Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

INDONESIA PUSAKA TANAH AIR KITA

Indonesia Tanah Air Beta, Pusaka Abadi nan Jaya, Indonesia tempatku mengabdikan ilmuku, tempat berlindung di hari Tua, Sampai akhir menutup mata

This is default featured post 2 title

My Family, keluargaku bersama mengarungi samudra kehidupan

This is default featured post 3 title

Bersama cucu di Bogor, santai dulu refreshing mind

This is default featured post 4 title

Olah raga Yoga baik untuk mind body and soul

This is default featured post 5 title

Tanah Air Kita Bangsa Indonesia yang hidup di khatulistiwa ini adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus senantiasa kita lestarikan

This is default featured post 3 title

Cucu-cucuku, menantu-menantu dan anakku yang ragil

This is default featured post 3 title

Jenis tanaman apa saja bisa membuat mata, hati dan pikiran kita sejuk

Kamis, 29 Mei 2014

KEPADA PEMBACA SABDO PALON DAN NAYA GENGGONG


Maksud tulisan ini hanya analisa sepanjang imaginasi saya, maksudnya supaya dipahami, agar bisa untuk menghargai dakwah pendahulu kita kok bisa se Indonesia yang asalnya Hindu, telanjang dada  minum tuak dan makan daging babi  kok sekarang di desa-desa yang paling pelosok berhenti kebiasaan itu, nurut ajaran Islam, tanpa dipaksa. Bukan menang menangan, tebukti umat Islam di Kudus Pati tidak menyembelih sapi tapi kerbau, jaga perasaan sisa umat Hindu, dengaan demikian malah sekarang mayoritas disana ya Islam tapi dengan azas pluralisme, tidak menang menangan.
Anda benar, AZAS MENANG MENANGAN AKHIRNYA MENYERET SELURUH BANGSA INI  DALAM ADU DOMBA KAYAK SEKARANG DI NAGARA NEGARA ARAB, SESAMA ISLAM SAJA SALING MENGHANCURKAN DENGAN SENAPAN MESIN BERAT DAN GAS BERACUN, PERSIS 500 TAHUN SESUDAH SABDA PALON DAN NAYA GENGGONG MELENYAPKAN DIRI, MAU NIRU DISANA ?


Ir.Subagyo, M.Sc, status sehari-hari : banyak mikir dan berpikir terus, sebuah aktivitas yang dijauhi kebanyakan orang Indonesia yakni : banyak mikir dan merenung, karena mungkin orang kita takut kalau tidak kuat mikir.

Oke jadi begini, seluruh blog ide subayo ini adalah hasil mikir, karena jaman dulu ribuan tahun lalu Plato mikir, Socrates mikir, Phytagoras mikir, oarng suku Maya mikir, Mesir mikir, mereka ga mungkin copy paste kan ?

Kini meski sudah embah-embah saya ya mikir terus apalagi usia jelang 80 tahun, mumpung dikasih ingatan oleh Alloh, karena bangsa kita ini sudah tidak (jarang) mikir selama 32 tahun jaman Orba, orang mikir jaman Orba, jarang, takut, khawatir, dan heiii... wait, wait for second,  kalau anda hidup di jaman Orba dan banyak mikir, anda bisa gila, atau hilang tak tentu rimbanya, karena jaman gila, jaman edan ini kan enakan manut aja...  ,tapi yaaah...jangan keterusan anti mikir dong. Mikir-lah atau bahasa Arabnya Dzikir, ingat, mikir, Iqra, baca, mau tahu segala ilmu-lah.

Tapi generasi muda sekarang -remaja apalagi-, saat saya tanya " hei kok pada main game online ? enggak mau belajar, juga enggak pada belajar filsafat ?" jawabnya : emoh mikir Mbah, apalagi pelajaran filsafat mbah, hiiii sereem kayaknya ane takut jadi gila... he he he...


Lhah gimana kalau generasi muda mikir aja ndak berani, bahkan saat saya masih aktif jadi dosen saja, saya ajak diskusi para mahasiswa tentang ilmu sosial, pertanian, filsafat, apalagi filsafat alam yang dasar, semua pada enggan,  jawabnya : laper pak, mau makan dulu mbah. Jadi kesimpulan saya mikir adalah perintah Alloh yang paling susah daripada laku fisik giat syariah. Perintah kedua yang paling susah adalah perintah :baca/Iqra. Ini juga untuk banyak anak muda usia belajar mending main game online daripada Iqra buku...  ane takut botaaakkk mbaaahh....jawab anak-anak usia belia itu...

KEPADA SAUDARAKU YANG MENCOBA MENYABMUNG TANAMAN

Pesan 1 Membuat pisau sambung.
              Tajam pisau harus dari sebelah saja,artinya bila lancip diahapkan ke tangan kiri, tajam pisau                            kedalam  arah badan, miringnya tajam haurs diusahakan sangat nglampar tidak notok, supaya bisa                  tajam sekaili bisa untuk motong rambut.
pesan2 ;  ngasahnya harus pake air saja, jangan pake minyak, batu asah harus jenis batu yang terhalus, bisa                  asahan pisau sadap dari batu "wheat stone" batu hijau atau batu lei / sabak hitam untuk batu tulis,                  pokoknya halus sekali dan rata air, perlunys bekas potongannya juga rata air.
pesan 3 : cara memegang pisau harus erat supaya nggak ngiris jempol, entrys dipilih yang agak muda, tidak                  keras, tapi sehat penuh persediaan makanan dan daya tumbuh, tidak basah kena air dari luar
pesan 4   taji diiris nglampar kira kira 2 -3 cm dari dua sisi supaja celah batang bawah tidak terlalu dipaksa                  mbukak.
pesan 5   mbukak celah batang bawah dengan pisau itu sekali jalan, waktu narik pisau celah yang teriris di                     buka dengan jari baru pisau dicabut jadi tidak menggeser.
pesan 6  masukkan taji tanpa menggeser celah batang bawah sampai dasar celah, jaga pertemuan bidang                    cambium batang bawah dengan cambium batang atas, pegang dengan jari erat tapi tidak diprekes
             dan mleset kekanan dan kekiri, terus dibebebat denga sepotong rafia dari bawah ke atas, ujungnya                hanya dielipkan ngunci, sambungan jangan sampai ngompol, bila masih ngompol, diadakan pangas                akar sedikit. Prinsipnya permukaan IRISAN HARUS HARUS RATA SEHINGGA                                     PERTEMUANNYA ANTARA CAMBIUM ADA DAN RATA, SERATUS LAPIS SEL DARI BAWAN KETEMU TIGA LAPIS SEL DARI BATANG ATAS SUDAH BISA NYAMBUNG

Selasa, 27 Mei 2014

Balada Sang Calon

Sosok yang diambil sebagai model kaum intelek yang tercetak dari sistim. Menyebal dari sistim, menjadi calon executive, lewat jalur calon independen untuk Gubernur Jawa Timur, dan gagal.

Saya ambil nama sosok ini sengaja dari twitternya yang, menyatakan bahwa perbuatan menilep bunga tabungan Haji di Kementerian Agama, Suryadarma Ali, harus diadili secara Hukum  Islam.
Kok aneh, bila menelisik dari track recordnya, sosok Eggy Sujana ini termasuk tokoh dari Organsasi Mahasiswa yang merupakan sumber kader dari tokoh tokoh Organisisi Partai Islam di Indonesia yaitu Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI), yang diambil oleh Pak Harto sebagai partner yang setia tokoh tokoh Orde Baru yang lalu dan merupakan kelompok Pemegang Kekuasaan. Diberi kapling khusus empuk di BULOG kepada foundernya Dr Achmad Tirtosudiro.dan sederet penggantinya kecuali Dr Rizal Ramli jaman Presiden Gus Dur.
Dengan Suryadharma Ali, Anas Orbaningrum, Lutfi Hasan Ishaq, Fathonah, Wawan, Fadli  Akil Mukhtar dan deretan mayoritas dari  Menteri Menteri Kabinet Orde Baru maupun Kabinet Presiden Susilo Bambang Yudoyono, mayoritas satu asal usul pengkaderan, satu cetakan. Tokoh tokoh ini semua pinternya dalam agama Islam selalu dipersaingkan, tidak diamalkan. Cuma dibuat selingan mengisi  waktu supaya betah istiqomah ditahan di KPK atau ketika jadi Narapidana korupsi saja. Rupanya selama pembentukan pribadinya dibiasakan menyesuaikan diri dalam lingkup exclusive elite, jadinya terarah bukan menuju ke rakhmatan lil Alamin tapi rakhmatan lil sistimin. Saya baca komentar  mengenai kuliah umum dengan kata kunci :"cuci otak dari Pengacara, dosen  Dr Eggy Sujana SH., MSi TTL" ini, di google banyak yang memujinya dalam keberanian memimpin demonstrasi mahasiswa, banyak yang mencercanya dari golongannya, rupanya dalam internal organisasinya beliau bukan conformis ( terbukti dalam pencalonannya sebagai Gubernur Jatim beliau tampil sebagai calon independent), blusukan ke kampung-kampung, di Surabaya utara mengadakan fogging terhadap nyamuk Aedes aegyptii penyebab demam berdarah di kampung kampung dsb. Kurangnya hanya tidak ada yang memandu di daerah daerah sehingga kurang bisa menemukan gerombolan pemilih yang gampang dipincuk secara instant (kayak bikin kopi instant)  tidak terkunjungi, lha apa yang bisa diperbuat seorang single fighter untuk memberi kesan pada calon pemilih ?
Saking beliau ini single fighter dan pengikut team successnya cuma kelompok mahasiswa gratis tukang demonstrasi saja, tragislah, dalam memincuk massa kalah sama Doktor Rhoma Irama,  memang jamannya baru menuntut itu, sayang.(*)

Ir. Subagyo, M.Sc usia nyaris 80 tahun, Arek Suroboyo Asli, pernah bertahan sekeluarga selama pengepungan Surabaya oleh Sekutu  10 November 1945. Kisahnya tentang kenangan selama di Surabaya saat di bom sekutu bisa dibaca pula di blog ini pada link  http://idesubagyo.blogspot.com/2012/08/ingatan-situasi-sebelum-17-agustus-1945.html

Mendapat gelar sarjana dan pasca sarjana di University Patricia Lumumba- Universiteit Duzhby Norodov, Moskwa Russia tahun 1966.

Sekembali dari Russia pada geger 1966 hampir semua alumni Russia langsung di Pulau Buru-kan atau dibui di Nusa kambangan, dan sebagian lagi tidak diijinkan hidup oleh Orba,  namun Alhamdulillah  beliau selamat dari geger 1966 karena tidak pernah mengikuti parpol manapun dan ormas manapun. Aktivitas ekstra kurikulernya di Russia banyak diisi dengan berkunjung ke Tashkent-Bukhara, membuat lukisan juga sketsa. Karena daripada kumpul-kumpul, beliau lebih memilih merenungi filosofi hidup, berkarya seni plus membaca sebagai hobby utamanya.

Selasa, 20 Mei 2014

VERSI DI EDIT SABDA PALON DAN NAYA GENGGONG, EXISTENSINYA SEBAGAI PERTANDA ADA 'GANJELAN' DALAM PENYEBARAN AGAMA ISLAM DI PULAU JAWA

Legenda mengenai dua sosok Punakawan (mungkin sekarang asisten pribadi) dari Baginda Raja Majapahit yang terkhir Baginda Prabhu Brawijaya V, yaitu Sabda Palon dan Naya Genggong.
Nama yang aneh ini nampaknya khusus untuk nama kedua tokoh legenda, tokoh mitos, karena nama ini punya arti yang relevan dengan situasi zaman itu, zaman perubahan. 
Ada yang menerima sosok Sabdo Palon dan Naya Genggong ini sebagai tokoh mistis yang misterius tapi dianggap ada sosoknya.
Amat sedikit yang menerima sebagai tokoh sengaja dikarang, entah berapa lama sesudah kerajaan Majapahit runtuh, kedua tokoh ini sebenarnya adalah 'sanepan' atau semiotika penanda yang melambangkan ke-engganan  menerima  beberapa tata cara Agama Islam yang diajarkan secara dangkal dan disebarkan lewat para Da’i, para Kiai, yang mengajarkan pola hidup agama Islam, dan tata cara  yang bersifat duniawi yang mudah nampak saja,  sedang yang bersifat bathiniah kurang diperhatikan pada waktu itu.

Sabda Palon, sabda berarti “kata-kata” bisa juga “ pesan” atau “suara” sedangkan Palon berarti landasan besi pejal untuk menempa besi pijar oleh Tukang Besi atau Pandai besi dalam bahasa Inggris “anvil”, yang dengan sendirinya bersuara keras bertalu-talu.
Jadi  dia adalah Entitas yang bersuara keras dan bertalu-talu, menyatakan ketidak senangannya dengan para Da’i dan para Pengajar  yang kurang terlatih itu.

Naya Genggong, kata “Naya” juga sering berganti ucapan dengan kata “Nara” seperti dalam kata “Nara Praja” -  “Nara Sumber” berarti orang yang menjabat, atau jadi sumber keterangan.
Jadi Nara atau Naya berarti juga “orang yang menyandang gelar”, atau julukan (dalam kata Narapidana)
Genggong, adalah alat musik kuno, terdiri dari bilah tipis logam bisa dari bilah tipis bambu atau kayu, merupakan bilah-bilah, paling panjang sejengkal digigit erat, digetarkan dengan tangan si pemain alat ini, dibantu dengan gigitan di mulut dan  bentuk bibir, mulut dan pipi,  rongga mulut diubah-ubah guna  mendapat resonansi getaran nada bilah-bilah yang digigit tersebut.
Jelas di sini Naya Genggong adalah ibarat seorang pemain musik dengan alat genggong, jadi suaranya pelan dan audience-nya hanya terbatas orang yang dekat sekali dengan si pemain genggong, mungkin malah untuk didengar sendiri oleh pemainnya saja.
Ini juga sejenis expresi ketidak senangan yang tersembunyi, di expresikan sebagai “kampanye bisik”.
Yang sulit sekali ditangkis dengan sanggahan atau dengan klarifikasi.

Lho kok sampai ada sanggahan dari penyanggah yang mampu membuat tokoh legenda atau tokoh mitos untuk menjadi alat,  tokoh mitos seperti Sabda Palon dan Naya Genggong ?
Karena kritik atau ketidak sesuaian tidak bisa diexpresikan secara terbuka akan menimbulkan murka, tantrum, dan hysteria yang tidak cocok dengan tradisi kaum Brahmana dan Biksu atau sastrawan ksatrya Priyayi jauh sesudah Majapahit runtuh, yang sangat terpelajar dan terlatih dalam mengendalikan diri. Mungkin si Penulis naskah kritik ini juga dari kalangan Islam yang lain approach dakwahnya.
Semua mereka punya motif untuk mengarang tokoh dari dunia mitos ini.

Majapahit telah menciptakan masyarakat yang teratur, hanya keteraturan ini bersumber dari sistem irigasi (pengairan) sawah dengan lereng-lereng landai yang jauh dari pasar export beras, pelabuhan-pelabuhan dengan kapal-kapal besar, untuk memuat beras.
Namun pelabuhan “export commodities” yang diburu para nakhoda pelayaran besar adalah rempah-rempah dan hasil hutan yang sudah sangat berhasil dijamin keberadaan stock pilingnya di pelabuhan-pelabuhan  di bawah jaminan keamanan Majapahit, dari seluruh Nusantara.

Sebaliknya kekuatan Islam didukung oleh pusat baru pengadaan beras, kayu jati, dari wilayah yang dibangun di rawa-rawa raksasa selatan Gunung Muria  (meniru Mesopotamia, dan kayu jati yang “easy available” dari  lereng utara Gunung Muria), bila ditebang langsung diapungkan oleh rakit pelampung di pesisir laut Jawa sedikit ke utara Demak Bintoro yang segera jadi pusat perdagangan yang bisa mengalahkan semua potensi ekonomi Majapahit yang di lereng Komplek Pegunungan Arjuno-Anjasmoro, lereng Semeru di Lamajang, dan lereng pegunungan Hyang di Probolinggo dan di Situbondo dan Blambangan, pegunungan Ijen, dijadikan satu.
Pembangunan kekuatan ekonomi yang baru ini tidak bisa tidak membuat perdagangan di pusat-pusat perdagangan pelabuhan Majapahit suram. Membawa runtuh seluruh kerajaan Hindu Jawa itu.

Tidak demikian dengan pusat pusat kebudayaan Hindu Jawa dan Budhisme di daerah pedalaman dan yang ditunjang oleh Ibu Kota Kerajaan dan Ashram-Ashram para Maharshi dan para Mahabikhu dan Bikhuni.
Hindhuisme Jawa dan Budhisme di Majapahit telah mampu melahirkan masyarakat terorganisasi dengan baik, teratur menurut azas-azas yang bisa diterima terutama oleh para Saudagar dari seluruh penjuru mata angin. 
Mereka cukup punya motif untuk mengarang tokoh Sabdo Palon dan kawannya Naya Genggong, anehnya naskah ini tidak ada tersimpan di Balai Kirtya (Perpustakaan museum lontar dan naskah kuno) di Singaraja. Meskipun Bali adalah tempat pengungsian Kekuasaan Majapahit.
Jadi mestinya naskah-naskah kuno seperti 'Serat Darmogandhul dan Gatoloco" yang mengandung dialog (fiktif) antara Brawijaya V yang mau menerima Islam dan Naya Genggong dan Sabdo Palon yang skeptis terhadap tata cara yang berasal dari kebudayaan Arab, begitu pandangan mereka.
Tentulah pada awal penyebaran Islam di Majapahit, mereka yang skeptis yang menggemari daging (dari asal daging yang tidak halal menurut Islam) dan mengagumi tari tarian adat gadis-gadis a’la Hindu Jawa  di Pura dan Candi mengenakan kain batik atau songket dengan decolette terbuka di bagian atas, juga telah menumpulkan segregasi antar gender di sawah-sawah, di mana laki perempuan bekerja sama berbasah- basah dan memfungsikan Dewi Sri secara maximal,  beda dengan yang di India, Dewi Sri mereka yang selalu baik, sedangkan yang di India nganggur.
Mereka pikir mereka telah menciptakan kehidupan masyarakat yang pantas untuk dihidupi, meskipun tidak ada tangan yang harus dipotong, milik seorang  pencuri, hukuman a’la  Islam.

Sebaliknya dalam  pola hidup Islam mengenai gender, mengenai waris, terhadap anak laki-laki dan anak perempuan, mengenai pensiunnya Dewi Sri, yang dikukuhkan dengan akidah, membuat mereka gerah.
Dan ini mungkin menjadi motief yang kuat untuk menyindir Islam yang berkembang di  pulau Jawa.
Mereka juga punya motief untuk mengarang tokoh fiksi Sabdo Palon dan Naya Genggong.
Menurut Sejarawan  Profesor Doktor Slamet Mulyana :
Islam mashab Hanafi yang berkembang di Jawa, dibawa oleh para Mubaligh dari Yunan China dan sebelumnya dari Parsi dan Asia Tengah ditengarai mulai abad ke 11 Masehi, jauh sebelum mashab Syafei dari Mesir dan Jazeera Arab, dengan nama-nama yang  tidak biasa di wilayah masyhab Syafei, seperti Syekh Jumadil Qubro, Syekh As Samarkandy Satmata (mungkin Satam Atta ?) telah meletakkan dasar syi’ar  Islam secara hati hati,  menyesuaikan budaya setempat yang tidak sangat bertentangan dengan sunnah Islam (akulturasi).

Saya menandai :
Budaya setempat yang masih Hindu Jawa dan Budha antara lain,  upacara “Sradha” yaitu memuja leluhur dijadikan upacara  “Nyadran” sebelum bulan Ramadhlan dengan do’a yang lazim dalam Islam di kuburan Islam. Upacara Bersih Desa, yaitu selamatan di sumber-sumber dan pohon pohon besar masih dilakukan dengan do’a-do’a dari ayat-ayat suci Al Qur’an, yang sama sekali ndak pernah ada dalam Islam, masih diteruskan.
Begitu juga upacara “petik laut” dikalangan nelayan.
Selanjutnya oleh Wali Sanga, pendiri sentra sentra perguruan Islam di pantai utara Jawa dan kerajaan Demak Binoro, masih dari Junan China, pada abad ke 13 dan 14 mendirikan sentra Islam sekaligus kekuatan ekonomi yang baru yaitu sumber beras yang melimpah, dengan angkutan yang gampang lewat kanal-kanal ke pelabuhan Jepara untuk export.
 Walau demikian, di wilayah Kudus, kira kira  50 km dari Demak, orang Islam tidak mengkonsumsi daging Sapi, karena Sapi adalah binatang suci dari orang Hindu Jawa, agar tidak terjadi saling singgung perasaan  dengan masyarakat Hindu Jawa di sana, yang tidak penting untuk syi’ar Islam selanjutnya.
Lagu dan gending Jawa oleh para Wali dipakai untuk syi’ar Islam sekaligus legenda dari Mahabharata yang diberi nafas Islami beserta wayangnya disempurnakan oleh para Wali.
Hasilnya,  Islam dipeluk oleh seluruh penduduk Jawa kala itu.
Tandanya, tidak ada wanita yang telanjang dada, tidak ada orang yang minum dan membuat arak beras, orang desa-desa tidak lagi memelihara babi, dan semua anak laki-laki dikhitan. Di seluruh  Tanah Jawa.
 Menurut sejarawan Pofesor Doktor Slamet Mulyana : Bahwa sesudah ada kerajaan Demak Bintoro mulai ada pemikiran mashab Syafei, seperti halnya di Sumatra Kerajaan Pasai dan Sumatra Barat, yang semula menggunakan patokan syi’ar mashab Hanafi yang Syi’ah dari Hasan Fansuri digantikan dengan mashab Syafe’i yang Sunni oleh Nurruddin Ar Raniri atas desakan mubaligh dari wangsa Mamluk dikirim dari Mesir, yang pengikut masyhab Syafei dari Mesir, syekh Sulaiman, setelah Penguasa terdahulu bermasyhab Hanafi aliran Fatimiah runtuh.

Selanjutnya Profesor Doktor Slamet Mulyana mengulas di buku yang sama :
Beberapa ratus tahun sesudah dibersihkannya mashab Hanafi yang beraliran Syi' ah dan digantikan dengan aliran Sunni, Seorang sosok Ibn Saud, dari Jazeera Arabia jang merupakan pengagum dari pemikiran Sunni a’la Wahabiah memurnikan sunnah Islamiah secara lugas, dengan jihad berkembang di Seluruh wilayah anti Penjajahan Turki yang bermashab Hanafi, dimenangkan oleh Ibn Saud secara telak.  Gema gerakan Wahabi ini mempengaruhi para Ulama Islam di Pulau Jawa pada akhir abad 18. higga sekarang.
 Kemungkinan besar kedua tokoh legenda ini Sabdo Palon dan Naya Genggong diciptakan pada waktu yang sama dengan berkembangnya mashah Syafei aliran Wahabi, yang  fundamentalist dan lugas di lokasi lokasi pengembangan Islam di Nusantara, tapi masih kurang mendalam pengertiannya di bidang bathiniah, maklum.

Sayangnya waktu tidak berpihak pada mereka, karena akhir abad ke 18 merupakan  abad renaissance dan lahirnya industrialisasi dunia Barat, yang siap membongkar paradigma lama, temasuk sikap otoritarian dibidang pemikiran dan permerintahan. Meskipun  didalam banyak hal Islam menunjukkan jalan populis dan egalitatarian misalnya dalam sholat berjamaah di masjid, secara teoritis semua orang muslim yang sehat akalnya dan berilmu agama Islam, boleh mengimami sholat berjamaah itu, kok pemikir Islam tidak berjalan seiring dengan pemikiran renaissance dengan industrialisasinya.
Pada dasarnya sulit membedakan adat istadat Arab yang otoritarian  dan otomatis terikut  juga dalam sunnah Islamiah. Sebaliknya  trend renaissance dunia Barat yang democratic, mamukau Dunia. Sehingga akhir abad ke 19 sampai akhir abad ke 20, ditandai dengan demokratisasi.
Dunia Arab dengan sisa-sisa adat autoritarian kuno dari suku suku penghuni padang pasir yang merupakan patriarch asli,  sudah tak dikenal dimana-mana di Dunia ini.

Demokrasi, bisa menelorkan Pemimpin dengan mengantongi suara hanya 51 persen, dari pemilihan tidak langsung menyertai cup d’etat. atau pemilihan langsung, sedangkan yang tidak jadi pemimpin dapat suara 49 persen, atau kurang, tidak ada yang mensabot tujuan Nasionalnya, asal ada jalan pergantian penguasa secara corrective, sesudah masa jabatan pimpinan berakhir, dan ini secara gentlemen ditaati. 
Ternyata si pemenang yang mengantongi suara sehanyak 51 persen tetap bertahan berkuasa hingga 40 tahun, adat istiadat padang pasir tidak memberikan fatwa apa-apa.
Baru setelah hampir 40 tahun berkuasa rakyat disulut kemarahannya dan melakukan pemberontakan bersenyata dari Negara Adhi Daya yang terang terangan membela kepentingan minyak buminya.
Rakyat yang 51 persen pemilih si Despot di Middle East kurang lebih 40 yahun  lalu mati-matian berperang dengan si penyanggah yang 49 persen, itu dulu, sekarang tidak ada yang tahu, Mungkin sudah 90 persen, makanya perlu legowo pemilu lagi, malah kekeh ngotot kayak di Messir..
Fatwa agar adat istiadat dunia Arab yang “adhi luhung” untuk  menghentikan perang saling bantai, tidak mengatakan apa-apa. Kita lihat di TV mereka berperang mati-matian hingga ludas bersama.
Dari Islam, yang dipeluk penduduk mereka hingga 99 persen, dari aliran sunni dari aliran syi’ah dari mashab apapun, terpana diam, tidak memberikan jalan yang sesuai dengan pikiran yang rasional, tidak ada fatwa agar saling bunuh dengan senyata caliber besar ini berhenti, apa menunggu hingga kedua belah pihak habis ?.

Lha disini, upaya untuk mengembangkan adat istiadat Islami, dijalankan dengan semangat injak gas penuh, tanpa mawas diri, menyelaraskan sunnah melepaskan dari  prilaku adat istiadat padang pasir, seolah-olah tanpa ada pemikiran lain. Hasilnya saling serbu dengan batu dan golok, pembakaran rumah ibadah dan rumah tinggal, kan mudah diganti dengan senjata caliber besar bila ada kesempatan ?
Sunnah Rasulullah SAW itu sejatinya adalah teladan yang luhur rokhnaiah dan jasmaniah, tapi bukan adat istiadat  Arab yang terpilin dalam jerat adat istiadat jahiliyah yang hanya menyangkut hal jasmaniah, yang ternyata membawa bangsa Arab ke jurang kehancuran, karena sunnah  dari sisi rokhaniah dilupakan.

Lima ratus tahun setelah Sabda Palon dan Naya Genggong menghilang, mereka berdua akan kembali dengan melaksanakan kutukannya,  bahwa perusak adat istiadat tanah Jawa a’la Majapahit dengan azas kebersamaan dan saling menghargai  antar umat beragama, sangat ditaati. 
 Kutukan ini benar terjadi, sekarang malah di dunia Arab, dimana terjadi saling bunuh besar-besaran yang tiada kunjung selesai gara gara diadu domba, memperebutkan kekuasaan oleh fihak yang tidak bertanggung jawab, tanpa bisa apa apa, sunni atau syi’ah, dari mashab apa saja. Hanya terpana, hanyut oleh hati  hangkara. Bila masih terus begitu, ya jangan ngotot, sambil mata melotot, sembari ngajari orang dengan galaknya. (*)


Buku acuan karangan  : Prof. Dr. Slamet Mulyana
                         “Runtuhnya keerajaan Hindu Jawa dan timbulnya kerajaan kerajaan Islam di Nusantara”
                           Penerbit LKIS Jogya.

EKONOMI PENYEBAB UTAMA SILIH BERGANTINYA SUSUNAN MASYARAKAT DI NUSANTARA - telah di tambahi dan di edit kembali.


Bangunan masyarakat dengan berjalannya waktu bertumbuh dan berkembang terus, semakin melibatkan banyak anggautanya, semakin dalam terpisah pisah berdasarkan kegiatan hidup, sehingga bangunan lama terasa semakin sesak, tidak bisa memberikan ruang gerak sebagian anggauta masyarakat tersebut, akhirnya bangunan masyarakat itu merubah diri. Hal semacam ini juga silih berganti terjadi di masyarakat Nusantara. Di untaian pulau pulau tropis yang kesuburan tanahnya selalu diperbaharui oleh kegiatan gunung gunung api jang ratusan jumlahnya, adalah logis bila orang asli maupun pendatang awal mulanya adalah petani. Upaya pertanian yang paling awal adalah “slash and burn” /perladangan huma.
Semua orang menghadapi keadaan yang sama, tantangan yang sama, untuk mendapatkan hasil bercocok tanam harus mengatasi hama, penyakit dan gulma /rumput rumpai liar. Petani perpindah pindah ini menebangi semak dan hutan tropis untuk lahan pertanian mereka setiap musim kemarau, kemudiam membakarnya, ditugal dengan biji bijian bila musim hujan tiba. Kesulitan pertama adalah tumbuhnya gulma, berbarengan dengan biji bijian yang mereka tanam dan sulit sekali membedakan antara gulma dan biji bijian yang sengaja ditanam, mereka harus menyiangi lahannya sedini mungkin agar dapat memberi kesempatan pertama bagi tanamannya. Sesudah itu menghadapi fluktuasi hujan yang bisa terlalu banyak diwaktu tanaman masih kecil atau hujan berhenti lama seingga mengganggu pertumbuhan tanamannya, Sesudah semua ini delewati datanglah hama dan penyakit tanaman. Pada akhirnya panen sering hanya nyaris cukup untuk bekal hidup puak itu sebelum sampai musim penen tahun yang akan datang. Sedang anggauta puak makin bertambah. Dari masyarakat tani yang berpindah pindah harus mendapatkan jalan untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Pendatang baru dengan cara baru untuk menanam padi, dengan mempersiapkan pembenihan terlebih dahulu, lantas membuat areal tanam yang bersih dari gulma selama bibit dipindahkan ke lahan yang namanya sawah berpengairan, adalah satu tawaran yang sangat menarik. Satu revolusi pertanian yang menjanjikan cukup biji bijian sepanjang tahun.  Revolusi ini tidak perlu ada paksaan atau peperangan, sistim bercocok tanam yang lama sudah tidak bisa meng akomodasi kebutuhan biji bijian sepanjang tahun. Jalan paling mudah untuk mencetak sawah adalah dilereng gunung yang agak landai, air sungai kecil dibendung diangkat dari jurang ke punggung jurang, dialirkan kebawah sepanjang punggung tersebut sambil di pakai untuk meratakan lapik lapik sawah, terjadilah sawah bertingkat tingkat dengan teknologi sederhana itu.  Timbul bangunan masyarakat baru disekitar sawah, Sebagai ganti kecukupan ini, petani huma yang berpindah pindah tidak perlu perpindah  pindah lagi, cukup biji bijian sepanjang tahun karena dapat panen dua kali dan mudah membedakan gulma dengan bibit padi. Untuk itu mereka dijadikan kasta Waysia dan kasta Sudra, sebaliknya pendatang yang mengorganisasi sisitim pengairan ini menjadi kasta Ksatria dan kasta Brahmana, ya OK saja, wong perutnya kenyang dan rutinitas sehari hari tidak banyak terganggu oleh dua kasta diatasnya. Masyarakat berkembang jumlah maupun aneka ragam kerjanya untuk mendapat nafkah, terutama pertukangan dan kerajinan. Yang sangat membatasi kegiatan perdagangan adalah tidak adanya catatan, sebab Hinduisme melarang kaum Waysia dan Sudra untuk belajar membaca huruf Palawa agar tidaka dapat membaca kitab Wedda. Konon dua kasta yang dibawah dapat dihukum berat seperti telinganya di tuang timah cair bila melanggar. Sebaliknya beban lain dari para Petani sawah yang diberikan oleh dua kasta diatas tidak bisa terlalu berat di wilayah Nusantara ini, sebab bila dibebani kerja wajib dan pajak yang terlalu berat mereka bakal berbondong bondong minggat mencari lereng gunung lain, anak sungai lain yang ada di pelosok pulau ini untuk menghindari penindasan kasta atasnya, toh masih banyak tempat seperti itu di Nusantara yang luas ini. Bersamaan dengan berdirinya kerajaan dagang Seperti Majapahit, ada pendatang baru membawa kebudayaan baru yaitu bebas memberi pelajaran membaca dan menulis ( huruf Arab, kemdian huruf Palawa dan huruf Jawa) juga mempunyai cara untuk mencetak sawah dirawa rawa, dengan membangun saluran saluran menurut ketinggian yang hanya berselisih sedikit dihamparan rawa, yang luas dan manpak rata, beda tinggi permukaan tanah/air hanya bisa diamati dengan teropong pengukur ketinggian/nivelier sebangsa theodolite, yang mengkin telah ditemukan oleh orang Parsi dalam bentuk sederhana sengaja dibawa oleh penyiar agama Islam dari Yunan. Orang Parsi telah menggarap tanah rawa antara sungai Euphrat dan Tigris dan telah melandasi kebudayaan Babylonia yang sangat menonjol di jamannya. Penyiar agama Islam ini di pulau Jawa bermukim di Kawasan Garowisi/Gresik yang merupakan perbukitan kapur yang gersang, dan pelabuhan pelabuhan atau kampong nelayan di pantai utara Pulau Jawa. Sekarang nampak kok tidak masuk akal karena gersangnya. Bila dilihat dengan teliti permukiman kaum penyiar agama Islam di tempat ini sangat logis, karena tidak menyaingi bangunan masyaraka terdahulu  ( dilereng gunung api yang subur dengan sawah berundag), dapat menolong diri sendiri dengan memanfaatkan rawa untuk persawahan dengan kemudahan angkutan hasil lewat kanal kanal dan tambak ikan, dengan teknologi yang mereka cangkok dari orang Babylonia. Maka terjadilah apa yang mesti terjadi, kesempitan bangunan masyarakat Hindu Jawa secara lambat tapi pasti dikalangan kaum waysia pedagang dan dikalangan kaum tani sudra yang menanam padi untuk komoditas perdagangan beralih secara logis ke cara orang Islam di Pesisir yang lebih maju dan egalitarian. Penyiar agama Islam di Gresik mencetak sawah tambak di rawa rawa muara bengawan Solo, mengajari pedagang pribhumi membaca dan menulis membuat neraca lajur dan surat perjanjian dagang di sekitar kota pelabuhan yang berlipat lipat memperbaiki kinerja mereka ini. Kebetulan pada masa akhir Majapahit, dari China ada permintaan beras yang sangat banyak, karena paceklik besar besaran didaratan China gara gara kehidupan petani disana morat marit karena dilanda perang antar Negara yang berkepanjangan. Sedangkan di kawasan Asia tenggara yang mampu menyediakan kelebihan beras dengan mudah sampai di pelabuhan adalah delta Brantas dan delta Bengawan Solo. Lagipula transportasi untuk beban berat seperti beras di wilayah Majapahit yang sudah dibina secara Hinduisme ada di Majalegi (Pare ) dan Jombang yang tidak dihubungkan dengan jalan dan jembatan yang memadai, karena membangun jalan dan jembatan di wilayah tropis basah seperti di pulau Jawa pemeliharaannya sangat sulit.
              Di antara lereng timur laut  gunung Merapi- Merbabu, disambung dengan lereng utara pegunungan Kendeng ada wilayah rawa yang sangat luas kira kira 20 000 hektar, karena lereng ini tidak dapat meneruskan air hujan kelaut gara gara ada gunung Muria di pantai utara kawasan Demak – Kudus, dan rawa rawa ini dibuka secara besar besaran oleh kaum Muslimin yang sudah cukup banyak dan tangguh. Pertama kali sungai sungai yang tertahan oleh lereng selatan gunung Muria diukur, ketinggiannya, kemiringannya, kemudian direncanakan pembuatan saluran saluran menuju kr Sungai Welahan yang menuju ke Jepara. Pengukuran permukaan tanah seluas dan seliar ini dikerjakan oleh salah satu Penyiar agama Islam, dibuat peta contour tanah secara teliti kemdian untuk merencanakan pembuatan saluran saluran ke sungai Welahan disertai dengan pintu pintu air dari gelondong kayu jati yang terkenal tahan air, untuk menjamin pengendalian permukaan rawa agar sesuai dengan kebutuhan tanaman padi sawah. Kecuali itu juga dibangun pintu pintu ganda untuk lalu lintas perahu pengangangkutan.
Sekarang pertanyaanya apakah areal sawah seluas 20 000 Ha dengan  perahu berlunas dan berlambung datar yang dengan mudah mengangkut 2-3 ribu kati gabah ini lewat kanal kanal karena draft nya kecil saja. paling sehasta, ditambah dengan potensi panen dua kali setahun tidak bisa mendukung suatu kerajaan yang siap bersaing dengan kerajaan manapun di Pulau Jawa ?. Apakat sosok yang ikut aktip merencanakan peta topografi rawa dan sungai sungai  diantaranya itu,  oleh rakyat banyak tidak dijuluki dengan sang Kalijaga, bila kebetulan dia tokoh penyiar agama Islam ya ditambahi dengan title  Sunan, jadi Sunan Kalijaga. Apakan kerajaan yang dibangun diantara persawahan rawa luas dan mengambil keuntungan dari wilayah itu, bukan kerajaan Islam Demak Bintoro, yang memanfaatkan pengalaman masyarakat Islam mencetak sawah rawa di muara delta Bengawan Solo dan Sungai Brantas, hanya yang ini disekitar Demak luas sekali ?
Kerajaan Islam terbesar di Pulau Jawa ini runtuh akibat adanya pendangkalan saluran saluran irrigasi dan saluran pematus akibat lahar dingin/ hujan abu vulkanik yang massive dari gunung Merapi –Merbabu. Sehingga a pusat kerajaan harus dipindah ke wilayah yang lebih menjamin pengairan sawah.
Apakah pembagunan rawa rawa menjadi sawah ini tidak dikerjakan dengan ketegaran dan kekuatan fisik yang luar biasa, kaum yang dilatih khusus bekerja dengan tenaga dalam layaknya pesilat aliran Mo Kaw yang cenderung ke Islam  Fatimiyah  yan juga berpusat di Yunan, terpengaruh oleh kebudayaan Parsi. Untuk menghadapi bencana pendangkalan sistim saluran dan pematusan ini perlu pekerjaan yang menyeluruh seperti membangun kembali sisytim ini dari  permulaan.  Padahal lahan sekian luas itu sudah terlanjur terbagi terpetak petak menurut pola kepemilikan dari warisan hingga cucu, hasil jual beli lahan, hadiah dari Penguasa, yang semua ini berdasarkan pemilikan yang individualistis. Sedangkan pengerukan dan penataan kembali seluruh sistim pengairan rawa ini harus dkerjakan oleh mesyarakan secara bersama sama sekaligus. Masyarakat Islam kala itu ( sampai sekarang) masih sulit meggabungkan kepentingan pribadi pemilik lahan sawah rawa dengan kepemilikan  seluruh masyrakat untuk  masyarakat seluruhnya demi membangun kembali sistim saluran a’la Babylonia yang sangat luas ini. Sedangkan ada kesibukan lain yang lebih urgent bagi Puncak Kekuasaan yaitu bertengkar satu sama lain  plus adanya syncretism dengan kebudayaan  Jawa betolak belakang dengan kaum sunni garis keras, dimenangkan oleh kaum sunni, jadi masyarakat terpecah.  Pada era itu di Mesir dan Irak kaum sunni sangat aktip meluaskan pengaruh sunni, sangat mengurangi kekompakan masyarakat.
Zaman itu  Penguasa Baru kembali melirik hamparan sawah berpengairan yang sudah ada untuk dipersengketakan, areal sawah yang sudah ada dan dekat dekat dengan ibu kota Pajang atau Mataram dengan ibu kota Plered, mungkin sudah dibina oleh zaman sebelumnya, zaman Majapahit, zaman Mataram Hindu dan zaman sebelumnya, antara Penguasa Baru pindahan dari Demak Bintoro dan Penguasa Penguasa yang dapat lagalisasi Penguasaan tanah dari Raja Majapahit atau raja Sebelum Majapahit, seperti bumi Mentaok, bumi Kajoran, bumi Banjarnegara yang jauh kebarat. Maka legalisasi kepemilikan dari kerajaan sebelumnya menjadi amat penting, yang kemudian legalisasi ini segera menjadi adu kekuatan fisik maupun akal yang melahirkan banyak legenda dan babad untuk tujuan masing masing, maka bagi tinjauan sejarah zaman itu yang melupakan sector ekonomi sebagai motor utama semua kejadian di masyarakat menjadi  kabur dan terpisah dari dinamika masyarakat*)
Setelah say abaca kembali naskah ini kayaknya kok ada analisa penting yang kelewatan dibahas. Seperti hancurnya sistim pengairan dirawa rawa Demak Bintoro yang melandasi ekonomi Keajaan Islam Demak. Benar sudah semestinya lahan yang segitu luas sudah dimiliki dengan berbagai cara oleh perorangan aau puak puak penduduk, yang sudah sulit unutk dipersatukan fund and force nya menjadi satu badan rehabilitasi sistim pengairan di areal sawah rawa Demak Bintoro. Belum ada di zaman itu Otoritas tunggal yang mampu menggerakkan masyarakat untk bekerja sama, belum ada istilah dan konsep koopersi modern di masyarakat Kerajaan Islam saat itu, kecuali pedrpecahan dengan segala dalih yang berasal dari pemikiran feodalisme.
Sedangkan masyarakat Islam kelihatannya sudah melupakan ikrarnya yang hakiki untu memulai pekerjaan besar rehabilitasi saluran pengairan ini “ bismillahirakhmanirrakhim” Yaitu atan mana Allah yang maha Pemufrah dan Maha Pengasih” Menyingkirkan rintangan kepemilikan sawah rawa, kekuasaan mashab, keturunan, dan aliran penafsiran Agama Islam,dan pertentangasn dengan adat dan filsafah Hindu Jawa. Sehingga masyarakat Demak bintoro tetap terpecsah pecah.
Rupanya hingga kini ikrar ini sangat dilupakan dalam Islam dimana mana, sedangkan ikrar ini diwhyukan oleh dua Nabiullah, Isa al Masih allaihi sallam yang mencanangkan kasih kepada sesamanya, Muhammad sallahu allaihi wassalam yan dititipi wahyu Allah: Bismillahirakhmanirrakhim. Karena azas dari ikrar ini sangat diperlukan dalam zaman perubahan dari feodalime yang individualistik ke demokarasi yang sosialistik. Akibatnya masyarakat Jawa kembali kepada monarki absolut. Sang Sultan Agung dan para raja absolut Mangkurat  Mngkurat dibawahnya. Sekarang Presiden di Timur Tengan umumnya bertahan sampai lebih dari 20 tahun berkuasan. Apalagi Rajanya yang berniat menggenggam kekuasaannya sampai titik darah penghabisan. Hanya di Iran dengan Ayatullah Komeini kok wajar diganti Ayatullah yang lain hingga Ahmadinejad yang insinyur, ada banyak kekurangannya, tapi Iran aman, pegantian system Pemrintahan dari majlis yang terdiri dari kaum Ayatulah ke majlisnya Insinyur dengan pendidikan modern tentu lain, tanpa kebencian dan pertumpahan darah.*)
Di Saudi Arabia yang masih feodalistik absolute mendapat sorotan Dunia karena hukumnya tidak bisa melindungi sesama muslim yang kebetulan disana menjadi TKW dari kebiadaban jahilliah warge Arabnya. Virus penyakit menular MERS menjadi batu ujian lebih cenderung kemana Bangsa yang keras namun terbelakang ini, memilih menularkannya keseluruh dunia apa menahan nafsu mencegah sementara pengunjung umrah dan haji, semenatara ilmu pengatahuan mencari cara pengendaliannya.
Di Indonesia Partai partai Islam jadi gurem di Negara yang penduduknya 90 % Islam,  Karena ikrarnya untuk menjadi rakhman dan rakhim sebgai Khalifah di Bumi, jadi baingnya koruptor yang dia sendiri tidak merasa bersalah apapun. Lantas apa Islam akan tergoda kembali ke feodalisme individualistic seperti zaman dulu sudah harus dirubah menjadi demokratik yang sosialistik tapi tidak ketemu jalannya karena azasnya ikrarnya telah ditinggalkan ? **)



Minggu, 18 Mei 2014

IDEOLOGI RAKHMAN DAN RAKHIM PASTI DEMOKRATIS. MANUSIA YANG DEMOKRATIS BELUM PASTI RAKHMAN DAN RAKHIM. (Ditulis kembali untuk dipertegas pesannya)

Kejadian akhir akhir ini  kejadian di Timur Tengah, kejadian di Dunia Islam. Mereka pada demonstrasi, mereka pada bersimbah darah, malah pada mati, aku parcaya patsi banyak yang mati. Selalu terlihat di TV senjata caliber besar, senapan mesin berat berlaras tunggal dan ganda dibawa kesini kesana disatukan dengan pick up,  dibandingkan dengan Ak 47 yang dibawa semua orang, kayak mainan anak anak. Betul, itu semua sangat mematikan. Perang antar saudara yang ini sangat  mematikan.
Sedang aku lihat juga di TV seorang murid sekolah dasar di Yaman, aku lupa Utara apa Selatan mebaca buku pelajaran, dimulai dengan “bismillahirakhman nirakhim” aku terhenyak, murid belasan tahun, sudah membaca buku pelajaran dengan kalimat ikrar : Dengan nama Allah yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih. Sedang kakak kakaknya lebih tua beberapa tahun, ditempat lain, di Dunia Arab. Di Lebanon, di Siria, di Mesir, di Lybia, pada memberontak melawan tentara penguasa yang  sudah sangat lama bercokol sebagai Penguasa Negara.  Muka mereka yang mati matanya melotot bertanya  “Lho kok bisa aku mati ya ?”
Ini kegilaan oleh apa ?
Masyarakat Padang pasir ini adalah puak puak yang hidup di oasis oasis terpencar pencar dan self supporting.
Bila bukan srinkadi srikandi mereka berkutat sehari hari untuk self supporting, di oasis yang semuanya terbatas, sekaligus memelihara anak anak, lantas siapa lagi.
Wanita wanita arab ditimbun dengan perhiasan dan emas, hanya untuk perangsang kerja keras, tidak boleh dipertontonkan didepan umum, jangan jangan dibawa minggat.
Itu dulu, dulu sekali.
Apa yang terjadi di puak puak ini, pasti ada satu lelaki pemimpin yang unggul terutama secara fisik, dia  memimpin para senior. Masing  masing senior menjadi  patriarch dikeluarganya. Dan ada para yunior pemuda pemuda yang banyak dibawahnya. Itu sampai sekarang, kini sekali.
Oleh karena yang dihitung terutama kekuatan fisik, yunior puak itu adalah kaum lelaki muda saja, kaum wanita tidak diikutkan, mereka lupa bahwa istri Nabi Muhammad SAW dan pendukng yang sangat setia, adalah pengusaha mandiri dan sangat kaya, Siti Hadijah, yang janda, tapi kecerdasannya tidak kalah dengan lelaki.
Pendidikan ditujukan terutama untuk bertahan di situasi yang keras, situasi gurun, otomatis rasa kebersamaan antar mereka amat kuat. Carrot and stick,  favor and punishment, diserahkan pada pemimpin puak dan patriarch dimasing masing keluarganya. Ini sudah memadai selama ribuan tahun, menurut sang Despot.
Para Patriach dan para Pemimpin Puak dan kemudian Pemimpin Suku, Pemimpin Bangsa sudah puas dengan ini. Termasuk Kolonel Gaddafi alm, bahwa kini  peraturan favor and punishment yang ditentukan oleh selera seorang Despot  bagi para yunior yan sudah berpendidikan formal di Barat – dan pendidikan non formal Barat - di jalan jalan dan di mal mal, dan di café café, jadi tidak memuaskan lagi.
Sementara para Senior dan Patriarch hanya mengetahui Despotisme sebagai Pemimpin, mereka kaum yunior minta dihargai sbagai warga yang sederajad, bukan menempuh jalan hidup seperti yang disukai  oleh para Patriarch dan  para Despot, ini terlalu sempit memakai criteria menilai para yunior, hanya sebagai pria yang kuat dan setia kawan. Aku tidak yakin apakah Pemimpin mereka yang baru tidak memikul pandangan yang bertahan selama ribuan generasi - Despotisme ?
Mereka memilih slogan “Demokrasi” sebagai pekik perjuangan dibantu oleh kampiun Demokrasi sepanjang zaman Amerika Serikat.
Akupun pernah hidup dibawah kekuasaan para Despot Orde Baru, aku ambil slogan Demokrasi  makin kuat, karena  sang DESPOT yang dikelilingi para Despot dikelilingi yang didukung oleh banyak despot, mengandalkan bantuan uang dari World Bank, dari IMF, karena Beliau Beliau sudah mulai risih, sang Despot Besar mulai mbalelo, duit ditahan, akhirnya Reformasi.
E, e  di era Reformasi, Demokrasi ini dengan mudah berubah menjadi PLUTOKRASI, itu persekamakmuran orang orang kuaaya kaya.
Orang itu sebenarnya memuja kekuatan mentah dan yang kuat selalu benar.
The might is right. Ini ilmunya Syaithan,
Alam modern telah menggantikan kekuatan fisik dengan uang, uang telah digantikan dengan uang plastic, tinggal gesek.
Saya khawatir demokrasi didambakan oleh mereka yang tidak lolos seleksi atas kekuatan mentah fisik dan setia kawan, tetep akan diganti dengan gelimang uang, untuk jadi  Despot yang didukung Depot yang didukung despot, itu  saja. Karena Demokrasi memberikan kemungkinan yang sama bagi setiap orang. Kata kuncinya: Aku tidak mungkin jadi miskin, sebaliknya engkau si fakir, mungkin jadi kaya raya lho - dibawah panji panji Demokrasi !
Para Patriarch Arab otomatis akankah membiarkan kaum mudanya untuk memilih jalannya sendiri dan menghormati aspirasinya begitu saja ?
Bebaskanlah para anak perempuanmu, putrimu untuk kawin dengan kekasihnya, bukan pilihanmu untuk putrimu, coba ?
Sebenarnya kan itu yang menjadi dalih dibawah sadar kaum pemberontak muda ?

Duaribu sebelas tahun yang lalu datang Utusan Allah ditanah Yudea, tanah sempit diapit oleh dua gurun besar Sahara dan Jazirah Arabia umurnya pendek hanya 33 tahun.
Seribu empat ratus tahun yang lalu datang lagi Utusan Allah datang langsung ke tengah gurun Arabia satu oasis Makkah.
Umurnya lebih panjang 63 tahun. Nabi Penutup.
 Misi Keduanya sama mengganti Pemujaan Kekuatan mentah, memuja patungnya yang jadi Despot, orangnya  yang menterjemahkan sabda patung patung,  penterjemah sabda patung patung itu ya Despotic, tidak bisa lain.  Diganti dengan kekuatan kasih  Yang Maha Agung – apakah ini kebetulan ?
Dua Utusan ini datang ke disana dilingkungan padang pasir dan padang batu – segalanya serba keras – hanya kekuatan yang mampu bertahan.
Diajarkan : “Hai sabda patung, hai dunia seisinya, Allahuakbar – Allah yang Maha Besar –  sebaliknya para Despot yang bisa dibaca urusan pribadinya- kecil, kecil sekali. Penterjemahnya saja yang bilang ini urusan si Despot adalah urtusan Negara, itupun  kecil karena ketahuan maksud aslinya, urusan pribadi si despot itu sangat kecil tidak ada artinya. Yang Maha  Besar itu urusan Allah. Bukan sebaliknya, Allahuakbar, diartikan dengan: “Saya dan si despot saya didukung oleh kekuatan Yang Maha Besar lho, awas menyingkirlah jangan menghalangiku”.
Manusia tidak hanya didukung oleh Allah, tapi resmi diangkat jadi Khalifah  oleh Allah – jadi Penguasa di Bumi, Allah mewakilkan manusia di Bumi dalam urusan apa ? Itu hanya mewakili dua urusan Allah : Pamurah dan Pengasih untuk  Dunia ini.
   Kalau saja murid sekolah dasar di sana itu tahu, ( wong pakai bahasa Ibunya sendiri)  bahkan membaca buku pelajarannya saja  dimulai Dengan nama Allah yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih, Bismillahirakhmanirakhim. Kalau Despot itu seharusnya hanya memikirkanan menjalankan tuganya atas nama Allah yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih dia sudah batal jadi Despot tiga puluh lima  tahun yang lalu, bila si Despot itu setiap memulai perkerjaan berikrar Dengan mana Allah yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih, mungkin dia jadi Mahatma Gandi, jadi Omar Mukhtarnya Mutafa Achad, jadi Ho Chi Min jadi Ibu Theresa, tidak ada yang menyuruh dia berhenti, tidak ada yang memakai senapan mesin berat untuk saling tembak, tidak ada orang yang mementingkan diri sendiri, meskipun dilahirkan di dunia yang keras – di oasis,  di tengah gurun yang sangat luas.
Kembalilah pada sabda Allah yang disampaikan utusanNya, yang          dilahirkan menjadi bangsa kalian, bicara dalam bahasa kalian, mengalami sepanjang hidupnya kekerasan gurun yang luas, mengajari kita untuk jadi Rakhman dan Rakhim  disitu dengan sendirinya Demokrasi sejati, sebab bukan saja kebebasan untuk mengejar hidup yang terbaik, malah kebebasan memberi hidup yang terbaik – itulah makna Rakhman dan Rakhim. Bila anda ndak bisa, untuk apa Allah mengangkat anda jadi KhalifahNya di Bumi ?  Rupanya Allah sudah tahu bahwa perubahan dari sitim politik dari fodalisme/despotism ke Demokrasi itu pasti terjadi, tapi untuk keselamatan umatnya Allah menyuruh manusia itu berikrar terlebih dahulu, berikrar dengan sungguh sungguh Bismillahirakhanirakhim, maka selamatlah perubahan itu artinya tidak melenceng ke despotism yang lain, misalnya kayak disini jadi  Despotisme uang - Oliegarchy,  gitu saja dalam prosesnya mengorbankan dua juta hidup petani ditahun 1965*)


TERBANGNYA SEBUTIR DEBU DIRUANG SEJARAH, SATU CONFESSION KU KEPADA PEMBACA. Tulisan 1. Edisi sudah diedit

TERBANGNYA SEBUTIR DEBU DIRELUNG RUANG SEJARAH - SATU PENGAKUAN

Saya sudah kehilangan apapun benda benda kenangan  selama mengarungi ruang sejarah yang ku alami. Ruang waktuku sejak mulai kusadari,  sekarang saya mulai berfikir bahwa kurun waktu itu adalah unik bagi Negeri ini. Umur enam tahun sudah kualami bersekolah di Sekolah Rakyat zaman pendudukan Balatentara Dai Nippon yang dahsyat. Baru sekarang kusadari hal ini. 
Bayangkan, simpul terpenting pada posisi tertingi dalam masyarakat Hidia Belanda selama berabad abad Kekuasaan Kolonian Hindia Belanda dalam waktu  sangat singkat teronggok nista dikaki Penakluk dengan posture tubuh pendek Bangsa Nippon waktu itu. Sedangkan politik Kolonian Hindia Belanda telah berabad abad biasa melecehkan kaum Pribhumi yang mereka namakan Inlander, adalah subhuman, ondermens mudah kehilangan akal.
Bahwa waktu  pesawat tempur Belanda jatuh dalam latihan sebelum perang karena kecelakaan, kebetulan dipiloti oleh satu satunya pilot pribhumi: Samboedjo, putra seorang Dokter. Tidak mendapat simpati malah mendapat sindiran nyaris ejekan dari pers Belanda, bahwa inlander tidak mampu  bekerja   multitasking  sepenting kayak pilot pesawat tempur, padahal kesalahan teknis sangat mungkin  terjadi, Atau mungkin juga sabotase kolone ke lima Pasukan Penyerbu Nippon
 Saksi mata penghinaan ini masih dengan senang hati  membenarkan nama tokoh yang gugur, dan reaksi pers Belanda. Beliau adalah veteran Pejuang Kemerdekaan RI sudah berusia 84 tahun Bapak Suyud Tarkoyosopuro, pensiunan Daperteman Kesehatan, dan WHO yang kala itu tinggal di Madiun. Sekarang tinggal di Surabaya Sidosremo PDK  gang IV E ph 8417379.   

Malah waktu perang beneran pesawat tempur Belanda yang dipiloti oleh pilot tempur Belanda totok pada lari terbirit birit, diatas laut Jawa, beberapa skadron ludes dalam hitungan hari, melawan pesawat temput Nippon Mitsubishi zero. ( Saya baca buku paperback mengenai komentar Saburo Sakai, "Ace "pilot tempur Jepang, yang sempat mrngejar sampai ke lapangan terbang dekat Malang.) Pesawat tempur Belanda  tega meninggalkan formasi tempur kapal kapal perangnya di laut Jawa, yang jadi sasaran empuk para pilot pesawat tempur Angkatan laut Nippon.

 Selama kekuasannya dinegeri ini yang hanya tiga tahun 1942 sampai 1945, sudah cukup buat bangsa ini menjadi pemberani, karena Jepang pun nyerah pada pemuda pemuda kita, bukan bertempur setengah hati, malah mati matian karena putus asa. Seperti Balatentara Nippon jang di Semarang, batalion Kenpeitai ( seperti batalion SS nya Nazi Jerman )  di markasnya di muka kantor Gubernur Surabaya yang sampai luluh lantak , toh akhirnya kalah.
 Para pemuda kita malah kayak jago sudah mencium bau darah. Tebukukti ketika Sekutu menuntut rakyat Surabaya mempertanggung jawabkan matinya Jendral Mallaby ( Jendral Inggris) di muka Gedung Internatio Jembatan Merah akibat situasi yang tak terkendali dari kedua belah fihak, pada tanggal 10 Nopembar 1945, rakyat Surabaya harus menerima salah,
 Memakai pakaian putih menyerahkan senjata sambil angkat tangan diatas kepala, mulai jam 10 00 pagi dilapangan  Perak.
Bila tidak dilaksanakan kota Surabaya akan mendapat bombardement dari laut, darat dan udara dari Angkatan Perang Sekutu. Duputuskan Pimpinan yang berjiwa muda seperti Pemuda Sungkono yang diangkat oleh para Laskar Rakyat dalam rapat terbuka ditunjuk jadi Komandan Badan Keamana Rakyat (BKR), Pak Dul Arnowo, Mat Osin, Ruslan Abdulgani  dll dan oleh para Pemuda dengan jawaban “Nuts”. 

Maka pada hari itu tanggal 10 Nopember 1945 kota Surabaya jadi sasaran meriam kapal kapal destroyer, cruiser yang kalibernya mengerikan, meriam lapangan, dan straffing terbang rendah dengan murah menghujani renteten tembaan senapan mesin 12,7 mm,  juga pemboman dari pesawat terbang Inggris Spitfire, kerumunan manusia yang  mau mengungsi malah jadi korban yang tidak beruntung, kebanyakan etnik China, dan peranakan dari kota sebelah Utara.  tidak terhitung..

Surabaya bertahan dalam suasana perang dari  jalan ke jalan sampai bulan February 1946. Malah oleh Profesor Sejarah kroni Orde Baru Prof. Nugroho Notosusanto  cuma dianggap perlawanan penduduk Kampung  Kampung Kota Surabaya, jadi  tanggal itu tidak perlu ditandai dengan peringatan apa apa, Oleh khianat itu sekarang tanggal 10 Nopember di tanggalan hitam siperti hari yang lain, mungkin karena perlawanan itu tidak diprakarsai oleh ABRI sebab ABRI nya masih ditingkat Komando di Jakarta,  prajuritnya belum  direkrut dari Laskar Rakyat setempat. Keluarga kami baru mengungsi bulan Desember 1945.

Zaman itu mulai kusadari setelah saya dimasukkan ke kelas satu Sekolah Rakyat dikotaku Surabaya di Jl. Pacarkeling. Tahun tahun sebelum itu tidak masuk  kedalam kesadaran saya. 
Saya  dari Tambaksari, Jl Juwet no 15 kesekolah jalan kaki, hanya beberapa hari permulaan saja diantar.
 Keluarga kami miskin, karana ayahku tidak bekerja pada zaman penjajahan Jepang , konon memang kantornya tidak bekerja di jaman itu, Kantor Notaris Belanda Meneer Theodore Vermeulen, pulang kenegeri Belanda menjelang pendudukan Nippon.
 Malah Ibuku bisa mulai usaha kecil kecilan, mewarna kembali kain bathik, namanya “nyembuh” kain bathik. Sesudah “disembuh” kain bathik yang sudah pudar dan lusuh warnanya tapi kainnya masih kuat, akan nampak baru kembali.
Proses nyembuh kain bathik sama dengan membuat kain bathik baru, dengan menutupi gambar pola yang berwarna putih dibatik dengan lilin lebah persis diatas pola yang mestinya berwarna coklat dan biru gelap/hitam dibiarkan terbuka. Selembar kain bathik yang sudah pudar warnanya dibathik kembali dengan lilin lebah, lantas diwarnai dengan rebusan kulit pohon saga dan berbagai campuran kemudian direbus hingga berwarna coklat tua, tanpa diwarna dengan warna biru hitam dengan nila (nama jawanya wedelan), seperti membuat kain bathik baru. 
Jadi di zaman yang sulit zaman perang ini orang tuaku masih bisa memberi makan pada keluarganya yang besar, karena saudara dan saudariku banyak,  saya ada delapan saudara saudari, yang tertua lelaki, sekolah di  SMP kelas dua yang paling muda baru lahir tahun 1945, kalau ndak salah bulan Juli. Usaha ini di Surabaya usaha nyembuh kain bathik cukup mendatangkan rezeki, karena sebagian besar kaum wanita menengah Jawa maupun kaum peranakan cina menggunakan kain bathik dan kebaya pada jaman itu persis kayak Kartinian Sekarang.
Hanya untuk nyonyah cina kainnya berasal dari pembatikan pantai utara Jawa, banyak menggunakan wara merah dan hijau yang ramuan pewarnanya tidak diketahui ibu saya, jadi bukan  langganan  Ibu saya.

Kakak laki laki saya sudah di SMP Praban, jarang pulang karena Kingrohosi dan latihan perang perangan membuat parit pertahanan dan sarang senapan mesin dipimpin oleh guru  Nippon mereka. Saudari saudari saya ber kingrohosi mencari ulat jarak, repot untuk gadis remaja seumur kakak saya yang sudah kelas  lima sekolah rakyat, sebab textile pakaian sulit dan bahan adornments juga sulit seperti sepatu (bukan kulitnya yang sulit didapat  tapi bahan penyamak kulitnya yang sulit didapat)  dan barang lain walau penjepit rambut atau pita rambutpun sulit didapat, apalagi sabun mandi yang agak harum. Seingat saya kakak perempuanku yang sudah kelas lima sekolah rakyat tidak beralas kaki waktu pergi kesekolah, apalagi aku baru kelas satu.
Kepalaku digundul plontos, karena sering ada  borok dikepala, lagipula gundul plontos adalah mode pada zaman Nippon. Sabun kami sering membuat sendiri, sepertinya bahannya minyak kelapa dan abu dan garam dapur di godog sampai kental sehingga bila dingin membeku. 

Suasana semangat perang didengungkan disekolah sekolah, kebencian pada Sekutu juga menjadi tema nyanyian yang diajarkan, semua hampir lagu mars, banyak yang memakai bahasa Jepang. Terutama harus dinyanyikan setelah upacara pagi menghadap ke timur laut mengutara kekota Tokyo, menyanyikan Kimigayo ( kagu kebangsaan Nippon) setelah itu Saikerei atau menekuk punggung membungkuk membentuk huruf L untuk menghormat pada Tenno Haika disana,  Sang Kaisar yang setengah Dewa.
Kami  hidup di kota besar, yang kebetulan jadi pusat pengkalan Angkatan Laut Nippon, jadi kota ini oleh Pemerintahan Militer Nippon agak diistimewakan agar tidak mudah bergolak, pangan diangkut dari pedesaan cukup. Hanya sangat sering kota ini mendapat serangan udara Sekutu. Rumah kami temboknya sampai retak retak, karena ada bom jatuh disisi barat lapangan Tambaksari. Semua hunian sekitar Kalipepiting, Kaliwaron sampai Tamabakwedi dan Kedungcowek dipindahkan entah kemana sebab sering terjadi bom bom Sekutu nyasar jatuh didesa desa itu.

Kekejaman Kenpeitai (Polisi Militer) Nippon kami tidak asing, Bapakku orang swasta banyak punya kawan mencari nafkah dngan “nyatut” apa saja. Banyak barang keperluan dilarang dijual umum, seperti bensin, solar, alat alat pertukangan besi seperti lager/bearing (gandar), pelumas, alat pateri dan asam chloroida maupun asam sulphat marupakan bahan langka, ada di pasar gelap degan ribuan tukang catut yang memperjual belikannya dengan berbisik bisik.
 Pada satu saat kami mendapat tamu orang Arab, teman bapak saya, juga nyatut, dia bercerita pernah ditahan beberapa minggu oleh Kenpetai, karerna memperdagangkan alat pahat mesin bubut besi, dari bengkel mesin pabrik gula, yang merupakan barang curian, dibutuhkan di dok kapal Tanjung Perak Surabaya. Dia menceritakan kekejaman dan siksaan yang luar biasa di dalam tahanan markas Kenpeitai.
Sebaliknya Ibu saya  dan teman teman ibu ibu di kampong Tambaksari bergiat di Fujinkai ( mungkin artinya Dharma Wanita sekarang) yang memberi makan orang miskin dan pengemis dibiyai oleh Pemerintahan Pendudukan Kota Nippon (kantor Gemente pada zaman Belanda jadi kantor Sie pada zaman Nippon dan kantor Kota Madya zaman sekarang), kira kira setahun pertama pedudukan Nippon dua kali seminggu, di gedung sekolah rakyat Tambaksari muka lapangan, aneh dizaman seperti itu, kok tidak dikorupsi saja oleh Kantor Sie, sekarang   program seperti itu  akan cepat ditilep, coba aja.
Armada Nippon terkesan pada kota Surabaya sebagai sekutu Armada Nippon jauh jauh hari, sebab buruh buruh di Ujung, markas KL/Marine  (Koningklijke Marine), waktu masih dibawah  Nederlands Indie, pernah menerima pekerjaan dok kapal perang destroyer kuno Amerika yang setengah lumpuh,  oleh gang pekerja dok (pro Nippon) disabot pengerjaannya hingga Nippon menduduki Surabaya tidak kunjung selesai, jadi kapal perang rampasan Armada Nippon, hingga kemudian perwira ex kapal perang Amerika itu telah merasa tentu ada apa apa dibalik itu, baru sekarang saya temukan cerita itu disebuah  novel Perang Dunia II, edisi paperback. 
17 Agustus 1945 Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Presiden didampingi wakil Presiden Republik Indonesia. Ir Soekarno dan Drs. Mohamad Hatta. “Indonesi Raya” menjadi lagu Kebangsaan Indonesia dinyanyikan dengan irama gembira dimana mana, mendadak Radio dapat bebas bersuara kembali dengan lagu lagu mars perjuangan yang lain.
Didada semua orang ada lencana bendera merah putih. Aku bermain sambil meniru euphuoria orang dewasa. Lepas dari pengawasan sedikit saja,terutama oleh ibu saya  sudah sampai di jalan raya dan lapangan sepak bola Tambaksari untuk mencari selongsong peluru yang menjadi milik kami yang sangat berharga. Lapangan bola yang dipagar ini jadi arena para pemuda Lasykar Rakyat untuk latihan menembak.
Pendahuluan cerita yang nampak bertele tele sangat panjang, itu akan tidak terasa, sebab dengan permulaan kehidupan keluarga yang semacam ini kami memulai kehidupan keluarga dalam pengungsian, yang tidak dialami oleh sebagian dari keluarga keluarga  diwilayah Republik Indeonesia yang sangat miskin dan terisolir dari Dunia luar ini. Kami menjalani selama lima tahun,  hingga tahun 1951. Sebab sesudah Perang Dunia Ke II selesai tahun 1945, dan segera Dunia bangkit mengadakan rekonstruksi besar besaran. Bahkan dijantung bekas peperangan dahsyat di Europa, yang berpengaruh pada kita terutama  di Republik Baru ini adalah Kerajaan Belanda, sebab mereka menganggap negeri ini punya mereka dan jajahan Inggris tetengga kita, Singapura dan the Strait Setlement ( semananjung Malaka waktu itu). Dari tempat tempat ini  Republik Indonesia dipedalaman, secara dagang tetap berhubungan karena ada kapal transport untuk penyelundupan dan transport untuk membawa peralatan perang dan tentara pulang ke Europa kosong,  Kami sangat membutuhkan barang yang  diperlukan demi hidup wajar. Barang seperti kain textile penutup aurat dan obat obatan, terutama bengsanya sulfa dan berbagai vitamin selanjutnya merembet kealat transportasai praktis seperti sepeda terutama ban sepeda menjadi barang yang sangat langka hanya dibuat oleh Goodyear dan Dunlop dari Amerika, alat tulis seperti kertas tinta dan alat tulis pensil, menjadi barang langka  parsediaan habis sejak lama di Republik Muda yang wilayahnya sudah sangat kecil ini. Masih dilanda perang saudara pemberantas PKI Muso th 1948, tapi sudah berani menentang habis habisan Agresi Bala Tentara Kerajaan Nederland ini yang  mereka namakan Aksi Polisionil ke satu th 1946  dan Aksi polisionil ke dua bula Desember th 1948, dengan ke empat angkatannya. Ankatan ke 4 adalah Intelligence yang  bekerja kurang  efektip meski sudah dibantu para komprador yang tidak kuat hidup miskin. 
Tapi jangan dikira  wilayah ini miskin dagangan,  Republik de facto Merdeka ini masih mampu menhasiklan ribuan ton biji  kopi ( coffe bean) berkwalitas baik OIB 1 , ribuan ton gula SHS 1, dan tidak seberapa banyak karet  berkwalitas bagus, dulu namanya RSS 1, sangat dibutuhkan diwilayah yang sudah direkonstruksi di Europa, lewat Singapura, atau langsung. Barang barang ini dahasilkan oleh para petani daerah Republik di Pulau Jawa, karena petaninya memang betul betul tekun semua masih menurut aturan tuannya dulu, pabrik pengolahan tebu jadi gula sebagian masih bekerja, lain dengan yang di Sumatra atau Kalimantan, karet pada rusak bidang sadapnya, kebun kopi jadi setengah hutan, atau ladang jagung  untuk bekal perang. Amerika Serikat dan Inggris masih dapat dari  Benua Amerika Selatan yang relatip aman  selama Perang Dunia ke II, tapi Europa  masih sangat jauh, dan belum punya produk penukar yang memadai kecuali periuk penanak nasi, penggorengan dari baja,  pisau baja, stock Perang dunia ke I, barang dagangan lain tidak ada,  kecualai dibantu oleh Amerika.
Dalam suasana macam itu Republik Indonesia Merdeka tahap paling awal, bisa dibayangkan kehidupan keluarga pengungsi pengungsi yang menghindari tinggal didaerah pendudukan Bala Tentara Kerajaan, termasuk keluarga kami.  Kami anak anak, ibu kami mengasuh adik adik kami yang masih sangat kecil di gendongannya, kakak kami mengurusi rumah tangga, mencuci pakaian keluarga kami, menyapu lantai, memandika adik adik kami, yang bertambah dua selama dipengungsian, dirumah kakek nenek kami di Solo. Suasana Pengungsian rupanya ikut membentuk watak saya dikemudian hari, jaitu watak tidak mudah peduli atau kepingin terhadap barang, suka menyendiri, jago memanjat apapun, alergi terhadap otoritas apapun, terutama otoritas orang yang perpakaian rapi. Selama kurang lebih empat tahun di Pengungsian saya telah membaca habis satu persewaan buku buku yang terletak agak jauh dari rumah kami, dekat dengan rumah kerabat kami priyayi Solo asli yang hdupnya menjadi rentenir sambilan, pinjam 10 dalam sebulan jadi 12. Ibu Saya langganan kerabat kami itu, sambil menjalani suruhan ibuku untuk mengutang, saya selalu menyewa buku buku, sewanya murah sekali dan boleh ngutang pula, karena persewaan itu tahu saya selalu mengembalikan buku bukunya rapi dan benar, hanya buku buku tulisan huruf Jawa saya tidak menyentuh karena tidak lancar membaca huruf Jawa dan sering judulnya tidak menarik seperti karangan Karl May, karangan Sven Hedin, Dari Kutub ke Kutub, apa “Ni Wungkuk ing Mbendo growong”, “Ngulandoro” dari Mahabharata yang merupakan cerita bersambung pengarangnya siapa aku sudah lupa, hanya cerita Jawa  tapi berhuruf latin saya lalap juga, bahkan sampai buku Bhagawat Gita, tentu saja dengan peringatan Bapak Penyewa, di bilang baca buku kecil  itu bisa gila, saya baca memang  banyak hal yang saya tidak mengerti tapi alur ceritanya bisa saya mengerti dan saya tidak gila. 
Setelah saya dewasa saya bertanya kepada bapak saya, wong beliau ini orang swasta, sudah terlalu tua untuk bergabung dalam laskar apapun kok ikut mngungsi sengsara selama lima tahun,  dengan anak  sebanyak  saudara saudari saya?  Jawb beliau, kakak sulung saja ikut dalam TRIP kala itu mundur ke Malang, kemudian ke daerah Blitar Wlingi, bila kami tetap di daerah pendudukan Belanda, bila kejadian yang paling buruk terjadi pada kakak saya tidak akan ada berita yang sampai. Padahal di daerak Republikpun jarak antara Blitar dan Solo cukup jauh, mereka bergerilya di gunung dan desa desa, siapa yang bakal menyampaikan berita apapun ?  Begitulah kecintaan seorang  ayah kepada anak sulungnya, saya baru mengeti. Ayah saya bekerja di Bagian Distribusi  hasil pabrik pabrik gula, ada lima enam pabrik milik Republik ini, pada akhir kekuasaan Republik, tiga bulan sebelum Tentara Karajaan meduduki Kota Solo, dia menemukan bahwa gula ribuan ton sudah lenyap dari gudang gudang, beliau mengusutnya, ternyata yang makan orang orang yang dalam posisi tinggi di kalangan sipil dan militer, kelak menjadi intinya  Orde Baru malah beliau dipenjara sampai Tentara Kerajaan memduduki Solo, sudah bagus tidak dilikuidasi sebelum belanda masuk kota.
Alergi terhadap otoritas makin lama sesudah saya menginjak dewasa bukan saja dari mereka yang berpakaian rapi, tapi makin menggeser pada semua establishment. Waktu saya masuk SMP kami sudah pulang ke Surabaya dari pengungsian, di SMP I jalan Pacar, kegemaran membaca saya lanjutkan dengan meminjam buku dari Perpustakaan Jl Ondomohen, dipinjamkan oleh adik saya yang sekolah di Taman Siswa di jalan yang sama, entah sekarang jadi apa. 
Di SMP saya mudah mengerti keterangan Guru,  jadi meskipun  belajar minimal, hasilnya masih tetap baik. Dari SMP I saya masuk SMA II bagian B, Jl Wijaya Kusuma Surabaya, di SMA ini saya mulai mendapat kesulitan, dari kelas satu hingga kelas 3 saya masih mudah menerima penjelasan matematika, kimia, fisika dari Guru Guru, kami, tapi untuk mengerjakan soal ulangan saya butuh waktu  lama dibandingkan dengan teman teman, tanpa merasa saya jadi bodoh, angka ulangan jadi jelek, karena masih tetap memakai kebiasaan di SMP dulu, malas latihan mengerjakan soal soal supaya cepat selesai. Akibatnya saya menjadi murid bagian bangku belakang, mediocre dalam pelajaran, lebih suka membaca segala Koran dari Suluh Marhaen (PNI), Harian Rakyat  (PKI) dan Pedoman (MASYUMI)  dengan nick name Koran Gamparan/bakiak dan majalah terutama majalah Star Weekly, yang artikelnya banyak yang bermutu dan intelek, kalok nggak salah Redakturnya Inyo Beng Goat yang  PSI  (Partai Sosialis Indonesia).  Artikel khususnya mengenai Perang Dunia ke II bersambung sampai bertahun tahun, ingat saya cergam yang saya nanti nanti, cerita gambar bersambung panglima Sie Jin Kwie,  sangat tidak senang dengan majalah Terang Bulan yang menurut saya waktu itu cengeng.  Sangat mengagumi Bung Karno, sangat membenci perbuatan korupsi, waktu itu tokoh negatip kami adalah sosok Sarpan, Kepala Bea Cukai yang hidup wah ditengah hidup sederhana kaum pegawai, dan gemuruhnya Sukarnoisme. Sebenarnya sudah banyak tokoh koruptor yang menonjol kaya di Surabaya ini, tapi saya tidak tahu. Anehnya karena saya lebih suka berteman dengan teman sewilayah Rangkah, Bogen saya tidak tertarik untuk ikut organisasi apapun. Saya memandang Organisasi apapun pasti ada Otoritas yang mengatur ini itu, saya masih alergi.
Akibat lulus SMA dengan angka yang mediocre saja,  saya masuk ke Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada. Di Jokja. Masuk mendaftar langsung diterima karena yang dapat ditampung 40 mahasiswa baru yang mendaftar hanya 32 orang sampai saat terkhir menjelang ujian masuk. Nomer induk Mahasiswa saya 235 KH. Oleh paman saya yang telah lama jadi mahasiswa saya dianjurkan masuk mendaftar jadi anggauta HMI Himpunan Mahasiswa Islam, sebab nanti bila masuk Complex Ngasem tidak perlu diplonco lagi, nyatanya juga diplonco lagi , paman saya itu cuma cecere di HMI ndak ngerti apa apa mengenai organisasi.    
Sebenarnya saja,  saya enggan mengingat ingat episode hidupku saat saya jadi mahasiswa Gajah Mada selama nyaris tiga tahun. Satu kurun waktu dalam hidupku yang terburuk selama nyaris tiga tahun terbuang tanpa ada suatupun yang berharga untuk diingat. Hanya satu  pejadian yang pantas saya tidak saya lupakan. 
Ceritanya begini:  Aku numpang kost dirumah pamamku adik ibuku yang sudah beranak tiga laki laki semua, si sulung sudah SMA kelas dua, adiknya ikut neneknya di Solo, Yang bungsu Masih klas dua Sekolah Dasar. Pamanku itu mahasiswa juga Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada juga, tingkat bacaloreat, orang Kejawen yang suka tirakat. Meskipun sudah jadi pegawai Pajak. zaman itu masih banyak pegawai Pajak yang hidupnya pas pasan. Istri pamanku adalah anak gadis priyayi kerabat kami yang bekerja sampingan menjadi pelepas uang sepuluh - dua belas yang sangat sering jadi langganan ibuku ngutang zaman perang revolusi dulu di Solo.
Bersama saya ngekost juga kakak beradik gadis gadis ayu keponakan istri pamanku, yang tua di Fakultas Kedokteran dua tahun diatasku, yang muda sebayaku masuk Fakultas Paedagogy. Mbak ini baru bertunangan dengan seorang Manager di BUMN, dengan gaji yang sangat baik kala itu. Dia dijodokan Ibunya nampaknya langsung cocok rupanya.  Adiknya masih mahasiswi baru, dan baru saja belajar memakai lipstick. 
Pada satu saat menjelang siang hari kira kira jam 8.30  dirumah sepi, tuan lagi kerja dan nyonya lagi arisan sama sekecil, anak anak kost lain dan  anaknya paman saya  sekolah. Si embak ini lagi dirumah, mungkin lagi kebanjiran hormon progesteron kangen belaian pacarnya, maklum baru pacaran sekali, serta merta merangkul saya dari belakang kursi yang saya duduki untuk mendengarkan lagu klasik dari radio, susunya yang besar menempel empuk di leher saya, rupanya dia tidak memakai apa apa dibalik bathrobe yang dia pakai, saya terkejut sekaligus seperti pegas yang baru dilepas dari tekanan, badan saya beraksi kilat,  menengok ke belakang dekat sekali hidung saya dengan pipinya yang putih, entah kena apa kok kali ini berbinar kemerahan dan mukanya terasa panas, sambil kubelai dibagian rahangnya nya disisi lain, setengah merangkul kepalanya, saya kira ini reaksi reflex saja. setelah jantung saya  agak reda meloncat loncat, baru saya bersuara saya usahakan senormal mungkin, perlahan saya omong bahwa saya tidak mau mengulang riwayatnya ular Talipicis yang bergelutan dengan ratunya ular Dewi Nagagini.  Ketahuan Prabu Malawapati, melihat ketidak sesuaian hubungan ini sang Prabu memanah putus badan ular Talipicis dan selesailah kobaran api tubuh Dewi Nagagini. Karena malu Dewi Nagagini langsung menghilang sambil mengutuk Prabhu Malawapati, bahwa istrinya akan membakar diri karena kekerasan hati sang prabu. Apa lacur, sang Dewi Nagaini malah melapor kepada suaminya sang Naga Taksaka, bahwa dia digoda oleh sang Prabhu Malawapati. Tanpa omong apa apa sang Taksaka datang ke Malawapati  kata empu Dalang: waktunya  “wus bang rahina Hyang Aruna kadi netraning ogha rapuh” (menjelang fajar, sang  Surya merah seperti mata yang sakit), mengendap endap diluar parahasyan istana yang luas, siap menyemburkan bisanya keseluruh istana, hanya tertahan oleh suara Sang Prabhu menceriterakan kepada permaisurinya mengenai kelakuan konyol Dewi Nagagini dengan ular Talipicis, yang berakibat dipanahnya oleh beliau si ular yang ndak tahu derajadnya itu. Mendengar secara tidak sengaja pembicaraan sang Raja dengan permaisurinya, mendadak sadarlah betapa besarnya dosa sang Taksaka bila terlanjur membunuh seisi  istana dengan bisanya yang ampuh hanya karena kurang periksa tehadap raja sahabatnya sang Malawapati. Maka sang Taksaka menghadiahi sahabatnya sang Malawapati, dengan kebisaan mengerti bahasa segala binatang. 
Mendengar cerita saya sambil saya belai belakang telinga, rahang dan dagu si embak agak lama. Aneh, lenyap si Propadeus melata tak berharga, menjelma jadi sang  Bijaksana, bebas merdeka. Terus terang aku menikmati suasana ini, tragisnya aku sadar bahwa ini bukan hakku.  Maka makin tinggilah voltage listrik  badaniyahnya, kemudian sambil tanganku yang lain bekerja menjawab sensualitas  dibalik bathrobe dengan tempo irama adagio, sangat hati hati namun pasti, membantu hawa panas  yang menggebu gebu menyelesaikan proses alam  menuntaskan diri, diakhiri dengan tempo crescendo,  malah bibirku menciumi pipinya dengan ringan   dengan perasaan kasihan sedikit selfsuperiority  yang melegakan,  malah segera aku harus balajar dari dia, bagaimana melumat orang hidup hidup.   
Aku  mengerti arti dan sebab peristwa mendadak tidak disangka sangka ini, maklum aku  mahasiswa Kedokteran Hewan yang hafal tanda tanda hewan piaraan betina saat birahi.  Itu pertama kali saya melihat wanita yang lagi ‘go kill’ sedahsyat si embak ini. Saya yakin peristiwa mendadak ini tidak akan terulang lagi antara aku dan dia. Memang si embak ini berperawakan padat berisi sedikit kearah gemuk, berkulitnya cerah, pembawaannya menyenangkan.  Mulai saat itu saya   hormat kepada pasangan yang lagi bemesraan dimana saja. Kasihan dan bersimpati kepada mereka, kok bisa kayak bukan maunya sendiri.  Untuk selanjutnya  si embak ini sangat menghormati dan menyayangi saya sekilas kadang kadang nampak  dari pandangan matanya, saya makin merasa sedih, jadi keroco propadeus dimasyarakat Jogja, 
Sesudah itu si embak memilih kawin dengan tunangannya, tidak  melanjutkan kuliahnya di Fakultas Kedokteran, meskipun saya yakin dia bisa karena dia memang cerdas, dan banyak temannya dari Organisasi Mahasiswa binaan partai apa saja . Selanjutnya sesudah tahun pertama kuliah tingkat propadeuse di Komplex Ngasem dimana seluruh fakultas yang ada hubungannya dengan Biology, yaitu: Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran gigi, Fakultas Farmasi, Fakultas Pertanian dan Fakultas Kedokteran hewan medapatkan kuliah ilmu ilmu dasar bersama sama dari satu Dosen untuk setiap mata kuliah seperti Botany, Zoology,Kimia Organik, Kimia Anorganik, Fisika, kami dapat kelas sendiri untuk kuliah Fisikokimia (kimia kolloida). DI complex Ngasem juga ada laboratorium Fisika, Kimia analitik, Zoology dan Botani,  diakhiri dengan mendapatkan Surat Puas, pada akhir tahun untuk mendaftar Tentament dan Ujian Kenaikan tingkat. Tentament  adalah ujian per mata kuliah setiap enam bulan, sedangkan ujian kenaikan tingkat diadakan setahun sekali untuk mata kuliah yang tidak ditempuh tentament. Setiap mata kuliah dapat lulus tentament selama enam bulan sesudah itu kelulusannya expired. Kelulusan ujian tingkat harus bersama sama lulus seluruh mata kuliah. Jadi bila terkumpul tanda lulus di tentament, umpama lulus untuk tiga mata kuliah maka sisanya ditempuh melalui ujian kenaikan tingkat. Bila ujian tidak lulus atau dengan syarat  ikut lagi dalam tiga atau enam bulan, untuk beberapa mata kuliah, kecuali yang ditempuh tentamentnya lulus dan masih berlaku, sangat bertele tele dan menghambat kelulusan ketingkat mahasiswa dselanjutnya.  Pada judisium tahun pertama aku diputuskan untuk diperbolehkan ujian setelah enam bulan, alias tentamentku semua habis waktunya, hangus, harus mengulang semua. 
Sesudah peristiwa aneh itu dan judisium yang konyol,  malah  sering darahku berdesir  bila melihat gadis yang ciri cirinya seperti si embak, tidak seperti biasanya. Racun Dewi Nagagini rupanya telah menyerempet saya. Saya menepisnya sebisa mungkin, dengan sadar diri, bahwa saya mahasiswa yang  gagal, harus berjuang keras, tidak layak membawa nasib orang lain, alasan untuk mengeraskan hati, hingga mambatu, tidak akan menyepelekan perilaku yang bisa melukai saya sendiri. Singkatnya jadilah aku seorang “stoic”.
Sekarang ini saya sudah berumur 76 tahun, istri saya meninggal tg 1 Mei 2012,  didampingi istri tercita  selama lebih dari 30  tahun, sekarang hampir tiga tahun menduda, dia meninggal karena badannya digerogoti kanker payudara, meskipun sudah berhasil dioperasi, tiga tahun sebelumnya. 
Dengan menulis memoir ini bayangan si embak kembali masih jelas dibenak  saya, sorang gadis 24 tahun, dua tahun lebih tua dari saya, dsb, dsb dan darah saya berdesir, kayaknya kok jantungan, ngeri saya. Perasaan saya berangsur normal membaca Al Fatikhah dengan menekankan ke artinya, berkali kali, yang terfokus bahwa saya sudah berusaha memulai segalanya dengan Bismilahirrokhmanirrokhim, maka sekarang saya bisa baca Alhamdulillahhirobbilamanin. Terpujilah Allah yang  menguasai segala Alam. Arrakhman nirrokhim - Maha rakhman dan Maha rakhim terhadap saya, Malikiaumiddin - DIA yang menguasai segala hari Perubahan. Iyakanak buduwaiyakanakstan’in- ENKAU-lah yang ku sembah dan ENGKAU-lah yah yang kumintai pertolongan Ikhdinasirotolmustakim- tuntunlah saya kejalan yang benar………….
Sistem yang rumit ini tidak seberapa menghambat bila dibandingkan watak dan tuntutan Dosen Dosen muda usia rata rata 30 hingga 40 tahun, yang mengira dialah orang yang terakhir menguji seorang calon sarjana, yang bodoh jangan sampai lolos. Bahwa kebodohan itu relatip bagi seorang guru sejati, diabaikan oleh gang Dosen ini, dengan mengobral pertanyaan yang jawabnya hanya dia sendiri yang tahu. Itulah bullying mental yang sebenarnya. 
Kebanyakan Dosen Dosen ditingkat propadeus  Komplex Ngasem ternyata anggauta keluarga besar Pak Sodo Hadisiwojo, yang mendidik keras putra putranya, nyaris dengan otoritas seorang Despot. Saya mendapat informasi ini dari bapak Bawono Kepala PT Pertani unit Kediri tahun delapan puluhan, yang tidak lain adalah putra  Pak Sodo sendiri. Ada pola yang  sama dalam nama beliau beliau profesor professor ini: Ir.Suryo, dr. Suwasono, Ir. Gembong, Drs. Pharmasi Sardjono, Ir. Mugiono kemudian teman saya pak Bawono yang bukan profesor. 
Ditinjau menurut kepercayaan Hindu, beliau beliau para Dosen saya ini harus menitis/reinkarnasi  kembali jadi murid murid  di Indonesia zaman sekarang, yang harus menghafal pertanyaan soal dan kunci jawabannya, ribuan soal habis habisan, bila mau kayak kami dulu ingin berhasil lulus ujian dengan memuaskan, atau beli bocoran, semoga.  Mengingat itu, kulit saya bergidik meremang ngeri.
Sikap yang seperti kuda penarik sado yang memakai penutup mata pandangan samping, tidak melihat kebutuhan Negara yang masih  muda ini, tidak melihat fungsi mata pelajarannya untuk kekhususan ilmu yang akan dipelajari di masing masing fakultas. Misalnya kuliah Zoolody dari dr. Suwasono: Masak, kuliah dari tahun 1950 hingga 1958 saban tahun topiknya berbeda, ( saya tahu dari diktatnya yang ditebitkan HMI) dan dalam ujian ditanyakan semua yang dibicarakan di kuliah kuliah itu ? Apa kita kita ini akan jadi Zoologist, yang mengklasifikasi telur, mulai telur cacing hingga telur ajam, membedakan ontology sisik ikan hiu dengan sisik ikan bandeng, tidak ada text book Zoology di dunia ini yang selengkap kuiah dr Suwasono selama depalan tahun, dan semua material kuliah kuliah ini akan bisa diujikan, tergantung dari mood beliau. Begitu juga kuliah dari angauta gang Dosen yang lain, tidak membatasi luasnya ilmu ilmu dasar yang gunanya untuk mendasari pengetahuan pengetahuan khusus setiap fakultas untuk diperdalam salah satu aspeknya guna bekerja menolong orang sakit, menandai tumbuhan obat, mengexploitasi tumbuhan atau hewan ternak, ya masih ada banyak Guru Guru  lain sesudahnya. Akibatnya si cerdik yang mendapat soal andalan yang pasti keluar di kertas ujian,  akan  lulus dengan gampang akibat pergaulannya yang luas, tentu dengan segala cara.
  Dengan demikian lulusan per tahun Universitas Gajah Mada sangat sedikit dan memalukan namun tiada satu dosenpun yang merasa malu. Tidak heran banyak diantara lulusan angkatan saya dan dibawah saya adalah sudrun sudrun pencari kesempatan dan koruptor.
Ternyata banyak teman terutama yang hubungannya luas, lulus karena perhatian para senior memberikan kumpulan soal yang mesti ditanyakan, dan jawabannya sekalian, merupakan kemurahan dari organisasi untuk mereka yang terpilih. Saya anggauta organisasi HMI tapi hanya sampai jadi massa biasa, berguna untuk gerakan mencuci mesjid dan langgar, perpeloncoan, barisan gila gilaan di festival apa saja dsb, tidak akan terpilih menjadi anggauta istimewa yang mendapat soal soal ujian dan jawaban yang disukai dosen. Ternyata dalam organisasi saya Pimpinan Komisariat sudah dipilih entah oleh siapa, saya ngerti cuma ada formatur diantara kami seangkatan, dan dipilihlah Ketua komisariat untuk angkatan itu. Ternyata orang tua masing masing calon juga ikut kasak kusuk di pimpinan organisasi untuk keperluan regenerasi penerus pengkaderan puaknya, sukunya,  supaya menonjol. Anehnya pimpinan HMI komisariat Ngasem meskipun sudah lama tiak disana tahun 1965 masih Beddu Amang teman seangkatan tapi tak pernah terlihat menyapu mesjid, yang kemudian jadi Kepala BULOG jaman akhir Jendral Suharto, konon sangat kaya, Itu yang paman saya adik ibu saya yang paling kecil, mahasiswa abadi di Fakultas Hukum, tidak pernah tahu karena diapun tidak pernah lulus. Mangkanya……
Baru sesudah saya meninggalkan Universitas Gajah Mada beberapa tahun sistim pengajaran yang kuno dan sangat liberal bagi Pengajarnya ini dirubah, sebagai reaksi atas kritik yang sangat pedas dari Presiden Sukarno sendiri, sistim ini dirubah seperti sekolah biasa, betanggung jawab pada Negara mengenai output dan tentu saja kualitas lulusannya akan tetapi menghindari text book thingking, dimana management waktu dijaga dari sisi Dosen dan sisi mahasiswa sehingga dapat ditentukan waktu kelulusannya.  Kurikulum dan silabus disesuaikan dengan kebutuhan setiap fakultas masing masing. Artinya bekal pengetahuan ilmu Physica seorang Dokter Hewan tentu beda dengan bekal pengetahuan ilmu Physica seorang calon sarjana teknik sipil.
Kebetulan disatu pameran buku Rusia (yang diterjemahkan dalam Bahasa Inggris) saya mendapatkan buku tipis mengenai pengaruh batang bawah terhadap batang atas suatu sambungan tanaman.( dari tanaman grafting atau budding) dari Penelitian di Rusia oleh seorang Peneliti amatir   I. V. Michurin, dan diceritakan kembali secara singkat. Kebetulan saya lagi mikir mikir sendiri bagaimana menangkarkan hewan supaya mendapatkan keturunan yang seragam, daya tahan tinggi dan produksi bagus, kan ndak bisa dibiakkan secara vegetetip, dan menata trilyunan gene (sekarang codon DNA) tidak mungkin ? Tiada satu keteranganpun di level kuliah saya yang propadeus  dapat menerangkan. Ternyata juga di level yang lebih tinggi juga ndak ada misalnya di level baccalaureat bahkan level doctoral sekalipun.
Sedangkan di booklet kercil ini dijelaskan bahwa lingkungan (dalam hal ini batang bawah) bisa mempengaruhi secara tetap, sifat satu batang atas sambungan, dalam kasus Michurin ini, adalah daya tahan terhadap temperatur dingin pada apel daerah selatan yang beriklim lebih hangat, sehingga bisa ditanam di daerah utara dengan batang bawah apel daerah utara, ini yang membuat saya sangat terkesan. Jadi konsep pikiran mengenai modifikasi dan mutasi harus dipikir kembali, ada organisme yang mudah mengikuti kondisi untuk modifikasi ada organisme yang sulit menyesuaikan diri dengan kondisi yang membuat perubahan secara modifikasi. Kondisi untuk arah modifikasi harus ada, hanya organismenya harus plastis, mudah menyesuaikan diri.  Organisme organisme asal yang kuno msalnya babi hutan (Sus vittatus) bukan plastisitas yang dimiliki, tapi sebaliknya konservatisme, jadi sifatanya selalu dominant, diberi makanan baik tetap tidak berlemak kayak babi (Sus scrofa domestica).  Sedangkan mutasi sangat unpredictable/tidak bisa diandalkan, meskipun perubahan sifatnya baka, tidak pernah akan keluar dari rangka kondisi lingkungannya, umpama: mendadak ada apel dari selatan yang kuat ditanam di Utara, kayaknya kok hampir ndak ada. Jadi menurut leaflets tipis itu ya buatlah organism yang plastis dulu ( organisme hybrida), baru merubah lingkungannya, yang cocok dengan ekonomi pemeliharaan, mungkin secara bertahap, nah ketemu kau.
Dengan alasan ini saya langsung berkirim surat, tulisan tangan dalam bahasa Indonesia kepada Admission Committee Universitas Bangsa Bangsa di Moskwa yang baru dibuka. Perdana Menteri USSR, Nikita Chrusyov pernah bicarakan dalam pidatonya di Jakarta beberapa bulan yang lalu,  keterangan yang saya dapat dari Kedutaan Rusia di Jakarta alamat Universitas ini ada di Donskoi Projes Moskwa.  Dalam surat lamaran saya, setiap kata  yang saya cantumkan saya pilih kata yang tepat dan  paling berbobot, akhirnya saya sebut bahwa mereka yang  beruntung diterima belajar disana supaya ada yang mempelajari aspek genetika dari pekerjaan menyambung tanaman ini agar saya bisa ikut belajar kepada siapa yang beruntung ini, neskipun surat lamaran yang saya buat memang berusaha untuk menyodok kearah menerima lamaran saya, tapi saya susun dengan kata kata yang tidak minta diksihani, malah gagah. 
Saya tahu persis bahwa kemungkinan mereka yang berorganisasi (meskipun hanya Organisasi Persahabatan Indonesia-Rusia), atau mereka yang punya hubungan dengan tokoh dan partainya, menurut pengalaman terdahulu jauh lebih besar untuk mendapat fasilitas  kesempatan dibanding sebutir debu propadeus kayak saya ini.
Saya sudah lupa mengenai surat itu, e e beberapa bulan kemudian saya mendapat surat aneh beramplop dari kertas sangat bagus, dari Kedutaan Besar Uni Sovyet Jl Imam Bonjol di Jakarta. Setelah saya buka, ada kertas surat hanya selembar berlogo  bulat dipojok atas berwarna merah dari lambang Negara Uni Sovyet, menyatakan dalam bahasa Inggris bahwa saya diterima mengikuti ujian masuk Universitas Persahabatan Bangsa Bangsa yang diadakan di Moskwa. Dianjurkan membawa surat ini ke Kedutaan Besar Uni Sovyet di Jakarta untuk mendapat saran lebih lanjut. Mulai saat itu saya percaya bahwa kekuatan kata kata yang dengan teliti dipilih dalam surat apapun sangatlah penting, pengetahuan ini saya praktikkan berkali kali dan berhasil, ini rahasia saya.
Surat  itu tidak saya tunjukkan kepada siapa siapa, say baca berkali kali, aneh kok akan di uji untuk masuk Universitas ini di Moskwa, kan mesti lulus ? Kalau ndak ngapain jauh jauh ke Moskwa ?
Keesokan harinya saya cari tiket kereta api ke Jakarta, menginap di rumah kakak saya terus paginya saya pergi ke Kedutaan Rusia, dari sana saya dianjurkan menemui calon mahasiswa sejenis saya di Gedung Pemuda, ketemu  teman saya GA Dupe dan Sulistyadewi rumahnya di Pisangan Jatinegara, kebetulan dekat dengan rumah kakak saya di Cipinang Kebembem. Saya segera harus membuat paspor di Surabaya, mengurus vaksinasi untuk perjalanan ke   Uni Sovyet via India. Maka tutuplah episode gelap saya jadi mahasiswa Gajah Mada di Jogja yang konyol.
Jadi sebutir debu yang tidak pernah diketahui  oleh Dosen Dosen saya, oleh Pembuat peraturan peraturan pengajaran Perguruan Tinggi yang outputnya paling kecil di Indonesia kala itu, meskipun tidak ada yang merasa salah kecuali kami sendiri. Waktu itu yang menjabat sebagai Rektor adalah Prof dr Sardjito yang sudah sepuh, tidak pernah terpikir dibenaknya bagaimana mempercepat mencetakan sarjana di Indonesia kecuali dengan sistim Continental yang sangat kuno dan liberal dengan kebebasan mimbar para Lector untuk memberikan bahan kuliah dan menentukan tidak atau lulus mahasiswanya. Tidak jelas curriculum dan silabi setiap perkuliahan yang diberikan menurut jadwal waktu, menjadikan para Dosen menjelma jadi Anarchist dan Terrorist terhadap mahasiswanya, paling tidak menjadi Despot yang tanpa cacat dihadapan mahsiswanya. 
. Pelajaran yang saya dapat dari sistim sekolah di Indonesia hingga sekarang berlaku adalah menjawab soal ujian lancar/cepat dan benar, alias mengafal sebanyak mungkin jawaban soal. 
Bukan contoh yang baik bagi cucu cucu saya, agar lancar studynya.  Sebaliknya saya tidak pernah berlatih menghafal jawaban soal, itu menjadi sebab utama kegagalan saya bersekolah dari SMA hingga Perguruan Tinggi di Indonesia.
Segera persyaratan lengkap, dan kami mendapat ticket PANAM dari Air India untuk flight tg 25 Desenber 1959 dengan pesawat Super Constellation bermesin empat mesin piston baling baling ke Bombay ( sekarang Mumbay), diinapkan di Hotel Victoria yang sangat kuno ditepi pantai Kota Mumbay. sambungannya nanti terserah pada Air India. Ternyata rombongan kecil kami dibawa muter ke Madras kemudian ke New Delhi, baru dengan TU 104 versi pesawat penumpang kami terbang ke Moskwa via Tashkent. Bulan Desember tanggal 27 th 1959. Bersama robongan, Ny. Rahadi Ramelan  (mantan Kepala BULOG yang “terkenal” itu ) namun nama mahasiswinya tidak akan saya sebutkan.
Maka mulailah babak baru terbangnya debu gunung Kelud tertiup angin antar benua selama hampir lima tahun berada jauh dari tanah air, baik secara fisik maupun secara mental. Saya tetap seorang stoic, dan sudah sembuh total dari srempetan racun sang Nagagini *)

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More