BALADA WARGA INDONESIA YANG MENDERITA GANGGUAN JIWA
Saya akan menceritakan balada orang gila ini dengan cara perfikir orang awam pada umumnya, yang tentu saja banyak salah pengertian dan salah perlakuan sehingga lebih banyak membuat kemudharatan dari kebaikan terhadap si penderita dan keluarganya. Tentu saja dengan harapan bahwa ada upaya yang positip dan tidak berbelit belit dari masyarakat yang dimotori oleh institusi tempat rakyat awam mengharapkan perlakuan yang benar dari Pemerintah sebagai esensi Kekuatan masyarakat.
Masyarakat menganggap orang yang menderita gangguan ini jiwa lebih ke jengkel, jijik, menghindar, sampai ke mengusiran dari lingkungan, pengucilan dan memasung. Sedang para sanak familinya lebih banyak mengucilkan dari menolong, ataupun tidak mengerti bagaimana menolongnya. Paling paling hanya memberi sedekah sekedarnya dan mengusirnya secara halus maupun kasar layaknya seorang pengemis. Kami orang awam tahu bahwa gangguan jiwa itu “gila” dan memberi aib keluarga.
Kami masyarakat juga mulai tahu bahwa kegilaan itu bila dirunut lebih mendalam sangat dipicu oleh ketimpangan masyarakat. Jadi makin timpang masyarakat, kasus gangguan jiwa makin meningkat. Dari itu masyarakat selalu menhubungkan penyakit ini dengan ajaran agama, mengenai gradasi rezeki dan nasib manusia yang sangat timpang, maka yang dianggap pakar dalam agama sekaligus pasti mampu mengobati gangguan ini, artinya bisa menjadikan si pendertia tenang jiwanya. Apa kenyataannya demikian ? Ternyata tidak selalu. Konsekuensinya, esensi dari masyrakat yaitu Negara yang nyata dari Pemerintahannya harus waspada dan lebih sungguh gungguh menangani gangguan ini, bila semakin merasa masyarakatnya masih timpang. Karena dalam periode dimana diperlukan pengerahan “fund and force” untuk membangun Negara, 1 – 2 % dari jumlah penduduk, usia productive menderita gangguan jiwa bisa mwncapai 8% pada umur productive akan menjadikan spiral menurun dari kekuatan ekonomi masyarakat karena penanganan yang salah, maka Negara nampak sangat primitip, dana dan tenaga sanak family bila ada, yang dfiharapkan Negara, terbuang tidak produktip. Penanganan oleh Negara memang sudah dipateri oleh UUD tahun 1945, hanya pelaksanaanya bisa menyimpang sejauh pangertian palaksananya yang memang masih rendah derajad kebudayaannya.
Gangguan jiwa bahasa halus dari kata “gila” khalayak umum lebih senang membedakan gangguan jiwa dengan “stress ringan” atau “stress berat” padahal keduanya juga masih termasuk gangguan jiwa. Anggapan umum stress masih lebih terhormat dari gila, bedanya hanya bila stress itu ada pemicunya, kebanyakan pemicu ini adalan kondisi kehidupan yang dirasa berat, tak tertanggungkan, sedangkan gila itu pemicunya dari dalam penderita itu sendiri, atau nyaris tanpa pemicu apa apa dari luar dirinya, sekali lagi ini pandangan umum, jadi umum menganggap stress biasa maupun berat masih bisa ditenangkan atau disembuhkan, pulih seperti semula. Sedang selain itu semua gangguan jiwa ya gila, dari jenis ini ada yang sangat sulit disembuhkan dengan obat pharmasi ada yang bisa ditenangkan dengan obat , durasi keadaan normal tidak ada yang bisa mengatakan bila tanpa obat dokter.
Meskipun kenyataannya disiplin ilmu mengenai gangguan jiwa ini termasuk cabang ilmu kedokteran yang paling ketinggalan, tapi setidaknya gangguan jiwa sudah dipilah pilah antara neurosis dan pschychosis, malah sekarang dipisahkan antara kafedra saraf dan kafedra ganggugan jiwa. Malah sudah ditandai dasar material di otak yang mengendalikan berbagai kegiatan otak, misalnya yang barusan mendapatkan hadiah Nobel adalah penemuan material di otak yang nenjadi dasar mengingat lokasi/tempat atau GPS (geo posisioning system) pada computer. Ilmu Kedokteran juga telah mengklasifikasi gangguan jiwa, akan tetapi umum atau masyarakat belum mendapat pengertian secara semestinya mengenai itu misalnya golongan paranoid, golonganan schisophrenic golongan maniac, golongan phobia dan lain lainya, yang tentu saja menggolongkan juga tingkat bahayanya terhadap masyarakat, karena penyakit gangguan jiwa dalah penyakit masyarakat dengan kata lain gangguan ini menyebabkan orang jadi besifat menyebal dari kaidah bermasyarakat secara umum dan hampir tidak bisa mengikuti kaidah umum hidup bermasyarakat. Sangat mengganggu kehidupan normal dan narmony masyarakat. Misalnya ”kleptomania” kecenderungan suka mencuri, alangkah fatalnya bila pencuri kambuhan ini dianggap kejahatan yang dihukum badan, bukan diobati seperti penyakit.
Lha apa yang bisa dsperbuat masyarakat unutk menangkal gangguan harmony pergaulan yang sudah sangat tegang oleh keadaan ekonomi yang timpang ini ? Yang selalu jadi kendala adalah hubungan antara Negara dengan masyarakat.
Negara menjadi nyata bagi masyarakat dengan adanya institusi pemerintahan baik yang administrative, pengawasan dan pengendalian demi kepentingan umum, maupun keamanan. Dari menteri ke Lurah/Kepala Desa, dan institusi teknis seperti rumah sakit, kelistrikan, jalan dan pemeliharaannya, polisi dan sebagainya yang dibeayai Negara Pemerintahan Pusat dan Daerah – yang sayangnya sudah enampuluh lima tahun merdeka ini masih sangat rentan terhadap panyalah-gunaan wewenang desemua tingkat dan korupsi berjama’ah alias penjarahan uang Negara oleh aparatnya sendiri disemua bidang.
Masyarakat mengikuti sistim yang diciptakan oleh Pelaksana Pemerintahan Negara, meskipun undang undang masih harus “di-ingat”. Peraturan Negara dan Daerah sampai ke Undang Undang Dasar bisa dibengkokkan ditafsirkan seenak perut Penguasa demi kepentingan pribadi dan golongan.
Sebagian kecil dari praktek itu kayak Rumah Sakit mewah di Jakarta yang menuntut pasiennya hungga mencederai perasaan umum, demi menanggok uang. Begitu pula menampungan orang sakit jiwa, banyak usaha untuk menanggok dana dari Pemerintah Daerah maupun donatur swasta untuk mencuci uangf curian, yang pasti keluarga dari si penderita gangguan jiwa yang diincar, yang lolos beroperasi bukan demi kepentingan penderita, tapi demi uang Sedangkan institusi Pemerintahan penyediakan pelayanan medic bagi penderita, bagi yang miskin malah gratis tapi dengan kehati hatian mereka yang luar biasa, aturan demi kemudahan oknum oknumnya, membuktikan kebersihannya dari dakwaan makan duit yang ini ( tapi yang lain mana kita tahu ?). Akibatnya sudah dapat ditebak administrasi yang rumit. Uang masyarakat yang digunakan untuk obat obatan, jasa professional dokter ahli (dengan tarif Rp 100.000 - Rp 150.000) sekali visite, makan dan perawatan inap. Ini diberikan gratis, meskipun dengan administrasi super ketat. bagi penderita gangguan jiwa yang miskin. ( Sedangkan nilai seluruhnya bila harus bayar bisa mencapai lebih dari Rp 60 000 – Rp 150,000 sehari belum termasuk obat obatan, penyembuhan gangguan jiwa makan waktu yang lama, baik miskin atau tidak
Upaya mendapatkan surat keterangan miskin.
Tantu saja yang berkepentingan tidak bakal bisa mendapatkan dengan upaya sendiri surat sakti ini. Yang pertama dibutuhkan surat pengantar dari Ketua RT- Rukun Tetengga, petugas administrasi Pemerintahan paling depan dari sector administrasi Kependudukan, sukarelawan dipilih warga, diantara mereka. Kemudian dikuatkan oleh- ketua RW hasil pemilihan bertingkat para ketua ketua RT, mereka ini dipilih para RT tanpa kualifikasi yang khusus. Harus cukup sopan terhadap mereka, meskipun level mereka mungkin hanya golongan satu atau dua di PNS, atau pegawai rendah di swasta, kecuali itu harus pagi pagi sekali sebelum mereka berangkat kerja, atau selesai megrib, kapan mereka tidak pergi. Terus ke kekelurahan,
Oleh pegawai kelurahan diterima di bagian registrasi, harus membawa Kartu Keluarga dmana nama penderita sudah ttercantum. Anehnya pengantar itu menyatakan bahwa saya si pembawa surat ini miskin, untuk mambeayai si penerita yang namanya si Anu. Surat ini sudah di verifikasi oleh RSJ Menur, bisa dipakai. saya tidak mengeti kemudian akan terbit kartu miskin entah atas nama siapa, atau penderita atau saya. bila atas nama saya akan menjadi problim nantinya bagi saya, sedang si Penderita gangguan jiwa tidak terigister bahwa dia memang miskin dan bila kambuh pasti membutuhkannya.
dari Kelurahan si penderita sudah tidak mampu mengurus sendiri karena penyakitnya, alias harus dikerjakan oleh sanak familinya atau orang yang peduli. Dari kelurahan ke Puskesmas terdekat bagaimana caranya untuk membawa si penderita terserah, dari Puskesmas diberi surat pengantar ke RSJ Menur oleh petugas. Dari Kelurahan dan dari Puskesmas pengantar tadi harus dibawa ke kantor BPJS dulu, untuk mendapat keterangan. Jarak kantor PBJS dengan Kelurahan dan Puskesmas di kota kami Surabaya ada 15 kilometer, sedang dari BPJS diberi keterangan bahwa surat miskin ini barlaku hanya satu bulan sesudah itu ada kartu miskin atas nama (penderita atau saya ? ), karena identitas penderita sudah deregister dalam komputernya yang tentu saja permanent kecuali si penderita mendadak dapat rejeki besar yang nomplok Alhamdulillah. Not so fast kenyataanya ndak begitu, petugas informasi BPJS menyilahkan saya untuk menanyakan ke RSJ Menur, apakah surat pengantar ini sudah cukup. Ternyata petugas verifikasi RSJ Menur, menyatakan bahwa suat pengantar dari Puskesmas bukan yang dimaksud oleh RSJ, tapi form yang lain, yaitu mengandung rujukan dan surat pengantar untuk warga yang dinyatakan miskin oleh Pak Luran harus dilegalisir, oh ini membingungkan, maksudnya difotocopy hingga 15 lembar dan fotocopynya ditanda tangan dan dicap oleh pak Lurah. Trus harus kembali juga ke Puskesmas untuk minta rujukan dengan form yang sudah ada. Ini satu sistim administrasi yang foolproof tapi yang menjadi korban adalah mereka yang di pingpong, karena waktu pemberi surat pengantar dari Puskesmas, si pemberi rujukan sudah tahu bahwa RSJ Menur pasti minta rujukan, Pak lurah ya sudah tahu bahwa surat pengantarnya untuk bukti bahwa si penerita miskin dan dibayar oleh Pemerintah Kotamadya, mungkin Pak Lurah tahu juga bahwa RSJ Menur membutuhkan tanda tangan legalisasi fotocopy surat miskin ini bahkan dibutuhkan ratusan lembar, sebab setiap langkah perlakuan terhadap pasien miskin yang makan ongkos harus ada surat keterangan miskin yang photodopynya dilegalisir, artinya fotocopy saja terlalu gampang dibuat untuk pembenaran pengeluaran fiktive. Sampe segitunya RS-Jiwa ini ya ?, tapi ya pantaslah, ini pengaruh lingkungan.
Persoalannya penderita sakit jiwa itu sudah miskin karena tidak ada yang mau peduli, masih harus putar keliling menuruti sistim administrasi sistim ban berjalan, dimana yang jalan itu rakyat yang membutuhkan dan jalan tidak dekat alias mengitari kota. Sistim ini populer dan berlaku disetiap kebutuhan administrative warga negara di Nagara ini. Waras atau gila. Disini yang paling waras adalah pejabat pemerntahan yang harusnya melayani public, tapi berhubung mereka cetakan Orde Baru sampai ke tulang sungsum, mereka ya sepeti itu, hobbynya membuat susah rakyat. Jelas sistim Presiden Joko Widodo tidak begitu, Itulah ironinya mereka diajak ber-revolusi mental artinya mental membantu rakyat. atau bekerja dengan nurani Bisakah ? Rupanya PNS pelayanan publik ini bekerja untuk mengikuti sistim, bodoh bagi pikiran sehat, tapi sangat efektip untuk menjadikan Presiden yang baru ini jadi bahan tertawaan *)
Saya akan menceritakan balada orang gila ini dengan cara perfikir orang awam pada umumnya, yang tentu saja banyak salah pengertian dan salah perlakuan sehingga lebih banyak membuat kemudharatan dari kebaikan terhadap si penderita dan keluarganya. Tentu saja dengan harapan bahwa ada upaya yang positip dan tidak berbelit belit dari masyarakat yang dimotori oleh institusi tempat rakyat awam mengharapkan perlakuan yang benar dari Pemerintah sebagai esensi Kekuatan masyarakat.
Masyarakat menganggap orang yang menderita gangguan ini jiwa lebih ke jengkel, jijik, menghindar, sampai ke mengusiran dari lingkungan, pengucilan dan memasung. Sedang para sanak familinya lebih banyak mengucilkan dari menolong, ataupun tidak mengerti bagaimana menolongnya. Paling paling hanya memberi sedekah sekedarnya dan mengusirnya secara halus maupun kasar layaknya seorang pengemis. Kami orang awam tahu bahwa gangguan jiwa itu “gila” dan memberi aib keluarga.
Kami masyarakat juga mulai tahu bahwa kegilaan itu bila dirunut lebih mendalam sangat dipicu oleh ketimpangan masyarakat. Jadi makin timpang masyarakat, kasus gangguan jiwa makin meningkat. Dari itu masyarakat selalu menhubungkan penyakit ini dengan ajaran agama, mengenai gradasi rezeki dan nasib manusia yang sangat timpang, maka yang dianggap pakar dalam agama sekaligus pasti mampu mengobati gangguan ini, artinya bisa menjadikan si pendertia tenang jiwanya. Apa kenyataannya demikian ? Ternyata tidak selalu. Konsekuensinya, esensi dari masyrakat yaitu Negara yang nyata dari Pemerintahannya harus waspada dan lebih sungguh gungguh menangani gangguan ini, bila semakin merasa masyarakatnya masih timpang. Karena dalam periode dimana diperlukan pengerahan “fund and force” untuk membangun Negara, 1 – 2 % dari jumlah penduduk, usia productive menderita gangguan jiwa bisa mwncapai 8% pada umur productive akan menjadikan spiral menurun dari kekuatan ekonomi masyarakat karena penanganan yang salah, maka Negara nampak sangat primitip, dana dan tenaga sanak family bila ada, yang dfiharapkan Negara, terbuang tidak produktip. Penanganan oleh Negara memang sudah dipateri oleh UUD tahun 1945, hanya pelaksanaanya bisa menyimpang sejauh pangertian palaksananya yang memang masih rendah derajad kebudayaannya.
Gangguan jiwa bahasa halus dari kata “gila” khalayak umum lebih senang membedakan gangguan jiwa dengan “stress ringan” atau “stress berat” padahal keduanya juga masih termasuk gangguan jiwa. Anggapan umum stress masih lebih terhormat dari gila, bedanya hanya bila stress itu ada pemicunya, kebanyakan pemicu ini adalan kondisi kehidupan yang dirasa berat, tak tertanggungkan, sedangkan gila itu pemicunya dari dalam penderita itu sendiri, atau nyaris tanpa pemicu apa apa dari luar dirinya, sekali lagi ini pandangan umum, jadi umum menganggap stress biasa maupun berat masih bisa ditenangkan atau disembuhkan, pulih seperti semula. Sedang selain itu semua gangguan jiwa ya gila, dari jenis ini ada yang sangat sulit disembuhkan dengan obat pharmasi ada yang bisa ditenangkan dengan obat , durasi keadaan normal tidak ada yang bisa mengatakan bila tanpa obat dokter.
Meskipun kenyataannya disiplin ilmu mengenai gangguan jiwa ini termasuk cabang ilmu kedokteran yang paling ketinggalan, tapi setidaknya gangguan jiwa sudah dipilah pilah antara neurosis dan pschychosis, malah sekarang dipisahkan antara kafedra saraf dan kafedra ganggugan jiwa. Malah sudah ditandai dasar material di otak yang mengendalikan berbagai kegiatan otak, misalnya yang barusan mendapatkan hadiah Nobel adalah penemuan material di otak yang nenjadi dasar mengingat lokasi/tempat atau GPS (geo posisioning system) pada computer. Ilmu Kedokteran juga telah mengklasifikasi gangguan jiwa, akan tetapi umum atau masyarakat belum mendapat pengertian secara semestinya mengenai itu misalnya golongan paranoid, golonganan schisophrenic golongan maniac, golongan phobia dan lain lainya, yang tentu saja menggolongkan juga tingkat bahayanya terhadap masyarakat, karena penyakit gangguan jiwa dalah penyakit masyarakat dengan kata lain gangguan ini menyebabkan orang jadi besifat menyebal dari kaidah bermasyarakat secara umum dan hampir tidak bisa mengikuti kaidah umum hidup bermasyarakat. Sangat mengganggu kehidupan normal dan narmony masyarakat. Misalnya ”kleptomania” kecenderungan suka mencuri, alangkah fatalnya bila pencuri kambuhan ini dianggap kejahatan yang dihukum badan, bukan diobati seperti penyakit.
Lha apa yang bisa dsperbuat masyarakat unutk menangkal gangguan harmony pergaulan yang sudah sangat tegang oleh keadaan ekonomi yang timpang ini ? Yang selalu jadi kendala adalah hubungan antara Negara dengan masyarakat.
Negara menjadi nyata bagi masyarakat dengan adanya institusi pemerintahan baik yang administrative, pengawasan dan pengendalian demi kepentingan umum, maupun keamanan. Dari menteri ke Lurah/Kepala Desa, dan institusi teknis seperti rumah sakit, kelistrikan, jalan dan pemeliharaannya, polisi dan sebagainya yang dibeayai Negara Pemerintahan Pusat dan Daerah – yang sayangnya sudah enampuluh lima tahun merdeka ini masih sangat rentan terhadap panyalah-gunaan wewenang desemua tingkat dan korupsi berjama’ah alias penjarahan uang Negara oleh aparatnya sendiri disemua bidang.
Masyarakat mengikuti sistim yang diciptakan oleh Pelaksana Pemerintahan Negara, meskipun undang undang masih harus “di-ingat”. Peraturan Negara dan Daerah sampai ke Undang Undang Dasar bisa dibengkokkan ditafsirkan seenak perut Penguasa demi kepentingan pribadi dan golongan.
Sebagian kecil dari praktek itu kayak Rumah Sakit mewah di Jakarta yang menuntut pasiennya hungga mencederai perasaan umum, demi menanggok uang. Begitu pula menampungan orang sakit jiwa, banyak usaha untuk menanggok dana dari Pemerintah Daerah maupun donatur swasta untuk mencuci uangf curian, yang pasti keluarga dari si penderita gangguan jiwa yang diincar, yang lolos beroperasi bukan demi kepentingan penderita, tapi demi uang Sedangkan institusi Pemerintahan penyediakan pelayanan medic bagi penderita, bagi yang miskin malah gratis tapi dengan kehati hatian mereka yang luar biasa, aturan demi kemudahan oknum oknumnya, membuktikan kebersihannya dari dakwaan makan duit yang ini ( tapi yang lain mana kita tahu ?). Akibatnya sudah dapat ditebak administrasi yang rumit. Uang masyarakat yang digunakan untuk obat obatan, jasa professional dokter ahli (dengan tarif Rp 100.000 - Rp 150.000) sekali visite, makan dan perawatan inap. Ini diberikan gratis, meskipun dengan administrasi super ketat. bagi penderita gangguan jiwa yang miskin. ( Sedangkan nilai seluruhnya bila harus bayar bisa mencapai lebih dari Rp 60 000 – Rp 150,000 sehari belum termasuk obat obatan, penyembuhan gangguan jiwa makan waktu yang lama, baik miskin atau tidak
Upaya mendapatkan surat keterangan miskin.
Tantu saja yang berkepentingan tidak bakal bisa mendapatkan dengan upaya sendiri surat sakti ini. Yang pertama dibutuhkan surat pengantar dari Ketua RT- Rukun Tetengga, petugas administrasi Pemerintahan paling depan dari sector administrasi Kependudukan, sukarelawan dipilih warga, diantara mereka. Kemudian dikuatkan oleh- ketua RW hasil pemilihan bertingkat para ketua ketua RT, mereka ini dipilih para RT tanpa kualifikasi yang khusus. Harus cukup sopan terhadap mereka, meskipun level mereka mungkin hanya golongan satu atau dua di PNS, atau pegawai rendah di swasta, kecuali itu harus pagi pagi sekali sebelum mereka berangkat kerja, atau selesai megrib, kapan mereka tidak pergi. Terus ke kekelurahan,
Oleh pegawai kelurahan diterima di bagian registrasi, harus membawa Kartu Keluarga dmana nama penderita sudah ttercantum. Anehnya pengantar itu menyatakan bahwa saya si pembawa surat ini miskin, untuk mambeayai si penerita yang namanya si Anu. Surat ini sudah di verifikasi oleh RSJ Menur, bisa dipakai. saya tidak mengeti kemudian akan terbit kartu miskin entah atas nama siapa, atau penderita atau saya. bila atas nama saya akan menjadi problim nantinya bagi saya, sedang si Penderita gangguan jiwa tidak terigister bahwa dia memang miskin dan bila kambuh pasti membutuhkannya.
dari Kelurahan si penderita sudah tidak mampu mengurus sendiri karena penyakitnya, alias harus dikerjakan oleh sanak familinya atau orang yang peduli. Dari kelurahan ke Puskesmas terdekat bagaimana caranya untuk membawa si penderita terserah, dari Puskesmas diberi surat pengantar ke RSJ Menur oleh petugas. Dari Kelurahan dan dari Puskesmas pengantar tadi harus dibawa ke kantor BPJS dulu, untuk mendapat keterangan. Jarak kantor PBJS dengan Kelurahan dan Puskesmas di kota kami Surabaya ada 15 kilometer, sedang dari BPJS diberi keterangan bahwa surat miskin ini barlaku hanya satu bulan sesudah itu ada kartu miskin atas nama (penderita atau saya ? ), karena identitas penderita sudah deregister dalam komputernya yang tentu saja permanent kecuali si penderita mendadak dapat rejeki besar yang nomplok Alhamdulillah. Not so fast kenyataanya ndak begitu, petugas informasi BPJS menyilahkan saya untuk menanyakan ke RSJ Menur, apakah surat pengantar ini sudah cukup. Ternyata petugas verifikasi RSJ Menur, menyatakan bahwa suat pengantar dari Puskesmas bukan yang dimaksud oleh RSJ, tapi form yang lain, yaitu mengandung rujukan dan surat pengantar untuk warga yang dinyatakan miskin oleh Pak Luran harus dilegalisir, oh ini membingungkan, maksudnya difotocopy hingga 15 lembar dan fotocopynya ditanda tangan dan dicap oleh pak Lurah. Trus harus kembali juga ke Puskesmas untuk minta rujukan dengan form yang sudah ada. Ini satu sistim administrasi yang foolproof tapi yang menjadi korban adalah mereka yang di pingpong, karena waktu pemberi surat pengantar dari Puskesmas, si pemberi rujukan sudah tahu bahwa RSJ Menur pasti minta rujukan, Pak lurah ya sudah tahu bahwa surat pengantarnya untuk bukti bahwa si penerita miskin dan dibayar oleh Pemerintah Kotamadya, mungkin Pak Lurah tahu juga bahwa RSJ Menur membutuhkan tanda tangan legalisasi fotocopy surat miskin ini bahkan dibutuhkan ratusan lembar, sebab setiap langkah perlakuan terhadap pasien miskin yang makan ongkos harus ada surat keterangan miskin yang photodopynya dilegalisir, artinya fotocopy saja terlalu gampang dibuat untuk pembenaran pengeluaran fiktive. Sampe segitunya RS-Jiwa ini ya ?, tapi ya pantaslah, ini pengaruh lingkungan.
Persoalannya penderita sakit jiwa itu sudah miskin karena tidak ada yang mau peduli, masih harus putar keliling menuruti sistim administrasi sistim ban berjalan, dimana yang jalan itu rakyat yang membutuhkan dan jalan tidak dekat alias mengitari kota. Sistim ini populer dan berlaku disetiap kebutuhan administrative warga negara di Nagara ini. Waras atau gila. Disini yang paling waras adalah pejabat pemerntahan yang harusnya melayani public, tapi berhubung mereka cetakan Orde Baru sampai ke tulang sungsum, mereka ya sepeti itu, hobbynya membuat susah rakyat. Jelas sistim Presiden Joko Widodo tidak begitu, Itulah ironinya mereka diajak ber-revolusi mental artinya mental membantu rakyat. atau bekerja dengan nurani Bisakah ? Rupanya PNS pelayanan publik ini bekerja untuk mengikuti sistim, bodoh bagi pikiran sehat, tapi sangat efektip untuk menjadikan Presiden yang baru ini jadi bahan tertawaan *)