PENDIDIKAN TINGGI KITA
Pada akhir kakuasaan Orde Baru, 25 tahun yang lalu, ada ratusan Perguruan tinggi Negeri dan Swasta bermunculan seperti jamur dimusim hujan.
Azas ekonomi merespon kesempatan kebutuhan lanjutan pendidikan menengah atas, sebagai reaksi terhadap sistim pembangunan kita. Karena tidak cukup lapangan kerja buat lulusan Sekolah Menengah Atas, sedangkan sekolah kejuruan mahal dan langka ( sekarang mulai disadari) apalagi SPMA sudah mati.
Sistim pembangunan Negara ini adalah memerataan pertumbuhan ekonomi diantara rimba raya business diluar sistim yang sudah menciptakan kekuasaan bayangan dengan organisasi semacam kartel diluar hukum disemua bidang, kekuasannya dibidang ekonomi terapan sangat besar.
Sedangkan cara diluar sistim ini yang merunut cara kartelisme yang terdukung oleh instink feodalistis dari Penjabat Pemerintah dari pejabat Executive, Legislative sampai Judikative, bahkan Kepolisian dan Hankam kita, sangat tidak cocok dengan ekonomi pemerataan dalam sistim, satu upaya pemerataan pembangunan Orde Baru yang abal abal, Itulah sebabnya ekonomi jadi berantakan,
Maka dibukalah kesempatan swasta mendirikan Perguruan Tinggi dengan segenap Fakultasnya dari D2, D3, S1, S2, sampai S3. Jangan sampai pelajar lulusan SMU mbludak jadi pengangguran yang explosive.
Penyimpangan upaya Orde Baru ini menjadi nyata, melihat para Bangkir dengan dorongan bank Central dengan royal memberikan kredit buat mendirikan Perguruan Tinggi, lanjutan dari SMU.
Gedung megah mahasiwa berjubel, meskipun ROI( returm on investment) gedung dan peralatan kuliah harus standard 20 %.( atau lima tahun uang kembali ke bank dengan bunganya) Apa yang terjadi, beaya kuliah berlomba tinggi, pembayaran para lecturers, dosen dan asisten sangat minim, karena cicilan GEDUNG dan KEMAKMURAN YAYASAN MENJADI TUJUAN NOMER SATU, karena sebenarnya ya itulah tujuannya.
Masak satu lecturer lulusan S2 menjabat jadi Pembantu Dekan 3, rumahnya di Bogor, memberikan kuliah di Universitas dengan gedung megah dan mahasiswanya banyak bermobil, kok honornya hanya 1.500 ribu rupiah saja per bulan ? Lebih rendah dari gaji Pembantu rumah tangga. Alasannya dia toh tidak memberi kuliah setaiap hari di Universitas yang sama ?
Ini kan sangat konyol, karena sekarang satu Dosen. Lecturer harus punya laptop/ computer dengan server yang handal, yang harga langganannya Rp 400 000 rupiah per bulan, supaya mudah mendapat akses di internet.
Apa saya di sini harus menerangkan gunanya internet bagi seorang Dosen ?
Honorarium yang besar hanya dikonsentrasikan untuk Profesor yang diangkat oleh Presiden Orde Baru, dan selanjutnya untuk meningkatkan gengsi Universitas. Juga lambang kepercayaan Orde Baru, pada Universitas ini.
Supaya tahu saja, banyak karya ilmiah mahasiswanya yang hanya copy paste dari sumber sumber di internet yang disembunyikan, alangkah fatalnya bila mahasiswa ini lulus dengan predikat plagiat ini ketahuan ? Sedang computer Dosen pembimbingnya lagi ngadat tidak sempurna koneksinya dengan internet karena hanya membayar Rp 100. 000 per bulan ? dari gaji yang hanya sebesar gaji pembantu rumah tangga. Bila dia rajin lebih baik ngeteng ke Universitas lain sepanjang jalur KA dan bus Bogor Jakarta, lha kapan ngecek pekerjaan mahasiswanya ? Pikir. Ternyata satu Universitas dengan brand name Founding Father dari Negeri ini, soal uang hanya diatur oleh geng Yayasan, bersekongkol dengan Penjabat yang berwenang untuk menggencet Pengajar, naudzubillah minzalik !!!
Jadi kualitas mahasiswa dan kuliahnya ya sangat tergantung dari nurani Dosennya, seperti Perguruan Taman Siswa jaman Penjajahan Belanda dulu, bisa dimengerti banyak Dosen dan Lecturer yang tidak kuat.
Kalaupun ada lecturer yang kuat pasti idealismenya sangat tinggi, atau sebaliknya. Dan ini merata diseluruh dunia pendidikan tinggi, akibatnya silahkan menduga sendiri. Sedangkan ideaismelah yang sangat ditakuti oleh rezim orde Baru, maka kloplah dengan keinginan Orde Baru., sampai sekarang Orde Repformasi.
Ternyata yang mereformasi diri hanya tingkat Menteri dan Dirjen, banyak memakai hem putih itu saja, bahkan sampai tingkat Direktur saja masih meragukan, apalagi bawahannya sampai ke tingkat Propisi sampai lurah Desa, apa sistin yang mapan yang mereka pakai dari zaman Orde Baru yang nikmat ini mereka dengan sukarela mau mengganti dengan sistim pelayanan kepda umum ? Pikir/
Dan apa gunanya dalam masyarakatnya nanti kecuali membayar cicilan gedung megah ? Apa lagi para Profesornya bekas Penjabat tinggi Orde Baru yang dengan royal dihadiahkan titel Profesor oleh Presiden Orde Baru, sedangkan dia hanya membayar untuk karya ilmiahnya tidak seberapa ?
Honor hanya di konsentrasikan kepada para Pofesor yang diangkat oleh Presiden Orde Baru ! Bukan oleh prestasi penilitian ilmiah saja, maka banyak Doktor tanpa idealisme bermunculan entah dalam bidang apa dan karya ilmuah nya apa ? *)
Pada akhir kakuasaan Orde Baru, 25 tahun yang lalu, ada ratusan Perguruan tinggi Negeri dan Swasta bermunculan seperti jamur dimusim hujan.
Azas ekonomi merespon kesempatan kebutuhan lanjutan pendidikan menengah atas, sebagai reaksi terhadap sistim pembangunan kita. Karena tidak cukup lapangan kerja buat lulusan Sekolah Menengah Atas, sedangkan sekolah kejuruan mahal dan langka ( sekarang mulai disadari) apalagi SPMA sudah mati.
Sistim pembangunan Negara ini adalah memerataan pertumbuhan ekonomi diantara rimba raya business diluar sistim yang sudah menciptakan kekuasaan bayangan dengan organisasi semacam kartel diluar hukum disemua bidang, kekuasannya dibidang ekonomi terapan sangat besar.
Sedangkan cara diluar sistim ini yang merunut cara kartelisme yang terdukung oleh instink feodalistis dari Penjabat Pemerintah dari pejabat Executive, Legislative sampai Judikative, bahkan Kepolisian dan Hankam kita, sangat tidak cocok dengan ekonomi pemerataan dalam sistim, satu upaya pemerataan pembangunan Orde Baru yang abal abal, Itulah sebabnya ekonomi jadi berantakan,
Maka dibukalah kesempatan swasta mendirikan Perguruan Tinggi dengan segenap Fakultasnya dari D2, D3, S1, S2, sampai S3. Jangan sampai pelajar lulusan SMU mbludak jadi pengangguran yang explosive.
Penyimpangan upaya Orde Baru ini menjadi nyata, melihat para Bangkir dengan dorongan bank Central dengan royal memberikan kredit buat mendirikan Perguruan Tinggi, lanjutan dari SMU.
Gedung megah mahasiwa berjubel, meskipun ROI( returm on investment) gedung dan peralatan kuliah harus standard 20 %.( atau lima tahun uang kembali ke bank dengan bunganya) Apa yang terjadi, beaya kuliah berlomba tinggi, pembayaran para lecturers, dosen dan asisten sangat minim, karena cicilan GEDUNG dan KEMAKMURAN YAYASAN MENJADI TUJUAN NOMER SATU, karena sebenarnya ya itulah tujuannya.
Masak satu lecturer lulusan S2 menjabat jadi Pembantu Dekan 3, rumahnya di Bogor, memberikan kuliah di Universitas dengan gedung megah dan mahasiswanya banyak bermobil, kok honornya hanya 1.500 ribu rupiah saja per bulan ? Lebih rendah dari gaji Pembantu rumah tangga. Alasannya dia toh tidak memberi kuliah setaiap hari di Universitas yang sama ?
Ini kan sangat konyol, karena sekarang satu Dosen. Lecturer harus punya laptop/ computer dengan server yang handal, yang harga langganannya Rp 400 000 rupiah per bulan, supaya mudah mendapat akses di internet.
Apa saya di sini harus menerangkan gunanya internet bagi seorang Dosen ?
Honorarium yang besar hanya dikonsentrasikan untuk Profesor yang diangkat oleh Presiden Orde Baru, dan selanjutnya untuk meningkatkan gengsi Universitas. Juga lambang kepercayaan Orde Baru, pada Universitas ini.
Supaya tahu saja, banyak karya ilmiah mahasiswanya yang hanya copy paste dari sumber sumber di internet yang disembunyikan, alangkah fatalnya bila mahasiswa ini lulus dengan predikat plagiat ini ketahuan ? Sedang computer Dosen pembimbingnya lagi ngadat tidak sempurna koneksinya dengan internet karena hanya membayar Rp 100. 000 per bulan ? dari gaji yang hanya sebesar gaji pembantu rumah tangga. Bila dia rajin lebih baik ngeteng ke Universitas lain sepanjang jalur KA dan bus Bogor Jakarta, lha kapan ngecek pekerjaan mahasiswanya ? Pikir. Ternyata satu Universitas dengan brand name Founding Father dari Negeri ini, soal uang hanya diatur oleh geng Yayasan, bersekongkol dengan Penjabat yang berwenang untuk menggencet Pengajar, naudzubillah minzalik !!!
Jadi kualitas mahasiswa dan kuliahnya ya sangat tergantung dari nurani Dosennya, seperti Perguruan Taman Siswa jaman Penjajahan Belanda dulu, bisa dimengerti banyak Dosen dan Lecturer yang tidak kuat.
Kalaupun ada lecturer yang kuat pasti idealismenya sangat tinggi, atau sebaliknya. Dan ini merata diseluruh dunia pendidikan tinggi, akibatnya silahkan menduga sendiri. Sedangkan ideaismelah yang sangat ditakuti oleh rezim orde Baru, maka kloplah dengan keinginan Orde Baru., sampai sekarang Orde Repformasi.
Ternyata yang mereformasi diri hanya tingkat Menteri dan Dirjen, banyak memakai hem putih itu saja, bahkan sampai tingkat Direktur saja masih meragukan, apalagi bawahannya sampai ke tingkat Propisi sampai lurah Desa, apa sistin yang mapan yang mereka pakai dari zaman Orde Baru yang nikmat ini mereka dengan sukarela mau mengganti dengan sistim pelayanan kepda umum ? Pikir/
Dan apa gunanya dalam masyarakatnya nanti kecuali membayar cicilan gedung megah ? Apa lagi para Profesornya bekas Penjabat tinggi Orde Baru yang dengan royal dihadiahkan titel Profesor oleh Presiden Orde Baru, sedangkan dia hanya membayar untuk karya ilmiahnya tidak seberapa ?
Honor hanya di konsentrasikan kepada para Pofesor yang diangkat oleh Presiden Orde Baru ! Bukan oleh prestasi penilitian ilmiah saja, maka banyak Doktor tanpa idealisme bermunculan entah dalam bidang apa dan karya ilmuah nya apa ? *)