Belakangan ini banyak terekspose berita-berita yang saling susul menyusul, betapa rakyat kecil, yang artinya tentu petani kecil dikhianati, dalam hal yang mendasar bagi mereka yaitu dalam persoalan agararia.
Siapakah yang sebenarnya sepanjang waktu Kolonialisme Belanda, dijajah oleh sistem penjajahan Belanda?
Sesudah periode pendek perdagangan rempah-rempah dari pulau-pulau bagian Timur, disusul dengan cultuur stelsel atau tanam paksa yang panjang, siapa yang dipaksa menanam indigo, tembakau dan tebu ? Jawabannya adalah : Petani Pulau Jawa.
Seratus tahun disusul dengan revolusi industri di Europa dan tanam paksa diganti dengan etische politiek, pembukaan lahan Tebu lebih dari satu setengah juta hectare dengan pengairan teknis bendung dan bendungan waduk-waduk besar-besar untuk mengairinya, buruhnya adalah jutaan petani gogol, petani yang boleh menanam padi dua tahun sekali, ini hanya terjadi di pulau Jawa, dari lahan tebu milik Kanjeng Gubermen, yang disewakan pada pabrik-pabrik gula pemiliknya hanya warga Belanda/ Nederlandche Burgers, termasuk Oei Tiong Ham, dan Raja Raja Surakarta.
Perang Pacific pecah 1942 petani pulau Jawa mengira Bala Tentara Dai Nippon membebaskan mereka untuk berhenti jadi kuli Gogol, bertanam padi sepanjang tahun, memang iya kurang lebih begitu, tapi panen pertama saja sudah dibeli paksa oleh Dai Nippon untuk bekal perang, elit desa mengikutkan untung revaksi timbangannya, panen kedua hanya dirampas saja ditambah dengan penjaringan jutaan mereka, petani di pulau Jawa untuk Romusha, pekerja paksa, mati di sana di wilayah Asia Timur Raya, Rabaul, Saipan, Halmahera, di rahasia gua-gua, diumpankan malaria, untuk bikin benteng Nippon Cahaya Asia.
Ini tumbal pertama.
Kaum menengah pribumi Hindia Belanda jelas berpihak pada Saudara Tua , Malah ada yang menjadi Peta, Heiho, makanya kaum ini jarang yang dibantai Kenpeitai, kecuali Supriadi dari Blitar, Pemain ludruk (sandiwara rakyat) bernama Cak Durassim dari pedesaan Jombang disiksa dan dibunuh Kenpeitai gara gara mendendangkan pantun “Pegupon omahe doro, melu Nippon tanbah sengsoro”
Indonesia memproklamasikan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, disusul segera dengan perang kemerdekaan selama lima tahun.
Petani dibela oleh Presiden Sukarno, penyambung lidah Pak Marhaen, sahabat Pak Kromo, petani gurem di pulau Jawa.
Kemudian, UU Land Reform yang dikenal sebagai UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) No 5 tahun 1960 diundangkan, bagi petani gogol, iya itulah artinya Merdeka, bertani di lahan milik sediri, meski hanya setengah bahu ½ dari 0,76 Ha. lahan berpengairan kelas satu tanah gogol milik Kanjeng Gubermen, jadi, de jure milik Republik, de facto sebagian milik elit desa, sejak penjajahan kaum militeris Dai Nippon, perampasan panen oleh Balatentara Dai Nippon, elit desa lah yang mempunyai kecerdikannya bisa setor ke Paduka Gunseikanbu dan ngentit (secara sembunyi-sembunyi) dapat untung untuk diri sendiri dari pasar gelap beras.
Perang kemerdekaan 5 tahun menyusul, tidak ada yang leluasa menjual beras, elit desa bahu-membahu dengan kuli gogol, karena sistem pengairan tebu masih ada dan lahannya ada, petani gogol ada, elit desa sama-sama melarat, pasar untuk beras ada di kota-kota, perlu tukang pikul, tukang gendong, tukang gerobag, ongkos tinggi hampir tidak ada untung. Desa menyatu sebagai unit sosial membantu tentara gerilya, karena ada kesamaan dalam cita-citanya, yang satu ingin menggarap sawahnya sendiri, yang satu ingin berdiri di kaki sendiri tidak dibatasi oleh predikat inlander, sebaliknya ada kesenjangan besar dari KNIL dan massa petani, yang sedang ber-euphoria menggarap sawah gogol tanpa campur tangan pabrik gula, sedang markas KNIL ya di pabrik gula yang lagi nganggur, malah menghujani desa desa dengan meriam howitzer dari sana.
Waktu itu ada pantun bahasa Jawa di desa-desa yang berbunyi: “Apa tumon ana Londo kalung kanon kok kalah karo cah angon?”. Mungkin karena mata-mata di pesawat capung yang dikirim ke sana ngawur, rombongan pemikul beras dari desa ke kota dikira gerilyawan sembarangan menunjukkan gerakan consentrasi gerilyawan, lagi-lagi banyak yang mati, tentu saja tanpa berita
Supplier makanan yang paling handal bagi tentara gerilya adalah para elit desa, karena rumah mereka rata-rata besar memang bisa untuk menyimpan hasil bumi.
Lha setelah penyerahan kedaulatan th 1949- 1950 semua lahan pabrik gula maunya ya kembali ke Pabrik Gula. Lahan berpengairan teknis yang lebih dari satu setengah juta hektar. Sementara pabrik gula banyak yang rusak berat karena terbengkalai selama 8 tahun - perang Pacific 3 tahun dan dilanjutkan dengan perang kemerdekaan 5 tahun.
Elit desa banyak menguasai tanah gogol semenjak jaman Jepang, merasa punya harapan besar bisa ikut memiliki tanah gogol, wong ikut laskar rakyat pro Kemerdekaan sudah, ikut partai pada zaman kemerdekaan sudah, lha mereka kok ndak dapat itu redistribusi tanah yang sebenarnya de jure punya Negara, yang dikuasainya secara de facto, kenyataannya pabrik gula banyak yang hancur, sementara tidak memerlukan tanah mereka. E, e, ternyata tidak, tanah gogol dibagikan kepada kuli gogol, yang namanya terdaftar di Rooster van de koelie gogol, petani penggarap tanah gogolan tercatat di leger Pabrik. Kebanyakan Elit Desa adalah para Kiai yang banyak santrinya, pensiunan Pegawai Kecil di tingkat Desa dan Kecamatan yang memang mengerti nilai tanah, mereka masih mendambakan ikut memiliki tanah tanah pabrik di mana dia mengabdi.
Tanah yang sudah de facto dikerjakan sekian lama ternyata telah dibagikan pada petani penggarapnya yaitu kuli gogol. Tentu saja para elit Desa penasaran, kok berani-beraninya menerima itu tanah redestribusian UU Land Reform ini.
Bagi petani gogol, pembagian tanah redistribusi tanah gogol ke mereka oleh UU land reform ya sangat membesarkan hati, apabila sebagian sudah dijual di bawah tangan (hanya pakai kwitansi ) ini tidak syah, apalagi pembelinya tinggal di luar Kecamatan lokasi tanah itu (menurut UU land reform), digadaikan sebelum UU Land Reform pun tidak syah, sebab penggadainya sebenarnya bukan pemilik tanah gogol, masih tanah milik Republik secara de jure.
Yang lebih menyakitkan hati, petani-petani gogol ini cenderung menyambut penggembira yang paling getol, yaitu mereka yang meneriakkan slogan tanah untuk tani, BTI/PKI maksudnya, tanah negara untuk tani gogol, sedang elit desa rata-rata dari NU Masjumi dan PNI Osa Usep, sebagai orang luar yang bukan kuli gogol walau sangat berkepentingan mengukuhkan haknya atas tanah yang sudah sekian lama mereka kelola ternyata menurut UU Land Reform kok jatuh pada petani gogol, yang pada zaman pemerintahan militerist Jepang tidak punya beaya buat tanam padi bila hanya untuk dirampas Balatentara Dai Nippon, mereka jadi penggarap saja. Sedangkan para elit desa yang aktif dalam pemerintahan, dipaksa Dai Nippon untuk bertanggung jawab setor gabah/beras, bila tidak mau, maka bisa dianggap penghianat oleh Kenpeitai, sama dengan dihukum mati, atau dijadikan Romusha.
Dasar pintar, bisa saja sebagian panen lari ke pasar gelap di kota-kota.
Jaman Perang kemerdekaan, rumah petani gogol terlalu kecil untuk berteduh para gerilyawan, jadi makan tidur di rumah elit desa, oleh karea itu mereka para elit Desa merasa mendukung Mas-Mas Gerilyawan yang ndak ngerti apa-apa perkara tanah pabrik
PKI karena ulahnya sendiri jatuh jadi umpan dokumen Gilchrist oleh CIA, sayap militer mereka membunuhi Jendral-Jendral yang dia anggap mau me coup de’etat Presiden Soekarno, dengan kekuatan yang setengah- setengah akhirnya harus menanggung dosa disapu bersih, dengan target 4 juta orang.
Petani gogol penerima tanah pabrik gula. Tanah yang juga diidam-idamkan oleh para pemodal elit desa mendadak ditinggal President Soekarno dan para pengikutnya yang kena schock berat, sangat terkejut atas terbunuhnya para Jendral, setengah lumpuh dan ikut dilenyapkan oleh dendam horizontal di tingkat desa, jutaan mereka dibantai. Tahun 1965
- Terjadi petani kecil di pulau Jawa jadi tumbal yang kedua kali.
Sekarang 57 tahun setelah itu, Seluruh exponen orde baru, orde reformasi, Kiai dan pemimpin umat beragama lain, pada membuat sarasehan besar, guna mejatuhkan pamor pemerintahan, membongkar keberpihakan aparat Negara kepada Pemodal hingga terjadi pembunuhan-pembunuhan para petani plasma kebun kelapa sawit, di seluruh lahan plasma sengketa kebun kelapa sawit di Sumatra, konflik petani dan Usaha pertambangan di Bima, Kalimantan dan Papua Barat.
Aneh, ada jeruk kok makan jeruk, wong yang di Partai Demokrat juga exponen Orde Baru, Sarasehan Anak Bangsa juga penuh dengan exponent Orde Baru, menggugat keberpihakkan Pimpinan Partai Demokrat kok cuma jadi pilot pura-pura, malah negara ini dianggap mereka hanya dipiloti oleh autopilot saja.
Apa berpihak pada rakyat atau pada pada pemodal ?
Apa mareka lupa bahwa sekian kali pemilu sesudah di Orde Reformasi, yang jadi Golput artinya tidak ikut memilih lebih dari 40% dari yang terdaftar, lha ini siapa ?
Yang Golput lebih dari 40 % ini tidak muncul di Sarasehan Anak Bangsa, karena tahu bahwa mereka toh selalu diakali dan tidak bakal terwakili, tidak ada Elit Politik yang berhasil menjadi calon presiden dan wakilnya, calon angota DPR dan DPRD, calon Gubernur dan Bupati yang akan membela meraka, kalau artist dan actress banyak, wong organisasi tani , kontak tani, tani andalan, tani maju, himpunan tani, semua masih tunjukan Orde Baru yang dulu, atau clone pertama dan kedua.
Tidak ada yang mewakili berbicara di DPR seperti mengenai tanah kebun plasma kelapa sawit yang diberikan kembali pada kebun inti yang dikuasai oleh Pemodal dan Pemerintah Daerah.
Sekarang lain lagi, bila petani plasma tahun-tahun yang lalu telah menjual atau menggadaikan lahannya kepada pihak ketiga, karena hasilnya tidak cukup untuk makan. Hukum akan perpihak pada pembeli.
Harga kelapa sawit berfluktuasi, karena panen kecil, karena mulai bibit sampai sarana pertanian banyak ditilep atau infra structure yang tidak mendukung (jalan dan jembatan) sehingga ongkosnya tinggi akan jadi tanggungan penghasil kelapa sawit alias petani kecil plasma , sebab dibeli ditempat lokasi kebun inti. Hukum akan perpihak pada pembeli.
Tanah ulayat dan tanah Negara yang diexploitasi oleh Pemodal dengan merugikan rakyat, juga oleh dukungan langsung Menteri Menteri exponen Orde Baru atau clone generasi kedua yang memenuhi blantika Politik Negeri ini sekarang?
Saya khawatir demi merebut kursi empuk Penguasa Pepublik ini yang sekarang, para exponen Orde Baru ini memperalat cita-cita petani kecil untuk keluar dari jerat kemiskinan yang sistemik, sampai sampai mau mnggarap pertanian plasma kelapa sawit jauh jauh hari, puluhan tahun yang lalu, jauh di pedalaman berjam-jam naik truk ke pusat perdagangan, yang ternyata harga sawitnya jatuh bangun, harganya tidak menentu.
Sekarang harga sawit bagus, malah diusir dari plasmanya seperti di Mesuji yang dimunculkan di mass media dan sangat banyak tempat yang lain tidak terdeteksi.
Bila Pemerintahan Autopilot Presiden SBY (menurut pendapat Sarasehan Anak Bangsa) benar-benar jatuh, yang akan mengganti siapa ? dengan cara apa – Pemilu yang dipercepat, wong Persiden dan Wakilnya DPR nya yang dipilih sesuai schedule saja ada yang meleset. KPU nya para profesor, ternyata jadi koruptor?
Atau Junta Militer, opsi yang logis dan murah secara ekonomis (tanya pada akhlinya kayak di Laos), tapi sangat mahal dari sudut pandang demokrasi.
Semoga bangsa ini dituntun ke jalan yang benar, yaitu jalannya mereka yang telah Engkau beri petunjuk bukan jalannya mereka yang sesat dan mendapat murka-Mu
Demi rust en orde, siapa saja bisa ber Junta ria, dan tumbalnya adalah petani kecil bukan lagi di lahan tebu, tapi di lahan Plasma Kelapa Sawit di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, bila bersikukuh bakal dibantai seperti petani dilahan tebu tahun 1965, atau jadi buruh bukan saja kontrakan, tapi juga di outsourcing dari kebun Inti milik Pemodal, kayak pemanen jeruk di California, selesai panen ya embuh.
Maka memang perjuangan sangat berat bagi petani kecil tak bertanah untuk menggarap lahannya sendiri untuk sekedar mencukupi hipup keluarganya.
Apalagi di system ekonomi yang jadi pilihan kini neo liberalisme.
Cita-cita itu mulia, tapi Negara dan segenap aparatnya harus kompak tulus membantunya dengan kesadaran supaya Pak Marhaen berhasil jadi produsen pangan di lahannya sendiri, dan industri terkatrol jadi Tuan juga di negerinya sendiri. Jangan sampai menjadi tumbal yang ketiga kali di tahun-tahun susah yang akan datang ini. (*)
Siapakah yang sebenarnya sepanjang waktu Kolonialisme Belanda, dijajah oleh sistem penjajahan Belanda?
Sesudah periode pendek perdagangan rempah-rempah dari pulau-pulau bagian Timur, disusul dengan cultuur stelsel atau tanam paksa yang panjang, siapa yang dipaksa menanam indigo, tembakau dan tebu ? Jawabannya adalah : Petani Pulau Jawa.
Seratus tahun disusul dengan revolusi industri di Europa dan tanam paksa diganti dengan etische politiek, pembukaan lahan Tebu lebih dari satu setengah juta hectare dengan pengairan teknis bendung dan bendungan waduk-waduk besar-besar untuk mengairinya, buruhnya adalah jutaan petani gogol, petani yang boleh menanam padi dua tahun sekali, ini hanya terjadi di pulau Jawa, dari lahan tebu milik Kanjeng Gubermen, yang disewakan pada pabrik-pabrik gula pemiliknya hanya warga Belanda/ Nederlandche Burgers, termasuk Oei Tiong Ham, dan Raja Raja Surakarta.
Perang Pacific pecah 1942 petani pulau Jawa mengira Bala Tentara Dai Nippon membebaskan mereka untuk berhenti jadi kuli Gogol, bertanam padi sepanjang tahun, memang iya kurang lebih begitu, tapi panen pertama saja sudah dibeli paksa oleh Dai Nippon untuk bekal perang, elit desa mengikutkan untung revaksi timbangannya, panen kedua hanya dirampas saja ditambah dengan penjaringan jutaan mereka, petani di pulau Jawa untuk Romusha, pekerja paksa, mati di sana di wilayah Asia Timur Raya, Rabaul, Saipan, Halmahera, di rahasia gua-gua, diumpankan malaria, untuk bikin benteng Nippon Cahaya Asia.
Ini tumbal pertama.
Kaum menengah pribumi Hindia Belanda jelas berpihak pada Saudara Tua , Malah ada yang menjadi Peta, Heiho, makanya kaum ini jarang yang dibantai Kenpeitai, kecuali Supriadi dari Blitar, Pemain ludruk (sandiwara rakyat) bernama Cak Durassim dari pedesaan Jombang disiksa dan dibunuh Kenpeitai gara gara mendendangkan pantun “Pegupon omahe doro, melu Nippon tanbah sengsoro”
Indonesia memproklamasikan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, disusul segera dengan perang kemerdekaan selama lima tahun.
Petani dibela oleh Presiden Sukarno, penyambung lidah Pak Marhaen, sahabat Pak Kromo, petani gurem di pulau Jawa.
Kemudian, UU Land Reform yang dikenal sebagai UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) No 5 tahun 1960 diundangkan, bagi petani gogol, iya itulah artinya Merdeka, bertani di lahan milik sediri, meski hanya setengah bahu ½ dari 0,76 Ha. lahan berpengairan kelas satu tanah gogol milik Kanjeng Gubermen, jadi, de jure milik Republik, de facto sebagian milik elit desa, sejak penjajahan kaum militeris Dai Nippon, perampasan panen oleh Balatentara Dai Nippon, elit desa lah yang mempunyai kecerdikannya bisa setor ke Paduka Gunseikanbu dan ngentit (secara sembunyi-sembunyi) dapat untung untuk diri sendiri dari pasar gelap beras.
Perang kemerdekaan 5 tahun menyusul, tidak ada yang leluasa menjual beras, elit desa bahu-membahu dengan kuli gogol, karena sistem pengairan tebu masih ada dan lahannya ada, petani gogol ada, elit desa sama-sama melarat, pasar untuk beras ada di kota-kota, perlu tukang pikul, tukang gendong, tukang gerobag, ongkos tinggi hampir tidak ada untung. Desa menyatu sebagai unit sosial membantu tentara gerilya, karena ada kesamaan dalam cita-citanya, yang satu ingin menggarap sawahnya sendiri, yang satu ingin berdiri di kaki sendiri tidak dibatasi oleh predikat inlander, sebaliknya ada kesenjangan besar dari KNIL dan massa petani, yang sedang ber-euphoria menggarap sawah gogol tanpa campur tangan pabrik gula, sedang markas KNIL ya di pabrik gula yang lagi nganggur, malah menghujani desa desa dengan meriam howitzer dari sana.
Waktu itu ada pantun bahasa Jawa di desa-desa yang berbunyi: “Apa tumon ana Londo kalung kanon kok kalah karo cah angon?”. Mungkin karena mata-mata di pesawat capung yang dikirim ke sana ngawur, rombongan pemikul beras dari desa ke kota dikira gerilyawan sembarangan menunjukkan gerakan consentrasi gerilyawan, lagi-lagi banyak yang mati, tentu saja tanpa berita
Supplier makanan yang paling handal bagi tentara gerilya adalah para elit desa, karena rumah mereka rata-rata besar memang bisa untuk menyimpan hasil bumi.
Lha setelah penyerahan kedaulatan th 1949- 1950 semua lahan pabrik gula maunya ya kembali ke Pabrik Gula. Lahan berpengairan teknis yang lebih dari satu setengah juta hektar. Sementara pabrik gula banyak yang rusak berat karena terbengkalai selama 8 tahun - perang Pacific 3 tahun dan dilanjutkan dengan perang kemerdekaan 5 tahun.
Elit desa banyak menguasai tanah gogol semenjak jaman Jepang, merasa punya harapan besar bisa ikut memiliki tanah gogol, wong ikut laskar rakyat pro Kemerdekaan sudah, ikut partai pada zaman kemerdekaan sudah, lha mereka kok ndak dapat itu redistribusi tanah yang sebenarnya de jure punya Negara, yang dikuasainya secara de facto, kenyataannya pabrik gula banyak yang hancur, sementara tidak memerlukan tanah mereka. E, e, ternyata tidak, tanah gogol dibagikan kepada kuli gogol, yang namanya terdaftar di Rooster van de koelie gogol, petani penggarap tanah gogolan tercatat di leger Pabrik. Kebanyakan Elit Desa adalah para Kiai yang banyak santrinya, pensiunan Pegawai Kecil di tingkat Desa dan Kecamatan yang memang mengerti nilai tanah, mereka masih mendambakan ikut memiliki tanah tanah pabrik di mana dia mengabdi.
Tanah yang sudah de facto dikerjakan sekian lama ternyata telah dibagikan pada petani penggarapnya yaitu kuli gogol. Tentu saja para elit Desa penasaran, kok berani-beraninya menerima itu tanah redestribusian UU Land Reform ini.
Bagi petani gogol, pembagian tanah redistribusi tanah gogol ke mereka oleh UU land reform ya sangat membesarkan hati, apabila sebagian sudah dijual di bawah tangan (hanya pakai kwitansi ) ini tidak syah, apalagi pembelinya tinggal di luar Kecamatan lokasi tanah itu (menurut UU land reform), digadaikan sebelum UU Land Reform pun tidak syah, sebab penggadainya sebenarnya bukan pemilik tanah gogol, masih tanah milik Republik secara de jure.
Yang lebih menyakitkan hati, petani-petani gogol ini cenderung menyambut penggembira yang paling getol, yaitu mereka yang meneriakkan slogan tanah untuk tani, BTI/PKI maksudnya, tanah negara untuk tani gogol, sedang elit desa rata-rata dari NU Masjumi dan PNI Osa Usep, sebagai orang luar yang bukan kuli gogol walau sangat berkepentingan mengukuhkan haknya atas tanah yang sudah sekian lama mereka kelola ternyata menurut UU Land Reform kok jatuh pada petani gogol, yang pada zaman pemerintahan militerist Jepang tidak punya beaya buat tanam padi bila hanya untuk dirampas Balatentara Dai Nippon, mereka jadi penggarap saja. Sedangkan para elit desa yang aktif dalam pemerintahan, dipaksa Dai Nippon untuk bertanggung jawab setor gabah/beras, bila tidak mau, maka bisa dianggap penghianat oleh Kenpeitai, sama dengan dihukum mati, atau dijadikan Romusha.
Dasar pintar, bisa saja sebagian panen lari ke pasar gelap di kota-kota.
Jaman Perang kemerdekaan, rumah petani gogol terlalu kecil untuk berteduh para gerilyawan, jadi makan tidur di rumah elit desa, oleh karea itu mereka para elit Desa merasa mendukung Mas-Mas Gerilyawan yang ndak ngerti apa-apa perkara tanah pabrik
PKI karena ulahnya sendiri jatuh jadi umpan dokumen Gilchrist oleh CIA, sayap militer mereka membunuhi Jendral-Jendral yang dia anggap mau me coup de’etat Presiden Soekarno, dengan kekuatan yang setengah- setengah akhirnya harus menanggung dosa disapu bersih, dengan target 4 juta orang.
Petani gogol penerima tanah pabrik gula. Tanah yang juga diidam-idamkan oleh para pemodal elit desa mendadak ditinggal President Soekarno dan para pengikutnya yang kena schock berat, sangat terkejut atas terbunuhnya para Jendral, setengah lumpuh dan ikut dilenyapkan oleh dendam horizontal di tingkat desa, jutaan mereka dibantai. Tahun 1965
- Terjadi petani kecil di pulau Jawa jadi tumbal yang kedua kali.
Sekarang 57 tahun setelah itu, Seluruh exponen orde baru, orde reformasi, Kiai dan pemimpin umat beragama lain, pada membuat sarasehan besar, guna mejatuhkan pamor pemerintahan, membongkar keberpihakan aparat Negara kepada Pemodal hingga terjadi pembunuhan-pembunuhan para petani plasma kebun kelapa sawit, di seluruh lahan plasma sengketa kebun kelapa sawit di Sumatra, konflik petani dan Usaha pertambangan di Bima, Kalimantan dan Papua Barat.
Aneh, ada jeruk kok makan jeruk, wong yang di Partai Demokrat juga exponen Orde Baru, Sarasehan Anak Bangsa juga penuh dengan exponent Orde Baru, menggugat keberpihakkan Pimpinan Partai Demokrat kok cuma jadi pilot pura-pura, malah negara ini dianggap mereka hanya dipiloti oleh autopilot saja.
Apa berpihak pada rakyat atau pada pada pemodal ?
Apa mareka lupa bahwa sekian kali pemilu sesudah di Orde Reformasi, yang jadi Golput artinya tidak ikut memilih lebih dari 40% dari yang terdaftar, lha ini siapa ?
Yang Golput lebih dari 40 % ini tidak muncul di Sarasehan Anak Bangsa, karena tahu bahwa mereka toh selalu diakali dan tidak bakal terwakili, tidak ada Elit Politik yang berhasil menjadi calon presiden dan wakilnya, calon angota DPR dan DPRD, calon Gubernur dan Bupati yang akan membela meraka, kalau artist dan actress banyak, wong organisasi tani , kontak tani, tani andalan, tani maju, himpunan tani, semua masih tunjukan Orde Baru yang dulu, atau clone pertama dan kedua.
Tidak ada yang mewakili berbicara di DPR seperti mengenai tanah kebun plasma kelapa sawit yang diberikan kembali pada kebun inti yang dikuasai oleh Pemodal dan Pemerintah Daerah.
Sekarang lain lagi, bila petani plasma tahun-tahun yang lalu telah menjual atau menggadaikan lahannya kepada pihak ketiga, karena hasilnya tidak cukup untuk makan. Hukum akan perpihak pada pembeli.
Harga kelapa sawit berfluktuasi, karena panen kecil, karena mulai bibit sampai sarana pertanian banyak ditilep atau infra structure yang tidak mendukung (jalan dan jembatan) sehingga ongkosnya tinggi akan jadi tanggungan penghasil kelapa sawit alias petani kecil plasma , sebab dibeli ditempat lokasi kebun inti. Hukum akan perpihak pada pembeli.
Tanah ulayat dan tanah Negara yang diexploitasi oleh Pemodal dengan merugikan rakyat, juga oleh dukungan langsung Menteri Menteri exponen Orde Baru atau clone generasi kedua yang memenuhi blantika Politik Negeri ini sekarang?
Saya khawatir demi merebut kursi empuk Penguasa Pepublik ini yang sekarang, para exponen Orde Baru ini memperalat cita-cita petani kecil untuk keluar dari jerat kemiskinan yang sistemik, sampai sampai mau mnggarap pertanian plasma kelapa sawit jauh jauh hari, puluhan tahun yang lalu, jauh di pedalaman berjam-jam naik truk ke pusat perdagangan, yang ternyata harga sawitnya jatuh bangun, harganya tidak menentu.
Sekarang harga sawit bagus, malah diusir dari plasmanya seperti di Mesuji yang dimunculkan di mass media dan sangat banyak tempat yang lain tidak terdeteksi.
Bila Pemerintahan Autopilot Presiden SBY (menurut pendapat Sarasehan Anak Bangsa) benar-benar jatuh, yang akan mengganti siapa ? dengan cara apa – Pemilu yang dipercepat, wong Persiden dan Wakilnya DPR nya yang dipilih sesuai schedule saja ada yang meleset. KPU nya para profesor, ternyata jadi koruptor?
Atau Junta Militer, opsi yang logis dan murah secara ekonomis (tanya pada akhlinya kayak di Laos), tapi sangat mahal dari sudut pandang demokrasi.
Semoga bangsa ini dituntun ke jalan yang benar, yaitu jalannya mereka yang telah Engkau beri petunjuk bukan jalannya mereka yang sesat dan mendapat murka-Mu
Demi rust en orde, siapa saja bisa ber Junta ria, dan tumbalnya adalah petani kecil bukan lagi di lahan tebu, tapi di lahan Plasma Kelapa Sawit di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, bila bersikukuh bakal dibantai seperti petani dilahan tebu tahun 1965, atau jadi buruh bukan saja kontrakan, tapi juga di outsourcing dari kebun Inti milik Pemodal, kayak pemanen jeruk di California, selesai panen ya embuh.
Maka memang perjuangan sangat berat bagi petani kecil tak bertanah untuk menggarap lahannya sendiri untuk sekedar mencukupi hipup keluarganya.
Apalagi di system ekonomi yang jadi pilihan kini neo liberalisme.
Cita-cita itu mulia, tapi Negara dan segenap aparatnya harus kompak tulus membantunya dengan kesadaran supaya Pak Marhaen berhasil jadi produsen pangan di lahannya sendiri, dan industri terkatrol jadi Tuan juga di negerinya sendiri. Jangan sampai menjadi tumbal yang ketiga kali di tahun-tahun susah yang akan datang ini. (*)
0 comments:
Posting Komentar