Massa rakyat Indonesia merupakan konglomerasi dari banyak latar belakang bermacam-macam menurut latar belakang ekonomi dan budaya.
Sebagai makhluk biologi seperti makhluk-makhluk lain, maka factor bagaimana mereka mendapatkan makanan adalah factor utama yang menentukan kebiasaan dan kecenderungan hidupnya.
Mayoritas rakyat Indonesia adalah petani, dimana makanan adalah hasil kerja mandiri, perilaku mandiri, tidak menurut perintah atau satu set aturan yang dibuat orang lain.
Mayoritas rakyat Indonesia adalah petani, dimana makanan adalah hasil kerja mandiri, perilaku mandiri, tidak menurut perintah atau satu set aturan yang dibuat orang lain.
Sikap yang dipilih adalah skeptis terhadap perubahan yang belum nampak hasilnya, yang beda dari kebiasaan “lahir batin” yang sudah menjadi andalan hidupnya, alias sangat conservative. Saya tidak menggunakan kata “berfikir” karena mayoritas massa ini sudah tidak berani berfikir.
Sikap konservative dari mayoritas penghuni Republik ini kadang sangat menjengkelkan bagi para pemikir, yang cenderung melihat bayangan apa terjadi ke depan, tanpa mempetimbangkan bagaimana perut ini diisi sekarang. Mereka lupa bahwa “berfikir” talah mengkat derajad Pithecantropus erectus menjadi Manusia.
Trauma yang diderita sebagian besar massa setelah terlibat langsung dengan pelaksanaan UU Pokok Agraria tahun 1960 yang ternyata di Pulau Jawa menimbulkan konflik horizontal yang yang disiram bensin manipulasi inteligen Orde Baru, menimbulkan atrocity dan genocide yang luar biasa, menyisakan kebekuan ketatonik massa petani terhadap pikiran ke depan. Kebekuan ini diperpanjang waktunya dengan slogan yang menyesatkan “Pembangunan Yes dan Politik No!” dan sebangsanya, disertai dengan program subsidi besar- besaran untuk sarana pertanian selama lebih dari 20 tahun, yang dikenal dengan program “Bimas” Pertanian, terutama untuk padi dan kemudian polowijo.
Oleh karena Petani adalah mayoritas massa di Pulau Jawa terutama, kebekuan ini menjalar ke kaum menengah di Indonesia, yang menjadi sangat oportunistis, yang juga sikap yang tak perlu berfikir.
Kebekuan ini diberi nama “massa mengambang”, artinya atau massa yang secara katatonik membeku, menolak berfikir ke depan, atau hanya sekedar berfikir, sebagian dari hard core massa membeku ini menjadi oportunis, yang menguasai blantika Politisi Orde Baru.
Kebekuan ini diberi nama “massa mengambang”, artinya atau massa yang secara katatonik membeku, menolak berfikir ke depan, atau hanya sekedar berfikir, sebagian dari hard core massa membeku ini menjadi oportunis, yang menguasai blantika Politisi Orde Baru.
Massa yang membeku (The Freezing Mass) ini, digemukkan oleh subsidi sarana pertanian dalam waktu yang panjang, merupakan kemakmuran semu, yang pelakunya tersentak bangun saat ini, mendapatkan dirinya ketinggalan dari produktivitasnya dalam Dunia laisses fare.
Dunia laisses fare sudah bergerak jauh ke depan dengan mengusai lapangan, merekrut para Politisi oportunis untuk mengembangkan sayapnya, yang dijuluki oleh lawannya Neoliberalisme, oleh karena yang direkrut ini kaum inteligensia oportunis, maka segala program Pemerintahan apa saja, dimana saja, harus diarahkan ke keberhasilan program Neoliberalime, penggunaan resources alami, termasuk penggunaan tenaga kerja, sementara mereka dibutuhkan, bila tidak dibutuhkan ya apa boleh buat, robot tidak memerlukan apa yang diperlukan oleh manusia, selain itu ya disposable.
Jadi jika massa mengambang ditandai sebagai masa perempuan yang memang oportunis demi perkembangbiakan keturunannya adalah tidak seluruhnya benar.
Ciri masa mengambang yang makin besar jumlahnya adalah golput (tidak memilih) yang sekarang rata rata lebih dari 40 persen mereka yang mempunyai hak pilih. Mungkin golput ini berfikir, lebih baik jadi golput daripada memilih orang semacam Bupati Buol atau Bupati Garut. (*)
0 comments:
Posting Komentar