TERBANGNYA SEBUTIR DEBU DIRELUNG RUANG SEJARAH - SATU PENGAKUAN
Saya sudah kehilangan apapun benda benda kenangan selama mengarungi ruang sejarah yang ku alami. Ruang waktuku sejak mulai kusadari, sekarang saya mulai berfikir bahwa kurun waktu itu adalah unik bagi Negeri ini. Umur enam tahun sudah kualami bersekolah di Sekolah Rakyat zaman pendudukan Balatentara Dai Nippon yang dahsyat. Baru sekarang kusadari hal ini.
Bayangkan, simpul terpenting pada posisi tertingi dalam masyarakat Hidia Belanda selama berabad abad Kekuasaan Kolonian Hindia Belanda dalam waktu sangat singkat teronggok nista dikaki Penakluk dengan posture tubuh pendek Bangsa Nippon waktu itu. Sedangkan politik Kolonian Hindia Belanda telah berabad abad biasa melecehkan kaum Pribhumi yang mereka namakan Inlander, adalah subhuman, ondermens mudah kehilangan akal.
Bahwa waktu pesawat tempur Belanda jatuh dalam latihan sebelum perang karena kecelakaan, kebetulan dipiloti oleh satu satunya pilot pribhumi: Samboedjo, putra seorang Dokter. Tidak mendapat simpati malah mendapat sindiran nyaris ejekan dari pers Belanda, bahwa inlander tidak mampu bekerja multitasking sepenting kayak pilot pesawat tempur, padahal kesalahan teknis sangat mungkin terjadi, Atau mungkin juga sabotase kolone ke lima Pasukan Penyerbu Nippon
Saksi mata penghinaan ini masih dengan senang hati membenarkan nama tokoh yang gugur, dan reaksi pers Belanda. Beliau adalah veteran Pejuang Kemerdekaan RI sudah berusia 84 tahun Bapak Suyud Tarkoyosopuro, pensiunan Daperteman Kesehatan, dan WHO yang kala itu tinggal di Madiun. Sekarang tinggal di Surabaya Sidosremo PDK gang IV E ph 8417379.
Malah waktu perang beneran pesawat tempur Belanda yang dipiloti oleh pilot tempur Belanda totok pada lari terbirit birit, diatas laut Jawa, beberapa skadron ludes dalam hitungan hari, melawan pesawat temput Nippon Mitsubishi zero. ( Saya baca buku paperback mengenai komentar Saburo Sakai, "Ace "pilot tempur Jepang, yang sempat mrngejar sampai ke lapangan terbang dekat Malang.) Pesawat tempur Belanda tega meninggalkan formasi tempur kapal kapal perangnya di laut Jawa, yang jadi sasaran empuk para pilot pesawat tempur Angkatan laut Nippon.
Selama kekuasannya dinegeri ini yang hanya tiga tahun 1942 sampai 1945, sudah cukup buat bangsa ini menjadi pemberani, karena Jepang pun nyerah pada pemuda pemuda kita, bukan bertempur setengah hati, malah mati matian karena putus asa. Seperti Balatentara Nippon jang di Semarang, batalion Kenpeitai ( seperti batalion SS nya Nazi Jerman ) di markasnya di muka kantor Gubernur Surabaya yang sampai luluh lantak , toh akhirnya kalah.
Para pemuda kita malah kayak jago sudah mencium bau darah. Tebukukti ketika Sekutu menuntut rakyat Surabaya mempertanggung jawabkan matinya Jendral Mallaby ( Jendral Inggris) di muka Gedung Internatio Jembatan Merah akibat situasi yang tak terkendali dari kedua belah fihak, pada tanggal 10 Nopembar 1945, rakyat Surabaya harus menerima salah,
Memakai pakaian putih menyerahkan senjata sambil angkat tangan diatas kepala, mulai jam 10 00 pagi dilapangan Perak.
Bila tidak dilaksanakan kota Surabaya akan mendapat bombardement dari laut, darat dan udara dari Angkatan Perang Sekutu. Duputuskan Pimpinan yang berjiwa muda seperti Pemuda Sungkono yang diangkat oleh para Laskar Rakyat dalam rapat terbuka ditunjuk jadi Komandan Badan Keamana Rakyat (BKR), Pak Dul Arnowo, Mat Osin, Ruslan Abdulgani dll dan oleh para Pemuda dengan jawaban “Nuts”.
Maka pada hari itu tanggal 10 Nopember 1945 kota Surabaya jadi sasaran meriam kapal kapal destroyer, cruiser yang kalibernya mengerikan, meriam lapangan, dan straffing terbang rendah dengan murah menghujani renteten tembaan senapan mesin 12,7 mm, juga pemboman dari pesawat terbang Inggris Spitfire, kerumunan manusia yang mau mengungsi malah jadi korban yang tidak beruntung, kebanyakan etnik China, dan peranakan dari kota sebelah Utara. tidak terhitung..
Surabaya bertahan dalam suasana perang dari jalan ke jalan sampai bulan February 1946. Malah oleh Profesor Sejarah kroni Orde Baru Prof. Nugroho Notosusanto cuma dianggap perlawanan penduduk Kampung Kampung Kota Surabaya, jadi tanggal itu tidak perlu ditandai dengan peringatan apa apa, Oleh khianat itu sekarang tanggal 10 Nopember di tanggalan hitam siperti hari yang lain, mungkin karena perlawanan itu tidak diprakarsai oleh ABRI sebab ABRI nya masih ditingkat Komando di Jakarta, prajuritnya belum direkrut dari Laskar Rakyat setempat. Keluarga kami baru mengungsi bulan Desember 1945.
Zaman itu mulai kusadari setelah saya dimasukkan ke kelas satu Sekolah Rakyat dikotaku Surabaya di Jl. Pacarkeling. Tahun tahun sebelum itu tidak masuk kedalam kesadaran saya.
Saya dari Tambaksari, Jl Juwet no 15 kesekolah jalan kaki, hanya beberapa hari permulaan saja diantar.
Keluarga kami miskin, karana ayahku tidak bekerja pada zaman penjajahan Jepang , konon memang kantornya tidak bekerja di jaman itu, Kantor Notaris Belanda Meneer Theodore Vermeulen, pulang kenegeri Belanda menjelang pendudukan Nippon.
Malah Ibuku bisa mulai usaha kecil kecilan, mewarna kembali kain bathik, namanya “nyembuh” kain bathik. Sesudah “disembuh” kain bathik yang sudah pudar dan lusuh warnanya tapi kainnya masih kuat, akan nampak baru kembali.
Proses nyembuh kain bathik sama dengan membuat kain bathik baru, dengan menutupi gambar pola yang berwarna putih dibatik dengan lilin lebah persis diatas pola yang mestinya berwarna coklat dan biru gelap/hitam dibiarkan terbuka. Selembar kain bathik yang sudah pudar warnanya dibathik kembali dengan lilin lebah, lantas diwarnai dengan rebusan kulit pohon saga dan berbagai campuran kemudian direbus hingga berwarna coklat tua, tanpa diwarna dengan warna biru hitam dengan nila (nama jawanya wedelan), seperti membuat kain bathik baru.
Jadi di zaman yang sulit zaman perang ini orang tuaku masih bisa memberi makan pada keluarganya yang besar, karena saudara dan saudariku banyak, saya ada delapan saudara saudari, yang tertua lelaki, sekolah di SMP kelas dua yang paling muda baru lahir tahun 1945, kalau ndak salah bulan Juli. Usaha ini di Surabaya usaha nyembuh kain bathik cukup mendatangkan rezeki, karena sebagian besar kaum wanita menengah Jawa maupun kaum peranakan cina menggunakan kain bathik dan kebaya pada jaman itu persis kayak Kartinian Sekarang.
Hanya untuk nyonyah cina kainnya berasal dari pembatikan pantai utara Jawa, banyak menggunakan wara merah dan hijau yang ramuan pewarnanya tidak diketahui ibu saya, jadi bukan langganan Ibu saya.
Kakak laki laki saya sudah di SMP Praban, jarang pulang karena Kingrohosi dan latihan perang perangan membuat parit pertahanan dan sarang senapan mesin dipimpin oleh guru Nippon mereka. Saudari saudari saya ber kingrohosi mencari ulat jarak, repot untuk gadis remaja seumur kakak saya yang sudah kelas lima sekolah rakyat, sebab textile pakaian sulit dan bahan adornments juga sulit seperti sepatu (bukan kulitnya yang sulit didapat tapi bahan penyamak kulitnya yang sulit didapat) dan barang lain walau penjepit rambut atau pita rambutpun sulit didapat, apalagi sabun mandi yang agak harum. Seingat saya kakak perempuanku yang sudah kelas lima sekolah rakyat tidak beralas kaki waktu pergi kesekolah, apalagi aku baru kelas satu.
Kepalaku digundul plontos, karena sering ada borok dikepala, lagipula gundul plontos adalah mode pada zaman Nippon. Sabun kami sering membuat sendiri, sepertinya bahannya minyak kelapa dan abu dan garam dapur di godog sampai kental sehingga bila dingin membeku.
Suasana semangat perang didengungkan disekolah sekolah, kebencian pada Sekutu juga menjadi tema nyanyian yang diajarkan, semua hampir lagu mars, banyak yang memakai bahasa Jepang. Terutama harus dinyanyikan setelah upacara pagi menghadap ke timur laut mengutara kekota Tokyo, menyanyikan Kimigayo ( kagu kebangsaan Nippon) setelah itu Saikerei atau menekuk punggung membungkuk membentuk huruf L untuk menghormat pada Tenno Haika disana, Sang Kaisar yang setengah Dewa.
Kami hidup di kota besar, yang kebetulan jadi pusat pengkalan Angkatan Laut Nippon, jadi kota ini oleh Pemerintahan Militer Nippon agak diistimewakan agar tidak mudah bergolak, pangan diangkut dari pedesaan cukup. Hanya sangat sering kota ini mendapat serangan udara Sekutu. Rumah kami temboknya sampai retak retak, karena ada bom jatuh disisi barat lapangan Tambaksari. Semua hunian sekitar Kalipepiting, Kaliwaron sampai Tamabakwedi dan Kedungcowek dipindahkan entah kemana sebab sering terjadi bom bom Sekutu nyasar jatuh didesa desa itu.
Kekejaman Kenpeitai (Polisi Militer) Nippon kami tidak asing, Bapakku orang swasta banyak punya kawan mencari nafkah dngan “nyatut” apa saja. Banyak barang keperluan dilarang dijual umum, seperti bensin, solar, alat alat pertukangan besi seperti lager/bearing (gandar), pelumas, alat pateri dan asam chloroida maupun asam sulphat marupakan bahan langka, ada di pasar gelap degan ribuan tukang catut yang memperjual belikannya dengan berbisik bisik.
Pada satu saat kami mendapat tamu orang Arab, teman bapak saya, juga nyatut, dia bercerita pernah ditahan beberapa minggu oleh Kenpetai, karerna memperdagangkan alat pahat mesin bubut besi, dari bengkel mesin pabrik gula, yang merupakan barang curian, dibutuhkan di dok kapal Tanjung Perak Surabaya. Dia menceritakan kekejaman dan siksaan yang luar biasa di dalam tahanan markas Kenpeitai.
Sebaliknya Ibu saya dan teman teman ibu ibu di kampong Tambaksari bergiat di Fujinkai ( mungkin artinya Dharma Wanita sekarang) yang memberi makan orang miskin dan pengemis dibiyai oleh Pemerintahan Pendudukan Kota Nippon (kantor Gemente pada zaman Belanda jadi kantor Sie pada zaman Nippon dan kantor Kota Madya zaman sekarang), kira kira setahun pertama pedudukan Nippon dua kali seminggu, di gedung sekolah rakyat Tambaksari muka lapangan, aneh dizaman seperti itu, kok tidak dikorupsi saja oleh Kantor Sie, sekarang program seperti itu akan cepat ditilep, coba aja.
Armada Nippon terkesan pada kota Surabaya sebagai sekutu Armada Nippon jauh jauh hari, sebab buruh buruh di Ujung, markas KL/Marine (Koningklijke Marine), waktu masih dibawah Nederlands Indie, pernah menerima pekerjaan dok kapal perang destroyer kuno Amerika yang setengah lumpuh, oleh gang pekerja dok (pro Nippon) disabot pengerjaannya hingga Nippon menduduki Surabaya tidak kunjung selesai, jadi kapal perang rampasan Armada Nippon, hingga kemudian perwira ex kapal perang Amerika itu telah merasa tentu ada apa apa dibalik itu, baru sekarang saya temukan cerita itu disebuah novel Perang Dunia II, edisi paperback.
17 Agustus 1945 Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Presiden didampingi wakil Presiden Republik Indonesia. Ir Soekarno dan Drs. Mohamad Hatta. “Indonesi Raya” menjadi lagu Kebangsaan Indonesia dinyanyikan dengan irama gembira dimana mana, mendadak Radio dapat bebas bersuara kembali dengan lagu lagu mars perjuangan yang lain.
Didada semua orang ada lencana bendera merah putih. Aku bermain sambil meniru euphuoria orang dewasa. Lepas dari pengawasan sedikit saja,terutama oleh ibu saya sudah sampai di jalan raya dan lapangan sepak bola Tambaksari untuk mencari selongsong peluru yang menjadi milik kami yang sangat berharga. Lapangan bola yang dipagar ini jadi arena para pemuda Lasykar Rakyat untuk latihan menembak.
Pendahuluan cerita yang nampak bertele tele sangat panjang, itu akan tidak terasa, sebab dengan permulaan kehidupan keluarga yang semacam ini kami memulai kehidupan keluarga dalam pengungsian, yang tidak dialami oleh sebagian dari keluarga keluarga diwilayah Republik Indeonesia yang sangat miskin dan terisolir dari Dunia luar ini. Kami menjalani selama lima tahun, hingga tahun 1951. Sebab sesudah Perang Dunia Ke II selesai tahun 1945, dan segera Dunia bangkit mengadakan rekonstruksi besar besaran. Bahkan dijantung bekas peperangan dahsyat di Europa, yang berpengaruh pada kita terutama di Republik Baru ini adalah Kerajaan Belanda, sebab mereka menganggap negeri ini punya mereka dan jajahan Inggris tetengga kita, Singapura dan the Strait Setlement ( semananjung Malaka waktu itu). Dari tempat tempat ini Republik Indonesia dipedalaman, secara dagang tetap berhubungan karena ada kapal transport untuk penyelundupan dan transport untuk membawa peralatan perang dan tentara pulang ke Europa kosong, Kami sangat membutuhkan barang yang diperlukan demi hidup wajar. Barang seperti kain textile penutup aurat dan obat obatan, terutama bengsanya sulfa dan berbagai vitamin selanjutnya merembet kealat transportasai praktis seperti sepeda terutama ban sepeda menjadi barang yang sangat langka hanya dibuat oleh Goodyear dan Dunlop dari Amerika, alat tulis seperti kertas tinta dan alat tulis pensil, menjadi barang langka parsediaan habis sejak lama di Republik Muda yang wilayahnya sudah sangat kecil ini. Masih dilanda perang saudara pemberantas PKI Muso th 1948, tapi sudah berani menentang habis habisan Agresi Bala Tentara Kerajaan Nederland ini yang mereka namakan Aksi Polisionil ke satu th 1946 dan Aksi polisionil ke dua bula Desember th 1948, dengan ke empat angkatannya. Ankatan ke 4 adalah Intelligence yang bekerja kurang efektip meski sudah dibantu para komprador yang tidak kuat hidup miskin.
Tapi jangan dikira wilayah ini miskin dagangan, Republik de facto Merdeka ini masih mampu menhasiklan ribuan ton biji kopi ( coffe bean) berkwalitas baik OIB 1 , ribuan ton gula SHS 1, dan tidak seberapa banyak karet berkwalitas bagus, dulu namanya RSS 1, sangat dibutuhkan diwilayah yang sudah direkonstruksi di Europa, lewat Singapura, atau langsung. Barang barang ini dahasilkan oleh para petani daerah Republik di Pulau Jawa, karena petaninya memang betul betul tekun semua masih menurut aturan tuannya dulu, pabrik pengolahan tebu jadi gula sebagian masih bekerja, lain dengan yang di Sumatra atau Kalimantan, karet pada rusak bidang sadapnya, kebun kopi jadi setengah hutan, atau ladang jagung untuk bekal perang. Amerika Serikat dan Inggris masih dapat dari Benua Amerika Selatan yang relatip aman selama Perang Dunia ke II, tapi Europa masih sangat jauh, dan belum punya produk penukar yang memadai kecuali periuk penanak nasi, penggorengan dari baja, pisau baja, stock Perang dunia ke I, barang dagangan lain tidak ada, kecualai dibantu oleh Amerika.
Dalam suasana macam itu Republik Indonesia Merdeka tahap paling awal, bisa dibayangkan kehidupan keluarga pengungsi pengungsi yang menghindari tinggal didaerah pendudukan Bala Tentara Kerajaan, termasuk keluarga kami. Kami anak anak, ibu kami mengasuh adik adik kami yang masih sangat kecil di gendongannya, kakak kami mengurusi rumah tangga, mencuci pakaian keluarga kami, menyapu lantai, memandika adik adik kami, yang bertambah dua selama dipengungsian, dirumah kakek nenek kami di Solo. Suasana Pengungsian rupanya ikut membentuk watak saya dikemudian hari, jaitu watak tidak mudah peduli atau kepingin terhadap barang, suka menyendiri, jago memanjat apapun, alergi terhadap otoritas apapun, terutama otoritas orang yang perpakaian rapi. Selama kurang lebih empat tahun di Pengungsian saya telah membaca habis satu persewaan buku buku yang terletak agak jauh dari rumah kami, dekat dengan rumah kerabat kami priyayi Solo asli yang hdupnya menjadi rentenir sambilan, pinjam 10 dalam sebulan jadi 12. Ibu Saya langganan kerabat kami itu, sambil menjalani suruhan ibuku untuk mengutang, saya selalu menyewa buku buku, sewanya murah sekali dan boleh ngutang pula, karena persewaan itu tahu saya selalu mengembalikan buku bukunya rapi dan benar, hanya buku buku tulisan huruf Jawa saya tidak menyentuh karena tidak lancar membaca huruf Jawa dan sering judulnya tidak menarik seperti karangan Karl May, karangan Sven Hedin, Dari Kutub ke Kutub, apa “Ni Wungkuk ing Mbendo growong”, “Ngulandoro” dari Mahabharata yang merupakan cerita bersambung pengarangnya siapa aku sudah lupa, hanya cerita Jawa tapi berhuruf latin saya lalap juga, bahkan sampai buku Bhagawat Gita, tentu saja dengan peringatan Bapak Penyewa, di bilang baca buku kecil itu bisa gila, saya baca memang banyak hal yang saya tidak mengerti tapi alur ceritanya bisa saya mengerti dan saya tidak gila.
Setelah saya dewasa saya bertanya kepada bapak saya, wong beliau ini orang swasta, sudah terlalu tua untuk bergabung dalam laskar apapun kok ikut mngungsi sengsara selama lima tahun, dengan anak sebanyak saudara saudari saya? Jawb beliau, kakak sulung saja ikut dalam TRIP kala itu mundur ke Malang, kemudian ke daerah Blitar Wlingi, bila kami tetap di daerah pendudukan Belanda, bila kejadian yang paling buruk terjadi pada kakak saya tidak akan ada berita yang sampai. Padahal di daerak Republikpun jarak antara Blitar dan Solo cukup jauh, mereka bergerilya di gunung dan desa desa, siapa yang bakal menyampaikan berita apapun ? Begitulah kecintaan seorang ayah kepada anak sulungnya, saya baru mengeti. Ayah saya bekerja di Bagian Distribusi hasil pabrik pabrik gula, ada lima enam pabrik milik Republik ini, pada akhir kekuasaan Republik, tiga bulan sebelum Tentara Karajaan meduduki Kota Solo, dia menemukan bahwa gula ribuan ton sudah lenyap dari gudang gudang, beliau mengusutnya, ternyata yang makan orang orang yang dalam posisi tinggi di kalangan sipil dan militer, kelak menjadi intinya Orde Baru malah beliau dipenjara sampai Tentara Kerajaan memduduki Solo, sudah bagus tidak dilikuidasi sebelum belanda masuk kota.
Alergi terhadap otoritas makin lama sesudah saya menginjak dewasa bukan saja dari mereka yang berpakaian rapi, tapi makin menggeser pada semua establishment. Waktu saya masuk SMP kami sudah pulang ke Surabaya dari pengungsian, di SMP I jalan Pacar, kegemaran membaca saya lanjutkan dengan meminjam buku dari Perpustakaan Jl Ondomohen, dipinjamkan oleh adik saya yang sekolah di Taman Siswa di jalan yang sama, entah sekarang jadi apa.
Di SMP saya mudah mengerti keterangan Guru, jadi meskipun belajar minimal, hasilnya masih tetap baik. Dari SMP I saya masuk SMA II bagian B, Jl Wijaya Kusuma Surabaya, di SMA ini saya mulai mendapat kesulitan, dari kelas satu hingga kelas 3 saya masih mudah menerima penjelasan matematika, kimia, fisika dari Guru Guru, kami, tapi untuk mengerjakan soal ulangan saya butuh waktu lama dibandingkan dengan teman teman, tanpa merasa saya jadi bodoh, angka ulangan jadi jelek, karena masih tetap memakai kebiasaan di SMP dulu, malas latihan mengerjakan soal soal supaya cepat selesai. Akibatnya saya menjadi murid bagian bangku belakang, mediocre dalam pelajaran, lebih suka membaca segala Koran dari Suluh Marhaen (PNI), Harian Rakyat (PKI) dan Pedoman (MASYUMI) dengan nick name Koran Gamparan/bakiak dan majalah terutama majalah Star Weekly, yang artikelnya banyak yang bermutu dan intelek, kalok nggak salah Redakturnya Inyo Beng Goat yang PSI (Partai Sosialis Indonesia). Artikel khususnya mengenai Perang Dunia ke II bersambung sampai bertahun tahun, ingat saya cergam yang saya nanti nanti, cerita gambar bersambung panglima Sie Jin Kwie, sangat tidak senang dengan majalah Terang Bulan yang menurut saya waktu itu cengeng. Sangat mengagumi Bung Karno, sangat membenci perbuatan korupsi, waktu itu tokoh negatip kami adalah sosok Sarpan, Kepala Bea Cukai yang hidup wah ditengah hidup sederhana kaum pegawai, dan gemuruhnya Sukarnoisme. Sebenarnya sudah banyak tokoh koruptor yang menonjol kaya di Surabaya ini, tapi saya tidak tahu. Anehnya karena saya lebih suka berteman dengan teman sewilayah Rangkah, Bogen saya tidak tertarik untuk ikut organisasi apapun. Saya memandang Organisasi apapun pasti ada Otoritas yang mengatur ini itu, saya masih alergi.
Akibat lulus SMA dengan angka yang mediocre saja, saya masuk ke Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada. Di Jokja. Masuk mendaftar langsung diterima karena yang dapat ditampung 40 mahasiswa baru yang mendaftar hanya 32 orang sampai saat terkhir menjelang ujian masuk. Nomer induk Mahasiswa saya 235 KH. Oleh paman saya yang telah lama jadi mahasiswa saya dianjurkan masuk mendaftar jadi anggauta HMI Himpunan Mahasiswa Islam, sebab nanti bila masuk Complex Ngasem tidak perlu diplonco lagi, nyatanya juga diplonco lagi , paman saya itu cuma cecere di HMI ndak ngerti apa apa mengenai organisasi.
Sebenarnya saja, saya enggan mengingat ingat episode hidupku saat saya jadi mahasiswa Gajah Mada selama nyaris tiga tahun. Satu kurun waktu dalam hidupku yang terburuk selama nyaris tiga tahun terbuang tanpa ada suatupun yang berharga untuk diingat. Hanya satu pejadian yang pantas saya tidak saya lupakan.
Ceritanya begini: Aku numpang kost dirumah pamamku adik ibuku yang sudah beranak tiga laki laki semua, si sulung sudah SMA kelas dua, adiknya ikut neneknya di Solo, Yang bungsu Masih klas dua Sekolah Dasar. Pamanku itu mahasiswa juga Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada juga, tingkat bacaloreat, orang Kejawen yang suka tirakat. Meskipun sudah jadi pegawai Pajak. zaman itu masih banyak pegawai Pajak yang hidupnya pas pasan. Istri pamanku adalah anak gadis priyayi kerabat kami yang bekerja sampingan menjadi pelepas uang sepuluh - dua belas yang sangat sering jadi langganan ibuku ngutang zaman perang revolusi dulu di Solo.
Bersama saya ngekost juga kakak beradik gadis gadis ayu keponakan istri pamanku, yang tua di Fakultas Kedokteran dua tahun diatasku, yang muda sebayaku masuk Fakultas Paedagogy. Mbak ini baru bertunangan dengan seorang Manager di BUMN, dengan gaji yang sangat baik kala itu. Dia dijodokan Ibunya nampaknya langsung cocok rupanya. Adiknya masih mahasiswi baru, dan baru saja belajar memakai lipstick.
Pada satu saat menjelang siang hari kira kira jam 8.30 dirumah sepi, tuan lagi kerja dan nyonya lagi arisan sama sekecil, anak anak kost lain dan anaknya paman saya sekolah. Si embak ini lagi dirumah, mungkin lagi kebanjiran hormon progesteron kangen belaian pacarnya, maklum baru pacaran sekali, serta merta merangkul saya dari belakang kursi yang saya duduki untuk mendengarkan lagu klasik dari radio, susunya yang besar menempel empuk di leher saya, rupanya dia tidak memakai apa apa dibalik bathrobe yang dia pakai, saya terkejut sekaligus seperti pegas yang baru dilepas dari tekanan, badan saya beraksi kilat, menengok ke belakang dekat sekali hidung saya dengan pipinya yang putih, entah kena apa kok kali ini berbinar kemerahan dan mukanya terasa panas, sambil kubelai dibagian rahangnya nya disisi lain, setengah merangkul kepalanya, saya kira ini reaksi reflex saja. setelah jantung saya agak reda meloncat loncat, baru saya bersuara saya usahakan senormal mungkin, perlahan saya omong bahwa saya tidak mau mengulang riwayatnya ular Talipicis yang bergelutan dengan ratunya ular Dewi Nagagini. Ketahuan Prabu Malawapati, melihat ketidak sesuaian hubungan ini sang Prabu memanah putus badan ular Talipicis dan selesailah kobaran api tubuh Dewi Nagagini. Karena malu Dewi Nagagini langsung menghilang sambil mengutuk Prabhu Malawapati, bahwa istrinya akan membakar diri karena kekerasan hati sang prabu. Apa lacur, sang Dewi Nagaini malah melapor kepada suaminya sang Naga Taksaka, bahwa dia digoda oleh sang Prabhu Malawapati. Tanpa omong apa apa sang Taksaka datang ke Malawapati kata empu Dalang: waktunya “wus bang rahina Hyang Aruna kadi netraning ogha rapuh” (menjelang fajar, sang Surya merah seperti mata yang sakit), mengendap endap diluar parahasyan istana yang luas, siap menyemburkan bisanya keseluruh istana, hanya tertahan oleh suara Sang Prabhu menceriterakan kepada permaisurinya mengenai kelakuan konyol Dewi Nagagini dengan ular Talipicis, yang berakibat dipanahnya oleh beliau si ular yang ndak tahu derajadnya itu. Mendengar secara tidak sengaja pembicaraan sang Raja dengan permaisurinya, mendadak sadarlah betapa besarnya dosa sang Taksaka bila terlanjur membunuh seisi istana dengan bisanya yang ampuh hanya karena kurang periksa tehadap raja sahabatnya sang Malawapati. Maka sang Taksaka menghadiahi sahabatnya sang Malawapati, dengan kebisaan mengerti bahasa segala binatang.
Mendengar cerita saya sambil saya belai belakang telinga, rahang dan dagu si embak agak lama. Aneh, lenyap si Propadeus melata tak berharga, menjelma jadi sang Bijaksana, bebas merdeka. Terus terang aku menikmati suasana ini, tragisnya aku sadar bahwa ini bukan hakku. Maka makin tinggilah voltage listrik badaniyahnya, kemudian sambil tanganku yang lain bekerja menjawab sensualitas dibalik bathrobe dengan tempo irama adagio, sangat hati hati namun pasti, membantu hawa panas yang menggebu gebu menyelesaikan proses alam menuntaskan diri, diakhiri dengan tempo crescendo, malah bibirku menciumi pipinya dengan ringan dengan perasaan kasihan sedikit selfsuperiority yang melegakan, malah segera aku harus balajar dari dia, bagaimana melumat orang hidup hidup.
Aku mengerti arti dan sebab peristwa mendadak tidak disangka sangka ini, maklum aku mahasiswa Kedokteran Hewan yang hafal tanda tanda hewan piaraan betina saat birahi. Itu pertama kali saya melihat wanita yang lagi ‘go kill’ sedahsyat si embak ini. Saya yakin peristiwa mendadak ini tidak akan terulang lagi antara aku dan dia. Memang si embak ini berperawakan padat berisi sedikit kearah gemuk, berkulitnya cerah, pembawaannya menyenangkan. Mulai saat itu saya hormat kepada pasangan yang lagi bemesraan dimana saja. Kasihan dan bersimpati kepada mereka, kok bisa kayak bukan maunya sendiri. Untuk selanjutnya si embak ini sangat menghormati dan menyayangi saya sekilas kadang kadang nampak dari pandangan matanya, saya makin merasa sedih, jadi keroco propadeus dimasyarakat Jogja,
Sesudah itu si embak memilih kawin dengan tunangannya, tidak melanjutkan kuliahnya di Fakultas Kedokteran, meskipun saya yakin dia bisa karena dia memang cerdas, dan banyak temannya dari Organisasi Mahasiswa binaan partai apa saja . Selanjutnya sesudah tahun pertama kuliah tingkat propadeuse di Komplex Ngasem dimana seluruh fakultas yang ada hubungannya dengan Biology, yaitu: Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran gigi, Fakultas Farmasi, Fakultas Pertanian dan Fakultas Kedokteran hewan medapatkan kuliah ilmu ilmu dasar bersama sama dari satu Dosen untuk setiap mata kuliah seperti Botany, Zoology,Kimia Organik, Kimia Anorganik, Fisika, kami dapat kelas sendiri untuk kuliah Fisikokimia (kimia kolloida). DI complex Ngasem juga ada laboratorium Fisika, Kimia analitik, Zoology dan Botani, diakhiri dengan mendapatkan Surat Puas, pada akhir tahun untuk mendaftar Tentament dan Ujian Kenaikan tingkat. Tentament adalah ujian per mata kuliah setiap enam bulan, sedangkan ujian kenaikan tingkat diadakan setahun sekali untuk mata kuliah yang tidak ditempuh tentament. Setiap mata kuliah dapat lulus tentament selama enam bulan sesudah itu kelulusannya expired. Kelulusan ujian tingkat harus bersama sama lulus seluruh mata kuliah. Jadi bila terkumpul tanda lulus di tentament, umpama lulus untuk tiga mata kuliah maka sisanya ditempuh melalui ujian kenaikan tingkat. Bila ujian tidak lulus atau dengan syarat ikut lagi dalam tiga atau enam bulan, untuk beberapa mata kuliah, kecuali yang ditempuh tentamentnya lulus dan masih berlaku, sangat bertele tele dan menghambat kelulusan ketingkat mahasiswa dselanjutnya. Pada judisium tahun pertama aku diputuskan untuk diperbolehkan ujian setelah enam bulan, alias tentamentku semua habis waktunya, hangus, harus mengulang semua.
Sesudah peristiwa aneh itu dan judisium yang konyol, malah sering darahku berdesir bila melihat gadis yang ciri cirinya seperti si embak, tidak seperti biasanya. Racun Dewi Nagagini rupanya telah menyerempet saya. Saya menepisnya sebisa mungkin, dengan sadar diri, bahwa saya mahasiswa yang gagal, harus berjuang keras, tidak layak membawa nasib orang lain, alasan untuk mengeraskan hati, hingga mambatu, tidak akan menyepelekan perilaku yang bisa melukai saya sendiri. Singkatnya jadilah aku seorang “stoic”.
Sekarang ini saya sudah berumur 76 tahun, istri saya meninggal tg 1 Mei 2012, didampingi istri tercita selama lebih dari 30 tahun, sekarang hampir tiga tahun menduda, dia meninggal karena badannya digerogoti kanker payudara, meskipun sudah berhasil dioperasi, tiga tahun sebelumnya.
Dengan menulis memoir ini bayangan si embak kembali masih jelas dibenak saya, sorang gadis 24 tahun, dua tahun lebih tua dari saya, dsb, dsb dan darah saya berdesir, kayaknya kok jantungan, ngeri saya. Perasaan saya berangsur normal membaca Al Fatikhah dengan menekankan ke artinya, berkali kali, yang terfokus bahwa saya sudah berusaha memulai segalanya dengan Bismilahirrokhmanirrokhim, maka sekarang saya bisa baca Alhamdulillahhirobbilamanin. Terpujilah Allah yang menguasai segala Alam. Arrakhman nirrokhim - Maha rakhman dan Maha rakhim terhadap saya, Malikiaumiddin - DIA yang menguasai segala hari Perubahan. Iyakanak buduwaiyakanakstan’in- ENKAU-lah yang ku sembah dan ENGKAU-lah yah yang kumintai pertolongan Ikhdinasirotolmustakim- tuntunlah saya kejalan yang benar………….
Sistem yang rumit ini tidak seberapa menghambat bila dibandingkan watak dan tuntutan Dosen Dosen muda usia rata rata 30 hingga 40 tahun, yang mengira dialah orang yang terakhir menguji seorang calon sarjana, yang bodoh jangan sampai lolos. Bahwa kebodohan itu relatip bagi seorang guru sejati, diabaikan oleh gang Dosen ini, dengan mengobral pertanyaan yang jawabnya hanya dia sendiri yang tahu. Itulah bullying mental yang sebenarnya.
Kebanyakan Dosen Dosen ditingkat propadeus Komplex Ngasem ternyata anggauta keluarga besar Pak Sodo Hadisiwojo, yang mendidik keras putra putranya, nyaris dengan otoritas seorang Despot. Saya mendapat informasi ini dari bapak Bawono Kepala PT Pertani unit Kediri tahun delapan puluhan, yang tidak lain adalah putra Pak Sodo sendiri. Ada pola yang sama dalam nama beliau beliau profesor professor ini: Ir.Suryo, dr. Suwasono, Ir. Gembong, Drs. Pharmasi Sardjono, Ir. Mugiono kemudian teman saya pak Bawono yang bukan profesor.
Ditinjau menurut kepercayaan Hindu, beliau beliau para Dosen saya ini harus menitis/reinkarnasi kembali jadi murid murid di Indonesia zaman sekarang, yang harus menghafal pertanyaan soal dan kunci jawabannya, ribuan soal habis habisan, bila mau kayak kami dulu ingin berhasil lulus ujian dengan memuaskan, atau beli bocoran, semoga. Mengingat itu, kulit saya bergidik meremang ngeri.
Sikap yang seperti kuda penarik sado yang memakai penutup mata pandangan samping, tidak melihat kebutuhan Negara yang masih muda ini, tidak melihat fungsi mata pelajarannya untuk kekhususan ilmu yang akan dipelajari di masing masing fakultas. Misalnya kuliah Zoolody dari dr. Suwasono: Masak, kuliah dari tahun 1950 hingga 1958 saban tahun topiknya berbeda, ( saya tahu dari diktatnya yang ditebitkan HMI) dan dalam ujian ditanyakan semua yang dibicarakan di kuliah kuliah itu ? Apa kita kita ini akan jadi Zoologist, yang mengklasifikasi telur, mulai telur cacing hingga telur ajam, membedakan ontology sisik ikan hiu dengan sisik ikan bandeng, tidak ada text book Zoology di dunia ini yang selengkap kuiah dr Suwasono selama depalan tahun, dan semua material kuliah kuliah ini akan bisa diujikan, tergantung dari mood beliau. Begitu juga kuliah dari angauta gang Dosen yang lain, tidak membatasi luasnya ilmu ilmu dasar yang gunanya untuk mendasari pengetahuan pengetahuan khusus setiap fakultas untuk diperdalam salah satu aspeknya guna bekerja menolong orang sakit, menandai tumbuhan obat, mengexploitasi tumbuhan atau hewan ternak, ya masih ada banyak Guru Guru lain sesudahnya. Akibatnya si cerdik yang mendapat soal andalan yang pasti keluar di kertas ujian, akan lulus dengan gampang akibat pergaulannya yang luas, tentu dengan segala cara.
Dengan demikian lulusan per tahun Universitas Gajah Mada sangat sedikit dan memalukan namun tiada satu dosenpun yang merasa malu. Tidak heran banyak diantara lulusan angkatan saya dan dibawah saya adalah sudrun sudrun pencari kesempatan dan koruptor.
Ternyata banyak teman terutama yang hubungannya luas, lulus karena perhatian para senior memberikan kumpulan soal yang mesti ditanyakan, dan jawabannya sekalian, merupakan kemurahan dari organisasi untuk mereka yang terpilih. Saya anggauta organisasi HMI tapi hanya sampai jadi massa biasa, berguna untuk gerakan mencuci mesjid dan langgar, perpeloncoan, barisan gila gilaan di festival apa saja dsb, tidak akan terpilih menjadi anggauta istimewa yang mendapat soal soal ujian dan jawaban yang disukai dosen. Ternyata dalam organisasi saya Pimpinan Komisariat sudah dipilih entah oleh siapa, saya ngerti cuma ada formatur diantara kami seangkatan, dan dipilihlah Ketua komisariat untuk angkatan itu. Ternyata orang tua masing masing calon juga ikut kasak kusuk di pimpinan organisasi untuk keperluan regenerasi penerus pengkaderan puaknya, sukunya, supaya menonjol. Anehnya pimpinan HMI komisariat Ngasem meskipun sudah lama tiak disana tahun 1965 masih Beddu Amang teman seangkatan tapi tak pernah terlihat menyapu mesjid, yang kemudian jadi Kepala BULOG jaman akhir Jendral Suharto, konon sangat kaya, Itu yang paman saya adik ibu saya yang paling kecil, mahasiswa abadi di Fakultas Hukum, tidak pernah tahu karena diapun tidak pernah lulus. Mangkanya……
Baru sesudah saya meninggalkan Universitas Gajah Mada beberapa tahun sistim pengajaran yang kuno dan sangat liberal bagi Pengajarnya ini dirubah, sebagai reaksi atas kritik yang sangat pedas dari Presiden Sukarno sendiri, sistim ini dirubah seperti sekolah biasa, betanggung jawab pada Negara mengenai output dan tentu saja kualitas lulusannya akan tetapi menghindari text book thingking, dimana management waktu dijaga dari sisi Dosen dan sisi mahasiswa sehingga dapat ditentukan waktu kelulusannya. Kurikulum dan silabus disesuaikan dengan kebutuhan setiap fakultas masing masing. Artinya bekal pengetahuan ilmu Physica seorang Dokter Hewan tentu beda dengan bekal pengetahuan ilmu Physica seorang calon sarjana teknik sipil.
Kebetulan disatu pameran buku Rusia (yang diterjemahkan dalam Bahasa Inggris) saya mendapatkan buku tipis mengenai pengaruh batang bawah terhadap batang atas suatu sambungan tanaman.( dari tanaman grafting atau budding) dari Penelitian di Rusia oleh seorang Peneliti amatir I. V. Michurin, dan diceritakan kembali secara singkat. Kebetulan saya lagi mikir mikir sendiri bagaimana menangkarkan hewan supaya mendapatkan keturunan yang seragam, daya tahan tinggi dan produksi bagus, kan ndak bisa dibiakkan secara vegetetip, dan menata trilyunan gene (sekarang codon DNA) tidak mungkin ? Tiada satu keteranganpun di level kuliah saya yang propadeus dapat menerangkan. Ternyata juga di level yang lebih tinggi juga ndak ada misalnya di level baccalaureat bahkan level doctoral sekalipun.
Sedangkan di booklet kercil ini dijelaskan bahwa lingkungan (dalam hal ini batang bawah) bisa mempengaruhi secara tetap, sifat satu batang atas sambungan, dalam kasus Michurin ini, adalah daya tahan terhadap temperatur dingin pada apel daerah selatan yang beriklim lebih hangat, sehingga bisa ditanam di daerah utara dengan batang bawah apel daerah utara, ini yang membuat saya sangat terkesan. Jadi konsep pikiran mengenai modifikasi dan mutasi harus dipikir kembali, ada organisme yang mudah mengikuti kondisi untuk modifikasi ada organisme yang sulit menyesuaikan diri dengan kondisi yang membuat perubahan secara modifikasi. Kondisi untuk arah modifikasi harus ada, hanya organismenya harus plastis, mudah menyesuaikan diri. Organisme organisme asal yang kuno msalnya babi hutan (Sus vittatus) bukan plastisitas yang dimiliki, tapi sebaliknya konservatisme, jadi sifatanya selalu dominant, diberi makanan baik tetap tidak berlemak kayak babi (Sus scrofa domestica). Sedangkan mutasi sangat unpredictable/tidak bisa diandalkan, meskipun perubahan sifatnya baka, tidak pernah akan keluar dari rangka kondisi lingkungannya, umpama: mendadak ada apel dari selatan yang kuat ditanam di Utara, kayaknya kok hampir ndak ada. Jadi menurut leaflets tipis itu ya buatlah organism yang plastis dulu ( organisme hybrida), baru merubah lingkungannya, yang cocok dengan ekonomi pemeliharaan, mungkin secara bertahap, nah ketemu kau.
Dengan alasan ini saya langsung berkirim surat, tulisan tangan dalam bahasa Indonesia kepada Admission Committee Universitas Bangsa Bangsa di Moskwa yang baru dibuka. Perdana Menteri USSR, Nikita Chrusyov pernah bicarakan dalam pidatonya di Jakarta beberapa bulan yang lalu, keterangan yang saya dapat dari Kedutaan Rusia di Jakarta alamat Universitas ini ada di Donskoi Projes Moskwa. Dalam surat lamaran saya, setiap kata yang saya cantumkan saya pilih kata yang tepat dan paling berbobot, akhirnya saya sebut bahwa mereka yang beruntung diterima belajar disana supaya ada yang mempelajari aspek genetika dari pekerjaan menyambung tanaman ini agar saya bisa ikut belajar kepada siapa yang beruntung ini, neskipun surat lamaran yang saya buat memang berusaha untuk menyodok kearah menerima lamaran saya, tapi saya susun dengan kata kata yang tidak minta diksihani, malah gagah.
Saya tahu persis bahwa kemungkinan mereka yang berorganisasi (meskipun hanya Organisasi Persahabatan Indonesia-Rusia), atau mereka yang punya hubungan dengan tokoh dan partainya, menurut pengalaman terdahulu jauh lebih besar untuk mendapat fasilitas kesempatan dibanding sebutir debu propadeus kayak saya ini.
Saya sudah lupa mengenai surat itu, e e beberapa bulan kemudian saya mendapat surat aneh beramplop dari kertas sangat bagus, dari Kedutaan Besar Uni Sovyet Jl Imam Bonjol di Jakarta. Setelah saya buka, ada kertas surat hanya selembar berlogo bulat dipojok atas berwarna merah dari lambang Negara Uni Sovyet, menyatakan dalam bahasa Inggris bahwa saya diterima mengikuti ujian masuk Universitas Persahabatan Bangsa Bangsa yang diadakan di Moskwa. Dianjurkan membawa surat ini ke Kedutaan Besar Uni Sovyet di Jakarta untuk mendapat saran lebih lanjut. Mulai saat itu saya percaya bahwa kekuatan kata kata yang dengan teliti dipilih dalam surat apapun sangatlah penting, pengetahuan ini saya praktikkan berkali kali dan berhasil, ini rahasia saya.
Surat itu tidak saya tunjukkan kepada siapa siapa, say baca berkali kali, aneh kok akan di uji untuk masuk Universitas ini di Moskwa, kan mesti lulus ? Kalau ndak ngapain jauh jauh ke Moskwa ?
Keesokan harinya saya cari tiket kereta api ke Jakarta, menginap di rumah kakak saya terus paginya saya pergi ke Kedutaan Rusia, dari sana saya dianjurkan menemui calon mahasiswa sejenis saya di Gedung Pemuda, ketemu teman saya GA Dupe dan Sulistyadewi rumahnya di Pisangan Jatinegara, kebetulan dekat dengan rumah kakak saya di Cipinang Kebembem. Saya segera harus membuat paspor di Surabaya, mengurus vaksinasi untuk perjalanan ke Uni Sovyet via India. Maka tutuplah episode gelap saya jadi mahasiswa Gajah Mada di Jogja yang konyol.
Jadi sebutir debu yang tidak pernah diketahui oleh Dosen Dosen saya, oleh Pembuat peraturan peraturan pengajaran Perguruan Tinggi yang outputnya paling kecil di Indonesia kala itu, meskipun tidak ada yang merasa salah kecuali kami sendiri. Waktu itu yang menjabat sebagai Rektor adalah Prof dr Sardjito yang sudah sepuh, tidak pernah terpikir dibenaknya bagaimana mempercepat mencetakan sarjana di Indonesia kecuali dengan sistim Continental yang sangat kuno dan liberal dengan kebebasan mimbar para Lector untuk memberikan bahan kuliah dan menentukan tidak atau lulus mahasiswanya. Tidak jelas curriculum dan silabi setiap perkuliahan yang diberikan menurut jadwal waktu, menjadikan para Dosen menjelma jadi Anarchist dan Terrorist terhadap mahasiswanya, paling tidak menjadi Despot yang tanpa cacat dihadapan mahsiswanya.
. Pelajaran yang saya dapat dari sistim sekolah di Indonesia hingga sekarang berlaku adalah menjawab soal ujian lancar/cepat dan benar, alias mengafal sebanyak mungkin jawaban soal.
Bukan contoh yang baik bagi cucu cucu saya, agar lancar studynya. Sebaliknya saya tidak pernah berlatih menghafal jawaban soal, itu menjadi sebab utama kegagalan saya bersekolah dari SMA hingga Perguruan Tinggi di Indonesia.
Segera persyaratan lengkap, dan kami mendapat ticket PANAM dari Air India untuk flight tg 25 Desenber 1959 dengan pesawat Super Constellation bermesin empat mesin piston baling baling ke Bombay ( sekarang Mumbay), diinapkan di Hotel Victoria yang sangat kuno ditepi pantai Kota Mumbay. sambungannya nanti terserah pada Air India. Ternyata rombongan kecil kami dibawa muter ke Madras kemudian ke New Delhi, baru dengan TU 104 versi pesawat penumpang kami terbang ke Moskwa via Tashkent. Bulan Desember tanggal 27 th 1959. Bersama robongan, Ny. Rahadi Ramelan (mantan Kepala BULOG yang “terkenal” itu ) namun nama mahasiswinya tidak akan saya sebutkan.
Maka mulailah babak baru terbangnya debu gunung Kelud tertiup angin antar benua selama hampir lima tahun berada jauh dari tanah air, baik secara fisik maupun secara mental. Saya tetap seorang stoic, dan sudah sembuh total dari srempetan racun sang Nagagini *)