluar istana Wengker. Disamping itu memang Jayakatwang telah mengirim surat bahwa
pada hari Anggara Manis akan ada pasukannya akan menjemput permintaan picis
emas dan rajabrana untuk diserahkan kapada kerajaan Kadiri, sepuluh ribu picis emas
dan rajabrana untuk wiwahan para Brahmana.
Ini apaan, teriak sang Prabhunata Kramadayapati, aku akan
persiapkan pasukanku dengan baris garuda ngalayang yang terkenal itu juga
dengan mudah dirubah menjadi barisan cakra byuha sangat mistis membuat bingung
bahkan kuda kuda perang, untuk membuat keder utusan, agar pulang mencawat ekor.
Iya saja semua prajurit Wengker dengan bersenjatakan tombak panjang dan
perisai dari kulit kerbau, lima ribu pasukan dabawah lima Menggala Mantri
dan panglima sendiri ki Gagak Lodra akan memimpin “penyambutan” ini yang
artinya pengeroyokan utusan atau pameran kekuatan kepada pesukan utusan
Kadiri yang kurang ajar ini.
Menjelang matahari dua jengkal dari ufuk timur, pasuka
telah siap dengan gelar garuda nglayang, Dikepala garuda manggala mantri Macan
Ngalumba, yang terkenal gagah berani, didada baris garuda nglayang ini Penglima
Manggala Nindya Mantri Gagak Lodra, dan banyak manggala yudha yang lain di
sayap garuda.
Ini aneh, kata Taniro, pawongan di pinggir
jalan, wong perang kok memberi tahu terlebih dahulu, kan lama memijat buah
ranti saja, untuk mengusir para utusan dengan pasukannya..
Pada saat matahari ditengah tengah
langit yang tidak berawan, kepulan debu amat tebal dari arah barat barisan
dialun alun, dalam hitungan detik para penunggang kuda dengan kecepatan mengila
berderap dari samping barisan sambil merentangkan busur mereka yang istimewa.
Anak panah yang licin dan tajam. Segera ditenbakkan dari jarak lima
depa didepan. Pasukan berbaris dalam formasi garuda nglayang jadi bergetar.
Akibat dari parajuri parajurit yang melemparkan tombaknya dan disusul dengan
tembakan panah penyerbu. Sangat cepat ditujukan kepada kepala garuda, leher dan
dada barisan garuda nglayang. Para prajurit bergelimpangan, tertembus
panah ada satu panah yang mampu menembus dua orang. malah ada yang mampu
membuat kuda teronggok melemparkan penunggangnya. Yang berkuda ini adalah
perwira Wengker. Singkatnya serangan kilat dari samping ini oleh pasukan
berkuda, meluluh lantakkan baris pasukan Wengker. Setiap tentara berkuda
berhasil menembakkan tidak kurang dari sepuluh anak panah tanpa mengurangi
kecepatan berlari, kepala leher dan dada garuda porak peranda. Sedang pasukan
berkuda ini terus menghilang begitu saja. Belum sampai debunya hilang disusul
dengan pasukan utama yang semua berkuda, dengan senjata yang sama. Kuda kuda
menyerbu dari depan garuda yang sudah kehilangan kepalanya, ada yang sambil
bediri diatas pelana kuda yang berlari kencang, menarik busurnya dan
menembakkan panahnya berturut turut lima anak panah dari
endong panah yang sudah menggemblok di penggungnya. Pasuka utama, empat ratus
penunggang kuda yang gila seperi gerombolan ikan hiu yang haus darah.
Panglima Gagak Lodra beruntung jatuh dari
kudanya yang mati kena panah, pombongan utama pasukan berkuda menyebar yang
dari depan barisan, berhasil mebunuh semua perwira berkuda Wengker yang
mengelilingi sang Gagak Lodra.
Masih berlari menuju ke Wantilan agung sambil
menembakkan panah bersurat
Isinya dalan dua hari mendatang untuk menghindari
perampokan Kota Wengker, diminta penyediakan permintaan sang Jayakatwang.
Agar tidak ada korban yang tidak perlu, untuk hari ini sudah dianggap cukup.
Ternyata sang Jayakatwang mempersiapkan
penyerbuan ke Wengker dengan pasukan berkuda ini sudah hampir setahun, dengan
sangat teliti, mengirimkan telik sandi kaum bhairawa.
Singkat kata, malah ada beberapa wanita
Wengker yang ikut ke Kadiri, mengikuti suami dadakan mereka, karena mereka
memang waranggana dan ceritanya Kadiri memang pusat pergaulan bebas yang baru
menanjak, bergelimang segala kekayaan dan kenikmatan.(*)
PAHITNYA
EMPEDU DI TENGAH KEJAYAAN JAYAKATWANG
Penyerbuan
pasukan berkuda dengan persiapan berbulan bulan ke Ibu Kota Singhasari
berhasil sangat memuaskan. Hampir semua
pembesar Kerajaan tebunuh, Sang Prabhu Kertanegara sekeluarganya melakukan
puputan. Kecuali enam putra putri Kerajaan bersama dengan Raden Wijaya, mayat
mayatnya tidak ditemukan, Berbulan bulan
hilang seperti ditelan bumi. Selama petempuran singkat di Wantilan Agung
kerajaan Singhasari, ada sesosok orang berilmu tinggi, yang ikut membela Sang
Prabhu mati matian pempertaruhka nyawa, walau agak terlambat, Dalam kilatan
kobaran api dan asap yang tebal mengepul, Jayakatwang melepaskan panah dengan
tiba tiba dari kudanya yang berlari kencang, sosok itu yang telah merobohkan
lima perwiranya dengan lemparan bunga seroja, yaitu semacan senjata rahasia
dari besi tuang yang ditajamkan setiap daun bunganya, delempar dengan tenaga
dalam. Jayakatwang memanah sosok itu selagi meluncur diudara, begitu jatuh masih
sempat melempar bunga seroja yang mematikan seorang lagi perwiranya
berkuda. Setelah sang Jayakatwang
memutar kuda dan menghampiri sosok berilmu tinggi ini mencelos hatinya,
sekaligus membanjir keringat dinginnya, ternyata yang ditembak selagi meluncur
diudara itu adala Ni Ratri, wanita idamannya, sungguh dia tidak mengira, karena
sosok itu berdandan sebagai lelaki dan berjubah
hitam mengikat rambutnya dengan kain hitam, layaknya golongan hitam yang lain.
Ni Ratri masih sempat meregang nyawa di pelukannya, masih mengenalinya,
menjawab permohonannya dengan setengah berbisik mengigau, layaknya orang yang
meregang nyawa, bahwa dia berterimakasih telah dihantarkan ke Yomani, mati menyusul kakang Gembluk, tapi dia Kalakatawang akan mendapatkan pembalasannya, kuda kudanya
akan binasa dan Kedhaton Kadiri juga akan musnah terbakar, Ni Ratri mati
ditangannya. Sang Jayakatwang tahu
persis, Ni Ratri akan kebal terhadap segala senjata yang bukan di lekatkan di
tajamnya dengan sepotong emas, sedangkan yang memanah kekasihnya hanya dia.
Wantilan Agung terbakar hebat, Jayakatwang sudah ditinggal oleh pasukannya
sesuai rencana penyerbuan. Dengan
perasaan ndak karu karuan Ni Ratri dinaikkan tertelungkup di kudanya, sambil
meloncat dan mengeprak kuda dia larikan kudanya mencari jalan diantara kayu
bangunan yang terbakar dan runtuh, menyusul pasukannya yang sudah keluar ke
alun alun, menunggu Junjungannya. Mayat
wanita liar ini dia kuburkan di penggir alun alun, Singhasari dengan penyesalan
yang mendalam, setelah menguburkan mayat kekasihnya yang meninggalkannya dengan
semena mena, walau dia masih lekat dengan kenangan manisnya.
Sambil terhuyung huyung dibantu
naik kudanya dan berjalan pelan pelan beserta beberapa pasukannya. Tiba tiba saja dia menjerit melolong tanpa
arti sambil mengeprak kudanya yang langsung berdiri pada dua kaki belakang langsung melompat berlari sekencang kencangnya
layaknya kuda gila. Pengikutnya beberapa orang anggauta pasukan berkuda mengejar dibelakangnya makin ketinggalan. Sang Prabu Jayakatwang pingsan
diatas kuda yang berlari, teronggok menelungkup memeluk leher kudanya, untung
saja sekaligus tersusul oleh anggauta pasukan yang juga pasti penunggang yang
hebat, salah satu dari mereka nendekati kuda
sang Prabu, sambil meloncat keatas kuda Sang Jayakatwang langsung
memegangi kuduk beliau sambil memeluk pinggangnya agar tidak jatuh.
Sang jayakatwang baru sadar di
Ngantang sudah ditidurkan didalam kemah Raja, dekelilingi para tabib istana.
Detak nadinya bagus, beliau hanya menderita keguncangan bathin yang hebat. Para
tabib bingung, sosok sesakti Mahaprabhu Jayakatwang kok sampai begitu, apa bertemu
dengan Bhatari Durga ?
Sebulan setelah menerima utusan penaklukan
Singhasari dari penjabat kerajaan yang
masih hidup, sang Mahaprabhu jayakatwang, Raja
Kadiri, Janggala, Singhasari, yang bertahta diatas alang alang kumitir,
telah diricuki oleh upaya pencarian berita menghilangnya putra putri Sang Kartanegara
beserta raden Wijaya, seperti hilang ditelan Bhumi, tiada kabar berita dimana
keberadaannya, meskipun telik sandi disebar dimana mana, terutama Japan.
Janggala Wirasabha Pamotan dan Trung. Malah diterima berita berita palsu,
berita berita melecehkan kesaktiannya sebagai Rajanya para Balian dan Dukun,
dan disegani para Brahamana Rsi, keturunan titisan Bhatara Shiwa sendiri. Beliau sendiri merencanakan
pengejaran dengan telik sandi, mencocokkan semua kebenaran berita mbok Bakul
sinambi wara, beaya ditambah hampir
tidak terbatas untuk Tumenggung telik sandi, wilayah pencarian diperluas sampai
Tuban, Pasar Uang (Pasuruan sekarang), Prabalngga, Kling. Pamotan. gambar
gambar disebar, hadiah dijanjikan sampai limaratus picis emas bagi siapa saja yang
melaporkan keberadaan pelarian nomer satu dari Singhasari ini, semua sudah
empat bulan sia sia. Bulan ke lima
Mahaprabhu Jayakatwang benar benar kehabisan akal, lantas dimainkan
kartu Sang Jayakatwang yang terakhir, para pesukan berkuda. Ratusan mereka dikerahkan
beregu untuk menyisir wilayah luas. Makin menyempit di Janggala Trung dan Japan,
disisir sampai ke pasar pasar bila waktu pasaran, ke Bandar Bandar dimana
perahu keluar masuk, ke semua ashram dan sasana silat, kesemua tempat orang
berkumpul dan bergosip.
Sekarang
pasukan berkuda beregu dipersenjatai dengan gambar gambar putra dan putri raja
dari depan dan samping putra putri raja
dan raden Wijaya, malah jadi ejekan, banyak wanita yang berdandan layaknya putri
banyak tukang angkut jang menyombong telah bertemu mereka, masih yang brceloteh
untuk menarik perhatian, disiksa oleh
pasukan berkuda saking jengkelnya perwira atasan pasukan ini mencambuki siapapun
yang berani clometan menjawab pertanyaan beliau. Menjelang satu tahun para
Pelarian ini menghilang, kuda kuda Sang Jayakatwang mati satu demi satu, kejangkitan sakit bolor, penyakit
pernafasan kuda yang mematikan dan sangat menular. Penyakit ini tidak kunjung
mereda baik kemarau atau musim penghujan, saban hari puluhan bahkan ratusan
kuda kuda tidak peduli milik siapa mati. Sudah dikerahkan ahli ahli pengobatan
dan azimat kuda kuda, penularan masih meraja lela, menular pada para penunggangnya
yang hidupnya dekat sekali dengan tunggangannya. Telah didatangkan tabib kuda
dari Atas Angin, dari China, menghabiskan picis emas kerajaan untuk orang
mencari kuda sebagai pengganti kuda yang
mati. Menjelang tahun kedua hilangnya
pelarian pelarian ini, yang menurut kabar angin juga menyebarkan penyakit bolor
kuda, berupa putri putri cantik yang membawa pedupaan keliling hunian dan istal
istal kuda, sambil berjalan terbang tanpa menapak tanah, malah segera kuda kuda
pada sakit, dan mati. Dengan demikian para gadis gadis sangat takut untuk
mempersembahkan banten di surup surya, sandya kala, di depan rumah dan Pura,
takut dikeroyok regu berkuda sebagai putri jadi jadian yang menyebarkan
penyakit kuda dan manusia. Emang sekarangpun penyakit malleus/ bolor kuda ini
juga masih sulit diberantas, segera jadi epidemi dan jadi persoalan Nasional.
Sesudah sang Jayakatwang, di Jawa semua kerajaan tidak mampu lagi mempertahankan
keberadaan pasukan berkuda secara massif. Mungkin Suasana tropis basah ini memang tidak begitu cocok dengan
kehidupan kuda kuda, kecuali dengan perawatan yang teliti dan obat obatan
moderen. Kecuali di NTT dan Sulawesi, yang beriklim lebih kering.
Waktu itu satu setengah tahun sesudah
pengejaran Pelarian Singhasari yang sia
sia, Sang Mahaprabhu Penakluk jadi tawar,
hanya dia yang tahu bahwa kehilangan pasukan berkudanya adalah kutukan Ni
Ratri, kekasihnya sendiri yang dia panah dengan panah yang berujung dipateri
dengan emas. Hanya dia sendiri yang
tahu. Dengan susah payah, tidak mengenal
lelah, diwujudkannya pembalasan dendam yang hanya Ni Ratri dan dia saja yang
tahu betapa dendamnya kepada Prabhu Kertanegara yang sampai kehilangan nyawanya
dan sekaligus Kerajaannya. Hanya membuahkan kekecewaan yang amat sangat karena
hadirnya Kakanda Gembluk lah yang tetap di benak Ni Ratri.
Kuda
kuda yang telah mengangkat derajadnya begitu tinggi, musnah, nampaknya tanpa
bisa ditolong, dia sampai menagis kaya anak kecil waktu kuda kesayangannya si
Gagak Rimang kena penyakit bolor, dan mati dalam lima hari, tanpa bisa
ditolong.
Dalam
kasedihannya yang beruntun ini dia
berpikir hanya Wijayalah yang tentu mengerti petapa hebatnya upaya dia
menaklukkan kerajaan kiri kanan dan Singhasari. Kini hanya Wijayalah yang
mengerti kejayaan itu adalah upayanya pribadi yang tekun, teliti dan tanpa
salah, memajukan pasukan berkuda mendekati Singhasari dari utara, menghilir
sungai memutari pegunungan dan bersembunyi di jurang Baung, orang senegara
tidak ada yang mengira, karena berhasil bersempbunyi selama empat hari sampai di Gunung Baung, tidak termasuk
satu bulan membuat rintisan yang panjang sekali ditengah tengah hutan dan tiada
seorangpun yang curiga. Ini sebenarnya adalah maha karya yang sangat besar
memerlukan tenaga dan pikiran sampai ke batasnya, baru dewa dewa dan cuaca yang
membantu. Bukan karena dia dianggap keturunan Bathara Syiwa, dia sendiri cerdas
lebih dari orang biasa, kenyataan itulah yang dia dambakan untuk mengharumkan
namanya. Dialah orangnya satu satunya yang mencipatkan anak panah yang bisa
menembus dengan mudah perisai kulit kerbau..
Satu
satunya akal yang iya tidak banggakan,
malah sudah dilakonkan oleh tobong lakon Prabhu Jayakatwang bertahta diatas
alang alang kumitir, tapi diatas panggung sandiwara. Dalam hati Mahaprabhu
Penipu ini khawatir sekali bila raden
Wijaya meraba sulapannya yang murahan,
karena itu tipuan murah sekali, andaikata si Wijaya tahu saja. Malah para pemain sandiwara telah
melakukannya secara sangat tidak sengaja, bertengger diatas alang alang
kumitir. Dia, sekarang Mahaprabhu Nata Janggala Kadiri Singhasari, sangat
kepingin bertemu dengan Raden ini dan berdamai dengan Wijaya dari pada namanya
dipermainkan orang kecil detertawakan dimana mana. Dia berfikir begitu hanya
pada saat dia sendirian, takut pikirannya dibaca orang, sambil tersenyum pahit sendiri. Para abdi melihat dari
kejauhan, mengira bahwa raja sudah benar
benar gila.*)
HASIL PENYERANGAN MENDADAK DAN PELARIAN DARI KEDATHON
SINGHASARI
Pasukan berkuda dari Kadiri menyerbu ibu kota Singhasari
dari Utara. Dengan para penunggang kuda yang liar, melarika kuda kudanya dengan
kecepatan penuh berbondong bondong tidak beraturan. “Rawe rawe rantas malang
malang putung”. Lepas tengah malam kedengaran titir kulkul dari Utara
sayup sayup kemudian makin keselatan ke kota Singhasari dengan makin jelas
suaranya.
Memang rupanya inilah kejadian yang paling dia takutkan,
perahu perang dikirim ke Palembang dengan tiga perahu besar bercadik , model yang
sudah lama, karena pembuatannya boros kaju dan berlayar kurang laju
dibandingakan dengan luas layarnya. Tapi ketiga perahu bercadik dengan geladak
bersusun tiga, kebanggaan Singhasari. Perahu perahu ini persis serupa
dengan perahu besar yang dilukiskan didinding candi Borobudur. Sedang ibu kota
yang tidak bertembok ini tidak seperti biasanya Ibu kota, karena bahaya diserbu
oleh gerombolan pasuka barkuda tidak pernah ada.
Raden Wijaya ditemui oleh penjaga peraduan raja dengan
sangat tergopoh, gopoh. Diberi titah darurat dengan tegas supaya membawa
istreri dan adik adiknya semua melarikan diri lewat pintu rahasia Utara. Segera
disana sudah disediaka kuda lima ekor. terserah menurut situasi, jangan
sampai kepergok pasukan berkuda atau siapapun sebelum berkuda sepenginang.
Kelanjutan wangsa Singhasari sepenuhnya ditangannya,
sambil menyampaikan kalung kerajaan lambang Garuda Wishnu yang selalu dipakai
Baginda, itu berarti Baginda siap mati.
Bagitu gawatnya susasana, sehingga raja tidak bertitah
untuk bertahan, ,melainkan melarikan diri dengan kuda menyamar, sampai
sepenginangan diperjalanan.
Raden WIjaya segera mengerti betapa gawatnya kedudukan
Singhasari dan dia beserta adik adik iparnya sebagai harapan satu satunya untuk
pepulih dikemudian hari.
Tanpa berpikir panjang dikumpulkan adik adiknya, dua
lelaki tanggung dan tiga remaja putri, bertujuh dengan dia dan istrinya Membawa
bekal bumbung kerajaan yang disediakan untuk keadaan darurat. Semua berdandan
ringkas semua berdandan ringkas cara prajurit. Berdestar dan pakaian malam
segera berangkat dengan lima kuda yang selalu tersedia di istal kuda untuk
situasi darurat, dekat pintu rahasia di Utara Kedhaton. Dia satu kuda, isterinya
satu kuda, masih tiga kuda lagi untuk keempat adiknya. Mereka
berkuda dengan langkah drap menuju ke barat laut. Kawasan berhutan lebat.
Mereka berkuda merunut jalan setapak agak menanjak. Jalanya pencari madu.
Sepenginang sampai di wilayah dengan semak semak
lebat. Wilayah berbentuk kipas, bekas laharan gunung Arjuno, berpasir campur
kerikil, sangat sunyi.
Tempat ini memang jarang di jamah untuk kepentingan
apapun karena tanah laharan ini sangat gersang. Raden Wijaya tahu jalan setapak
ini, nanti bila menurun sampai di satu Asyram di desa Polaman agak sebelah
barat Plawangan.(sekarang kota Lawang). Siang ini dia dan rombongannya berusaha
bagerak sejauh mungkin dari Singhasari dan sesedikit mungkin ketemu orang.
Anehnya menjelang fajar, disebelah barat Plawangan
rombongan ini bertemu dengan rintisan jalan ditengah hutan, yang menuju ke
utara, nampak baru dan dilewati banyak sekali bekas telapak kuda, lebih dari
limapuluh ekor, keutara sepanjang lereng timur gunung Arjuno, menembus hutan
lebat. Dia langsung tahu bahwa rintisan ini jalan rahasia yang barusan semalam
paling lama dua hari yang lalu dilewati pasukan berkuda dari Kadiri. Sudah ditinggalkan
oleh pembuatnya karena gunanya sudah diperoleh.
Raden Wijaya berdecak kagum. Dengan mudah rombongan kecil
ini mencapai Purwosari lewat rintisan jalan baru ini tanpa ketemu seorangpun.
Rombongan beristirahat ditepi hutan, dekat dengan pakuwon Purwosari.
Mendadak saja mereka ingat bahwa sejak malam mereka belum
makan bahkan minun air setegukpun, ketegangan pelarian menyebabkan semua jadi
lupa makan dan minum seharian.
Sore itu mereka bertujuh turun dari kuda, menuntun
kuda kearah bawah pohon elo besar, yang lagi banyak burung “joan” menyerbu buah
elo, menjelang senja. Semua putri raja yang empat orang, nampak lelah tapi
tetap tenang, semua berwajah kemerah merahan, nampak kelelahan. Semua mengerti
burung burung itu makanan, tapi apa boleh buat, selain pisau belati yang sangat
tajam bawaan Raden Wijaya.
Kedua adik iparnya yang laki laki, tidak membawa panah
apalagi sumpit. Toh Wijaya dulunya pangeran yang miskin, bergaul dengan semua
orang, sebelum menjadi murid sang Bhismasadhana. Dia dititipkan di satu asyram,
sebagai bocah yang suka bermain main dengan anak gembala dari seputar asryam.
Dengan mereka dia belajar renang di sendang yang
dingin dan banyak ikannya, karena penduduk takut mengambilnya., pamali.
Sedangkan dia dan temannya yang paling bengal tidak.
Mereka diam diam sering mengambil ikan tambera yang paling
besar terus dibawa ke tepian hutan lalu di panggang dengan bumbu dari pinggiran
hutan, garam dan umbut combrang ( laos hutan) di gilas dengan batu hingga
halus, dimasukkan rongga tubuh ikan beserta daun daun muda dan berbau harum
banyak.
Daun daun dan bumbmu ditempelkan di sekujur kulitnya
dibungkus rapat rapat dengan daun combrang dan daun bunga tunjung (teratai)
berlapis lapis, dan dipanggang.
Kali ini bukan ikan tapi ayam hutan yang ternyata
banyak ditempat itu. Dasar waktu kecil temannya anak gembala, dia pembuat jerat
dari serat pohon waru gunung. Wijaya mahir membuat jerat ayam hutan. Menjelang
senja Wijaya sudah mendapat empat ayam hutan, semuanya betina. Langsung
di bersihkan bulu bulunya diberi bumbu garam dari bumbung kerajaan bubuk merica
dan tumbukan umbut jombrang ( lengkuas hutan) dibalut dedauman pisang dan
teratai yang kebetulan ada di sendang kecil dekat situ.
Memang bila nampak pohon elo, sekitar situ pasti ada
air, entah sungai entah sendang atau danau. Bungkusan panggang sampai malam tiba.
Waktu dikeluarkan dari unggun api, dan dibuka dengan membelah bungkusan ini,
ternyata tercitpa aroma harum. Keenam putra putri raja itu makan ayam hutang
panggang, seolah olah tidak pernah marasakan masakan ayam. Mereka minum air
anak sungai kecil tidak jauh dari pohon elo tempat mereka beristirahat. Sisa
api unggun dibuat membenamkan ubi hutan, dan mereka makan dengan lahap. Menjelang
malam mereka adik ipar laki laki nampak masih lapar.
Sebelum mendatangi rumah akuwu, Raden Wijaya member
isyarat dengan tangan, mengajak mereka berdua berburu oling ( belut raksasa).
Dia sepintas melihat sarang belut raksasa itu di sendang dekat situ, dia
jelas melihat bekas bekas buih masih menggerombol dekat semak tepian lain dari
sendang itu. Kepala ayam hutan yang tidak ikut dibakar dilubangi dang diikat di
telapak tangan kanan sang Raden Bengal ini. Mereka mendatangi bekas buih
diterangi hanya dengan bulan muda, tangan dengan kepala ayam hutan sang Raden
pelan pelan dicelupkan di air hanya selengan, tidak berapa lama, ada yang
berkecipak keras.
Dengan kedua tangan satu belut sebesar lengan orang
dewasa sudah tertangkap dalam genggaman besi tangan kanan, sedang tangan kiri
membantu dengan memasukkan jari telunjuk ke insang oling ini sekuat kait besi.
sementara kedua tangan ini diangkat dengan segera. nampak oling
sebesar lengan orang dewasa ini berkelojotan diantara kedua cenkeraman tangan
besi sang Raden, Oling atau sidat raksasa memang ikan buas yang paling licin,
badannya berlendir sehinga memegangnya harus dengan keberanian dan tekad.
Dengan kaget kedua pemuda tanggung ini hampir
berteriak sebelum mendatangi kegirangan, baru teringat mereka adalah pelarian
nomer satu, ketika nampak sang raden segera mengelengkan kepalanya sambil
mulutnya berdesis.
Mereka makan oling panggang dengan garam, lebih
dari cukup mengenyangkan, bertujuh masih makan sambil tertawa cekikikan seolah
olah mereka sedang bercengkrema di halaman istana, sebelum menadatangi rumah
Akuwu Purwosari, untungnya penjaga regol masih mengenali Raden Wijaya.
Rombongan segera masuk dan regol ditutup. Kuda kuda masih disembunyikan di
tempat rombongan beristirahat dihutan untuk kehati hatian. Ternyata benar,
sebab Menantu Raja ini pernah berburu rusa dengan Akuwu atas undangan beliau,
sedang tadi siang sudah tersiar berita bahwa Singhasari jadi karang abang,
hampir semua pembesar Kerajaan terbunuh, termasuk Sribaginda . Istana terbakar
ludes, hampir semua orang tidak percaya, mereka akan berbondong bondong menuju
keselatan melihat Ibu Kota.
Ketujuh tamu ini masuk regol dengan cepat tanpa
kuda kuda, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan. Sedangkan Jayakatwang pun
belum memasang telik sandi di Pakuwon Purwosari, mengharapkan bahwa seluruh
keluarga Raja bakal berkelahi gaya puputan Margarana.
Putra putri Raja langsung beristirahat, Raden Wijaya
dan sang Akuwu merundingkan perjalanan selanjutnya ke ruangan pendopo, kuda
kuda segera dijemput dan depilhara di istal lain, Mereka berdua berkirim surat
singkat saat itu juga dikirim gandek berkuda ke Japan dan Bangil, Habis tengah
malam rombongan berganti naik pedati sapi menuju ke Bangil dari pintu samping
diantar oleh prajurit tua penjaga Regol. Sehigga dapat dipastikan tidak ada
seorangpun yang tahu kedatangan tamu itu selain keluarga Akuwu.
Raden Wijaya mempercayakan nasibnya pada Akuwu
Purwosari, sambil mengucupkan tangan didepan dada, salam persahabatan, yang
disambut dengan meyakinkan oleh sang Akuwu. Dia tidak akan melapor kepada
Tuannya yang baru Raja Kadiri dan Singhasari Sang Mahaprabu jayakatwang. Hal
mengenai kedatangan rombongan ini.
Dalam gerobak sapi yang diisi penuh jerami, dedak dan
rendeng ( daun kacang tanah kegemaran kuda kuda), diantar penjaga regol dan dua
emban yang memang tahu kedatangan tamu ini, mereka bertiduran diantara muatan
jerami itu, tidak nampak dari luar. Matahari sudah tinggi baru sampai di
penggiran kota Bangil, yang ramai karena kota itu kota pusat kemasan artinya tempat
undagi emas, disana sudah dijemput oleh Pemilik Perahu Madura. Siang nanti
segera berlayar ke Trung.
Perahu tidak besar, ditambat di sungai yang membelah
kota Bangil, bersama dengan perahu perahu tambangan, ternyata dua emban mamaksa
ikut ke Trung, dengan pertimbangan kerahasiaan Raden Wijaya mengabulkan.
Rembang siang hari perahu didayung ke muara tanpa
banyak cing cong, dan langsung disambut oleh angin timur yang agak keras,
segera layar terisi dan perahu meluncur cepat ke utara. Selang dua hari sesudah
hari itu, baru rombongan telik sandi Prabhu jayakatwang desebar di Japan, di
Purwosari, para abdi Pakuwon dan Penjaga regol ditanya apa ada tamu kemarin,
jawabnya tegas tidak ada, wong tamunya sudah tiga hari sebelum itu. Sudah tidak
ada yang tahu kacuali keluarga Akuwu, yang ternyata bisa diandalkan. Dikemudian
hari, betahun tahun mendatang masih diingat oleh Raden Wijaya.
Keluarga yang ditingalkan oleh dua emban dijamin oleh
Akuwu lebih dari cukup, dan diyakinkan akan keselamatannya. Begitulah sementara
romdongan pelarian yang sangat penting dari Kerajaan Singhasari seperti hilang
ditelan bumi.
Di Japan sepertinya tidak ada kolong yang tidak
diintip, tidak ada pintu yang tertutup bagi telik sandi, tapi sama sekali tanpa
hasil sampai berbulan bulan tidak ada berita sampai di telinga Prabhu
Jayakatwang tentang Putra Putri Kartanegara dan Raden Wijaya, padahal Prabhu
Jayakatwang sudah terlanjur mengumumkan dirinya seperti Dewa, serba tahu.
Yang ini benar benar dia tidak tahu, meskipun ribuan
telik sandi dengan jaringan gandek gandek dan burung burung merpati pos,
jaringan telik sandi bukan saja di Japan, tapi di Janggala, Trung. Bahkan
sampai ke Pasar Uang (Pesuruan) Tuban dan Wirasabha, tapi tetap tidak ada
berita apa apa selama dua bulan.
Yang lebih menjengkelkan pencaharian pelarian itu
sampai jadi bahan ejekan kuli kuli tukang angkut barang di Japan, Jenggala dan
Trung, bahwa mereka telah menggendong putri putri kerajaan yang cantik cantik
ini menuju ke jung yang berlayar ke negeri Cina, mereka bercerita
demikian di warung warung tuak sambil cengengesan, ngerti bahwa disitu pasti
ada telik sandi Pabhu Jayakatwang dan pasti berita itu disampaikan pada beliau.
Ada yang bercerita bahwa empat putri Raja itu sekarang menyamar sebagai
ronggeng di desa Dawuhan, dia sempat menciumnya, Bercerita begitu sambil cengenesan, ada yang bilang bahwa si Nem bakul
pecel yang cantiknya kelewatan di pasar gede Jenggala itu adalah salah satu
Putri Raja Kartanegara yang menyamar, semua berita itu penting dan sampai
ke telinga Rajanya para Dukun, Balian mangiwa. yang bertahta di puncak alang
alang kumitir. Sang Jayakatwang mengakui bahwa berita berita itu harus
dinyatakan semua, membuat dia jadi gila, sambil membanting tongkat pusakanya
dihadapan Tumenggungnya para telik sandi Kerajaan.
Malah berita bahwa Prabhu Jayakatwang gila menyebar
dimana mana dengan bumbu bumbu tentunya. Malah ada rombongan tobong (
sandiwara) keliling desa desa yang melakonkan penyamaran putri putri Singhasari
dan Raden Wijaya, konon sangat laris dengan banyolan banyolan.
Bagaimana Negara melarangnya, bagaimana melawannya,
apa deserbu dengan pasukan berkuda ? Disini dia dimakan oleh siasatnya sendiri,
tukang menyiarkan berta bohong. Rakyat di kota kota pelabuhan ternyata
sangat kreatip mengejek kekuasaan Negara dibawah sang Mahapabu Jayakatwang,
Penguasa baru Janggala Kadiri dan Singhasari, bang
wetan dan bang kulon.
Prabhu Jayakatwang merasa bahwa perlawanan Rakyat
Singhasari, Jenggala, Wirasabha yang terus terusan meluas semacam ini, sangat
mnjatuhkan wibawanya. Dalam hati dia mengharapkan Raden Wijaya menakluk dengan
sukarela, tapi bagaimana mengumumkannya ? Siapa Yang percaya lagi ?
Menjelang pagi, angin brubah ke barat daya, perahu
Madura merubah haluan ke Barat langsung ka Pelabuhan Trung, dimuara Sungai Mas
anak sungai Brantas yang lewat kota Trung. Belum sampai selesai merapat di
penggiran, ada sosok anak anak yang membawa surat diberikan kepada Raden Wijaya,
yang isinya satu Asyram Islam di Ampel Denta menyediakan perahu dayung lengkap
untuk pelayaran kemana saja sepanjang kali Brantas. Ini wujud bantuan dari
Asyram Ampel Denta kepada Ki Bismasadana dari padepokan Sendang.
Raden Wijaya sangat bersjukur, ternyata utusan
ke Japan yang berangkat dari Purwosari telah sampai kepada sang Bismasadhana
yang juga sahabat dari Pendeta Islam dari Ampel Denta.
Parahu biasa, dengan lebar dua depa ditengah dan agak
langsing, membawa layar lateen, dengan atap kajang yang agak panjang.
Para pendayungnya muda muda dan berotot, ada tujuh orang, bersalwar dan baju
dari kain tenun gedog berwarna putih kotor, ada yang bersorban kain putih.
Dayung mereka agak aneh, berupa talempak (semacam tombak pendek dari besi,
bermata lebar dua telapak tangan dan panjang ada yang dari besi seluruhnya,
disamarkan dengan warna kotor.
Para tamu disuguh dengan wedang jahe, yang dicampurkan
dengan kahwa, minuman baru, bari biji kopi yang dibakar hitam dan dibubuk,
dituangkan air mendidih, rasanya agak pahit, desertai dangan makanan juadah dan
jenang ayas yang manis , segala manisan buah dan kue rangin. Perahu didayung
enam pendayung dengan santai memudik sungai Mas.
Menurut Sang Bhismasadhana, mereka sebaiknya menuju
Desa Kudadu, dekat Hutan Ploso, sesudah arah mudik dari Wirasabha. Pelayaran perahu
selama dua hari, dengan malam istirahat. Menurut sang Bhismasadhana mereka bisa
istirahat lahir dan bathin di Asryam Kudadu, yang letaknya jauh dari japan dan
mendekati Tuban, yang bisa ditempuh sehari semalam berkuda.
Raden Wijaya bersalaman dengan mereka, selesai
bersalaman meletakkan kedua telapak tangan ke dada cara Muslim, kepada semua
pendayung, begitu pula para adik ipar lelaki tanggung mengikuti dengan
tersenyum kikuk. Para santri dari Ampel Denta ini rata rata sopan terhadap
anggauta sombongan kaum putri, yang sekarang jadi enam orang. Awak perahu yang
tujuh orang itu memang sangat sopan dan terpelajar, menulis surat di daun
lontar tipis dan diikatkan di kaki burung dara pos dekaki burung itu dan dilepaskan
tiga ekor. Mereka membawa enam sangkar dalam perahunya.
Tidak sekalipun pandangan mereka tidak wajar terhadap
kaum wanita penumpangnya, yang ternyata gadis gadis remaja yang cantik cantik
kecuali dua emban yang malah sering menunjukan sifat wanitanya dengan sopan.
Para pendayung ini melakukan upacara agama mereka tepat lima kali sehari
menurut edaran waktu ditandai dengan posisi matahari. Menghadap ke barat dengan
bergantian tiga orang tiga orang, Perahu ditotog dengan galah panjang. Sungai
Brantas sudah tidak sederas dua bulan yang lalu, mereka mendayung dngan santai
dan nampak ringan saja, meskipun Raden Wijaya tahu persis bahwa dayung dayung
itu denjata yang dahsyat dan berat, bisa melubangi dinding perahu dengan mudah.
Raden Wijaya merasa sangat beruntung mengawal istrinya
dan putri putri raja, yang bersifat mudah menyesuaikan diri dengan keadaan dan
mudah bergaul dengan siapa saja, wajar tanpa canggung, begitu pula dua emban
yang ikut dari Purwosaridisertai dengan pasukan darat yang menyamar menjadi
tukang sarad gelondong jati sudah ada seribu dua ratus prejurit dan perwiranya,
Pekerjaan utama mereka adalah mengacaukan berita di kedai kedai tuak yang juga
didrikan jadi milik mereka. Membeli Penjabat untuk mendapat tahu berapa
penghasilan sang Raja dari pajak dan penjualan kayu glondong jati, dan tambang
emas di gunung Wilis. Mencatat keadaan penduduk kota para prajurit Wengker dan
senjata andalannya, termasuk para waranggono dan wanita bebas di ibukota
Wengker, setiap orang kaya di setiap kampung dimana rumah yang dihuni
para lurah dan demang
Psukan kedua ini yang merupakan pasukan “baris
pendem” sudah dikirim ke Wengker tinggal di Wengker paling sedikit satu
tahun , lantas beraksi disetiap kampung memisahkan penduduk laki dewasa dengan
perempuan, sesudah dipisahkan penduduk perempuan yang klimis dan muda semua
ditawan dan dibawa ke hutan Slahung untuk melaksanakan orgy
kaum Bhairawa. Mahargya (minun tuak), matsia (makan ikan),mamsa(makan
daging) ma’udra (menari mabok) dan
maithuna (melakukan orgy sex) komplit, seperti adatnya kaum bhairawa,
para jawara penunggang kuda ini dengan cepat terserap dalam adat kaum Bhirawa.
.
. ROMBONGAN
KECIL PELARIAN YANG SANGAT DICARI BERISTIRAHAT DI KUDADU
Merka membangun rumah sendiri dekat pesantren Ploso,
Raden Wijaya dan Para adik iparnya para pemuda tanggung, mendekat ke Asyram di
Kudadu. Dalam dua minggu saja makin banyak orang yang permukim diantara Ploso
dan Kudadu, dibawah perlindungan Brahmana Rsi di Kudadu, termasuk pesantren di
Ploso, tepi kali Brantas. Sebulan para pelarian ada di Kudadu, dengan tambah
pengikut antara limabelas orang tiga wanita, semua ahli memelihara burug dara
dan kuda kuda.
Ploso dekat dengan Asyram Kudadu, merupakan desa di pinggir
sungai Brantas, merupakan pangkalan pedahu penyeberangan ke Tuban, lewat kota
Babat. Ditepian sungai ada pondok pesantren yang tidak besar. Memang rombongan
pelarian dibagi tiga kelompok kecil, dengan rumah seniri, sendiri, yang
didirikan di desa sekitar pondok, distu semua santri mendirikan rumah sederhana,
mengdupi kelompoknya sendri masak bersama sama. Pelajaran agama islam dimulai
dengan mengikuti ceramah dan diskusi dengan sang Pembimbing, sosok lelaki
setenga baya, berkerja sebagai petani bila waktu kerja, ,mulai akhir solat
magrib mengadakan ceramah di salah satu pendopo dari rumah limasan beratap
ilalang, bertiang lima, satgu ditengah sebagai tangkai payung yang
dikembangkan, diatas umpak batu. tanpa dinding.\. hanya ada tiang bambo petung
berjajar empat disetiap sisimya menyangga sisi pinggir atap ilalang yang hanya
stinggi orang berdiri.
Raden Wijaya pengunjung tetap ceramah umum itu, bisa meninggalkannya setiap waktu. Pendengarnya
tidak harus sudah islam, artinya sudah membaca shadat. Malah Raden Wijaya
selalu mengikutinya sampai akhirnya sang pembing mendekatinya..... setelah
bersalaman, ternyata mereka tinggal duduk berdua behadap hadapan.
Sang Pembimbing dengan santai menyapa
sang Raden, yang sudah mirip pengembara biasa......Sesudah saling berkenalan, Sang
Pembimbing mulai dari peernyataan yang blak blakan tanpa sungkan, menyatakan
bahwa dia hanya menyampikan risalah. pada dasarnya ajaran semua agama yang
benar itu sama, menjalani petunjuk Sang
Hyang Widiwasa. Hanya waktu dan asal orang pertama yang menyampikan petunjuk
itu dari macam macam bangsa dan macam macam lingkungan wilayah negara, dengan
kebudayaannya sendiri sendiri. Dijawab oleh Wijaya memang demikian. Sang Pembimbing
menerawang pandangannya sambil meneruskan bahwa dia telah lama memikirkan dan
mencari bagaimana cara mencocokkan banyak keterangan, yang beraneka ragam, bahwa menurut islam setelah mati ruh setiap
orang bahkan binatang tidak akan menitis kembali di dunia ini.....akan kekal
disana sampai dunia seisinya digulung kembali. Untuk memperbaiki kekeliruannya
yang telah diperbuat di kehidupannya yang sudah dilewati sebelumnya, sudah
tidak mungkin lagi. Sedangkan ajaran Budha dan Hindu, mengajarkan hidup akan minitis
kembali, sampai bisa mencapai kesempurnaan menuruti semua petunjuk hidup oleh
sang Hyang Widiwasa. Dalam tanya jawab saling menngisi.... akhirnya mereka
beredua sepakat bahwa hidup seseorang adalah sebuah buku kosong dari lahir yang
harus ditulisi selama hidup tanpa bisa dihapus, hanya bisa dilanjutkan dengan
pengakuan iklas dan bertaubat, makanya
selama hidup perilaku harus selalu diperbaiki ditambah secara upaya sungguh sungguh menuruti
Petunjuk Wyang Widi, selama masih bernafas, atas namanya...... yang satu satunya
...... Setelah mati.... buku si pribadi itu ditutup dan disimpan atas nama si
mati untuk selama lamannya si nama akan kekal disana.....Sang roh yang tidak punya
nama akan punya buku lagi atas nama
orang baru yang lain ditempat lain di lingkungan dan zaman yang lain, buku buku
yang telah ditulis, tidak pernah bisa diingat oleh si penulis buku baru ini,
kecuali pengaruh kecenderungan rokh tanpa nama, yang yang sulit dijelaskan. Tidak seorangpun di dunia ini yang tahu, ini
satu kenyataan yang pantas diimani. Entah pada kehidupan yang dijalani sekali oleh
nama ini, kemudian nama lain yang keberapa, dan berapa banyak buku yang sudah
ditulis.....nama nama siapa saja, jadi dari buku kuku yang mana tidak akan ada tahu
untuk disontek dari yang sudah ditulis dulu,. Selama si nama nama yang sudah jadi buku buku setumpuk dengan
berbagai nama dan lakon, shingga buku terkhir menjadi yang disadari dengan kekinian
sekrang, bersama kecenderngan rokh dan petunjukNya. Ini kanyataan yang tidak
bisa dipungkiri.
Kedua sahabat itu untuk beberapa bulan bersama sama
sampai raden Wijaya sudah kuwalakan dilingkungan
pendatang dari Wirasabha, Jenggala dan Trung, khusus
untuk membantunya...Menjadi sangat berbahaya.....
Sehingga ada kisikan, rombombongan harus pindah ke
Madura lewat Perahu dari pantai timur Jenggala, tetap
sendiri sendiri setiap kelompok, pada saat yang
diitentukan akan betemu di kali Rambut, sekarang desa
Kedung Peluk.
Ajaran Islam, hanya memfokuskan pada hidup yang lagi
dijalani itu, ya itu hidup satu satunya yang selalu harus di luruskan sesuai
dengan ajaran UtusanNya yang terakhir. Makanya
ada cerita bahwa solat itu semula diperointgahkan Allah samapi puluhan kali,
Nabi lain yang bertgemu id sama minta supayang Sang ututas terakhirf kembali
dan moho keringanan, setelah boka balik mengadaps sampai pada 5 klai sehari
semalam, begitulah cedritanya..... menggambarkan betapa seringnya manusia lupa.
Agar tidak ada hujjah yang lain sebagai alasan yang enak untuk mengimaninya. Itulah sebenar benarnya kenyataan yang
ditumjukkan oleh Hidup ini.
Terenyata sang Pembimbing yang berceramah itu seorang
sufi, sudah lama dari muda datang ke Nusantara dari Lebanon, desa asalnya
disana namanya Besari.
Hubungan dengan Tuban direntangkan dengan bantuan
santri dari Ampel Denta, burung dara pos bisa dikirim dan mererima berita dari
Japan, Ampel Denta dan Tuban.
Rupanya Sang Jayakatwang saking jengkel mengerahkan
pasuka berkuda, menyusuri kali Brantas meneliti Hunian hunian, pasar pasar di
Japan Wirasabha dan termasuk Ploso. Rupanya dari Japan ada pertunjuk usulan untuk mohon perlindungan ke Madura saja kepada
Aria tua itu, sang Wiraraja.
Ronbongan Pelarian pindah dengan perahu, ke pinggiran
sungai Rambut, mengendarai gerobak lagi
ke Wilayah Jenggala dengan kawalan dari kaum yang mencintai Singhasari.
Rombongan serupa yang agak menyolok bergerak ke Pamotan, tapi hilang di jalan,
karena hanya untuk gerakan penyesatan saja.
Robongan dipecah menjadi dua, bertemu di Kedung Peluk
setelah seminggu kemudian.
Rombongan dibimbing oleh teman teman Raden Wijaya,
dengan gandek pembawa berita dimuka dan dibelakang, menganyam jejak pasuka
perkuda, yang dibuat bingung oleh berita berita yang menyesatkan, sekarang
malah secara acak mengunjungi Pasar Pasar,dengan Gambar para putri dan putra
raja beserta Raden Wijaya. Berkat bimbingan para pedagang simpatisan
Singhasari, dibantu oleh kaum santri dari Ampel Denta, rombongan tidak pernah
ada disuatu tempat disatu waktu dengan para pengejarnya. Akhirnya kedua
rombongan sampai di Kedung Peluk, hampir bersamaan waktu.
Perahu sudah
disediakan menghilir sungai Rambut, kebetulan waktu pasang. Dimuara tempat
rumah benteng disatu pulau seorang sudagar putri dengan banyak perahu dan barang
dagangan tinggal, Putri Sekar Dadu. Salah satu perahunya dipakai untuk berlayar
ke Pamekasan oleh rombongan pelarian.
Sementara itu berbulan bulan pengejaran di tempat
tempat yang dicurigai dan tetap dilakukan berbulan bulan kemudian, mengejar
berita yang sengaja disiarkan untuk menyesatkan pencarian
ARIA WIRARAJA
DARI SUMENEP
Aria tua ini sangat bijaksana, setelah sekian
lama, hampir tiga tahun kurang tiga bulan sang Jayakatwang dengan segenap
pasukan telik sandi yang hebat tidak bisa diragukan kerjanya, gagal menemukan
Pembongan kecil Pelarian dari Singhasari. Malah dia sanggup menampung mereka,
dia mempertaruhkan namanya dan nyawanya tanpa diminta oleh Bupati Tuban,
bahkan diyakininya Bupati Tuban tidak tahu bahwa sekarang Pelarian
pelarian yang sangat dicari cari oleh sang Jayakartwang itu sudah ada di
hadapannya.
Bupati Tuban hanya mengenal kekuatan telik sandi sang
Jayakatwang sedangkan Arya Wiraraja dapat memeprhitungkan betapa
jaringan yang membela Raden Wijaya berbulan dalam pengejaran dan
penyisiran pasukan berkuda yang berubah jadi pasukan penarik pajak paksa
dari rakyat itu. Tentu mereka dibantu secara sepenuhnya oleh kelompok
yang hebat, dapat mengejek dan mengelabuhi telik sandi orang yang secerdik dan
sekaya Prabhu Jayakatwang kini.
Aria tua ini sangat kepingin tahu pejuang yang
gigih demi mempertahankan nyawa ini, orang yang dapat
mengalahkan Prabhu Kartanegara di papan catur adalah orang yang istimewa.
Tambah dengan kecerdasan orang yang telah mengelabuli sekian banyak telik sandi,
yang mencari kabar keberadaan putra putri Prabhu Kertanegara, yang mudah
ditandai , karena wajahnya gaya omongnya pasti lain dari rakyat biasa,
hadiah bagi mereka yang dapat menunjukkan dimana mereka bersembunyi
selama ini, sudah cukup jaminan bahwa kepergiannya ke
Sumenep pasti juga tidak ada yang tahu.
Pagi pagi dia menerima rombongan di wantilan dalam
istana Suemenp, Raden Wijaya dan para pengikutnya, putra putri Kerajaan
Singhasari. Beliau merasa heran bahwa putra putri raja ini ternyata nampak
segar dan sehat, malah agak kecoklatan kena sinar matahari yang banyak.
Dia juga kagum bagaimana bisa mareka diantar oleh perahu Nyi Sekar Dhadu
saudagar putri setengah baya, kaya raya dan angker, tidak
sembarangan, semua prilakunya itu telah diperhitungkan dengan cermat dan
diperhatikan.. Aria tua ini kenal baik dengan Ki Bhismasadhana,
demi kepercayaan dirinya akan kcerdasannya dan membantu
sahabatnya itu dia sanggup menampung rombongan Pelarian ini. Setelah
mengucapkan terima kasih kepada Juragan perahu yang mengantarkan rombongan
sampai di Pamekasan, dia segera menyilahkan rombongan menempati kamar kamar dibelakang
Kadipaten, yang merupakan keputren dan kasatrian. Hanya Raden Wijaya dan
istrinya diberi tempat di pavilion disebelah kanan delem kadipaten.
Setelah berbenah diri menanti siang diundang makan di dalem ageng oleh sang
Wiraraja. Mereka berterima kasih, menyembah dan segera mudur dari penghadapan
yang singkat ini. Siang hari mereka sudah bersalin dengan pakaian cara
Kadipaten Madura, untuk putri nampak tidak ada bedanya, hanya dandanan
gelung rambut agak lain, untuk para ksatria berdandan cara ksatria Madura,
banyak bedanya, selain memakai rompi pendek tidak berkancing, mereka
memakai kampuh dan lancingan selutut berwarna hitam, dan memakai destar cara
Madura.
Raden Wijaya beserta istrinya satu tempat
menghadap meja rendah ditemani Aria tua denga kedua istrinya, mereka saling
menyilahkan dengan sopan, dan baru sekali ini selama pelarian berbulan
bulan mereka diperlakukan sebagai putri raja. Raden Wijaya menyertai setiap
gelas la’ang tua dengan sang Aria penggemar la’ang tua yang diramunya sendiri,
terkanal diseluruh Janggala Kadiri dan Singhasari. Raden Wijaya terus
terang menyatakan kekagumannya kepada Jayakatwang, kerena malam penyerbuan tiba
tiba di Singhasari, yang tidak diketahui seorangpun, rombongan
pelarian malah melewati rintisan ditengah hutan itu, yang memudahkan
pelariannya sampai pagi ke Gunung Baung, tidak bertemu seorangpun. Raden
Wijaya mengagumi persiapan yang sangat terahasia disertai dengan dongeng dan
cerita penyesatan yang dapat diterima orang banyak, dia menceritakan bahwa
tidak hanya satu rintisan tapi beberapa rintisan. Raden Wijaya bisa
menggambarkan betapa sulit merahasiakan pembuatan rintisan dihutan disela
sela hunian orang dan perjalanan pssukan berkuda diam diam selama itu. Semua
yang diceritakan dan komentar yan diberikan oleh Raden Wijaya sebagai murid
sang Bhismasadhana , didengarkan dengan cermat, disertai dengan pertanyaan tiba
tiba dari sang Aria, menunjukkan pengetahuan yang luas sebagai ahli siasat
tentara dan peperangan. Raden Wijaya, tanpa sedikitpun rasa kebencian,
malah memuji sang Jayakatwang yang mengejar ngejar dia, setara dengan Sun Tse seorang pengarang
strategi China. Semua dengan cermat didengarkan oleh sang Wiraraja.
Secara diam diam Arya tua ini bekorespondensi dengan
Sang Mahapraghu Jayakatwang, dia memang sorang diplomat kawakan yang ahli
nerangkai kalimat. Dia scara halus sekali mengagumi semua tindak tanduk sang penakluk,
yang sangat cermat dan teliti. Menyinggung sedikit mengenai bakat pribadi
dan bukan yang diperoleh dari leluhur sang Jayakatwang yang titisan Bhatara
Shiwa.
Tentu saja surat ini sangat dihargai oleh
sang Penakluk yang lagi kesusahan karena pasukan kuda yang jadi
andalannya musnah oleh penyakit, yang akan makan waktu sangat lama untuk
memulihkannya. Dan dalam surat balasannya, sang Jayakatwang mengeluh mengenai
pemyakit kuda kudanya yang sangat mengkhwatirkan beliau. Beliau sang
Raja, malah kepingin sekali minm arak bersama dengan sang Wiraraja.
Pucuk dicinta ulam tiba, kebetulan di bhumi Tarik
ditepian Sungai Brantas, sang Aria punya Istana atau rumah peristirahatan
kecil yang terpelihara baik karena beliau adalah pengunjung tetap Istana Istana
di Jawa, bahwa rumah di tepian sungai Brantas ini sering jadi
tempat menginap kaum bangsawan yang sering bersama sama berburu rusa.
Karena ada hutan hutan yang banyak buruannya di sana. Hal ini
diceriterakan pada salah satu surat kepada Mahapranhu Jayakatwang. Jawab
sang Mahabprabhu malah memutuskan bahwa beliau berkenan untuk melemaskan
otot dan tulang tulang dengan berburu rusa bersama Aria Wiraraja di bumi Tarik,
awal musim hujan tahun depan. Selama akhir msim hujan tahun
ini Raden Wijaya sangat sibuk belajar membuat dan meneliti perahu Madura,
malah Raden tukang kayu ini menemukan bahwa kelebihan perahu gaya Madura
adalah mudah dikemudikan, artinya mudah berubah haluan, dengan lingkaran
putaran yang kecil saja, karena lunasnya dibuat melengkung seperti
sabut kelapa. Lantas lengkungan itu dia ukur dengan perbandingan panjang perahu
dan berat muatannya. Dengan sungguh sungguh beliau bicarakan dengan para
pandega pembuat perahu di pantai Pamekasan, sambil beliau bekerja menjadi
tukang kayu bersama sama mereka. Dalam setengah tahun dia tidak merasa sama
sekali bahwa dia itu orang pelarian, pekerjaannya seharian sampai sandyakala
hanya menukang kayu membuat perahu, dan membaca gambar rancangan perahu yang
digambar diatas kulit kambing, ditentukan berat perahu, besarnya lengkung lunas,
sambungan sambungan-nya, gading dan papan, letak tiang pendek, cerocok
tambahan untuk layar depan, menjahit layar dan memilih bahan untuk layar,
membuat tali temali, semua dia pelajari dan dia gambar di kulit kambing, dan
model kecil, semuala dari tanah liat, kemdian dari kayu. Semua perubahan lunas
maupun badan perahu dia rundingkan dengan para pandega yang sudah jadi seperti
saudaranya, karena dengan cepat dia pandai berbahasa Madura, halus maupun
kasar. Dalam setengah tahun sampai akhir musim hujan dan separo musim
panas Raden Wijaya telah diakui oleh para pendega dapat depercaya memimpim
membuat perahu Madura. Selama satu tahun Raden Wijaya dengan tekun
belajar membuat perahu Madura. Telapak tangannya jadi
berkulit keras, badannya jadi berkulit gelap kecoklatan, baliau
memelihara kumis tebal, dan selalu mengenakan destar cara Madura. Raden wijaya
menjadi pandega pembangunan
perahu tidak tanggung tanggung,. Beliau meneliti pembuatan kain layar.
Kapas dari sekitar Tuban, sekitar Trung di Tandes, masih kurang
baik untuk dijadikan benang yang kuat karena seratnya kurang panjang. Dia
membadingkan layar dari China yang sangat mahal terbuat dari sutera, bertulang
bambo, serat dari pantat ulat sutera jang tipis ulet dan panjang, makanya
dapat ditenun jadi kain yang tipis yang sangat kuat. Pengeran ahli mambuat
perahu ini mengerti bahwa perahu bercadik dari atas Angin besar besar bisa muat
beras ratusan koyan dan bergeladak lapis tiga, panyangnya hampi tigapuluh
depa bisa berlayar jauh dan berbulan bulan karena didorong oleh layar yang
ringan kuat dan awet, disamping karena dibuat dari serat kapas India yang
panjang,dan ulet maka luas layar bisa dibuat luas sesuai dengan bobot kapal,
kecuali itu benang kecil kenaf yang tumbuh dari rawa rawa reluk Benggala (
Sekarang Bnglasesh), juga psnjang dan sangat kuat bisa ditenun disela sela
benagn kapas serat panjang ini. Begitu pula tidak ada keterbatasan dari jung
jung dari China, karena layarnya dibuat dari kain sutra yang meskipun luas dan
tinggi tapi sangat kuat dan tipis seingga ringan untuk derentangkan bersusun
susun ditiang agung, dan sama sekali tidak mengganggu keseimbangan perahu .
Kapas dari Atas Angin jang benang lawenya sering diperdagangkan sampai di sini,
panjangnya seratnya mencapai empat jari, dapat dijadikan lawe
tipis yang sangat ulet maka layar dari Atas Angin sangat kuat dan ringan.
Seandainya dia bukan pangeran Pelarian, dia pasti di sudah mengarang alat
tenun bukan mesin, membuat layar yang besar. Dia mengingat ingat sewaktu di
Japan, pelabuhan besar, dia mengerti serat kenaf dari Pamotan (sekarang
Lamongan yang masih selatan muara Bengawan solo, selalu dibawa ke Tanah
Barat di tanah Pamalayu serat ulet dan panjang, sayangnya kasar dan
bila kering, jadi getas atau mudah patah. Orang bilang di
Madura serat itu juga ditenun untuk layar tapi dicelup dulu dengan minyak
kelapa yang dicapur cuka, agar tidak kekeringan. Sebaiknya malah dengan santan
kelapa. Akan tetapi serat kenaf ini pun berat, meskipun sebagai campuran tenun
layar perahu dari Benggala makanya perahu besar dari Benggala harus diberi
cadik untuk membantu keseimbangan, dan juga tidak bisa terlalu lebar karena
bila kehujanan jadi terlalu berat, makanya perahu model ini kerkenal lamban.
Aria Wiraraja menimbang bahwa waktunya telah tiba,
untuk memberi tahu Raden Wijaya, supaya bekerja di Bumi Tarik istananya yang
ditinggal selama ini, untuk jadi lurahnya para pemburu, karena musim pemburuan
rusa akan tiba. Raden Wijaya akan didamaikan dengan Sang Jayakatwang.
Pertimbangan beliau, Jayakatwang butuh sekali diakui kejeniusannya, sebagai
pribadi, bukan bisikan dari Dewa karangan para Brahmana yang dapat persembahan
besar seperti silsilahnya yang dikarang bagi beliau, nyaris ditulis dicandi
khusus buat ini.
Lalu dia membeberkan rencananya agar Raden Wijaya
bekerja di Bhumi Tarik, untuk menjadi Pemimpm Perburuan, Kala itu jabatan
ini disebut Lurah Pengalasan sambil menanti kedatangan sang Jayakatwang,
dipermulaan musim hujan, disana dia ada kesempatan mengambil hatinya
Seribaginda, dengan menceriterakan penemuan rintisan dihutan selama jadi ketua
pemburu rusa, mengetahui seluk beluk panah istimewa yang ditembakkan dari kuda
berlari. Yang terpenting dia punya ramuan untuk membuat kuda lebih tahan
terhadap penyakit bolor, yaitu menurut sang Aria Raden Wijaya bisa dapatkan
dari pertolongan catur sanak. ( ternyata kemudian adalah bubukan daun kelor
(Moringia sp ) yang dikeringkan beberapa genggam satu hari dicampurkan dalam
comborannya – tumbuhan ini banyak di Pamekasan dan Sumenep memang dipakai sebagai obat.
Kemudian nanti ternyata bubuk daun kelor manjur untuk
daya tahan kuda kuda.
Raden Wijaya setuju, segera di memberitahu istrinya,
dan demi Timbul kembalinya wangsa Girindra yang ada di perutnya, dengan tekat
yang bulat sang putri menyetujuinya. Menjelang akhir musin kemarau, angin
masih dari timur, Paden Wijaya berlayar dengan beberapa abdi orang Pamekasan ke
bhumi Tarik, penjadi lurah para pemburu. Terus terang dia menyenagi
pekerjaan itu. Dia mengembara dalam hutan napak tilas semua jalan yang
ditempuh pasukan berkuda, dari Kadiri sampai di Jurang air terjun Gunng Baung,
dia memang sangat kagum, berapa orang yang dsikerahkan untuk itu, bukan saja
jalan pasukan berkuda tapi jalan ditengah hutan yang tak pernah ketahuan
ataupu dan dicurigai oleh orang, kegunaannya sebelum Singhasari jatuh.
Berapa banyak orang dikerahkah diam diam, bagaimana menghilangkan kecurigaan
orang, dengan menakut nakuti orang berapa beaya yang dekeluarkan untuk itu.
Malah dia jakin tidak ada Pemimpin sebelumnya yang menandingi
Jayakatwang.
Waktunya tiba, rombongan dari Sumenep sudah datang dua
minggu lebih dulu, menyiapkan segala keperluan rombngan yang dihormati Mahaprabhu
Jayakatwang lewat sungai Brantas dengan perahu karajaan.
Bangunan, peraduan dan perabotan, gamelan dan
penabuh serta penarinya, makanan dan minuman, segala macam binatang
yang akan dilepas, bahkan sampai burung burung yang suaranya merdu, kuda
kuda pilihan dan perangkatnya.
Rombongan perahu kerajaan dari Kadiri merapat di
geladak yang sudah dibuat khusus untuk itu, segera Rombonga turun, karena Raja
jayakatwang masih muda, lebih tua sedikit dari Raden Wijaya sendiri, beliau
turun terlebih dahulu desrtai dengan gamelan kebo giro yang meriah, langsung
melambaikan tangannya kearah penjemput sang Aria Wiraraja, sudah dengan gaya
pemburu, bukan gaya Raja Penakluk. Sang Aria tua tanggap dengan situasi yang berubah
secepat ini, dengan cepat acara diubah, diambilah dengan tergopoh gopoh gelas dan
minuman ramuan khusus sang Aria Wiiraraja. Sang aria sendiri menuang minuman
sambil berdiri, menuang untuk dirinya sendiri, dan mereka bersulang cara
pemburu dengan gembira. Para penyambut tanggap, semua tamu rombongan
disuguhi minuman laang tua dan disambut dengan sorak sorai gembira layaknya
para pemburu yang semua lelaki perkasa. Aria Tua sangat puas, satu
permulaan yang sangat baik. Kebetulan ayam jago bekisar yang dibawa dari Madura
saling berkokok,besahut sahutan nenambahi meriahnya suasana perburuan.
Tanpa minta izin siapapun dan tanpa diperintah oleh
pemilik Pesanggerahan, Raden Wiyaya memberi aba aba agar semua kuda kuda
diajukan dengan tengara terompet kulit kerang. Segera Kuda dilepas,
dengan talikendali disimpulkan diatas gumba. Tanpa pengawal berbaris satu
satu. Kuda paling depan berwarna hitam mulus, muda dan sangat gagah, mirip
dengan Gagak Rimang kuda peliharaan kesayangan Jayakatwang yang sudah mati
kena bolor (sampai sekarang merupakan penyakit kuda yang menular sekali dan
sangat mematikan menyerang dengan cepat saluran pernafasan kuda, bahkan dijaman
belum ada kereta api Pemerintahan Penjajahan Belanda memerintahkan menembak
mati ditempat kuda kuda yang menunjukkna gejala sakit Malleus /sakit Bolor ini)
Mulai keluar dari samping pesanggrahan sambil
berlari kecil semua kuda satu persatu berbaris, lewat tamu tamu yang baru
selesai minum la’ang tua, dengan gapah Jayakatwang meloncat keatas
punggung si Gagak rimang kedua, meskipun tiruan tapi lebih gagah, dan
lebih muda, anehnya segala perlengkapan kuda itu memang asli dari istal istana
Kadiri milik Gagak rimang yang sudah mati. Mahaprabu jayakatwang tahu itu
dari baretan dan bekas bercak darah yang mongering, kendali dan lis yang
sudah kena tangan lama.
Sekilas dia melihat gamel lamanya sudah
ada di Pesanggrahan karena dia dan raden Wijaya telah mempersiapkan lama
kejutan itu.
Dan sampai di pesanggrahan Tarik sudah bermingu
minggu yang lalu atas prakarsa Raden Wijaya yang sekarang di bhumi Tarik
namanya Lurah Jambul, mereka sudah disiapkan adegan ini beberapa waktu
sebelum perahu kerajaan berangkat dari Kadiri. Lapangan tegar sudah siap dilapisi
dengan pasir sungai Brantas, tebal dan tidak terlalu lnnak.
Puluhan penunggang kuda dari Kadiri berakrobat dari
atas kuda kuda yang berlari sepuasnya, mengobati rasa bosan selama seharian
naik perahu.
Sang Jayakatwang dengan puas mengambil tempat duduk di
pasanggrahan, disertai oleh Aria Wiraraja yang sekarang bergaya pemburu,
menghilangkan segala etiket kerajaan. Hanya Lurah jambul melihat dari kejauhan.
Sesudah makan malam gaya pemburu yang gaduh
selesai, Arya Wiraraja mngajak tamunya bila berkenan, duduk di gazebo terbuka
agak terpencil diluar dihalaman pesangrahan. Disambut dengan hangat ajakan
itu.
Mereka berdua hanya diiringi satu pengiring yang
selalu agak menjauh, tapi mendengar bila dipanggil. Bumbung dan gelas
sudah tersedia disana,
Sang Jayakawang dengan gembira menceritekan suasana
selama perjalanan dengan perahu dari Kadiri, semua pengikut sudah
bosan setengah mati naik perahu jang lambat ini. Gamelan dan waranggono tidak
didengar lagi, ada yang berenang mencebur sungai, mengadakan lomba
renang, dan minum tuak.
Lantas memdadak disambung pertanyaan dari Prabhu
Jayakatwang, omong omong siapa lurah Tuaburu ( Lurah pangalasan) yang sudah
menyiapkan sambutan semeriah ini, dan kuda hitam yang serupa gagak Rimang kuda
kesayangannya itu, terus gamel kuda kesayangannya kok ya ada dipesanggrahan.
Diajawab oleh Aria Wiraraja, Paduka Prabhu akan
terkejut bila ketemu dengan lurah Pangalasan di dari Pasanggrahan Tarik ini.
Sang Jayakatwang berkenan untuk tahu siapa
dia, untuk seorang Jayakatwang tidak ada orang terlalu rendah tidak ada orang terlalu
tinggi bila mempunyai pengetahuan mengenai kuda. Dia mengaku ketika menunggang
kuda itu, dia merasa utuh sebagai Jayakatwang kembali, segera pasukan
berkudanya pulih jumlahnya untuk dibawanya ke ujung dunia, kali ini dia
jujur dan sangat bersemangat.
Segera Aria Wiraraja menepukkan tangannya,
dan pelayan yang menunggu dari kejauhan mendekat, dan mendapat perintah untuk
memanggil ki Jambul.
Segera Raden Wijaya muncul dari kejauhan sudah
menguncupkan sembah, mendekat sambil duduk dibawah bersila, menyembah
sambil bertanya ada dawuh apa. Sang Mahaprabu sedang sangat bersemangat,
meberikan rasa terima kasih atas ditemukannya kuda hitam yang telah dicoba,
baik kekuatan nafasnya maupn kekuatan otot dan keberaniannya, semua baik,
hanya masih agak kasar, suka kaget mendapatkan perintah mendadak.
Ki Jambul mohon maaf atas kekurangannya, dia
mengaku bahwa dia mendidiknya baru satu bulan, kemudian minta bantuan gamel
dari Kadiri. Raden berterus terang mengenai kakagumannya kepada sang
jayakatwang mengerti dan menguasai kuda. Prabhu Jayakatwang menjawab
bahwa para Dewa membuat dirinya dari bahan yang sama dngan kuda kuda
barangkali, sambil tertawa terkekeh kekeh. Sebaliknya Raden Wijaya mengaku sejujurnya
bahwa sebagai lurah tuaburu dia menjelajahi hutan hutan dan menemukan jalan
rintisan ditengah hutan, bukan hanya satu, tapi beberapa dari pinggiran sungai
brantas hingga ke air terjun di gunung Baung, sungguh bukan pekerjaan
mudah, perlu ribuan orang menurut perkiraannya, ki Jambul Juga brbicara tentu
bukan sembarang orang yang mengunakan anak panah berat dengan ujung runcing
dari besi tuang berbentuk kuncup bunga kantil dan digosok dengan minyak
jarak dengan mudah menembus prisai kulit kerbau yang paling tebal.
Mahaprabu Jayakatwang sampai kaget dan sangat senang, sambil berdiri dia
mengusap pundak ki Jambul, bahwa berlaksa picis emas dan perak dia tebar untuk
kerahasiaan rintisan rintisan ditengah hutan itu, untuk tidak
membangunkan kecurigaan orang Singhasari, pasukan dimuat perahu dari Kadiri,
memang pendadakan adalah unsur yang sangat penting memenangkan peertempuran.
Dengan mengerahkan kekuatan catur sanak, Raden Wijaya,
mengaku setulusnya bahwa tidak ada orang maupun Raja yang telah lalu
mengimbangi siasat dilandasi ketelitian dan ketekunan sang Jayakatwang, sayang
kini kuda kuda lagi kena wabah penyakit yang sangat menular, yang dia
mempunyai ramuan untuk memperkuat daya tahan tubuh kuda kuda berlipat kali.
Sang Prabu mendengar sampai sampai menarik kursinya
mendekat ki Jambul, memegang kedua lengannya sambil dicara keras seperti
orang kampung dialah orang yang dia cari selama ini, sampai pendeta dari
Atas Angin, tabib dari China, semua gagal, ayolah dicoba ramuanmu hai lurah
para pemburu, saya merasa dilahirkan kembali, apapun yang kau minta aku
turuti.
Waktunya sang Aria tua berperan, dia berdiri dengan
gopoh, menahan sang Prabhu Nata. Sambil berkata lirih dengan tenaga dalam,
memang dialah orang yang paduka cari selama bertahun tahun, dialah Raden
Wijaya, murid sang Bhismasadana, orang satu satunya yang mengerti kejemiusan
paduka Baginda !
Saking terkejutnya Baginda terduduk, sambil
memelototkan mata, apa katamu, dia Raden WIjaya, saya sungguh terkejut,
apakah kau menyerahkan dirimu wahai bayanganku yang hilang?
Baginda setengah mrangkul ki Jambul, berucap tanpa kata, karena diapun
orang yang berilmu tinggi.
Raden Wijaya mengerahkan tenaga catur sanak, sambil bersabda
: Iya, akulah yang menghormatimu sebagai orang yang menemukan dan melakukan
yang tidak pernah dilakukan sebelummu dan sesudahmu. Ini dikemukakan oleh Raden
Wijaya sebagai kata yang tidak terucap tapi dimengerti dengan sebenarnya
oleh Mahaprabu Jayakatwang.
Keheningan buyar dengan isyarat sang Aria Tua,
semua pulih pada tempatnya.
Sang Prabu dengan ringan menerima Raden Wijaya dan
adik adiknya, memberikan ampunan dan restu . raden Wijaya menyembah kaki sang
Prabu, baru berhenti sesudah diangkat oleh Baginda.
Saat itu juga dia dhadiahi bhumi Tarik, boleh tinggal
dasini selama dia suka dan keluarganya, Dia diangkat olehh Mahaprabhu
Jayakatwang sebagai Tumengung Pengalasan, dan pemelihara kuda kuda Kadiri,
langsung bertanggung jawab kepada Sribaginda.
Malam itu juga semua orang dipangggil dihalaman
gazebo, mendapat dawuh dari Sang Mahaprabhu Jayakatwang bahwa dia sudah
menemukan orang yang selama ini dia cari dengan mengaduk seluruh Janggala Trung
Tuban, Raden Wijaya, dan dia menghadiahi sang Raden dengan Bhumi Tarik sebagai
tameng Kadiri dari sungai Brantas, Mengepalai pemeliharaan kuda kuda Pasukan
Kadiri, dalam keadaan darurat melawan penyakit bolor, agar semua
perintahnya dilaksanakan.
Para hadirin sangat kaget dan heran, kaget
ternyata si Pelarian malah dapat ganjaran, heran ternyata Raden Wijaya, menantu
Raja Singhasari, perkerja keras dengan perawakan yang tidak menampakkan otot
tapi gempal, berwarna gelap dan berdandan cara Pandega perahu Madura.
Mereka malah terdiam, hanya bersorak gembira sampai melonjak lonjak
atas penyadaran sang Aria Tua. Segera minuman ber guci guci dituangkan
untuk bersulang cara pemburu.
Aria Wiraraja memegang pundak sang Raden, menandakan
sangat lega dan bersjukur, pelarian yang begitu lama menghadapi maut,
berakhir dengan mudah dan menyenangkan.
Gamelan terus ditabuh dengan irama gembira, para
waranggono menyanyi dan menari bersama sama hadirin, gempar dan ramai.
Raja masih berkenan tetap duduk di gazebo, bercerita
mengenai bagaimana dia membujuk para pendekar harimau gadungan dari
Lodaya, raja balian, pangleyakan dari Bali, untuk menjaga rintisan ditengah
hutan sepaya dijauhi penduduk yang tinggal di tepi hutan, bagaimana dia
sendiri merencanakan lintasan yang melewati sumber sumber
air.
Sebaliknya raden Wijaya mengatakan secara terus
terang, bahwa rakyat kecil mengarang cerita mengenai ronmbongan Pelarian itu
bukan atas prakarsanya seperti bakul pecel si Nem yang konon dikabarkan
adalah putri raja yang menyamar, Wiyaya terus terang istrinya malah tidak secantik
si Nem sambil tertawa ngakak. Entah kenapa rakyat jadi tergelitik
memanfaatkan kesibukan Penjabat kerajaan Kadiri mencari pelarian itu,
menggelitik mereka, pertunjukan tobong sandiwara jadi laris bukan
atas upayanya, Mahaprtabhu Jayakatwang mendengarkan ucapan Raden Wijaya yang
sepenggal ini dengan sangat lega, karena siasat murah yang satu ini tetap jadi
rahasia selamanya, bahkan si Wijaya ini tunas unggulan dari ilmu
siasat, samasekali tidak curiga terhadap tahtanya diatas alang alang
kumitir, yang memang hanya sulapan murah.
Sampai larut malam mereka saling bercerita. Sang
Prabhu Jayakatwang memang bersemangat sekali menjadi muda kembali, seperti
telah menemukan jati dirinya. *)
PEMBALASAN NI RATRI
Sesudah diangkat jadi Tumenggung Bhumi Tarik dan
pemulihan pasukan berkuda, Raden Wijaya segera pergi ke Kling sekali
lagi, dengan beberapa pelatih kuda kenamaan dari Kadiri. Mereka berangkat berkuda,
dengan bekal bubukan daun kelor kering yang cukup dimuat dalan karung
kain dibalakang kuda masing masing. Raden Wijaya yakin dengan bimbingan catur
sanak dia bisa mnyelesaika tugasnya.
Keluarganya sudah dipindah dari Pamekasan, Istri dan
adik adiknya ini sudah terbiasa hidup sebagai orang biasa. Adik
ipar lelaki Raden Wijaya sungguh menikmati kebebasan hidup sebagai orang biasa,
berkuda keluar nasuk kampung, untuk melatih kuda kuda yang baru,
didatangkan dari Luwu. Mereka berdua biasa menuggang kuda tanpa sadel. cara
orang Desa. Entah terkejut karen apa kuda setengah liar ini mendadak berlari
masuk pelabuhan Tarik yang lagi ramai, kuda mengamuk dikalangan orang banyak
dan berlari menuju keramaian, untung saja ada seorang asing, sepertinya china,
menahan kuda ngamuk itu sehingga penunggang tidak terjatuh. Ternyata lelaki
china ini sangat mahir bahasa jawa halus, dan menceriterakan bahwa kelurganya
akan ke Kadiri, dari Wilayah Rajegwesi. Untuk nenyatakan terima kasih
pemuda ini mampir di penginapan tempat keluarga ini menginap. Sang Babah
menceritakan bahwa keluarganya itu sudah lama di pulau Jawa, berdagang
mengumpulan batu kawi untuk dikirim ke China. Ipar Pangeran yang diampuni ini
mengajak si Babah kalau sempat berkunjung ke Pesanggrahan melihat
kuda kuda yang baru datang dari Luwu.
Sungguh kabetulan Babah ini kenal dengan kuda
kuda, tabiat dan kesehatannya, khasiat susu kuda dan lain lainya.
Sang Pengembara dikenalkan kepada Putri istri Raden Wijaya dan saudara
saudarinya, mereka beercerita bahwa mereka baru di bhumi Tarik ini,
meskipun sekarang Tumenggung tapi miskin. Semua yang ada sekarang adalah
pemberian Sang aria Wiraraja dan Seribaginda Mahaprabhu Kadiri. Suaminya ditugaskan
nemulihkan jumlah kuda kuda perang beliau, yang susut banyak dari wabah penyakit
bolor kuda, suaminya, masih pergi ke Kling, melacak kuda keturunan kuda Atas
Angin dengan kuda kuda setempat.
Sang Babah tamu menganjurkan lima puluh kuda kuda dari
Luwu ini harus dipisahkan istalnya agak jauh dari istal kuda setempat,
kandang yang meski tidak angin tapi udaranya bebas. Dia mengatakan bahwa
bubuk daun kelor memang baik buat kesehatan kuda kuda dan daya tahannya
terhadap penyakit. Di China pun, bubuk daun kelor kering ini dipakai sebagai
obat untuk manusia juga lebih umum getahnya yang dikeringkan. Orang orang yang
memelihara kuda dari Luwu ini harus tidak memegang kuda setempat yang
lain, jadi sama sekali dipisahkan. Setiap kuda di totok oleh si Babah
ini, dibagian urat penenang, dengan wanti wanti jangan berbuat gaduh dan
mengejutkan kuda kuda ini. Dia menunjuk rumah panggung bekas tempat pasukan
pengawal supaya dirubah, untuk menempatkan kuda kuda ini, dilapisi dengan
jerami. Semua dituruti oleh kepala rumah tangga. Si Babah bilang untuk selama
tiga hari dalam makanan kuda kuda itu supaya ditambah gula aren setengah kati
sehari. Sang Putri Nyonya rumah sangat berterima kasih atas saran itu, memang suaminya
lagi pergi, untuk beberapa lama. Si Babah yang sebenarnya bermarga Yap, selang
tiga hari ke Peanggrahan yang berhalaman sangat luas untuk menegar
kuda, disertai dengan istri dan seorang pemuda tanggung anaknya,
diiringi dengan dua pembawa guci. Setelah menghadap Sang Putri, Orang
dari marga Yap ini mengatakan bahwa orang tuanya di China adalah kelurga
pedagang kuda, dia membawa larutan untuk diteteskan ke mata kuda kuda yang baru
datang dari Luwu, supaya tidak gampang ketularan sakit bolor, selama tiga
hari yang lalu obat tetes mata ini telah ia siapkan. Untuk mencoba bahwa cairan
tetes mata ini tidak beracun, dia minta mangkok kecil, dia ambil cairan itu,
semangkuk kecil dan dia minum dihadapan sang putri. Dasar putri raja, meskipun
sudah jadi orang pelarian berbulan bulan, tapi mencampuri perkerjaan suaminya,
urusan kerajaan, yang dia berpikir berguna tidaklah salah, tanpa banyak cing
cong dia izinkan upaya ini, dan sekaligus memanggil kepala urusan rumah tangga
untuk mengantar tamu Babah ini ke istal yang baru, rumah panggung prajurit yang
dirubah jadi istal. Semua kuda nampak jauh lebih baik dari waktu tiba, kulitnya
berbulu licin, sudah aktip bergerak, dan makan banyak.
Semua kuda mata kiri kanan sudah ditetes, lebih tepat
diguyur dengan air dari guci. Sambil ngomong omong dengan bahasa Jawa
halus walaupun masih kurang jelas dan tidak bisa mengucapkan r dengan jelas,
akhirnya mereka diundang untuk menginap di pesanggrahan sambil menunggu
perahu yang akan membawa mereka ke Kadiri. Keluraga Yap ini sangat
bersimpati pada tuan putri, dan adik adiknya yang telah kehilangan
seluruh keluarganya. Mereka yakin dewa dewa tidak akan mebiarkan
kekajaman ini, mereka juga kenal betul kelakuan pasukan berkuda waktu
menyerbu. Malah akhirnya kelurga Yap bersedia untuk tinggal di salah satu
Pavilion Pesanggrahan, sambil menunggu Raden Wijaya, dan ikut menjaga
kesehatan kuda kuda yang baru datang dari Luwu,
Raden Wijaya datang dengan sepuluh kuda
dari Kling, kebanyakan betina, dari sekitar Desa Ngetos, ada yang sampai
ke wilayah Brebeg, dia tebus kuda atas nama Raja, dengan harga yang sangat memadai,
meskipun kadang dengan alot, untungnya ada penyakit bolor yang manakutkan si
empunya kuda. Orang marga Yap menerangkan bahwa dia menuju ke Kadiri,
untuk tinggal disana, mengumpulkan batu kawi, kemudian dikapalkan ke
China. Selebihnya Raden Wijaya cuma tertarik pada pengobatan kuda dengan
membuat cairan yang terbuat dari air kelapa yang dicampur dengan bolor kuda,
diperam sampai agak asam. Sudah itu ditambah lagi dengan air kelapa satu
banding satu. Ini memberi daya tahan tehadap bolor dalam waktu dua bulan
penetesan mata ini harus diulang. Raden Wijaya ingat di Madura orang mencegah
penularan campak dengan cucian baju orang yang sakit cacar, dicampur dengan air
kelapa yang diasamkan. Akhirnya keluarga Yap menyetujui akan tinggal di
Pasanggrahan selama raden Wijaya membutuhkannya, asal boleh pulang pergi ke
Kadiri dan sekitarnya untuk mencari tahu pengumpulan batu kawi ini. Disetujui
oleh sang Raden yang kepepet, dan dijanjikan akan dibantu sekuatnya
Tidak disangka bahwa nyonya Yap sudah jadi sahabat
baik Tuan putri dan adik adiknya. Setahun kemudian, waktu keluarga Yap menginap
di Pasanggrahan untuk mengantar seperahu batu kawi sambil menunggu jung china
tiba, terjadilah huru haru yang besar, Jung Jung perang Kublai Khan sampai di
Pelabuhan Terung. Ujung Galuh, menuju ke Singhasari untuk menghukum
Paduka Kartanegara, Jumlah jung perang tidak tanggung tanggung dua
puluh jung besar besar lengkap dengan seribu serdadu bertameng kuningan dan
bermeriam besar besar dari kuningan,
Pesanggrahan Tarik sama sekali tidak siap untuk
kedatangan tamu yang belum tentu tujuannya ini. Untung salah satu jung yang
terbesar melempar sauh dekat dengan Pesanggrahan, Menurunkan sekoci
dengan sepuluh orang, rupanya Pimpinan Pasukan berpangkat Laksamana dan perwira
dekatnya. langsung disambut dengan la’ang tua dari Pamekasan di geladak yang
masih baik dibangun waktu sang Jayakatwang berkunjung ke Pesanggrahan
itu. Saat itu malah keluarga Yap ada disana ikut menemui tamu Laksaman Mongol,
dengan rombongan sang putri.
Mau atau tidak Nyonya Yap berlaku sabagi jurubahasa
untuk kedua belah fihak. Mereka diperlakukan sebagai tamu yang terhormat, tidak
ada lain pilihan. Saudagar Yap dengan Raden Wijaya masih pergi beberapa hari ke
Kling. Sang putri bunting besar. Pasukan Kublai Khan ini sebenanya dalam
misi penaklukan di Kawasan Asia Tenggara, seorang Laksaman juga pangeran Mancu.
Sang Pangeran Mancu terkesan atas penyambutan yang tidak dia kira, wong
tugasnya menjelajah dan menaklukkan bangsa yang masih liar. Diterangkan oleh si
Nyonya bahwa tuan Rumah dan suaminya lagi pergi selama empat hari, bahwa tuan
Rumah bekerja untuk Raja mengepalai peternakan kuda, karena dijelaskan
bahwa kuda kuda pada mati diseluruh Negara kena penyakit pernafasan, Sang
pangeran terus terang bahwa dia dan dua puluh jung bersenjata bertugas dari
kaisar Kublai Khan untuk mngajar sopan santun kepada Raja Singhasari, dan
menuntut penaklukan siapapun yang ada di Pulau ini. Sang Nyonya memutuskan
dalam hati dialah sekarang pemegang peranan. Nyonya Yap mengatakan bahwa sang
pengeran segera harus menuju ke Kadiri di hulu Sungai ini sementara air nasih
besar, tidak bisa diundur lama lama kerena air sungai surut, masuk musim
kemarau. Kadiri telah menaklukkan tiga Kerjaan di Jawa dengan
rampasan emas tiga gerobak sapi, karena di Wengker ada tambang mas.
Mendadak Putri sang tuan rumah berlutut dengan menyembah, lalu memberikan
kalung emas tanda Garuda Wisnu lambang Kerajaan Singhasari, beserta duaratus
gentong nafta dari Arosbaya, supaya diambil besok di geladak. ( Nafta
rembesan dari minyak bumi yang dipergunakan untuk pembakar panah api dan priuk
api). Rupanya sang Pangeran Mancu sudah tahu garis besar apa yang terjadi di
Jawa, dan siapa yang tinggal di Pesanggrahan ini. Dia menerima lambang
kerajaan dengan dua tangan, dan berucap akan mendapat lebih banyak dari ini di
Kadiri. Tanpa banyak cing cong, Pangeran ini itu tesenyum dan mengangkat sang
Putri dari berlututnya.
Entah karena rokh Ni Ratri masih bergentayangan
mencari balas, entah misi terpenting dari pelayaran jung jung perang ini adalah
misi penaklukan, Sang Pangeran Mnncu lebih suka menyerbu kerajaan Kadiri yang
dengan mudah dia capai dengan melayarkan separo jungnya dengan tiga perempat
tentaranya. Nyonya Yap mengajukan diri untuk memilih juru batu (mengukur
dalamnya alur pelayaran, sementara perahu berjalan) yang dia kenal juru batu
yang handal karena dia sering berlayar hilir mudik sungai ini, mengangkut batu kawi.
Pangeran Nancu menepuk paha, senang sekali bertemu
dengan wanita wanita pintar di tempat liar ini. Setelah memberikan sepotong
batu giok yang bertulisan emas cakar ayam kepada tuan putri dan menjura sambil
mohon pamit desertai dengan janji besuk siang akan menjemput juru batu yang
dibutuhkan, dan gentong gentong nafta pasti dia bawa.
Semua rombongan ikut menjura dengan merangkap kepalan
tangan di dada dibalas dengan sembah tuan putri, mereka meninggalkan
Pesangrahan dengan gembira.
Semua tidak mengira bahwa tuan putri masih menyisakan
lima ratus gentong lagi digudang. Segera disuruh menggotong ke
perahu untuk diangkut dibagikan ke sepanajng kali Brantas dari Papar sampai ke
Wonoasri, wanti wanti setiap desa mengerti cara sederhana membuat panah gajah
busur dan anak panahnya dari pucuk bambu, Pulau jawa yang mendapat kesulitan
besar diserbu dari sungai oleh jung jung perang Manchu.
Dua hari penuh jung jung ini baru didayung ke
Kadiri, mendekati kota Kadiri, semua tentara Manchu dengan perisai kuningan dan
tombak berkait turun di pelabuhan, seluruh penduduk kota gempar. Para prajurit
Mongol berbaris rapi berlari menuju ke kedhaton. Di sekitar kedhaton para
prajurit Kadiri sudah berbaris, pasukan berkuda andalan Mahaprabhu Jayakatwang
ada di sayap kanan kiri pasukan darat agak jauh, siap dengan panah
dan busurnya yang istimewa. Akan tetapi Semua jung membentuk formasi
jajar, mengarahkan tembakan meriam meriam besar ke Kedhaton, tidak suatupun
yang bisa menahan peluru peluru meriam besar ini, segera suara bergemuruh
diseluruh kota, kedhaton porak peranda menghadapi ratusan tembakan meriam
meriam besar yang sebenarnya disediakan buat mendobrak kota berbenteng.
Sedang kedhaton Kadiri tidak bertembok tebal seperti benteng.
Peluru meriam yang dalamnya berongga diisi mesiu
dengan sumbu, meledak diudara, memporak perandakan para kuda dan prajurit
darat. Hanya kekerasan dan disiplin yan membuat prajurit berkuda ini untuk
kembali ke baris siaga dan mencegah mereka ini lari pontang panting, sungguh
menghadapi musuh yang tak seimbang. Belum pernah sebelumnya meriam meriam
berat diadu dengan barisan prajurit, selain dengan benteng tembok tebal.
Prajurit darat Kadiri bersenjatakan tameng kulit kerbau dan tombak panjang,
kocar kacir mendapat tembakan meriam dari arah belakang, sedangkan perintah
maju diturut hanya supaya tidak hancur ditimpa peluru yang meledak diatas
disamping dan dibalakang, pendeknya mereka dilumatkan dengan peluru jenis ini,
pasuka berkuda dari sayap jauh, meskipun tidak kena tembakan peluru meriam yang
bersumbu ledak, toh jumlahnya hanya sedikit hanya lebih sedikit dari seratus
pasukan berkuda. Terlebih waktu berlari dengan semangat besar menghadapi
formasi pasukan Mungol yang berperisai kuningan, memantulkan sinar api
kebakaran Kedhaton, laksana api itu sendiri begerak maju dengan teratur.
Serbuan pesukan berkuda yang tidak seberapa dari samping sambil berlari, hanya
sedikit berkibat buruk pada formasi tameng kuningan ini karena panah pasukan
berkuda tidak bisa menembusnya, tameng ini cukup lebar dan tebal, lagipula
tombak yang berkaitan itu telah meminta korban banyak dari pasukan berkuda yang
sedikit ini. Sungguh menyedihkan, pasukan berkuda yang perkasa ini hilang
dayanya. Mahaprabu Jayakatwang akirnya kehabisan anak panah dan daya gerak kudanya,
jatuh dari kudanya karena dijerat dengan laso yang jatuh menjeratnya seperti
hujan, beliau tertawan, selain itu semua pasukan berkudanya lari
serabutan menyelamatkan diri, hanya untuk dikait dengan tombak tentara darat
mongol dan ditombak ramai ramai. Hanya sedikit yang melarikan diri selamat.
Kedhaton terbakar hebat, pasukan mongol menyerbu kedalam, mereka menuju ke
gudang kerajaan dan mendapatkan lebih dari empat gerobak sapi emas dan perak.
Kain dan permadani lebih dari enam gerobak yang wutuh tidak ikut
terbakar. Kutuk Ni Ratri terlaksana dengan sepenuhnya.
Waktu tembakan meriam dihentikan, dan tentara betameng
kuningan berbaris kembali ke kapal dengan sepuluh gerobak rampasan perang,
Kedhaton masih terbakar hebat,
Mendengar ada jung perang minggir mendarat di
Pesanggrahan Raden Wijaya lengsung pulang, hanya untuk diantarka ke dermaga
depan sambil dibawakan bekal dan diberi minum susu kuda oleh tuan putri, dia
dan kudanya beserta dua pengikutnya naik perahu dayung ke seberang sungai,
desertia pesan bahwa Mahaprabhu sangat membutuhkan dia, dan wanti wanti
jangan lupa, menyiapkan panah gajah disepanjang pengggiran kali Brantas.
Tiddak tahunya putri Gayatri telah mengutus kurir berkuda ke Perdikan
Sendang, di tepian sungai Porong, memberi kabar bahwa jung perang Mongol ada
sepuluh jung lengkap dengan merian dan prajurit mudik ke Kadiri, Ki Bismasadana
menngerti makna kisikan ini, Maka kedua muirdnya dua bekas pengiring Raden Wijaya
dan banyak kaum pedagang dari Japan membawa ratusan perahu segera mengerti arti
kabar ini. Mereka segera memperiapkan panah panah gajah mendayung ratusan perhu
mudik dan mampir ke setiap Desa penting sepanjang sungai, meninggalkan nafta
dan minyak yang sudah dikumpulkan di Japan untuk dibagi setiap Desa dari
Wonoasri sampai ke Minggiran, memberi semangat dan aba aba siaga dengan panah
gajah bila jung jung perang ini kembali menghilir sungai.
Raden Wijaya dengan beberapa pengikutnya datang di
seberang utara sungai Brantas, menemukan sisa sisa pasukan berkuda yang tanpa
kuda, sebagian pasukan darat, hanya berteriak teriak dari pinggir sungai dan
dibalas dengan tembakan meriam sangat gemuruh, yang makan barongan bambo
dipinggir bengawan Brantas, sedikit korban dari penonton yang langsung lari
mundur. Raden Wijaya baru ingat pesan wanti wanti sang putri mengenai panah gajah.
dia dan sedikit pengikutnya dengan upaya hampir diluar kemampuan manusia berkuda
mondar mandir mengerahkan tenaga semua orang lelaki untuk memotong bambu ori
dipinggir kali membuat busur panah gajah, yang ditembakkan sambil terlentang
diatas papan penembak, busur ditarik dengan kedua tangan, anak panah dari pucuk
bambo yang diluruska dengan dipanaskan diatas unggun api, lebih sedepa dengan
ujung ujungnya dilibat kain kain apa saja. Bagi rakyat lebih baik telanjang
dari dijajah bangsa Mongol. Kain kain ini dilumuri segala minyak terutama
minyak jarak yang tertimbun di utara sungai tempat perajin panah istimewa
dibuat, Kampung Nyutran.
Jadilah satu busur yang memadai, satu papan untuk
pemanah bertelentang, dua kaki keatas menjejak busur, ujung panah dibakar,
panah gajah ditembakkan keatas melengkung jatuh mrnghnjam kearah perahu perahu
jung, yang dari samping tidak bisa dibakar dengan panah api karena dibentengi
dengan perisai perisai kuningan dari prajurit darat yang dirangkai dengan
rajutan tali tali, mirip sisik ikan, baju zirah raksasa dikiri kanan
lambungnya. Yang ini kebal terhadap panah api dari samping. Tapi lain
dari panah gajah yang ditembakkan keatas, membuat lengkung lintasan anak panah
raksasa yang melengkung tajam menukik kebawah, tinggal bagaimana membidiknya
saja.
Setengah malam lusinan busur busur panah gajah
sudah terpasang lengkap dengan papan penembaknya, anak panah ratusan
dibebat dengan apa yang bisa menyerap minyak, dipasang ekor pengarah dan
keseimbangan dari belahan daum kelapa yang dipotong dan diikatkan di ekor
anak panah dengan rapi laksana ekor panah biasa dari bulu angsa.
anak panah bambu jenis kecil yang biasa dibuat gagang sapu, atau ujung
bambo yang biasanya tidak lurus. menjelang tengah malam siap ditembakkan dari
Minggiran,Papar Wonoasri dan Kertasana, Upaya tanpa lelah dilakukan
sepanjang sungai oleh rakyat, menyediakan panah gajah, sepajang kali Brantas.
Setengah dari lingsir malam yang bersejarah, dari
Papar sampai ke Ploso, berjajar sepanjang pinggir kali Brantas berlapis lapis
panah gajah dibuat disepanjang tepi sungai oleh rakyat. Para penembak
bergantian mencoba sudut tembak yang paling bagus ketengah sungai, artinya anak
panah turun hampir lurus kebawan ketengah sungai.
Sulit untuk sang Laksamana, melayari sungai yang tidak
lebar dan dikepung bahaya ini, atau menurunkan prajuritnya yang
sidikit itu, guna memadamkan semangat perlawanan dengan membantai mereka,
sebagai konsekuensinya harus mepersenjatai mereka dengan tameng kuningan
yang telah terpakai untuk melindungi perahu perangnya dari panah api biasa dari
samping supaya tidak menancap di lambung perahu. Toh anak panah gajah ini
jatuh dari atas, sehingga menolak anak panah berapi ini sangat sulit, andaikata
tidak menancap pada tameng toh jatuh ke geladak atau perut jung yang penuh
barang dan mesiu.
Akhirnya sang laksamana dengan marah menembak dengan
meriam tanpa henti kemana saja ke pinggiran sungai yang sekira ada orang yang
bergerak, sambil menghilir sungai tanpa juru batu, malam lagi. Makin jauh dari
Kadiri makin tepat dan gencar panah gajah berapi ini makin merupakan
hujan api yang sulit sekali ditangkis, dari dua sisi kali yang sempit
dibandingkan dengan sungai Mekong, sungai Huang Ho atau sungai Musi, tanpa
mendekat ke pinggir yang penuh penembak panah gajah yang akan membakar
perahu. Menjelang pagi sudah lima diantara jung penyerbu yang terbakar
hebat, atau meledak, kali menjadi ramai orang orang memburu anggauta
pasukan Mongol yang berenang menepi, dengan bambu runcing, bahkan menembaki mereka
yang naik potongan papan menghilir kali, karena takut minggir. Begitulah hasil
panah gajah dadakan dengan akal rakyat yang disulut oleh Raden Wijaya tanpa
lelah. Jayakatwang sebagai tawanan di jung ingat kata kata yang
didengarkan tanpa suara, waktu bermain catur dengan Raden Wijaya, Satya haprabhu,
gineng pratidina, tansutresna. Dia jadi memastikan ini semua
digerakkan oleh Raden Wijaya. Jung yang sampai di Wirasabha hanya
dua, yang dinaiki oleh laksamana, telah kandas di dekat pengkolan sungai di
Kertasana. Menjelang pagi, Raden Wijaya sampai di pinggiran sungai
brantas di Kertasana. Menunggu mau diapakan oleh pendeganya perahu
perang yang kandas ini Satu panah gajah ditembakkan oleh rakyat dan
anehnya tepat jatuh ditengah tengah geladak jung yang kandas itu,
membakar barang disekitarnya dan dapat dipadamkan dengan susah payah,
karena tidak seorangpun yang berani menimba air dari sungai. Para
serdadunya meloncat dan turun ke papan papan untuk berenang
menghilir sungai hanya untuk jadi sasaran setiap busur panah gajah buatan
rakyat dengan anak panahnya bambu dibebat segala rupa pakaian dan dicelup
minjak nafta !. Raden Wjaya menandai kok banyak panah gajah yang
njala apinya seperti nyala nafta, mulai dari ke hilir sungai Brantas Wonoasri,
dan tembakan panah makin lebih tepat ?
Putra putri pelarian dan raden Wijaya tidak menyadari
bahwa, Pesaudaraan Kaum Pedagang dan rakyat Japan, ratusan mereka
berlayar mudik kali Porong, menuju Kadiri !,
Segera sesudah Ki Bismasadhana, mendapat kunjungan
romnbongan Aria Wiraraja mampir kesana, Ki Bhismasadhana mengerahkan
ratusan sukarelawan ahli panah gajah, Berbulan bulan sukarelawan
ini diam diam mengajari membuat dan membidiknya ke semua desa desa penggir kali
Brantas dari Kertosono. mudik sampai Kediri, dan penduduk tepian Brantas
sudah disiapkan oleh sukarleawan dari Porog dan Japan, sampai
berbulan bulan, termasuk Carat Seto dan Gajah Segara , tanpa diketahui,
sadara seperguruan Tumenggung Bebetenging Praja Wijaya dan
keluarganya
Menjelang matahari terbit Jayakatwang di exekusi penggal
kepala tanpa suara dan pesan, sesudah itu laksamana Pengeran Mongol bunuh diri.
Semua anak perahu jung ini manakluk dan Raden Wijaya naik sampan mendekati jung
yang kandas ini, lantas menanjat ke dalam jung, Dia menlihat sang
Mahaprabu sudah kehilangan kepalanya, Laksamana Mongol menggorok lehernya
sendiri dengan pedang, tangan kirinya masih menggenggam sesuatu, yang ternyata
kalung raja Singhasari berukir garuda Wishnu, lambang kerajaan yang diberikan
raja kepada putrinya yang tertua.. Lanbang emas itu langsung diambil
dari tangan Laksamana yang belum kaku. Salah satu anak buah Raden Wijaya
mengambil kepala Mahaprabhu Jayakatwang dlbungkus dengan baju jubah Laksamana
yang tidak kena darah. Raden Wijaya diam saja. Dalam jung ini Raden Wijaya
menemukan harta rampasan perang pasukan Mongol. Ternyata Laksamana
membanjiri lambung yang penuh mesiu ini dan membuat bagian yang tanggelam dari
lambung jung ini bertambah dalam masuk ke air, sehingga kandas di
karang belokan sungai, tidak biasanya belokan sebelah luar sungai jadi
dangkal, ya karena dasarnya batu, jadi di bagian dalam belokan ini malah
dalam, bagian luar belokan ini malah mambuat jung perang kandas disitu,
bertengger diatas dasar sungai yang terdiri dari batu andesit dan padas, yang
sulit tergerus arus sungai.
Dengan cepat tempat harta rampasan ini ditutup kain
layar oleh Raden Wijaya, dia menyuruh menimba air dari dalam jung,
sebentar saja jung sudah brgerak dari kedudukan kandasnya, dipingirkan dan
mengajak rakyat ikut berlayar ramai ramai. Dari disi Sungai ratusan tembo
mengikuti jung rampasan ini sambil bersorak sorak jaya jaya Nusa Jawa.
Jadi sebenarnya Raden Wjaya tidak pernah menyesatkan
armada penghukum Mongol untuk menyerang Kadiri, juga tidak pernah menohok
kawan seiring dengan menyerang balik armada penghukum Kublai Kahn seperti yang
menjadi sejarah zaman ini. Yang terjadi adalah si Nyonya marga Yap yang
bersemangat mendorong sang Pengeran Mancu untuk menjarah kerajaan Kadiri, demi simpatinya
kepada sahabatnya sang putri sulung Kartanegara. Mungkin juga
karena kutuk Ni Ratri, tidak ada yang tahu
Memang mestinya dalam hitungan akan sangat
gampang dengan meriam meriam besar yang diangkut lewat sungai, menggempur
Kedhaton Kadiri . Ya memang benar, Tapi adanya panah gajah berapi yang
jatuh dari atas karena lintasannya yang sangat melengkung , artinya panah jenis
ini jauh lebih kuat busurnya dari panah biasa, bisa diadakan dengan sangat gampang
dan cepat, dari bambo dan daun kelapa sebagai penyeimbang, adalah kreasi yang
sangat cepat dan tepat dari rakyat. Tidak ada yang mnengira bahwa putri
masih mengandung janji kuwajiban membalaskan kematian ayahandanya.
Adalah dharma yang mereka lakukan dengan anggun dan cerdas. Putri Kartanegara
ini yang mendorong rakyat dengan busur dan panah gajah yang dicelup nafta
kiriman beliau, ide cemerlang putri inilah yang membakar armada
penghukum Kublai Khan, disaamping upaya Brahmana Ki Bismasadhana yang sudah
menggembleng rakyat pinggir sungaI Brantas itu.
Raden Wijaya menemui istri tercintanya, sambil
menggemggam lambang kerajaan Singhasari ukian garuda Wisnu yang
entah karena apa sampai di tangan sang Laksamana Mongol. Dibalas oleh
sang putri memberikan lempeng batu giok hijau muda yang bertulisan cakar
ayam dengan tali merah dari sutra, yang kira kira artinya siapapun yang memegang
lempeng ini akan dibantu oleh setiap prajurit Mongol.
Raden Wijaya pergi lagi, mengunjungi jung perang
pasukan mongol yang lagi menerima mayat panglimanya, mereka pada berlutut
kearah Raden Wijaya yang menunjukkan lempeg batu giok itu.
Sebagian prajurit dan pandega dilepas pulang ke
asalnya sebagian ingin tinggal di bumi Tarik dan Ampel Denta.
Siapa mengira bahwa putra putri sang Kertanegara
mengajari rakyat membuat dan menggunakan panah gajah dipinggir kali Brantas
dari Papar sampai Kertasana dan Ploso diberi dua gentong nafta setiap desa, dan
diajari membuat panah gajah, dengan anak panahnya berekor penyeimbang dari daun
kelapa yang dipangkas pendek, adalah untuk menyerang jung jung penjarah ibu
kota Kadiri. Ternyata tuan putri dua kali lebih cerdas dari siapapun yang
hadir menyambut Laksamana pangeran Manchu kala itu, atau Ni Ratri masih mengharu
biru mengarahkan kejadian untuk melaksanakan dendamnya, tiada seorangpun yang
tahu .Yang jelas berbulan bulan sesudah kunjungan Aria Wiraraja, sukarelawan
dari Japan dan Porong mengerahkan tenaga siang malam untuk melatih rakyat dan
mengajari membuat busur panah gajah dan membidiknya dengan tepat, setara dengan
para putri dan pangeran dari sang Kartanegara *)
Jam 6 00 pagi
MATAHARI
TERBIT DI WILWATIKTAPURA LURAH
BHAYANGKARI WILWATIKTAPURA.
Uang yang
beredar di Wilwatiktapura menandai telah mulai dibangun kota pelabuhan “tiban”
Wilwatikrapura. Uang sebagian beredar diseputar lokasi pembangunan kota itu hingga
limapuluh yojana, meliputi Kadiri, Kling (Nganjuk), Wirasaba (Mojokerta) bahkan
sekitar Rajeg Wesi ( Bojonegara). Uang ini adalah belanjaan pembelian kayu bangunan,
batu kapur gergajian dengan ukuran kubus yang sehasta rusuk rusuknya, Batu batu
umpak tiang tiang bangunan dan candi candi. Sebagian untuk peperluan makan,
yaitu sembilan bahan pokok, yang bisa disediakan di tempat adalah kayu
bakar untuk masak, yang lain terpaksa
didatangkan dari tempat tempat hunian sekitan bangunan kota baru ini. Lurah Bhayangkari
harus mengamankan jalur supply ini.
Ternyata
banyak jalur lalu lintas baru, banyak pemberhentian perahu baru sekitar lokasai
pembangunan kota yang harus diamankan dari kejahatan terutama dari perampokan
dan pencurian. Jalan rintisan dari segala arah menuju ke bekas hutan Maja ini,
semakin ramai, warung warung, gudang
tempat barang barang dagangan diturunkan dan berganti pemikul atau
berganti gerobak bila jalanan memungkinkan, Tempat tempat pemberhentian lalu
lintas pemikul atau gerobag ini rawan untuk jadi tempat para penjahat menjadi raja
kecil menarik uang keamanan, sangat menjadi perhatian Lurah Bayangkari. Semua
kedai Tuak dan warung remang remang juga menjadi perhatian lurah Bhayangkari
kota yang baru dibangun ini.
Setelah
Ranggalawe terbunuh karena perkelahian dengan Kebo Anabrang, Lurah Bhayangkari
sadar bahwa ada yang mengincar Gudang
Uang picis emas perak , untuk membangun kota ini.
Dalam
hal ini Gajah Gombak dari Mada mengadakan perundingan dengan Raden Wijaya maka
mereka mohon kepada sang Guru Bagawan Bismasadana dan Rsi Suradharmayogi untuk
menghubungi Ketua semua Perguruan Silat aliran lurus, sampai wilayah Pengging
dan Kedhu, untuk membantu dengan mengirimkan muridnya yang terbaik ke Wilwatiktapura
untuk menjadi Pengaman luar dan dalam. Malah perguruan silat khusus pendekar
wanita dari Gunung Jati, Jawa Barat , “ Sekar rinonce” juga diundang. “Sardula
Liwung” dari Gunung Ijen, “Trimurti” dari Lembah Rengganis, “Trisula” dari
lereng Gunung Wilis, perguruan “Gunung Pandan” dari Rajeg wesi, dan masih lima
enam lagi perguruan silat tingkat tinggi yang diundang. Yang aneh lagi munculnya
perguruan silat yang sangat tersembunyi tidak pernah muncul ke permukaan adalah
“Sarapwaja” dari Sidayu, muara Bengawan Solo, yang senjatanya berupa talempak
atau tombak pendek bermata lebar serupa dayung, nama setempatnya sarap, mereka
ini sangat dibenci oleh sakte nyleneh agama Hindu aliran Bhairawa, karena
disamping mengaharamkan semua prilaku anggauta aliran ini, kecuali tidak
mengharamkan memuaskan makan ikan, juga mempunyai kemampuan melawan kekuatan
hitam yang sangat handal yang dimiliki
oleh golongan Bhairawa ini. Menurut pandangan kaum Sarapwaja, memuaskan diri
dengan “Ma” lima yaitu “Matsya” makan ikan, “Ma’argya” (mabok minuman keras),
“Mamsya” (makan daging segala binatang
), “Maudra” (menari nari sampai trance), dan “Maithuna” ( berhubungan sex
secara orgy liar) untuk mencapai kesempurnaan adalah pembenaran menyesatkan dan
palsu. Karena orang mengendalikan hawa nafsu itu maksudnya supaya menggunakan
energinya untuk mengasihi sesama ciptaan Sang Maha Agung, dan pemurah kepada
mereka, berupaya “mamayu hayuning bhawana” atau membuat lingkungan hidup
menjadi berharga untuk dihidupi. Maka dengan memuaskan hawa nafsu sekehendak
sendiri mengumbar hawa nafsu diri
sendiri sehingga puas dan serta merta mengalami kesadaran yang tertinggi itu
bohong, karena mengorbankan kepetingan orang lain.
Lha
bila orang hanya sibuk memuaskan diri sendiri saja, kan menyusahkan orang lain juga. Mpu Lurah
Bhayangkari sengaja mengundang Kelompok silat yang tidak pernah terkenal di
dunia persilatan ini karena golongan ini selalu bisa menangkal kekuatan kaum
Bhairawa secara wadag maupun memunahkan kekuatan magis hitam nya.
Sebenarnya
pandangan perguruan Gunung Pandan dari Rajeg wesi, yang sangat dipengaruhi
Pesilat kaum Bu Tong dari Negeri China, dan azas panteisme dari Parsi, bertumpu
pada ajaran Budha, menentang pengumbaran hawa nafsu bahkan makan daging
dan lain barang berjiwa saja mereka
hindari, pantang minum minuman keras,
dan sangat menghormati kaum Pendeta Budha nya yang harus menjalani brahmacarya
atau tidak melakukan hubungan suami istri (celibate). Anehnya di tingkat yang paling
tinggipun kaum ini masih keder menghadapi kekuatan magis kelas tinggi dari kaum
Bhairawa yang mendatangkan Bhatara Kali
silih rangkap dengan Bhatara Rudra. Iya ini bisa dimengerti, sebab walau di
tingkatan yang tinggi dari aliran yang dipengaruri Budhisme ini masih
menyandarkan kehidupan wadagnya dari perlindungan dan pemberian Penguasa dan rakyat
termasuk orang orang kaya, jadi mengandung pamrih, atau maksud agar dijamin
kepentingan duniawi mereka Ya seperti yang sekarang sementara pendeta pendeta
Budhis ngebela belain pelindungnya walau jelas lelas menyuap Penjabat Negara
seperti Hartati Murdaya Poo tanpa malu malu.
Sedangkan
kehidupan wadag kelompok Sarapwaja menyandarkan
pada Allah dan berupaya dengan tenaganya sendiri bekerja mencetak sawah
dirawa rawa mencetak sawah tambak dengan
kekuatan sendiri walau perkerjaan ini
sangat berat. Pada lingkungan perguruan silat Sarapwaja alias Aswaja
yang berdasarkan agama Islam, meskipun mereka kawin secara wajar dan tidak
pernah celibate, mereka makan daging yang disembelih dengan azas “Atas Nama
Allah yang Maha Pemurah dan maha Pengasih”. Dan azas itulah yang melandasi
setiap perbuatannya. Maka wadag mereka seperti dilindungi oleh tenaga yang
tidak nampak dan mampu membakar balik kekuatan magis hitam andalan kaum
Bhairawa apapun berikut pelakunya.
Konon
menurut Waliullah, Pemimpin mereka, Allah Sang Hyang Widiwasa berkenan mengganti
segala petunjukNya yang dibawa oleh Utusan Utusannya yang terdahulu dengan
Petunjuk dan Perintah yang dibawa oleh UtusanNya yang terakhir Muhammad
Rasulullah. Azas hidup yang paling alami bagi Manusia dan pasti bisa dilakukan, melandasi semua
perbuatannya dengan mengatas namakan Allah yang Maha Pewmurah dan Maha
Pengasih, Bahkan Allah memberikan sandi asma (pass word) Adanya Malaikat hanya
tunduk pada perintah Allah.
Akantetapi
untuk mereka dalam keadaan genting melawan apapun wujud magic dari Kaum Bhairawa yang sekuat Bhatara Rudra
sekalipun akan terbakar, bila pass words ini diucapkan, terbakar bersama kekuata
nmagic apapun pelakunya, karena Allah memperkenenkan malaikat melakukannya,
Orang Hindu menyebut keistimewaan ini sebagai “ajian Cunda Bhairawa”, mirip
cermin ga’ib yang memantulkan dengan kekuatan berlipat lipat energy black magic yang dicurahkan oleh
pengirimnya, kebanyakan kaum Bhairawa, yang merasa terganggu aktivitasnya. Di Pedalangan wayang kulit ajian ini milik
sang Puntadewa anak sulung sang Pandhu dengan ibu Dewi Kunthi, kakak dari semua
Pandawa. Sedang ajian Cunda Bhairawa itu
sebetulnya hanya sebutan pass word saja,
oleh orang yang beragama Hindu, dikira satu ajian untuk menghadirkan Malaikat guna menjaga diri
dengan mengembalikan segala energi kembali menghunjamkannya dengan kekuatan
berlipat lipat, nama yang seharusnya
adalah “cermin ga’ib”. Sedangkan
pimpinan kaum Bhairawa saja, Guruji Rsi Dutanggira
yang datang dari Atas Angin dan yang berumur tak terhitung panjangnya, juga
Guru Sang Prabhu Kertanegara yang sudah
makayangan, dia ini segan menghadapi kaum santri dari daerah Sidayu dan Garowisi.
Undangan kepada Aliran Aliran silat bersih ini untuk bergabung menjaga keamanan Wilwatiktapura,
yang rentan terhadap kejahatan yang terorganisasi seperti kaum Bhairawa. Sebagai
gantinya menjanjikan kebebasan yang sama bagi semua aliran agama, asalkan
mereka saling menghargai dilingkungan Wilwatiktapura. Ini mendapat sambutan baik dan Pimpinan, atau
Waliullah mereka sehingga datang hadir
atau mewakilkan pada murid tingkat atas mereka. Maka selama seabad kaum
Bhairawa tidak menyentuh Wilwatiktapura tapi berkumpul di Sengguruh (sekarang Malang)
dekat Singhasari, sebagai kebiasaannya secara exkluisive terbatas pada anggauta
dengan sumpah berat, sambil menunggu waktu, menebar pengaruh di Wilwatiktapura.
Sanggar sanggar latihan didirikan di Wilwatiktapura
secara mandiri masing masing aliran, sedangkan aliran Sarapwaja bergabung
dengan asyram perguruan Agama Islam, dan sama sekali idak mengadakan gladi
fisik di Wilwatiktapura. Ini disebabkan karena gladi fisiknya ada di rawa rawa
luas di muara bengawan Solo, membuat saluran saluran, pintu pintu air, agar
hanya air tawar saja yang bisa masuk ke sawah mereka yang juga panen dua kali setahun.
Kecuali musim banjir, ditanami padi rawa
yang malainya bisa terapung kepermukaan air banjir dari kedalaman sampai
sedepa, juga ditebari ganggang yang menjadi pupuk bila air surut nanti.
Pekerjaan yang sangat berat. Mereka menggali lumpur rawa dengan sarap, linggis yang lebar semacam
dayung perahu, berbobot berat supaya bisa masuk kedalam lumpur dengan mudah,
inilah cara mereka untuk melatih tenaga dalam, melatih tenaga dalam pernapasan
dan pemusatan tenaga dalam mereka di pusar, disertai pemusatan dzikirullah.
Disinilah
teruji kecakapan Mpu Mada, semua unsur unsur baik dalam masyarakat
Wilwatiktapura ikut menjaga keamanan dan ketertiban diwilayah ini. Malah murid
murid senior dari perguruan Sarapwaja secara bergilir bertugas di
Wilwatiktapura secara diam diam, membantu Mpu Mada, secara sukarela, yang
jumlahnya sampai ratusan orang, mereka berkepandaian tinggi. Dengan mudah
mereka menyiisipkan dirinya di masyarakat Hindu kebanyakan dari wangsa waysia
dan sudra sebagai Pedagang, sebagai
pemilik komplek persinggahan para pemikul barang semacam “karavan
saray”(istilah Turki) nun di jalan sutra ditengah gurun dan padang rumput Asia Tengah. Warung warung kebutuhan pokok
dan obat obatan, dan bergerak mengajari anak anak kaum waysia dan sudra membaca
dan menulis huruf , terutama berhitung menggunaka lambang bilangan hija.iyah
yangv jayh lebih praktis dan huruf Palawa, terutama etika Islam dan memberantas
kejahatan, dan hidup bersih, dengan
secara diam diam bekerja sama dengan Bhayangkari Praja seluruh Negara, menjadi telik sandi sukarela, melaporkan berita dengan merpati pos. Maka selama seabad Wilwatiktapura menjadi pelabuhan
singgah dan arena jual beli antara dagangan dari pulau pula di Timur dan barang
barang dari China dan Atas Angin, India dan Parsi.
Suasana
inilah yang mengilhami para Dhalang wayang kulit, ratusan tahun kemudian bila
menggambarkan satu Negara yang kaya raya cukup segalanya, aman dan makmur, digambarkan
bahwa kerbau sapi di lapangan penggembalaan sore hari akan pulang sendiri
sendiri, tanpa digiring oleh penggembalanya, tidak ada pencurian ternak atau
pencurian apapun.
Pertemuan
Guruji Sang Dutanggira dengan Syekh Jumadil Kubro terjadi, karena kebetulan
Guruji Rsi Dutanggira berkenan mengunjungi pertemuan besar kaum Bhairawa dari
sekitar Wlwatiktapura di tepi Sungai Brantas yang berpasir dan sepi, yaitu di
pertemuan dua sungai, Kali Brantas dan Kali Konto, dan ini adalah tempat yang
dekat dengan Wilwatikapura, jadi tempat berkumpulnya kaum Bhairawa warga dari
Wilwatikapura, dan tepian yang luas
berpasir berbentuk cangkang penyu. Tempat
ini tepat untuk pertemuan kaun Bhairawa karena
pada zaman itu sepi sekali, juga gersang
melulu berpasir yang dibawa oleh aliran sungai Konto, sisi barat gunung
Anjasmoro.
Semingu
sebelumnya dilaporkan di wilayah itu ada perampasan dan pencurian ternak,
penculikan gadis gadis desa yang muslimah dilakukan secara misterius, yang
meresahkan peduduk desa desa sekitarnya. Merpati pos dilayangkan segera dari
telik sandi diwilayah Kertosono, diterima langsung oleh Lurah Bhayangkari Mpu
Mada. biasanya kejahatan terhadap masyarakat semacam itu dilakukan oleh
golongan yang mau menang sendiri mengandalkan kekuatannya. Mpu Mada menghubungi Asyram Islam di
Wilwatiktapura, dan kebetulan ada Pembiming yang sangat dihormati bertamu
disana, Waliullah Syekh Jumadil Kubro, Syekh ini sudah lama bermukim di Sedayu,
di asram mbah Pancir, kelana dari Lembah Pansyir dekat Pakistan sekarang.(makanya
sekarang nama tempat itu adala Paciran. Syekh ini linuwih, manusia luar biasa yang
bisa datang dan pergi semaunya, bisa berada dimana mana satu saat yang perlu,
dan mempunyai kehidupan wadag yang hanya melulu demi mengamalkan rakhman dan
rakhim, disamping kehidupan biasa sebagai petani. Kepadanyalah
dibisikkan satu pass word mendatangkan
satu Malaikat dari Allah, satu sandi
asma agar bisa menghadirkan Malaikat ini guna melindungi dirinya seketika, melindungi dari kekuatan
apapun yang bukan dari Allah.
Orang
Hindu menamakan aji Cunda Bhairawa ( mungkin kata “cunda” yang hanya ada di
sastra Jawa lama jadi asal kata pe-cunda-ng yang artinya nengalahkan atau
merendahkan) , karena kaum Bhairawa sangat menghindari barang siapa yang
memiliki ajian ini. Perlindungan yang
diberikan oleh Malaikat berlaku sebagai
cermin, yang memantulkan kekuatan magi hitam apapun yang menyerang dengan kekuatan
pentulan berkali kali lipat.
Disaat
rembulan mencapai bulatnya pada tanggal limabelas bulan “pranata mangsa” (hitungan
kalender petani di Jawa) mangsa kesembilan, ratusan kaum ini menari liar (
maudra) setengah telanjang mabuk (ma’argya) dan memuaskan diri dengan makan
daging binatang liar (mamsa dan matysa) dan ternak curian, hanya dibakar
sekenanya saja, diselingi pesta minuma keras (ma’argya), sungguh meriah dan
menjijikkan disekeliling api unggun yang besar pemuda pemudi gila, oran tua
sinting, orang setengah baya, melakukan
orgy sex (maituna) terbuka berserakan dimana mana, ditengah bunyi tetabuhan
gendang dan bedug menderu deru. Sang Bhismasadana menyertai Shekh Jumadil Kubro
yang berpostur tubuh seperti tokoh Semar dari pewayangan Jawa, mendadak sudah
ada di tengah kalangan dekat unggun api yang besar.
Tetabuhan yang berdentang menderu deru
mendadak berhenti. Api unggun mendadak mengecil hampir padam. Sang Rsi
Dutanggira sangat murka, badannya yang hitam itu mendadak nengkilat, rambutnya
yang hitam gimbal itu berdiri berkibar kibar. Dengan suara yang melengking
diakhiri dengan bentakan sebagai geledek membuat api unggun berkobar kembali
dengan api kebiru biruan.
“Makhuk apa kalian berani mengharu biru
upacara kaum Bhairawa yang lagi dipimpin oleh Datuknya ?"
Segera cemeti menyala nyala menyambar nyambar
kearah Syekh Jumadil Kubro dan sang Bismasadana. Suara menggelegar membalikan
arah sambaran cemeti disertai kobaran api menyambar Rsi Dutanggira, mebelitnya
tanpa ampun. Kobaran api cemeti melilit siapa saja yang hadir sehingga mereka
sadar dan kalang kabut mencebur sungai sambil menjerit dan melolong. Sebentar
saja tubuh Rsi Dutanggira yang hitam legam menjadi memerah manpak meronta
ronta, masih dililit oleh api biru dari
unggun yang menyala kembali, akhirnya tubuh Rsi yang tak terhitung umurnya ini meneteskan lelehan yang berapi api, akhirnya
mengecil dan habis.
Sunyi
senyap dipinggiran Sungai, ratusan anak
buah kaum Bhairawa tenggelam di sungai, atau terbakar menjadi abu. Rsi
Dutanggira habis menjadi tetesan api yang menyala nyala sampai habis semua.
Saat
itu Syekh Jumadil Kubro bersabda kepada Rsi Bismasadana, bahwa setiap tetesan
api wadag Dutanggira ini akan masuk menetes kedalam wadag para Nara Praja
Wlwatiktapura pada ratusan tahun kedua Wilwatiktapura, yang mereka berdua tidak
akan menyaksikan. Kini Wilwatiktapura aman tenteram tanpa gangguan kaum
Bhairawa. Mereka yang bersekutu ketahuan, mereka yang berencana membalas dendam
tersapu bersih.
Sedang
makin sedikit murid dari perguruan
Sarapwaja yang telah terpilih telah mewarisi pass word mendatangkan Malaikat
untuk melindungi diri dikalangan mereka,
dengan sendirinya makin sangat selektip mewariskan pengetahuannya. Pengetehuan
pass word ini hanya cocok utuk dipunyai kaum sufi, yang sudah ditingkat selaras
dalam nenjalani perintah Allah dengan rahman dan ahim.
Password
ini rupanya diberikan pada para santri yang sudah tajam rasa dan pengertiannya,
oleh karena mudah disalah mengertikan. Sampai kini hanya satu dua orang saja
yang menyadari adanya pass word ini.
Selanjutnya
abad abad kekuasaan Wilwatiktapura memasukkan dalam Undang Undangnya bahwa
menggunakan magic untuk mencelakai orang lain dianggap kejahatan yang bisa dihukum
berat, dengan barang bukti berupa boneka yang ditulisi nama orang, rerejahan
yang menyebut nama orang. Akan tetapi ilmu magic hitam tetap sulit dibuktikan
JATUHNYA JAYAKATWANG DARI SINGGASANA KADIRI
DAN KEKOSONGAN KEKUASAAN DI BHUMI MPU SINDOK
Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, bawa Kerajaan
Mataram Hindu, yang terletak dikaki gunung-gemunung yang subur dan indah,
diantara lembah dan gunung Merapi Merbabu dan pegunungan Dieng., Akhirnya
ada bencana besar dari ledakan gunung Merapi yang memuntahkan lava dan “wedus
gembel” yaitu awan sangat panas dan meluncur sangat cepat sepanjang lereng
berpenduduk petani dengan sistim pengairan sawah berundak yang mrnjadi
bagian besar dari pedukung ekonomi Kerajaan Mataram Hindu. Bencana alam itu dijuluki
Mahapralaya.
Anehnya juga, kali ini ledakan besar itu menyamping,
meledak kesisi lerengnya, tidak seperti biasanya kearah mulut kepundan
dipuncak, jadi kurang lebih meledak kearah atas, kali ini banyak menyaping
ke timur, memporak peranskan lereng timur yang penuh dengan usaha pwertanian
pendukung kerjaan mataram Hindu. Sidang darurat segera diadakan setelah
Mahapralaya , kiamat kecil ini, ternyata sebagian besar penduduk persawahan
yang subur telah tersapu “wedus gembel” awan yang sangat panas campur debu
vulkanic, persawahan dan desa desa akan sangat sulit dipulihkan.
Sesudahah bdeberapa tahun lewat, bencana besar yang
menyebabkan mahapralaya ini, Kepala Keluarga besar Kerajaan Hindu yang ada di
Jawa Tengah Empu Sindok, memutuskan memindah kerajaan mereka ke Timur.
Sesudah penelitian para Brahmana dan Ksatria, mereka
sependapat di dataran antara Gunung Bromo dan kumpulan gunung Arjuno Anjasmoro
dan Welirang, dilereng Tenggara Gunung Pananggungan. Mpu Sindok membentuk
wangsa Isyana dengan sederetan penerusnya antaranya Raja yang terkenal Sang
Airlangga, kemdian kerajaan dibagi dua Janggala dan Kadiri.
Dalam perjalanan waktu, timbul pusat kekuasaan baru,
di Tumapel, dengan Ken Arok sebagai pendiri wangsa Girindra, wangsa ini
ditabalkan jauh sesudah pendirinya sendiri meniggal, antara lain oleh
kekuasaan Kerajaan baru. Pendukung berdirinya wangsa ini adalah Mahaprabhu Kartanegara
yang telah menaklukkan Bali dan Kerajaan di Sumatra.
Setelah Sang Jayakatwang, jadi penguasa Kerajaan
Singhasari, dengan sendirinya jadi yang dipertuan dari Negara Singhasari dan
Kadiri. Singhasari jatuh oleh serbuan kilat pasukan berkuda dari Kadiri.
Maka di Bhumi jang diberi arti oleh Mpu Sindok menjadi tanpa penguasa yang
pasti.
Raden Wijaya, sebagai sang menantu dari Mahaprabhu
Kartanegara, yang mati mengenaskan oleh serbuan kilat pasukan berkuda sang
Jayakatwang, penguasa Kadiri, kemudian Raden Wijaya diampuni menjadi bawahan
sang Mahaprabu yan baru setelah berkutat dalam pelaraian yang panjang. Faktanya
dialah sosok yang ada di pusat pusaran peristiwa peristiwa penting yang sangat
mendadak, tanpa kemuauannya sendiri.
Tanpa pengumuman kemenangan, tanpa tiupan terompet dan
tambur, Raden Wijaya membuka hutan dekat Wirasabha. Tepatnya antara Wirasabha
dan Tambelang, yang merupakan tanah datar karena sedikit sekali kaki gunung
Anjasmoro itu disini menonjol. Di pinggir selatan Sungai Brantas yang mepet
dengan hutan perbukitan kaki Gunung Anjasmoro, dikiri kanan bukan persawahan
yang mempunyai pengairan yang baik, melainkan kebun dan tegalan. Juga hutan
hutan. Di barat daya agak jauh, melewati punggung rendah perbukitan kaki gunung
Anjasmoro, ada persawahan yang luas, wilayah persawahan ini dialiri oleh
saluran pengairan dari bendung Harinjing diseputar Kecamatan
Kandangan sekarang, bendung terbesar pada zaman itu. Sistim pengairan itu
sekarang jadi wilayah Pare atau Majalegi utara berbatasan dengan Jombang
selatan.
Memang wilayah hutan yang dijadikan kota itu banyak
pohon maja yang rasanya pahit. Sepotong wilayah itu ditemuka oleh Mpu
Bismasadhana, melihat keletakannya yang membelakangi hutan dan bukit agak
terjal rupanya perbukitan kapur sangat tua lebih tua dari pegunungan Kendeng,
tanpa sungai yang besar, mehadap ke sungai Brantas, bila orang menghadap ke
Utara, disisi barat daya agak jauh ada persawahan luas yang tidak terlalu
berundak, berkat pengiran dari bendung Harinjing, di di Kandangan Mojlegi, Pare sekarang, kebun kebun dan tegalan, di tenggara hutan
yang besar kaki gunung Anjasmoro. Topografi wilayah ini bila diperhatikan
sangat teliti akan berupa cangkangnya penju, pipih dan menonjol ditengah.
Empu Bhismasadhana menyuruh Raden Wijaya membuat
permukiman disitu, dengan emas dan perak rampasan tentara Mongol yang jatuh ke
tangannya tanpa dia sengaja. Membuka hutan memerlukan beaya banyak
ini mencengangkan para Bhupati wilayah yang bertetetangga, yang menurut aturan
silsilah Girindralah yang lebih berhak mengganti posisi Raja Kadiri yang
kosong, karena Wangsa Girindra telah dicederai Prabu Jayakatwang. Maka dari Wangsa
Girindralah yang menggantikan sang Jayakatwang. Merasa sangat kepingin untuk
segera mencaplok kesempatan ini menggantikan sang Kartanegara yang telah
dikalahkan oleh sang Jayakatwang, Rangga Lawe sebagai paman dari putra putri
Kartanegara, paling tidak berbagi kekuasaan dengannya.
Sekali lagi kecerdasan Raden Wijaya dan Putri
Tribhuaneswari, yang memutuskan memberi upah tinggi pada para pekerja dan
petani maupun undagi segala bidang, untuk bekerja membuka hutan disitu dan
mendirikan Kota yang sudah direncanakan Rsi Bismasadhana, menggali saluran perahu
dari kali Brantas, lebar panjang dan lurus, menggali dan menimbun lahan untuk
tanah hunian, lahan dengan saluran pematusan, dan saluran air bersih dengan
gorong gorong gerabah, membangun tembok tembok hunian raden Wujaya, membagun
sabha besar/wantilan Agung, dan istal kuda, candi bentar dan candi pemujaan
para pitri. Picis emas dan perak diambah bekal armada dari jung lasykar Mongol
lebih dari cukup untuk itu, sambil mengamati para tenaga kerja. Kesanggupan
memimpin, bersemangat, dan memiliki kecerdasan, akan terpilih jadi perwira.
Dari para pandega ini akan dipilih oleh Raden Wijaya sendiri dan sang
putri. Banyak sahabat Pangeran Wijaya dari Madura menjadi pandega perahu
Majapahit, dan pembuat perahu Madura di pantai Tuban.
Juga pembentukan pasukan bela diri yang bebas dari
intrik kekuasaan, karena beaya yang dikeluarkan untuk membangun kota ini memang
extra tinggi, lebih dari biasa.
Tepat seperti yang derencanakan, para undagi, pandega,
ahli segala bidang. Dari tempat tempat jauh sekitar bhumi bekas hutan maja yang
rasanya pahit ini, berbondong bondong datang dengan rombongannya, seperti
laron tertarik pada api obor.
Semua mereka merasa puas dengan upah yang diterima
setiap lima hari, setiap hari pasaran Kliwon, bagi pekerja.
Pembayaran beaya untuk para Pandega segala bidang
dibayar tepat pada hari Soma manis, meliputi pelaksanaan suatu rencana
yang disepakati bersama dengan teliti ( sekarang namanya “bestek”). Uang
emas dan perak, dibayarkan dibawah pengawasan sang putri Narendraduhita,
putri Jayendradewi dan putri yang paling cerdas berurusan dengan pembangunan Wantilan
Agung, dan hunian, putri Gayatri. Bisa ditebak, Raden Wijaya hanya
tertarik kepada penggalian saluran dari sungai Brantas yang digali ditampung ke
kolam pengendapan pasir dan lumpur kemudian baru dialirkan ke penambataan
perahu perahu tepat dimuka gudang gudang khusus. Atas prakarsa Raden Wijaya
diadakan telaga besar dan dalam, untuk menampung pasir sungai Barantas. Air
sungai jadi bersih dari pasir dan lumpur sebelum air dimasukkan ke saluran
tambatan perahu besar, saluran ini sampai selebar tigapuluh depa. Kolam kolam
pasir ini dibangun serupa kantung saluran dengan sudut masuk yang kecil dari
kali Brantas, dari sana, telaga pengendapan pasir itu, baru air dialirkan
ke saluran yang dibangun dengan sudut kecil juga untuk keluar ke kali
Brantas lagi. Keletakan pinggir sungai di sini mengizinkan untuk membuat
saluran ini. Emas perak dua gerobak sapi baru enam bulan sudah ludes. Ribuan
pekerja yang dibawa oleh pandeganya masing masing lebih suka tinggal di Kota
tiban (jatuh dari langit) ini, masing masing membawa keluarganya. Disinilah
saluran jalannya perahu itu di kerjakan dengan sunguh sunguh tepinya di
tembok dengan batu kapur yang digergaji besar besar, sampai sehasta setiap rusuk
batu batu kapur ini merupakan dadu raksasa, diangkut dengan perahu dan
disarat dari gunung Kendeng ke kali Brantas. Selain itu semua bangunan dibuat
dari batu bata yang dicetak dan dibakar dari timur kota, yang kebetulan
ada sungai kecil dan tanah liat berpasir sedikit yang sangat baik untuk
mencetak batu bata. Salah satu adik laki laki sang putri mengawasi pencetakan dan
pembakaran batu bata ini. Pemgkukutan kayu olahan, batu bata ini mendatangkan sapi
dari Perdikan Mada, sapi benggala yang kuat berponok.
Semacam semen dari timbunan abu vulcanik yang
merupakan debu, tertimbun di punggung rendah suatu bukit dikaki gunung
Anjasmoro, karena tertimbun ribuan tahun yang lalu, dan tanahnya naik, maka timbunan
abu ini tetap kering dibawah, seperti kita menuang air di setumpuk tepung,
tanpa mengaduk aduk tepung yang dibawah masih kering. Pengambilan semen abu
vulkanik ini sampai sekarang masih berupa trowongan orang sekarang menamakan
sumur gumuling ( sumur yang rebah). Debu ini sangat baik untuk dicampur pasir
dan batu kapur tohor (sesudahnya dibakar disiram air), menjadi bubur kapur.
Ketiga komponen ini dengan perbandingan tertentu, bisa kering menjadi sangat
keras, untuk melekatkan batu bata satu sama lain, bahkan untuk membuat pintu
pintu yang bagian atasnya lengkung. Samai zaman berikutnya bahkan sampai
sekarang diganti dengan bubukan batu bata,ayau semen merah.
Jalan jalan di Kota baru ini dibuat lurus dengan banyak
perempatan dan semua pinggir jalan untuk pejalan kaki, dihamparkan lantai batu
bata bagi pejalan kaki, bersegi enam. Semua atap wantilan atau rumah dari genteng,
tidak bisa sembarangan dibangun, diawasi sudut luncur air hujan oleh sang putri
Gayatri sendiri, apalagi untuk atap gudang gudang, dasar banguna harus dalam
dengan dasar atau pondasi yang kuat. Tidak ada yang terlalu kecil
sudutnya dan tidak juga terlalu besar sehingga nampak tidak seimbang. Semua
umpak saka guru dan umpak umpak lain didatangkan dari Wirasabha dan Watu kosek
diangkut dengan perahu dari Japan dan Kadiri.
Setelah dua belas bulan bekerja tanpa berhenti
dengan menghabiskan dua gerobak picis emas dan perak baru Kabupaten
kabupaten seperti Kling, Wirasabha, bahkan Madyun dan Wengker mengirimkan
bantuan berupa kayu jati gelondong, dari Kling mengirimkan sapi dan kerbau seratus
ekor, dari Wengker mengirim kambing dan babi yang digiring sepanjang jalan
sambil digembala, setelah dua bulan baru sampai, beras dari Maja Legi
(sekarang Pare), dan pemberian para Bupatti yang bersimpati kepada para
putra putri Kartanegara. Ada yang datang dari Modo, rombongan penyarat dan
pengolah kayu jati, dijadikan papan tebal kayu tiang dan usuk berbagai ukuran,
dikirim lewat Bengawan Solo dan berlayar mudik kali Brantas, hadiah dari Rsi
Pandega sang Curadharmayogi, yang dipimpin oleh pemuda gagah, Bernama Gajah
Gombak dari Mada.
Pemuda ini kaget sekali ketika bertemu dengan orang
Marga Yap yang jauh juah dari Kadiri mampir di Kota yang baru dibangun, menemui
Raden Wijaya di tembok batu yang besar besar dari batu kapur yang
digergaji, diatas dinding bantaran saluran ditutup dengan dengan batu gunung
yang keras sebagai bagian atas. Tiga orang bertemu diatas tembok bantaran
terusan sungai Brantas, terusan untuk perahu pengangkut ke gudang gudang
yang baru dipasang pondasinya.
Jam 6 30
MATAHARI TERBIT DI
WILWATIKTAPURA
Kedua tamu yang ketemu di bantaran kali buatan ini,
Raden Wijaya masih memakai baju dan lancingan komprang a’la pandega Madura,
Gajah Gombak dari Mada mengenakan salwar dari tenun gedog Tuban
menyelempang tali kabrahman, dibimbing oleh orang marga Yap yang sahabat
lamanya menuju Raden Wijaya yang lagi berdiri dengan satu kaki dan kaki yang lain
menginjak tiang batu pendek yang berbentuk palu untuk tambatan perahu.
Melihat kedua orang itu dia menguncupkan tangan didepan dada dan memangil
mendekati temannya itu. Raden Wijaya tahu pemuda Gajah Gombak putra Brahmana
gryasta Rsi Curadharmayogi, ini dari kemarin waktu menyerahkan hadiah kayu jati
olahan dari Rsi gryasta dari Desa Modo. Raden yang lagi mengukur kedalaman
terusan atau pelabuhan buatan ini heran dan menanyakan bagaimana mereka sudah
bisa saling kenal.
Raden Wijaya mengajak pulang bersama, mengambil
kudanya yang di tambat di halaman gudang, sambil menyuruh mandor dari para
pekerja untuk meminjam kuda dua ekor lagi dari Pandega pembangunan terusan.
Sang mandor, mengerti dan tergopoh gopoh melapor Pandeganya, Sebentar dua
kuda lagi diberikan pinjam oleh pandega pembangunan terusan. Raden Wijaya ganti
menerangkan pembuatan jalan jalan, yang dilaluinya, dengan lantai gerabah untuk
pejalan kaki, rencananya lantai pejalan kaki itu dipasang di jalan jalan penting
Kota Baru ini yang Sang Raden menyebutnya sebagai kota Wilwatiktapura.
Sesampai di “rumah” yang mestinya bagian dapur dari
istana yang belum jadi, mereka ditemui oleh sang putri Tribuaneswari,
sekarang mereka berempat, Saudagar Yap menceriterkan kapan dan dimana dia
bertemu dengan putra Brahmana gryasta ini, dia diberi keterangan dan petunjuk
dan dibantu mencari alur urat tambang batu kawi, dagangan saudagar Yap, bahwa
profesinya adalah pelebur dan pencetak segala barang dari kuningan, berhubung
kuningan banyak kelemahannya antar lain berat dan mahal, dua berusaha melebur besi.
Undagi Yap memulai ceritanya waktu baru datang
dari China bagian selatan, kota kecil, tidak berarti, tapi pamannya
mengusahakan pengecoran kuningan dengan dia sebagai pembambantu. Sekarang
mengirim batu kawi berkadar tinggi dari Kadiri Selatan. Waktu senggang dia
mengerjakan peleburan kuningan dan besi dan batu kapur ditambah batu kawi,
persis seperti para empu keris di Lamajang Selatan, keris keris ini
sampai sekarang dnamai keris Majapahit, ciri khasnya berpamor hitam batu kawi.
Pemuda Gajah dari desa Mada, menyatakan bahwa dia ingin sekali membuat
laras meriam dari besi tuang, dia kagum sekali pada meriam meriam tentara laut
dari China, yang konon dapat memporak perandakan Kedhaton Kadiri. Raden Wijaya
terus terang bahwa dia bukan menggantikan Jayakatwang, karena sebenarnya
Kerajaan Kadiri bukan dia yang menaklukkan, bahkan bukan dia yang membakar
perahu jung perang tentara Manchu, melainkan rakyat dari pinggir sungai yang
dapat membuat panah gajah yang disulut dengan api nafta, malah faktanya putra putri
Kartanegara lah yang mengajar Rakyat membidikkan panah api ke perahu perahu
jung perang dari China ini, berbulan bulan demi membantunya melaksanakan tugasnya,
melindungi Ibu Kota Kadiri bila ada musuh mendekati dari sungai Brantas, maka
putri ini memutuskan mengajari rakyat untuk membuat panah gajah, konon di
Negara dinasti Rama dari negeri Ayuttya , ditepi sungai Mekong, mempertahankan
tahtanya dan Negaranya dengan panah ini. Untung saja sungai Brantas tidak
selebar sungai Musi atau Barito, terbukti kemahiran rakyat dan niat mereka bertahan
merdeka, dapat menghancurkan jung jung perang pasukan Mongol. Siapa mengira
bahwa usaha ini semacam pisau bermata dua, bukan berangkat mudiknya perahu
perahu jung perang ini dihujani panah gajah yang berapi, tapi justru pulangnya
!
Bila terjadi di Sungai Musi atau Barito tentu saja
setiap jung bisa berlayar ketengah tidak bisa dicapai oleh panah gajah
sekalipun.
Sang pemuda Modo ini mohon untuk diberi pekerjaan di
kota yang baru ini, bagi Raden Wijaya untuk Wilwatikapura yang baru ini
agak sulit, Raden Wijaya tidak bisa menawarkan jabatan apa apa, dia bukan Raja,
seandainya diangkat jadi Raja oleh para Bupati yang berdarah biru, pasti mereka
minta upah kedudukan yang pantas yang mereka incar, kabupaten yang kaya, atau
penarik pajak dari wilayah yang ditinggalkan Jayakatwang. nanti mereka akan
saling bersaing. Yang dia bisa tawarkan hanya menjadi pembantu pribadinya, katakan
Bhayangkarinya, menyelamatkan dia dan adik adiknya dari usaha mereka yang
serakah. Kota ini lebih baik dari Kadiri maupun Janggala, apalagi
Singhasari, tidak dimaksudkan untuk jadi sasaran empuk mereka yang
mengincar secara sembunyi sembunyi, maupun terang terangan.
Raden Wijaya meneruskan bahwa dia memang sedang
memilih perwira dan tamtama prajurit secara diam diam dari mereka yang ikut
bekerja membangun kota ini. Tapi tidak seorangpun yang sekira bisa diserahi
pekerjaan jadi pelindung Keluarga Wijaya dan Wilwatiktapura. Jabatan ini diterima
dengan senang hati oleh Gajah Gombak dari Modo ini. Untuk jadi prajurit
,tamtama dan perwira, mereka yang terpilih ada duratus lima puluh orang. Semua
dikirim ke pulau Gili Raja, diselatan Sumenep, dengan rahasia untuk dilatih keprajuritan
dan berenang dilaut, mendayung, mengendalika perahu layar. Raden Wijaya tidak
mau Kabupaten Kabupaten tetangga berfikir bahwa dia sedang menyiapkan pasukan.
Karena pasukan tentara pada waktu itu adalah petani, yang mendapat ganjaran
lahan dari Raja sebagai gaji, Raden Wijaya tidak membangun tanah
berpengairan disekitar kota Wilwatiktapura, Jadi pendiri Kerajaan Besar
Majapahit ini membayar tukang tukang untuk bekerja membangun kota, sambil
memilih diantara mereka untuk nanti dijadikan pasukan inti. Sementara Wiwatiktapura
belum jadi seluruhnya, mereka dilatih ditempat yang terpencil Gili Raja disatu
pulau kecil di selatan kota Pamekasan, enam bulan, kemudian dipulangkan dan
kembali sebagai buruh bangunan yang sewaktu waktu disiap siagakan, jadi tidak
menggaji orang menganggur. Sungguh cerdas.
Sebaliknya secara menyolok Gajah Mada di beri wewenang
untuk membentuk pasukan dari orang orang yang terpilih untuk menjadi
Bhayangkari Kota Baru yang sangat ramai itu. Hampir enambelas ribu
keluarga sudah bermukin disekitar Kota, lokasi yang sudah dipetak petak dengan
jalan lalan yang lurus dan bersih, tinggal mendirikan rumah, dan kampong
kampong. Bhayangkari ini hanya bersenjatakan tongkat, selalu berkeliling
mengawasi keramaian. Mereka berpakaian biasa hanya berkampuh poleng hitam
putih, seperti para pacalang di Bali sekarang yang menjaga keamanan pada hari
Raya Nyepi. Hanya mereka yang telah mengenyam khidupan di dunia persilatan
dapat menandai mereka yang berilmu tinggi dan berniat membuat keonaran. Pemuda
Gajah Gombak dari Mada sebagai yang ditandai Raden Wijaya mampu mengendalikan
hal hal semacam ini. Warung tuak, tempat perjudian, dan tempat keramaian dimana
banyak kerkelahian, semua diatasi oleh Bhayangkari yang dipimpin oleh Gajah
Mada ini. Di suasana inilah Gajah mada mengenal organisasi rahasia dari kaum
Bhairawa yang ikut nimbrung mencari pengaruh di Wilwatiktapura. Untuk sementara
dia amati gerak geriknya.
Sebaliknya, Raden Wijaya mengirm Ki Wiradenta ke
Kadiri bersama dengan Adik iparnya untuk mempersiapkan pasukan serbaguna, dan
sesudah genap enam bulan dikirim ke Wilwatiktapura, sebagai Pasukan dari Kadiri,
yang berkedudukan di Brangkal, mengimbangi permohonan Bupati Wirasabha
menempatan Perwakilannya, yang tentu saja dengan balatentaranya di Kota baru
Wilwatiktapura ini. Bupati Kling tidak mau kalah menempatkan perwakilannya
di Wilwatiktapura, seorang Pengeran, dan menempatkan pasukan khususnya di
Perak. Tidak ketinggalan Bupati Rajegwesi mengirimkan perwakilannya ke Wiwartiktapura
seorang pangeran juga, dan pasukannya ditempatkan di Ploso. Para bupati
ini khawatir Kota tiban yang kaya ini jatuh ke Bupati tetangganya yang
mempunyai Pasukan dan perwakilan di Majapahit, baik secara kasar maupun secara
halus. Mesti saja dengan mengambil hati untuk memperistrikan salah satu
dari putri mahaprabhu Kartanegara, atau putri Narendraduhita, atau putri
Jayendradewi atau putri Gayatri. Sedangkan kota Wilwatiktapura masih dibangun
belum selesai baru seperlima bagian saja dari seharusnya yang
seperti dalam gambar. Keserhanaan dan kesibukan putri putri Kartanegara tidak punya
waktu buat melayani para Perwakilan itu di perjamuan perjamuan Kerajaan wong
perjamuan perjamuan ini tidak pernah ada, wong Raden Wijaya memang bukan Raja
apapun, maka Raden Wijaya dan saudari saudari iparnya sedang sangat sibuk
bekerja dan menerima perkerjaan yang harus dibayar. Persaingan antara
Perwakilan Kabupaten tetangga ini sering merepotkan sang Gajah Mada.
Waktu itu baru mendirikan jaringan telik sandi dan pasukan Bayangkari,
yang mengatur kota baru yang ramai itu. Ada aturan baru yang diundangkan
oleh Lurah Bayangkari Wilwatiktapura: Selain Raden Wijaya, para adiknya
dia sendiri dan para pandega pekerjaan penting yang diberi tanda, baik
siang atau malam, dilarang mengendai kuda di jalan jalan yang ada dikota
Wilwatiktapura.
Sang pemuda Gajah Gombak merasa risih dalam waktu yang
sibuk ini para putri dan putra Raja, Raden Wjaya dan dia sendiri sangat sibuk
berlalu lalang dijalan yang sudah selesai dibangun maupun dijalan yang belum
jadi, para putri dengan mudah melompati selokan dan gorong gorong sedepa
lebarnya dengan kudanya tanpa berniat untuk pemer, terpaksa terganggu oleh ulah
para utusan dari Kabupaten tetangga berkuda memperagakan kekayaan dan kebangsawanannya
dengan nenggunakan jalan, sehigga sangat mengganggu keperluan yang mendesak
dalam mengawasi pembangunan kota oleh putra dan putri raja dan raden Wijaya
sendiri, yang selalu bekuda dengan maksud yang penting.
Apalagi menjelang hari Soma manis. Kapan para putri
harus menghadapi para pandega untuk mohon bayaran dari pekerjaan yang sudah
selesai, harus diteliti sendiri oleh para penanggung jawab ini. Sering terlihat
putri Gayatri mengenakan pakaian lelaki, memacu kudanya ke tempat bangunan diseluruh
kota sambil menggamblok di punggungnya gulungan kulit kambing, ddikuti oleh
pembantunya berkuda dengan bawaan yang sama, tongkat ukuran, gambar
detail dari bangunaan yang diperiksa, semua putri maupun putra dan Raden Wijaya
sendiri saban hari sangat sibuk menggunakan jalan jalan ini. Dengan sangat
menyesal para perwakilan hanya dibolehkan naik tandu, di jalan jalan yang sudah
dihampari lantai untuk pejalan kaki maupun yang belum. Repot juga bagi para
perwakilan ini bersikap, karena Raden Wijaya dan adik adik iparnya bukan raja
dari kota ini, apalagi lurah Bayangkari, tapi merekalah yang memang
merencanakan dan membayar upahnya dari pembangunan kota baru ini, jadi apa
boleh buat, mereka ganti profesi dari pesolek menjadi penerima pekerjaan…
Setiap kali ditawarkan oleh Keluarga Wijaya pekerjaan, dengan ukuran dan
gambarnya. Apa boleh buat, ini bukan pekerjaan para ksatria yang seperti ini,
mereka rata rata hanya bisa mengerti untuk menerima pekerjaan menguruk dan
menggali apa saja, sedang untuk membangun tembokpun mereka tidak sanggup untuk
menterjemahkan gambar dan kenyataan apalagi mengatur upah dan beayanya.
Mereka barsaing datang di Wiwatiktapura untuk mendapat perharatian dari
putri putri raja yang sayangnya lagi sibuk bekerja.
Ada kejadian yang sangat merepotkan Raden Wijaya,
ketika putra Bupati Wengker yang dikirim sebagai utusan, menerima pekerjaan
menggali saluran yang panjangya dua setengah ribu langkah, sedalam
tiga setengan depa, harus selesai dalan 35 hari. Upah sudah disetujui 100
keping picis emas dan lima ratus perak, teryata sudah dua puluh lima hari
pekerjaan belum sampai separoh, bayaran buruhnya yang kebanyakan kiriman
dari Wengker kurang dibandingkan dengan buruh orang setempat yang
mendapat upah dari keluarga Wijaya, mereka mogok pada tidak mau bekerja.
Pekerjaan di saluran bayarannya hampir dua kali lipat. Keadaan ini sampai
ditelinga Raden Wilaya, langsung diambil alih pengerjaannya oleh mandor dari
orang setempat dan besok paginya semua orang berkerja sampai malam. Pangeran dari
Wengker ini murka besar, tapi tanpa banyak cing cong pekerjaan yang belum
selesai dibayar penuh oleh Raden Wijaya, sedang sepuluh hari berikutnya pemakai
tenaga kerja diambil alih oleh Mandor orang setempat sedangkan upah tetap
dibayar apa mestinya oleh raden Wijaya. Ternyata sang Pangeran dari Wengker
salah perhitungan, dikira dengan wibawa, cambuk dan ancaman, pekerjaan bisa
selesai dengan sendirinya. Tenyata bukan saja upahnya yang murah tapi memang
jumlah tenaga pekerjanya yang didatangkan dari Wengker memang kurang,
jadi bagaimanapun pekerjaan akan selesai pada waktunya. Karena sumpah serapah
dan ancaman sang Pangeran, semua buruh ini mohon untuk diterima jadi warga Kota
Wilwatiktapura, kepada lurah Bayangkari sang Gajah Mada, dan tanpa banyak tanya
mereka langsung diterima dan diberi tanah sebelah timur kota setengah bahu
tegalan setiap orang, karena malu sang pangeran pulang ke Wengker, tanpa pamit
atau bicara dengan tuan Rumah raden Wijaya, apalagi berpamitan pada putra putri
Kartanegara, (yang menurut pandangan pangeran Wengker ini, semua putri putri
Raja Karanegara tidak menarik, kelaki lakian)
. Sungguh merepotkan tetangga Kabupaten dan Kabupaten
yang lain menyaksikan betapa mewah dan nyaman rencana kota Wilwatiktapura,
tanpa dilindungi oleh satu kekuatan besar di kawasan bekas kekuasaan Kadiri
ini. Sebenarnya Kerajaan Kadiri lumpuh karena Ibu Kotanya terutama Kedathon Kadiri
dihancurkan oleh jung jung perang dari pasukan Mongol. Habis Ibu Kota Kadiri,
kedhatonnya dijarah olen pasukan Mongol, ganti jung jung peyerang itu diserang
panah gajah oleh rakyat pinggiran sungai Brantas hingga kocar kacir, akibat
akalnya putri Gayatri, yang semula buat pertahanan Kadiri demi kepercayaan Sang
Mahaprabhu Jayakatwang, ternyata sebagai pisau bermata dua, bisa menyerang
berangkatnya bisa menyerang pulangnya satu armada yang berani melayari sungai
Brantas. Kali ini serangan dengan panah gajah pada saat pulangnya armada
jung perang. Laksamananya bunuh diri dan raja yang ditawan dipenggal
lehernya sebelum sang laksamana bunuh diri. Raden Wijaya memang tidak mempunyai
pasukan apapun. Sedang Bhumi Wilwatiktapura memang ada di kawasan Kadiri,
dimana Keturunan Kartanegara dan Raden Wijaya membeayai pembangunan kota dengan
semua kenyamanan jaman itu. Enam bulan sesudah rencana kota itu dIlaksanakan
untuk dibangun, sudah selesai seperlimanya, antara lain jalan jalan dan gorong
gorong air pematusan seluruh kota, Jalan ke Pura Pemujaan para Pitri, jalan
yang dilapisi pasir tebal, dan untuk pejalan kaki dilapisi lantai dari gerabah
bersegi enam sejengkal lebih tinggi dari jalan, dengan perempatan menuju ke Wantilan
Agung yang baru nampak pondasi dan umpak umpaknya, Rumah dalam siti hinggil
yang sudah jadi bagian dapur dan perangkat rumah belakang. Sejalur dengan sungai
buatan yang sudah di tembok dengan dadu batu kapur besar besar tapi belum diisi
air.
Gudang gudang sudah dipakai disebelah wantilan Agung,
dan sudah berfungsi. Diwaktu itu sosok yang paling menonjol adalah Bupati
Tuban, Yang dipertuan Bupati Ranggalawe, yang membesar besarkan pertolongannya
pada Raden Wijaya waktu dikejar kejar pasukan berkuda Mahaprabhu Jayakatwang.
Memberikan nasihat supaya minta perlindungan kepada Aria Wiraraja. Dan Aria
Wiraraja sendiri, yang oleh Raden Wijaya sudah dikirimi sejumlah bagian dari
harta rampasan balatentara Mongol, sebagai balas budhi perlindungungannya kepada
dia bersaudara, rekayasanya untuk mempertemukannya dengan
Mahaprabhu Jayakatwang, itupun sudah diterima dengan bersyukur. Sebagi tanda
hubungan baiknya dengan Raden Wijaya dia menawarkan pulau Gili Raja untuk
basis latihan latihan perwira, tamtama dan pajurit dari Wilwatiktapura, secara
rahasia. Tempat yang sangat terpencil, tidak mudah diketahui orang.
Kali ini Ranggalawe, Bupati Tuban, menuntut bagian
harta rampasan dari pasukan Mongol, atau menjadikannya sebagai wali dari
Kota yang baru dibangun bila kota ini jadi Kota merdeka, karena Ranggalawe juga
termasuk dalam wangsa Girindra dan dekat dengan sang Kartanegara saudara
sepupunya. Ini dikemukakan sebagai dalih karena Kota baru ini harus dilindungi
oleh pasukannya dari caplokan fihak lain, mengerti bahwa Wilwatiktapura tidak
punya pelindung tentara yang kuat. Atau minta diangkat sebagai Mahamantri Hino
di Wiwatiktapura bila menjadi kerajaan yang menggantikan ibu kota kerajaan
Kadiri.
Tentara Tuban dibawa ke Desa Dadu atau
Kudadu memang besar jumlahnya, dengan persenjataan lengkap. Raden Wijaya
mimenemuinya di Kudadu pada hari ketiga sesudah permintaan paksa ini
dikemukakan oleh fihak Tuban, sebenarnya hanya menunggu sampainya Gajah Mada di
Tuban. Hari ketiga, ada kabar berita dari merpati pos bahwa pasukan
kecilnya sudah sampai di Tuban, dan Tumenggung penjaga Praja di Tuban sudah
bekirim berita bahwa Gajah Mada sudah meduduki kota di Tuban, menuntut penyerahan
Kota untuk untuk dilindungi dari penjarahan dan dibakar, Sang Tumenggung tidak
bisa berbuat banyak, karena saat itu Gajah Mada sudah diperkuat dengan lebih
dari seribu orang dari sekitar Penyaradan kayu jati dari Modo,
bersenjatakan tombak panjang berkait sebagai tambahan dari pasukan berkudanya
yang kecil jumlanya. Sang Tumenggung Penjaga Kota tidak berani gegabah melawan,
sebab Tuban memang kosong. Berita ini tiba dibawa gandek, berkuda siang malam.
Adipati Ranggalawe sangat terkejut, dia mengaku kalah, minta Tuban Jangan
dirampok, sebagai gantinya Adipati Ranggalawe mundur segera dengan pasukannya
yang besar.
Tidak hanya itu, pasukan Kadiri dari Brangkal telah
datang ke tempat penyeberangan sungai dimana raden Wijaya berperahu menyeberang
sungai Brantas dari Utara sungai, sedang dari seberang selatan sungai terdengar
sorak sorai sangat ramai ribuan mulut pasukan Kadiri beserta panah gajah
ditembakkan kearah buritan perahu penyeberangan Raden Wijaya. Bala tentara
Kadiri ini pada berdiri ditepi sungai Brantas dengan senjata pasukan Mongol, tombak
berkait. Para balatentara Tuban merasa sangat lega dan bersyukur karena tidak
diperintahkan menyeberang meskipun perahu perahu rampasan dari kiri kanan
sungai sudah dipersiapkan, karena bila nekat menyeberang tentu terjadi korban
yang sangat banyak mati konyol karena terbakar oleh panah gajah yang berapi
dari nafta, sedang pasukan Kadiri dari Brangkal ternyata telah menunggu secara
sembunyi. Bupati Ranggalawe menghentak hentakkan kakinya ke tanah dengan geram,
meniggalkan pinggiran sungai Brantas sebelah utara.
Gerombolan penyarat dari Mada sangat senang karena
perjalanan mereka tidak sia sia, mereka mendapatkan ujung tombak pasukan
Mongol dari besi tuang, dan uang dari Mpu Mada, cukup buat bekal pulang,
atau memborong tuak dari Tuban yang terkenal itu.
Pemuda Gajah Mada ternyata bukan saja lurah Bayangkari
yang handal, tapi juga pemimpin pasukan yang bisa diandalkan, telah membuat
malu Bupati Tuban Ranggalawe. Enam bulan lebih keadaan Wlwatiktapura telah menjadi
perhatian seluruh bhumi yang ditandai Mpu Sindok, akan jadi Negara besar.
Menjelang pitra yadnya, semua libur, pekerjaan dihentinan
tiga hari tiga malam. Malam menjelang libur panjang ini Gajah Mada, Raden
Wijaya isteri dan ipar iparnya pada kumpul di wantilan kecil, lebih mirip
gazebo dari wantilan. Meski mereka putra putri Raja, Pangeran dan Brahmana,
tapi umur mereka masih muda, dan matang ditempa keadaan. Mareka duduk dengan
santai sebab kecuali istri Raden Wijaya semua berpakaian komprang cara pandega
dari Madura. Membicarakan kejadian yang baru saja terjadi dengan Tuban, mereka
cekikikan menggunjingkan Bupati dari Tuban, Rakryan Ranggalawe yang marah besar
karena siasatnya kandas menghetak hentakkan kakinya. Untung saja ada kali
Brantas yang menghentikan pasukannya.
Raden Wijaya membuka suatu pembicaraan, bagaimana
secara murah dapat mempertahankan Wilwatiktapura dari orang orang semacam
Ranggalawe, yang tidak diragukan dapat mengerahkan pasukan besar dengan iming
iming mengenai pembagian harta rampasan nanti. Yang Dipertuan Rangalawe dapat mengumpulkan
begitu banyak serdadu darat, sebagian besar mereka adalah nelayan miskin, karena
sekarang lagi musim angin yang ganas, rakyatnya gampang dikumpulkan dan diajak
berperang, memang lagi laip, selanjutnya mereka adalah nelayan. Tuban hidupnya dari
tanaman kacang tanah yang selalu dicari oleh para pedagang dari China, baik
kacang lepas kulit maupun minyak kacang dan bungkilnya. Kacang tanah ditanam di
tegalan dataran diantara dua barisan gunung kapur Kendeng, tepian utara
Bengawan Solo, memanjang dari barat ke timur sekarang para petani kacang lagi
sibuk memelihara tanaman kacangnya, juga dari Kayu Jati yang tumbuhnya dekat
pantai, mudah disarat ke laut. Jadi seperti di Kabupaten lain mereka tidak membayari
tentaranya sepanjang tahun, mereka abdi untuk mengerjakan tanah yang
diberi pengairan oleh Yang Dipertuan Bupati, setiap kali selesai
pekerjaan sawah bagi kaum pria, mereka diwajibkan ikut perang oleh Rajanya.
Gajipun sering tidak diberikan, apalagi bila perangnya kalah, akan tetapi
pangan mesti disediakan.
Raden Wijaya membuka persoalan kepada Lurah
Bhayangkari dan putra putri Kartanegara itu. Adu kecerdasan memang dalam
banyak hal putri Gayatri sering berpendapat lebih unggul. Kali ini dia
hanya menggumam pada dirinya sendiri, sementara ada uang, mengapa penyarat
glondong jati sepanjang pantai itu tidak diberi beban pekerjaan supaya enggan
diajak perang oleh Bupati yang dipertuan Ranggalawe ? Sementara umpama
membuat perahu, dengan meminjam tangan para pandega dari Madura ? Memang untuk
satu perahu dibutuhkan banyak orang untuk bekerja, misalnya memilih dan
menebang kayu dari hutan, kemudian menyeretnya ke galangan perahu dipinggir
pantai, mengolahnya untuk jadi papan lambung, gading perahu, lunas perahu,
lantas membuat dempul pendeknya untuk satu perahu dengan ukuran lima ribu kati
bisa membuat banyak orang terlibat untuk menerima upah. Empat puluh perahu
cukup banyak untuk seluruh masyaraka nelayan ada kesibukan selama musim angin
barat yang ganas.
Putri Tribhuaneswari
angkat bicara, bahwa Wilwatiktapura sebaiknya jadi kota merdeka, sipapapun
boleh ikut membangun dan diberi hak untuk menyewa lahan yang mereka bangun,
jumlah sewanya akan ditentukan oleh sidang para pemilik lahan sewaan, untuk
gudang dan tambatan perahu, mereka berhak ikut menentukan bersama harga
sewanya. Uang sewa bisa untuk membayar pesukan Bhayangkari yang menjaga kota
sekaligus mempetahankan kota dari serangan. Beaya untuk telik sandi dan
pekerjaannya dipegang oleh pemilik kota Merdeka ini Raden Wijaya. Sehingga kelanjutan
pembangunan kota, anggarannya bisa dialihkan ke pembuatan perahu perahu untuk
pengamanan lalulinatas laut Jawa dan Maluku, terus ke Selat Malaka, sampai
kerajaan Sulu dan selat Karimata, sampai perairan kepuluan Natuna dan di
utaranya, menjaga pembajakan dari Mindanao Terurtama sekitas pangkalan perompak lanun di
Tumasik, perlu armada besar sekaligus, tdak bisa di cicil dari sedikit.
Untuk bangunan Pasar dan gudang ada pajak yang harus
dibayar kepada memilik kota. Pembuatan bangunan lain dan gudang gudang mutu
bangunaannya harus dirundingkan dengan putri Gayatri. Setelah keputusan ini ditanda
tangani oleh Raden Wijaya, di umumkan keseluruh perwakilan Kabupaten Kabupaten
dan dikirim keleseluruh Perdikan atau sima yang kaya, sebulan berikutnya Kabupaten
Wiarasabha mengambil pekerjaan membangun Pasar, djalan dan hunian disekitarnya,
Perdikan Mada pilih ngerjakan jalan dan pergudangan yang menuju kesana, jalan
jalan ke permukiman, dengan harapan bisa menjual kayu jati olahan untuk
bangunan dan perabotan, merasa bebas dari Kabupaten Rajegwesi, Kabupaten Kling
membuat jalan pendek ke candi pemujaan bhatara Wishnu dengan bangun candinya
untuk menempatkan Brahmana waisanawa sebagai Kepala Pemujaan disitu, dan masih
banyak lagi, sehingga beban pengeluaran pembangunan kota menjadi sngat berkuarang
, dan bisa untuk pesan perahu perahu kepada para pendega di Madura yang
pembuatannya di pantai utara Tuban. Hanya pasukan Bhayangkari yang pekerjaannya
tambah berat demi menjaga persaingan dantara mereka tidak meruncing, supaya
merasa ikut mempunyai kota baru ini.
Benar juga perhitungan putri putri Kartanegara ini,
maklum mereka sudah digembleng dalam perjuangan mati hidup selam berbula bulan
dikejar kejar oleh pasukan telik sandi Jayakatwang, tetap tidak melupakan siapa
sebenarnya yang membantu Raden kita ini. Ketika menghadap kepadanya beberapa
tokoh dari Ampel Denta dan Sidayu untuk meramaikan kota baru ini, mohon agar
bisa mendirikan perguruan ilmu dan Agama Islam di Wilwatiktapura, Raden
Wijaya tidak keberatan, megerti pendapat orang sufi dari Lebanon Ki Besari yang
sudah jadi pencerah agama Islam di Ploso, dengan caranya sendiri yang mengerti
semua agama, dan pencerahan ini menjadikan pendengarnya bahwa Islam merupakan
petunjuk hyang Widi yang bisa difikir, dan masuk akal untuk melanjutkan
petunjukNya.....dari sumber yang lain secara menentramkan, Risalah ini yang
pernah diikuti raden Wijaya selama berbulan bulan, mengingat jasa Ampel Denta
waktu dikejar kejar sang Jayakatwang, mereka diajak melihat peta kota,
dan memilih tempat dan luas tanah yang diperlukan, yang memang disediakan untuk
asyram dan pendidikan, tanah diberikan gratis, disebelah barat kota, penggir
kali Brantas, Gajah Mada mngetahui akan hal ini segera menyanggupi menyumbang
kayu bangunan dan tenaga. Disertai sembah dan salam cara islam mereka pamit dan
sangat puas, dengan Penguasa Kota Baru ini. Semua penghuni Wilwtiktapura yang
ikut membangun keperluan umum kota tidak ditarik pajak apapun selama lima tahun.
Gudang gudang kelas satu pembangunannya dawasi
sendiri oleh putri Gayatri, dia tahu bahwa gudang yang baik harus kering,
ada pertukaran hawa yang bagus, dan harus bisa menyimpan dengan ringkas namun
yang pertama datang harus dimungkinkan untuk dikeluarkan dulu. Jadi pembuatan
gudang dekat terusan kali Brantas ini letaknya tinggi, diatas rata rata banjir
tertinggi setenga depa, cukup dari tanah galian terusan yang
dipadadatkan, seluruh tanah dibawah atap sebelum diperkeras dengan teliti
dibersihkan dari kayu mati dan perakaran pohon yang tertinggal supaya tidak
jadi makanan dan sarang rayap, diperkeras dengan batu dan dilapisi bubuk batu
kapur sejengkal baru dilapisi pasir sungai Barantas dua jengkal dipadatkan atau
depasang lantai dari gerabah, supaya tidak mudah terbakar dindingnya dibuat
dari batu bata, yang derekat dengan abu gunung api gamping dan pasir. Pendeknya
gudang yang baik bakal menjamin mutu barang yang disimpan didalamnya, dan
pembuatannya lebih menuntut pengawasan dari membuat istana Raja. Di pinggir
saluran buatan untuk tambatan dan berlalu lintas perahu, sebagian besar
pengeluaran hanya untuk tujuan ini. Raden Wijaya begitu menuntutnya tentang
pembuatan gudang ini kepada putri Gayatri, tidak peduli berapa beayanya, karena
pengalamannya di Japan, dimana kerugian besar bila gudang penyimpanan bermutu
rendah atau kebanjiran. Putri Gayatri langsung mengerti prinsip ini. Raden
Wijaya pun sadar bahwa Wilwatikapura hasil karyanya akan menghidupi diri sendiri
dari gudang gudangnya yang semua kelas satu, berdinding tembok dan beratap
genteng dengan sudut yang menjamin tuntasnya air hujan, tahan lama meski kena
hujan angin karena ketebalannya, semua kayu bagian atas adalah jati, yang
tidak dimakan rayap. Raden Wijaya tahu betul bahwa saat angin timur, saat datangnya
perahu perahu pinisi dan lombo dari pulau pulau ditimur dan Luwu membawa rempah
rempah dan pada saat angin barat saatnya perahu perahu besar dari Atas Angin,
China, dan Campa datang menukarkan dagangannya dengan rempah rempah
wilayah timur. Jadi terusan dan gudang gudang ini lebih penting dari Istana
sekalipun. Putri Gayatri tahu betul dari petunjuk Raden Wijaya bahwa
berat kaki tembok yang tependam dalam tanah harus lebih besar dari berat dari tembok
dan atap bangunan apapun, dan dia sangat teliti dengan ketentuan ini.
Putri Gayatri punya mainan dadu besar besar semua dari bahan bahan
bangunan berukuran lima jari setiap rusuk, digosok halus dan rata, untuk
membuat perbandingan berat semua bahan bagunan, sehingga semua bagian bangunan
baratnya bisa diperbandingkan dengan mengukur jumlah isinya. Dia mendapat
pengetahuan ini dari Raden Wijaya dan Raden Wijaya mendapatkan dari Empu Bismasadhana,
bagaimana menghitung isi satu benda berukuran tertentu.
Pokoknya Wilwatiktapura akan hidup dari gudang gudangnya.
Kunci dari upaya ini semua adalah keamanan pelayaran ke Sokadana dan Maluku.
Itulah gunanya perahu parahu yang dipesan dari para pandega dari Madura, sayangnya
perahu perahu itu tidak mempunyai senjata yang mirip dengan jung perang dari
Mongol, meriam meriam perunggu, karena terlalu berat. Raden Wijaya hanya bisa
mengandalkan panah gajah yang harus ditembakkan dari busur yang panjang, sulit
untuk digabungkan dengan keadaan diatas perahu. sampai di puncak pemikirannya
hanya bisa menggambarkan kemungkinan untuk membuat kajang ( atap perahu) yang
bisa diubah menjadi papan tembak panah gajah. Itupun dengan jumlah yang sangat
terbatas karena panjang perahu juga terbatas. Kecuali itu penembakan panah panah
gajah akan sering terganggu dengan keadaan layar, maka perlu ada latihan yang
rumit untuk setiap anak buah perahu perang untuk menggunakan panah gajah dengan
arah yang dikehendaki. Latihan ini di kerjakan di Gili Raja. Akan terjadi olah
gerak yang rumit untuk menembakkan panah gajah kearah angin bertiup karena
posisi layar akan menutupi sasaran. Jadi layar harus extra besar, atau ada satu
lagi di cerocok haluan perahu, untuk mendapatkan posisis diatas angin dari
lawan, baru mengadakan olah gerak perahu untuk mengarahkan panah gajah. Akan
tetapi kemahiran olah gerak dan ketekunan perahu parahu Madura ini meronda
perairan antara Pulau Jawa dan Sokadana pada waktu musim timur sudah mengurangi
banyak ulah para bajak laut dari Sampang dan dari Pulau Laut, membuat gudang
gudang di Wilwatiktapura berisi, barang dagangan yang dihasilkan dari hutan
hutan di Sokadana, misalnya getah jelutung, getah damar, kayu garu, bekasam
ikan, dendeng ikan gabus kering dsb yang disimpan di gudang gudang ini dengan
baik untuk menunggu angin barat, kapan prahu perahu dari Atas Angin menukar
dagangannya.
Raden Wijaya masih ingat seorang pangeran dari Blega,
yang keahliannya memelihara merpati pos.dan kuda, untuk di undang ke
Wilwatiktapura, sosok pangeran Madura ini diberi perkerjaan penting membantu
Lurah Bhayangkari menyelengarakan kandang kandang merpati di Wilwatiktapura, Kadiri,
Gili Raja dan Sumenep. Diperkenalkan dengan para Pengajar dari Ampel Denta,
yang sudah memlihara merpati merpati ini di Wlwatiktapura, udangan ini disambut
dengan gembira oleh sang Pangeran yang kegemarannya direndahkan oleh sidang
pagelaran kepandaian di Singhasari, pada Pemerintahan Mahaprabhu Kartanegara,
kini dia mendapat kedudukan disamping Lurah Bhayangkari., Berhubung
Wilwatiktapura bukan kerajaan, tapi dia mendadapat gaji yang sangat bagus dengan
uang mas, disamping mempunyai tetangga yang sama kesenangannya memelihara
merpati pos, para Kiai dari agama Islam Ampel Denta, yang juga membangun asyram
di Wilwatiktapura.
Raden Wijaya terpaksa menyewakan sebagian dari
gudangnya ke pedangang Bugis dari Sulawasi, dengan harga separoh, karena hanya
pedagang Bugis dengan perahu pinisinya yang mampu berlayar di laut timur yang
penuh dengan pembajak dan perompak sehingga sangat menggangu pengadaan barang
yang sangat menguntungkan, rempah rempah dari timur yang sangat dinantikan oleh
pedagang dari Atas Angin dan dari China. Bagusnya gudang gudang Reden Wijaya
dilengkapi dengan halaman berlantai gerabah segi enam yan miring ke terusan,
baik sekali untuk menjemur pala dan fuli yang dari sananya masih setengah basah,
belum mencapai kekeringan yang sulit menghisap air kembali, jadi sesempai di
Wilwatiktapura harus dijemur beberapa lama, hingga kering betul tidak
mudah jadi lembab dan berjamur.
Setelah lima tahun Raden Wijaya sekeluarga beserta
lurah Bhayangkarinya, mengelola kota merdeka Wilwatiktapura, bukan sebagai apa
apa melainkan pemilik Kota Bandar, Raden Wijaya mendapat kesimpulan bahwa
perahu rondanya harus mampu mengangkut meriam china dari perunggu yang sangat berat,
konstruksi perahu perang Madura tidak mampu untuk itu, kasulitan ini juga
dialami oleh semua Laksamana dari seluruh sudut tempat bangsa bangsa yang
melayarkan perahu. Palayaran untuk berdagang menjadi mahal oleh beaya upaya
pengamanan dari perompak laut. Dan kota merdeka Wilwatiktapura pemasukan
dari gudang dan perdagangan sendiri, pajak perdagangan yang dibayar oleh
pedagang, hanya pas pasan dengan upaya kota untuk mempertahankan keamanannya.
Para Bupati disekitar Wilwatiktapura sudah bosan
dengan upaya mencaplok kota ini karena dengan adanya sosok yang menguasai
kota ini sebagai pelindung pedagangan, barang dagangan makin meluas dan lancar,
seperti kerajinan emas dari Bangil, karajinan kuningan dari Wirasabha, tikar
lampit dari Trung, tenun dari Tuban hasil kerajinan kulit dari Kling dapat dipertukarkan
dengan mudah dan adil disana, dengan banyak macambarang yang menarik dari manca negara.
Tahun ketujuh semenjak Kota Tiban Wilwatiktapura
berdiri, para Bupati Seluruh bhumi Mpu Sindok, sepakat untuk menjadikan Raden
Wijaya menjadi Raja perserikatan Bupati Bupati, yang berkedudukan Di Wilwatiktapura,
oleh mereka disebut Kerajaan Majapahit, dan kerajaan Majapahit ini tidak pernah
menuntut apa apa dari mereka, masuk dalam perserikatan itu termasuk Kabupaten
Tuban.
Tuntutan Arya Ranggalawe untuk menjadi Rakryan I Hino,
tepap ditolak dengan kasar oleh Kebo Anabrang, Bupati Tumapel, akhirnya mereka
perang tanding di Tambak Beras dan Ranggalawe terbunuh disitu. Anehnya Kerajaan
Baru ini tidak punya Rakryan Mapatih, dan Gajah Mada tetap jadi Lurah Bhayakngkari
dari Pabhu Kertarajasa Jayawardhana.
Raden Wijaya tetap berkutat untuk memperbaiki
keunggulan olah gerak perahu Madura dengan Lurah Bhayangkari Gajah Mada, akan
tetapi tidak ada jalan keluar yang baik untuk menggabungkan nya dengan panah meskipun
sudah dipasang dihaluan didepan tiang layar, Ketiga putri Mahaprabhu
Kartanegara akhirnya diperistri oleh Prabhunata Kartarajasa Jayanegara.*)
jam 6 30 . MATAHARI TERBIT DI
WILWATIKTAPURA
MAHAPRABHU KERTARAJASA JAYAWARDHANA RAJA PERTAMA DI
WILWATIKTAPURA, HARUS MENGHIDUPI IBU KOTANYA SENDIRI
Tidak ada perubahan yang berarti, bahwa Raden Wijaya
sebagai pengelola Wilwatiktapura ataupun sebagai Raja Majapahit dengan gelar
Kertarajasa Jayawardhana, tetap belum punya Mahamantri, beliau tidak punya
Mahapatih hanya lurah Bahayangkari dan ke empat istrinya yang semua pekerja
keras.
Salah satu dari ipar Raden Wijaya diberikan kekuasaan
di Kadiri, menyediakan pasukan yang ditempatkan di Brangkal dekat Wirasabha, Keempat
putri Prabhu Kartanegara sudah diperistri oleh Raden Wijaya yang menyebabkan
para Bupati di bhumi Mpu Sindok agak kecewa, tidak ada jalan mudah lagi untuk
mendekati tahta Wilwatiktapura, tapi mereka tidak berani protes mengenai
pernikahan ini. Ketika Raden Wijaya diangkat sebagai Raja Majapahit oleh para
Bupati, kena imbas berkah pengaruh kota perdagangan Wilwatiktapura,
hanya Kabupaten Tuban Adipati Ranggalawe yang mengajukan syarat untuk diangkat
jadi Mahamantri ri Hino, artinya Ketua Keluarga besar, wangsa Girindra, yang
berhak menunjuk pengganti Raja, itupun sudah ditolak dengan ejekan oleh Kebo
Anabrang yang menyebabkan perkelahian satu lawan satu dan Adipati Ranggalawe terbunuh.
Keluarga sang Adipati Tuban dipindah ke Wilwatiktapura mendiami salah satu
bagian dari Kedathon Wilwatiktapura yang besar. Sedangkan di Tuban kekuasaan
diserahkan pada adik ipar Raden Wijaya yang satu lagi, untuk menjamin kayu jati
bagi galangan perahu Madura disana, artinya Majapahit tidak perlu
membayar harga kayu jati dari hutan hutan Tuban. Para perjaka lancing dari
keluarga Ranggalawe di serahkan pada Mpu Mada untuk dididik, mestinya di
Gili Raja Pamekasan. Akhirnya mereka bertiga jadi laksamana yang handal dari
Armada Majapahit. Kebo Anabrang menunggu kesempatan besarnya putra Raden
Wijaya, sang Kalagemet, karena dia adalah abdi pengasuh dari putra Tribuaneswari,
yang kurang dapat perhatian dari bapak ibunya, jadi pemuda berandalan.
Kartarajasa Jayawardhana wafat sesudah memiliki kota merdeka Wilwatiktapura selama
duabelas tahun, Raja atau bukan Raja, Sebelum wafatnya Kertarajasa Jayawardana
memberikan kekuasaan bang wetan ( Bhumi Timur) termasuk Lamajang dikuasai oleh
Putra Aria Wiraraja, Sang Wraha Nambi. Di bang wetan semua Kabupatennya
merupakan Kerajaan kecil yang didukung oleh para petani, yang
hanya senggang setelah panen, mengabdi sebagai prajurit. Sedang zaman menandai
Kejayaan satu Negara didapat dari perdangan. Begitulah falsafah Raden
Wijaya sebelum wafat.
Kalagemet menjadi raja baru meningkat dewasa,
kekuasaan sebanarnya ditangan putri Gayatri, dengan Ibu Suri
Tribhuaneswari dan Gajah Mada Lurah Bhayangkari. Sosok sosok yang sangat
tahu bagaimana susahnya mencari uang, bukan saja dari pajak tapi memberi
peluang kerja kepada yang jujur dan mampu, baru dapat bagiannya. Itulah
falsafah hidup Raden Wijaya. Sayang putra Arya Wiraraja ini tidak
mewarisi kecerdikan dan kamampuan diplomatik seperti ayahnya, hanya terdidik
sebagai putra pangeran yang gemar berburu, menunggang kuda dan memanah,
berkawan dengan sesama pemburu yang gemar mengembara di hutan hutan, pada suatu
ketika dia menemukan rombongan kuda beban yang banyak, kebih dari enampuluh
kuda beban, masing masing mengangkut kantung kantung yang berisi pasir besi,
yang akan dibawa ke Probolinggo dan Kling, untuk undagi Yap mencoba mencetak laras
meriam kecil dari besi tuang yang diprakarsai oleh lurah bayangkari Gajah
Mada, sebagai kelanjutan dari cita cita Raden Wijaya selama hidupnya.
Rombongan ditahan di Kabupaten Lamajang. Berita merpati pos segera
dilayangkan oleh kepala rombongan, diterima oleh lurah Bhayangkari lima
hari kmudian dari sarang merpati pos di Japan, rupanya khabar ini disampaikan
dengan merpati pos berantai, dari Luamjang ke Probolinggo dan dari Probolinggo
ke Japan kemudian baru ke Wilwatiktapura, dan gajah Mada segera berunding
dengan Ibu Suri. Surat dari Lumajang masih dinanti satu minggu kemudian, berisi
peringatan bahwa apapun yang dibawa keluar dari Negara bang wetan harus minta
izin dari Mahaprabhu kerajaan Majapahit bang wetan, Mahaprabhu Wraha Nambi,
bergelar Dewarajasasinghanambi. yang ditabalkan dengan upacara di Pura
gunung Mahameru dipimpin oleh Rsi dari Dharmasraya. Surat disampaikan
kepada pengganti Raden Wijaya, sang Kalagemet Raja baru bang kulon yang
bergelar Sri Jayawardhana. Hanya soal pasir besi dipantai Pasirian
yang beberapa ratus kati dangkut denga kuda lebih kurang enampuluh ekor.
Segera ibu Suri mengatakan hal yang sebenarnya
mengenai pasir besi yang sangat perlu untuk percobaan mencetak meriam besi yang
bisa mempersenjatai perahu Madura apabila bisa dicetak, juga disampaikan
rahasia sang ayah mengenai obat misiu yang sedang digarap di Wirasabha sudah
lama, juga obat petasan. Raja muda usia ini, naik pitam dan atas prakarsanya
sendiri akan berangkat sendiri dengan pasukannya dari Kadiri, semula Ibu Suri
dan bibi bibinya sebagai penasihat raja, tidak mengizinkan, memilih jalan
lunak sebab peperangan tidak ada perlunya.
Memberi pelajaran kepada keturunan sahabat ayahandanya
yang tak kenal persahabatan ini, toh Majapahit tidak memerlukan wilayah pertanian,
malainkan keamanan perdagangan. Dua anak muda yang lepas kendali, memang Sang
Mahaprabhu Muda Jayanegara haus akan identitas diri, dan pasukan Kadiri tidak
dibawah Pemerintahan Majapahit, melainkan dibawah Bhupati Kadiri. Kedua
pemuda bekas brandalan ini tidak mewarisi kesantunan diplomasi orang tuanya
masing masing, malah lebih suka saling bermusuhan dengan pasukan yang berhadap
hadapan. Semua tahu bahwa perang adalah permulaan yang buruk. Pasukan bang kulon
dipimpin sendiri oleh Sri Jayanegara lewat lereng selatan Gunung Mahameru,
tanpa bisa dihalang halangi oleh para sesepuh Majapahit. Lewat jalan
rintisan para pemeluk agama Hindu menuju lereng Timur Gunung Mahameru, sebagai
gunung suci. Satu bulan pasukan bang kulon sudah sampai, Kebetulan Lamajang
adalah kota berbenteng Sadeng, kota berbentang kecil sebab
memang jumlah penduduknya sedikit, penghuni kota benteng atau desa desa
sekitar kota juga sedikit, kecuali ditimur sampai ke Jember. Benteng berdinding
tanah balok batu dan batu bata ini oleh bala tentara Kadiri kota
dikepung, dihujani panah gajah berapi dengan api nafta yang sulit
dipadamkan. Percuma kota kecil itu dipagari tembok benteng, wong rumah dan
istana beratap alang alang dan ijuk yang mudah terbakar, berjarak kurang jauh
dari tembok. Prabhu muda Dewarajasasinghanambi akhirnya merasa kewalahan
sang Prabhu Dewarajasasinghanambi dan pasukannya di pimpin
oleh pasukan berkuda keluar dari pintu benteng Sadeng, untuk disambut dengan
tombak tombak berkait warisan dari tentara Mongol, Sang Prabhu Wraha Nambi
terbunuh dalam pertempuran itu. Meninggalkan dendam dari teman temannya, yang
masih di Wilwatikapura.
Majapahit disatukan lagi oleh Raja kedua, Prabhu
Jayanegara, Kebo Anabrang dijadikan Bhupati Lamajang. Percobaan mengecor laras
meriam kecil dari besi tuang berlanjut.
. Belum lama agak tenang di Ibu Kota, mendadak ada berita
bahwa sang Mahaprabhu muda Sri Jayanegara dibunuh oleh tabibnya sendiri Ra
Tanca. Semua komplotan yang membalaskan dendam Wraha Nambi digulung oleh
Lurah Bayangkari Gajah Mada, karena sudah ditandai sebelumnya, hanya Ra Tanca
yang lolos dari catatan, dan dihukum berat. Termasuk Ra Kalabang Kuti yang sangat
ditakuti, karena dia ahli ilmu mangiwa.
Ibu suri Tribhuaneswari jatuh sakit berat dan
putri Gayatri menjadi bhiksuni dan Tahta digantikan oleh putri anak dari Putri
Gayatri, bergelar Rajaputri Tribhuanatunggadewi. Beliau ini
tahu tugas Gajah Mada terhadap kotanya dan cita cita kakeknya Raden Wijaya.
Oleh dukungan sang Rajaputri ini percobaan mencetak laras meriam kecil yang
namanya kalantaka ini berhasil di dua tempat Kling (sekaramg Nganjuk)
dan Probolinggo Dimana ada beberapa bulan kemarau dengan angin
besar. imtuk membantu ububan tungku peleburan. Pencetakan besi berjalan dua
tahap, yang pertama mencairkan pasir besi dicampur buun batu kawi dengan batubara berlapi lapis
dengan kapur dan pasir besi, setelah lelehan capuran pasir mendingin dikumpulkan
dan setelah di jadikan bahan semacam pasir halus, dicapur dengan bubuk batu
bara dan sedikit bubuk batu kawi sekali kagi dilelehkan dengan cara yang sama.....
maka tercetak kalantaka sepanjang tiga
hasta. Setelah dihaluskan lubang larasnya dan permukaannuya, dalam pemeriksaan
dipukul pukul seluruh permukaan kalantak ini tidak ada tanda keropos mapun
pecah rambut,,,,, pencetakan kalantaka
berhasil sempurna.
Maka sang Manggala Yuda Gajah Mada sudah mersa bhwa
“matahari telah terbit di Wilwartiktapura”, neskipun dia sangat bersyukur tapi
sangat disayangkan bahwa junjungannya yang mengahabiskan waktu untuk memperoleh
daya guna perahu perang, memnfaatkan sifat perahu perang model Madura sudah
pasti didapat, dengan menggabungkan olah gerak armada yang lincah dan ketepatan
tembakan salvo kalantaka.
Akhirnya perahu model Madura mendapatkan
pasangannya yang ditunggu tunggu oleh Raden Wijaya. Empat puluh laras meriam
dicetak tanpa cacat dihaluskan larasnya. Dihaluskan bagian dalamnya
dan dibagian luar, dipasang dudukan dengan empat roda kayu walau kecil
tapi tebal, setiap perahu perang dipersenjatai dengan dua laras kalantaka ini,
dan dua cadangan, untuk diisi mesiu dan peluru bergantian.
Waktu dicoba di medan percobaan setelah mendapat
pengalaman, sasaran tembak tetap dan sasaran tembak bergerak, perahu ber olah
gerak dengan kemudi, maka ternyata benar bahwa penembakan sasaran tidak
menganggu kedudukan yang seharusnya dari layar agung, maupun layar
tambahan, karena letaknya dihaluan didepan tiang pengikat layar, cukup
untuk dua kalantaka. Dengan sangat berhasilnya laksamana Wreha Nala di laut
Arafura, menhancurkan gerombolan perahu perang kora kora dengan ratusan
pendayung, yang tujuan satu satunya adalah menabrak dan membanjiri lawan dengan
pasukan berkelewang dan perisai kayu, jarang perahu pinisi yang diawaki
oleh pelaut Bugis, bisa lolos dari siasat ini.
Adanya ronda perahu perahu Madura yangbersenjata kalantaka
di laut Banda dan laut Saparua, wilayah timur dapat mengirim rempah rempah
dengan leluasa ke gudang gudang Majapahit, dengan sendirinya pedapatan dari gudang
gudang meningkat secara keseluruhan, malah Kerajaan Kota Wilwatiktapura dapat
membeli sendiri rempah rempah dari sana, berbagi dengan perahu perahu pinisi
bugis yang ada. Mpu Mada malah tidak mengusulkan pada junjungannya untuk
menaikkan sewa gudang untuk perahu pinisi Bugis yang membawa rempah rempah,
sebab dilaut tidak perlu ada permusuhan apapun, karena taufan dan cuaca jelek
tidak kenal kawan dan lawan. Orang Bugis sangat menghormati sikap ini. Malah
galangan kapal di sepanjang bengawan Solo dan Tuban mendapatkan pesanan perahu
pinisi banyak dan besar besar dari kerajaan Luwu yang kaya mendadak karena
menemukan tambang emas. Bagaimanapun kayu jati masih ditangan
Wilwatiktapura, kecuali di utara gunung Muria, melulu untuk galangan jung cina
dari kota galangan jung terbesar di Asia tenggara, Sanpaolung.(Semarang).
Yang ini pasukan laut Wilwatikta belum menyentuh. Kayu jati di lereng
gunung Muria jadi penghasilan Kerajaan Islam di Demak kemudian hari.(*)
MATAHARI TERBIT
DI WILWTIKTAPURA
TERNYATA LURAH BHAYANGKARI
WILWATIKTAPURA ADALAH PENDEKAR BERILMU TINGGI ALIRAN BUTONG (Wu-Dang)
Sisi yang
tak pernah dicurigai oleh ahli sejarah sekarang adalah kapasitas Lurah Bhayangkari
Wilwatiktapura, Mpu Gajah Mada adalah pendekar silat klas tinggi dari aliran
Butong.Pamuda GAjAH Gombak dad ideas MADA, BEGURU ADA SEORANG KAKEK TUA KAKEK
BANGKONG FAMG SELALU BAI HATI KEPADA SING PEMUDA GOMBAK, MERMUKIN DI TEPI BENGAWAN
SOLO DESA WIDANG – SANATG MRP DENGAN KATA WU DANG ATAU BU TONG.
Meskipun
perawakannya gempal, Mpu Mada bisa bergerak sangat gesit, badannya bisa lunak
seperti kapas dan bisa kaku seperti besi lonjoran. Kepandaiannya meloncat dengan
enteng sulit mendapat tandingan di jamannya.
Kepandaian
beliau ini dapat ujian dikala menelanjangi komplotan yang membalas dendam
dari sahabat Prabhunata Dewarajasasinghanambi, Raja Mjapahit bang Wetan dengan
Kota Raja Sadeng sekitat Lumajang sekarang.
Mpu Mada
ingat Kakek Bangkong Gurunya pernah berkata, bahwa jalan raya terbentang
panjang dan lebar di nusa Jawa ini bagi orang berkenpandaian tinggi, yaitu
lewat pokok pokok kelapa dari pelepah ke pelepah tanpa patah, ternjata pelepah
pelepah nyiur ini cukup kuat, tanpa kuwatir jatuh, bila di negeri China rumpun
bamboo di Jawa berupa pokok kelapa, maka pemuda Gajah Gombak mulai berlatih meloncat
dari pokok kelapa satu ke pokok ke pokok yang lain zigzag dengan berbagai
posisisi,
Pemuda
tanggung Gajah Gombak melihat kelakuan daun daun kelapa saat ada angin besar,
jarang yang patah, melainkan meliuk liuk, jadi dengan ilmunya meringankan tubuh
meggunakan tenaga dalam, pelepah pelepah kelapa ini layaknya dipemainkan angin
prahara saja.
Latihan ini
dipertegas oleh sang Guru, karena seorang Pendekar harus bisa bergerak cepat
tanpa diketahui orang.
Akkhirnya
pemuda Gajah Gombak mengetahui sifat pokok dan dauh kelapa bila kena angin
basar tidak pernah patah dan dia meloncat dari pucuk ke pucuk pohon kelapa
tidan pernah mematahkan tangkai daunnya.
Pada suatu
malam yang sangat gerah, Mpu Lurah Bhayangkari ini tidak bisa tidur, dan ingat
latihannya waktu masih muda, dia mencoba melompat bertengger pada pelepah daun
kelapa, ya, karena selama dua belas tahun pemerintahan Raden Wijaya ditambah
dengan dua tahun tahta Majapahit diduduki pewarisnya Kalagemet , pohon kelapa
disana rata rata umurnya kurang dari dua belas tahun, banyak yang sudah berbuah
berjenis kelapa puyuh dan yang berjenis kelapa dalan belum berbuah,
Disekitar
huniannya, dekat dengan wantilan Agung, pohon kelapa puyuh ditanam sepanjang
pagar, ternyata benar, pokok kelapa merupakan jalan raya daun daun kelapa
berada sambung menyambung tanpa mengenal batas rumah maupun kampong, bisa
dilompati dengan mudah, seolah olah jadi jalan pribadi untuk mereka yang
berkepandaian.
Mpu Lurah
Bhayangkari mendapat laporan bahwa ditimur kota, berdampingan dengan kampong
yang dihuni mereka yang datang dari wilayah Sengguruh ( sekarang Malang)
sering didatangi tamu misterius yang datang pada pagi dan siang hari, sesudah
itu tidak pernah kelihatan keluar lagi.
Kebetulan di
muara jalan kampong yang bersih tetapi tidak lebar ini ada seorang berjualan
ronde (minuman hangat dengan jahe dan santan) pada sore dan malam hari, bila
siang mulai pagi pagi warung kecil ini berjualan bubur Madura, Suami istri yang
berjualan ini adalah pembantu telik sandi yang memang ditempatkan disana oleh
bawahan Mpu Mada.
Karena
Sengguruh menjadi pusatnya kaum Bhairawa dan Mpu Mada ingin tahu seberapa besar
bahaya pengaruh kegiatan mereka ini terhadap keamanan dan ketenteraman
Wilwatiktapura.
Ternyata
barisan pohon kelapa bisa menghubungkan tempat dia berdiri tenang diatas
pelepah kelapa dengan garis lurus menuju ke kampong orang Sengguruh.
Sekali enjot
pelepah kelapa yang menjadi tumpuan dia berdiri dia melompat ke pokok kelapa
lain di arah tenggara kira kira sepuluh depa, terus ke pelepah pokok kelapa
berikutnya sambung menyambung, ternyata dia belum lupa bagaimana melompat
lompat diantara dedaunan dan pelepah kelapa, kadang perlu menjusup rendah
kadang harus dihinggapi dari atas sambil berjumpalian, menambah kegenbiraan sang
Mpu Bhayangkari. Ternyata kampung orang Sengguruh tidak besar, sepetak yang
dikelilingi jalan raya masih bercampur dengan orang Banyuwangi, sebagian jadi
tegalan karena masih kosong. Di halaman kosong ini warung minuman hangat ronde
berada.
Karena sudah
lewat tengah malam, warung ronde ini sudah tutup, dan berada dibawah pokok
kelapa dimana Luran Bayangkari berada dua kakinya memijak pelepah yang masih
muda masih tumbuh menuju ke atas layaknya berdiri diantara mata gunting.
Sambil
memnfaatkan dedaunan untuk menyamarkannya dari mata orang, karena pokok
kelapa disitu tidak tinggi hanya lebih kurang empat lima depa, tetapi berdaun
lebat.
Mendadak ada
dua sosok berpakaian ringkas, memakai ikat kepala kain hitam, meloncat dari
rumah Kelabang Kuti ke dahan atas pohon kenanga besar, rupanya pohon
peninggalan hutan yang sengaja tidak ditebang, trus melesat ke barat lewat atas
pepohonan, tiga depa diatas sang Mpu bertengger diatas dededaunan kelapa yang
tegak keatas.
Mpu
Bhayangkari segera menjejakkan salah satu kakinya ke pelepah kelapa yang
diinjaknya, sementara pelepah itu mengayun kembali ke asalnya sang Mpu
Bhayangkari sudah lenyap kebarat mengejar dua orang berilmu tinggi yang
mencurigakan itu. Dari Ranting pepohonan yang masih bergerak aneh Mpu
Bhayangkari tahu persis jejak para pejalan malam yang mencurigakan ini.
Ternyata dua pejalan malam itu lenyap di antara rimbunan rumpun bambo kuning
yang tumbuh di dalam halaman rumah Ra Tanca, tabib kepercayaan sang Kalagemet
yang kini adalah Mahaprabhu Jayanegara.
Kejadian itu
tepat tiga hari sesudah Lumajang jatuh dan raja Prabhunata
Dewarajasasinghanambi gugur dalam peperangan dalam upaya menembus kepungan
pasukan dari Kadiri, yang dipimpin langsung oleh Sang Mahaprabu Jayanegara.
Merpati pos belum datang dari pasukan penyerbu ini ke Majapahit, jadi seluruh
Wilwatiktapura belum mengerti akan kemenangan Rajanya, termasuk Mpu Mada.
Mpu Lurah
Bhayangkari merenung di kesunyian dedaunan pokok kelapa, ada hubungan apa gerangan
antara Kelabang Kuti dan Ra Tanca, sehingga Kelabang Kuti sampai mengutus dua
orang berilmu tinggi ini mengunjungi secara rahasia di kegelapan malam ?
Orang yang
terkemuka dikalangan pergaulan Petinggi Narapraja Majapahit, tabib
pribadi Mahaprabhu Jayanrgara, yang bisa keluar masuk peradauan Mahaprabhu yang
masih bujangan ini Sang Mpu Bhayangkari memutuskan untuk balik pulang ke
Istananya, dekat Wantilan Agung secepat angin puyuh hanya menyisakan dedaunan
kelapa yang dilewatinya kembali ke bentuk semula.
Setelah
membersihkan diri dengan air hangat yang berasal dari tempayan besar yang
diletakkan diatas api tumang untuk memanaskannya siang malam, supaya sang
Mahapatih pergunakan setiap waktu dengan mengalirkannya ke kulah pemandian yang
terbuat dari batu pualam hadiah Kaisar Tiongkok, sebagai balasan dari kiriman
hadiah kayu cendana kayu gaharu yang di China sangat dihargai tinggi. Mpu Mada
mengeringkan dirinya mengeringkan rambutnyayang sudah mulai beruban, mengenakan
jubah kebrahmanan dan langsung masuk Sanggar Pemujaan,
Sebagaimana
kebiasaan kaum Brahmana. Dalam benaknya masih terlekat pikiran ada hubungan apa
antara tokoh yang meragukan seperti Kalabang Kuti dengan Ra Tanca, seorang
Tabib terhormat di Wilwatiktapura, berkat kedekatannya dengan Sribaginda
Jayawardhana, sebagai tabib pribadi Raja.
Dalam
Samadhi sayup sayub Nampak peta pulau Madura, segera sang empu menyudahi
samadhinya, memuja para Pitri, dan berangkat ke peraduannya sudah hampir pagi.
Kebetulan
hari itu hari Anggoro Kliwon, hari penghadapan tebatas, Mahaprabhu Jayawardhana
dengan Penasihatnya Ibu Suri Tribhuaneswari, putri Narendraduhita, Jayendra,
Gayatri, dan Lurah Bhayangkari mpu Mada. Senyampang tidak dihadiri oleh Sang
Mahabrabhu Jayanegara karena masih memimpin penyerbuan ke Lamajang. Sayangnya
tidak dihadiri oleh dua adik lelaki empat bersaudari ini, seolah olah olah
mereka lagi bercengkerma perkumpul para pendiri Majapahit, yang sudah berkurang
satu Raden Wijaya.
Di pertemuan
istimewa itu Mpu Mada sebagai Lurah Bhayangkari Kerajaan menceriterakan
sambil merenung, ada hubungangan apa antara tokoh hitam Kelabang Kuti dengan Ra
Tanca, orang dekat putra mereka sang Kalagemet. Mendadak Putri Gayatri seperti
biasanya menghubungkan naman Ra Tanca dengan Lora Tanca, artinya panggilan Ra
adalah singkatan dari Lora, bokan singkatan dari rahadyan., panggilan
kehormatan orang Madura pada Pemimpinnya, Apa Ra Tanca orang Madura ?.
Selanjutnya sang Putri Gayatri mengingatkan saudari saudarinya bahwa sewaktu
lari dari Pakuwon Puwosari, ada dua emban yang ikut, salah satunya diperisteri
oleh Prajurit penamping Raja yang sudah meninggal. Dia sering mendengarkan
gossip dari para emban dan wanita Kedhaton Sumenep, barangkali ada hubungan
dengan Lora Tanca, maka perlu untuk Mpu Mada mampir ke Kaputren menemui emban
itu, menanyakan hal ihwal mengenai Ra Tanca, secara smbil lalu diatara canda,
agar tidak mencurigakan.
Betapa
terkejutnya Lurah Bhayangkari dan putri Gayatri, Si Emban yang setia ini langsung
saja menceriterakan bahwa menurut gunjingan rahasia para wanita istana Sumenep,
Rahadyan Wraha Nambi adalah putra Ra Tanca, yang diambil oleh Permaisuri Aria Wiraraja
semenjak bayi kerena sang putri tidak punya anak laki laki, sedangkan
Lora Tanca adalah sepupu dari ibu lain dari istri Aria Wiraraja yang
pertama.
Mendengar
uraian yang didengar oleh Putri Gayatri dan Lurah Bhayangkari, menutupi
pengetahuan mengejutkan ini dengan canda seadanya kepada si Emban Tua ini, dan
mereka berdua segera meniggalkan emperan dapur istana. Lurah Bhayangkari merasa
menelan duri di tenggorokannya dan putri Gayatri tidak bisa berucap sampai
beberapa saat. Ada kesulitan besar menjaga keselamatan Prabhunata
Jayawardhana untuk memisahkan baliau dari tabib pribadinya.
Hal ini
perlu segera dilakukan sebelum Sang Mahaprabhu pulang dari pernyerbuan ke
Lamajang dengan berhasil atau tidak, kok sampai terlanjur memerangi putra Ra
Tanca. Mahaprabhu Jayanegara ada dalam bahaya besar, tanpa putri Gayatri mampu
memberi tahu kakaknya Ibu Kandung dari Kalagemet.
Keadaan saling
hubungan dianatara Pelindung Kerajaan Lingkaran dalam Kedaton Majapahit ,
sangat tegang, dalam usahanya menjauhkan Mahaprabhu Jayanegara dari tabib
Pribadinya, Ra Tanca. Atas perintah Tetua Kerajaan, Ibu Suri, dan tiga
saudarinya, Ra Tanca diutus mengobati Ibu Bupati Wrasaba yang mendadak tidak
bisa bicara dan tangan kakinya lumpuh, beliau sahabat kental mereka.
Tidak perlu tergesa gesa pulang ke Wilwatiktapura sebelum si sakit menunjukkan
kemajuan.
Tiga hari setelah
Ra Tanca berangkat ke Wirasabha, baru ada kabar dari merpati pos yang dibawa
pasukan Kadiri Bang Kulon ada empat puluh ekor dikirim ke Kadiri, dari Kadiri segera
lain kelompok burung merpati pos dikirim ke Wilwatiktapura yang bisa
mencapaWilwatiktapura hanya lima, satu diantarnya luka parah akibat serangan
burung pemangsa, dapat diduga sepanjang jalan dari Lamajang ke Kadiri disambung
dengan lain sarang merpati pos ke Wilwatiktapura lewat pegunungan dan hutan
rimba yang penuh dengan burung pemangsa, jadi sudah untung bahwa lima burung
dengan pesan yang sama bisa kembali, bahwa Lamajang jatuh dan Rajanya
gugur dalam pertempuran.
Belum sampai
ada upaya yang tepat untuk memisahkan Baginda dari Ra Tanca, sang Tabib pulang
ke Wilwatiktapura dengan diam diam. Hari itu juga melakukan pembunuhan terhadap
Mahaprabhu Jayanegara. Ra Tanca menyerahkan diri kepada Bhayangkari yang
menjaga Raja, kabar Raja dibunuh segera dilaporkan kepada Ibu Suri, oleh Lurah
Bhayangkari, dalam detik itu seluruh Kerajaan telah tau bahwa Mahaprbhu
Jayanegara telah dibunuh oleh Ra Tanca tabib pribadhi belau. Ibu Suri Tribuaniswari,
jatuh sakit berat disertai pingsan selam dua hari. Putri Gayatri masuk ke Biara
jadi Bhiksuni. Tahta diberikan kepada Putri sulung Gayatri yang bergelar
Prabhustri Teribhuanatunggadewi.
Dialah yang
mengangkat Mpu Gajah Mada menjadi Mahamantri, Cajah mada mengucapkan
sumpahnya yang terkenal “Sumpah Palapa” untuk mengobati luka bathin yang dalam,
dan menyalahkan diri sendiri, bahwa seorang yang berjiwa Brahmana seperti dia,
sebenarnya tidak cocok untuk jadi lurah Bhayangkari. Karena berdasarkan keterangan
yang belum dicocokan dengan pemeriksaan terhadap si tersangka sendiri, orang
tidak bisa dihukum berdasarkan keterangan orang lain, tanpa pengakuan sendiri
dari si tersangka dari hasil pemeriksaan. Mpu Mada sangat menyesal kanapa tidak
segera mengambil tindakan yang keras misalnya penahanan, atau membunuh diam diam
Lora Tanca, berdasarkan keterangang Emban Tua dari Purwosari itu, bahwa dia
adalah Bapak yang sebenarnya dari Wraha Nambi, bukan Sang Aria Wiraraja.
Ini demi
keamanan Sang Raja. Nasi sudah menjadi bubur, Keluarga Wijaya menderita
dukacita hebat, tapi Wilwatiktapura sudah menjadi Negara besar, menjamin
ketertiban dan nafkah seluruh wilayahnya yang sangat besar dan berpenduduk
sangat banyak, Wangsa Kartarajasa harus mempertahankan tahta agar Negara tidak
mengalami kekacauan.
Mpu Mada
merasa harusmenjalankan kewajibannya untuk mempertahankan Negara ini, maka
“Sumpah Palapa” diucapkan: Isun hamukti palapa….. amun huwus kalah
ring Nusantara………….*)
Jam 7 30 MATAHARI
TERBIT DI WILWATIKAPURA
PERTEMPURAN DI LAUT TERNATE
Pertempuran laut antara Armada Majaphit dan Armada kora
kora dari kerajaan Tidore.
Setelah” Sumpah Palapa” di ucapkan, seperti kata
pepatah mengatakan “Ucapan seorang lelaki sejati, seperti panah api yang
dilepaskan, pantang untuk ditarik kembali.
Sejenak Mahapatih Gajah dari desa Mada, Ksatria
Brahmana , tertegun oleh ucapannya sendiri, lah iya sahabat juga majikannya
yang imbang dengan dia, baik dalam pengalaman maupun cita cita,
sudah tiada, Mahaprabhu Kartarajasa Jayawardana, meskipun terhadap Mpu Mada ini
tetep Raden Wijaya.
Dengan siapa dia akan berunding, menghadapi exspedisi
laut dengan armada Majapahit yang baru saja dibentuk baru menyesaikan
latihan maneuver laut enam bulan pada akhir musin timur ?
Benar selama sang Patih Gajah Mada menjadi Panglima Mandala
Majapahit dibawah Mahaprabhu Kartarajasa Jayawardhana sudah dibangun empat
puluh perahu perang yang menurut ukuran parahu model Madura sudah besar,
muat lima –enam ribu kati dengan aman. Diasebut perahu perang karena
lambungnya sedikit lebih langsing dari perahu Madura yang biasa untuk muatan,
perahu ini khusus untuk perang, lagi ada tambahan layar di anjungan,
untuk menambah laju berlayar. Selebihnya tetep design perahu Madura, dengan
lunas yang melengkung layaknya sabut kelapa, inilah konstruksi andalan perahu
model ini, yang akan sangat mudah dibelokan, laksana piring cekung mengapung
diatas air. Menggunakan, dua layar lateen (berbentuk segitiga) satu layar
agung dengan betuk nyartis trapasium karena layar agung ini di sisi atas di
ikatkan membujur pada sepotong bambu petung yang panjang dan kokoh, dibawah
diberi rangka batang bambu yang lebih kecil tapi panjangnya sedikit leih
pendek dari rangka diatas, untuk mengatur sudut layar terhadap angin. satu
lebih kecil dipasang dihaluan (layar jib) tanpa rangka bambu yanya tali temaIi
saja bila perlu. Perahu ini diawaki oleh tujuh belas awak perahu, dan
memuat empatpuluh prajurit, empat (meriam) kalantaka, dua dipasang di
haluan dan dua lagi untuk disediakan demi kecepatan mengisian obat mesiu
dan peluru setelah menembakkan peluru. diisi cara bergantian.
Pada gladi perang yang terakhir, dua bulan yang lalu,
semua berjalan lancar, setiap perahu perang dapat menembakkan peluru empat
puluh tembakan, atau duapuluh pasang, dalam waktu yang cepat, sebab bubuk bubuk
mesiu sudah ditempatkan dalam kantong kantong anyaman agel (daun tal), tinggal
mengisikan dan mendorong dengan galah trus sampai kedasar lubang
kalantaka, peluru peluru sesudah itu. Jarak tembak terjauh tiga ratus
depa, dengan sudut tigapuluh derajad. Semua peralatan bisa belerja dan ada
gunanya.
Untuk prajurit laut disediakan seligi ( tombak
untuk dilempar) sebanyak lima belas batang setiap awak, teribuat dari bambu
khusus, berujung besi tuang runcing dengan dengan kait dan pembakar
nafta. Gandewa hanya empat untuk dipasang dan ditarik dengan seluruh badan,
sambil terlentang dijejak dengan kaki dan dibidikkan sambil terlentang dikenal
dengan panah gajah. Kena apa tentara laut tidak dilengkapi dengan panah ?
Karena dilaut selalu angin sehingga panah sedikit manfaatnya.
Formasi yang telah dicoba adalah “jajar pandawa”,
perahu perang berurutan lima perahu, angin dari samping keburitan, secara
serempak semua haluan formasi diputar kearah angin, langsung
menembakan bareng tiga kali, sejarak dua ratus depa, seratus
lima puluh depa dan seratus depa. Baru satu formasi inilah yang
secara memuaskan dikerjakan, maneuver diakhiri dengan maneuver “pedang ligan”,
formasi berlayar maju berlima dengan jajar melebar. Juga dilaksanan
maneuver Rantai wura wari, berlayar berurutan sampil menenbakkan panah gajah
yang ujungnya api nafta. Selama musim timur seluruh armada mengadakan perjalanan
muhibah ke barat dikenal dengan pelayaran Pamalayu yang pertama, dipimpin oleh
Patih Raganatha ke II dengan mandala laut dipimpin oleh Wraha Nala,
seorang bhayangkari raja, mengabdi R. Wijaya bersama Gajah mada, berasal dari
Tanjung Bhumi pulau Madura.
Meskipun pengabdian pertama sebagai Bhayangkari Raja,
tapi Gajah mada, tahu betul bahwa Wraha Nala telah dididik oleh sukunya
untuk berlayar sebagai pelaut, tahu asam garam kelautan.
Wraha Nala itulah sosok yang Gajah Mada bisa mengajak
berunding saling menimbang pendapat masing masing. Mahapatih Gajah Mada,
memanggil Wraha Nala untuk merundingkan pelaksanaan exspedisi pertama ke
wilayah bawah angin di timur, Kapulauan Tanimbar, wlayah Kerajaan Tidore yang
lagi naik daun.
Wraha Nala tahu betul, meskipun formasi “jajar
pandawa” ini baru di digladikan sekali, dengan hasil baik, dia yakin bahwa
selama pelayaran ke timur bisa di gladikan lain lain formasi, seperti rantai
wura wari yang dapat menenbakkan anak panah api lebih jauh. Ketepatan
penembakan kalantaka untuk sasaran yang bergerak maupun sasaran diam.
Mahapatih Gajah Mada merasa sedikit tentram dengan
mempunyai Panglima Madala laut Wraha Nala. Segera Mahapatih pada hari
penghadapan Soma manis, menghadap Prabhustri Tribhuanatunggadewi, untuk
mengangkat Wraha Nala menjadi Laksamana Mandala Laut, dalam waktu tiga
bulan menyiapkan pelayaran exspedisi penaklukan kerajaan Tidore ke timur.
Dalam tiga bulan disiapkan perlengkapan tiga puluh
perahu perang dengan seratus kalantaka dan mesiunya, panah gajah seratus duapuluh,
seligi, tameng logam, perlengkapan perahu perang dan mandala laut seratus
limapuluh orang, awak perahu lengkap dengan Pandeganya masing masing.
Pada bulan Kanem,(tahun penagalan bulan) pertengahan
kedua musim barat, mandala laut Kerajaan Majapahit mulai mengadakan exspedisi
ke timur melaksanakan “Sumpah Palapa”
Semenjak sumpah sang Mahapatih di ucapkan, ramailah
telik sandi dari Negara tetangga, Bali dan Tarnate, Tidore, Bugis mengirimkan
berita berita supaya Negerinya memperkuat Pertahanan mandala laut,
Tentu saja Kerajaan Tidore sudah mulai siap
dengan Banyak suku suku pelayar yang handal dengan menggunakan kora kora yang
sama saja dipakai untuk perang maupun untuk angkutan dagangan, hanya jarak
jelajahnya tidak bisa jauh, paling jauh sampai ke Timor, Banda dan pulau Kei.
Tapi mandala laut yang berani mati amat banyak, dengan peralatan perangnya,
busur panah dan seligi tidak terhitung.
Kora kora adalah perahu panjang dengan ratusan pendayung,
dan layar yang lemah. Andalan dalam perang laut adalah menabrak dan menyerbu
naik ke perahu musuh.
Mendekati laut Ternate, angin mulai berganti ganti
arah, laksamana mandala tahu bahwa ini saatnya kora kora mendatangi armadanya
dari kepulauan disekitar laut itu. Segera diperintahkan untuk semua perahu siaga
mebentuk formasi jajar pandawa, berlayar kearah timur laut dimana angin dari
samping kanan buritan, keutara. Formasi perahu perang menuju ke timur laut. Laksamana
Nala tahu benar bahwa kora kora akan mucul dari utara, sekarang masih
tersembunyi di pulau pulau kecil di utara.
Benar dugaan sang Laksamana, kora kora mengandalkan
prajurit pendajung yang ratusan setiap kora kora, semua lengkap bersenjata,
panah dan seligi, dari jarak seribu depa Nampak semua pendayung sambil berdiri
dengan bersorak sorak seolah olah sudah menabrak formasi mandala Majapahit.
Jarak limaratus depa dengan haluan menuju ke formasi
jajar pandawa, kora kora yang menyemut ratusan jumlahnya, menyempitkan jarak
satu sama lain, dengan cepat akan menabrak formasi, yang segera meniup terompet
kerang, serempak haluan perahu perang Madura dengan angin dari buritan,
menghadap ke utara, dengan cepat jarak memendek jadi duratus depa dan
serentak enampuluh kalantaka dari tiga puluh perahu formasi jajar padawa, jadi
formasi pedang ligan, memuntahkan peluru tepat ke haluan perahu perahu cepat
kora kora yang saling mendekatkan lambungnya, terkonsentrasi ke tiga
puluh perahu perang Majapahit yang siap dengan formasi pedang ligan,
sebelum tembakan kedua dengan jarak seratus lima puluh depa, keadaan kora kora
berubah jadi neraka, bukan suaranya saja yang sangat memekakkan telinga, tapi
guncangan kora kora yang kena peluru kalantaka haluannya dan membuat
semua pendayung berantakan dan kora kora banyak yang tenggelam pada penembakan
kedua dari jarak reatus limapuluh depa, belum lagi tembakan ketiga sudah ada
aba aba dari terompet kerang agar melanjutkan formasi jajar pandawa lagi,
menuju timur laut. Dengang cepat layar terisi angin dari buritan samping
kanan meliuk meninggalkan kora kora yang sungsang sumbel. Banyak prajurit
pemburu tenggelam ada dua puluh empat kora kora yang tenggelam sisanya saling
bertabrakan dan terbalik. Sewaktu aba aba dengan terompet kerang berbunyi lagi,
ketiga puluh perahu perang Majapahit menuju kebarat, berada di utara neraka
laut akibat kora kora saling bertabrakan. Tembakan panah api dari gandewa panah
gajah diarahkan ke gerombolan kora kora yang sedang berkutat menolong satu sama
lain, semua kora kora yang sedang sibuk menyelamatkan temannya, panah api ini
sekedar meyakinkan bahwa semua kora kora rusak, agar tidak bisa pulang mempertahankan
pelabuhan Tidore. Ternyata kalantaka ini bisa mengenai sasaran dengan jarak
tigaratus depa, dengan menambah serbuk mesiu setengah kantung mesiu,
meninggikan sudut tembak, akibatnya peluru jatuh dari atas, sehingga
melubangi lunas, bukan lambung, ini penemuan baru dari kemampuan kalantaka, dan
celakalah prajurit pendayung kora kora yang menyemut ini.
Pelabuhan Tidore kosong, tidak ada satu kora korapun,
dengan tergopoh gopoh Raja dan segenap keluarganya menuju ke pelabuhan,
menakluk sambil mamohon ampun.
Laksamana Wraha Nala bijaksana, ampunan atas nama
Maharani Tribhuanatunggadewi diberikan, malah Sang Ratu, Prabhustri mengirimkan
kain dari India dan Cina, kain destar bathik Majapahit puluhan kodi. Selang
tiga hari para prajurit pemburu yang gagah berani pulang ke kota Raja sendiri
dan berombongan, menemukan Ibu Kota aman saja, hanya sedikit prajurit laut
berkemah di pantai, dengan penjagaan diri yang rapi. Masing masing bertukar buah
segar dan sayuran dengan penduduk dengan ramainya.
Sedangkan para perwira menjadi tamu agung kerajaan.
Segera enam puluh burung merpati pos yang didatangkan
bibit bibitnya dari Cina, ddikirim ke Ibu Kota, Wilwatikta pura akan sampai
dalam waktu paling lama satu minggu, burung merpati pos ini dengan gagah berani
tebang melawan angin, hujan dan menghindari badai, empat puluh delapan sampai
di sarang anaknya di Wilwatikta pura. Segera berita dari merpati merpati
itu disampaikan ke Mahapatih Gajah Mada tanpa rintangan ketangan Paduka
Mahapatih. Matahari sedang tenggelam, berita ini pecah ke seluruh Ibu Kota. Mendadak
saja semua lampu ditambah obor dan lampion lampion dinyalakan di Istana
Wilwariktapura disusul dinyalakannya obor dan dian dimuka halaman setiap
penduduk, ibukota bersinar laksana siang. Tetabuhan disetiap pura ditabuh
dengan ramainya dengan irama degung dan baleganjur.(*)
Jam 7 30.- jam
10 00
X. MATAHARITERBIT DI WILWATIKTAPURA
PAMALAYU KE II DARI
MAJAPAHIT
Lima puluh perahu perang jenis perahu Madura milik
Wilwatiktapura telah siaga, lengkap dengan persenjataannya yang telah dicoba di
Timur, melawan perahu kora kora yang menyemut, penuh dengan pasukan perang dari
seluruh kepulauan Tidore. Tujuan semua perahu yang didayung oleh ratusan jagoan
berkelahi dengan kelewang dan tameng kayu yang sempit namun kuat, armada perang
dengan kora kora dan ratusan jagoan ini andalannya adalah menabrak armada
lawan. Menabrak perahu lawan dan membanjiri dengan serbuan para jagoan
berkelahi. Fomasi Jajar Pandawa yang harus mengubah dengan serentak haluan
parahu Madura ini dari mempertahankan formasi berjajar, menjadi formasi
berhadab hadapapan dengan kora kora yang menjemut dengan pendayung yang tambah
bersemangat, secara serempak menembakkan kalantaka, pada jarak tiga ratus depa,
sementara lemparan tombak tombak belum sampai. Hasilnya luar biasa, banyak kora
kora yang langsung terbalik, banyak haluan kora kora yang kena tembak dan
berubah haluan saling bertabrakan
Kali ini siasat perang laut melawan parahu perang
model lancang yang bercadik, bisa berlayar melawan angin dengan sudut
menyerong, dan berlayar sangat cepat. Mereka selalu menyerbu barsama sama,
mencari posisi diatas angin. Persenyataan yang diandalkan adalah seligi atau
tombak yang dilempar, dan periuk api, yang dilempar sambil melintas cepat dalam
fomasi berjajar. Masalah besar untuk membangun perahu model madura dengan bobot
mati yang besar diatas 20 ribu kati, bukan dari bahan kayu dan papan
perahu, bukan dari konstruksinya tapi dari pengadaan kain layar yang harus
ringan kuat dan luas, kala itu (malah sampai sekarang) kapas kita tidak bisa dipintal
dai ditenun menjadi kain layar yang kuat untuk perahu layar yang seberat itu.
Perahu model Pinisi dari Bugis, sudah mempunyai layar dengan serat ulat sutra
yang diperoleh bibit ulatnya dari China ( Bombuch madarina L) sejak dulu, dan
dapan dijadikan layar yang ringan luas dan kuat, ulat sutera dipiara diberi
makan daun tanaman murbei (Morus alba) di dataran tinggi diatas Sengkang di
Rantepao, sedang penenun sutra ada di diseputar danau Tempe, jadi petani pemelihara
ulat sutra tidak menguasai teknologi sutra, sedang penenun sutra tidak
memelihara ulat sutra ini. Akibatnya tidak ada batasan ukuran pembuatan pinisi
yang besar besar. Tapi toh perahu model madura yang relatip kecil dengan bobot
mati 10- 15 ribu kati sudah memadai untuk masuk kedalan sungai sungai yang
relatip dangkal dengan kain layar yang sudah ada, dari benang kapas yang dicampur
serar kenaf.
Latihan berkali kali dilaksanakan dilaut dimuka pelabuhan Tuban dengan
menggunakan parahu nelayan “jaten” yang disewa sebagai lawan, sangat mirip
lancang dari Malayu, memang perahu nelayan pancing model “jaten “ yang
lincah dengan cadik hanya disatu sisi lambung, mirip lancang dari Melayu.
Malam menggunakan angin darat, angin dari daratan karena daratan udaranya lebih
padat dimalam hari, sedang siang hari udara diatas laut lebih
padat jadi mengalir kedarat. Sedangkan perahu perang Madura harus mencari
formasi dimana serangan dari atas angin bisa dipatahkan dengan menghadapkan
haluan perahu ke penyerang dari atas angin. Formasi ini harus menghasikan
pemusatan tembakan kalantaka ke parahu lawan yang mendekat dengan angin
buritan. Kemungkinan cara ini ada, dan dapat dicoba dengan Manuver jajar
pandawa karen kecepatan lancang kira kira sama dengan kecepatatan kora kora
yang didayung oleh ratusan jagoan perang yang lagi bersemangat. Repotnya, angin
di pantai Sumatra meskipun sangat dipengaruhi oleh angin para nelayan yang
rutin, tapi diakhir musim timur kadang kadang ada angin kebarat yang dominan
dan kuat, Sehingga kecepatan mengisi peluru kalantaka dan ketepatan
memperhitungkan jarak sasaran yang bergerak harus lebih cepat dari kora kora
mendekati perahu yang bermanuver sangat menentukan hasil peperangan laut menang
atau kalah. Maka latihan maneuver mengubah haluan menentang angin dan
menembak dengan jarak tiga ratus depa harus tepat. Dalam situasi apa saja.
Strategi yng dipilih adalah berlayar agak
menjerong atas angin perahu disejajarkan haluannya, dan mendadak diputar
Kearah angin, sambil nenjatuhkan layar, agar tembakan
panah api tidak mengenai layar, sikaligus menembak sasaran yang mendekat dengan
cepat.
Armada Majapahit agak minggir ke pantai antara empat
atau enam yojana, memanfaatkan angin nelayan, karena pinggir pantai dangkal
maka ombak akan sangat mempengaruhi perahu perahu kecil seperti lancang
perang ini, mungkin ketepatan melempar seligi sangat terpengaruh oleh
ini. Bagusnya perahu perang model perahu Madura ini kecepatan maneuver merubah
haluannya sama mudahnya dengan perahu yang lebih kecil, meskipun kalantaka yang
di bawa berkaliber lebih besar.
Armada Majapahit dibawah komando Laksaman Wreha Nala,
dengan lima puluh perahu model Madura, dua diantarnya berbobot lebih dari delapann
ribu kati, membawa kalantaka yang lebih jauh jarak tembaknya memcapai tuju
ratus depa ikut dalam armada, juga dua katamaran dengan layar tunggal yang
besar, dengan angin buritan bisa dua kali lebih cepat dari perahu Madura,
tetapi sulit bermanuver, digunakan menolong pelaut
tercebur laut bila memungkinkan. Dan satu perahu model Madura yang
lebih kecil, bobot muatan hanya seribu kati berlayar ganda untuk kurir. Telik sandi
memberi peringatan lancang Melayu ada yang dilengkapi dengan
panah api yang diterbangkan dengan obat mesiu dapat mencapai jarak enam ratus
depa, tapi ketepatanya diragukan, jarak tembak dengan sasaran yang dikenainya
dengan jarak dua ratus depa, berbahya bila dirubah jadi panah api, berguna
untuk merobek layar dan membakarnya. Dengan perhitungan bahwa panah model ini
tidak banyak, maka armada Majapahit tidak ada perlengkapan khusus untuk
menangkal senjata model ini. Semua perlengkapan perang di bawa oleh lima perahu
pinisi, ke laut Jawa, utara Tuban, karena pada musim begini biasanya di utara
Tuban, lautnya tenang. Bulan Kapitu, armada berangkat kebarat, mulai pelayaran
perahu perang Pamalayu ke II, ke Jambi dan Tanjungpura.
Ternyata dugaan arah angin sesampai di muara sungai
yang menuju ke Jambi berubah arah keutara, dari muara sungai keluarlah ratusan
lancang perang dengan ratusan pejuang berseligi, berlayar menyerong ke tenggara
untuk mendapat bantuan angin buritan pada saat mendekati armada perahu perang
Madura, Tiga yojana, armada ratusan lancang perang ini sudah ada
diatas angin armada perahau Majapahit. Armada lancang yang ratusan jumlahnya
ini merasa bahwa armada Majapahit lamban malah menjerong angin menuju ke barat daya,
apa tidak tahu bahwa keistimewaan lancang lancang ini bisa berlayar jauh lebih
baik dalam sudut berlayar menentang angin, hanya terdorong sedikit kearah
samping. Mereka pikir musuh akan bersembunyi dibalik lajar lancang lancang itu
agar lemparan seligi dan periuk api terhalang oleh layar lancang, manuver yang
biasanya lebih cepat, yang ini kok malah menutup layar dan neghadapkan haluan
kearah angin? Armada lancang tambah bersemangat memacu perahunya dengan angin buritan,
sampai haluan lancang lancang ini melonjak lonjak kena ombak kecil kecil, mengibaskan
air kekanan dan kekiri, Dalan hitungan detik, terdengar bunyi terompet kerang,
sebelum lancang mendekat dengan cukup sepelempar seligi, sudah terdengan salvo
kalantaka, yang menerbangkan layar layar lancang, mengubah haluannya mendadak
sehinga tabrakan antar penyerang tidak terhindarkan, lancang lancang
dibelakang masih bisa menghindar kekanan dan kekiri dengan lincahnya
untuk melemparkan periuk api, nayris menabrak lancang yang sudah mengggumpal
jadi satu, terus dengan cepat menuju ke armada Majapahit, ternyata perahu yang
lebih besar delapan ribu kati dengan kalantaka lebih besar bisa menembak
limaratus depa, yang ditempatkan dimuka dan dibelakang fomasi jajar pandawa
masih bisa menembak lancang yang bermanuver belok kekanan dan kekiri, mengenai layarnya
ada yang terbang dan ada yang terguncang miring dan tenggelam.
Waktunya dua perahu katamaran dengan layar besar mengiris
ombak dan angin, berlayar menyerong tajam menuju ke pempat bejubelnya lancang
lancang, untuk memberi pertolongan pelaut yang tercebur, luka dan sudah tidak
berdaya.
Semua lancang dari Indrapura, jang rusak tanpa haluan
ada duabelas, yang tanpa layar dan tiga puluh dua yang cadiknya patah dan terbalik
ada limapuluh enam semua, semua lancang diperbaiki sementara dan didayung ke Indrapura
oleh anak perahunya masing masing masing, mereka diperintahkan
membuka jalan, sebab pelabuhan Indrapura dijaga dengan dua meriam basar dari
perunggu yang dipasang di dekat pelabuhan. Begitu kalantaka kuningan besar
penjaga pelabuhan tahu bahwa semua perahu perang lancang diperintahkan brlayar
sebagai perisai didepan, meriam meriam didarat terpaksa bungkam dan membiarkan
lancang itu masuk kuala dengan diikuti oleh armada Majapahit.
Salvo kalantak majapahit kosongan menandai datangnya
Armada Majapahit, diikuti dengan kegemparan kota Tanjungpura yang biasanya
sunyi disiang hari seperti ini. Suara kalantaka waktu peperang laut tidak
terdengar dari kota pelabuhan itu. Dengan tergopoh gopoh Syahbandar Tanjungpura
menghadap Laksamana Wreha Nala. Syahbandar diperintah agar kalantaka kuningan penjaga pelabuhan diputar
arahnya kekota. Sambil menunggu Syahbandar Tanyung pura dperintahkan memberikan
surat ke Istana kerajaan Tanjungpura untuk sang Raja Marmadewa. Sore hari Hari
Paduka Raja dan Laksamana Wreha Nala bertemu di wantilan pelabuhan. Melihat
arah maha kalantyaka pelabuhan sudah dipindah menuju kota, Raja Marmadewa
mengajak sang laksamana untuk berkunjung ke Istana, dengan naik tandu yang
disediakan, laksamana menolak dia memilih mengendarai kuda yang dibawa dari
Majapahit.
Atas ulah para ksatria Tanjungpura yang gagah berani,
armada Majapahit harus membakar sekian banyak mesiu dan peluru berapi, maka dari
itu sang Prabhu harus mengendalikan para ksatrianya yang gagah berani untuk
mengamankan jalan laut dari bajak bajak darimanapun asalnya. Prabhu Marmadewa
harus menanda tangani suatu pernyataan bahwa keamanan laut sebagai jalan
perdagangan, Indrapura harus ikut mengamankan perahu perahu yang membawa dan
mengambil dagangan dari dan ke Wilwatiktapura. Setelah surat perjanjian
ditanda tangani oleh sang Raja, laksamana Wreha Nala mohon pamit, dan
meninggalkan uang emas seribu keping, untuk para ksatria laut yang menjadi
korban keberaniannya. Untuk lain kali perbuatan serupa tidak akan diberi kerugian
apa apa. Sekian perintah dari Maha Patih Gajah Mada. Raja dan datuk Bendahara
Kerajaan sampai terlongong longong tidak tahu apa yang akan diperbuat, Hanya
berjanji dengan sunguh dungguh akan memenuhi pesan rakryan Mahapatih Gajah
Mada. Mereka berdua memberikan surat perjanjian yang dibawa Laksamana Wreha Nala,
sambil menerima kantung seribu keping emas.
Sore itu juga Amada majapahit Keluar dari kuala dan
berlayar menuju Pahang.(*)
Jam 8 00 – jam
2 00
MATANARI TERBUT
DI WILWILWATIKTAPURA
RA. SAPUANGIN MEMEGANG JANJI DI PELAYARAN
PAMALAYU KE 9
Ingatkah pembaca ketika Gajah Gombak
mengampuni bajak dari Sampang ?
Ternyata sosok Sapuangin tetap jadi pengikut
alias pelayan pribadi Gajah Gombak, secara sukarela. Mulai rombongan mencari
pembuat keris di Pantai Selatan arah Lumajang, Sapuangin yang tidak lebih muda
dari pemuda Gajah Gombak melayani kebutuhan pribadi sang Gajah Gombak. Tekad
Sapuangin ini dimulai waktu dia memimpin teman temannya mendayung perahu
pengelana, mulai mengadakan pembicaraan dengan anak perahu
dan pemuda dari Penyaradan Mada, dia mulai
mengerti rombongan apa yang dibajak itu. Sebenarnya dia menjadi pemimpin
bajak bajak ini karena dari Pamekasan dia berniat mencari ayahnya yang konon
pemimpin bajak laut di Sampang, sedang ibunya adalah putri seorang Brahmana
tingkat rendah yang baru saja meninggal dunia, sang kakek memilih jalan hidup
sebagai brahmana gryasta pembuat keris dan alat alat besi karena kegemarannya
membuat senjata keris dan besi inilah maka dia pergi ke Pasirian dengan anak
buahnya, setelah ditinggal mati oleh satu satunya anak permpuannya, yaitu ibu
si Sapuangin. Ketika dia tiba di Smampang, Sapuangin mendapatkan bapaknya baru
mengadakan pelayaran ke barat dengan dua perahu, sedang pulangnya tidak pasti.
Para pemuda Sampang yang ditemui, alias kerabatnya tahu bahwa berkepandaian
lumayan diantara pamuda pemuda kerabat ayahnya, maka dia dipilih untuk mulai
memimpin gerombolan pembajak, dan mulailah karirnya sebagai kepala
pembajak perahu yang lewat dekat dekat perairan Sampang. Ini adalah
pelayarannya untuk membajakan yang ketiga kalinya. Mengetahui teman temannya
ngacir dengan mendayung perahu secepat cepatnya meninggalkan dia dan teman
awak perahunya, maka tawarlah hatinya untuk melanjutkan karirnya sebagai
bembajak. Si Sapuangin memilih jadi pelayan gajah Gombak untuk mempelajari ilmu
memainkan cambuk yang hebat begitulah diungkapkan oleh dia kepada sang Brahmana
Muda Gajah Gombak.
Begitu kagumnya dan begitu menghormatnya
si Sapuangin kepada pemuda gempal ini. Sehingga Sapuangin bicara terus terang
bahwa dia mohon untuk menjadi murid Sang Gajah Gombak dalam menggunakan cambuk panjang,
dan sanggup mengabdikan dirinya seumur hidup bila sang pemuda
menerimanya.
Aneh, pemuda Gajah Gombak merasa kasihan
akan nasib Sapuangin pemuda malang yang mencari ayahnya ini. Meskipun tidak
menyanggupi apa apa tapi mengizinkan si Sapuangin mengikuti rombongan. Apalagi
setelah Sapuangin menceritakan bahwa kakeknya Mpu Keleng adalah pandai besi dan
mencairkan pasir besi di pantai selatan Pasirian untuk mencetak keris, dan
membuat bahan baku besi tempa untuk senjata. Rombongan mereka sudah berangkat
satu bulan yang lalu. Disinilah anehnya Hyang Widiwasa mengatur masib hidup
manusia, cucu Brahmana ditemukan dengan anak Brahmana guna diluruskan jalannya.
Dirupakan tekad yang aneh untuk mengabdikan diri kepada Gajah Gombak.
Sapu angin seterusnya selalu mengikuti
Gajah Gombak sambil meneruskan melayani kebutuhan sehari hari yang tidak banyak
macamnya. Mendengarkan Cajah Gombak berceramah dihadapan Pemuda pemuda pilihan
yang ikut dalan perjalanan ke Pantai Pasirian tentang penyaluran tenaga dalam.
Tidak heran dia juga ikut ke
Wilwatiktapura yang baru dibangun di aliran sungai Brantas tepatnya dekat
Wirasabha ( sekarang Mojokerto), dikaki gunung Anjasmoro, mendekati dataran
rendah yang dialiri sungai Brantas menghilir. Sapuangin termasuk rombongan
pertama dari calon calon perwira yang dikirim ke pulau kecil selatan Madura
Gili Raja untuk dilatih mengendalikan perahu model Madura dalam perang laut,
berbagai formasi Tentu saja Sapuangin termasuk dalam kelompok Pandega Pandega
yang membawa perahu model Madura ini untuk pertempur ke Timur dan ke Barat sampai
terhimpunnya jumlah kekuatan perahu perahu tempur model ini menjadi armada laut
yang besar, terdiri dari ratusan perahu tempur model Madura dan perahu perahu
cepat model pinisi Bugis, lengkap dengan sedikitnya empat kalantaka setiap
perahu tempur dengan amunisinya. Sapuangin juga tahu keterbatasan ukuran perahu
Madura dari mandala laut Majapahit, karena ketiadaan kain layar yang kuat dan
ringan, jadi para pandega perahu perang model Madura dari mandala Laut Majapahit
sangat kergantung kecapakan menggunakan perahu yang tidak besar ini untuk
bermanuver, mengunakan kelebihan yang sangat handal yaitu kalantaka di
anjungannya, kecepatan mengisi mesiu dan ketepatan tembakannya pada sasaran,
cepat berolah gerak secara serentak dalam formasi perang, nyaris tanpa perintah.
Pada pelayaran Pamalayu yang ke Sembilan,
perahu tempur Sapuangin sudah menjadi tulang punggung armada laut
Majapahit yang mengibarkan bendera matahari terbit. Dipersenjatai dengan
Kalantaka yang dapat menenbakkan paluru sejauh limaratus depa dengan sudut
tembak yang kecil, artinya dapat ditujukan ke lambung kapal lawan.
Laksamana Wraha Nala mendengar bahwa
Kerajaan Malaka telah memiliki beberapa jung tempur lengkap dengan maha
lela perunggu dua laras, yang tentu saja jung tempur ini berukuran besar,
paling sedikit bertiang agung dua, dengan layar bersusun tiga, lebar dan kuat
terbuat dari bahan sutera . Kerajaan Malaka minta Majapahit membayar separuh
harga jung ini dan ongkos pelayarannya meronda dikawasannya, juga
menuntut bagaian dari keuntungan perdagangan dari Atas Angin, Siam, Campa dan
China setiap tahun, setara dengan tiga ribu tael emas. Satu permintaan
yang wajar, tapi Wilwatiktapura tidak memerlukan armada pengamanan yang lain,
apalagi dengan menyebutkan beayanya yang sangat besar, yang disebut di surat
itu, Mulai terbitnya surat ini, selat Malaka, selat Karimata lewat
kepulauan Natuna menjadi terlarang bagi armada perahu perang Wilwatiktapura,
tanpa izin dari Kerajaan Malaka.
Ini adalah tantangan terang terangan
yang kurang ajar bagi armada Wilwatiktapura, yang perahu perangnya ukurannya
jauh lebih kecil dari jung perang China milik mereka. Mahapatih Gajah Mada
membalas permintaan itu dengan surat lewat Duta Kerajaan Malaka, bahwa Armada
Majapahit belum mempunyai bukti kemampuan jung jung tempur Malaka untuk
mengamankan jalur pelayaran yang sangat luas yang disebut dalam surat kepada
Wilwatiktapura, beberapa jung tempur dengan mahalela (dalam bahasa Melayu
kalantaka jadi rentaka) perunggu yang besar besar tapi kekurangan jumlah jung untuk
meronda perairan itu. Dinyatakan dalam surat Mahapatih Gajah Mada ini,
bahwa armada perahu tempur Majapahit sewaktu waktu akan sampai di Kuala
pelabuhan Malaka untuk memeriksa kemampuan beberapa jung perang Kerajaan
Malaka.
Pada saat itu masih saat angin timur, Dua
puluh hari setelah surat dilayangkan ke Duta Melaka di Wilwatiktapura, armada
barat Wilwtiktapura yang ada di Palembang telah mendapat isyarat dari Mpu Mada,
bahwa jung tempur Malaka akan memperlakukan armada Barat Wilwatiktapura sebagai
musuh, tidak perlu ragu ragu untuk mengeroyok bila perlu menenggelamkan
jung tempur tersebut. Segera Laksamana Wraha Nala di Palembang mengirim merpati
pos ke Tanjungpura dan Jambi untuk siaga tempur bagi setiap satuan tugas perahu
perahu tempur di pelabuhan sekitar selat Malaka.
Kebetulan satuan perahu tempur sejumlah
sepuluh perahu yang dipimpin oleh Prangwadhana Pandega satuan tempur di Jambi,
yang dipimpin oleh Prangwadana ring Jalanidhi Sapuangin. Dia putuskan untuk
menyatukan segera kekuatan satuan tempurnya dipangkalan lebih keatas angin
artinya lebih keselatan, untuk memperoleh posisi diatas angin yang baik,
dengan mengumpulkan perahunya yang masih tersebar diseluruh kuala sungai sungai
penting di Sumatra, menjadi satuan tempur yang terdiri dari tigapuluh perahu
tempur di Tanjungpura. Prangwedhana Sapuangin sendiri segera angkat jangkar
menuju keselatan, dengan tujuh perahu tempur.
Menjelang siang, waktu angin nelayan
menuju ke darat, angin diselat Malaka berubah arah ke barat laut mengutara, sekira
matahari dua jengkal diatas ufuk timur, mampak layar dua perahu jung dengan
bentuk layar drentang dengan bambo,
dihaluan masing masing yang terbuka nampak mahalela masing masing dua
buah dianjungan, jung jung perang itu tepat ada di atas angin. Kalantaka
perunggu besar atau mahalela ini dapat menembakkan pelurunya hampir lurus
sejauh tujuh ratus depa, satu kemampuan yang besar dikala itu. Sajangnya jung
perang ini harus mendapat angin buritan agar mudah berolah gerak mengarahkan
mahalelanya. Jelas ada dua pilihan bagi armada perahu Madura yang kecil ini,
yaitu harus segera diputuskan. Lari menghilir angin berpencar untuk bersembunyi
di pulau pulau kecil di pantai timur Sumatra, atau mengatur formasi tempur yang
biasa untuk menghadapi situasi ini.
Prangwedhana Spuangin sudah mendapat
petunjuk bahwa jung perang China tidak seperti perahu perang Madura harus
mengarahkan haluannya ke sasaran, apabila sasaran agak kesamping kanan atau
kiri dari haluan makan kemudi harus mengantisipasinya, otomatis posisi layar harus
tetap mendapat angin, karena kemudi saja tidak akan kuat memutar haluan jung,
sedang perahu perang Madura menuver kecil mengubah hanuan sampai memutar prahu
tidaklah perlu menunggu angin buritan. bila layar pada satu posisi tertentu mau
atau tidak akan hampir sejajar dengan arah lambung, Akibnya jung jadi miring
terdorong oleh layar sedang gerakan memutar jadi sangat sulit hampit tidak
mungkin. situasi ini yang dipergunakan oleh pandega Sapuangin. Sebaliknya
perahu perangnya mendapat angin dari depan masih bisa berlayar menyongsong
angin secara mengiris angin dengan layar sejajar lanbung meyerong angin, kemudi
masih dengan mudah digunakan karena bentuk layar trapesium runcing
didepan, pertaruhan manuver ini membutuhkan keberanian dan saraf baja,
karena menghadapi moncong mahalela perunggu berukuran besar dan nampak nyata,
begitu moncong laras mahalela musuh nampak sekajap saja maka tamatlah riwayatnya.
Makanya dia berdiri di anjungan sampil tangannya memberi aba aba kepada
jurumudi perahu perangnya. Seluruh awak perahu mengerti taruhan situasi posisi
berhadap hadapan ini, semua awak menghadapinya denga menengadah dada, siap
secepat kilat melaksanakan perintah, tetapi sebagai Pengwedana kawakan, dia
yakin masih ada peluang unutk mengiris angin sambil melambung dan
mendekati jung perang ini sahingga mencapai jarak tembaknya bahkan dengan cikar
kanan posisi layar akan berubah mendorong perahu perang ini menggeleser
mendekati jung itu untuk menembak dan mulai penyerbuan dengan baja dingin.
Artinya menyerbu meloncat ke geladak lawan.
Tanpa ragu ragu Prangwedhana Sapuangin
memerintah meniupkan kulit kerang aba aba untuk melaksanakan manuver Jajar Pandawa
yang biasa, tanpa menurunkan layar. Segera kedua armada yang bermusuhan ini
mencapai jarak tembak mahalela di dua jung ini, dan segera memenbakkan pelurunya.
Tembakan dari jung pertama mengenai air sepuluh depa didepan haluan
bagian tengah berahu yang berjajar dengan layar menuju arah angin
terkembang berkibar kibar tanpa daya dorong, sedangkan tembakan jung kedua
mengenai haluan dua perahu tempur yang ditengah disertai sorak sorai awak jung
dari Malaka. Tanpa ayal kemudi perahu perahu perang Wilwatiktapura bermanuver
mengarahkan perahu Madura itu dengan cepat terpisah kedua arah agak menyerong
angin sehingga layar segera terisi dan jajar pandawa terpecah jadi dua, kearah
kiri dan kanan lintasan kedua jung ini. manuver ini nyaris tanpa perintah, mengandalkan
intuisi para pandeganya, jadi bisa dilakukan seketika. Begitu juga haluan kedua
jung yang mendapat angin buritan. Tembakan kedua luput semua, pecahan armada
perahu Madura tinggal lima perahu tiga melambung kekanan dan dua dimana
Sapuangin berada melambung kekiri, rupanya manuver jung jung perang ini kurang
cepat sehingga tembakan meleset. Perahu Sapuangin cikar kanan, sehingga layar
terisi angin dari kiri dan mengiris arah angin mendekati jung yang dengan susah
payah ngengikutinya dengan haluan diarahkan ke perahu Sapuangin yang
tertiup angin samping menggeser arah lambung mendekat salah satu jung perang
yang sampai miring kebarat karena layar terlalu tajam dipasang menyamping,
begitu pula perahu perang Sapuangin. Maksud manuver kedua perahu yang mati
matian bermusuhan ini jelas, jung berusaha mengarahkan haluannya ke perahu
perang Madura, sedang perahu perang Majapahit dengan dorongan angin dari samping
lambung kanan mengiris angin mendekat secara pasti kearah
jung,menyesuaikan dengan jarak tembak yang efektip, dengan moncong
kalantaka lurus ke papan lambung jung, Sapuangin memerintahkan memasang
dua bilah galah bambu yang akan digunakan melentingkan dirinya kearah
tiang agung jung, jarak keduanya mengecil jadi limapuluh depa,
Sapuangin memerintahkan kalantaka ditembakkan kearah papan lambung yang mestinya
dibawah air terangakat angin, tidak sia sia tembakan dua perahu perang
ini lurus mengenai lambung batas air yang terangkat karena kemiringan jung
dengan suara sangat keras, sambil cikar kanan untuk menghindari tabrakan perahu
Madura melentingkan Sapuangin meloncat tinggi kearah tiang agung jung dan berjumpalitan
lalu bertengger disana sambil mengayunkan cemetinya dan memotong talitemali
layar jung, yang segera menegakkan kemiringan jung dari pisisi miringnya,
akibatnya air laut masuk dari lubang di lambungnya menyebabkan panik
awak jung. Pelempar seligi beberapa orang mendadak lemas tangannya karena
terkena cemeti yang meledak ledak keras. Sendirian Sapuangin mengamuk di
geladak jung dengan cemetinya yang ampuh, menyebabkan kegaduhan besar besaran.
Dengan mudah perahu Madura membalikkan arah haluannya sejajar dengan jung makin
mendekat, dan dari jarak dua tombak sudah belasan prajurit laut Majapahit yang
mampu meloncat keatas geladag jung dengan golok dan celurit, memulai
pertempuran dengan senjata parang. dan clurit Teriakan anak perahu yang berbangsa
China bahwa perahu bocor dan segera tenggelam membuat panik anak buah jung
orang Melayu, disamping terdengar lagi tembakan kalantaka kearah geladak yang
sudah penuh belatentara laut Melaka dari perahu perang Mejapait dari sisi lain,
menyapu prajurit laut yang lagi mendapat latihaan. Puluhan anak perahu yang
rupanya sedang dalam latihan memilih menyerah. Segera Sapuangin memasang layar
jung menyamping terisi angin dan mendorong jung kesamping sehingga miring, dan
lambung yang bocor terangkat diatas permukaan, langsung diperbaiki oleh anak
perahu Majapahit dari ketiga perahu yang lain, dengan cepat lubang ditmabal
dngan papan papan diperkuat dengan gading darurat, kebocoran antar papan
ditambal dengan pelangkin ( semacam aspal ) dan segera bisa diatasi. Dengan
sorak sorai membahana bendera matahari terbit dan bendera gula kelapa mengudara
di tiang agung jung taklukan. Anak parahu orang China dipisahkan dengan anak
perahu orang Melayu, dengan tangannya semua terikat, dipindah ke perahu perahu
perang Madura yang ada.
Jung yang satu lagi sudah lama lolos tidak
Nampak ikut bertempur, kerena ada perlawanan dari anak buah orang China kepada
perwira perwira Malayu.
Sidang perang secara kilat diadakan di
perahu dipimpin Prangwadhana Sapuangin, membahas situasi hasil perang laut yang
mendadak ini, makan korban dua perahu perang Madura sangat memukul kebanggaan
Prangwadhana Sapuangin. Yang satu karam dengan empat kalantaka dan dua anak
perahunya meninggal, satu rusak anjungannya dan tidak layak layar. Akan tetapi
telah bisa dirampas satu jung perang dengan memenangkan pertarungan di geladag
jung musuh menggunakan baja dingin begitulah istilah perang digeladak kapal
dengan senjata parang pedang pedang clurit dan tombak para awak
perahu Majapahit ganas mengamuk, Pasukan Laut Diraja Melaka, memang sedang
berlatih sangat kurang pengalaman tempur, apalagi melawan pasukan laut
Wiwtiktapura yang kenyang makan garam, baru tereakan perangnya saja sudah
menyeramkan, banyak bala tenatara muda Melaka yang memilih mencebukan diri kelaut
daripada beradu senjata dengan golok dan clurit dari harimau Sampang ini. Kemenagan
yang cepat ini sangat membanggakan anak perahu Majapahit. Dengan pengorbanan
empat prajurit gugur karena kehabisan darah, sepuluh luka luka yang perlu
perawatan. Baik kawan maupun lawan yang luka semua dirawat sama rata, diberikan
candu untuk meringankan kesakitan, luka dan patah tulang semua dapat perhatian
yang sama dari tabib kedua belah fihak. Mereka ditinggal dengan perbekalan
cukup disatu pulau kecil yang bertebaran di selat Malaka.
Sidang perang kilat memutuskan bahwa
jarang sekali ada kesempatan untuk serangan mendadak dengan mudah ke Kuala Malaka.
Sedangkan kesempatan yang tidak akan kembali sudah ada ditangan didepan
mata.
Dengan tertawannya jung perang Malaka yang
dengan sedikit perbaikan lambungnya bisa layak berlayar sampai kuala Malaka dengan
angin buritan. Pasti jung yang telah ngacir sendiri tela melapor bahwa mereka
telah berhasil menenggelamkan paling sedikit dua perahu perang Majapahit, dan
yang satu lagi masih sedang membereskan perahu perang Majapahit dari
armada yang tertinggal.
Jung yang ngacir disambut dengan meriah di
Kuala Melaka, sambil menunggu jung kawan searmadanya, sama sekali tidak terpikir
oleh para Panglima Johan Pahlawan Diraja Melaka bahwa dengan baja dingin
artinya parang dan pedang, jung yang tertinggal telah berganti tangan.
Bendera Majapahit diturunkan dan diganti
dengan bendera dan umbul umbul kemenangan dari Malaka , yang kini berkibar
ditiang agung dengan megahnya. Jung rampasan berlayar disiang hari bolong ke
Kuala Malaka, hingga menjelang senja. Jung perang yang pulang lambat dengan
kemenangan yang gemilang disambut oleh Tuanku Syahbandar dari bandar Kuala
Melaka dengan aba aba supaya menunggu perahu pendayung agar bisa ditarik
kedalam kuala. Tak terkira terkejutnya tuanku Syahbandar Kuala Malaka melihat
Panglima Armada Malaka tertawan menemui tuanku Shaybandar dibawah ancaman
senjata, dan sekalian sang Tuanku Syahbandar dipaksa dengan keris dileher tanpa
kentara dari darat seolah olah berangkulan, harus memberi aba aba penarikan
jung segera dilakukan. Jung perang ditarik ke tambatan Kuala Malaka dikemudikan
oleh jurumudi dari Majapahit, yang berdandan a’la perwia laut Melaka, diarahkan
bukan sejajar dibelakang jung perang yang terdahulu, tapi kok malah
terlalu ketengah, perahu pendayung mengerti pasti jung sombong ini mau
tambat didepan jung kawannya supaya nampak dialah penakluk sebenarnya.
Sebenarnya tidaklah demikian, bahwa tujuan utama adalah mengarahkan haluan ke jung
jung yang tambat terdahulu, berjajar, ada tiga jung yang tambat sejajar, jung
kawannya yang datang duluan di nomer tiga, sedang dua jung yang lain tanpa awak
akan menunggu gilirannya dilatih dengan awaknya sehari kemudian.
Apa lacur, jung sombong yang ditarik
disamping lambung jung nomer dua dan dan nomer satu tiba tiba memuntahkan
peluru mahalelanya kearah lambung dua jung nganggur tanpa awak begitu dekatnya
jarak tembakan itu sehingga menimbulkan kerusakan nyaris meremukkan lambung
jung jung itu, dan jung rampasan sendiri berakhir dengan melintang kuala, jung
rampasan ini mengarahkan muncongnya ke jung kawannya di urutan yang ketiga,
tembakan yang hanya bejarak beberapa depa mengancurkan lambung dengan potongan
papan yang kecil kecil menyebar barsama ledakan yang tidak dinyana. Selanjutnya
balik kanan putar haluan keluar muara. Jung yang ditunggu tunggu untuk
penyambutan kehormatan, kok malah mengamuk dan memutar haluan dibantu dengan
arus keluar kuala yang agak deras, Yang Nampak mendekat malah lima layar segitiga
perahu perang Majapakit yang jauh lebih kecil, dengan bendera Majapahit masuk
Kuala Malaka sambil menembakkan kalantaka membabi buta, sekaligus memutar
haluan keluar dari kuala tanpa pamit dengan kurang ajar. Walhasil dalam
waktu yang sangat singkat tiga jung perang dengan mahalelanya duduk tanpa bisa
bergerak geladak dan lambungnya hancur luluh lantaka di tambatan Kuala Melaka,
tidak terhitung yang mati terinjak injak dari rombongan upacara penyambutan.
Isak tangis dan kerusakan hebat dari bangkai tiga jung ditinggalkan di tambatan
perahu Kuala Malaka.
Melihat hasil yang begitu merusakkan
semua anak buah Armada Majapahit terdiam sambil keluar dari Kuala Melaka.
Mereka mengenang kawan kawannya yang gugur dan yang luka luka masih tertinggal
di pulau kecil, menyayangkan mereka tidak ikut dalam serangan mendadak yang
berhasil gemilang ini.
Tinggal Prangwadhana Sapuangin, teronggok
memegang bumbung la’ang tua, memikirkan bagaimana melapor kepada Laksamana
mandala Barat Sang Wreha Nala.
Dalam sangkar sangkar burung merpati untuk
ke Tanjungpura tinggal lima ekor, belum tentu bisa sampai ke Tanjungpura karena
disamping melawan angin juga banyak burung pemangsa sebangsa elang di pantai
perairan Sumatra. Hanya terkirim berita singkat, bahwa armada jung perang
Malaka sudah dibersihkan di sarangnya Kuala Malaka, satu dengan luka lambung
ditawan dikalahkan dengan baja dingin (artinya dikalahkan dengan pertempuran
geladak), anak perahunya luka luka dan tertawan dibawa ke
Palembang, jung masih layak laut.
Berita dibawa oleh hanya satu merpati yang
sampai disarangnya di Tanjungpura lima hari kemdian dan segera diteruskan
persis seperti yang ditulis dengan merpati dari Palembang yang dengan jumlah
merpati hampir tujuh puluh ekor.
Dari tujuh puluh ekor merpati dari sangkar
Palembang yang dilepas di Tanjungpura, hanya kurang dari empat puluh ekor yang
sampai dalam seminggu. Berita diterima oleh Laksamana Wreha Nala dengan
keheranan dan sedikit kebingungan dari Laksamana yang berpengalaman ini. Berita
penting ini ditahan oleh Laksamana hingga armada kecil lima perahu perang
Madura dan satu jung perang tawanan sampai di Palembang dengan menggunakan angin
nelayan yang tidak pasti, dan pada umumnya melawan angin ke Palembang. dengan
terpaksa menggunakan tawanan Melaka untuk mendayung sepanjang pelayaran ke
palembang, hitung hitung juga latihan.
Lima hari armada kecil ini selamat
tanpa halangan sampai di pelabuhan sungai Musi di Palembang. Tanpa upacara apa
apa. Prangwadhana Sapuangin pagi itu juga menghadap Laksamana Wreha Nala.
Sambil menghirup suguhan sederhana minuman jahe dengan gula nira, juadah dan
manisan, ikut dihidangkan mpek empek Palembang yang terkenal itu. Sapuangin
menceriterakan bahwa dia keluar dari muara Jambi kepergok oleh dua jung perang
Malaka dengan posisi armada kecilnya dibawah angin, Jajar pandawa yang dia
lakukan kurang cepat dari berkurangnya jarak antar dua armada jadi lebih
cepat, akibatnya dua perahu perang Madura kena tembak jung dari jarak tujuh
ratus depa. Darahnya mendidih, tiga perahu perang Madura langsung berlayar
mengiris angin ke kiri dan ke kanan, dia ada di satu perahu yang ke kiri.
Rupanya anjungan jung diarahkan mengikuti arah perahunya, menunggu kesempatan
melepaskan tembakan. Masih untung anjungan jung sudah tidak bisa mengikuti
perahunya yang melingkar lambung dengan cikar kiri, akhirnya dia mengubah arah
haluan ke cikar kanan dan perahunya terikut angin ke lambung kanan mendekati
jung. Dengan jarak sepuluh tombak dia melompat ke tiang agung jung perahunya
menghujani tembakan dengan jarak kurang lebih sepuluh tombak mengenai lanbung
dibawah air yang niak karean miring menghadap ke haluan perahunya, disambung
dengan cikar kanan dan sehingga jarak mereka mendekat disertai dengan lompatan
semua prajurit dari anak buahnya yang mersenjata cambuk dan celurit, anak
perahu jung yang china tidak ikut bertempur dan berteriak perahu bocor, anak
perahu orang Melayu menilih menyerah.
Sidang perang armada kecil ini memutuskan
untuk menggunakan kesempatan menyerang mendadak Kauala Malaka dengan bendera
Armada Laut Malaka, kesmpatan yang sulit didapat. masuk kuala Malaka dan menghujani
tiga jung yang tertambat di tambatan perahu Kuala Malaka. Mereka yang terluka
dan mati tujuh orang tentara laut Majapahit gugur dalam pertempuran ini dua perahu
perang tenggelam, sebaliknya keempat jung perang yang dibeli dari Kaisar China
semua musnah dengan satu jung tertawan. Selanjutnya Sapuangin menyatakan
dirinya bersalah sebab untuk melakukan upaya yang menyangkut keselamatan armada
Majapahit hanya Laksamana yang seharusnya memutuskan.
Laksamana lama merenung, setelah
menyatakan terima kasihnya yang mendalam mengenai dihancurkannya armada Malaka,
penantang terang terangan armada Majapahit. Tetapi masuk kedalam kuala
Malaka dengan bendera jung Malaka dan umbul umbul kemenangannya untuk mengejar
jung yang lain, benar perkataan Sapuangin, sebagai Prangwadhana armada
kecil yang kurang informasi mengenai Kuala Malaka seharusnya tidak dilakukan
oleh prangwadhana yang lain, sebab kekurangan informasi adalah satu perjudian.
Apa boleh buat, Wreha Nala akan melaporkan
kehancuran tiga jung perang China milik Kerajaan Malaka akan sangat mendapat
penghargaan istimewa dari Mpu Mada pribadi, sebab ramalan dalam suratnya lewat Duta
dari Malaka sangat cepat terlaksana, walau dengan armada yang kecil saja.
Laksamana Wreha Nala sendiri akan menyambut anak buahnya dengan sasanti
jaya jaya Mandala Barat dengan semestimya besuk, Laksamana Wreha Nala
menyilahkan para jagoannya ini beristirahat.
Adapun setelah duapuluh hari. tibalah
utusan Mahapatih Mpu Mada Ke Palembang untuk menjemput Prangwadhana Sapuangin
ke Wilwatiktapura beserta Laksamana Wreha Nala adalah pantas.
Mpu Mahapatih Gajah Mada, ratu
Tribhuanatunggadewi menyambut kedua pahlawan laut ini di depan wantilan agung,
barisan kehormatan satu mandala darat dibariskan dikiri kanan alun – alun penuh
dengan tentara berpakaian kehormatan yang mencorong keemasan, guna
mendengarkan pidato kemenangan Mpu Mada, arsitek dari Sumpah Palapa.
Tepat tiga jengkal matahari muncul dari ufuk
timur, Sang Laksamana mandala laut Wreha Nala disejajarkan dengan Prangwadhana
Sapuangin yang berpakian khas Madura Baju dan celana komprang sutra hitam
dengan kampuh dari batik Tanjung bumi melibatnya pinggangnya dengan rapi, Kedua
penunggang kuda ini tetap duduk dipelananya berhenti dihadapan wantilan agung.
Mahapatih Mpu Mada berkendaraan kuda mendanpingi Sri Ratu Tribhuwanatunggadewi,
diiringi oleh tamu umdangan para pedekar laki laki perempu berkepandaian tinggi
menunggang kuda berbaris mendekat dari kiri kanan wantilan Agung. Ratu
Tibhuwanatunggadewi, berdandan serba biru, dari biru yang paling muda ke biru
yang paling tua, komposisi busana parjurit dibuat dari sutra china terbaik,
makkota dari emas tipis berhiaskan batu mulia biru dan biru laut, dandanan
ringkas, untuk penunggang kuda. Sang Ratu mampu tanpa kehilangan
keagungan sang Rajaputri duduk dipelana kuda secara lelaki. Setelah bunyi
genderang dan bedug bertalu talu memainkan lagu gubahan karya Sanggar
dari Lembu Anindita dan Lembu Andini yang diundang jauh jauh dari
Banuwangi ke Wilwatiktapura, Menyatakan bahwa dia, Prabhustri
Tribhuwanatunggadewi, atas laporan Sang Mahapatih Gajah Mada, marasa wajib
menyambut sendiri kedatangan wakil Mandala Laut yang sangat berjasa bagi
Wiwatiktapura, dengan melenyapkan kelilip dari mata Wilwatiktapura. Nun di
Kuala Melaka. Prang wedana Sapuangin telah menghacurkan ketiga jung perang dan
menawan salah satunya/ Keempat jung perang itu telah dipersenjatai
dengan mahalela dari Kerajaan Melaka, pembelian dari China.
Tangannya melambaikan pataka kemenangan
sebelum disampaikan kepada Panglima mandala Laut, disambut dengan sasanti
jaya jaya dan dirgahayu Wiwatiktapura oleh sebegenap wadya yang berbaris dan
penduduk warga Wiwatiktapura. Sudah tertundukkan musuh yang sombong, dan
sepertinya Dewa Dewa mengizinkan dalam waktu yang sangat singkat armada dan
mahalelanya sekalian telah dihancurkan, dan satu jung perang ditawan, kini jadi
bagian dari mandala laut Wilwatiktapura. Prabhustri berkuda Laksamana Mandala
Laut berkuda, Laksamana Mandala Laut maju menuju ke tanah yang ditinggikan agar
semua wadya dan penduduk bisa melihat, kepala kuda menghadap ketimur, menuju ke
tanah tanah sudah ditinggikan. Akan menyambut pataka yang akan disampaikan
pribadi oleh Prabustri Tribhuanatunggadewi. Prabhustri sebagai penunggang kuda
yang piawai memerintah kudanya dengan kakinya di sanggurdi, tepat kuda itu menurut
berdiri berdampingan, satu di utara satu diselatan sedang kepala kuda Lasamana
menghadap ketimur dan kepala kuda Prabhustri menghadap kebarat, sisi tangan kiri
Prabbhustri memasukkan tiang pataka ke kulit tempat pataka didukung, terikat
pada pelana kuda Laksamana. dan tangan kanan menyodorkan dengan
tegas dan anggun pataka Mandala kepada Laksamana. Laksamana menyembah dengan
kedua tangan menerima pataka yang sudah dalam penyangga dikudanya sambil duduk
dan mengangkat muka sangat tegas. Penyerahan terjadi tidak lebih dari satu yang sangat menarik semua hardirin.
Disambut dengan surak sorai sasanti
jaya Majapahit, jaya Wilwatiktapura oleh ribuan tenggorokan baik dari
baris prajurit maupun dari hadirin penduduk. Sesaat Laksamana menghadapkan
kudanya ke alon alon, mencabut pataka dan melambai lambaikan kearah mereka semua
yang hadir di alun alun. Prabhustri juga menghadapkan kudanya ke alun alun
sambil melambaikan tangannya pada hadirin, yang membuat mereka histeris.
Laksamana tinggal di tanah yang ditinggikan dengan muka tegak dan memegang
pataka sedang Prabhustri menjalankan kudanya dengan anggun kearah tempatnya semula.
Kini puncak dari upacara adalah memberian tombak kehormatan untuk Tumenggung yang
baru dan peresmian pengangkatannya sebagai “Tumenggung Manggala Yudha ring
Jalanidhi” Sapuangin, oleh Mahapatih Gajah Mada. Dengan cara yang sama keduanya
bertemu berdampingan kudanya di tanah yang ditinggika diiringi dengan “gending
bahasa Madura, yang setiap penghuni ibu Kota Wiwatiktapura sudah hafal: “Olek
olang paraona ajelen”, mendadak hadirin ribuan tenggorokan ikut melagukan
gending rakyat yang sama sama mereka kenal, disambung irama yang cepat dengan
guntur ketug tetabuhan jenis bedug terbang dan genderang, Sang
Tumengggung Pandega menyembah kemudian menyambut tombak kehormatan yang
ternyata telah ditempa dan dikikir dihaluskan siang malam dalam waktu singkat kurang
dari sebulan oleh kakek Empu Keleng sendiri atas pesanan kilat dari Mahapatih
Gajah Mada. Tombak lantas di angkat tinggi oleh Sapuangin dan disambut dengan
sorak sorai hadirin yang tambah histeris dengan gending Baris Ageng yang
heroic. Kuda sang Mahapatih ikut menghadap ke alun alun dan mereka merapatkan
kuda kudanya, dan melambai lambaikan tombak pusaka ditangannya.
Tapi pelajaran berikutnya yang sangat
berharga diumukan, ternjata berlaku sampai bertahun tanun kedepan bagi armada Majapahit,
dalam sidang para Perwia laut Majapahit, bahwa satuan satuan kecil
dibawah Prangwadhana tidak diperkenankan memutuskan memulai penyerangan laut sendiri
tanpa informasi dan koordinasi dengan atasannya setingkat Tumenggung Manggala
Yudha ring Jaladri, tidak boleh ada lagi meski kesempatan ada, mengingat tipuan
yang sama akan diciptakan lawan untuk satuan mandiri yang kecil, sehingga kekeliruan
diderita oleh satuan kecil yang terjebak tersebut sulit untuk diberi pertolongan
oleh armada dikawasan yang sangat luas. Pweyerangan pada pangklan pangkalan
peorumpak di tehuk teluk yang tersembunyi, harus dimulai dengan pengetahuan
mutahir mengenai situasi pertahanan pantainya dengan setepat tepatnya, terutama
adanya klantaka pantai berkaliber besar
harus dihindari, bila rencana tidak dikerjakan oleh Prangwedana dan Tumenggung
prang ring jalanidhi, melibatkan wadya darat dan pasukan berkuda dari arah
belakang.
Bendera armada Wilwatiktapura sudah bisa
bertahan dilaut dan pantai pulau pulau Nusantara dengan anggun sebab setiap satuan
tempur untuk meronda lautan dan samudra sudah berjumlan semakin besar, mencpai ratusan
perahu perang model Madura dan model Pinisi dari Bugis yang lebih besar dengan
layar sutra, tanpa menembakkan peluru kalantaka sekalipun, kecuali tembaan kalantaka
hampa dengan salvo yang gemuruh untuk upacara dipangkalan pangkalan disetiap
pulau selat dan kuala yang sukup besar siseluruh Wilayah Majapahit *)
Seri 8 untuk untuk
bu Liumila
jam
4 00 siang sampai sandyakala sejak dari. MATAHARI TEBIT DI WILWATIKKTAPURA
KEMUNDURAN MAJAPAHIT SESUDAH SERATUS TAHUN
MENANJAK
Benar sekali pemikiran Raden Wijaya dikala
dia mendirikan Wilwatiktapura dari semak dan hutan dikawasan kaki Gunung
Anjasmoro, agak masuk hutan dari aliran sungai Brantas.
Wilwatiktapura memberi kesempatan yang
sebaik baiknya untuk para pelayar dari Atas Angin, dari China, dari Campa untuk
mendapat dagangan dari wilayah timur kepulauan ini yang hanya bisa dikunjungi
oleh kapal layar setahun sekali dikala angin passat tropis dan disambung dengan
angin musson barat (bulan Oktober – April ) kurang lebih selama empat bulan,
sebab dua bulan adalah musim pancaroba.
Sedangkan dagangan dari Timur kepulauan
Nusantara juga hanya bisa dikapalkan dalam waktu yang sebaliknya (bulan
April – Oktober) dikurangi masa pancaroba.
Yang diperlukan pada era zaman itu
adalah rempah rempah kering dari Timur. Perahu layar hanya selama empat
bulan bisa mengikuti angin musson timur dari Australia ke Asia Tengah (bulan April
–Oktober), dipenggalan tahun Masehi yang yang kedua. ( Bulan Mei
–September )
Sedangkan Wilwatiktapura kurang lebih
ditengah tengah kedua jurusan kapal layar ini, disamping pelayaran ketimur
selalu berisiko besar, oleh perompak sepanjang pelayaran di selat Malaka dan
selat Karimata, menuju ke laut Jawa, sampai ke laut Banda dan laut
Arafura, yang kala itu agak liar.
Berkat gudang gudang kelas satu dan
penjemuran ulang yang dimungkinkan di Wilwatiktapura kala itu, para pelayar
dari timur sangat menyukai pelabuhan pedalaman kali Brantas di Wilwatiktapura.
Ini semua berkat ketekunan patroli perahu
parahu perang Majapahit yang sangat aktip baik di Sokadana sampai hulu sungai
yang besar besar, Laut Jawa, Selat Makasar sampai ke Sangir Talaut dan
Laut Banda, Arafura, bahkan sampai ke Madagaskar pulau pulau kecil dan selat
selat di Nusa Tenggara, Bali dan Lombok, tidak satupun Penguasa setempat yang
tidak memperhitungkan kekuatan perahu perang Majapahit dalam menjaga
keadilan.
Berkat kalantaka yang dipasang dihaluan
perahu model Madura yang sangat mudah berputar haluan,
Dikatakan bahwa andaikata Bhatara Kala
perlu mencongkel selilit diantara giginya, maka dia hanya berenang mendekati
perahu perang Majapahit sambil menganga, maka selilit itu pasti bisa dicongkel
oleh kalantaka yang dipasang dianjungan perahu model Madura ini.
Selama seratus tahun keamanan ini terjaga
baik dan seratus tahun berikutnya, tapi keadaan perdagangan sudah berubah. Kebutuhan
akan rempah rempah dan hasil hutan yang langka dari Sokadana ( Kalimantan)
berubah jadi kebutuhan akan beras, yang sangat dimaui pasar karena di anak benua
China, di anak benua India, sering ada peperangan antar Negara disana
hingga kehidupan pertanian jadi kacau dan sering terjadi kelaparan
merajalela.
Disamping itu pada seratus tahun kedua
berikutnya matahari Majapahit, rakyat di pedesaan makin menggemari kain tenunan
benang kapas hasil usaha pertenunan di China dari tempat tempat antara Canton
dan Sianghai, perahu perahu jung China pun semakin besar muat hingga dua
puluh ribu, lima puluh ribu kati.
Sedangkan tembikar porselin dan seladon,
kebutuhan kalangan atas makin diproduksi secara masal di China dan makin banyak
diperdagangkan sebagai barang kebutuhan sehari hari.
Akibatnya permintaan beras di wilayah Majapahit
sangat melonjak, karena transportasi semakin ketinggalan oleh tidak adanya
jalan dan Jembatan yang memadai, maka beras tidak bisa diadakan dengan cepat,
dan semakin ketinggalan dalam peyediaan dari kebutuhan komoditas beras
ini.
Selanjutnya di abad kedua keberadaan
Wilwatiktapura, ada sentra sentra produksi beras baru yang dapat menghasilkan
komodity beras setara dengan daya angkut jung raksasa ini tanpa menunggu
waktu pengumpulan yang lama, dari sawah sawah yang dicetak dirawa rawa dimuara
Bengawan Solo, tepatnya di Pmotan Utara, Bungah, Sidayu, dan di Manyar.
Upaya semacam ini tidak pernah
dikerjakan sebelumnya, yaitu mencetak sawah dirawa rawa pasang
surut.
Ini merupakan hasil pengetrapan teknologi
dari Mesopotamia, yang telah lama menggunakan rawa rawa dilembah sungai Euphrat
dan Tigris, semenjak zaman Babylonia.
Rawa ini dikurangi ketinggian airnya
sedikit demi sedikit untuk memenuhi kebutuhan tanaman, sistim pembuatan saluran
saluran ini dicangkok dari sana oleh ulama ulama Islam yang datang dari Parsi
zaman itu.
Penyebaran Islam dari Parsi lebih mungkin
terjadi lewat Asia Tengah terus menghilir Sungai Yangtsekiang dari wilayah
Yunan, dari sanalah Ulama Islam yang pertama menyebarkan Agama Islam di
Nusantara,
Bagusnya saluran saluran itu juga dapat
digunakan mengirim hasil panen dengan perahu perahu berlunas datar dan berlambung
lebar sehingga bagian yang tenggelam sedikit saja, sangat mengurangi
kesulitan transportasi darat tanpa jalan yang diperkeras dan jembatan jembatan
yang menjadi kendala pulau pulau tropis yang subur di zaman itu. (Kondisi
transpotasi yang sangat menghalangi kendaraan tarik beroda yang lebih efisien)
Meskipun harus lewat saluran yang dangkal
dan berpintu air gandapun mudah saja. Perahu perahu ini dibuat dengan sederhana
dari anyaman bambu (sekarang masih ada di wilayah Lamongan dan Demak.
Dibuat kedap air dengan lilin lebah dan batu aspal dari pulau Buton.
Dapat muat beras atau gabah sampai tiga koyan (kira kira 2 ton), Sampai
ke penyosohan gabah, dan kemudian diangkut ke jung jung yang tidak harus menunggu
lama di pelabuhan jung jung yang semakin besar, sejumlah ratusan koyan beras
dalam keadaan kering, siap kirim, tanpa kuwatir akan penurunan kualitas selama
dalam palka jug jung raksasa itu. Disebabkan padi yang ditanam tidak rontog,
sudah di angin anginkan selama dalam penyimpanan sesudah panen. padi jenis bulu
maupun jenis cempo.
Muatan barang dari China bisa dipilih
jenis jenis yang untuk pasar kelas menengah bawah di jung besar besar jaitu
seladone, gerabah perselin kasar, kain tenunan kapas kasar, sampai sekarang
disebut cita sinbun, kain makao ( sekarang ditenun di Amerika, untuk bungkus tepung gandum), paling
halus cita kembang, dan besi yang dirupakan batangan dan diperlakukan sebagai
uang. ( penulis dongng ini curiga. Dari kata Psar uang ini maka ada kota pelabuhan
di jawa Timur ysng namanya Pasuruan – dari Pasar uang)
Besi ini dapat ditempa sebagai
perkakas karena tidak mengandung banyak carbon dan lain kotoran dan sudah
dibakar dengan bijih Mangan sehingga tidak getas/ pecah.
Maka dari itu bila disimak, ajaran
Islam yang ada waktu itu bernuansa aliran Di Mesopotamia yaitu aliran Syi’ah.
Aliaran khilafah ini di Nusantara
kurang tajam dalam pertentangannya dengan kaum Suni. Hanya kaum ini sangat menyesalkan
kena apa keturunan Nabi dihabisi demi kekuasaan, sedang Daulah Islamiah
dipimpin oleh aliran Suni, dari bani Mu.awiyah yang agrasive sebagaimana bangsa
Padang Pasir, menaklukkan Negera Negara kebarat sampai Granada dan
ketimur sampai Bagdad, bahkan menyeberangi Sungai Indus.
Dalam expedisi penaklukkannya, aliran Suni
ini pada kurun zaman itu belum sampai di Nusantara.
Selanjutnua pada zaman berikutnya ganti wangsa
Abbasiah yang dari Parsi mendominasi daulah islamiah berbarengan
dengan kedatangan para ulama dari Parsi dan Yunan dan bermukim di Garowisi sekarang
Gresik.
Mereka sangan peawai mengembangkan ilmu
tasawuf Islam karena sisa kebudayaan yang sudah tinggi dari wilayah asalnya.
Penyiar islam yang ini jauh lebih mudah berinteraksi dengan kaum brahmana
Hindu. Sehingga tidak ada perselisihan dikalangan bawah karena dikalangan atas
bisa saling mengerti.
Hanya, islam lebih egaliter dalam
pendekatannya terbukti pada semangat mengajar ilmu pada kaum bawah yang
berdagang jaitu ilmu berhitung pembukuan dalam huruf arab. Sedangkan Hindu
tidak pernah mengizinkan wangsa bawah kaum Waysia apalagi kaum sudra. Dilarang
belajar membaca, yang terpenting dengan
angka lambang bilangan arab, yang sangat cepat di pakai seluruh duna
perdagangan sampai sekarang, sangat mudah menghitung laba rugi dengan pembukuan
lajur. Karena agama Itu semua gara gara Hindu melarang kaum bawah membaca
Wedda.
Sedangkan dagangan yang harganya mahal
lebih disukai di pasar pasar ujung barat jalan Sutera, nun disana di wilayah
orang Arab dan Punisia (sekarang mungkin Lebanon), tempat orang kaya baru
berbelanja sutra sutra halus dan perselin halus, karena tidak ada saingannya.
Kain muslin dari kapas India, kain dari kapas Mesir, telah ditenun di
Balkan ( sampai sekarang namanya tenun Damask) dan Perancis selatan. Maka
di abad kedua Majapahit, Wilwatiktapura menjadi semakin tersaing dengan
singgahnya jung jung raksasa untuk mendapat barang kebutuhannya berganti beras
lebih murah dan lebih banyak dari Trung dan Ampel Denta, bekas wilayah
Jenggala. Lagipula harga beras yang ditawarkan dengan tukaran barang barang
keperluan rakyat menengah ini lebih miring, dan barang dagangan beras dalam
jumlah besar bisa didapat sepanjang tahun, berkat pengairan rawa. Bagaimana
tidak lebih murah dari yang berasal dari Wilwatiktapura, wong ngangkutnya dari
sawah dengan perahu yang lunasnya datar, jadi lewat saluran pengairan sawah-rawa
secara estafet pun jadi. Sedangkan di Wilwatiktapura diangkut dari Majalegi
(Sekarang Pare), dan Jombang, wilayah pengairan bendung Harinjing (salah satu
bendung kali yang tertua di pulau Jawa) dengan kuda lebih dari lima puluh
yojana sampai ke jung jung ini berlabuh, tanpa jalan dan jembatan yang memadai.
Memang beras bukan dagangan utama
Wilwatiktapura sejak semula. Lagi pula untuk bekal perahu model Madura dan Pinisi
patroli Majapahitpun, beras bekal armadanya malah beli di Ampel Denta dan
Garowisi.
Permulaan abad ketiga Majapahit telah
dijangkiti Pejabat tukang peras, penarik pajak anggauta sekte nyleneh
Bhairawa, suka menang sendiri. Bayangkan kota perdagangan yang diperebutkan
banyak kaum Ksatria berdarah biru untuk menjadi Penguasanya, dengan segala
cara, maka pemerintahannya sangat lemah. Para Nayaka Praja, kepentingannya
terbelah belah, mendukung Pangeran Pangeran yang mereka jagokan. Kekuatan jahat
para Bhairawa yang mengumbar hawa nafsu, yang telah mengendap sebagai rahasia pergaulan masyarakat Wiwatikapura selama ini,
mulai muncul dan mendominasi situasi pergaulan dikalangan para Narapraja, tidak
aneh karena kenikmatan Ma lima ada didepan mata.
Penyangga ekonomi Kerajaan kerajaan sejak
semula sudah tidak mampu melayani kebutuhan pasar, surut oleh zaman yang
berubah, pengelola Praja yang korup dan penggemar Ma lima, menjadi anggauta
kehormatan kaum Bhairawa, di abad abad kedua dan ketiga Majapahit adalah tanda
suramnya matahari senja di Wilwatiktapura.*)
EPILOG
CERIA SESUNGGUNYA
BULAN SABIT TELAH TERBIT DILANGIT BARAT
LANGIT YANG LAGI TEMARAM
HUNIAN MASYARAKAT ISLAM DI PANTAI UTARA JAWA TIMUR
(Bab 1 ).
Garowisi
bukanlah tempat yang penting dalam pandangan Penguasa Majapahit.
Tanah berbukit
bukit kapur yang menjorok kelaut, gersang disini hanya tegakan pohon Tal atau Siwalan yang berumur sangat panjang
saja, yang cukup berharga untuk disadap niranya dari malai bunga yang belum mekar, disiapkan
secara khusus, yaitu dipukul pukul dan akhirnya lemas bisa dilengkungkan kebawah
ke mulut bumbung yang di kaitkan di mayang setelah diikat menjadi satu lagi
masih dalam seludangnya trus ujungnya dipotong dari sana menetes nira, ke
esokan harinya sementara nira masih belum meragi, pemotongan malai yang sudah
disiapkan dengan cara diatas, diulang lagi sedikit sehingga niranya menetes lagi,
dan seterusnya hingga malai itu
habis Nira ini untuk bahan baku tuak
dan arak maupun cuka, juga gula dan daunnya untuk segala macan alat termasuk alat penting, berfungsi sebagai kertas untuk mencatat segala sesuatu . namanya
“rontal” ( ron bahasa Jawa berarti daun, tal adalah
enau},
Pohon
Tal atau siwalan, baru berbuah sesudah tiga puluh tahun., jadi sipakah
petani
yang
begitu jauh pandangannya untuk menanam siwalan yang hanya akan dinikmati
setelah
sekian lama, akan tetapi siapapun yang
menyadap nira dia akan selalu
menanan
benih tal sepanjang perjalanan dari
pohon ke pohon selama dia menyadap
tanpa
berfikir kapan dan siapa yang bakal memanfaatkan hasil benih itu sesudah
sekian
puluh tahun karena dia sendiripun menyadap
pohon tal yang entah siap yang menanan
dulu.
Diwilayah
perbukitan yang gersang sepeti Garowisi tidak ada Pura ataupun
Candi sekecil apapun.
Para
Pemelihara Pura, Pamangku
juga tidak ada, apalagi para
Pedanda, dan Para
Ida, merekalah yang mahir menulis dan membaca rontal., Mereka mengajar murid muridnya
dari kalangan Brahmana dan Ksatria yang
dilahirkan dari Ibu Brahmana ,
Asyram yang besar besar biasanya
hanya disekitar Pura penting dimana Sang Brahmana Tuan Pandita
memimpin upacara dan mengajar.
Ada sosok
wangsa Ksatia menjabat sebangai Kaum / Pemangku di Banjar Romo, seberang kali Lamong , jalan ke Gresik,, dialah yang memimpin upacara kelahiran,
perkawinan dan kematian dari
kawula Hindu Majapahit,
Pande Sila melayani wilayah gersang ini, semua warganya dari kasta rendahan, jadi semua upacara menjadi sekadarnya saja.
Pande Sila
bisa membaca rontal dan bisa menulis huruf Jawa bahasa resmi Majapahit, malah penduduk yang sangat jarang diwilayah gersang ini sering
datang dari jauh minta tolong menuliskan
pesan di rontal dan menuliskan ongkara, huruf bermantera untuk tumbal gubug mereka.. tentu saja dengan sekedar
imbalan..
Masa
muda Pande Sila menjabat sebagai petugas pajak
penyeberangan kali Lamong, menghabiskan
semua hasil pemasukan penyeberangan, dan setelah bertahun tahun
tidak mempersembahkan baktinya kepada Pejabat atasannya di
Tandes, bagitu penyeberangan yang ditunggui oleh Pande Sila menjadi sepi
dia tidak lagi
diberi jabatan apapun,
penyeberangan Kali Lamong dari
Garowisi ke Banjar Romo dan seterusnya
lewat jalan setapak dan becek bisa sampai ke Tandes
sudah diabaikan, diganti dengan tempat penyeberangan agak jauh kebarat
dengan
jalan yang lebih bagus menuju ke Tandes
juga..
Begitulah
sosok Pande Sila menjelang
setegah baya menjadi Kaum /agama Hindu Jawa, di Bali setingkat
Pemangku, juru tulis rontal ditempat
yang terpencil di banjar Romo.
Tentu
saja tawaran Juragan Sonokeling untuk
mengajar anaknya Ken Ampyang diterima baik karena bayarannya cukup besar dan hanya setiap pekan saja dia datang ke
rumah Juragan Sono dari matahari
condong ke barat sampai malam, menginap semalam diwantilan Juragan Sono dan paginya dia bisa
belanja ke pasar Garowisi yang semakin
ramai.
Ki
Sonokeling memperlakukan Pande Sila dengan
baik sekali, setiap kali Pande Sila datang sebelum duduk di bale di
wantilan Ki Sono dengan anaknya berjongkok meraba jari kaki
Dang Guru Pande, seperti
layaknya orang Hindu memperlakukan
Guru dari wangsa Brahmana.
Upacara
pengangkatan Guru dengan persembahan rupa rupa dan sebentuk cincin emas sepuluh
tail juga diminta oleh Pande Sila,
meskipun di hanya seorang Kaum
sebab memang begitulah seharusnya menurut ajaran
yang ada..
Pande
Sila masih minta tambahan kain cindai cina untuk sarung, mengingat bahwa tidak seorangpun dari wangsa rendah yang bisa
diterima di Asyram para Ida Brahmana untuk
belajar menulis dan membaca.
Dang
Pande Sila bisa menulis dan membaca sekadarnya karena
dulu ayahnya yang berasal dari
wangsa Ksatria bekerja sebagai
undagi ukir di Pura Agung di Wirasaba.,
Ida berkenan menyuruh mengajari
pemuda tanggung Pande kepada Jejanggan ,
pembantu Ida dari wangsa
Ksatria mengurusi bidang
bidang pekerjaan selain
Weddangga, . Bagi kasta rendahan sulit sekali untuk mendapat kesempatan
seperti itu meskipun seluruh keluarga kasta
rendahan itu sudah mengabdikan dirinya kepada keluarga Ida sepanjang hidupnya , mengerjakan sawah ladang, memelihara rumah
tangga dan ternak itu semua bukan pembuka
kesempatan untuk diajari membaca dan menulis. Satu satunya hadiah yang tak
ternilai adalah mereka diperkenankan
ikut dibakar tulang belulangnya pada waktu ada palebon agung keluarga
sang Ida, di tempat lain yang tidak menyolok, pada rangkaian upacara yang sama.
Begitlah
Ken Ampyang mulai belajar menulis
dan membaca setiap sore hari
Umanis, datanglah Sang Guru, setelah dijamu secukupnya, dipersilahkan
ke sanggar, satu bangunan empat persegi, beratap ilalang
yang tebal dan tesusun rapi berbentuk limas yang tidak terlalu tinggi
, dengan dinding anyaman bambu halus setinggi orng bersila sedang sampai ke atap ilalang disambung dengan bilah bilah bambu yang disilang silangkan membentuk lubang lubang berbentuk ketupat
yang teratur, lantai batu kapur dialasi seluruhnya dengan tikar anyaman rotan yang halus, pertanda inilah sanggar orang kaya.
Ditengah
ruangan sanggar ini dipasng semacam
meja rendah manpak kokoh karena semua pasak sambungan
kaki kakinya kelihatan dan agak besar dari
perabotan biasa, diatasnya ada
satu kotak papan yang rendah penuh
berisi pasir halus.. diatasnya digantung lampu
balencong minyak kemiri bersumbu lima
Setelah
sang murid nenguncupkan jari bersembah,
mulailah pelajaran menulis huruf
Majapaht, pengembangan huruf Palawa
yang asalnya ciptaan kaum Brahmin
di India., sekarang kita menamakan huruf
Jawa kuno
Ha,
Na, Ca, Ra dan seterusnya. samapai Nga
Semua
ditoreh dengan jari dipermukaan pasir
halus, berlenggak lenggok, semula semuanya nampak lancar, tapi
telah dua purnama kemajuan menjadi seret, karena
sag Guru mulai sangat rewel dalam
menilai keserasian lenggokan setiap huruf, bahkan setelah tiga
purnama Joko Ampyang belum dapat
menuliskan namanya sendiri.
Sang
Guru, dari kasta ksatria dengan kata kata
yang merendahkan mulai memberi wejangan panjang lebar bahwa setiap
huruf itu adalah tanda para Dewa Agung
Syiwa, Brahma dan Wisnu, dan Dewa
– Dewi penting lainnya, jadi anak
Waisya yang tidak ditakditakdirkan untuk melayani
para Dewa Dewi ini seharusnya tidak belajar
menulis kalau tidak tahan uji , salah menulis
satu huruf saja, akan besar sekali
kutukan yang akan dijatuhkan para
Dewa , termasuk Guru yang berani mengajarkannya, jadi
sebagai Guru anak Waisya
dia harus sangat berhati hati.
Rupanya
tambang kepingan perak Majapahit harus digali selama mungkin untuk dinikmati , sang Guru tengik ini tahu Juragan
Sonokeling memang kaya dan sangat kuat
kemauannya untuk menjadikan anaknya pintar
menulis dan mebaca. !
Lagipula kapan lagi ditempat yang jauh dari
Budaya ini ada orang gila yang
mau mengeluarkan keping keping perak untuk
belajar ilmu Brahmana ?
Setelah
tiga purnama, kedatangan Dang Guru
Pande Sila menjadi suatu yang sangat menganggu
Ken Ampyang, menjelang
hari Umanis Joko Ampyang sudah
kelimpungan, dia mohon betara Kala dan
Dewi Durga untuk mendatangkan penyakit bagi Gurunya, Dewi Dalbo dimintanya dengan sunguh sungguh untuk mendatangkan air bah dikali Lamong berbula bulan supaya dia bebas dari
kunjungan tukang ancam dan orang sombong itu.
Siapapun orang dewasa
dirumah tangga juragan Sonokeling,
tidak akan mengira bahwa Ken
Ampyang yang hampir sembilan tahun umur
nya itu , sudah mempunyai pandangan yang lain dari
mereka, walau Bapak Ibunya sendiri.
Kebanyakan
teman bermain Ken Ampyang adalah anak anak sebaya dari kampung yang agak jauh diutara
rumahnya, kampung Tuan Molana., mereka ramah dan pemberani., sahabat kentalnya yang dari Kampung Tuan Molana benama
Alibin, nama yang aneh, semua temannya memanggil Ali, tapi Joko Ampyang
memanggilnya Alibin, kerena teman yang
satu ini selalu meperkenalkan dirinya
dengan nama Alibin selanjutnya sangat
panjang dan aneh, jadi Joko Ampyang memanggilnya dengan Alibin saja. Anak beumur sepuluh tahun dari kampung Utara ini matanya sangat tajam
dan berwarna sangat hitam begitu
juga rambutnya yang dipotong sangat pendek.. Alibin tidak takut mencari
telur ayam hutan dibawah batu kapur yang
tegak menjulang tinggi dan besar, tidak takut
memancing ikan di Karang
Hantu, begitu pula teman teman
Alibin dari kampung Utara..
Bersama
mereka ken Ampyang berani datang ketempat tempat itu, meskipun waktu pertama
kali jantungnya tidak tetolong berdegub
kencang.
Alibin
menjelaskan, menurut anak anak yang lebih besar dari kampung Utara,
juga Guru pelatih mereka, ditempat tempat yang dibilang sangar , yang
harus diwaspadai adalah binatang berbisa dan binatang buas, reperti ular berbisa , kala dan lipan besar ada tempatnya
sendiri yang disenangi masing masing jenis dan punya waktu khusus
untuk tidur dan berburu, guru guru
mereka yang masih muda muda itu yang mengajak membuktikan kebenaaran
tanda tanda adanya binatang yang berbahaya ditempat tempat yang diceriterakan. Bahkan, tutur Alibin, mereka malam malam telah menbuktikan bahwa pendar pendar cahaya kemerahan di
hutan bambu ori itu ternyata hanya jamur bukan
Banaspati pemangsa anak. Tepian air yang sepi dan tenang sering
menjadi tempat buaya mnenyergap mangsanya yang kurang waspada, dirawa rawa dan kuburan mayat
yang baru sering ada nyala api pada malam hari, sebenarnya hanya uap
hawa saja, dari kotoran ayam dn
kotoran sapi pun para Guru muda dari Kampung utara bisa membuat hawa yang
bisa menyala dimalam hari Alibin
tahu itu semua.
Sebaliknya
kenalan Jaka Ampyang yang dari kampung sepanjang sungai Lamong anak tukang perahu dan anak para
nelayan dan penganyam bambu, mereka
sungguh sungguh membuatnya meremehkan, banyak sekali ceriteranya yang
aneh aneh mengerikan, yang didukung oleh kenyataan
seperti nyala api ditengah
rawa, pendar pendar cahaya dihutan bambu
ori, sebaliknya dia juga sudah
mendengar ini dari teman
teman Akibin. yang nyatanya
begitu sederhana, kasihan anak
anak dari kampung piggir kali ini selalu
dirundung ketakutan. Apalagi waktu malam,
sedangkan para tetuanya juga sama saja bodohnya maklum mereka adalah orang kasta rendahan yang campur aduk dengan
orang dari suku -suku yang tinggal dipulau - pulau
yang jauh yang terdampar di
Gresik, jadi begitulah mereka termasuk wangsa Pariah, mereka yang selalu dibuat
contoh jelek dan dinista oleh Dang Guru
Pande Sila., karena tidak
pernah bisa menyelenggarakan upacara yang suci dan benar,
hanya banten kepadada makhluk makhluk halus saja.
..
Suatu
waktu Alibin dan beberapa temannya datang bermain ke halaman
Ken Ampyang, mereka bemain jirak kemiri, biji kemiri diatur
membentuk formasi dan dilempar dengan biji yang sama dari jaral kurang
lebih empat depa, dari posisi yang kena lempar telah ditentukan jumlah biji yang dimenangkan bagitulah kira kira
aturan permainannya..
Menjelang
sore hari Anggara Kasih, Ibu
Ken Ampyang membawa sesaji
beberapa canag sari dan dupa yang mengepul dari sepotong sabut kelapa yang kering ,
keliling pagar tembok halamannya
yang luas, serta merta Alibin berbisik
kepada Ken Ampyang
“
Itu Dewa apa yang makannya begitu sedikit ? “
Ken
Ampyang turut tersenyum sebab selama ini
dia tidak pernah memperhatikan apa yang
kadangkala dilakukan oleh Biangnya, maklum suasana Banjar
Hindu sudah tidak ada ditempat
itu, sedang tetuanya adalah Bapa
dan Biangnya saja, yang juga sangat sibuk,
pembantu pembantu Ki Juragan
orang dari gunung gunung di pedalaman
yang tidak terlalu mengerti
tentang tata cara mereka di
huniannya hanya tahu dari tetua
Desa saja mengenai apa yang harus lakukan untuk menyenangkan para penunggu
batu besar pohon pohon yang besar dan menyendiri kedung dan jeram itu saja, semua dengan bumbu dongeng yang seram
seram tidak ada lain di
benak meraka., mereka juga
tidak memuaskan Joko Ampyang..
Lagipula dia ingat betapa sulit membuat
lenggak lenggok huruf Jawa ajaran
Guru Pande Sila supaya tidak
dikutuk para Dewa , yang makannya begitu sedikit.
Saking
jengkelnya dia pernah menuliskan huruf
dengan sekenanya, dan tidak
terjadi apa apa padanya.,
galaknya tidak terbukti, makannya
sedikit, lucu pikirnya.
.
Hanya
sekali itu saja, selanjutnya Alibin dan teman temannya tidak pernah mebicarakan
apa yang dilakukan oleh
keluarga Ki Sono,
apapun yang menyangkut
upacara dan cara hidup
ken Ampyang.
Rupanya
Guru- Guru muda usia dari kampung Utara telah
wanti- wanti membekali Alibin dengan
perilaku yang harus dijaga dirumah Ki Sonokeling.
.Joko
Ampyang uring uringan karena kemiri mudalnya satu bakul kecil hsmpir hsbis karena kalah.
“Ya, kau Bin, memang
penembak tepat, tapi aku
sekarang belajar menulis !
apa
kau juga diajari menulis dan membaca ? “
ucapnya dengan muka tengadah bangga,
“
Hai, kami sudah belajar menulis dan
membaca satu tahun yang lalu, malah kami
juga belaja berhitung , nih buktinya ! “
Alibin
mengambil kemiri miliknya dari kantong anyaman daun pandan yang
menggelemung , setakar tempurung
kelapa kemiri dionggok-kan di tanah dan
dua genggam lagi dionggok-kan
bersebelahan dengan cepat.
“
Sekarang hitung setiap unggok dan jumlahkan
berapa kemiiri dua onggok itu kalau digabung !”
Tantangan
yang mendadak ini membuat Joko Ampyang
terkesima, dia memang bisa
menghitung jarinya, tapi smpai ke jari
kaki dia
ragu ragu bagaimana urutan-nya.
Untung Alibin ketek ini ikut menghitung dengan cepat dan
dengan suara melengking, satu
onggok besar duapuluh tujuh dan onggokan yang lain duabelas,
Alibin
mncorat coret tanah dan sambil jongkok membelakangi Joko Ampyang,
sambil menghapus ingus dengan
belakang telapak tangannya dia
menoleh ke Joko Ampyang yang
melongo, dua telapak tangannya yang mendandak berkeringat diusap
usapkannya pada kampuhnya, tidak pernah selama ini dia begitu tidak
berdaya..
Melihat Joko Ampyang
begitu kedodoran, dia menoleh ke coretan-nya ditanah dan dia bersorak penuh kemenangan
“
Jumalnya tigapuluh sembilan “
Ampyang
yang lagi buntu pikirannya ikut melihat corat
coret Alibin ditanah tapi heran, dia
tidak mengenal satu hurufpun.
“
Nah, inilah Ilmu Berhitung, sekarang coba tulis namanu sendiri !”
“Saya
belum bisa menuliskan nama saya sendiri,
kan saya baru tiga pernama dengan sekarang belajar kepada Dang Guru Pande Sila dari Banjar Romo”
“Lengggak
lenggok huruf Jawa, yang juga mewakili nama para Dewa menurut Guruku , tulisanku
tidak pernah memuaskannya, seperti
ini misalnya “
I
Ampyang melenggokan garis di tanah huruf
Jawa ‘sa’ yang bentuknya paling sederhana adalah
nama Dewa Iswara tidak boleh sembarangan”
“Lantas
huruf yang lainnya bagaimana”
--
“ Lebih sulit , Guruku selalu tidak puas, aku bisa dikutuk oleh Dewa yang namanya
di huruf itu.!”
“Untung
yang kupelajari adalah huruf Arab, tidak ada Dewa apapun
pada huruf hu-
huruf Arab,
angka-angkanya yang melambangkan
bilangan mudah sekali ditiru lain dari huruf Jawa yang kau pelajari.”
--“Apakah
kau juga belajar menulis huruf Jawa ?”
“aku
baru dua purnama belajar huruf Jawa , nih contonya “
Alibin
mecoretkan lidi melenggak- lenggok dengan cepat
duapuluh huruf Jawa
---Wah, apakah Gurumu tidak rewel dengan lenggokan huruf huruf itu ?
“Semula
memang aku selalu dituntun mereka ,
tapi lihat sendiri apakah huruf
huruf ini ada yang salah?”
---“Wah
saya mengenali semua kedua puluh huruf ini, entahlah ,hanya Guru Pande saja yang
tahu benar tidaknya tulisanmu ini
apalagi dimata para Dewa., mana
aku tahu !”
“Menurut
para Kakak Guruku,
kami belajar menulis dan membaca
untuk nanti bila kami sudah
harus berkerja berdagang atau menjadi nakhoda jadi apa
saja , bisa baca tulis uruf apa saja
yang bisa dipelajari. akan sangat
berguna, juga ilmu berhitung.”
Rasa kecewa
dercampur aduk dengan kagum
bercampur heran, mengapa dia mendapatkan guru yang lain sekali dengan Alibin
yang rumahnya tidak
luas, ayah Alibin sering melakukan perjalanan jauh , dan
nampaknya sederhana, itu saja yang Joko Ampyang
tahu.
Semua percakapan menjadi bubar, rupanya Ibu Joko Ampyang kaluar dari bangunan dapur sambil membawa nampan anyaman lidi daun tal dialasi daun
pisang,
---
“ Ken. ini ibu buatkan ketan juruh
kalian bisa makan bersama, cuci dulu muka dan tanganmu”
Nampan
yang serupa piring agak besar itu berisi
ketan yang baru ditanak, ditaburi kelapa parut yang serupa permadani
putih dan diatasnya dilumuri cairan kental coklat kehitaman, gula
dari nira tal yang dicairkan
dengan bumbu daun pandan dan kayu manis yang harum..
Serentak
empat anak laki laki tanggung menyerbu tempajan besar yang ada lubangnya dibawah mirip
anak lelaki lagi kencing,
disumbat dengan sepotong kayu yang diraut , air yang di-isikan kedalam tempayan besar diambil dari
embung dan sudah diendapkan dan disaring dengan tempayan lebih besar lagi
yang sepertiganya diisi arang ditutup dengan pasir,
lubang ditutup dengan cara yang sama , bila
perlu ainya bisa dikucurkan masuk ke tempayan dibawahnya untuk membasuh mukat dan
tangan, alat yang lazim dipakai
dirumah rumah di Gresik pada waktu itu.,
Ki Sonokeling tiggal membeli dari pasar saja..
Sejenak
kemasgulan Ken Ampyang terlupakan,
setidaknya Alibin dan temannya mengagumi
kebaikan hati Ibunya , ketan juruh yang dimasak Ibu Ken Ampyang sudah
licin tandas, tinggal daun pisang diatas nampan
anyaman lidi daun tal saja yang
nampak mengkilat tanpa sebutir ketanpin.
Siang
yang panas, matahari sedikit condong ke
barat, burung emprit gantil dari
jauh bernyanyi dengan suara memelas yang khas terdengar sayup sayup lebih membuat
suasana menjadi tambah panas
menekan., tiga siulan panjang dan sayu
disusul dengan satu siulan menggetar
lebih pendek .....
tiiiiiiiiit, tiiiiiiiiit. Tiiiiiit. Tir-r-r-r-r berulang ulang.
Hari
Umanis, sebentar sore Dang Guru
Pande Sila pasti datang,
sungguh Ken Ampyang sangat bosan
mendengarkan celotehan sang Guru yang makin lama makin barlagak itu..
Ken
Ampyang memberanikan diri mendatangi
wantilan panjang dengan meja
kasar yang panjang juga dimana Ayahnya
sedang sibuk menghitung rencengan uan gobog Majapaghit dan rencengan uang gobog Cina,
dihadapannya enam- tujuh laki kali
setengah telanjang, hanya bercawat kampuh saja,
caping tutup kepala dipegang
masing masing meskipun mereka masih
berdestar , mereka duduk
bergerombol diundag wantilan ,menunggu pembayaran beras merah
yang mereka pikul bersama beberapa puluh tukang pikul yang menunggu
dibawah pohon sawo kecik agak jauh dari wantilan.
Para
tukang pikul itu tidak berdestar, hanya berikat
kepala saja dari tali atau daun
lontar sekenanya, mereka sedang sibuk
mengunyah sirih pinang yang disediakan
oleh Biang Juaragan.,
Mereka
mengunyah dengan nikmat, memang dirumah
Juragan Sono daun sirih selalu tersedia segar dan banyak beserta buah pinang yang tepat sekali waktu memetiknya, tidak terlalu
muda tan tidak terlalu tua, tukang tukang pikul itu mampak puas dan santai.
Ken
Ampyang menunggu Ayahnya berdiri agak
jauh dengan tangan disilangkan dan raut
muka seperti dilipat.
Juragan Sono melihat sekilas,
walau mukanya nampak msih menghadap ke meja panjang sambil memanggil nama salah satu laki laki yang berdestar lusuh., dia
memberikan rencengan gobog dan bererapa
gobog lepas dengan menyorongkan
tumpukan gobog (mata uang chna dari kuningan bundar dengan
lubang persegi ditengah) itu kearah
laki laki yang ia panggil,
sambil
tersenym dan menguncupkan tangan didada,
demikian juga selanjutnya untuk
laki laki berdestar yang dia panggil
sampai selesai.
Setelah
semua pemasok beras merah langganan lama sang Juragan
pergi ke balai balai besar dimuka
rumah dapur untuk dijamu tuak dan makan dengan ikan laut berbumbu mangut, dan
beristirahat seperti biasanya,
Juragan Sono
memandang anaknya lurus lurus,
tanpa sepatah katapun, tangannya diletakkan di meja papan kayu
sukun tebal dan
nampak kasar meskipun setiap bilah papan-nya disambungkan dengan rapi sekali. Ki Sono duduk di bangku panjang.
Dengan
isyarat itu Joko Ampyang mulai mendekati ayahnya masih tetap sambil berdiri., anak
tanggung ini bicara dengan nada menuntut, maklum meski dia tdak dimanja tapi begitulah anak
laki- laki semata wayang dikeluarga Hindu.
“Isun tidak mau belajar kepada Guru Pande lagi”
“Ayah, isun tidak malas dan sudah berusaha keras, tapi
rupanya usaha isun tidak ada yang benar dimata
Guru Pande, begitu pula dimata Dewa- Dewa.!”
Men
Sonokeling berasal dari wangsa
rendahan, kaum Waisya
dari Banjar jauh ditepian Kali Porong., dia sudah kenal sekali dengan kesombongan kaum diatasnya,
apalagi menyangkut
keistimewaan wangsa mereka terhadap
wangsa dibawahnya.
Juragan
Sono memandang tangannya kepalanya tetap
tegak, hatinya mencelos,
kecewa dan nelangsa, apaka
seterusnya dia dan keturunannya tidak bisa jadi
orang yang lebih pintar ?
“Isun
ingin sire bisa baca dan menulis
Ampyang, isun akan mencarikan Guru lain,
kalaupun
ada, kalau perlu sire isun kirim ke bandar
Terung, berguru kepada Pendeta Kasogatan, meskipun sira harus gundulan dan hidup dari minta minta
seperti para murid pendeta
Kasogatan umumnya.
“Itu isun gemang Bapa! , sun mau ikut teman isun
dari kampung Utara , Alibin
dia
punya Guru msih muda muda juga belajar
berhitung, isun sangat ingin belajar hitungan seperti dia ,
boleh ya Bapa”.
Tole, isun segan
menemui tetua kampung Utara itu untuk menanyakan tentang hal berguru membaca dan menulis apalagi
hitung menghitung, mereka orang Islam., apa mereka mau menerima
sire ?”
Joko
Ampyang makin cemberut saja mukanya,
sebab dia mendengar bahwa I
Sotil anak Biang Tenggok pembuat gula
yang berkasta Pariah dan
miskin juga telah ikut berguru di kampung Utara, dia baik baik saja.
““Bapa,
I Sotil
anak biang Tenggok ikut belajar di kampung Utara setiap sore, kelihatannya dia baik baik saja, dia tidak
Islam karena kulup kemaluannya tidak
dipotong seterti Alibin”
.Sebenarnya celoteh Ken Ampyang inilah jawaban yang dia cari cari, begitulah sirna kergu raguan-nya.
“Baik
tole, besok sore saya akan menemui tetua kampung Utara
yang sudah kita kenal lama, tapi sore nanti tmuilah gurumu seperti biasa”
Ken Ampyang
membalik badan sambil
bersorak seperti kesurupan,
berlari ke dapur menemui Ibunya.
.”
Biang , Bapa membolehkan
isun belajar menulis dan
membaca di kampung Utara bersama denan teman teman I
Alibin!”
Dalam
benak sang Ibu, belajar menulis akan membantu banyak bila nanti dia dan suaminya sudah tua,
sekarang saja sudah banyak kesalahan
dalam menagih dan membayar, coretan
kapur sirih dan arang dimana mana sudah
sulit untuk membantu mengingat
begitu banyak urusan jual beli setiap hari.
“Tole
, belajarlah bersungguh sungguh, jangan
mudah bosan, sire anak lelaki kami satu satunya, kalau dengan Dang Pande Sila tidak cocok ya belajarlah dari guru yang lain, asal tidak pergi terlalu jauh, Ibu tidak suka
kamu mondok di Asyram
yang
jauh.”
Ibu
menyuruh pembantu menangkap dua ayam yang masih muda yang paling gemuk, disuruhnya sembelih dan dibersihkan bulunya, dia akan membuat pecel ayam panggang buat
Dang Guru , untuk mengurangi rasa
msygul lelaki dengan lagak
tinggi yang sebenarnya Biang Sono
tidak begitu suka., toh ini untuk
terkhir kalinya.
Begitulah
setelah suami- istri Sonokeling
menunggui Pande Sila selesai makan dengan lahap dan menghabiskan
sendiri dua ayam muda tanpa sisa , Ibu memberikan mangkok gerabah berisi air
untuk mencuci tangan,
Guru
Pande Sila mengibaskan jari jarinya dengan anggun diatas mangkok yang disangga dua
telapak tangan Ibu seperti layaknya tamu agung,
Setelah
semua sisa makanan dibersihkan oleh Pembantu,
Ki Sono
dengan serta merta, dan bahasa halus, mengatakan bahwa anaknya yang tidak berbakat tidak akan
melanjutkan belajar pada Guru Pande lagi.
Pande
Sila yang telah menikmati kehormatan besar
sebagai Dang Guru yang belum
pernah dia rasakan sebelumnya, terhenyak
dari kantuk kekenyangan..
Menyadari
bahwa kehormatan dirumah Juragan bakal berakhir, pundi- pundinya bakal
kempes kembali, dengan sengit dan bersemangat berusaha meyakinkan Juragan Sono, bahwa pelajaran harus dilanjutkan, akan sirna
saja usahanya yang keras selama ini,
Pande Sila juga mengemukakan betapa beruntngnya Ken Ampyang mendapatkan Guru seperti dia
yang berani kena kutuk para Dewa karena mengajari anak dari wngsa rendah
menulis dan membaca, dia bicara mengenai
Dharma secara bersemangat, makin ngelantur dan menekankan setiap katanya dengan gerkan tangan seperti
membelah kayu..
Usaha
meyakinkan sebisanya sebagai Guru yang sebenarnya sangat pas pasan, akhirnya muncul-lah kata kemarahan karena kecewa:
“
Gusti (dia mebahasakan dirinya sebagai
wangsa tinggi) harus mebuat upacara
besar untuk mohon maaf dari para Dewa
mempunyai murid kepalang tanggung,
Gusti
bisa kena kutuk , bagaimana dengan anak
istri Gusti nanti ?”
Ki
Juragan sudah siap terhadap
ledakan kemarahan semacam ini yang dia sudah sering hadapi waktu masih
berdagang di sepanjang kali Porong
dengan petugas Kerajaan yang minta
suap., dia ulurkan kedua tangannya yang mengapit beberapa keping perak, tertangkup diantara kedua
telapaktangannya ke telapak tangan dang Guru
sampai punggung telapak tangan
dang Guru tiban merasakan tebal
dan lebarnya bundaran logam
itu, sejenak tekanan darah
Dang Guru menurun.
Dengan
cekatan dia genggam kepingan-kepingan
perak itu, sambil menarik tangannyaa dia
berkata bahwa meskipun upacara permohonan maaf sudah pasti
dia lakukan tapi sekira Ken Ampyang
sudah mau belajar lagi, dia masih bersedia
membantu..
Begitulah
Dang Guru berpamitan pulang dan tidak menginap diwantilan Juragan Sono seperti biasanya, sedang Juragan
Sonokeling suami- istri tidak menahannya..
Malam
itu Ken Ampyang mimpi indah., berlayar dibawah bulan purnama..
Besok
paginya, Juragan Sono mengutus dua
pembantu laki lakinya, yang seorang ini sudah ikut Jauragan lima
tahun bahasanya baik dan lancar. Dia suruh
masing masing mebawa satu bojog beras
hasil panen padi gogo merah, dan sebojog lagi beras
gogo mentik wangi yang putih dan jarang ada. beserta segantang dendeng daging sapi dari
Rajeg Wesi , yang dibumbui
ketumbar, garam dan gula kelapa
diijemur diatas perahu yang berlayar menghilir
Bengawan Solo dendeng ini enak dan bersih karena ditengah bengawan yang lebar
itu tidak ada lalat.
Utusan
ini membawa pesan bahwa nanti setelah matahari
rembang ke barat setinggi dua jengkal
Juragan Sono akan berkunjung
Juragan
Sonokeling sudah berkenalan dengan
Tetua Kempung Utara yang dikenal dengan kampung Molana sudah sejak pertama kali dia
membuat gubug di sebidang tanah semak semak ditepi pantai diselatan
Kampung yang ramai itu, agak jauh berselang satu lidah bukit rendah yang agak menjorok kelaut. Ki Sono ingat sekali betapa mudah
dan ramah dia disambut kala itu, tanpa ditanya ini dan itu malah ditawari untuk
ikut menggunakan air embung
milik Kampung untuk mandi atau mengambil air, yang Ki Sono merasa sangat beterima kasih.
Dasar
Ki Sono
orangnya mudah dan selalu bersahabat sejak masa muda.. sewaktu dia jadi padagang asongan dengan peerahu kecil dari
kapal ke kapal di sepanjang kali Porong.. Dia mudah meniru sapaan bahasa asing yang dia tidak tahu peersis artinya dan
bercanda dengan awak kapal., itulah kebiasaannya.,
dengan awak jung atau dhow ataupn pinisi ,ataupun lancang bercadik yang punya dua layar dari tanah
Jambi atau Tumasik., yang
paling sering adalah :
Asalaaaamu alaikum.................
Warokhmatullaaah sambil
tersenyum lebar kaarena dia tahu
jawabannya pasti sapaan yang sama tapi
jauh lebih panjang yang sama sekali tidak
dia mengerti meskipun dilantunkan dengan sangat
bersemangat, pertanda baik
untuk dagangannya mendapat perhatian.
Kenangan
masa muda mendadak menggelitik sanubarinya
saat dia naik di undag tangga batu kapur gerbang halaman rumah Tetua kampung, menyeberangi halaman bersih yang tidak begitu
luas , ternyata Tetua Kampung yang kini
rambut dan kumis- janggutnya
kepuitihan sudah menunggu di
wantilan rendah, meledak begitu saja
ucapan Salaaaamalaikum..............
sambil tersenum lebar persis sewatu dia masih
sangat muda begitu dia menengadah
menghadapi awak parahu dhow !
Sapaan
itu langsung dijawan Pak Tetua Kampung dengan bersemangat tapi tidak begitu panjang
dan disambung dengan tawa, langsung saja suasana menjadi penuh canda. tidak sesuai dengan suasana untuk mohon sesuatu yang selalu dimulai dengan suasana yang
resmi dan takzim,
.”Saudara
tetangga yang baik, kenapa andika mau
berkujung saja pakai utusan pembritahuan
dengan membawa bingkisan yang
mengagetkan, aduh ki Sonokeling, jangan
sering bikin kaget orang tua, saya tahu
andika secara teratur mengantar kiriman yang kami terima dengan senang
hati, hantaran bahan makanan itu kami gunakan dengan baik
memberi makan anak mirid kami yang dari jauh dan mondok disini., tapi yang kali
ini sepertinya sangat berbeda., jangan sungkan kisanak, katakanlah
apa yang bisa kami bantu.”
Begitulah
Pak Tetua kampung menyambut Ki Sono dengan tergopoh opoh, mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan ki Sono.
Saudagar
Sonokeling mnyambut uluran tangan itu
dengan kedua tangannya
menggenggamnya sambil membungkuk
mengucapkan terima kasih dengan tulus.
Tetua
Kampung Molana memakai sarung yang
dikencangkan dengn sabuk kulit lebar,
Bajunya
berlengan lebar sebatas dibawah
siku dan dadanya terbuka dia memakai ikat kepala yang di bebatkan seperti sorban longgar.
Semua dari kain kasar kecoklatan ,
warna rebusan kulit pohon bakau..
Setelah
mereka berdua telah sama sama duduk bersila ditikar pandan yang
baru dan bersih, Tetua kampung
menyuguhkan sirih pinang secara khidmat,
merea berdua sama sama mengatur daun sirih yang telah dilumuri dengan
sedikit kapur, Tetua kampung melanjutkan bicara:
“Ki
Juragan, saya merasa sangat terhormat menerima kunjungan andika, setelah andika membuat embung sendiri lebih dekat dengan
rumah andika, kita aungguh menjadi jarang bertemu !”
“Aduh
tuan Petinggi, mohon maaf bahwa baru
sekarang hamba bisa
datang menemui andika, kesibukan sehari hari membuat hamba
berlaku begitu alpa!”
Tangan
ki Sono menguncupkan sembah dengan daun
sirih masih teselip diantaranya.
“
Ha, ha. .ha........ Ki Juragan,
andika jangan salah terima, kami
penduduk kampung sini berterima kasih kepada andika karena sekarang kami punya
dua embung, jadi apabila kemarau
panjang datang kami disa mengatasi
kekurangan air “
“Tempat
yang andika pilih untuk membuat embung
sungguh tepat, embung yang dalam dan
air hujan yang tertampung bersih dari
longsoran tanah, andika telah mengeleluarkan dana yang besar untuk itu.”
“Ki
Juragan untuk selanjutnya panggil saja
saya dengan Ki Bantal, itulah panggilan saya di kampung ini”*) tg 22/4/2005
Baca
dan belajarlah
Ini
bab II GAROWISI, CERITA MENGENENAI KEN AMPYANG
Tetua Kampung Molana ternyata juga murid pendiri perkampungan
kaum yang memeluk agama Islam, perkampungan ini sampai sekarang bisa
dihuni berkat upaya pendirinya, Tuan Maulana Malik Ibrahim yang berasal dari wilayah
lebih kebarat dari India antara
Samarkan dan Bukhara. Beliau dengan beberapa muridnya dan keluarga Islam dari Leran dengan tekun
membuat embung penampungan aliran
air hujan yang terkumpul
lewat saluran - selokan air
yang membelah belah lereng bukit kapur yang tandus , embung berupa danau
kecil ini menyimpan air cukup untuk kebutuhan air penghuni perkampungan selama musim kemarau.
Semula lokasi embung itu merupakan dasar kaki sebuah tebing batu
kapur yang tegak menjulang setinggi sepuluh depa ,tebing batu kapur itu
sengaja dipotong dengan beliung dan gerdaji besar dengan gigi yang cocok unutk
memotong batu kapur, sepotong
–sepotong sebesar kerbau dengan batang
batang pohon tal dan tali agel sebesar lengan potongan batu
kapur itu diluncuran miring kebawah ditampung oleh susunan papan
tebal yang bisa digulirkan berkat potongan potongan batang tal,
disusun menjadi tembok tebal penguat
dinding embung. yang merupakan tanah liat yang kedap air setinggi satu setengah depa ditempat yang
paling dalam.
Kesabaran
dan ketelitian perencanaan –lah yang
membuat pekerjaan besar itu
bisa diselesaikan oleh sekelompok
pekerja yang jumlahnya kurang dari
limapuluh orang.,
Konon mereka adalah para santri
dari Leran, Sidayu dan Ampel
Denta dan desa desa sepnjang pantai
utara yang sengaja datang untuk membangun
permukiman baru
ditengah
tengah kegersangan Garowisi yang merupakan
tempat tidak menarik sama sekali bagi
Pejabat Penguasa Wilayah Majapahit
di
Tandes maupun Terung...
Di
Kampung Molana Tetua kampung yang ditemui oleh Juragan Sonokeling dipanggil Ki Bantal., dijelaskan kapada Juragan Sonokeling bahwa
siapa saja boleh ikut belajar menulis dan membaca, karena
untuk hitung menghitung lebih
gampang memakai huruf Arab, maka
pelajaran pertama adalah menulis dan
membaca huruf Arab, kemudian sesudah mahir
akan dilanjutkan menulis dan membaca huruf Palawa.,
beaya belajar sukarela
adapun beaya makan . semua
penghuni perkampungan saling bekerja sama,
makan diberikan oleh mereka yang dibantu bekerja., kampung itu
merupakan keluarga besar orang
Islam.
Untuk
mempelajari agama Islam semua pemeluknya
sangat diharapkan bisa membaca dan menulis huruf Arab, karena mempercepat pelajaran dan
menhindari lafal yang berbeda dengan lidah jawa, huruf arab model ini dinamakan
huruf arab gundul, atau “huruf arab gundil” tanpa tanda bunyi pada consonannya,
hanya bisa dimengerti oleh orang berbahasa jawa. Kemudian
setiap pemeluk Agama Islam sangat dianjurkan belajar termasuk belajar menulis dan membaca tulisan
Majapahit dan Bugis., jadi semua anak anak laki perempuan di
Kampung Molana sudah disiapkan sejak dini untuk bisa mebaca dan menulis., guna memenuhi
anjuran agamanya.
Selanjutnya
bagi Ken Ampyang dia tidak diharuskan memeluk Agama Islam atau disunat, sampai
ada kemauan-nya sendiri kelak yang tidak bakal ditolak.
Ki
Sonkeling merasa sangat puas dia merasa begitu
lega dan ringan, terutama suasana
yang tidak menghubungkan-nya dengan bayar membayar, upacara dan
diabaikannya asal usul
wangsanya. Sebaliknya dia merasa sangat
tersanjung sebab setiap kali Ki Bantal
dengan rendah hati mengucapkan penghargaannya terhadap kiriman - kiriman
beras dan gula, garam yang
diberikan kepada Tetua kampung
yang
menurut Juragan Sono hanya sekedar
membayar persahabatan untuk
menggunakan air embung, sebelum dia
membangun embungnya sendiri, dia merasa
terhormat, sebab pada waktu Ki Sono membangun embungnya
sendiri, bantuan tenaga dan saran, terutama untuk memperkuat
bendung dengan bongkahan besar
batu kapur yang dibentuk serupa balok yang besar di turunkan dari tebing kemudian
diseret dengan papan dan potongan-potongan pohon tal
yang menggelinding dibawah papan tebal yang melandasi balok kasar sebesar kerbau, sehingga
pekerjaan menjadi cepat dan mudah.. Sungguh bantuan yang sangat berharga, meskipun
tidak diminta sebelumnya.
Besoknya,
selepas tengah hari, teman teman Joko Ampyang dari kampung Utara pada berdatangan
berombongan kerumah Juragan Sono, tidak sabar menunggu sampai sore bergabungnya sahabat lama
untuk belajar bersama, mereka bubar sesudah mandi di embung bersama sama..
.
Setelah
matahari tinggal dua jengkal itngginya
dikaki langit sebelah barat,
Joiko Ampyang dengan memakai
kampuh kain batik,
baju baru digunting secara cina dengan leher bundar dan lengan
panjang, terbuat dari tenunan
kapas dari India berwarna puith bersih, baju ini sedianya untuk
upacara di Banjar asal usul Ki
Sonokeling. Di tepian Kali Porong.,
tapi untuk peristiwa sepenting ini
Biang Sono menyuruh Ken
Ampyang mengenakannya.
Diiringi oleh dua orang yang membawa obor
dibuat dari daun tal dan daun
kelapa yang kering dan diikat dengan tali bambu setiap sejengkal serupa tongkat sepanjang setengh depa mereka
membawa beberapa batang , juga arit panjang dari Madura.
Matahari
sudah memerah dikaki langit, Joko
Ampyang bertiga baru tiba tak seberapa jauh dari rumah ki Bantal, didepan
banguna serupa wantilan yang
atapnya tinggi tebuat dari alang
alang yang disusun rapi dan tebal ada halaman bersih dan luas dengan jajaran
pohon sawo manila agak dipinggir,
wantilan itu menghadap ke timur.
Serentak
dari segenap penjuru. Anak anak kampung Utara mendatangi Joko Ampyang, mereka merubung mengagumi baju dan kampuh
serta destar Joko Ampyang,
Alibin memegang lengan Joko
Ampyang dia memberi tahu bahwa sebentar
lagi mereka akan sholat dan Joko
Ampyang serta dua pengantarnya
dipersilahkan menuggu dibalai balai kecil
terbuat dari pangkal bambu
ori, yang meliuk menurut
lengkungan orang tidur setengah duduk dibawah
pohon sawo.
Sesudah
sholat , Ki Bantal sendiri akan menemui
Ken Ampyang bagitulah Alibin
menjelaskan.
Puluhan
orang berdatangan ke wantilan terbuka
ini, mereka menamakan tempat sholat ini masjid.
Setiap
laki-laki memakai kampuh dan
sarung, mengenakan tutup kepala berupa
destar juga banyak yang mengenakan tutup kepala semacam canang bundar dari
anyaman rotan halus atau kain tenunan kasar yag dijahit.. kabanyakan lelaki
berambut pendek bahkan banyak yang plontos.
Beberapa
wanita berkerudung juga berdatangan.
Semua
mereka memakai alas kaki dari macam macam
bahan, para lelaki kebanyakan memakai
alas kaki dari kayu berbongkol
untuk dicepit antara ibu jari
kaki dan jari sebelahnya, namanya
gamparan.., wanita memakai semacam terompah dari kulit dan tenunan kain yang
dijahitkan untuk bagian atas dihiasi banyak
manik manik.’
Banyak
pengunjung yang terus mencuci muka bergantian di pancuran seperti yang ada di
rumah Joko Ampyang.
Mendadak
dari dalam wantilan ada suara orang
melantunkan semacan kata berlagu dengan
keras dan panjang, membuat Joko Ampyang
dan pengirngnnya merasa aneh dan agak
tekejut, baru beberapa hari
kemudian Joko Ampyang tahu bahwa itu adalah suara adzhan.
Dian
dan Blencong segera dinyalakan memberikan penerangan yang temaran dalam
wantilan itu dan semua orang pada masuk dan
duduk dalam barisan rapat
berlapis lapis, selang beberapa
saat acara bersama dimulai dengan
gerakan yang belum pernah disaksikan oleh Ken Ampyang sebelumnya, mereka
bergerak membungkuk dan , duduk dan menyentuhkan dahi ke alas tikar
secara teratur dan bersamaan, semua lain
sekali dengan per-sembah-hyang-an
di Pura
yang pernah dia saksikan dua kali
selama hidupnya di Pura Tandes.
Anehya
Ken Ampyang tidak merasa gelisah
apapun, dia tahu pasti Alibin dan teman teman-nya akan membantunya.
Acara
di wantilan telah selesai, banyak dari
mereka pada pulang ada yang brjabat tangan satu sama lain , dan mendadak
saja muncul dihadapannya sosok orang
tua yang tegap dan ramah, Ki Bantal sendiri yang datang
menghampiri Ken Ampyang dan pengiringnya,
“Benarkah
engkau Ken Ampyang putra Juragan
Sonokeling nak?”
“ Enggih
Gusti “ Kem Ampyang terbata-bata berdiri dari duduknya kemudian
bersiap siap untuk jongkok
dan meraba jari kaki Ki Bantal, seperti yang dia lakukan terhadap Guru Pande Sila..
“
Nak, kami ini tidak menerima sembah, dan bukan terikat pada wangsa”
Orang
setua itu mengulurkan kedua tangannya
dibawah ketiak Ken Ampyang dan seta merta mengangkat seluruh badan Ken
Ampyang dengan mudahnya Ken Amyang tepaksa berdiri sambil masih menbungkuk, telapak tangannya ditangkap oleh Ki Bantal sambil tertawa.
“Kami
disini beersalaman seperti ini “
“Mari
aku antar engkau mulai belajar anakku,
putra Juragan Sono !”
Entah
mengapa begitu dia memandang muka Ki Bantal ,
dia merasa senang sekali,
seperti
melihat orang yang dirindukannya,
meskipin Joko Ampyang belum
pernah berhadapan sedekat itu dengan
orang tua ini, memang Joko Ampyang dari keluarga kecil perantau yang belum pernah
bertemu kakek atau nenek-nya..
Dia
pasti orang yang hebat .
Aku akan selalu berusaha menbuat hatinya senang begitulah Joko Ampyang berfikir..
.Memang
ciri masyarakat yang penuh perjuangan seperti masyarakat Islam
di
pantai Utara Jawa pada zaman Majapahit,
saat Islam mulai mengembangkan sayapnya,
perhatian dan persahabatan generasi tua dengan generasi yang paling muda
sangat
erat dan terjaga berkat perilaku generasi tua, yang melibatkan diri dalam mengajar, bercengkerema dan bermain
tanpa ada batasan yang aneh aneh oleh adat dan
sopan santun yang dibuat
buat, semua berjalan wajar., bahkan
nenek –nenek sering megundang semua bocah yang melintas didepan
rumahnya sebagai cucunya untuk berbagi buah yang baru didapatnya dikebun atau makanan
yang baru dibuatnya.
Sebaliknya
masyarakat Jawa Majapahit, beragama Hindu Jawa dan Budha sudah menyertai terbentuknya
kerajaan – kerajaan terorganisasi yang besar
dengan pembagian kerja dan tingkatan hak dan
bagian berkah yang berbeda beda, cenderung untuk menganggap anak, keturunan sebagai
kelalnjutan dari diri mereka sendiri
diperkuat oleh ketatnya aturan agama
mengenai kasta atau wangsa., derajad dalam tata kekuasaan, dan derajad
kedekatan dengan penguasa yang dipersaingkan antara warga secara ketat
untuk mengukur keberhasilan hidup
atau restu dari
Dewata.
Pada
saat itu
dalam Masyarakat Majapahit
generasi yang lebih tua harus mendapatkan diri
lebih tinggi dari generasi
mudanya, karena merekalah
yang
mewariskan restu Dewata kepada kaum Muda., begitu juga kedekatan dengan Sang
Penguasa..
Orang
orang tua sangat pandang bulu., dan kebanyakan
herga dirinya sangat titonjolkan,
disamping sering merosot sebagai penjilat tanpa malu- malu apabila ada kesempatan dihadapan siapapun yang dianggap lebih tinggi.
.Keluarga
Juragan Sonokeling yang terpencil dari
masyarakat Hindu Jawa pada
umumnya sangat mengutungkan
perkembangan jiwa anaknya Ken Ampyang.
Wantilan
yang dinamankan masjid dalam sesaat
berubah, dipenggir pinggir wantilan
telah dengan rapi diatur semacam meja pendek berderet deret, anak anak lelaki
ada disebelah kanan dan anak perempuan disisi sebelah kiri wantilan..
dua
tiga anak berbagi satu meja pendek berhadapan dengan pemuda tanggung yang rupanya menjadi pelatih mereka.
Ki
Bantal memanggil pemuda tanggung yang
namanya Muslimin, dia
ini tinggi kurus dan berkulit bersih
agak kekuningan, matanya besar dan keningnya bagus, dia mengenakan tutup
kepala serupa canag bulat dari anyaman daun lontar yang ti raut halus, pakaian
dan saluwarnya dari tenun gedog kasar tapi bersih...
Hanya
mereka berdua yang duduk dihadapan satu
meja rendah, sang pelatih sudah menyediakan
selembar kulit kambing yang sudah digosok
dengan pasir halus beserta alat tulis sepotong arang dari ranting kayu sawo manila. yang di-arangkan dengan
cara khusus sehingga meskipun keras tapi enak untuk berlatih menulis..
Setelah
mereka berdua bersalaman tepatnya Ken
Ampyang menirukan menjabat tanngan Muslimin dengan kikuk dan menirukannya
menempelkan ke dada
Sambil
berucap assalamualaikum
warakhmatullah................yang dia biasa mendengar dan ucapan selanjutnya yang sering dia dengar juga
tetapi itdak hafal dan tidak paham
dia tidak mampu menirukannya. Melainkan hanya tersenyum saja.
Suara
hiruk pikuk hampir tak terdengar oleh
Joko Ampyang karena tekadnya yng besar
untuk segera belajar seperti temannya si
Alibin.
Tak
terasa waktu sudah habis karena tiba aatnya sholat malam.
“
Menurutku kemauanmu besar sekali untuk belajar Ken Ampyang, bila kau bisa
pertahankan semangatmu seperti ini untuk
beberapa pekan, sebentar lagi kamu bisa
menyusul temanmu si Ali, aku senang
sekali membantumu”
“Selama
kami melakukan sholat Isya’ kau boleh menungguku bersila dibaris
paling belakang dan jangan
melakukan apa apa, apa sire mau ?”
“
Baik isun mau, isun akan duduk diam “
Lepas
shalat Isya’ pemuda tanggung Muslimin segera menemui Ki Bantal di baris terdepan, menunggu disamping
belakang Ki Bantal yang sedang tekun berdo’a, sejenak Ki Bantal menghentikan do’anya menoleh kepada pemuda tanggung Muslimin sambila tersenyum.
“
Bagaimana tole Muslimin ?”
“
Muird yag baru ini semangat dan kecerdasannya
baik sekali Kyai, sahaya sangat ingin
membantunya mnedapatkan kepuasan bisa membaca menulis dan berhitung,
sayangnya dia belum Islam, bagaimana Kyai ?”
“
Tole dengan kebaikan engkau akan membuat
dia salah satu diantara kita dengan sukarela, biarkan dia
menysuaikan diri dilingkungan kita,
jaga jangan sampai dia ditegur
oleh salah satu diantara kita karena belum mengerti tatacara masjid., dan tata cara menyapa
gadis gadis, misalnya ?”
Ki
Bnatal bicara dengan mata yang berbinar
binar dengan bibir yang mengerut lucu
“
Baik akan sahaya ingat dan
laksanakan nesihat Kyai”
Pergaulan
rakyat Majapahit pesisir utara dengan
bahasa Jawa Majapahit, sangat mirip
dengan bahasa Melayu pada umumnya. Mereka tidak sulit bertutur dan mengerti
bahasa Melayu Palembang dan jambi , Pahang ataupun Tumaasik, begitu pula peergaulan Ken Ampyang di Gresik.
Dua
Purnama tidak terasa, entah sudah
berapa ikat obor daun kelapa dan daun tal kering sudah dipakai setiap malam, bahkan
pengiring Ken Ampyang juga ikut belajar secara diam –diam mengenali huruf huruf dan angka Arab.
Ken
Ampyang benar benar menikmati belajar di
Kampung Molana, bahkan atas kemauannya sendiri dia beserta pengiringnya berangkat
lebih siang setelah matahari sedikit condong
ke barat.
Sesudah
hari pertama, Ken Ampyang berpakaian
biasa seperti pemuda pemuda
tanggung yang lain, salwar selutut, kampuh
kain batik dan destar dari kain
yang sama tenun gedog dari Lamongan
yang kuat dan kasar karena benang
lawe dari kapas serat
pendek, akan tetapi sewaktu ditenun diselingi dengan serat tanaman rawa dari
Benggala yang sangat liat diratakan membujur
dan melintang..
Menurut petunjuk Muslimin, pakaian untuk belajar di masjid harus bersih
artinya tidak berbau keringat yang
mengganggu orang lain.
Inipun tidak asing bagi Ken Ampyang yang Biangnya sangat rewel terhadapm bau badan Ken Ampyang
pakaian
apabila dia tidak mecucinya atau mengganti denga pakaian yang bersih
sewaktu makan dibalai balai dapur Biangnya.
‘
Hai anak Waysia, jangan kau tunjukkan wangsa dirimu dengan bau badanmu
setidaknya baumu boleh seperti para
Brahmana, mandilah dan cuci
pakainmu., atau biar biangmu ini
mneyuruh cucikan pakaianmu. itu”
bagitulah selalu sejak Ken Ampyang mengenal pakaian.,
karena orang tuanya cukup berada.
Bahkan
ayahnya mebiasakan Ken Ampyang memakai
ceripu dari kulit kerbau yang tebal karena tanah bebatuan disekitar rumah ditumbuhi tumbuhan
liar berduri dan banyak kala dan
serangga beracun berkeliaran di
mana mana., meskipun memakai ceripu apalagi dari kulit kerbau adalah
kebiasaan kaum Brahmana saja.
Sungguh
lega rasanya melihat anaknya begitu bersungguh sungguh belajar di kampung Molana, dan tidak ada tanda tanda bahwa Kem Ampyang berubah perangainya yang membuat Ki Sono tidak senang.
Sepertinya
sampai dua purnama kedaan makin baik
saja ki Sono merasa lega..
Delapan
purnama, dari musim kemarau sampai
pertengahan musim hujan, Ken Ampyang
belayar di kampung Utara hampir setiap sore sampai malam .
Ki
Sono betul betul merasa sangat bangga dan terharu sewaktu tiba tiba saja
Ken
Ampyang mendekati ayahnya pada suatu siang sesudah mereka makan,
Sambil
mnunjuk-kan rontal yang ditulisnya , anehnya ditulis melintang, jadi
rontal dibaca berdiri sedangkan susunan
jahitan yang mebujur menjadi lajur lajur tegak.
Lajur
pertama nama hari dan sasih, disambung
dengan lajur kedua nama barang dagangan,
lajur ketiga jumlahnya dan harga saat dibeli adalah lajur keempat
Sedangkan
rontal lajur ke enam dan ketujuh adalah jumlah dan harga yang terjual
Semua
ditulis dalam dua pekan menurut
keterangan Biang dan para pembantu yang
menangani masing masing barang .
Rupanya
cita- citanya untuk meniru cara dagang Daeng Botak sudah didepan mata dalam waktu sesingkat itu.
.Ki
Sonokeling tidak habis heran bagaimana
jumlah barang yang begitu besar dan jumlah kepeng tembaga dan perak
Majapahit yang senilai barang
–barang yang diperjual belikan selama dua pekan dapat diketahui antara yang
dibeli dan yang dijual
Memang
itulah kelebihan dari angka Arab dan pemakaiannya untuk
menghitung
Sangat
mudah menyatakan jumlah nilai sampai
laksa dan yuta tanpa tempat yang banyak hanya menyusun angka saja.
“
Nak, kalau hitunganmu ini benar , pasti beras merah yang
ada di gudang tingal beberapa pulu bojog saja, sebab banyak sekali yang
terjual sedangkan pembeliannya hanya hampir satu koyan saja, memang aku sudah merasakan hal ini,
marilah kita nyatakan di gudang beras!”
Ki
Sono Punya “catatan “ sendiri dipintu gudang menggunakan kapur sirih
berapa bojog beras merah
isi gudang pada akhir musim kemarau,
saat pembelian dari langganan terkhir. Sedangkan sesudah itu hampir
tidak ada pembelian lagi kecuali pada dua
purmnama yang lalu dari seorang juragan perahu
dari Lamongan yang dia juga masih
ingat berapa jumlahnya.
Memang
ternyata benar beras merah di gudang tinggal beberapa pulu bojog saja, akan tetapi,
Ki Sono Sudah tidak ingat lagi, berapa batang baja Luwu yang ada
di gudangnya ratusan batang baja Luwu dan besi dari Sokadana........ akan senilai beberapa puluh perahu madura
yang bisa memuat duapuluh koyan
beras dari Jenggala
yang bisa diloloskan dari pengawasan
-para Demang di Gedangan
sampai Simping dan Wonoayu tanah datar berawa di hilir Brantas, bisa
mencapai ribuan bojog semua ini
sangat diminati oleh langganan pemasok
garam dan kayu jati olahan
yang
semakin dicari oleh para juragan perahu lombo dan pinisi dari tanah timur..
Juragan
Sonokeling berfikir saatnya sudah dekat untuk melibatkan langsung
Ken Ampyang ,andaikata dia sudah agak
dewasa, Ken Ampyang baru menjelang sebelas tahun saja
masih terlalu muda gumamnya
pelan.
Sebagai
tanda terima kasih yang tulus, Juragan Sonokeling mengirim beberapa bojog beras putih dari Jenggala serta minyak jarak dan minyak kelapa beberapa
ruas bambu setiap dua pekan
kepada Ki Bantal yang juga diterima
dengan tulus.
Bahkan Ki Sonokeling memutuskan untuk
ikut menyumbang beberapa ekor kambing pada perayaan hari
lahir Nabi Kaum Muslim untuk
selamatan bersama denga para santri
sewaktu dia diundang oleh Ki Bantal untuk ikut menghadiri selamatan itu..
Kedatangannya
di Kampung Molana disambut dengan
gembira oleh penduduk kampung Ki Sono diberi tempat terhormat
disamping para tetua Kampung dan
para tamu dari luar desa seperti Romo dan Leran yang jauh, tanpa ada prasangka apa apa meskipun mereka tahu bahwa Ki Sonokeling bukan Islam.
Pidato singkat oleh Ki Bantal dlucapkan dalam bahasa
Majapahit halus memuji Sang Utusan
Allah juga Hyang Tunggal, Nabi
Muhammad yang menyampaikan kepada
pengikutnya wahyu pertama perintah
untuk membaca.
Ki
Sono sangat terkesan kepada sesorah yang sederhana ini, Muhammad memang utusan Hyang Widi yang sesungguhnya ini
meneguhkan bathinnya, karena yang disampaikan adalah kebenaran yang
sangat mengena dilubuk hatinya.
Lagipula
ajaran kepada para pengikutnya, kaum
Islam,bahwa Hyang Widhi, Allah tidak membeda bedakan manusia dengan batasan apapun kecuali dari perbuatannya, ini dihayati dengan sepenuh hati oleh
penduduk kampung Molana., sungguh Ki Sono tidak menyesal mengikuti petunjuk seorang pengelana belasan tahun yang lalu untuk pindah ke daeran yang gersang
ini, dadanya mengembang lega.
Perayaan
memperingati hari kelahiran Baginda Rasul Muhammad di kampung Molana saat itu rupanya dilaksanakan
khusus mengundang para tamu dari kalangan
agama Hindu Jawa sosok- osok yang telah mengenal dan menjalin hubungan baik dalam waktu yang lama seperti Arya
Mliwis Bang , petugas pengawas
Garowisi dari Jajaran pejabat kecil yang sering
mengujungi Garowisi, segenap pengikutnya yang berjumlah
sepuluh orang yang bermukim sekitar menara tinjau
yang ada tiga tempat dengan satu istal kuda- kuda tunggang,
petugas pajak penyeberangan kali
Lamong Ki Sodor mereka semua telah saling
mengenal dengan Ki Sonokeling.
Banyak
diantaranya dari wangsa Ksatria, hanya satu kesamaan diantara mereka, mereka tinggal
ditempat yang terpencil dari prgaulan
budaya Hindu dan budaya kerajaan., dan Ki
Sonokeling adalah yang terkaya diantara mereka dang sangat terbuka
tangannya menolong dikala mereka
kesulitan, kesulitan uang., terutama untuk bekal hari- hari ‘pesowanan”
di Wirasaba memerlukan
bekal perjalanan dan uang banyak.
Wangsa Ksatria enggan berdagang
apalagi mengolah tanah.
Memang,
pejabat kecil Kerajaan seperti Arya Mliwis bang, sebenarnya
adalah bekas Wiratamtama
pasukan laut Kerajaan yang
kaki kirinya cacat akibat
terlindas kalanrtaka sewaktu perang laut di Sokadana melawan para bajak
dari Mindanao, dialih tugas menjadi pengawas menara tinjau
di Garowisi dan mendapat bumi
lungguh di Manyar yang meskipun sangat luas tapi berupa rawa sebagian besar sehingga
penghasilan-nya sedikit saja dari petak
–petak ladang garam yang dikelola kira kira lima puluh keluarga
orang dari Madura.,
selebihnya penghasilan Aria
miskin ini dari menyewakan perahu
konting yang sudah agak tua meskipun
masih kokoh karena tebuat dari papan
jati yang tebal bekas milik
pasukan laut yang sudah tidak
dipakai karena teerlalu kecil untuk pelayaran jauh.
Perahu
konting ini telah diubah dengan
menambah tinggi lambungnya
dengan papan jati lima jengkan setiap sisi, sehingga mirip dengan
perahu bugis jenis lombo,
Akan
tetapi haluan dan buritanmya masih nampak bentuk semula-nya, seperti perahu
konting, dilengkapi dengan ruangan palka rendah
dengan atap kajang dan papan yang
kuat, cocok untuk mengangkut beras dan
garam., tanpa muatan penuh perahu
jenis campuran ini sangat sulit dilayarkan karena keseimbangan yang buruk. Begitulah maka perahu tempat Aria miskin ini menggantungkan nafkahnya menjadi
alat angkutan perdangan
beras dan garam dari Gresik ke
Madura dan dari Madura ke
Gresik sampai akhir musim
timur sepanjang tahun, disewa oleh
Ki Sonokeling...
Aria Mliwis bang
juga punya seorang putera sudah berusia lima belas tahun, dipanggil Balencong, lengkapnya Rahadyan Balencong.
Pada
akhir menjelang keruntuhan
Kekuasaan Majapahit, dipusat
kebudayaan dan Pemerintahan,
Wilwatiktapura ditepian Kali
Brantas, secara diam diam telah tumbuh dan berkembang pesat suatu kekuasaan tandingan oleh dukungan
kaum Bhairawa
yang
mencampur aduk-kan ajaran dan prerilaku aliran hitam dan sedikit ajaran
aliran putih, yang kemudian
menjadi kekuatan tersembunyi.
Golongan
ini sangat berpengaruh dalam menentukan
penempatan maupun penunjukan
jabatan disemua kegiatan
pemerintahan., hanya kalangan
bangsawan tinggi dan kaum Brahmana terkemuka saja yang mampu menembus lingkaaran kekuasaan tersembunyi dari kaum
ini.
Raden
Balencong
Arya
Mliwisgang tidak berniat untuk mengirimkan anak tunggalnya ke
Ibu Kota untuk magang sebagai tamtama pasukan laut. Dia khawatir akan pengaruh buruk dari prgaulan di Ibu Kota.
Dirumah
tangganya yang tak begitu besar, serang
lelaki tua sudah begabung menjadi angauta sejak
lamasekali, beliau adalah paman Aria Mliwisbang dari istri
ampil ayahnya, perempuan dari kasta endah..Ki Watu bukur.
Semasa
muda pernah begarbung dalam pasukan laut Majapahit.
Dengan
berlayar dia ingin melupakan kesedihanya
Pernah paman ini berkeluarga, sejak dia mengabdi kepada
Rakryan i Hino sebagai juru
pemeliraha rontal catatan , dia berbadan bersih dan tulisannya rapi
Penampilan yang mirip
sosok wangsa Brahmana.
Keluarganya
musnah mati tenggelam dikali Brantas , perahu penyeberangan yang mereka tumpangi
terbalik diterjang arus, hanya dia yang
masih selamat..
Paman
Watubukur ikut bergabung dengan
pasukan laut Majapahit, sebagai pemanjat tiang layar yang tak kenal
takut menghadapi segala cuaca, mengggulung
layar dipuncak tiang agung saat badai adalah pekerjaan yang selalu dipercayakan kepadanya
oleh Mpu Pandega, dan dia menghadapi bahaya dengan gembira, seolah ingin petemu anak istrinya yang telah meninggalkannya., seluruh awak kapal memperlakukan dia dengan baik, meskipun dalam
hati mereka menganggap Watubukur gila.
Ki
Watubukur sudah ada di kapal bendera pemimpin armada
Wilwatikta dengan umbul umbul Gulakelapa sejak kapal perkasa bertiang agung tiga itu
diluncurkan di lapangan pembuatan kapal besar di Canggu
tepian landai berlumpur dari kali Bratas. Dia awak kapal yang tidak pernah ikut mabok
mabokan dan pandai membaca rontal kidung
dan kandapat, suaranya tidak keras tapi berkat oto otot perutnya yang sangat
kuat dan latihan pasuk wetu nafas, suaranya bisa terdengar jauh sampai buritan
tempat jurumudi..
Tiga
kali kapal pemimpin armada berganti
Narotama Pandega, yang terkhir telah mengandaskan kapal
hebat ini di teluk Bangil tanpa bisa diselamatkan lagi karena terpaan arus dan ombak yang semakin menancapkan
lambungnya ke gosong karang.
Ki
watubukur turun dan bergabung dengan keluarga pekonakannya Arya Mliwisbang.
Tinggal
di bukit rendah tepian bengawan Solo.
Ki
Watubukurlah yng mengajari putra Arya Mliwisbang membaca dn menulis huruf Majapahit
secara bermain main sejak sngat dini,
kemdian mengajarinya berenang dan menyelam, dasar anak cerdas yang
selalu ingin meniru.
Dapat
dimengerti bahwa Ki Watubukur
menyayangi anak yang
dia panggil Encong, lebih dari orng tua
bocah ini.
Saat
memudarnya sinar kerajaan Majapahit dan muculnya
kelompok kolmpok warga pesisir
yang memeluk agama Islam dikalangan para
pedangang berkasta rendah,
Banyak
perahu dagang dan permukiman yang dijarah
oleh kaum bajak dan bahkan para
Arya yang mencari jalan pintas demi mencapai jenjang kemuliaan , yang di Ibu Kota Majapahit bisa
“dibeli” dari kalangan
penguasa dari Istana,
dari hampir semua Rakryan yang banyak jumlahnya dan saling bersaing.
Untungnya,
di Sidayu, dekat muara Bwngawan Solo, datang seorang pengelana Islam dari
tanah Pansir, Pengelana ini
mengajari orang orang muda dan orang dewasa dari masyarakat
kecil Islam Ilmu bertempur menggunakan
tombak pendek yang seluruhnya dari baja, dengan panjang sedepa lebih beberapa jengkal
atau setinggi pemakainya, semacam tombak akan tetapi dari gagang sampai
ke mata tombak yang sangat lebar,
selebar hampir lima jari, semua dari
besi baja yang menyatu, umunya
dinamakan talempak . Ditempat asal ki Pancir,
satu lembah berbatu semua orang harus mahir memainkan senjata dan alat kerja ini, nun disana tanahnya sangat gersang dan hawa udaranya dingin menusuk tulang dimusim
dingan dan panas seperti tungku dimusim
panas, panduduk lembah Pansyir menggali
gunung cadas dan batu keras untuk mendapatkan bijih emas dan bijih logam
lainnya juga besi baja, . talempak hanya bisa dimainkan dengan menggunakan tenaga dalam yang mahir.,
Sebab beratnya bisa
mencapai sepuluh kati dan karena
pendek talempak harus dimainkan dengan cepat. Jurus perubahannya sangat
banyak, semua gerakan pokok ditumpu
oleh kekuatan perut dan pinggang. Inilah raja dari segala senjata untuk pertarungan yang menentukan hidup dan mati.
Diantara
murid yang unggul dari puluhan
tahun yang lalu adalah Ki
Bantal dan Ki Ageng Sedayu. yang
sewaktu mudanya digembleng oleh Ki Pansir di
perbukitan pantai utara antara
Tuban dan Sedayu, yang menjadi pusat
pelatihan sang Pendekar.
Pembela hunian Islam yang masih terlalu lemah.
Ki
Watubukur menemukan Ki Ageng Sedayu dan muridnya secara tidak disengaja dan sangat kebetulan.
Sewaktu
ki Bukur dan Encong cucunya yang berumur
hampir delapan tahun berburu celeng rawa
dimusim kemarau, mereka berdua menyusuri anak sungaai kecil yang mengalir
diantara lebatnya nipah dan kayu api api
dengan perahu tembo, disatu tempat terbuka hampir
dekat pantai berlumpur di
wilayah Manyar, ada sekelompok orang aneh
yang potongan badannya macam
macam, ada yang brjanggut tinggi besar
ada yang pendek kekar. Yang tidak
berjanggut hampir semuanya anak anak
muda yang telanjang dan badannya mengkilat oleh peringat dan lumpur.. mereka bekerja dengan tekun
mengeduk tanah lumpur yang tiris
tapi belu mengering, membuat parit dan
tanggul..
Yang
menarik perhatian Ki Watubukur adalah
alat dan cara mereka bekerja.
Sosok
tinggi besar dan sosok pendek gempal dan para anak muda semua menggunakan
semacam dayung hanya seluruhnya terbuat dari besi yang
beratnya dia taksir sampai lebih dari tujuh kati, si tinggi besar alatnya lebih
mengerikan besarnya talempak dari besi yang beratnya menurut
kerkiraan Ki Bukur bisa mencapai duabalas
kati.
Karena
berat alat itu, waktu ditancapkan ke limpur yang sudah tiris itu bisa menancap hampir
sehasta, dengan kaki yang bertumpu pada
jurus kuda kuda sekenanya, si tinggi besar melemparkan sebongkah demi sebongkah lumpur tiris yang
mengkilat sejauh tiga depa membuat sebaris tanggul dengan rapi, begitu pula si
pendek gempal, mereka berdua seolah olah bertanding., sedang lima anak muda
yang telanjang dan berlkilat kilat
badannya berbuat yang sama, mengikuti
irama tetuanya dengan
kaki kaki mereka mengatur kuda
kuda seperti pesilat, hanya lemparan
mereka tidak jauh , sedepa lebih saja
dan langkahnya ketinggalan
beberapa depa dari tetuanya.
Ki Bukur
terhenyak melongo, tembonye
diikatkan ke tangkai dau nipah sehingga
perahu tembonya berhenti seperti kapal lego jangkar., begitu pula si Encong
yang segera mengerti kena apa pengasuhnya menghentikan perahu ,
dengan
gembira dia berteriak teriak Sambil
bertepuk tangan, mereka terus bekerja, dua tetua itu makin mempercepat
irama kerjanya sedangkan para
pemuda dengan sekuat tenaga, mengikuti
sampai lancingan Ki Bukur
yang tebal itu mengering,
jadi hampir seratus jurus pertarungan
beneran.
Dia
pgang tangan cucunya agar tidak berisik sudah terlambat, apaboleh buat.
Ki Watubukur tidak asing dengan pertarungan dan pertempuran didarat maupun
diatas kapal, meskipun tugas nya adalah
bertengger ditiang layar dengan senjata
keris panjang yang lebih mirip
pedang orang Romawi yang diselipkan di
belakang pundak dan tujuh pisau terbang
berat yang tersisip rapi
diselempang kulit lebat menyilang dadanya..
Meskipun Ki Watubukur bukan
petarung tapi berkat ketekunannya berlatih melempar pisau dari Guru seorang Cina di Canggu.
Dia mampu menerbangkan pisaunya
secepat kilat sejauh sepuluh depa dan jarang meleset diluar sasaran sebesar kelapa., berkat otot perut dang otot
pinggangnya yang istimewa, sedang tangannya kanan kiri lentur seperti
tali tiang agung..
Dengan
kepandaiannya melempar pisau itu dia
pernah menyelamatkan nyawa Arya
Pandega sewaktu ada
serangan membokong yang sangat mendadak oleh bajak laut
yang naik memanjat kapal dari perahu lancang yang banyak merubung perahu bendera Majapahit nun di pantai Bengkalis. Ditengah gegap gempita pertempuran , pisau terbangnya dilempar dari ketinggian meluncur bagai patokan
ular menembus bahu penyerang
berpedang panjang dari arah belakang
Arya Pandega sehingga pedangnya jatuh berdentang
kena kalantaka disamping sang
Pandega. Sejak itu Ki Bukur tidak pernah ditugaskan pindah ke
kapal lain.
Ki
Bukur tahu betul bahwa sosok tinggi besar dan temannya itu bukan
orang sembarangan, mereka pendekar tangguh dengan tenaga dalam yang sangat kuat
Sedangkan pemuda pemuda yang telanjang itupun sudah sangat tangguh tenaga dalamnya.
“Sahaya Ki Watubukur
dengan cucu sahaya secara tidak sengaja melihat andika berlatih silat
tingkat tinggi kisanak, maka
maafkam kami bila cucu saya ini menganggu, gubug kami didesa Bungah tepian bengawan Solo”
Dengan
demikian dia berusaha memberi isyarat bahwa
diapun orang yang tidak asing dengan
penguasa Kerajaan Kajapahit. Dan
tidak diperlakukan dengan sembarangan
oleh orang orang persilatan itu andaikata mereka
dari kumpulan Bhairawa.
Berkata demikian dengan khidmat, sambil
mengunncupkan kedua telapak tangannya
menyembah, dengan suara yang biasa dia lantunkan waktu menembangkan
kandapat, suara yang didukung
oleh tenaga otot perut yang terlatih..dengan
samadhi, masih was was apakah mungkin ada sosok aliran Bhairawa yang
datang sangat jauh
dari sarangnya yang pasti dekat
dekat dengan kenikmatan di kota
kota besar.
Si
Tinggi besar dan si Gempal meluncur
mendekat aliran sungai kecil dengan papan luncur yang biasa dipakai oleh orang orang daerah
pantai berlumpur untuk mncari kerang
,tapi bedanya, pendekar berdua ini
mengendarai papan ini dengan kaki tegak
bertumpu di telapak kakinya bukan
dengan lututnya dan mendayung dengan telapak kaki sebelah dengan cepat., pertanda
ilmu silatnya sudah sangat tinggi.
“
Masya Allah kisanak, kami hanya mencoba mengajari anak anak kami bekerja mebuat tambak ikan ,
anda pasti Ki Watubukur dari
keluarga Arya Mliwisbang
maafkan
kami kisanak apabila anda benar ki Watubukur
dari keluarga Arya Mliwisbang,
kami mengerti wilayah ini adalah
kekuasaan lungguh sang Arya”
“ Duh
ki Sanak, saya jadi sangat malu,
pengetahuan andika dengan tepat
menebak keadaan kami sekeluarga sungguh luar
biasa, tanah lungguh Arya Mliwisbang yang berupa rawa rawa
ini merupakan tempat buangan bagi mereka
yang disingkirkan.
Bolehkah
sahaya tahu siapakah andika semua ini ?
“Dari
sikap dan tutur kata suara andika, dapat
kami perkirakan bahwa andika orang yang
terbiasa bergaul dengan kaum yang
berpedidikan , dan kelurga itu satu satunya diwilayah ini adalah
Arya Mliwisbang, andika betah
bertempat tinggal ditempat yang jauh
dari keramaian ini pasti tidak dekat
dengan kaum Bhairawa bagitukah Ki Watubukur. ?”
Begitulah
dengan wajah yang lucu dan tangan mengucupkan sembah sosok yang pendek dan gepal itu berkata sambil tersenum.
Sahaya
adalah Ki Bantal dari Kampung Molana di Garowisi, sedangkan saudara saya yang tinggi
besar ini Ki Sidayu, dari
Sidayu, kami ini kawula Majapahit yang setia, hanya kami bersanak kelurga ti
tempat terpencil dimana kami dibutuhkan,
Kami
kaum Islam juga menempa dan melatih
keluarga dan sanak kadang kami untuk mempertahankan diri dari ancaman
kaum Bajak dan perampok, juga kaum Bhairawa yang rasa kemanusiaan-nya rendah , seperti andika
lihat sendiri.
“Sahaya
sangat beruntung dapat bertemu dan menyaksikan jati diri andika semua.
Sahaya mohon andika semua jangan berkecil
hati, sahaya dan anak sahaya Arya Mliwisbang akan dengan senang hati berkunjung ke
Garowisi atau Sedayu menemui para pendekar yang berilmu itinggi seperti
andika berdua beserta sanak keluarga
andika.”
Tole,
Balencong, beri sembah kepada Para Pendekar dan mhonlah maaf atas
kelancanganmu, kalau engkau
beruntung mungkini engkau bisa berguru kepada beliau
berdua.”
Balencong
yang masih sangatmuda itu menghdapkan tubuhnya dengan susah payah kepada para
pendekar yang penuh lumpur itu sampil bertumpu pada
lututnya keduatangannya menguncupkan
sembah, oleh karena perahu tembo itu akecil dan posisinya tidak tepat maka menjadi oleng begoyang goyang lucu, Balencong menjadi gopoh dan menjerit
“Mohon
maaf Dang Hyang Pendekaaar”
sambil berpegang bibir perahu, diiringi tawa para santri telanjang yang sedang berjalan
dilumpur dengan susah payah..
Smua
tertawa tiba tiba termasuk para tetua yang lagi serius,
meskipun tawa itu dipicu oleh alasan msing masing.
Ki
Bantal dan Ki Ageng Sedayu tertawa karena dipanggil Dang Hyang yang
berarti Siluman setengah Dewa, Ki Bukur tertawa karena Arya kecil ini sangat
sombong menyatakan dia sudah pintar mengatur keseimbangan
dirinya diatas perahu tembo, apalagi
bila diingatkan kakek pengasuhnya itu,
sedang para santri tertawa riuh karena
memang keadaan bocah Balencong sangat kocak, bergoyang goyang akhirnya jatuh hampur
tertelungkup sedang permintaan maafnya
dilantunkan dengan suara aneh
bergetar karena terkejut dan takut..
“Selamat
jalan tole.sampai jumpa nanti, “
Ki Bukur melanjutkan mendayung mudik
kali kecil itu sampai matahari
agak condong ke barat perairan yang
penuh nipah dan ada sungai agak
lebar mengalir ke utara, dia
berbelok menghilir sngai itu
karena setelah sore laut mulai
surut, setelah sungai itu keluar dair rawa rawa dan berbelok ke timur
karena terhalang oleh lereng rendah
mereka menambatkan perahu tembo dan
berjalan pulang.
Malam
sebelum keluarga Arya Mliwisbang tidur, biasa
mereka duduk duduk di balai besar didepan rumah dapur diterngi oleh
dilah minjak sederhana, rupanya tinggal Arya Mliwis
dan Ki Watubukur, nampamknya nereka
sedang membicarakan sesuatu persoalan yang serius.
“
Jarot,--- bagitulah Ki Bukur slalu
memanggil Arya Mliwis dengan nama kecilnya,
--- apakah andika
menyadari bahwa didesa desa tepencil sekitar kita , ditempat terpencil
ini sudah lama bermukim orang orang
luar biasa, pendekar berilmu
tinggi
dengan
muird-muridnya yang sudah lama
digembleng ilmu pernafasan dan menghimpum
tenaga dalam mereka sungguh luar biasa.”
“
Isun sudah menyadari Lik, hanya
sayangnya isun hanya mendengar kabar
saja dari
anak
buah isun di Garowisi, bahwa sudah hampir lima
tahun sampai sekarang, kaum bajak dari Sampang
dan Arya dari Terung dn Porong sudah jarang
menjarah perkampungan sepanjang
pantai utara sampai ke perbatasan
Tuban, rupanya mereka selalu
terpukul undur. dan jera”
Sahaya hanya pernah menyaksikan dari menera tinjau Garowisi, satu perahu bajak dari Sampang diburu oeh dua kapal konitng
biasa pada suatu malam mendung,
dan anehnya kedua konting kecil
itu mampu menghujani panah api
satu perahu bajak dengan layar
besar yang meenggelembung dengan tiupan angin barat, anehnya panah
panah api itu hampir sepanjang
tombak dan dapat mencapai
limapuluh depa dengan api di
ujungnya menyala nyala sebesar periuk
!”
“Menurut
anak buah saya konting konting kecil
itu dari Sedayu., layar perahu
bajak yang perisi lebih dari
duapuluh orang bersenjata arit besar itu terbakar dan
dengan cepat tersusul oleh konting yang mendekati dari lambung kanan dan
kiri ditengan kepanikan para bajak yang rupanya ada yang tertembus
panah tombak peperapa orang kelihatan melenting dari konting konting yang
rendah melayng lima depa dan selanjutnya entah apa yang terjadi, dengan cepat peruhu bajak itu tenggelam, tidak sempat terbakar, haluannya nyungsep maasuk
ke air , dengan cepat konting konting itu memutar haluan ke utara,
meninggalkan para bajak berenang mengitari perahunya.”
Ki
Bukur menyahut dengan bersemangat,
dan mata yang menatap jauh:
“Isun
tahu panah api sebesat tonbak itu,
senjata ampuh adalan
api orang Cina,
yang ditembakkan dengan semburan
api yang mendorongnya, pernah lancang tempur
dari Pamelayu juga dipersenjatai dengan tombak kayu yang berat, semjata itu hanya dilucurkan dengan tenaga
saja, paling jauh hanya lemabelas depa,
itupun
tidak berujung baja., tapi panah api
Cina , siapa yang mampu membuatnya , lagipula
panah api Cina ini
sangat sulit dibidikkian dengan
tepat ?”
“
Lik, tombak berapi itu tidak menyemburkan api kebelakang jadi bukan panah
api Cina!” sang Arya menjawab.
“Adalagi
satu kemungkinan, itu adalah panah dari
busur ysng panjangnya dua depa lebih dan
ditarik sambil terlentang dengan kadua kaki menjejak busur dan anak panah ,
sebenarnya tombak ditarik dengan kedua tangan sampil meregangkan otot pinggang dan otot perut, tapi senjata ampuh
tu adealah senjatanya orang Cempa untuk
berburu gajah di darat, harus sangat
berpengalaman untuk bisa membidikkiannya dengan tepat, khusus dari peahu
konting yang digoyang ombak
“Untuk menghimpun tenaga dalam begitu hebat
memerlukan latihan dan cara yang
tepat, menurut keterangan yang saya dengar dari rekan rekanku sewaktu saya ukut berlayar
dengan armada Majapahit, ilmu
pengaturan nafas pasuk wetu dari
Ida Rsi Baradah
yang mampu nenghancurkan sasaran
yang wadag maupun halus, ilmu ini sudah
jarang yang mampu mempelajari sampai ke puncaknya karena godaannya yang
sangat berat.”
Selanjutnya Ki
Bukur seolahlah berkata pada dirinya sendiri:
“
Barang siapa yang berhasil menghimpun tenaga pasuk wetu di pusar,
dan menyalurkannya , maka kekuatan ototnya menjadi kekuatan Hyang Brahma pribadi,
Bahwa pada tingkat pertama
perahu perang MajapahIt yang model perahu Madura juga dipersenjatai dengan
panah gajah itu hampir setahun, sebelum kalantaka dicetak untuk perlengkapan perahu
perang Majapahit oleu Yang Mulia Mpu Mada, diwilaya timur senjata itu danamakan
lela, dai sinilah tecipta kata “merajalela” *)
sudah
menyediakan selembar kulit kambing yang sudah digosok dengan pasir halus beserta alat tulis
sepotong arang dari ranting kayu sawo
manila. yang di-arangkan dengan cara
khusus sehingga meskipun
keras tapi enak untuk berlatih menulis..
Setelah
mereka berdua bersalaman tepatnya Ken
Ampyang menirukan menjabat tanngan Muslimin dengan kikuk dan menirukannya
menempelkan ke dada
Sambil
berucap assalamualaikum warakhmatullah................yang
dia biasa mendengar dan ucapan selanjutnya yang sering dia dengar
juga tetapi itdak hafal dan tidak paham
dia tidak mampu menirukannya. Melainkan hanya tersenyum saja.
Suara
hiruk pikuk hampir tak terdengar oleh
Joko Ampyang karena tekadnya yng besar
untuk segera belajar seperti temannya si
Alibin.
Tak
terasa waktu sudah habis karena tiba aatnya sholat malam.
“
Menurutku kemauanmu besar sekali untuk belajar Ken Ampyang, bila kau bisa
pertahankan semangatmu seperti ini untuk
beberapa pekan, sebentar lagi kamu bisa
menyusul temanmu si Ali, aku senag sekali membantumu”
“Selama
kami melakukan sholat Isya’ kau boleh menungguku bersila dibaris
paling belakang dan jangan melakukan
apa apa, apa sire mau ?”
“
Baik isun mau, isun akan duduk diam “
Lepas
shalat Isya’ pemuda tanggung Muslimin segera menemui Ki Bantal di baris terdepan, menunggu disamping
belakang Ki Bantal yang sedang tekun berdo’a, sejenak Ki Bantal menghentikan do’anya menoleh kepada pemuda tanggung Muslimin sambila tersenyum.
“
Bagaimana tole Muslimin ?”
“
Murid yag baru ini semangat dan
kecerdasannya baik sekali Kyai,
sahaya sangat ingin membantunya
mnedapatkan kepuasan bisa membaca
menulis dan berhitung, sayangnya dia belum Islam, bagaimana Kyai ?”
“
Tole dengan kebaikan engkau akan
membuat dia salah satu diantara kita dengan
sukarela, biarkan dia menysuaikan diri dilingkungan kita, jaga jangan sampai dia ditegur oleh
salah satu diantara kita
karena belum mengerti tatacara masjid., dan tata cara menyapa
gadis gadis, misalnya ?”
Ki
Bnatal bicara dengan mata yang berbinar
binar dengan bibir yang mengerut lucu
“
Baik akan sahaya ingat dan
laksanakan nesihat Kyai”
Pergaulan
rakyat Majapahit pesisir utara dengan
bahasa Jawa Majapahit, sangat mirip
dengan bahasa Melayu pada umumnya. Mereka tidak sulit bertutur dan mengerti
bahasa Melayu Palembang dan jambi , Pahang ataupun Tumaasik, begitu pula peergaulan Ken Ampyang di Gresik.
Dua
Purnama tidak terasa, entah sudah berapa ikat obor daun kelapa dan daun tal kering sudah dipakai setiap malam, bahkan
pengiring Ken Ampyang juga ikut belajar secara diam –diam mengenali huruf huruf dan angka Arab.
Ken
Ampyang benar benar menikmati belajar di
Kampung Molana, bahkan atas kemauannya sendiri dia beseta pengiringnya berangkat lebih siang setelah matahari sedikit condong ke barat.
Sesudah
hari pertama, Ken Ampyang berpakaian
biasa seperti pemuda pemuda
tanggung yang lain, salwar selutut, kampuh
kain batik dan destar dari kain
yang sama tenun gedog dari Lamongan
yang kuat dan kasar karena benang lawe dari kapas serat pendek,
akan tetapi sewaktu ditenun diselingi dengan serat tanaman rawa dari
Benggala jang sangat liat diratakan
membujur dan melintang..
Menurut petunjuk Muslimin, pakaian untuk belajar di masjid harus bersih
artinya tidak berbau keringat yang
mengganggu orang lain.
Inipun tidak asing bagi Ken Ampyang yang Biangnya
sangat rewel terhadapm bau badan Ken
Ampyang
pakaian
apabila dia tidak mecucinya atau mengganti denga pakaian yang bersih
sewaktu makan dibalai balai dapur Biangnya.
‘
Hai anak Waysia, jangan kau tunjukkan wangsa dirimu dengan bau
setidaknya baumu boleh seperti para Brahmana,
mandilah dan cuci pakainmu., atau biar
biangmu ini mneyuruh cucikan pakaianmu. itu” bagitulah selalu sejak
Ken Ampyang mengenal
pakaian., karena orang tuanya
cukup berada.
Bahkan
ayahnya mebiasakan Ken Ampyang memakai
ceripu dari kulit kerbau yang tebal karena tanah bebatuan disekitar rumah ditumbuhi tumbuhan
liar berduri dan banyak kala dan
serangga beracun berkeliaran di
mana mana., meskipun memakai ceripu apalagi dari kulit kerbau adalah
kebiasaan kaum Brahmana saja.
Sungguh
lega rasanya melihat anaknya begitu bersungguh sungguh belajar di kampung Molana, dan tidak ada tanda tanda bahwa Kem Ampyang berubah perangainya yang membuat Ki Sono tidak senang.
Sepertinya
sampai dua purnama kedaan makin baik
saja ki Sono merasa lega..
Delapan
purnama, dari musim kemarau sampai
pertengahan musim hujan, Ken Ampyang belayar
di kampung Utara hampir setiap sore sampai malam .
Ki
Sono betul betul merasa sangat bangga dan terharu sewaktu tiba tiba saja
Ken
Ampyang mendekati ayahnya pada suatu siang sesudah mereka makan,
Sambil
mnunjuk-kan rontal yang ditulinya , anehnya ditulis melintang, jadi rontal dibaca berdiri sedangkan susunan
jahitan yang mebujur menjadi lajur lajur tegak.
Lajur
pertama nama hari dan sasih, disambung
dengan lajur kedua nama barang dagangan,
lajur ketiga jumlahnya dan harga saat dibeli adalah lajur keempat
Sedangkan
rontal lajur ke enam dan ketujuh adalah jumlah dan harga yang terjual
Semua
ditulis dalam dua pekan menurut
keterangan Biang dan para pembantu yang
menangani masing masing barang .
Rupanya
cita- citanya untuk meniru cara dagang Daeng Botak sudah didepan mata dalam waktu sesingkat itu.
.Ki
Sonokeling tidak habis heran bagaimana
jumlah barang yang begitu besar dan jumlah kepeng tembaga dan perak
Majapahit yang senilai barang
–barang yang diperjual belikan selama dua pekan dapat diketahui antara yang
dibeli dan yang dijual
Memang
itulah kelebihan dari angka Arab dan pemakaiannya untuk
menghitung
Sangat
mudah menyatakan jumlah nilai sampai
laksa dan yuta tanpa tempat yang banyak hanya menyusun angka saja.
“
Nak, kalau hitunganmu ini benar , pasti beras merah yang
ada di gudang tingal beberapa pulu bojog saja, sebab banyak sekali yang
terjual sedangkan pembeliannya hanya hampir satu koyan saja, memang aku sudah merasakan hal ini, marilah kita nyatakan di gudang beras!”
Ki
Sono Punya “catatan “ sendiri dipintu gudang menggunakan kapur sirih
berapa bojog beras merah
isi gudang pada akhir musim kemarau,
saat pembelian dari langganan terkhir. Sedangkan sesudah itu hampir tidak
ada pembelian lagi kecuali pada dua purmnama
yang lalu dari seorang juragan perahu
dari Lamongan yang dia juga masih
ingat berapa jumlahnya.
Memang
ternyata benar beras merah di gudang tinggal beberapa pulu bojog saja, akan tetapi,
Ki Sono Sudah tidak ingat lagi, berapa batang baja Luwu yang ada
di gudangnya ratusan batang baja Luwu dan besi dari Sokadana........ akan senilai beberapa puluh perahu madura
yang bisa memuat duapuluh koyan beras dari
Jenggala yang bisa diloloskan dari pengawasan
-para Demang di Gedangan
sampai Simping dan Wonoayu tanah datar berawa di hilir Brantas, bisa
mencapai ribuan bojog semua ini
sangat diminati oleh langganan pemasok
garam dan kayu jati olahan
yang
semakin dicari oleh para juragan perahu lombo dan pinisi dari tanah timur..
Juragan
Sonokeling berfikir saatnya sudah dekat untuk melibatkan langsung
Ken Ampyang ,andaikata dia sudah agak
dewasa, Ken Ampyang baru menjelang sebelas tahun
saja masih terlalu muda gumamnya pelan.
Sebagai
tanda terima kasih yang tulus, Juragan Sonokeling mengirim beberapa bojog beras putih dari Jenggala serta minyak jarak dan minyak kelapa beberapa
ruas bambu setiap dua pekan
kepada Ki Bantal yang juga diterima
dengan tulus.
Bahkan
Ki Sonokeling memutuskan untuk
ikut menyumbang beberapa ekor kambing pada perayaan hari
lahir Nabi Kaum Muslim untuk
selamatan bersama denga para santri
sewaktu dia diundang oleh Ki Bantal untuk ikut menghadiri selamatan
itu..
Kedatangannya
di Kampung Molana disambut dengan
gembira oleh penduduk kampung Ki Sono diberi tempat terhormat
disamping para tetua Kampung dan
para tamu dari luar desa seperti Romo dan Leran yang jauh, tanpa ada prasangka apa apa meskipun mereka tahu bahwa Ki Sonokeling bukan
Islam.
Pidato singkat oleh Ki Bantal dlucapkan dalam bahasa
Majapahit halus memuji Sang Utusan
Allah juga Hyang Tunggal, Nabi
Muhammad yang menyampaikan kepada
pengikutnya wahyu pertama perintah
untuk membaca.
Ki
Sono sangat terkesan kepada sesorah yang sederhana ini, Muhammad memang utusan Hyang Widi yang sesungguhnya ini
meneguhkan bathinnya, karena yang disampaikan adalah kebenaran yang
sangat mengena dilubuk hatinya.
Lagipula
ajaran kepada para pengikutnya, kaum
Islam,bahwa Hyang Widhi, Allah tidak membeda bedakan manusia dengan batasan apapun kecuali dari perbuatannya, ini dihayati dengan sepenuh hati oleh penduduk
kampung Molana., sungguh Ki Sono tidak
menyesal mengikuti petunjuk seorang
pengelana belasan tahun yang lalu
untuk pindah ke daeran yang gersang ini,
dadanya mengembang lega.
Perayaan
memperingati hari kelahiran Baginda Rasul Muhammad di kampung Molana saat itu rupanya dilaksanakan
khusus mengundang para tamu
dari kalangan agama
Hindu Jawa sosok- osok yang
telah mengenal dan menjalin hubungan
baik dalam waktu yang lama seperti Arya
Mliwis Bang , petugas pengawas
Garowisi dari Jajaran pejabat kecil yang sering
mengujungi Garowisi, segenap pengikutnya yang berjumlah
sepuluh orang yang bermukim sekitar menara tinjau
yang ada tiga tempat dengan satu istal kuda- kuda tunggang,
petugas pajak penyeberangan kali
Lamong Ki Sodor mereka semua telah
saling mengenal dengan Ki Sonokeling.
Banyak
diantaranya dari wangsa Ksatria, hanya satu kesamaan diantara mereka, mereka
tinggal ditempat yang terpencil dari
prgaulan budaya Hindu dan budaya
kerajaan., dan Ki Sonokeling adalah yang terkaya diantara
mereka dang sangat terbuka tangannya menolong
dikala mereka kesulitan, kesulitan uang., terutama untuk bekal hari- hari
‘pesowanan” di Wirasaba
memerlukan bekal perjalanan dan uang banyak.
Wangsa Ksatria enggan berdagang
apalagi mengolah tanah.
Memang,
pejabat kecil Kerajaan seperti Arya Mliwis bang, sebenarnya
adalah bekas Wiratamtama
pasukan laut Kerajaan yang kaki kirinya cacat akibat terlindas kalanrtaka sewaktu perang laut di
Sokadana melawan para bajak dari
Mindanao, dialih tugas menjadi
pengawas menara tinjau di Garowisi
dan mendapat bumi lungguh di Manyar yang meskipun sangat luas tapi berupa rawa sebagian besar sehingga
penghasilan-nya sedikit saja dari petak
–petak ladang garam yang dikelola kira kira lima puluh keluarga
orang dari Madura., selebihnya penghasilan Aria miskin ini dari menyewakan perahu konting yang sudah agak
tua meskipun masih kokoh karena tebuat
dari papan jati yang tebal
bekas milik pasukan laut yang sudah
tidak dipakai karena teerlalu kecil untuk pelayaran jauh.
Perahu
konting ini telah diubah dengan
menambah tinggi lambungnya
dengan papan jati lima jengkan setiap sisi, sehingga mirip
dengan perahu bugis jenis lombo,
Akan
tetapi haluan dan buritanmya masih nampak bentuk semula-nya, seperti perahu
konting, dilengkapi dengan ruangan palka rendah
dengan atap kajang dan papan yang
kuat, cocok untuk mengangkut beras dan
garam., tanpa muatan penuh perahu
jenis campuran ini sangat sulit dilayarkan karena keseimbangan yang buruk. Begitulah maka perahu tempat Aria miskin ini menggantungkan nafkahnya menjadi
alat angkutan
perdangan beras dan garam dari
Gresik ke Madura dan dari Madura ke Gresik
sampai akhir musim timur
sepanjang tahun, disewa oleh Ki Sonokeling...
Aria Mliwis bang
juga punya seorang putera sudah berusia lima belas tahun, dipanggil Balencong, lengkapnya Rahadyan Balencong.
Pada
akhir menjelang keruntuhan
Kekuasaan Majapahit, dipusat
kebudayaan dan Pemerintahan,
Wilwatiktapura ditepian Kali
Brantas, secara diam diam telah tumbuh dan berkembang pesat suatu kekuasaan tandingan oleh dukungan
kaum Bhairawa
yang
mencampur aduk-kan ajaran dan prerilaku aliran hitam dan sedikit ajaran
aliran putih, yang kemudian
menjadi kekuatan tersembunyi.
Golongan
ini sangat berpengaruh dalam menentukan
penempatan maupun penunjukan
jabatan disemua kegiatan
pemerintahan., hanya kalangan
bangsawan tinggi dan kaum Brahmana terkemuka saja yang mampu menembus lingkaaran kekuasaan tersembunyi dari kaum
ini.
Raden
Balencong
Arya
Mliwisgang tidak berniat untuk mengirimkan anak tunggalnya ke
Ibu Kota untuk magang sebagai tamtama pasukan laut. Dia khawatir akan pengaruh buruk dari prgaulan di Ibu Kota.
Dirumah
tangganya yang tak begitu besar, serang
lelaki tua sudah begabung menjadi angauta sejak
lamasekali, beliau adalah paman Aria Mliwisbang dari istri
ampil ayahnya, perempuan dari kasta endah..Ki Watu bukur.
Semasa
muda pernah begarbung dalam pasukan laut Majapahit.
Dengan
berlayar dia ingin melupakan kesedihanya
Pernah paman ini berkeluarga, sejak dia mengabdi kepada
Rakryan ri Hino sebagai juru
pemeliraha rontal catatan ,
dia berbadan bersih dan tulisannya rapi
Penampilan yang mirip
sosok wangsa Brahmana.
Keluarganya
musnah mati tenggelam dikali Brantas , perahu penyeberangan yang mereka tumpangi
terbalik diterjang arus, hanya dia yang
masih selamat..
Paman
Watubukur ikut bergabung dengan
pasukan laut Majapahit, sebagai pemanjat tiang layar yang tak kenal
takut menghadapi segala cuaca, mengggulung
layar dipuncak tiang agung saat badai adalah pekerjaan yan selalu dipercayakan kepadanya
oleh Mpu Pandega, dan dia neghadapi bahaya dengan gembira, seolah ingin petemu anak istrinya yang telah meninggalkannya., seluruh awak kapal memperlakukan dia dengan baik, meskipun dalam
hati mereka menganggap Watubukur gila.
Ki
Watubukur sudah ada di kapal bendera pemimpin armada
Wilwatikta dengan umbul umbul Gulakelapa sejak kapal perkasa bertiang agung tiga itu
diluncurkan di lapangan pembuatan kapal besar di Canggu
tepian landai berlumpur dari kali Bratas. Dia awak kapal yang tidak pernah ikut mabok
mabokan dan pandai membaca rontal kidung
dan kandapat, suaranya tidak keras
tapi berkat oto otot perutnya yang sangat
kuat dan latihan pasuk wetu nafas, suaranya bisa terdengar jauh sampai buritan
tempat jurumudi..
Tiga
kali kapal pemimpin armada berganti
Narotama Pandega, yang terkhir telah mengandaskan kapal
hebat ini di teluk Bangil tanpa bisa diselamatkan lagi karena
terpaan arus dan ombak yang semakin
menancapkan lambungnya ke gosong karang.
Ki
watubukur turn dan bergabung dengan keluarga pekonakannya Arya Mliwisbang.
Tinggal
di bukit rendah tepian bengawan Solo.
Ki
Watubukurlah yng mengajari putra Arya Mliwisbang membaca dn menulis huruf Majapahit
secara bermain main ejak sngat dini,
kemdian mengajarinya berenang dan menyelam, dasar anak cerdas yang
selalu ingin meniru.
Dapat
dimengerti bahwa Ki Watubukur
menyayangi anak yang
dia panggil Encong, lebih
dari orng tua bocah ini.
Saat
memudarnya sinar kerajaan Majapahit dan muculnya
kelompok kolmpok warga pesisir yang
memeluk agama Islam dikalangan para
pedangang berkasta rendah,
Banyak
perahu dagang dan permukiman yang dijarah
oleh kaum bajak dan bahkan para
Arya yang mencari jalan pintas demi mencapai jenjang kemuliaan , yang di Ibu Kota Majapahit bisa “dibeli”
dari kalangan penguasa
dari Istana, dari hampir semua Rakryan yang banyak
jumlahnya dan saling bersaing.
Untungnya,
di Sidayu, dekat muara Bwngawan Solo, datang seorang pengelana Islam dari
tanah Pancir, Pengelana ini
mengajari orang orang muda dan orang dewasa dari masyarakat
kecil Islam Ilmu bertempur
menggunakan tombak pendek yang seluruhnya dari
baja, dengan panjang sedepa
lebih beberapa jengkal atau setinggi
pemakainya, semacam tombak akan tetapi
dari gagang sampai ke mata tombak yang
sangat lebar, selebar hampir lima jari,
semua dari besi baja yang menyatu,
umunya dinamakan talempak .
Ditempat asal ki Pancir, satu
lembah berbatu semua orang harus
mahir memainkan senjata dan alat kerja
ini, nun disana tanahnya sangat gersang dan hawa udaranya dingin menusuk tulang dimusim
dingan dan panas seperti tungku dimusim
panas, panduduk lembah Pansyir menggali gunung cadas
dan batu keras untuk mendapatkan bijih emas dan bijih logam lainnya juga besi
baja, . talempak hanya bisa dimainkan dengan
menggunakan tenaga dalam yang mahir.,
Sebab beratnya bisa
mencapai sepuluh kati dan karena
pendek talempak harus dimainkan dengan cepat. Jurus perubahannya sangat
banyak, semua gerakan pokok ditumpu
oleh kekuatan perut dan pinggang. Inilah raja dari segala senjata untuk pertarungan yang menentukan hidup dan mati.
Diantara
murid yang unggul dari
puluhan tahun yang lalu adalah
Ki Bantal dan Ki Ageng Sedayu. yang sewaktu mudanya
digembleng oleh Ki Pancir di
perbukitan pantai utara antara
Tuban dan Sedayu, yang menjadi pusat
pelatihan sang Pendekar.
Pembela hunian Islam yang masih terlalu lemah.
Ki
Watubukur menemukan Ki Ageng Sedayu dan muridnya secara tidak disengaja dan sangat kebetulan.
Sewaktu
ki Bukur dan Encong cucunya yang berumur
hampir delapan tahun berburu celeng rawa
dimusim kemarau, mereka berdua menyusuri anak sungaai kecil yang mengalir diantara lebatnya
nipah dan kayu api api dengan
perahu tembo, disatu tempat
terbuka hampir dekat
pantai berlumpur di wilayah Manyar,
ada sekelompok orang aneh
yang potongan badannya macam
macam, ada yang brjanggut tinggi besar
ada yang pendek kekar. Yang tidak
berjanggut hampir semuanya anak anak
muda yang telanjang dan badannya mengkilat oleh peringat dan lumpur.. mereka bekerja dengan tekun
mengeduk tanah lumpur yang tiris
tapi belu mengering, membuat parit dan
tanggul..
Yang
menarik perhatian Ki Watubukur adalah
alat dan cara mereka bekerja.
Sosok
tinggi besar dan sosok pendek gempal dan para anak muda semua menggunakan semacam
dayung hanya seluruhnya terbuat dari besi yang
beratnya dia taksir sampai lebih dari tujuh kati, si tinggi besar alatnya lebih
mengerikan besarnya talempak dari besi yang beratnya menurut kerkiraan
Ki Bukur bisa mencapai duabalas kati.
Karena
berat alat itu, waktu ditancapkan ke limpur yang sudah tiris itu bisa menancap
hampir sehasta, dengan kaki yang bertumpu pada
jurus kuda kuda sekenanya, si tinggi besar melemparkan sebongkah demi sebongkah lumpur tiris yang
mengkilat sejauh tiga depa membuat sebaris tanggul dengan rapi, begitu pula si
pendek gempal, mereka berdua seolah olah bertanding., sedang lima anak muda
yang telanjang dan berlkilat kilat
badannya berbuat yang sama, mengikuti
irama tetuanya dengan
kaki kaki mereka mengatur kuda
kuda seperti pesilat, hanya lemparan
mereka tidak jauh , sedepa lebih saja
dan langkahnya ketinggalan beberapa depa dari tetuanya.
Ki Bukur
terhenyak melongo, dayungnya
disisipkan diantara tangkai daun nipah
sehingga peranu tembonya berhenti
seperti kapal lego jangkar., begitu
pula si Encong yang segera mengerti kena apa pengasuhnya
menghentikan perahu ,
dengan
gembira dia berteriak teriak Sambil
bertepuk tangan, mereka terus bekerja, dua tetua itu makin mempercepat
irama kerjanya sedangkan para
pemuda dengan sekuat tenaga, mengikuti sampai lancingan
Ki Bukur yang tebal itu mengering,
jadi hampir seratus jurus pertarungan
beneran.
Dia
pgang tangan cucunya agar tidak berisik sudah terlambat, apaboleh buat.
Ki Watubukur tidak asing dengan pertarungan dan pertempuran didarat maupun
diatas kapal, meskipun tugas nya adalah bertengger ditiang layar dengan senjata keris panjang yang lebih mirip pedang orang Romawi yang diselipkan di belakang
pundak dan tujuh pisau terbang
berat yang tersisip rapi
diselempang kulit lebat menyilang dadanya..
Meskipun Ki Watubukur bukan petarung
tapi berkat ketekunannya berlatih melempar pisau dari Guru seorang Cina di Canggu.
Dia mampu menerbangkan pisaunya
secepat kilat sejauh sepuluh depa dan jarang meleset diluar sasaran sebesar kelapa., berkat otot perut dang otot
pinggangnya yang istimewa, sedang tangannya kanan kiri lentur seperti
tali tiang agung..
Dengan
kepandaiannya melempar pisau itu dia
pernah menyelamatkan nyawa Arya
Pandega sewaktu ada
serangan membokong yang sangat mendadak oleh bajak laut
yang naik memanjat kapal dari perahu lancang yang banyak merubung perahu bendera Majapahit nun di pantai Bengkalis. Ditengah gegap gempita pertempuran , pisau terbangnya dilempar dari
ketinggian meluncur bagai patokan
ular menembus bahu penyerang
berpedang panjang dari arah belakang
Arya Pandega sehingga pedangnya jatuh berdentang
kena kalantaka disamping sang
Pandega. Sejak itu Ki Bukur tidak pernah ditugaskan pindah
ke kapal lain.
Ki
Bukur tahu betul bahwa sosok tinggi besar dan temannya itu bukan
orang sembarangan, mereka pendekar tangguh dengan tenaga dalam yang sangat kuat
Sedangkan pemuda pemuda yang telanjang itupun sudah sangat tangguh tenaga dalamnya.
“Sahaya Ki Watubukur
dengan cucu sahaya secara tidak sengaja melihat andika berlatih silat
tingkat tinggi kisanak, maka
maafkam kami bila cucu saya ini menganggu, gubug kami didesa Bungah tepian bengawan Solo”
Dengan
demikian dia berusaha memberi isyarat bahwa
diapun orang yang tidak asing dengan
penguasa Kerajaan Kajapahit. Dan
tidak diperlakukan dengan sembarangan
oleh orang orang persilatan itu andaikata mereka
dari kumpulan Bhairawa.
Berkata demikian dengan khidmat, sambil
mengunncupkan kedua telapak tangannya
menyembah, dengan suara yang biasa dia lantunkan waktu menembangkan
kandapat, suara yang didukung
oleh tenaga otot perut yang
terlatih..dengan samadhi, masih was
was apakah mungkin ada sosok aliran Bhairawa yang
datang sangat jauh dari sarangnya yang pasti dekat dekat dengan kenikmatan
di kota kota besar.
Si
Tinggi besar dan si Gempal meluncur
mendekat aliran sungai kecil dengan papan luncur yang biasa dipakai oleh orang orang daerah
pantai berlumpur untuk mncari kerang ,tapi
bedanya, pendekar berdua ini mengendarai
papan ini dengan kaki tegak bertumpu di
telapak kakinya bukan dengan lututnya
dan mendayung dengan telapak kaki sebelah dengan cepat., pertanda
ilmu silatnya sudah sangat tinggi.
“
Masya Allah kisanak, kami hanya mencoba mengajari anak anak kami bekerja mebuat tambak ikan ,
anda pasti Ki Watubukur dari
keluarga Arya Mliwisbang
maafkan
kami kisanak apabila anda benar ki Watubukur
dari keluarga Arya Mliwisbang,
kami mengerti wilayah ini adalah kekuasaan
lungguh sang Arya”
“
Duh ki Sanak, saya jadi sangat malu,
pengetahuan andika dengan tepat
menebak keadaan kami sekeluarga sungguh
luar biasa, tanah lungguh Arya Mliwisbang yang berupa rawa rawa
ini merupakan tempat buangan bagi mereka
yang disingkirkan.
Bolehkah
sahaya tahu siapakah andika semua ini ?
“Dari
sikap dan tutur kata suara andika, dapat
kami perkirakan bahwa andika orang yang
terbiasa bergaul dengan kaum yang
berpedidikan , dan kelurga itu satu satunya diwilayah ini adalah
Arya Mliwisbang, andika betah
bertempat tinggal ditempat yang jauh
dari keramaian ini pasti tidak dekat
dengan kaum Bhairawa bagitukah Ki Watubukur. ?”
Begitulah
dengan wajah yang lucu dan tangan mengucupkan sembah sosok yang pendek dan gempal itu berkata sambil tersenum.
Sahaya
adalah Ki Bantal dari Kampung Molana
di Garowisi, sedangkan saudara saya yang
tinggi besar ini Ki Sidayu, dari
Sidayu, kami ini kawula Majapahit yang setia, hanya kami bersanak kelurga ti
tempat terpencil dimana kami dibutuhkan,
Kami
kaum Islam juga menempa dan melatih
keluarga dan sanak kadang kami untuk mempertahankan diri dari ancaman
kaum Bajak dan perampok, juga kaum Bhairawa yang rasa kemanusiaan-nya rendah , seperti andika
lihat sendiri.
“Sahaya
sangat beruntung dapat bertemu dan menyaksikan jati diri andika semua.
Sahaya mohon andika semua jangan berkecil
hati, sahaya dan anak sahaya Arya Mliwisbang akan dengan senang hati berkunjung ke
Garowisi atau Sedayu menemui para pendekar yang berilmu itinggi seperti
andika berdua beserta sanak keluarga
andika.”
Tole,
Balencong, beri sembah kepada Para Pendekar dan mhonlah maaf atas
kelancanganmu, kalau engkau
beruntung mungkini engkau bisa berguru kepada beliau
berdua.”
Balencong
yang masih sangatmuda itu menghdapkan tubuhnya dengan susah payah kepada para
pendekar yang penuh lumpur itu sampil bertumpu pada
lututnya keduatangannya menguncupkan
sembah, oleh karena perahu tembo itu akecil dan posisinya tidak tepat maka menjadi oleng begoyang goyang lucu, Balencong menjadi gopoh
dan menjerit
“Mohon
maaf Dang Hyang Pendekaaar”
sambil berpegang bibir perahu, diiringi tawa para santri telanjang yang sedang berjalan
dilumpur dengan susah payah..
Smua
tertawa tiba tiba termasuk para tetua yang lagi serius,
meskipun tawa itu dipicu oleh alasan msing masing.
Ki
Bantal dan Ki Ageng Sedayu tertawa karena dipanggil Dang Hyang yang
berarti Siluman setengah Dewa, Ki Bukur tertawa karena Arya kecil ini sangat
sombong menyatakan dia sudah pintar mengatur keseimbangan dirinya diatas perahu tembo, apalagi bila diingatkan kakek pengasuhnya itu, sedang para santri
terawa riuh karena memang keadaan
bocah Balencong sangat kocak,
bergoyang goyang akhirnya jatuh hampur tertelungkup sedang permintaan maafnya
dilantunkan dengan suara aneh
bergetar karena terkejut dan takut..
“Selamat
jalan tole.sampai jumpa nanti, “
Ki Bukur melanjutkan mendayung mudik
kali kecil itu sampai matahari
agak condong ke barat perairan yang
penuh nipah dan ada sungai agak
lebar mengalir ke utara, dia
berbelok menghilir sngai itu
karena setelah sore laut mulai
surut, setelah sungai itu keluar dair rawa rawa dan berbelok ke timur
karena terhalang oleh lereng rendah
mereka menambatkan perahu tembo dan
berjalan pulang.
Malam
sebelum keluarga Arya Mliwisbang tidur,
biasa mereka duduk duduk di balai
besar didepan rumah dapur diterngi oleh dilah minjak sederhana, rupanya tinggal Arya Mliwis
dan Ki Watubukur, nampamknya nereka
sedang membicarakan sesuatu persoalan yang serius.
“
Jarot,--- bagitulah Ki Bukur slalu
memanggil Arya Mliwis dengan nama kecilnya,
--- apakah andika
menyadari bahwa didesa desa tepencil sekitar kita , ditempat terpencil
ini sudah lama bermukim orang orang
luar biasa, pendekar berilmu tinggi
dengan
muird-muridnya yang sudah lama
digembleng ilmu pernafasan dan menghimpum
tenaga dalam mereka sungguh luar biasa.”
“
Isun sudah menyadari Lik, hanya
sayangnya isun hanya mendengar kabar saja
dari
anak
buah isun di Garowisi, bahwa sudah hampir lima
tahun sampai sekarang, kaum bajak dari Sampang
dan Arya dari Terung dn Porong sudah jarang
menjarah perkampungan sepanjang
pantai utara sampai ke perbatasan
Tuban, rupanya mereka selalu
terpukul undur. dan jera”
Sahaya hanya pernah menyaksikan dari menera tinjau Garowisi, satu perahu bajak dari Sampang diburu oeh dua kapal konitng
biasa pada suatu malam mendung,
dan anehnya kedua konting kecil
itu mampu menghujani panah api
satu perahu bajak dengan layar
besar yang meenggelembung dengan tiupan angin barat, anehnya panah
panah api itu hampir sepanjang
tombak dan dapat mencapai
limapuluh depa dengan api di
ujungnya menyala nyala sebesar periuk
!”
“Menurut
anak buah saya konting konting kecil
itu dari Sedayu., layar perahu
bajak yang perisi lebih dari
duapuluh orang bersenjata arit besar itu terbakar dan
dengan cepat tersusul oleh konting yang mendekati dari lambung kanan dan
kiri ditengan kepanikan para bajak yang rupanya ada yang tertembus
panah tombak peperapa orang kelihatan melenting dari konting konting yang
rendah melayng lima depa dan selanjutnya entah apa yang terjadi, dengan cepat peruhu bajak itu tenggelam, tidak sempat terbakar, haluannya
nyungsep maasuk ke air ,
dengan cepat konting konting itu
memutar haluan ke utara, meninggalkan para
bajak berenang mengitari perahunya.”
Ki
Bukur menyahut dengan bersemangat,
dan mata yang menatap jauh:
“Isun
tahu panah api sebesat tonbak itu,
senjata ampuh adalan
api orang Cina,
yang ditembakkan dengan semburan
api yang mendorongnya, pernah lancang
tempur dari Pamelayu juga dipersenjatai dengan tombak kayu yang berat, semjata itu hanya dilucurkan dengan tenaga saja, paling jauh hanya lemabelas depa,
itupun
tidak berujung baja., tapi panah api Cina
, siapa yang mampu membuatnya , lagipula
panah api Cina ini sangat sulit
dibidikkian dengan tepat ?”
“
Lik, tombak berapi itu tidak menyemburkan api kebelakang jadi bukan panah
api Cina!” sang Arya menjawab.
“Adalagi
satu kemungkinan, itu adalah panah dari
busur ysng panjangnya dua depa lebih dan
ditarik sambil terlentang dengan kadua kaki menjejak busur dan anak panah ,
sebenarnya tombak ditarik dengan kedua tangan sampil meregangkan otot pinggang dan otot perut, tapi senjata
ampuh tu adealah senjatanya orang Cempa
untuk berburu gajah di darat, harus
sangat berpengalaman untuk bisa membidikkiannya dengan tepat, khusus dari peahu
konting yang digoyang ombak
“Untuk menghimpun tenaga dalam begitu hebat
memerlukan latihan dan cara yang
tepat, menurut keterangan yang saya dengar dari rekan rekanku sewaktu saya ukut berlayar
dengan armada Majapahit, ilmu
pengaturan nafas pasuk wetu dari Ida Rsi
Baradah yang mampu nenghancurkan sasaran yang wadag maupun halus, ilmu ini sudah jarang yang mampu mempelajari
sampai ke puncaknya karena godaannya yang sangat berat.”
Selanjutnya Ki
Bukur seolahlah berkata pada dirinya sendiri:
“
Barang siapa yang berhasil
menghimpun tenaga pasuk wetu di pusar,
dan menyalurkannya , maka kekuatan
ototnya menjadi kekuatan Hyang Brahma pribad
Bahwa
pada tingkat pertama perahu perang MajapahIt yang model perahu Madura juga
dipersenjatai dengan panah gajah itu hampir setahun, sebelum kalantaka dicetak
untuk perlengkapan perahu perang Majapahit oleu Yang Mulia Mpu Mada, diwilaya
timur senjata itu danamakan lela, dai sinilah tecipta kata “merajalela”
Wadah dan isi
Para
lelaki dewasa in berbaris didepan
wantilah guna menyambut tamu,
yang sudah berjalan didampingi
oleh Ki Ageng Sidayu sendiri,
ternyata beliau sudah menyambut
didepan berbang berundag semacam candi bentar.
KI
Ageng mengenakan jubah pendek dan salwar
juga mengenakan sorban ringkas jadi semacan destar orang Jawa Tengah., destar ini
yang membedakan beliau dengan penampilan para Brahmana.
Setelah
Ki Ageng mmperkenalkan para tamu dengan murid muirdnya yang
sudah menjadi pembimbing di
padepokan, merka saling memberi
hormat cara Majapait, dan akhirnya
dipersilahkan duduk di wantilan.seedangkan
bocah Balencong duduk bergerombol dibarisan belakang mereka bersila dan bersalam salaman seperti
layaknya kaum muslim, karena bocah maka
Aria kecil ini tidak canggung dalam bergaul memperkenalkan nama
masing masing.
Setelah menjawab
pertanyaan Ki Ageng mengenai keadaan pelayaran dengan angin sakal dan pancaroba yang menandai musin saat itu, Aria Mliwisbang juga menjelaskan
barang bawaannya yang berupa
batangan batangan besi baja Luwuk yang sekira diperlukan oleh Padepokan Ki
Ageng., sebab menurut erita yng didengar oleh Aria Mliwisbang bahwa di Sidayu
ada Empu
pembuat senjata yang akhli.
Aria
Mliwisbang, dengan khidmat menyampaikan
juga kotak kayu yang berisi batang logam
berat dijelaskannya bahwa logam itu
adalah barang wasiat istrinya yang
diperoleh sebgai hadiah perkawina mereka dari orang tua angkat istrinya yang budiman., Sang Aria menyerahkan kepada Ki Ageng karena
dia merasa tidak mampu untuk menggali dayaguna logan itu dan lebih
cocok dikelola oleh Kageng Sidayu.
Aria
Mliwisbang juga menjelaskan bahwa sepeninggal Ki Ageng dari rumahnya dia merasa ada jalan
melaksanakan cita citanya
mecarikan Guru bagi puteranya
Rahadyan
Baalencong.
Agar
tidak merepotkan padepokan Aria
Mliwisbang juga menyatakan bhwa Ki
Watubukur bakal ikut tingggal di Padepokan perlu mengurusi kebutuhan sehari hari cucunya yang masih bocah.
Sekali
lagi mereka berdua suami istri merangkap telapak tangannya kearah Ki Ageng
Sidayu untuk mohon agar anaknya bisa diterima menjadi murid padepokan Ki
Ageng. Sidayu.
“
Sumbangan andika berupa bahan untuk
membuat senjata baja dari Luwuk sahaya terima Aria Mliwisbang, adapun putra
andika Rahadyan Balencong, meskipun masih terlalu muda dibandingkan
dengan murid seangkatan-nya , bisa
diterima sebagai murid di Padpokan Sidayu ini asal bisa lulus dari ujian
pendadaran sebagai murid seperti yang lain, sebagai andika ketahui
Padepokan Sidayu mengajarkan terutama
Ilmu membela diri yang berarti
pertarungan dan pertempuran
disamping Ilmu yang lain”.
“Adapun Agama Islam
adalah dasar kami menggali
kekuataan diatas kekuatan
wadag”
“Para
sahabat para tamu yang sudah
sahaya anggap anak dan saudara,
legakanlah hati andika sekalian,
penyatuan kita asebagai keluarga
adalah jodoh, takdir yang sudah
digariskan oleh Allah”.
“Ilmu
bela diri sangat diperlukan dalam menghadapi musuh secara pertarungan, sedangkan ilmu
perbintangan, ilmu hitung
aljeber sangat diperlukan
dalam pelayaran, pembuatan
bangunan, jalan dan saluran
air, adapun ilmu peprangan mempelajari
banyak hal yang menyangkut watak wilayah, watak alam, dan watak manusia., semua
dalam lingkup ilmu hitung yang
menyangkut pemuatan dan
penggunaan alat perang ,
ruang , bobot dan waktu, apalagi
ilmu Agama yang kami sendiripun masih belajar mendalaminya., sahaya
jamin Raden Balencong pasti akan
mendapatkan ilmu yang cocok
bagi dia
lewat pengujian kami.”
Pengujian yang dilakukan oleh Ki Ageng Sidayu terhadap
calon murid yang belum di persiapkan oleh guru yang mengirimkan ke Sidayu akan meliputi:
Watak
dasar yang harus cock dengan ilmu ang
akan dipelajari terutama apabila akan mempelajari ilmu mengolah tenaga
dalam untuk bela diri dalam pertarungan
, yaitu tidak mudah marah, mempunyai ingatan yang kuat, punya daya tahan dan tekad .
Daya
ingat otak dan daya imaginasi diperlukan untuk mempelajari ilmu- ilmu
peperangan.dan kenegaraan.
Jadi
menurut pemikiran Ki Ageng Sidayu, dalam
misinya melindungi kaum Muslim dari
penindasan dan perampokan, dia harus mendapat muird yang memenuhi
salah satu dari watak dasar yang diperlukan atau dua-dua watak dasar itu
ada, yang akan bercabang dengan sendirinya
menurut jalan hidup masingmasing murid.
Keperluan mendidik
para pendekar dan menghimpun dalam satu
kekuatan sangatlah mendesak.
Dalam
lingkungan padepokan, ikatan
peersaudaraan antara penghuninya sangatlah erat, jadi meskipun belum Islam, dan tidak bakal dipaksa untuk menjadi
Islam, penghuni baru seperti Ki Watubukur
dan Bocah Balencong tidal bakal mengganggu dan diganggu dalam
menjalankan keperluan pribadi
masing-masing.
Semula Ki Watubukur dan bocah Balencong ditempatkan di satu pondok yang agak jauh
dari kelompok pondok pondok yang
mengitari lapangan depan bangunan masjid , pondok sederhana ini bahan utamanya adalah bambu sedang
atapnya yang tidak begitu tinggi
dari welit atau
daun alang alang yang dijepit dengan bilah bambu, disusun kebawah berlapis lapis dengan jarar hanya empat jari jadi akhirnya atap alang alang itu merupakan atap yang tebal yang menjamin kehangatan waktu malam dan kesejukan waktu siang hari. Dibelakang sudah
tersedia jambangan besar dengan pancuran air dari batang bambu, yang rupanya batang batang bambu itu disambung sambung dari arah atas bukit
khusus ke pondok itu.
Pondok
sederhana ini rupanya dirancang khusus untuk tamu yang belum biasa dengan kehidupan
para santri, letaknya agak jauh dari hunian pondok dan masjid
supaya tidak terganggu watu pagi , waktu
takbir subuh dikumandangkan, tersedia dapur sederhana lengkap dengan periuk gerabah, cerek
tembaga piranti masak air,
Bebapa
cawan tembikar cina dan macam macam bumbu dapur.
Keluarga
Aria Mliwisbang menginap semalam di pondok ini.
Rupanya
sejak pagi kedatangan rombongan kecil
dari Garowisi beserta awak
perahu Madura menjadi hari istimewa bagi
padepokan Ki Ageng Sidayu.
Sayang
sekali, suasana padepokan
yang pada hari kedatangan keluarga
Aria Majapahit itu meskipun
nampak sumringah tapi masih ada
kekurangan-nya bahwa padepokan itu rupanya khusus untuk kaum pria saja karena kekhususannya pada
ilmu jaya kawijayan , ilmu silat tingkat itinggi yang dilandasi Ilmu
Agama Islam.
Pada
hari biasa, semua penghuni padepokan setelah
sholat subuh segera meninggalkan pondok masing masing dan bergabung dengan kelompok masing masing
untuk menjalankan tugas, , kehutan, kehuma,
dan tegalan semua sudah lengkap dengan
alat alat yang diperlukan., hanya mereka yang bertugas memelihara
komplek padepokan saja yang masih
tinggal dan tidak seberapa.
Kali ini lebih banyak murid yang bertugas di
padepokan, jadi hari manpak
istimewa sampai malam tiba.
Kebiasaan
di padepokan ini penghuninyamakan bersama hnnya sekali waktu habis
magrib, sebab merrka makan pagi dan makan siang ditempat kerja masing
masing, sekiara jam sepulu siang, makan bekal nasi timbel dan lauk seadanya yang dipanasi
dibara api , sering olahan ikan laut.
Setelah
penyambutan resmi selesai, para tamu dipersilahkan beristirahat di bangunan pondok untuk beristirahat dan menunggu sampai habis isya.
Menjelang sore setelah matahari condong ke barat orang di padepokan menyebut setelah waktu
asyar, sewaktu Ki Watubukur
menyalakan api untuk merebus air, tiba
tiba datang satu rombongan kecil santri
santri muda usia, membawa nyiru dtutup
daun pisang dan satu ceret
tembaga.,
KI
ageng Sidayu masih dengan pakaian yang
sama mengikuti robongan itu.
Assalaualaikum
warokhmatullahiwabarokatuh !”
Bocah Balencng segera menjawab dengan kata yang sama
sambil tersenyum lwebar.
Sebelu
yang lain sempat membuka mulut.
.Semuaorang
menjadi tertawa riuh.
3. Kunjungan
bab 3
Sebulan
sesudah pertemuan antara Ki Watubukur dengan dengan
kelompok santri dari Sidayu yang dipimpin sendiri oleh Ki Ageng Sidayu
secara kebetulan ditngah rawa
‘waled’
atau sedimentasi lumpur. saat
Ki Ageng Sidayu sedang melatih murid muridnya
mencoba kekuatan dan daya tahan
otot otot pinggang dan otot
perut, sambil melaksanakan percobaan pembuatan tambak dengan membuat tanggul di lahan berlumpur akibat endapan dari sungai yang dinamakan tanah ‘waled’.
Ki
Bantal dan Ki Ageng Sidayu, mereka
adalah saudara seperguaruan, pada masa
mudanya mereka telah bertahun tahun menjadi santri
murid Syekh Pancir, seorang pengelana
Islam yang datang dari tanah
jauh diantara Hindustan dan dan Farsistan, satu lembah berbatu yang dinamakan kembah
Panshir.
Rupanya atas saran para Pimpinan Ulama Islam sepanjang
Pantai Utara pulau Jawa Syekh Pancir, begitulah julukan
yang didapatnya dari penduduk
setempat, yang kemudian nama itu tetap disandangnnya, bermukin
dipinggir pantai di desa nelahan antara
Tuban dan Sidayu, para nelayan di
desa ini sangat ramah, mereka
kebanyakan sudah mengenal tatacara
Islam dan menerma ajaran pokok Islam dari para Penganjur yang sudah bwermukin di desa itu.
Pada
umumnya rakyat nelayan ini sangat sederhana dan
digolongkan dalam kassta yang terendah
yaitu kast Sudra bahkan Pariah karena
sangat tepencil desanya .
rendahnya
derajad mereka dimata masyarakat luas
Majapahit yang Hindu, jarang dirasakan oleh penduduk desa itu, kecuali
kejadian yang tidan mereka senangi yaitu
‘dawuh’
Pamotan ( Sekarang Lamongan) untuk
berbulan bulan bekerja
menyeret kayu jati dari bukit bukit
kapur ke Bengawan Solo saat permulaan
musim hujan, dan “dawuh’ ini
sering terjadi , .disanalah mereka dinista
oleh para tamtama prajurit Majapahit, banyak
diantara keluarga meraka yang jatuh sakit dan sampai mati, mereka dikubur tanpa upacara apapun, karena
tidak seorang kaum, atau pemangku yang ada
d gubug gubug dtengan hutan,
para pengawas yang berkasta
lebih tinggi menyuruh mengubur bangkai secepat
mungkin dan mulai bekerja.
Para penganjur
Islam yag masih muda muda menyertai dengan sukarela bersama para
nelayan untuk hidup di gubug gubug
dihutan yang penuh nyamuk untuk
ikut melaksanakan ‘dawuh’ menyeret
gelondong- gelondong jati ke pingggir
bengawan Solo. Mereka, para penganjur
muda ini bahu membahu dengan rakyat, dan
bisa meyakinkan Narotama Pengawas yang sering kejam dan bodoh, untuk mencari jalan menyarat gelondong lewat lereng yang melandai secara tetap meskipun agak jauh dari
pada jalan yang ditunjuk oleh
Pengawas Narotama yang meskipun
nampaknya kebih mudah karena lereng yang
cukup curam sehingga sekali dorong
gelondong itu meluncur dengan sendirinya. Akan tetapi akhirnya setelah sampai didasar
jurang, penyeretan gelondong
gelondong itu menjadi sangat sulit.
Saran
para santri Penganjur Islam sering diterima.
Orang
orang muda ini
juga menguasai ilmu pengobatan menggunakan dedaunan,
dan
rimpang rimpang ‘temu’ segala rupa yang biasanya hanya dikuasai oleh kasta Brahmana
saja karena dihubungkan dengan upacara dan mantra mantra..
Orang orang muda yang pandai ini tidak mengenal kasta.
Akibatnya dengan senang hati penduduk desa nelayan ini mengikuti
anjuran dan cara hidup orang
Islam, meskipun banyak yang hanya
‘rubuh gedang’ mengikuti imam di
mesjid sederhana tanpa mwengucapkan do.a
sendiri karena mereka adalah mualaf.
Brgitulah
lahan subur untuk berpijak bagi
Syekh Pancir menyebarkan Ilmu lebih lanjut sudah terbentuk di Desa yang
kemudian dinamakan menurut Syekh
yang dihormati itu desa Panciran.
Semenjak
Shekh Pancir bermukin di desa itu, berdatanganlah para
pemuda dari sepanjang pantai pulau Jawa,
bahkan dari pedalaman
tanah Pengging dan Sokawati ,
bahkan dsri Pamalayu dan Luwuk
rupanya mereka dikirim oleh Guru masing masing.
Syekh
Pancir menggembleng pemuda pemuda
ini dalam ilmu bela diri dan ilmu
mengerahkan tenaga dalam untuk
memainkan senjata tombak pendek
yang seluruhnya dari besi baja,
ilmu silat yang dilandasi tenaga
dalam memerlukan murid murid yang
berbakat.
Landasan hidup lahir bathin yang diberikan oleh Agama Islam waktu itu,
mencetak pemuda pemuda yang
bisa mengendalikan hawa nafsu,
yang menjadi landasan utama
dari penghimpunan dan pengerahan
tenaga dalam untuk bertarung., Islam
ajaran Syekh Pancir, saat bertarung adalah
menghhilangkan “marah “. Ini adalah kondisi bathin yang harus sangat
dihindari.
Tenaga
yang luar biasa mengalir ke otot , tulang
dan kulit tetapi berasal
dari sumber lain , dari tubuh yang bukan tubuh, dari
makanan yang bukan makanan,
dari
kemau-an yang bukan kemau-an..
Dalam
pertarungan dan pertempuran, bathin
mempunyai tunggangan, kendaraan
tubuh dan anggauta badan, panca indria
yang luar biasa kuat dan cerdasnya., menangggapi segala kemngkinan, tubuh dan panca indria menyatu,
bersenjata atau tangan dan kaki
bergerak secepat kilat dengan
tenaga yang luar biasa, sedangkan bathin tetap tenang sebagai obor didalam gua-garba,
tenang dan bercahaya..
.Pada
puncak ilmunnya para murid ini
sudah mencapai pengertian yang
hakiki dari Islam yaitu berserah diri. –
inilah pengertian yang masih sulit sekali
sampai berabad abad kemudian,
kerna bagaimana mungkin, pendekar yang
mampu bergerak bagaikan kilat, ratusan jurus dengan gerakan
ringan tepat dan kuat melumpuhkan lawan lawannya kok
saat itu juga bathinnya berserah
diri ?.
Ki
Ageng Sidayu melatih muirid
muridnya untuk mengendalikan “marah” dengan puasa dan
berzikir, melatih daya tahan otot -ototnya dengan latihan badan, mengangkat
batuan untuk bangunan masjid,
berlari dan berenang, melatih keuletan. membangunkan tenaga dalam dengan latihan zikir dan pernafasan, disrtai dengan mrngheningkan cipta, mengenal
kehalusan rasa diri
setiap bagian tubuh dan
memusatkannya di pusar, inilah sumber “tenaga
tambahan” seluruh otot, tulang
dan kulit..
Paitan, kudu laos,
kunir temulawak, cabe puyang adalah minuman jamu yang diwajibkan diminun
bergantian setiap ampat hari
pagi dan sore untuk menjaga
kekuatan seluruh tubuh terhadap
lingkungan dan penyakit., begitu
pula rebusan inggu dan
pinang tua untuk mengusir cacing dari perut harus diminum setiap bulan.
Tidak
heran ketahanan badan dan kekuatan tekad
murid murid santri Ki Ageng Sedayu
sangat mengesankan Ki Watubukur
sewaktu dia menyaksikan bagaimana mereka
membangun tanggul untuk tambak,
menggunakan lempak besi yang
berat hingga hampir seratus jurus..
.
Atas
anjuran Ki Bantal maka Ki Ageng
Sedayu berkunjung ke
rumah Arya Mliwisbang.
Ki
Ageng hanya sendirian, pada musim
hujan seperti saat itu, salwar selutut dan baju jubah pendek dari kain
kasar dengan lengan lebar
yang digulung sampai ke siku Ki
Ageng juga memakai sorban dari kain
coklat tua, hanya itu..
Badannya
yang tinggi besar dan berkumis berewok yang hitam, apalagi matanya yang
bersinar sangat tajam , walupun tidak mencerminkan kekerasan,
itu lah yang mengesankan
penjaga pintu masuk halaman
rumah kediaman Aria
Mliwisbang yang tergenang
curahan hujan lebat sampai mata kaki hampir disemua tempat.
Sambil
beeteduh di gerbang batu kapur
yang beratap alang alang agak lebar
tebal akan tetapi pinggirnya
hanya dipotong sekenanya,
sedangkan pintu kayu dengan
rangka pintu yang besar dan kuat
dari kaju jati hanya terbuka
saja, rupanya penjaga rumah itu tidak pernah
menutup pintu gerbang.
“Tuan,
silahkan beerteduh disini dahulu, apakah
tuan tamu paduka
Aria
Mliwisbang ?
“
Nggih saudara, sahaya
dari Sidayu perlu mampir ingin bertemu dengan tuanmu dan Ki
Watubukur kenalanku.”
“ Mari hamba antar ke
waantilan belakang, kebetulan
beliau derdua masih duduk duduk di bale,
karena pekerjaan membuat lumbung
garam dihentikan karena hujan ini..”
“Sambil
mempersilahkan jalan menempuh hujan penjaga berusaha dengan susah payah kakinya berjingkat kedua tangannya diulur tingi tinggi menutup
atas kepala tamu dengan
caping raksasa “Mari
silahkan” sambil dia berjalan
miring..
“
Mari sahaya sendiri akan memakai caping ini dan andika
paman pakai caping yang satu lagi ,
berjalanlah tunjukkan teempat
beliau .
Mereka
berdua berjalan mengitari wantilan
utama dan menuju ke serambi dibalik wantilan
utama.
“Assalamu’alaikum” Ki
Ageng Sidayu bersalam dari
halaman didepan serambi sambil membuka caping raksasanya agar tuan rumah melihat muka beliau.
“
Duh Dewa ratu” – “Kiranya andika Ki
Ageng Sidayu “
berkata
demikian KI Watubukur dengan
setengah berlari menuju ke
halaman lupa hari masih gerimis besar.
“
Mari, marilah Ki Ageng, sambil
menggandeng tangan kiri Ki Ageng dengan kedua tangannnya mengajak masuk ke serambi
dengan tergopoh gopoh.
Setelah
berteduh di serambi dan menyerahkan caping raksasa kepada pengantarnya Ki
Ageng Sidayu masih berdiri, membiarkan mukanya ditatap oleh Ki Watubukur
tubuhnya dihadapkan kepada sosok yang mendatangi, Aria Mliwisbang sudah berdiri berjalan menuju mereka berdua smbil menekapkan kedua tepak tangannya dibawah pusar, dengan badan setengah membungkuk.
“Inilah beliau, Ki Ageng Sedayu yang isun ceritakan tole, berilah
hormat kepada beliau” ki Bukur juga menyuruh penjaga memanggil Balelcong.
Sambil mnguncupkan tangan didada sebagai sembah, Aria Mliwisbang berkata:
“
Saya merasa terhormat
menerima kunjungan Ki Ageng Sidayu
kerumah saya”
“Masya
Allah Tuan Aria Mliwisbang,,
cerita apa yang dibawa oleh
sahabat baru sahaya, Ki Watubukur sehingga
saya mendapat kehomatan sebesar ini ?”
“
Sahayalah yang datang kemari untuk
menghadap kepada andika Aria”
“Duh
Ki Ageng, janganlah andika begitu sungkan, saya bukan penjabat Majapahit
sahaya
hanya prajurit penjaga menara tinjau di Garowisi. Silahkan duduk dibalai ini
sementara
sahaya menyiapkan tempat yang lebih
tepat di wantilan depan”.
Dengan
serta merta, sudah datang seorang
pelayan membawa pasu berisi air untuk membasuh kaki Ki Ageng
Sidayu, beserta kain tenun gedog yang bersih untuk
mengeringkannya, Ki Ageng duduk dipinggir balai membersihkan kaki
dan mengeringkannya dengan kain dikerjakannya sendiri, yang membuat kikuk pelayan yang bertugas, sebab itulah tugasnya untuk
membasuh kaki tamu yang sangat dihormati oleh keluarga Aria .
Pandangan
paman dan keponakan ini sama sama tajam untuk melihat bahwa berjalan dengan kaki telanjang saat hujan di daaerah berlumpur ini
pastilah kaki dan salwar
seseorang akan kena lumpur dan kotor, ini sebaliknya, salwar Ki Ageng Sidayu
tidak basah dan kakinya sangat bersih
bahkan sebelum dicuci, mereka
berdua saling melirik dengan kagum..
“
kalau andika mengizinkan bolehkah sahaya
bertemu andika disini saja?”
Begitulah
Ki Ageng dengan tenang menyelesaikan
membersihkan kakinya dan mulai duduk besila dibalai dengan takzim.
Balai
balai itu besar dan rendah, ditutup oleh
alas tikar pandan yang dianyam halus dan beersih., rupanya tikar pandan itu meskipun
sangat umum dan tidak mahal adalah
pesanan khusus kepada tukang
anyam tikar.
Sebelun
paman dan keponakan duduk di balai-
balai, mendadak ada suara bocah lelaki
berlari dan bersorak dari samping serambi .
“Haiyaa ada
Dang Hyang Pendekar datang, dimana murid mirid andika yang lucu lucu itu
dang Guru ?
“
Aih Dewa Ratu, jangan sire kurang ajar, beliau tamu
kami yang terhormat, berilah sembah
pada telapak kaki beliau”
Begitulah
K Watubukur segera menyambung dengan setengah
menjerit. sedang ayah bocah itu
Arya Mliwisbang hanya tersipu sipu.
“
Rahadyan Balencong, ada satu muird saya
disini begitulah Allah
mengkehendaki.”
Sambil
tetap bersila Ki Ageng yang tinggi besar itu membiarkan Dyan
Balencong merba kakinya nurut adat Hindu,
sambil bertelekan pada kedua lututnya kedua tangannya dikuncupkan seperti menyembah sampai ke lutut Ki Ageng dan bocah ini meciumnya.
Cara
ini sering dilakukan oleh ibunya yang seorang wanita dari Cina., sewaktu bersemabahyang dihadapan
kayu berukir kecil diruang tidur mereka..
“
Sembahmu isun terima tole, sekarang sire boleh melajutkan permainanmu.”
Ki
Ageng berkata demikian sambil meraba
kepala bocah Balencong, kata itu diucapkan denga tenang berwibawa
sangat berpengaruh kepada meraka
bertiga.
Bocah
Balencong beringsut mundur dan kemudian
berlari balik ke kiri serambi dan
hilang dari padangan mata..
.Ki
Bukur terpana melihat adegan itu,
rupanya orang luar biasa ini mampu
membaca angan angannya yang menurut hemat Ki Bukur
sulit bisa terlaksana, akan tetapi ucapan
itu, sikap itu, satu isyarat
yang sangat nyata., beberapa saat
Ki Bukur seperti terbius..
“Aria
Mliwisbang, datang saya kemari untuk minta maaf karena
kami menggarap sesuatu di tanah wilayah anda tanpa izin
lebih dahulu dan kalau diizinkan kami akan mengajukan rencana kerja
sama membuat tambak ikan ditanah rawa
lungguh andika Aria”
“
Sahaya adalah wiratama laut Majapahit yang miskin Ki
Ageng, pembuatan tambak sangat
memerlukan biaya dan tenaga, bumi lungguh
sahaya adalah rawa yang tidak menghasilkan apa apa kecuali di sedikit sawah
dimana air asin tidak mencapainya., saya sangat senang andika bisa mambimbing
murid murid andika meramaikan wilayah
rawa , yang hanya dihuni oleh
celeng biawak dan buaya., ambilah hasilnya
seberapa murid muird andika mau Ki Ageng!”
.”Pasukan
laut Majapahit semakin lemah dan para wiratama yang masih menguasai perahu perahu perang lebih
suka berbuat mencari keuntungannya
sendiri, berbuat mengganggu rakyat
pantai utara, sama seperti bajak dari Sampang., sahaya juga pernah menyaksikan pada suatu nalam satu perahu bajak diusir dan dibakar layarnya kemudian tenggelam oleh dua perahu konting dari Sidayu, sahaya ingin
bertetangga baik dengan andika
Kiai”
“Andika
bicara seperti seorang
prajurit Aria Mliwisbang,
pernyataan andika memang benar, banyak kejadian perompakan dilaut dan penyerbuan
gerombolan kecil pasukan Majapahit
mengganggu hunian pedagang Islam di wilayah Sidayu, akan tetapi kejadian itu tidak
sering, yang paling mengganggu kami di
pesisir utara adalah kaum bajak yang membajak
pedagang pedagang dari Jepara dan Lasem
yang sering mengunjungi hunian terpencil
dipantai , perdagangan ini sangat dibutuhkan oleh hunian tepencil
dipantai utara, kami akan lawan sekuat
tenaga., sebab mereka telah memeluk
Agama Islam, sedang bajak bajak itu
sebenarnya tidak pilih pilih dalam mencari mangsa, hanya untuk
mencari muka kepada para
Rakryan pedagang di Japan
saja mereka berdalih, seolah olah para
bajak itu melindungi kepentingan gudang
dudang kerajaan dari pedagang liar”
Mereka
bertiga membicarakan hari depan kerajaan Majapahit begitu
bersungguh sungguh sehingga
tidak terasa istri
Aria Mliwisbang telah berdiri
disamping balai balai seraya berdehem kecil, wanita Cina
semampai ini mengenakan busana sehari hari wanita Majapahit,
kain batik sebagai kampuh dan pending perak, akan tetapi untuk bagian atas yang
biasanya telanjang dada, dia
mengenakan semacam baju rompi
tidak berlengan dan lengannya yang putih bersih pas dengan
lengan rompi sutera itu., wanita ini masih mengenakan baju dibalik rompi semacam kebayak
ringkas berleher
semacam kebaha sekarang dan berlengan
panjang, dia mengenakan kerudung yang
longgar dari kain yang sama ,
masih nampak rambutnya di gelung dua dan diikat dengan pita hitam..
“
Tuan-tuan makanan telah tersedia di wantilan utama, mohon
andika semua
mencicipi suguhan kami yang sederhana, disni kami
tidak makan babi dan minum
arak, karena suamiku
sangat menghargai hamba., orang
tua hamba semasa hidupnya beragama Islam.”
Pembicaraan terhenti sejenak, sedangkan Ki Abeng Sidayu, memandang
wanita yang rupanya istri Aria
sendiri, menganggukkan kepala sambil menguncupkan
sembah dan bersalam
“Assalamualaikun wa rakhmatullahi wabarokatuh”
Alahmbulillah, sayaha
dijamu oleh sesama Muslim dirumah
Aria Mliwisbang
Wiratama
Majapahit.” Berkata demikian Kia Ageng sambil tersenyum.
Wa
salamu’alaikum warakhmatullahiwabarokattuh ‘ dengan fasih istri Aria Mliwis yang masih muda itu
menjawab, lantas disambungnya dengan
tebata bata:
“Hamba
masih belum muslim Ki Ageng, sawaktu ditinggal oleh orang tua hamba, hamba
masih anak- anak, selanjutnya
hamba ikut keluarga pedagang yang budiman di Cangu”
“
Busana ini hamba kenakan sebisanya untuk menghormati andika sebagai orang Islam
Ki Ageng Sidayu ,
sehari hari hamba berbusan
seperti wanita Majapahit, tanpa baju ringkas dan kerudung ini”
“
Allah meberi berkah kepada orang yang
berusaha melakukan kabaikan, sahaya sangat bersyukur bisa bertemu dengan keluaga
andika Aria Mliwisbang”.
Ki
Watubukuur sedikit membungkuk kearah Ki
Ageng Sidayu, mundur dari duduk bersilanya , berjalan menuju ke
pintu yang menghubngkan serambi belakang
dengan wantilan utama di depan,
membukanya dan tetap berdiri disamping pintu yang sudah terbuka lebar,
menunggu nyonya rumah membimbing tamunya
beserta Aria Mliwisbang
Lantai
wantilan utama dari batu kapur yang
luas dua lembar tikar pandan halus sudah dihamparkan ditengan
wabtilan utama, dengan tiang sokogugu empat , didukung oleh empat umpak dari batu yang sama , belandar balok balok
kayu jati yang disusun layaknya
pandapa yang umum di Kota Raja,
hanya pengerjaannya agak kasar,
ada semacam rak untuk tempat
payung tanda jabatan dan sederet tombak upacara
dari besi dan trisula, lambang tentara laut Majakahit. Menempel pada keempat sokoguru pada ketinggian sejengkal diatas kepala orang berdiri ada empat
balencong munyak jarak dari kuningan ang digosok mengkilat.
Hidangan
yang disuguhkan adalah sayur kangkung putih
yang dipetik hanya ujngnya yaang lembut saja dimasak secara orang Cina dengan sedikit kuah dan minyak kacang, ikan
kakap dikukus dengan jahe muda,
selanjutnya potongan daging ayam muda dengan udang besar digoreng beserta sambal terasi.,nasi putih masih panas ditempatkan dalam
ceting besar anyaman
bambu halus dan entong pengambil nasi dari kayu sawo.
Mangkok
berisi air di unjukkan
oleh istri Aria
Mliwis dengan kedua tangan untuk
membasuh tangan Ki Ageng, sebagai penghomatan, dan pengakuan
terhadap orang tua yang dihormati secara
tulus dilambangkan oleh nyonya rumah yang cerdik itu dengan
menyodorkan mangkok itu juga kepada suaminya untuk mencuci tangan dengan air
bekas Ki Ageng mencuci tangan yang diterima oleh suaminya
dengan sangat beerterima kasih dalam hati atas kecerdasan istrinya..
Sedangkan
pelayan satu satunya gadis tanggung melayani Ki Watubukur dengan mangkok lain.
Ki
Agrng Sidayu hanya duduk bersila dengan santai
sambil tersenyun- senyum.
Setelah
Ki Watubukur mempersilahkan dengan hormat kedapa Ki Ageng Sidayu untuk
mulai mengabil hidangan, beliau menengok kekananan kekiri tersenym
dan bertanya:
“Lha
mana tole Balencong , Ki Bukur
sahabatku, tolong panggilkan cucumu itu untuk menemani
sahaya makan, di pondok sahaya hampir tidak ada bocah,
semua pemuda dan orang orang tua”
berkata sambil tertawa sehingga giginya yang putih nampak disela
sela lumisnya yang lebat, dengan demikian segala kekakuan melumer cair.
Ki Bukur memberi
isyarat kepada genduk pelayan
untuk memanggil Dyan Balencong.
Bocah
Balencong datang rambutnya sudah resisir rapi dengan gelung keci diatas
kepalanya dan diikat dengan pita merah, dia juga telah berganti pakaian dengan salwar
dibawah lutut da baju ringkas
berlengan lebar dibawah siku, semua terbuat
dari kain tenun gedog yang kasar
dan berwarna kapas aslinya putih
kecoklatan dengan jahitan yang
rapi., bocah ini manpak bersih dan badannya kokoh.
Tangannya
dirangkap didepan dada meberi sembah
kepada Ki Ageng Sidayu,
Dia
hendak mengatakan sesuatu akan
tetapi mendadak tertahan, tapi matanya sudah bicara , dan bocah itu
hanya tersenum lebar saja.
Ki Ageng juga tersenyum lebar, sambil berkata:
“Iya.....iya, untuk selanjutnya panggi isun kakek
saja, mari mendekatlah ini
sire saya ambilkan bagian ikan kesukaanmu”. Sambil Ki Ageng
menyodorkan piring tembikar cina
berisi kepala ikan kakap kukus
dengan sebagian daging dibelakang
kepala, ......”biar biyungmu
mengambilkan lainnya.”
Ki Bukur
menyaksikan adegan itu hanya tersenyum dan memejamkan matanya sasaat agak lebih lama,
dalam hatinya dia berkata, semoga isyarat yang diberikan oleh orang yang
“winangwong ing Jawata “ ini menjadi kenyataan, besar sekali peruntunganmu tole.
Dengan
luwes dan tepat
Ki Ageng mengambik makanan
seperlunya mencedok kuah denga
irus irus kecil yang sudah disediakan
mempersilahkan yang lain segera
mulai dengan gembira..
Nyonya
rumah bersimpuh agak kebelakng tempat
suaminya duduk, mengambilkan nasi
dan kuah sayur dari nangkuk mangkuk
besar yang disodorkan suaminya kesamping
badannya, goreng udang dan ayam untuk
anaknya yang duduk bersila di sebelahnya semua sudah menikmati hidangannya sedangkan
dia tidak ikut makan hanya
mengawasi dengan puas pemandangan
didepan matanya.
Ayah
dan Ibunya adalah pesilat yang lumayan tangguh, sejak bayi
dia ikut ayah ibnya merantau
didaratan Cina beserta pemuda pemuda tanggung asuhan ayahnya.
Di
Utara. Disana, tuan tanah dn
Penguasa menjadi penindas rakyat, gurunya tebunuh saat bertempur matian matian melawan kepungan pesukan
Kerajaan Monggol terhadap rumah peerguruannya, sesudah
itu susul menyusul terjadi perubahan besar dari kehidupan bocah perempuan usia lima tahun ini, dari kehidupan tenang sebagai pengawal
barang dagangan antar
provinsi, menjadi penghidupan perantauan yang dicari cari oleh
Pemerintah Mongol, sampai bersilang jalan denggan suku Uighur yang
Islam dan Ayah Ibunya ikut memeluk
Agama Islam meskipun mereka orang Han.
Sempat
memperoleh pelajaran dasar silat dari
Ayah Ibunya dan Kakek angkatnya orang
Uighur, sampai umur sepulu tahun harus
melarikan diri lagi karena Bangsa
Uighur melawaan dan kalah
terhadap tentara Mongol.
Ayah
Ibunya beserta dua anak asuhnya ikut berlayar dengan jung ke selatan yang
jauh dengan awak kapal orang Han dan Mongol bergama Islam.
Jung
mereka dihantam gelombang dan badai di laut
yang dangkal di barat tanjung Awar
Awar Dekat Tuban,
jung yang sudah berlayar satu
bulan dengan selamat menyeberangi
selebar laut Kuning dan
Selat Karimata dengan taifun yang dahsyat , ternyata hancur dibanting
ke gosong karang oleh ombak
bersabung di laut dangkal Utara pulau
Jawa., malang tak bisa ditolak ,
suami-istri pesilat perantauan dari daratan
Cina dan kedua murid
asuhannya hilang ditelan ombak,
sedangkan putri mereka, oleh mu’jizat Tuhan
terdampar di pantai Jenu dan ditolong oleh para nelayan . diserahkan kepada keluarga pedagang Cina dari Canggu.
Kebiasaan
bangsa Uighur yang masih melekat pada
sifat gadis yatim piatu asuhan pedagang Cina dermawan
ini, menjadikannya gadis Han
ini yang lain dari biasanya
, dia
berwatak bebas, dan itu
dimengerti oleh oleh orang tua asuhnya yang bangsa Han
Sifat
itulah mempertemukannya dengan Wiratama
laut Majapahit nun di bandar Japan dan diperistri
pada usia enambelas tahun.. tanpa harta
bawaan.
Orang
tua asuh gadis yatim piatu ini merasa
bersyukur, karena dengan perawakan dan tulangnya yang
tinggi dan kuat , meskipun mukanya lonjong tapi tidak cantik menurut orang
Han, apalagi tanpa harta
bawaan, gadis seperti ini sulit
mendapat jodoh dikalangan orang Han, jadi selirpun
kurang diminati.
Ada
saling mengerti yang dalam antara
Ki Watubukur dengan menantu
keponakannya, mungkin mereka beernasib
sama , keluraganya musnah oleh kecelakaan
pelayaran. Kasih sayang nereka berdua ditumpahkan ke bocah Balencong..
Setelah hidangan minum kahwa hangat
dengan gula kelapa, Ki
Ageng Sidayu membersilahkan Ki Watubukur dan Aria Mliwisbang
datang ke Sidayu , dan menyatakan bahwa tanda persahabatan dengan
Aria Mliwisbang akan dipateri
dengan membuat tambak di
selatan ditanah waled yang
asin, karena menurut Ki Ageng Sidayu
di pantai Panciran setiap musim
ada banyak sekali bibit ikan yang
konon di pantai pantai wilayan
Campa bisa dipelihara di tambak air
payau dn cepat sekali menjadi
besar, ini bisa merupakan penghasilan tambahan petani dan melayan kapan ada
angin badai atau kekeringan, asal bukan banjir besar saja.
Malah Ki
Ageng Sidayu menambahi bahwa
bagi kaum Islam segala ilmu itu
untuk diamalkan, artinya ya digunakan
untuk kebaikan dan juga diajarkan
untuk kebaikan,
bukan
dengan pamrih keuntungan pribadi tapi untuk bebrayan agung.
Masih
banyak yang ditanyakan oleh Aria Mliwisbang
, terutama tentang perkembangan
wilayah pantai utara ,
mata hari sudah rembang kebarat.
Hujan
sudah lama reda, Ki Ageng minta kendi besar, sedang nyonya rumah mengerti
untuk apa air kendi itu, diperintahnya genduk pelayan mengambik kendi
pratola di ruang gandok kulon, setelah dia terima biang Mliwis
mempersilahkan Ki Ageng mengambil air wudhlu sambil dpancurkannya air itu ke teritis wantilan utama, semua berjalan dengan sendirinya seolah olah lakon itu sudah biasa dilakukan sehari hari, yang pada
kenyataannya, bahkan Ki Bukur saja tidak mengerti apa maksudnya.
Genduk
pelayan sudah mebawa kain tilam sulaman yang
ada di bawah kayu sejengkal berukir huruf cina, lalu sambil berjenket kain itu
dirapikan di tikar wantilan dan mempersilahkan
Ki Ageng sambil menbungkuk. Kearaah Ki
Ageng .beliau berdiri menghadap ke barat dan mulai sholat
asyar. dan kain tilam sulaman itu untuk
melandasi dahinya ketika sujud.
Semua sudah beres, akirnya Ki Ageng Sidayu berpamitan untuk pulang
ke Sedayu.
Mereka
mohon Ki ageng Sidayu untuk menginap supaya tidak kemalaman di jalan, akan
tetapi dengan halus namun tegas
permintaan itu ditolaknya, Ki
Ageng mengelak bahwa masih
ada muridnya yang akan
dikunjunginya di sekitar
penyeberangan Bengawan, mumpung
hari masih siang.
Merka
semua mengantar Ki Ageng sampai ke pintu
gerbang, Ki Ageng Sidayu minta diri sekalilagi dan berjalan dengan santai sampai kira kira limauluh langkah, mendadak bocah Balencong medongak keatas menujuk nunjuk sambil beteriak:
“Burung besar ......burung besar!!”
Semua pengantar dari rumah Aria
Mliwisbang mendungak keatas, benar saja ada burung elang yang tidak
biasa besarnya melayang agak rendah, kemudian meninggi sampai dibalik pohon kepuh,
mereka kembali melihat kejurusan Ki
Ageng Sidayu berjalan dijalan lurus yang serupa tanggul rendah itu,
akan tetapi beliau sudah tidak nampak
lagi.
Semua
heran dan bertanya tanya, kemana
beliau itu, masa secepat itu orang berjalan sampai sejauh pandangan orang ?
Bahkan berlari sekencang
kencangnya-pun, dijalan yang lurus itu masih akan nampak. !
Mereka
kembali ke serambi belakang wantilan utama masing masing dengan pikirannya
sendiri, hanya bocah Balencong yang
bicara keras , bahwa kakek
Guru tebang .
Bertiga
mereka duduk di balai balai rendah di serambi belakang, bocah Balencong berbelok
mengagumi kambing gibas yang
dituntun pembantu Aria masuk ke kandangnya dibalakang rumah dapur.
“ Hari ini isun
menyaksikan kesaktian dua
ajian yang dimiliki oleh tokoh tokoh sakti, para satrya penandita yaitu ajian “panglemunan” dan
“ajian sepi angin “
Mungkin
sekarang ini brliau sudah smpai di Sidayu !”
Yang
pertama menciptakan burung elang besar
untuk mengalihkan perhaitan kita yang
kedua bergerak secepat angin ke suatu tempat yang jauh, kepandaian itu memang ada.
Istri Aria
Mliwias menimpali
“Dinegara asalku bapa,
banyak orang berilmu tinggi,
tenaga dalam dan ilmu meringankan
tubuh sehingga bisa melompat seperti terbang,
tapi yang seperti ini baru sekali ini hamba menyaksikan.
“Dari saat hamba mendengar ceritera bocah Balencong tentang pertemuan andika dengan Ki Ageng Sidayu dirawa rawa, hamba merasa ingin sekali menitipkan anak hamba yang satu ini
kepada beliau untuk berguru,
hamba merasa itu adalah jodohnya.”
Aria menimpali perkataan istrinya:
“satu
pandangan yang jauh istriku, tapi apakah Balencong tidak terlalu kecil, dia baru
lepas tujuh tahun dan masih belajar dari Paman Watubukur untuk membaca
dan menulis”
“
Anakmu memang cerdas, isun mengajar dia membaca sejak kecil dengan potongan gerabah yang isun tulis dengan huruf dan
“sandangan”nya, ternyata dengan
cepat dia mengenal ciri masing masing
bunyi huruf dan menyusun-nya menjadi
kata yang beraneka macam sambil bermai main,
aku tidak hanya memuji, kenyataanya dia sekarang sudah mulai membaca
rontal kandapat dan selalu bertanya arti
setiap kata sampai isun repot
dibuatnya.”
“Suamiku, hamba sangat mencintai anak hamba , andika
telah menghadiahi hamba dengan
kebahagiaan yang tidak bisa diukur
dengan adanya Balencong, tapi orang
bijak berkata bahwa lebih baik menempa
besi selagi membara, niatmu dalam hati , dan niat
Bapa Watubukur dan niat hamba untuk
memberi kesempatan seluas luasnya kepada anak hamba dalam
menyempurnakan dirinya,
mengatakan bahwa hamba harus
sabar dan mengalah, ke Sidayu tidak
jauh , mohonlah kepada beliau secepat
mungkin, bila hamba terlalu rindu kepada
Balencong hamba bisa datang kepadepokan
Ki Ageng Sidayu, sekaligus mohon ajaran
pengetahuan. agama”
“Orang
tua angkatku suku Uighur di negeri Cina
beragama Islam dan tidak membedakan
kasta dan memandang rendah perempuan dalam menimba
ilmu.”
.
“Baiklah
Mei Lan, siapkanlah bekal pakaian secukupnya untuk Balencong, aku akan ke Gresik, menmui sahabatku pedagang untuk meminjam, maksudku berhutang
sepuluh batang baja olahan dari Luwuk sebagai hadiah kepada padepokan Ki
Ageng Sidayu. Saya dengar di Sidayu ada Empu yang pandai membuat senjata, mungkin bisa
membuat talempak dari baja Luwuk setiap batangnya bahan
ini sebarat lemabelas kati.”
“Suamiku, hamba andika nikahi dengan
cara Ksatria manurut
adat Hindu, akan tetapi sewaktu
andika menemui orang tua angkat hamba yang
budiman sesudah andika
melarikan hamba, berkata begitu dengan mukanya berubah bersemu dadu, beliau menyerahkan satu kotak kayu kecil tapi berat kepada hamba, yang isinya
menurut beliau adalah baja pilihan untuk dijadikan pedang yang hebat, beliau pedagang beras yang kaya, kotak itu
pemberian sesama perantauan dari Cina
yang terlantar di pelabuhan Canggu , ternyata dia adalah awak kapal
jung karena sakit berat, dan
ditinggalkan oleh sang nakhoda., oarang
tua angkat hamba merawat orang yang malang itu, dari rasa terima kasihnya selama dirawat
berbulan bulan, dan dia sudah tidak punya apa-apa kecuali kotak sejengkal
itu yang dihadiahkan kepada orang tua
angkat hamba.
Orang
tua angkat hamba yang budiman berkata
bahwa isi kotak itu tidak berjodoh
dengan beliau, mungkin berjodoh dengan hamba karena hamba
diperistri Narotama Majapahit.
Bawalah
kotak itu dan persembahkan kepada Ki Ageng
Sidayu, mungkin beliau mengerti
kegunaan baja itu”.
.
Kotak
kayu dari papan dengan sambungan disetiap pojoknya seperti gigi saling mengigit nampak
tua dan kokoh,
berisi sebatang logam abu abu
kebiru-biruan,
Beratnya hampir empat kati., yang jelas
bukan bahan baja biasa yang
digunakan di Nusantara. ini.
.
Sebulan
kemudian seluruh keluarga akhirnya
berangkat ke Sidayu dengan perahu yang tidak begitu besar. Mereka akan
berklayar menyusur pantai menggunakan
angin para nelayan, karena angin pncaroba sudah mulai
sering datang dan angin barat sudah melemah.
Selang
dua hari, perahu mancung
Madura itu mendarat di
pantai Sidayu yang berbatu
rejeng, sewakatu rombongan itu
menurunkan muatan berupa bekal dan
batang batang baja luwuk, disana sudah
ada beberapa pemuda tanggung bersalwar
dan telanjang dada, mengenakan kopiah bundar dari kain,
Mereka
menyapa:: “ Hai ini dia Gus
Balencong saatria dari Majapahit ! ‘’
Bocah ini
menegakkan dadanya memandang
pemuda yang menegurnya,
Dengan
mata bundar heran, akhirnya
Balencong tertawa terbahak- bahak
Bocah
ini ingat bahwa rombongan ini
adalah pemuda yang berkerja dengan hebatnya dirawa tempo hari
watu itu mereka semua telanjang.
Mereka membantu mengangkut semua bawaan
dengan wajar sambil tertawa tawa.
Aria
Mliwisbang, Ki Watubukur, brpakaian cara prajurit Majapahit, meskipin tanpa senjata,
Istri Aria Mliwis berpakaian ringkas
seperti pesilat mengenakan kerudung longgar, begitu pula bocah Balencong, berpakaian ringkas dari kain gedog berwarna
tua, memakai ceripu dari kulit
kerbau seperti teompah orng Romawi.
Semua
muatan sudah diturnkan termasuk batang –barang besi baja
dari Luwuk
Padepokan Ki Ageng Sidayu terletak diatas bukit rendah
dan rata, penuh ditumbuhi pepohonan
terutama pohon sawo manila dan sawo kecik
selebihnya merupakan hutan kecil kayu mentaos diselingi
rumpn rumpun bambu ori yang seolah
olah memagari kelompok rumah rumah
hunian yang anehnya berukuran serba
kecil
Kecuali
satu bangunan masjid yang merupakan
pendopo bertiang lima, satu tiang besar ada titengah ruangan
dikelilingi oleh empat sokoguru
sedang tembok batu kapur yang dipotong disusun
sekeliling sokoguru empat selaigus untuk penyangga kaso yang disusun seperti rangka payung., beratap genteng dari gerabah
yang berukuran besar mewarna
kemerahan.
Para
tamu diterima di wantilan disampng
masjid, wantilan ini beratap rendah
dari alang alang yang disusun rapi dan
tebal, penggir teritisnya dipotong
sangat rapi.
Ada kira
kira sepuluh pria rata-ata
berbadan tegap semua perambut cepak dan
mengenakan kopiah atau
destar ringkas, mengenakan salwar dibawah lutut, baju
yang serupa dengan baju judoka
dibuat dari kain
kasar, sedangkan baju itu dibalut
rapi dipinggang dengan kain sarung dari tenun lurik atau batik*). Rombongan
tamu dan penjemput telah melewati jalan yang naik, berjalan didampingi oleh Ki
Ageng Sidayu sendiri, ternyata baliau sudah menyambut didepan berbang
berundag semacam candi bentar.
Ki
Ageng mengenakan jubah pendek dan salwar
juga mengenakan sorban ringkas
jadi semacan destar orang Jawa Tengah.,
destar ini yang membedakan beliau
dengan penampilan para Brahmana.
6 Wadah
dan isi
PERGGURUAN
SILAT DIDASARI AGAMA ISLAM DI SEDAYU
Rombongan
tamu dan penjemput telah melewati jalan yang naik, berjalan didampingi oleh Ki
Ageng Sidayu sendiri, ternyata baliau sudah menyambut didepan berbang
berundag semacam candi bentar.
Ki
Ageng mengenakan jubah pendek dan salwar
juga mengenakan sorban ringkas
jadi semacan destar orang Jawa Tengah.,
destar ini yang membedakan beliau
dengan penampilan para Brahmana.
Para lelaki dewasa in berbaris didepan wantilah guna menyambut tamu memperkenalkan
para tamu dengan murid muridnya
yang sudah menjadi pembimbing di
padepokan, merka saling memberi
hormat cara Majapait, dan akhirnya dipersilahkan
duduk di wantilan.seedangkan bocah Balencong duduk bergerombol dibarisan belakang mereka bersila dan bersalam salaman seperti
layaknya kaum muslim, karena bocah maka
Aria kecil ini tidak canggung dalam bergaul memperkenalkan nama
masing masing.
Setelah menjawab
pertanyaan Ki Ageng mengenai keadaan
pelayaran dengan angin sakal dan pancaroba yang menandai musin saat itu, Aria Mliwisbang juga menjelaskan
barang bawaannya yang berupa
batangan batangan besi baja Luwuk yang sekira diperlukan oleh Padepokan Ki
Ageng., sebab menurut erita yng didengar oleh Aria Mliwisbang bahwa di Sidayu
ada Empu
pembuat senjata yang akhli.
Aria
Mliwisbang, dengan khidmat menyampaikan
juga kotak kayu yang berisi batang logam
berat dijelaskannya bahwa logam itu
adalah barang wasiat istrinya yang diperoleh
sebgai hadiah perkawinan mereka dari orang tua angkat istrinya yang budiman., Sang Aria
menyerahkan kepada Ki Ageng
karena dia merasa tidak mampu untuk
menggali dayaguna logan itu dan lebih cocok
dikelola oleh Kageng Sidayu.
Aria
Mliwisbang juga menjelaskan bahwa sepeninggal Ki Ageng dari rumahnya dia merasa ada jalan
melaksanakan cita citanya mecarikan Guru bagi puteranya
Rahadyan
Baalencong.
Agar
tidak merepotkan padepokan Aria Mliwisbang
juga menyatakan bhwa Ki Watubukur bakal ikut tingggal di Padepokan perlu mengurusi kebutuhan sehari hari cucunya yang masih bocah.
Sekali
lagi mereka berdua suami istri merangkap telapak tangannya kearah Ki Ageng
Sidayu untuk mohon agar anaknya
bisa diterima menjadi murid padepokan Ki
Ageng. Sidayu.
“
Sumbangan andika berupa bahan untuk
membuat senjata baja dari Luwuk sahaya terima Aria Mliwisbang, adapun putra
andika Rahadyan Balencong, meskipun masih terlalu muda dibandingkan dengan murid seangkatan-nya , bisa diterima sebagai
murid di Padpokan Sidayu ini asal bisa lulus dari ujian
pendadaran sebagai murid seperti yang lain, sebagai andika ketahui
Padepokan Sidayu mengajarkan terutama
Ilmu membela diri yang berarti
pertarungan dan pertempuran
disamping Ilmu yang lain”.
“Adapun Agama Islam
adalah dasar kami menggali
kekuataan diatas kekuatan
wadag”
“Para
sahabat para tamu yang sudah
sahaya anggap anak dan saudara,
legakanlah hati andika sekalian,
penyatuan kita asebagai keluarga
adalah jodoh, takdir yang sudah
digariskan oleh Allah”.
“Ilmu
bela diri sangat diperlukan dalam menghadapi musuh secara pertarungan, sedangkan ilmu
perbintangan, ilmu hitung
aljeber sangat diperlukan
dalam pelayaran, pembuatan
bangunan, jalan dan saluran
air, adapun ilmu peperangan mempelajari
banyak hal yang menyangkut watak wilayah, watak alam, dan watak manusia., semua dalam lingkup ilmu hitung yang
menyangkut pemuatan dan
penggunaan alat perang , ruang
, bobot dan waktu, apalagi ilmu Agama yang kami sendiripun masih belajar mendalaminya., sahaya
jamin Raden Balencong pasti akan
mendapatkan ilmu yang cocok bagi dia
lewat pengujian kami.”
Pengujian
yang dilakukan oleh Ki Ageng Sidayu
terhadap calon murid yang belum di persiapkan oleh guru yang mengirimkan ke Sidayu akan meliputi:
Watak
dasar yang harus cock dengan ilmu ang
akan dipelajari terutama apabila akan mempelajari ilmu mengolah tenaga dalam untuk bela diri dalam pertarungan , yaitu tidak mudah marah, mempunyai ingatan yang kuat, punya daya tahan dan tekad .
Daya
ingat otak dan daya imaginasi diperlukan untuk mempelajari ilmu- ilmu peperangan.dan
kenegaraan.
Jadi
menurut pemikiran Ki Ageng Sidayu, dalam
misinya melindungi kaum Muslim dari
penindasan dan perampokan, dia harus mendapat muird yang memenuhi
salah satu dari watak dasar yang diperlukan atau dua-dua watak dasar itu
ada, yang akan bercabang dengan sendirinya
menurut jalan hidup masingmasing murid.
Keperluan mendidik
para pendekar dan menghimpun dalam satu
kekuatan sangatlah mendesak.
Dalam
lingkungan padepokan, ikatan peersaudaraan antara
penghuninya sangatlah erat, jadi
meskipun belum Islam, dan tidak bakal
dipaksa untuk menjadi Islam, penghuni baru
seperti Ki Watubukur dan Bocah
Balencong tidal bakal mengganggu dan
diganggu dalam menjalankan
keperluan pribadi masing-masing.
Semula Ki Watubukur dan bocah Balencong ditempatkan di satu pondok yang agak jauh
dari kelompok pondok pondok yang
mengitari lapangan depan bangunan masjid , pondok sederhana ini bahan utamanya adalah bambu sedang
atapnya yang tidak begitu tinggi
dari welit atau
daun alang alang yang dijepit dengan bilah bambu, disusun kebawah berlapis lapis dengan jarar hanya empat jari jadi akhirnya atap alang alang itu merupakan atap yang tebal yang menjamin kehangatan waktu malam dan kesejukan waktu siang hari. Dibelakang sudah
tersedia jambangan besar dengan pancuran air dari batang bambu, yang rupanya batang batang bambu
itu disambung sambung dari arah atas bukit khusus ke pondok itu.
Pondok
sederhana ini rupanya dirancang khusus untuk tamu yang belum biasa dengan kehidupan
para santri, letaknya agak jauh dari hunian pondok dan masjid
supaya tidak terganggu waktu pagi ,
waktu takbir subuh dikumandangkan, tersedia dapur sederhana lengkap dengan periuk gerabah, cerek tembaga
piranti masak air,
Bebapa
cawan tembikar cina dan macam macam bumbu dapur.
Keluarga
Aria Mliwisbang menginap semalam di pondok ini.
Rupanya
sejak pagi kedatangan rombongan kecil dari Garowisi beserta awak perahu Madura menjadi hari istimewa bagi
padepokan Ki Ageng Sidayu.
Sayang
sekali, suasana padepokan
yang pada hari kedatangan keluarga
Aria Majapahit itu meskipun
nampak sumringah tapi masih ada
kekurangan-nya bahwa padepokan itu rupanya khusus untuk kaum pria saja karena kekhususannya pada
ilmu jaya kawijayan , ilmu silat tingkat itinggi yang dilandasi Ilmu
Agama Islam.
Pada
hari biasa, semua penghuni padepokan
setelah sholat subuh segera
meninggalkan pondok masing masing
dan bergabung dengan kelompok masing
masing untuk menjalankan tugas, , kehutan, kehuma, dan tegalan semua sudah lengkap dengan alat alat yang diperlukan., hanya mereka yang
bertugas memelihara komplek
padepokan saja yang masih tinggal
dan tidak seberapa.
Kali ini lebih banyak murid yang bertugas di
padepokan, jadi hari manpak istimewa
sampai malam tiba.
Kebiasaan
di padepokan ini penghuninyamakan bersama hnnya sekali waktu habis
magrib, sebab mereka makan pagi dan makan siang ditempat kerja masing
masing, sekiara jam sepulu siang, makan bekal nasi timbel dan lauk seadanya yang dipanasi
dibara api , sering olahan ikan laut.
Setelah
penyambutan resmi selesai, para tamu dipersilahkan beristirahat di bangunan pondok untuk beristirahat dan menunggu sampai habis
isya. Sore setelah matahari condong ke barat orang di padepokan menyebut setelah waktu asyar,
sewaktu Ki Watubukur menyalakan api untuk merebus air, tiba tiba datang satu rombongan kecil santri santri muda usia, membawa nyiru dtutup daun pisang dan satu ceret tembaga.,
KI
ageng Sidayu masih dengan pakaian yang
sama mengikuti robongan itu.
Assalaualaikum
warokhmatullahiwabarokatuh !”
Bocah Balencng segera menjawab dengan kata yang
sama sambil tersenyum lebar.
Sebelum
yang lain sempat membuka mulut.
.Semuaorang
menjadi tertawa riuh.
Tenaga linuwih.
Ki
Watubukur menerima pencerahan dari Pendekar Bukit Paciran
Entah sejak kapan
manusia yang dikodratkan menjadadi
pemelihara dan pemburu sekaligus,
yang nyatanya tidak mempunyai kelebihan
apapun secara badaniah terhadap
buruannya ataupun kelebihan
apapun terhadap hama tamanannya,
ternyata sampai mampu untuk hidup dan berkembang memenuhi muka bumi
dengan kedududkan yang sangat menonjol
dibandingkan dengan makluk ciptaan Allah yang lain., sekalipun dibandingkan
dengan para Yaksa dan para Dewa, Jin dan Malaikat sekalipun.
Kelebihan
manusia ternyata dia bisa berfikir dan kemudian bersabar.
Setiap
benih tumbuhan selalu segera menggunakan daya hidupnya untuk segera
tumbuh kapan saja waktu suasana
mendorongnya, begitu hujan, satu
biji terendam air dan tumbuhlah dia., begitu juga serangga pemakan tumbuhan, juga dari telur
sebangsanya. Bagitu mendapatkan tumbuhan muda tumbuh menggapai langit,
bertelurlah dia di ujung pucuknya yang masih muda, dengan harapan mendapatkan
makanan bagi ulat ulat yang
jumlahnya sangat banyak,
maka upaya biji tumbuhan itu juga bisa gagal karena
tenaganya habis. Disisi lain jumlah biji yang bereaksi alami teradap cuaca akan banyak
sekali sehingga sebagain akan selamat karena kebetulan lolos dari serangan
ulat.
Manusia
berfikir, menunda beberapa waktu untuk menebar benih, menunggu ketika tanda
tanda bila bumi sudah mendingin, baru
menebar benih tumbuhan yang dikehendakinya, dan benih tumbuh menggapai
langit, sedangakn kupu kupu hama sudah bertelur
ditempat lain.
Dengan
demikian manusia menjadi pemelihara “tanaman”, bukan “tumbuhan” lagi.
Begitu
juga dengan perburuan, pemburu makhluk
lain jenis atauau Predator yang dengan kekuatan dahsyat, seperti harimau dan ular sanca, akan tetapi kedua makhluk
Allah yang istimewa ini harus mendekati atau didekati oleh buruannya, memunggu
jarak yang cocok untuk mulai
penyerangan., sedangkan manusia berburu mengunakan alat untuk memperjauh jangkauannya, mempertajam senjatanya, dengan tombak panah dan jerat maupun jaring., bukan
hanya bersabar akan tetapi juga berfikir,
kemudian manusia menjadi penggembala bukan berburu lagi, tapi
memelihara ternak..
Dengan
bersabar dan berfikir, manusia menjadi
berkecukupan dan berkembang biak
memenuhi muka bumi, sambil memegang teguh ingatan akan pemeliharanya,
Sang
Pneciptanya., karena sepanjang sejarah
turun temurun manusia, manusia merasa
ada satu “rasa “
yang mengingatkannya kepada
bahaya yang belum nampak, ada buah akal yang mendadak mncul disaat yang
gawat, sehingga dia terselamatkan.
Akhirnya
manusia mengenal sumber fikiran , sumber tenaga
yang lain, semula dianggapnya para leluhur, kemudian dianggapnya itu
para Dewa, dan akhirnya ditemukannya
sumber yang sesungguhnya , yang
disampaikan oleh utuasanNya sendiri Allah sang Maha Pencipta.
Sebelum
sampai kesana, manusia sudah mengenal
tenaga luar biasa dari “cipta” dengan
demikian mampu bersinggungan dengan makhluk makhluk dari alam lain, dan ribuan tahun teromabing ambing
diantara angggapan buah fikiran yang
disesatkan oleh makhluk makhluk alam lain yang jahat sehigga “cipta” dari manusia menjadi sekeruh keruhnya
tersesat dan mengalami kehancuran..
.Demikian
uraian Ki Ageng Sidayu kepada Ki Watubukur. Kemudian beliau
melanjutkan:
Sebenarnya
semua agama yang ada apakah Hindu atau
Budha atau yang lain, akhirnya
akan menemukan ajaran utama
seperti “Baghawat Gita” pada agama Hindu dan ‘Pencerahan “ yang didapat pada agama Budha. Semua
menyatu kepada sumber dari segala sumber, dengan macam macam nama dam sebutan..
Allah
memberi jalan kepada Manusia untuk
memurnikan “cipta” nya sehingga
dapat mencapai derajad yang semestinya
dan dapat mencapai alam alam yang lain, juga untuk mendaya gunakan tenaga yang luar diasa, dan demikianlah
manusia menjadi “sarira Bhatara” atau berbadan
Dewa. Bagi kerpercayaan Hindu, seperti
Arjuna bisa beradu panca indra dengan Bhatara Shiwa dalam kitab
“Arjunawiwaha” gubahan Mpu
Kanwa. Hanya dengan menyembah Allah
orang bisa mengenal Allah, begitulah
Sang Arjuna, setelah dengan segenap
hatinya mengalungkan untaian
bunga kepada arca tanah liat buatannya
dengan tangan yang pasrah dari orang yang disadarkan, melambangkan sang Mahadewa., maka ia melihat
bahwa untain bunga itu makin indah dan
bersinar sinar dileher Pemburu lawannya beradu panca indra bertarung
mengadu kekuatan., begitulah inti
sari kitab Arjunawiwaha., gubahan Empu Kanwa.
Tentu
saja semua sastra puncak
puncak kebudayaan Hindu di Jawa dan Kitab Mahbharata yang mrupakan Wedda yang
kelima telah decerna habis oleh Ki
Watubukur, dan selama ini belum pernah
dia berfikir mengenai ajaran dari kitab kitab itu dengan sinar yang diberikan oleh Ki Ageng
Sidayu, dia tertunduk dan terpana sampai beberapa saat.
Mendadak
ada kilasan diraut muka Ki Watubukur, lembut
dan cerah , seperti
terangnya gagat rahina, detik
detik berikunya semakin cerah,
seperti pagi dimulainya hari yang baru.
“
Hamba mengenal kata kata tuan, itu semua telah brkecamuk didalam diriku sekian
lama, sebagai mega mendung, kebagai kilatat tatit, andika
meluruskan dan memberi penjelasan
yang menerangi relung relung hatiku, ya Guru.”
“Sejak
saat ini terangilah jalanku siang dan
malam, hamba serahkan jiwa ragaku yang
sudah tua ini kepada andika Guru”
Masya
Allah, sareh, bersabarlah Ki Watubukur, sinar hidayah telah menerangi andika.
Tenangkanlah
hati andika, inilah air putih minumlah
sampai habis, semoga Allah membimbing andika”
Setelah minum air pemberian Ki Ageng Sidayu dari tempurung kelapa gading, yang entah
karena apa terasa sejuk diseluruh tubuh
ki Watubukur dia mrasa segar lahir dan bathin.
Tidak
sulit bagi andika untuk mereguk air hikmah Islam yang tiada batasnya Ki Watubukur, andika hanya perlu waktu untuk
mengenakan busana ragawi saja,
tatacara bersembah
kepada Allah dan hidup menurut
contoh yang diberikan kepada
utusanNya.
Pada
saatnya nanti, denggan izin Allah andika akan mengerti bahwa segala contoh yang diberikan oleh Utusann
Allah Muhammad, akan menjadikan tatacara yoga
dan samadhi yang biasa anda
jalani, menjadi jelas.
Semua
agama yang besar dan sudah ribuan tahun keberadaannya , sama
sama memberikan suatu gambaran dan juga jalan untuk mengerti
mengenai suatu tenaga linuwih dan hanya
manusia yang bisa mengenal dan
menggunakannya, hanya goda dan kesesatan kenikmatan ma 5, pada zaman akhir ma
ke 6 manguwasai DUNIA, selalu mengikutinya jejak angkah si Pemguasa sehingga
manusia mampu membuat kerusakan yang jauh lebih besar, Karena Yaksa dan Danawa, Malaikat sesat tidak akan rela, manusia
nenjadi MANUSIA*)
TAMAT.
.
.
.
.
\