5:36 PM
IDE SUBAGYO
KEKUASAAN
JANGAN
BIARKAN “ORANG MEMPEROLEH KEKUASAAN” UNTUK KEMENANGAN, WALAU TERHADAP MUSUH
SEKALIPUN, APABILA MEMBUNUH ORANG DIANGGAP ENTENG
JANGAN
BIARKAN “ HUKUM NEGARA” MENEBARKAN KETIDAK ADILAN WALAU BAGI YANG KALAH
JANGAN
BIARKAN KEKUASAAN DITANGAN MEREKA YANG TIDAK DAPAT MENOMER SATUKAN KEPENTINGAN
UMUM.
KEKUASAAN
HANYA DIGUNAKAN SEBAGAI PELINDUNG KEPENTINGAN UMUM, PELINDUNG KEPENTINGAN
INDIVIDU YANG TERGOLONG HAK AZAZI MANUSIA, ASAL DEMI KEHIDUPAN BERMASYARAKAT
Kenapa ?
Barusan
seminggu yang lalu di acara Metro TV petang acara Bang Karni, tg 22 Mei 2016
petang. Didatangkan untuk bicara:
Nursyahbani Kacasungkana, Sukmawati Sukarnoputri, Let Jen (Pur) Agus Wijoyo
Gubernur Lemhanas, Anhar Gonggong, Mahfud MD, Let Jen Kivlan Zen, Let Jen
( Pur) Hendropriyono, untuk memaparkan
pendapatnya mengenai “REKONSILIASI NASASIONAL” setelah terjadi peristiwa genocide,
penumpasan G30S. PKI dan SUKARNO-ISME.
-
Ada yang mewakili korban genocide para petani tak
bertanah , dilenyapkan seakar akarnya, guru guru desa, tetua masyarakat di
keacamatan, PNS yang pengagum Bung Karno dan simpatisan PKI. Ditambah korban lain,
sangat banyak terutama di bekas bekas wilayah perkebunan Kolonial Belanda,
tanpa peradilan apapun.
-
Ada yang mewakili sejarah, karena Orde Baru melarang
megungkit peristiwa itu, mencatat secara sebenarnya kejadian itu, siapapun yang dianggap simpatisannya disamakan dengan musuh
Negara nomer satu.
-
Ada yang mewakili Kekuasaan kekuatan bersenjata.
-
Ada yang mewakili “Hukum Negara”
-
Ada yang mewakili politisi islam, sayangnya tidak mengundang
almukharom Hasyim Musadi.
Dari
semua pembicara, tidak ada yang mengemukakan, hal ini sebenarnya adalah akibat
berlakunya Undang Undang Pokok Agraria no 5 tahun 1960, antara
penggarap de facto tanah tersebut yang meliputi jutaan hectare sawah lahan
tebu, lahan tembakau, lahan kopi dan karet, ex HGU ( hak guna usaha) perkebunan milik kolonial Belanda, otomatis milik Negara, dengan petani tak
bertanah disekitarnya.
Yang
tahu persis cuma yang menggunakan tanah
tanah tersebut dan keturunannya, selama
13 tahun, yaitu 3 tahun
penjajahan Jepang, dan 5 tahun Perang Kemerdekaan, 5 tahun RI diakui
kemerdekaannya, sebelum dilaksanakan UUPA no5 th 1960. Oleh Pemerintahan
Sukarno, dikenal dengan UU Land Reform.
Bahwa
pimpinan makar yang membunuh Pahlawan Revolusi sudah segera diadili dan di
exekusi, bahwa para pentolan PKI sudah di lenyapkan, pendukung Bung Karno
diamankan atau dibunuh, Bung Karno sendiri dirumah sakit untuk mati, Aggap saja
sudah semestinya diperlakukan seperti itu.
Wong kejadian sebelum 1965 sejak perang Pasific (Jaman Jepang) banyak para kiai dan pemuka islam orang terkemuka
desa maupun kecmatan dengan lasykarnya
selama perang kemerdekaan menguasai tanah tanah ex perkebunan Kolonial tersebut secara de facto,
disakiti, fisik, terutama hatinya dan
sampai jadi korban aksi sepihak, dimana PKI dan SUKARNO-IS menjadi penggembira
utamanya. Kok berani beraninya menerima redistribusi tanah “Negara” yang sudah
mereka garap sekian lama dibantu lasykarnya yang bersenjata, mereka ndak ada di front demarkasi wiayah Belanda menghadadi Republik?.
Masa
petani miskin tak bertanah yang mendapat redistribusi tanah perkebunan
tebu yang termasuk tanah kelas satu
karena subur dan bepengairan teknis kelas satu, oleh Negara berdasarkan UUPA No
5 th 1960, yang ada di Jawa Tengah Sumatra Utara, Lampung, Jawa Timur. Tanpa menyertakan para kiai yang sudah
menggarap tanah tersebut mulai zaman Jepang, mungkin karena bukan koeli gogol
atau karena bukan penduduk Kecamatan dimana tanah yang mereka kerjakan bersama
santrinya berada.
Jadi
tidak menerima bagian redisribusi tanah yang para santri santrinya telah mengerjakan begitu lama ? Atau
tidak memiliki hak absentee atas tanah diluar Kccamatan domisilinya, yang digarapnya begitu lama.
Di
Bali, petani tak bertanah mendapat tanah para raja dulu, sekarang sudah jadi
satu puak dengan ratusan keluarga menggantungkan hidupnya pada bidang tanah di
kecamatan lain, yaitu keturunan penanda tangan traktaat panjang, tanda
penaklukan pada Belanda. Tanah tempat
hidupnya bergantung, hilang oleh UUPA no 5 th 1965. dobagikan kepada petani tak bertanah setempat.
Seluruhnya
ratusan ribu orang ikut hilang, bahkan total dengan penduduk kota kabupaten dan
kota propinsi diberantas semua mencapai
jutaan orang. Kena apa ? Ya soal kepemilikan tanah pertanian itu, dan policy repressive Orde Baru pimpinan Jendral Suharto, demi keamanan dan
ketertiban. Sadar akan rezimnya yang korup, supaya tidak ada yang berani bercicit.
Untuk
apa mau diadakan rekonsilisasi dengan keturunan sanak saudara mereka yang
hilang ? Terlalu banyak, mereka sudah lupa, takut, orang
kecil, akar rumput. Mereka tinggal jauh dari peristiwa penghianatan terhadap
pahlawan revolusi oleh G30S, tidak tahu menahu rencana peberontakan PKI, pencinta Kepala Negaranya
Bung Karno yang secara spektakuler merebut Irian Barat dari Belanda, berkat upaya kerasnya mempersatukan seluruh kekuatan Nasional, dibantu persenjataan dari Rusia, mereka dibantai
habis berbulan bulan diburu secindil abangnya kok tidak dibedakan dengan mereka
yang betul betul berbuat makar ?
Betul
Sang Jendral , sekarang tidak perlu
mengungkit ungkit bathin orang kecil
yang sudah mapan diliang liangnya, biar mereka seperti cacing cacing dibawah
tanah, membuat tanah menjadi gembur dan
subur, disiram musik dangdut dan joged senggol senggolan antar mereka
dengan sangat asyik saban kampanye
pemilihan wakil wakil legislatip dan kepala eksekutip Pusat dan Daerah. Berhura
hura saling beradu sexy kayak pesta “mardi gras” di Amerika latin, gratis, masih diberi bingkisan sembako supaya tidak
perlu keluar liang, dari kampung kampung
untuk mencari nafkah hari itu, oleh politisi dari luar sistim yang raja uang
karena ber-kartel ( menggoreng stock) segala kebutuhan hidup rakyat tanpa aturan apapun, demi
keuntungan. Tentang rakyat kecil keturunan tani tak bertanah yang menjadi korban, mereka sudah menjelang generasi ke tiga, mereka lebih baik menyelaraskan diri dengan kebudayaan Jawa, tata hidup dalam pergaulan dan lagu lagu gendingnya menenteramkan. Jogednya asal tidak mengkonsumsi minuman keras, sangat sopan dibandingkan dengan musik dangdut.
Sedangkan masih ada tugas besar bagi mereka, yaitu menjaga lahan gambut, jutaan hektare, yang sebenarnya dengan pendekatan teknis yang tepat, dapat dengan waktu singkat menjadi tanah yang subur (umpama pengapuran yang sistimatik, sirkulasi pengairan yang dikenal dengan ilmu Amiliorasi tanah). Yang kali ini tanah diberikan dengan setifikat dari BPN langsung, dibebaskan dari milik Negara maupun penduduk setempat ( kalau sampai hati mengaku tanah rawa gambut jutaan hektere ini milik nenek moyangnya) secara saling mengerti dan ikhlas dan beradab.
Daripada mememadati wilayah urban yang sangat kompetitive, membutuhkan ketrampilan bahasa asing dan pengetahuan teknologi yang membutuhkan waktu untuk membiasakan. Bila memang menyayangi mereka sebagai warga yang sebangsa dan setanah air mbok iya, bahu membahu antara beliau beliau yang jadi pembicara di forum ini melibatkan mereka untuk upaya ini. Masak kalah sama gafatar.
Golongan
pembeli tenaga bisa membeli tenaganya per jam, Kalok perlu per menit kayak
tukang becak, tanpa mengurus seluruh sisa hidupnya yang kurang berguna bagi roda ekonomi, karena
otot dan ketajaman syarafnya sudah berantakan oleh pengawet makanan beracun sebangsa formalin, oplosan minuman keras dan
pestisida. Golongan ini lebih baik mananam modalnya di industri yang full automatic dengan pemakaian robot. malah tanpa membayar tenaga manusia, komoditas untuk export saja, jangan malah mematikan industri kecil dalam negeri dengan produk import yana tidak jelas. Apalagi kartel gudang pangan, jangan, sebab itu larangan agama islam.
Lha wong para pemimpinnya malah korupsi
berjama’ah, kayak di Mesir, malah membantu berkolusi dengan
mengadakan kartel daging sapi, makan uang haji, kartel beras, kartel gula, kartel garam, kartel daging ayam, menggelapkan bertrilyun trilyun rupiah
kredit bank Indonesia, sebagian kecil telah mendekam ddipenjara sebentar.
Ternyata sudah diatur oleh mafia Peradilan, dengan suap yang naudzubillah
minzalik jumlahnya dan sama sekali tak terjamah.
Lantas
siapa yang mereka bicarakan akan diajak rekonsiliasi ? Wong para pembunuh
/algojo ini tidak tahu berapa banyak dan siapa saja yang mereka bunuh, darah
yang membasahi tangan dan badannya tidak
bisa tercuci, itulah yang membuat mereka yang bertanggung jawab saat itu menjadi gundah dang ngotot, tentu saja selain
para pembunuh profesional dan para psikopat yang paranoid, memang
pasukannya lagi kerasukan iblis,
selain mereka, para algojo menjadi resah karena melanggar hukum Allah. Mereka toh akan mati tanpa massa generasi yang membela.Pesan tinggalannya, bahwa mereka sudah mengampuni korban korbannya, kurang apa lagi ?
Sedangkan
dilain sisi, ada tokoh yang mendapat gelar “Sir” dari ratu Inggris atas jasa mencetuskan
amuk massal ini., Sir Andrew Gilchrist,
yang dokumennya sampai sekarang masih dirahasiakan. Ya gitulah perang Kemerdekaan satu bangsa,
sangat tidak mudah, yang penting sekarang berani menatap kenyataan ini, dan berani
memperbaiki diri, tidak gampang
melenyapkan orang, hanya soal harta
haram, karena perang kemerdekaan telah terjadi dan dimenangkan oleh kesatuan
bangsa ini. Dengan cita cita adil dan
makmur untuk segenap warganya dalam sistim Panca Sila.
Kalau
tidak ya akan tetap menjadi stigma curiga mencurigai, bila azas demokrasi
dipakai, ini akan muncul dipermukaan waktu pemilu, yang bersembunyi
dibalik retorika politik dan menggelapkan sejarah akan jadi gurem, sebab akar rumput sudah tahu, apapun akal perbuatan mereka,
gejala ini sungguh meresahkan mereka*)
Posted in:
0 comments:
Posting Komentar