Segala ilmu bisa dipelajari.
Tugas “ilmu” adalah membuat subject matter – pemikiran pada bidang tertentu, jadi mudah :
Mohon pembaca cukup bersabar, ini adalah ilmu Filosophy, atau, pertama kali ada disebut Falsafah dalam bahasa Arab.
Anehnya begitu istilah ini dipakai sebagai judul suatu buku, maka jadi suatu subject yang berbelit-belit dan membosankan, seolah-olah buku-buku yang berjudul dengan tambahan ….Philosophy….. adalah buku untuk orang-orang yang sudah tua, banyak waktu untuk merenung, ; ketakutan lebih gawat lagi si pelajar bisa jadi gila.
Setahu saya, orang Jawa lebih bijak memberi definisi mengenai Ilmu : Ilmu adalah suatu subject pemikiran yang bila digelar bisa memenuhi Dunia, bila digulung bisa sekecil merica yang dibubut (artinya digosok menjadi bulat benar) kecil sekali.
"Ilmu iku manawa digelar bisa ngebaki Jagad, lamung rinegem bisa dadi sak mrica binubut". (Bahasa Jawa)
Orang Europa sesudah Renaissance, mulai menghimpun semua pemikiran orang yang terdahulu, yang dihimpun dalam buku Philosophy.
Derajad para iImuwan yang diberikan oleh University, Academia adalah derajad penguasaan ilmu untuk satu profesi, akhirnya derajad yang tertinggi untuk setiap bidang ilmu adalah Ph.D (Philosophical Doctor), mungkin artinya orang tersebut sudah menguasai cabang ilmu yang bersangkutan, sampai inti sarinya sehingga mampu melengkapi atau menambah sesuatu pengetahuan baru dari bidang ilmunya, suatu yang baru mengenai alat-alat dan procede, mengenai pembuktian penafsiran baru, yang berguna bagi perkembangan cabang ilmu yang dipelajarinya dan berguna bagi masyarakat manusia pada umumnya, dan lain perkembangan kegunaan yang menonjol.
Di Dunia Islam sendiri, dari mana sumber pemikiran logis yang mengilhami zaman Renaissance, berkembang juga ilmu-ilmu yang ada, terutama dalam bidang-bidang kesehatan dan kedokteran, arsitektur, astronomy dan matematika, dalam bidang-bidang hukum yang diambil dari petunjuk petunjuk kitab-kitab Agama. Masyarakat manusia ahli agama dimanapun mereka berada juga pasti telah membentuk tataran-tataran penguasaan ilmu seseorang, yang kita sudah tidak mengenal lagi seluk-beluknya, umpama gelar Maharshi, Empu, Kyai, Ayatulah atau Hujatul Islam dsb.
Sayangnya ilmu-ilmu yang berkembang di Barat meskipun diilhami oleh perkembangan Islam yang luar biasa, pesatnya, ilmu-ilmu di Barat juga mendapat stimulasi dari revolusi industri yang memuat pemikiran lebih rasional dan sekaligus melipat-gandakan dan menjadikan barang-barang kebutuhan sehari-hari terjangkau oleh umum, barang pakai yang memperbaiki kualitas hidup manusia, terutama mengenai kebendaan, jadi melimpah. Begitulah sehingga perkembangan ilmu-ilmu yang menyangkut pengadaan kebutuhan kebendaan manusia jadi berkembang pesat, sehingga atribut-atribut keilmuan di segala bidang laku keras, dan pasar menyediakan dengan segala jalan.
Di Indonesia sekarang seperti di Amerika dalam segala bidang ilmu ditata, yang terbawah adalah tingkat Diploma (D1, D2, D3), yang menguasai satu bidang aplikasi dari satu cabang ilmu.
Kemudian Sarjana Strata I (S1), dalam bekerja berhak mandiri berdasarkan ilmu yang dipelajarinya tanpa pengawasan langsung, merupakan otoritas sebatas cabang ilmu itu sendiri.
Kemudian Sarjana Strata II (S2), diberikan pada sarjana strata dua ini kebebasan memberikan pelajaran pada para profesional di bidang ilmunya, atau mengusai satu cabang bidang ilmu itu jadi merupakan spesialis, atau Kandidat Doktor (Dr Cand).
Kemudian sarjana strata III (S3), penguasaannya terhadap suatu cabang ilmu, sehingga menemukan sesuatu kemajuan baru di bidangnya, strata III ini setara dengan Philosophycal Doctor (Ph.D).
Di Indonesia begitu banyak manfaatnya Ph.D ini, seperti juga Computer, ada yang Computer “jangkrik”, nah atribut Ph.D ini juga ada yang “jangkrik” loh, ini ndak bohong, coba tengok kawan di sekitar anda.
Di negara Uni Sovyet dulu diadakan derajad Akademic di atasnya sarjana strata III, derajad akademik itu diperuntukkan bagi mereka yang diangggap berjasa di bidang ilmunya, dan diberi hak untuk ikut menentukan arah penelitian, diangkat jadi Anggauta Akademi Ilmu Pengetahuan, yang bisa mengerahkan beaya dan tenaga besar milik masyarakat.
Seorang Ph.D seharusnya sudah mampu melihat keseluruhan structure kelemahan dan kekuatan pemikiran di bidangnya sehingga mampu membimbing colega-nya yang akan mencapai derajad Philosopical Doktor, mencari celah dan sebagai pengungkit untuk mengangkat satu permasalahan dari satu cabang ilmu dan pengembangkannya sehingga lebih maju setapak. Sebab waktu penelitian yang panjang maka perlu dilanjutkan kapada generasi berikutnya dan organisasi masyarakat yang membiayainya.
Untuk tugas itu, dia memerlukan Philosophy, sehingga dia seolah-olah dapat melihat dengan jelas perspective ke depan cabang ilmu yang ia geluti untuk kegunaannya bagi Manusia. Misal pelestarian Orang Hutan pun untuk kegunaan manusia, misalnya untuk merubah diet species manusia yang lama-kelamaan kok menjadi penyakitan.
Tentu saja suatu penelitian perlu latar belakang “kegunaan” bagi manusia, dan alam raya, sesudah itu memang perlu beaya yang besar yang mestinya akan dipikul oleh masyarakat manusia, sebagai penyandang dana.
Banyak diantara ilmuwan yang terikat pada persoalan dana ini.
Bila perkembangan Ilmu juga harus dibebankan pada seseorang, maka dikhawatirkan semboyan “The might is always right” bisa terjadi.
Untungnya ada petunjuk mengenai Philosophy keberadaan Manusia di alam Raya ini:
Pesan terakhir bagi manusia dari Allah untuk melihat perspective keberadaannya di dunia dilewatkan Malaikat Jibril kepada Utusan Allah, Nabi Muhammad SAW. “Mulailah perbuatanmu di Bhumi ini dengan Mengatas Namakan Allah yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih.” “Bismillahirakhmannirrakhim”
Selebihnya urusan Dunia sama sekali adalah urusan Manusia, tanggung jawab manusia, mau membuat bom nuclear??? kek boleh, mau menghancurkan Dunia seisinya ?. . . . . Boleh (kemungkinan ada !).
Akan tetapi segala perbuatan manusia kan harus dilandasi dengan “Bismillahirokhmanirokhim”? membunuhi orang yang tidak berdosa jutaan orang sekaligus, mendesak species lain hingga punah, mana rakhmannya mana rakhimnya ?
Sudah begitu tidak merasa salah lagi.
Apa cocok dengan “Falsafah” keberadaan manusia di Bhumi ini ?
Allah sendiri melimpahkan Rakhman dan Rakhimnya ke seluruh Alam, Allah memberi bekal kepada KhalifahNya di Bumi dengan “Bismillahirokhmanirokhim” sebagai falsafah hidupnya.
Pesan Allah kepada Pemerhati Lingkungan hidup apalagi Philosopical Doktor (Ph.D) penelitian di bidang ini, bukan hanya menyangkut beaya masyarakat yang besar.
Tetapi apapun perbuatannya harus cocok dngan ikrarnya saban hari yang terikat erat jadi falsafah hidupnya. Bismillahirokhmanirokhim.
Mau Anthropocentris kek, mau Economy centris kek boleh,
Tapi seandainya pandangan Anthropocentris yang di pakai, untuk mempertahankan keseimbangan alam dengan manusia di alam tropis ini keberadaan hutan di lereng-lereng gunung masih diperlukan untuk sebanyak mungkin adanya penangkapan air hujan yang harus menyerap ke tanah, terperangkap dua lapisan pejal, beberapa ratus meter di bawah akan jadi sumber dan sendang (mata air) maupun situ (danau), sehingga musim kemarau masih diharapkan ada air untuk pengairan, dan mencegah 'run off 'dari top soil.
Anthropocentris dalam arti bahwa pertanian sayur-mayur sub-tropik di pegunugan harus diminimalkan, begitu pula lahan hunian yang tidak bersangkutan dengan pemeliharaan hutan, ya hutan itu tempat rekreasi, bukan Park Beton.
Caranya ya ganti jenis sayurannya bukan Kol, Broccoli, Bloem Kol, Bawang Prei, Kentang, Wortel, tapi diganti dengan tanaman Daun Turi, Daun Singkong, Bayam, Daun Kenikir, Daun Mangkokan, Bawang Merah, Batatas rasa kentang. Jadi manusia jadi object perubahan perilaku makan, bertempat tinggal, dan berekreasi, tidak se-enak perutnya sendiri, jadinya ecology hutan lereng gunung jadi lestari, manusia hidup bersama ecosytem yang di sana. (baca tulisan saya tentang egoisme petani pegunungan di
http://www.idesubagyo.blogspot.com/2012/12/egoisme-dari-petani-pegunungan.html
Tapi orang berduit yang menanam Apel, yang membayar pembangunan amusement centre, yang membuat resort apa mau ? Mereka akan mengerahkan petani sayur dan petani Apel untuk bertahan, persis kayak petani Tembakau yang dimanipulasi.
Ini gunanya dibekali dengan Bismillahirokmanirokhim. Sebagai “Falsafah hidup”
Kata Pembukaan dari pengertian Ummul Qur’an.
Lah dalam mengelola benda ya pakai “falsafah alam” yang sudah ribuan tahun yang lalu diketemukan oleh Kebudayaan Kebudayaan tinggi umat manusia, dihimpun dalam “Dialektika Alam”.
Lah dalam tugas bersinggungan dengan alam dimensi lebih tinggi ya pakai falsafah esotheric pernyataan di nisan R.M.P. Sosrokartono. saya anggap sebagai “Dialektika esoteric”.
Semua ini jadi mudah, sebab tinggal buka google dan ketik semua ada di sana.(*)