BERSIAPLAH MENGHADAPI FAJAR JAMAN TARANG BENDERANG.
Pengembaraan saya dibidang sejarah Bangsa Indonesia dan sejarah kehidupan bangsa bangsa lain, ternyata sejarah manusia dari zaman ke zaman, 98% saya dapat dati tulisan para “Sastrawan” yang 2% dari pembuat catatan apa adanya jaitu “Journalist”. Lha saya sendiri berpikir bebas malah tidak dihitung dalam Public Journalis, karena ndak punya Boss.
Gitu dikalangan Dinas Purbakala para Pegawainya mengenalkan pada anggauta publik mereka adalah otoritas dalam kesejarahan, padahal nyatanya semua mereka ya bersumber pada tafsir “hujah” orang orang sastrawan jaman dulu yang terang terangangan mengabdi pada Raja.
Makin lama telah lewat waktu satu zaman, makin langka sumber dari para journalist dan makin banyak sumber dari para sastrawan. Bahkan dengan sangat kecewa saya membaca Negarakrtagama yang disalin dalam bahasa Indonesia oleh sejarawan Prof Slamet Muljono, disitu juga diungkapkan perbantahan para Sejarawan local maupun asing banyak keterangan yang bertentangan mengenai tafsir permainan kata dari bentuk tulisan puisi “kekawin” dengan bahasa Jawa kuno yang indah namun sulit dimengerti, dan jelas tidak berazas Jurnalisme dengan lima W-nya. ( Who,What, When, Where, Why)
Jadi semakin ruwet, sebab kala itu Empu Prapanca lagi kena marah dari Rajanya, malah pangkatnya dilorot. Jadi sang Prapanca berusaha agar paduka Raja ingat dia bila membaca kakawin karangannya. Negarakertagama. ( mesitnya ya memuji muji setinggi langit sang raja dan leluhurnya, misalnya Ken Endog yang istimewa perempuan desa yang didemeni Bhatara Brahma, berputra Ken Arok. Pendiri wangsa Girindra, wangsa dari sang Prabhunatha Majapahit.
Pembuat catatan yang paling tua yang sering saya temukan di sitir di tulisan sastrawan sejararawan ini adalah Thome Pires seorang pengelana rahib Katholik dari Portugal, ada lagi tukang bikin jurnal dari China. Saya sudah pesimis untuk bisa menengok masa lalu misalnya zaman Kerajaan Majapahit, seperti apa adanya.
Karena saya mengalami semdiri, kejadian tahun 1945 bulan Nopember tanggal 10, perlawanan Rakyat Kampung Kampung seluruh Surabaya menentang, tidak menggubris ultimatum Tentara Sekutu, yang Jendralnya mati dalam clash senjata antara massa rakyat Surabaya dengan pengawal Jendral Sekutu yang sombong. Selanjutnya mereka itu bukan melakukan perlawanan ngawur, tapi secara frontal melawan ketiga angkatan Perang sekutu angkatan Darat, angkatan Laut dan angkatan Udara, di bukit bukit barat Surabaya ratusan pillbox merupakan garis petahanan mulai dari rawa dan tambak di Benowo keselatan perbukitan Tambakboyo, hingga Wringinanom tepi sungai Brantas, dengan pillbox/sarang senapan mesin ratusan buatan Jepang, karena Jepang tahu betul sipapun kavaleri tidak berani ke Mojokerto lewat jalan besar Krian tanpa membersihkan wilayah utara jalan dan selatan jalan supaya supply bahan bakar Kavaleri dan konvoi truck personnel Tentara Sukutu, tidak dipotong ditengah jalan. Sedang yang datang ke Pelabuhan Surabaya bukan pasukan infanteri yang besar jumlahnya tapi pasukan komando dengan tentara sewaan tradisional kaum Gurkha dan sdikit NICA. ( di blog garudamiliter.blogtspots.com. di post "palagan" Surabaya 10 November 1945)- ini menunjukkan tidak semua militer antek Suharto/orde baru.
Front orang kampong dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) lasykar rakyat campur aduk, sepanjang sepuluh kilometer ini mampu bertahan selama tiga bulan baru tembus, karena harus mundur dilambung sejauh dari Lamongan di utara ke selatan lewat Mantub ke Gempol Kerep dan Watudakon dari belakang arah barat Jetis, sisi belakang garis pertahanan gabungan Laskar Rakyat Tentara Pelajar, Polisi Istimewa, angkatah Laut dan angkatan Udara Indonesia sedang TNI masih belum solid di level bawah. Ada dua pesawat Spitfire ditembak jatuh oleh Pak Gumbreg, dengan meriam ARSU – Boffors berlaras ganda, baliau gugur hancur brsama boffors nya dengan pesawat pemburu Spitfire lawannya, beradu kepala, masih untung beiau makamnya dipindah di makam Pahlawan Ngagel. Ternyata secara Nasional sekarang perlawanan rakyat itu bukan kejadian apa apa atas tafsiran Sejarawan anteknya Jendral Suharto, Prof Dr Nugroho Notosusanto, dihadapan orang yang masih dengan sadar mengalaminya sendiri. Dinas Purbakalanya dan Sejarah ya masih itu, apalagi yang Purbakala, yang sekarang saja mereka berkutat di kakawin dan sastra yang bukan journal sejarah. Sedangkan bukan rahasia lagi mereka juga meloloskan artefak sejarah diperdagangkan oleh HJH. Maknya sangat tertutup.
Untungnya zaman ini sudah ada google ada blogger, ada twitter, yang isinya, informasi, dan reaksi masyarakat luas. Saya merasa ini adalah fajar zaman terang benderang, dibidang apapun kegiatan manusia. Jadi setidaknya informasi pengenai pengetahuan manusia yang sifatnya bukan teknis pelaksanaan atau teknologi murni, bersifat populer selalau bisa didapat dari sumber sumber ini, dan sumber siaran TV semacam National Geography, semacam History, semacam Discovery Channel siaran yang harus dlihat dengan cerdas. Jadi seorang menteripun bisa belajar dari sini, bisa mepertajam visionary visionary yang bisa mengilhami rakyat demi kebaikan, yang tidak dipunya semua orang.
Umpama orang awam sudah bisa mengerti fungsi setiap jaringan dalam tubuhnya, sudah bisa mengerti satuan hidup paling dasar yaitu sel sel pembentuk jaringan, dari internet. Sel adalah batu batanya kehidupan, dan benar benar mempunyai potensi untuk menjadi fotocopy dari organisme tempat dia bergabung swebagai “clone”. Jadi gampangnya saya Subagyo, semua sel sel saya dari jaringan manapun di tubuh saya berpotensi menjadi wujud saya (entah pikirannya). Tapi bahkan sel sel GPS di otaknya ya bisa sama ( GPS – Geo Positioning Sistem- adalah informasi letak suatu tampat bisa di-instal di Hand Phone dan ada di otak ya – sama, ada susunan materi code nya). Jadi mestinya clone clone saya yang asalya dari set sel saya ya sudah punya system GPS dari saya, salain itu, sistim memori apa lagi yang clone saya - dapat dari saya ??
Jadinya saya sangat terkesan pada pesan agamawi yang manyatakan semua orang itu besaudara. Itu bukan gesture kemanusiaan tapi analogi dengan sel sel saya yang triliunan, semua potensial bisa menjadi bleger saya memang asalnya ya saya, jadi mereka sel sel saya ini, memang besaudara dekat sekali. Tapi apakan mereka ( clone clone saya itu sadar bahwa mreka itu sama sama Subagyo) Bahkan nama saya saja siapa yang kasih tau, gimana caranya wong sel sel ini belum jadi saya ?
Kenyataannya, bagaimana bisa, umat satu agama saja bisa saling membunuh saling menghalalkan darahnya untuk ditumpahkan, hanya karena kurang informasi saja, semua masih “katanya” si Fulan. Kok kayaknya sangat primitip kayak sebelum ada PC, belum ada Mbah Google, belum ada twitter, belum ada blog dengan pemikiran bebas, jadi orang masih bisa mencari sendiri, jadi bukan model berpikir cara conformis apa kata Ustadz apa kata Guru apa kata Pimpinan
Lagipula penyimpangan dari aliran pokok ini ya dipikir oleh bukan kalangan bangsa kita tapi kalangan bangsa lain, yang telah berpikir menukangi agama agama sebelumnya, untuk kepentingannya diwilayahnya sendiri, kok ya ndak mikir, mereka itu kepentingannya apa ?Kok seriusnya hanya berjoged saja, kayak robot, wong belum jadi robot. *)
0 comments:
Posting Komentar