Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Minggu, 24 Juni 2012

SEBELUM MENGENDALIKAN HAMA TANAMAN DENGAN INSEKTISIDA HENDAKNYA TAHU PENGETAHUAN PRAKTIS INI


Sebelum mengendalikan hama, sebaiknya kita berfikir sejenak, kenapa makhluk dari berbagai jenis ini jadi hama tanaman kita ? Sesudah itu, kita mesti berfikir lagi dan mengingat-ingat, kapan ada musim atau cuaca yang di mana hama (pest) tertentu malah tidak muncul. Dan kapan malah muncul secara massal dan merusak panen dengan cepat. Dari pertanyaan pertama, masih sisa pertanyaan teknis, dari jenis binatang apa hama yang menyerang itu. Yang umum dari bangsa serangga, tapi ternyata banyak sekali bangsa-bangsa makhluk hidup yang  bisa jadi hama tananan kita. Bahkan industri telah menyediakan produk-produknya yang khusus dibuat mengendalikan hama dari bangsa atau golongan makluk hama yang sudah dikhususkan, artinya, bila salah memilih pestisida, ya tidak ada gunanya. Jenis-jenis pestisida yaitu :

A.  Bangsa serangga yang sangat umum jadi hama 
     dikendalikan dengan                                                  :  Insecticide.
B. Bangsa Thrip golongan binatang ber-rangka luar
     yang ukurannya kecil  sekali, dua, tiga mm
     dikendalikan dengan                                                   : Thripsicide/ insecticide                                     
C. Bangsa Tungau atau Mite, yang kakinya 8 
ukurannya sangat kecil 1 -2 mm dikendalikan dengan       : Miticide
D. Bangsa cacing kecil dalam jaringan tanaman    
Atau Nematidae, dikendalikan dengan                             : Nematicide
E. Bangsa Mammalia yang menjadi hama
umpama Tikus, dikendalikan dengan                                : Rhodenticide
F. Bangsa tumbuhan gulma dikendalikan dengan               : Herbicide   
G.Bangsa cendawan dikendalikan dengan                        : Fungicide

Semua jenis pengendali hama di atas termasuk dalam produk sarana pengendalian hama : Pesticide yang umumnya racun untuk manusia juga.
Di Pasar yang umum yang  ada insecticide, herbicide, fungicide, miticide, yang selanjutnya akan dibagi jadi jenis pelarutnya dan keadaan fisik substansinya ditulis di label dengan singkatan :
P       : untuk Powder  = tepung halus di atas 200 mesh untuk ditebar langsung.
WP   : Wettable Powder artinya pemakaian umumnya dicampur air.              
EC    :  Emulsifiable Consentrate dicampur air sebagai larutan kerja teremulsi                  
             seperti santan.
WSC:  Water Soluble Consentrate = larutan kerja dicampur air seluruhnya larut tidak           
             berupa emulsi seperti santan
G      :  Granule langsung ditaburkan sebagai butiran
ULV :  Sedikit beda dari biasanya ini harus diaplikasikan dengan Ultra Low Volume.
            Suatu alat khusus yang prinsipnya bisa memecah cairan menjadi titik-titik 
            sekecil 10 sampai 15 micron, gunanya untuk menghemat volume larutan        
            kerja supaya hemat beban bila disemprotkan lewat pesawat terbang.

Ada dua macam perilaku bahan aktip pestisida terhadap tanaman, yaitu perilaku hanya menempel di permukaan tanaman ini racun ini bersifat kontak saja dengan tanaman, dan ada yang bisa terserap ke dalam jaringan tanaman, dan tetap bersifat racun, pestisida jenis ini lelalu bisa larut sempurna di air, dan terserap ke dalam tanaman melewati membrane protoplasma secara utuh, ini dinamakan pestisida sistemik.
Harap diingat, Pestisida WSC adalah sistemik,  sedangkan pestisida jenis EC adalah kontak.

Umumnya semua Produsen atau Formulator mendaftarkan dagangannya dengan label yang baku dari Komisi Pestisida, Dept. Pertanian dan larutan kerja, dengan konsentrasi  dengan 2 cc/liter sampai 3 cc/ liter larutan kerja untuk efektivitas yang diharapkan di lapangan. Tingkat ke-rataannya meliputi seluruh permukaan daun telah ditetapkan berdasarkan percobaan, misalnya tanaman padi dewasa minimum 250 liter larutan kerja per hectare. Dengan catatan, pemerataan larutan kerja yang baik dengan kabut atau titik-titik air yang kecil 0,2 – 0,3 mm atau 1/5 hingga 1/3 mm dan sedikit sekali menetes, terbuang ke tanah.

  Biasanya, yang lebih sulit dimengerti bagi pemakai Pestisida adalah satuan “rate” yang menyatakan berapa gram bahan aktif (racun) yang dibutuhkan untuk aplikasi dalam satu hektar, artinya diaplikasikan merata di permukaan tanaman.
  Misalnya Azodrin 15 WSC (*monocrotophos” 15 gram per liter formulasi)
Dengan konsentrasi larutan kerja 3 cc/liter dikalikan umpama larutan kerja habis 300 liter/Ha, maka ada  3cc x 300 liter air maka ada 900 cc formulasi dalam 300 liter larutan kerja yang diaplikasikan. Atau menurut label,  kandungan bahan aktif racun yang telah diformulasikan dalam Azodrin 15 WSC  mengandung bahan aktif monocrotophos 15 gram/liter, atau 15 gram per liter formulasi jadi bila yang digunakan  formulasi ada 0,9 liter, rate nya adalah 0,9 x 15 gram atau 13,5 gram a.i (active ingredient)  per hectar dengan larutan kerja 300 liter.
  Dengan rate 13,5 gram a.i. monocrotophos per Ha, bisa dipakai formulasi apa saja asal  a.i monocrotophos, yang ada. Jadi ini sangat teknis, gunanya untuk penulisan hasil percobaan di lapangan, agar bisa dikonversi ke konsentrasi formulasi apa saja, dengan bahan aktif yang sama.

  Untuk melengkapi pengetahuan para praktisi, racun pestisida dibagi menurut daya kerjanya terhadap hama sasaran, yaitu racun perut yang harus masuk perut alias ikut termakan atau racun kontak, artinya harus menempel di badan hama sasaran atau masuk ke dalam trachea serangga sehingga keracunan.
Pada umumnya racun yang bersifat racun kontak lambat atau tidak menjadi racun perut sebab hamanya hama penghisap, atau memang daya racunnya sangat kuat dan persistent sehingga bisa digolongkan dalam racun perut dan racun kontak.
  Bisa dimasukkan dalam pertimbangan para praktisi, bahwa racun pestisida adalah senyawa yang dinamakan bahan aktip  atau a.i. (active ingredient) memang dari pertama dikenal manusia dia bersifat racun, atau dibuat meniru konstelasi molekul racun alami yang dimulai oleh labotatorium penelitian kimia, kemudian dikembangkan oleh Industri Kimia.
   Penelitian kimiawi mendapatkan, bawa senyawa beracun ini yang harus dipelajari secara seksama oleh Ilmu Pengetahuan multidisiplinair, dinamakan Toxicology, dan disiplin ilmu ini selalu ketinggalan dari penemuan penemuan senyawa racun baru.
  Kepentingan Industri pestisida mendapatkan senyawa racun yang cukup  baik, dengan ukuran “dosis setengah mati” atau  “Lethal Dosis 50” atau LD 50 .
Angka ini diperlukan untuk menilai daya racun suatu consentrasi a.i dalam satu formulasi pestisida  guna mematikan sample populasi tikus  yang diumpan atau kulitnya dilabur, sehingga separo  dari populasi ini bisa mati karena keracunan oleh racun ini, dengan satuan perbandingan antara berat a.i.  dalam satuan milligram berat a.i racun, berbanding dengan berat seluruh populasi tikus yang separonya telah mati keracunan itu dalam kg. Umumnya nama satuan  LD 50 ada dua macam ukuran, toksisitas oral dan toksisitas dermal (diracun lewat umpan atau lewat kulit.) Jadi ada dua LD 50, LD 50 dermal dan LD 50 oral.

  Data LD 50 ini tidak mesti ada di Buku Registrasi, panduan setaip negara di Dunia, termasuk di Indonesia, juga tidak tercantum pada label kemasan, karena tidak adil untuk dicantumkan dalam label racun hama. Tapi ada di buku misalnya “Pesticide Manual a World Compendium” yang diterbitkan oleh negara-negara Industri di seluruh Dunia secara periodik, minimum satu tahun sekali, dan di dalam keterangan teknis yang diterbitkan oleh Produsen masing-masing racun hama.
Contoh : menurut The Pesticide Manual – a world compendum, published by the  British Crop Protection Council 1979 – DDT oral acute LD 50 =113- 118 mg/kg, untuk tikus, acute dermal LD 50  untuk tikus betina adalah 2510 mg/kg,  nampaknya aman, sekali lagi hanya nampaknya.
Sedangkan Diazinone/Basudin yang dipakai dalam jumlah besar zaman Bimas Orde Baru th 1975 – 1993,  LD 50 oral adalah 300-350 mg/kg  LD 50  acute dermal adalah > 2150 mg/kg. 

Data ini tidak mengindikasikan hal apa saja yang penting mengenai lingkungan hidup, kecuali semakin kecil angkanya, baik LD50 dermal maupun LD50 oral, semakin senyawa kimia itu  keras daya racunnya. Lantas setiap Pemerintah dan Negara mengadakan pembatasan-pembatasan, menggunakan data LD 50 oral maupun dermal untuk melindungi konsumennya.

Buku yang terkenal “The Silent Spring” oleh Carson 1962  menggambarkan bagaimana lembah sungai Missisipi dan Misouri,  dan anak-anak sungainya yang sangat banyak, ada kejadian bahwa burung-burung pemangsa ikan menjadi punah, karena merupakan puncak piramida makanan ikan, di mana sungai Mississipi dan Misouri dan anak-anaknya telah dicemari oleh DDT yang digunakan di areal penanaman jagung dan kapas yang sangat luas. Dari penggunaan DDT yang luas itu, semua residue DDT itu akhirnya terikut ke sungai Mississipi dan Misouri ada dalam badan ikan. Kemudian residu DDT terkumpul/ terakumulasi di dalam jaringan badan burung pemangsa. Walhasil, burungnya masih hidup, tapi cangkang telurnya lemah sehingga mengakibatkan banyak telur yang pecah dalam pengeraman. Peristiwa ini menyebabkan burung-burung pemangsa ikan di sana pada punah sebagai bencana ekologi. Akhirnya ketahuan bahwa residue DDT dan derivatnya juga ternyata tidak bisa dikeluarkan dari tubuh organisme, atau terurai oleh enzyme, kecuali ditimbun di jaringan lemak. Hal ini menyebabkan kanker, karena terurainya walau di alam bebas lambat sekali, artinya sangat persistent, mirip bahan radio aktip, kecuali itu bangsa DDT- Endrin, Dieldrin,  luas dipakai untuk barrier pondasi bangungan dari penetrasi rayap (Termes) ke bagian atas bengunan yang dari kayu karena derivate dari DDT sangat persisent.
Artinya lama terurai oleh jasad renik tanah dan tetap beracun bagi serangga rayap yang berani menembus barrier itu. Memang rumah koloni rayap semua selalu ada dalam tanah, seputar gedung-gedung.
Akhirnya di banyak Negara golongan besar pestisida yang termasuk dalam chlorhidrokabon (chlorinated hydrocarbon) seperti DDT dilarang dipakai atau  di produksi. 
   Di Indonesia, golongan ini dilarang kira-kira mulai th 1970. Tapi hingga kira-kira th 1985,  DDT masih di fomulasi dan kemudian diproduksi di kawasan Bogor – Gunung Putri desa Cicadas untuk disuplai ke pemberantasan malaria, oleh Kelarga Cendana. (sumber google Tempo online 25  Juni 1985). Padahal sudah diharamkan atau dilarang th 1970. Konon produksinya sampai 20. 000 ton setahun.

Jadi sekarang perlu diketahui oleh pemakai Pestisida, golongan gugus kimia apa yang menjadi bahan racun itu sebelum memakainya:
1.    Golongan chlor hydrocarbon                     
Senyawa phenyl serupa  sarang lebah C6H6 yang bersenyawa dengn Cl (chlor). Menggantikan salah satu (H) contoh DDT, Endrin, Dieldrin, PCP  (pentachlor phenol)  pengawet kayu ramin dari blue stain mengendalikan penggerek. Semua golongan ini sudah dilarang dipakai maupun diproduksi di Indonesia, sejak th 1970
2.    Golongan Carbamat: Golongan ini banyak dipakai untuk racun hama kebanyakan turunan dari cyanide (sianida). Contohnya Dursban
3.    Golongan senyawa Phosphor, phosphor putih memang beracun, racun  organophospor contohnya Diazinon.
4.   Golongan Phyrethroid Sintetic –meniru senyawa alami dari tanaman Phiretrum yang memang dibuat obat nyamuk. Contohnya  permethrin, cypermethrin, alfacypermthrin, deltamethrin dsb
5.   Golongan hormone – contohnya chitin inhibitor artinya mencegah terbentuknya chitin sehinggs hama atau semua serangga gagal membentuk rangka luar (chitin), sehingga lemas dan mati, kalau terlarut di perairan maka semua Crustaceae ya keracunan contoh : Morocide.
6.  Golongan sex pheromone – atractan untuk serangga jantan atau serangga betina contohnya methyl eugenol
7.   Golongan senyawa racun yang mempunyai sifat fisik yang mudah masuk ke dalan lekukan, menurunkan tegangan permukan cairan, sehingga mudah masuk ke celah micro di dedaunan adalah miticide dan thripsiside
8.   Kapang/spora dari bacteri penyakit serangga Baccilus turicingiensis – contoh Thuricide.

Mengetahui golongan racun dari pestisida yang dipakai sangat penting, untuk keselamatan kerja, dan pertolongan pertama bila keracunan, biasanya tertulis dengan jelas di label apapun pestisida yang beredar di pasaran Indonesia. Sebab, umumnya bila tertelan racun pestisida, harus segera dimuntahkan atau dibuat muntah, ada jenis racun yang harus hati-hati dalam membuat muntah, atau tidak boleh dibuat muntah, yang tetulis hanya di label kemasan asli.
   Alangkah baiknya bila semua pemakai pestisida tahu paling sedikit seperti yang tertulis di tulisan ini, atau seperti yang tertulis di label, baru kemudian memilih jenis yang mana yang akan dipakai.
    Tentu saja jenis hama yang memakan daun, relative besar, dan gembul, lebih mudah dkendalikan dengan racun perut, dari jenis carbamat atau organophosfat, atau pyrethroid sintetic, bahkan dengan konsentrat kapang bacteri. Biasanya ada diskusi antara penjual pestisida dan pembeli yang memilih pestisida berdasarkan hama apa yang dianjurkan dikendaikan dengan produk yang mencantumkan anjuran di labelnya.

  Asumsi umum menyatakan, bahwa bila populasi hama tertentu sedikit, itu tandanya musuh alami hama tersebut masih mampu menekan populasi hama, tidak perlu dikendalikan dengan Pestisida.
Tapi bila bertambah banyak secara drastis dalam waktu yang singkat, tandanya faktor-faktor cuaca untuk perkembang-biakan hama bagus sekali dan predator atau musuh alami tidak lagi bisa mengendalikan hama tersebut, maka diperlukan pengendalian dengan Pestisida.

Tidak ada istilah “pencegahan dini” dalam memakai Pestisida, sebab bila populasi sedikit, tapi sekira keberadaan hama itu sudah mengganggu “perasaan” maka diharapkan bisa dicari dan dibunuh dengan tangan saja, atau dalam bahasa Jawa : “dipetani”, dengan “e” dari elok, artinya dicari seperi orang mencari kutu kepala. Mengingat sekali Pestisida telah dipakai, kemungkinan ikut hilangnya populasi pemangsa atau predator yang sesama serangga sangat besar, yang pulihnya lambat dari hamanya sendiri. Lagipula populasi serangga hama yang masih kecil ini bisa malah kebal terhadap pestisida senyawa  itu.

  Untuk hama penting di lapangan, jumlah ambang batas hama penggangu misalnya wereng (Nilaparva  lugens), oleh penelitian yang panjang dicoba untuk dicari ambang batasnya sehingga pemakaian pestisida diperlukan, itupun melihat umur tanaman dan cuaca dan  hama wereng itu mayoritas pada stadia apa. Ada petunjuk bahwa bila mendapatkan hama wereng coklat seekor dari setiap satu tunas padi wajib dikendalikan dengan pestisida, tentu saja petunjuk ini selalu perkembang (Petunjuk Balai Proteksi Tanaman Pengan Jawa Timur Ir. Widagdo)  Ini cerdik, sebab ndak ada padi tua bertunas, dan tidak dijaring karena wereng coklat rumahnya di pangkal rumpun padi dan tidak terlalu suka terbang. Mudah diingat.
Aplikasi pestisida, satu tanaman hobby atau satu hamparan tanaman budidaya, aturan keselamatan kerjanya sama, memakai pelindung badan dan pelindung pernapasan, agar jangan sampai menghisap atau terhisap kabutnya, dan terkena kulit yang terlewat untuk dicuci dengan sabun.
Pestisida harus tersimpan jauh dari jangkauan anak kecil, terkunci, dan harus dalam kemasan aslinya.
Semoga berguna, salam Pertanian (*)
   


..





3 comments:

sejujurnya artikel seperti ini bapak tulis ini yang saya cari2 untuk menambah wawasan saya, setelah membaca tulisan ini saya jadi mengerti mengapa tanaman koleksi saya mati, ternyata disebabakan oleh spider mite yang tidak akan mati oleh pestisida umumnya, terima kasih.dipasaran nama produk miticide yg populer apa ya?
Anis


Kepada Anis,

AMITE, OMITE, KELTANE,ORTHENE Semua daLam kemasan kecil karena mahal. sekian subagyo penulis blog ini.













Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More