Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Minggu, 16 September 2012

BUDIDAYA JAMBU CAMPLONG PUTIH (Syzigium aqueum L) - SEBAGAI TANAMAN BUDIDAYA ALTERNATIVE UNTUK MENGELOLA LAHAN PINGGIR PANTAI , YANG BERIKLIM TEGAS.


Iklim tegas yang dimaksud adalah  perbedaan yang tegas antara musim penghujan dan musim kering. Untuk banyak tanaman budidaya tanaman keras, musim kering yang tegas diharapkan, akan tetapi air harus tetap ada, berarti membutuhkan pengairan, misalnya Kapas, Anggur, dsb.

Di pulau-pulau kecil yang iklimnya tegas, sering malah air  tanah jadi terlalu dalam atau di wilayah pantainya malahan terjadi intrusi air  laut yang merepotkan. Ini disebabkan oleh wilayah penangkapan air yang sempit dan penggundulan lereng-lereng sehingga mengakibatkan “run off” dari air hujan (mengalir  lewat permukaan, tanpa berkesempatan menyerap ke dalam tanah, merupakan kejadian yang yang sangat merusak).

Di desa Camplong, pinggir jalan raya antara Sampang dan Pamekasan Pulau Madura, mirip keadaan di atas, air tanahnya dangkal dan sering malah payau, tanahnya berpasir.
Di Bali utara sekitar Singaraja tempat Anggur dibudidayakan sering masih kebagian air tawar dari pengairan, di barat Sririt, ada petani Anggur yang terpaksa menggali sumur hingga puluhan meter.
Menariknya dari Familia Myrtaceae ini banyak yang merupakan penghuni wilayah hutan tropis, konon menduduki peringkat sampai 60 %., jadi Jambu-jambuan sangat bisa beradaptasi diwilayah tropic, makanya bila Jambu Camplong Putih yang sudah dibudidayakan, pasti tidak akan terlalu rewel, seperti biasanya hanya perlu pemupukan organik dan berimbang, setera dengan hasil panennya, karena buah Jambu Camplong meskipun daging buahnya tebal, rasanya manis, panennya besar, tapi hara yang terbawa tidak banyak (hanya air – namanya saja Jambu Air).

Jambu Camplong Putih ini sudah pantas diberi gelar buah  budidaya kerena syarat-syarat pentingnya sudah dimiliki, antara lain : Daging buahnya tebal, tidak berkulit (sangat tipis, biasanya terikut dimakan tanpa persoalan), aroma dan rasanya enak manis sagar  dan tidak berbiji. 

Banyak buah yang sudah menyandang nama buah budidaya akan tetapi masih berbiji besar dan tidak enak /pahit, toh sudah disebut buah budidaya. Saya yakin bangsa Jambu Air yang ini  sudah pantas menyandang gelar buah meja dan telah dibudidayakan sempurna, akan tetapi untuk menjadikannya mata dagangan buah meja yang terhormat rasanya kok masih ada faktor-faktor lain yang harus mendukung.

Kita bisa melihat, kebiasaan petani dan pedagang buah dari suku Madura, sangat membantu menjadikan semua buah meja berbudi daya yang terhormat, sedangkan Jambu Semarang (Syzygium samarangense), yang berwarna merah maroon, rasanya manis tidak mencapai pasar dengan cukup terhormat karena perlakuan panen,  pasca panen, dengan  packaging kurang memadai, dan cara berdagang yang lemah, penuh kekhawatiran, bahwa dagangannya akan busuk,

Menurut pengalaman saya, orang Madura sangat piawai dalam memperdagangkan buah. Buah apapun selalu dipilih yang ranum ataupun sudah siap disantap bila sudah di tangan mereka. Salut, betul-betul yang diperdagangkan semua barang yang bagus, tanpa cacat.
Para pedagang buah dari Suku Madura selalu bisa menawarkan dagangannya  sedikit di bawah harga super market atau fruit shops yang dilengkapi dengan  vitrin pamer berpendingin dan ruang a/c, padahal Pedagang Madura selalu bisa menempatkan dagangannya di bawah tenda sementara dengan 'terang-terangan menantang'  super market di depannnya (hebat bukan ?),  atau di trotoir jalan protokol atau jalan strategis, tidak masalah akan peraturan apapun.

Misalnya, saya selalu tertarik membeli Pisang Ambon Kuning di Jember yang aromanya harum di trotoir jalan raya ke Surabaya, dekat Kantor Direksi PTP XXVI dulu, sekarang tergabung dalam PTP Nusantara XII.
Dua puluh lima tahun yang lalu mereka selalu bisa mendapatkan harga premium Rp 9000,- sampai Rp l5.000,- per sisir, ditawar untuk turun seribu rupiah pun tidak dikasih, dia menolak tanpa exspresi apa-apa, padahal Pisang itu sudah tua dan masak, bila sisir Pisang itu diangkat pasti terlepas dari gagangnya saking masaknya dan harga akan jatuh.
Betul juga pisang berpindah tangan, saya beli, setelah sisir Pisang ini saya angkat, hati-hati sekali langsung tiga butir lepas dari sisirnya saking tuanya, sampai di jeep, yang mrotholi menjadi lima, sudah terlanjur, sampai Surabaya semua pisang yang mrotholi sudah masuk perut saya, tinggal tetep di gagangnya satu sisi kurang lima, tak apa, seluruh isi rumah senang.

Petani pedagang pisang di Jember ini  orang Madura, saya kira syarafnya setebal kelingking, kuat bertahan harga, dengan 'poker face' nya, lebih kuat dari syaraf saya yang lemah menghadapi kenikmatan pisangnya, sedang dia menghadapi penawar terakhir terhadap Pisang khusus ini, sesudah saya, sesisir pisang super ini sudah mrotholi tidak menarik lagi untuk dijual. Mental jualannya sangat hebat.

Menghadapi pembeli, pedagang buah yang bermental 'dingin' memang harus selalu bermuka pemain poker, dan menawarkan dengan harga toko buah yang kenamaan, alias dua kali harga pasar atau bahkan tiga kali harga pasar. Memang barangnya baik, bagi super market harga yang diminta adalah layak.
Buah yang begitu prima keadaannya telah didukung dengan panen dan perlakuan pasca panen yang sangat hati-hati, tidak sampai beradu berdempetan dengan sesamanya atau pinggir dinding yang keras, persis seperti aturan transpotasi  telur ayam.

Saya kemukakan di sini perlakuan semacam ini juga di trapkan dalam menyajikan Jambu Camplong dari  Sampang Madura, ke pasar, artinya ke tempat dia dijajakan, tidak heran bila cultivar Jambu Air ini berhasil menghiasi meja makan Tamu Negara di Istana Merdeka.
Jambu Camplong putih dari Sampang Madura, kualitas terbaik akan dihargai oleh penjualnya di tepi jalan  dengan harga Rp 15 000 / kg, bahkan Rp 20 000 per Kg. yang isinya kurang lebih 9 -10 biji.

Tidak aneh, Cincalo Merah atau Syzygium Samarangense tidak sampai berprestasi seperti itu.
Sebagaimana semua jenis buah yang kulitnya tipis, seperti belimbing (Carambola balimbi) Mangga (Mangifera indica), Jambu Biji (Guava, Psidium guajava ) pasti diserang Lalat buah ( Dacus spp) jadi mulai dini sejak buah sebesar ibu ibu kaki sudah dibungkus pakai tapas – (semacam anyaman alami dari serat pinggir pelepah kelapa/siwalan/tal) atau kertas pembungkus, atau polypropylene woven, bekas pembungkus pupuk. Bagusnya jenis Jambu ini tidak bakal merontokkan semua buahnya walaupun cuaca kering. Mungkin bisa memanfaatkan air tanah yang payau yang tidak terlalu dalam.                             

Oleh karena pembiakkannya dilakukan dengan cangkok (marcotting) maka pohonnya bisa dibuat setinggi 2,5 meter dengan dahan dahan yang mengembang,  perakaran yang jadi perakaran serabut atau tidak berakar tunjang, ini yang memungkinkan melindungi dompolan buah dengan membungkus beserta dahan dahannya, kecuali menangkal serangan Lalat buah sejak dini, mungkin juga melindungi dari penguapan yang berlebihan.

Kecuali itu jumlah populasi Jambu Camplong Putih di sekitar desa Camplong cukup panyak ada 160 ribu pohon dengan  kemampuan produksi 300-800 kg/pohon, artinya produksi cukup untuk ongkos angkutan dan diversifikasi pasar. 

Mungkin keadaan ini yang menyebabkan  Camplong Putih beda  nasib dengan Cincalo Merah atau Jambu Semarang.(*)

Salam Pertanian

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More