5:46 PM
IDE SUBAGYO
EFISIENSI KAPITALISTIK CONTRA KEDODORAN KEMISKINAN DAN-URBANISASI
Persis seperti busana chic dari peragawati yang minim bahan, dan baju orang
miskin yang dikenakan seadanya.
Ternyata fenomena ini terjadi di kota kota besar seluruh Dunia, terutama di kota
metropolitan yang baru tumbuh setelah perang.
Di Jakarta Raya, ini bukan gejala biasa tapi sekarang sudah jadi penyakit
jiwa bagi korbannya, tidak pandang kaya atau miskin, karena sudah terlalu lama, lebih dari empat generasi.
Kota metropolian tercekik hampir
tidak bisa bernafas, paru pau kota hilang jadi permukiman, sungai pematus jadi pemukiman kumuh, banjir diderita oleh seluruh penduduknya. Para
perencana kota sungsang sumbel, merencanakan transportasi murah, me redesign
pematusan dan saluran air bersih dengan pompa pompanya, seluruh sanitasi kota
berantakan, dan lain tetek bengek tak terjangkau oleh anggaran. Sudah
dari generasi demi genesasi
penjabat Gupernur Walikota dan DPRD, bahkan
banyak Presidennya rasanya begitu. Badan apapun untuk melayani Kota metropolitan
semacam ini bisa kaya raya dengan situasi kota semacam ini badannya jadi gemuk
gemuk, mukanya bulat penuh hormone, dari RT/RW Lurah Camat Walikota Gupernur, Presiden sudah biasa dengan keadaan ini. Setpol PP, Polisi disana ya penuh dan
menyesuaikan diri, bersantai dengan kelurga waktu diluar dinas, diantara hiruk
pikuk metropolitan dan kekumuhan.
Bagaimanapun dari kesemrawutan
kota ini bisa bembuat penduduknya bahagia dengan caranya sendiri sendiri, semua kaum menengah memutar roda kota
metropolitan ini pada tugas masing masing, termasuk menerima uang(suap) extra
dari masyarkat yang membutuhkan jasanya, dari Raja minyak klas internasional Muhamad
Reza Khalid, sampai “raja” gunung sampah di Bantar Gebang. Dengan caranya sendiri-menyimpang,
bagaimanapun. Nyatanya dirasa begitu, karena sayapun tidak bermaksud sarkastik.
Apapun yang didadapat selama pululan tahun bermukim di Ibu Kota, Metropolitan,
adalah suatu yang sangat berharga, sebab sudah dengan susah payah dan upaya
yang unik, perlu dibela belain dengan nyawa, kalok perlu. Lha begitu tentu
kelekatan penduduknya dengan harta bendanya dari Ferari punya Ibas, sampai
segulung kasur busa bekas punya pemulung, adalah harta yang tak ternilai.
Lha kok digusur karena untuk pelebaran
bantaran sungai, untuk sudetan sungai, untuk ruang terbuka hijau ibu Kota
Indonesia. Masksudnya tentu saja baik, didukung oleh kaum terpelajar yang mengerti
hidup sehat. Tapi 80 % penduduk Metropolitan ini orang kecil yang menjadi besar
di Metropolitan, lebih dari satu dua generasi.
Saudara saya sendiri, mereka berdua sudah almarhum, dimakam di
Makam Islam di Kebun Nanas. Pegawai Swasta derajad penyelia, tidak pernah
korupsi karena pelajaran dari kakek moyang yang priyayi menengah Jawa Tengah, keturunan para Wali. Kerabatnya ada Jendral
dan ada Laksamana, untuk orang Jawa, apa pengaruhnya ? . Berumah di Cipinang Muara. Dekat dengan sungai asli Cipinang,
Sesudah beranak enam, saudara saya ini, yang jelek jelek adalah Pejuang
Kemerdekaan bergerilya pada clash 1 dan clash II di daerah Purwodadi dan daerah
Solo, tidak mengurus soal penghargaan Pemerintah, tapi memang sekolahnya dari SMA
sampai B1 Kimia dibeayai oleh Pemerintah RI berupa KUDP, Rp 225,-/bulan, th 1950
-1957. Ya kuatnya beli sebidang tanah kampung di Cipinang Muara, gangnya sempit
becek dan naik turun, masuk agak jauh, itu dulu th 1956. Ibu saya pada waktu
itu bertandang kesana dari Surabaya, sampai menangis karena tetangga disebelah masih
kampong asli Betawi, kebun disekitar rumah tua ndak beraturan, dan kuburan satu dua dikanan kiri rumah tersebar
dimana mana. Padahal di Surabaya Gemeente sudah dari dulu tidak mengijinkan ada kuburan di kebun
atau dihalaman rumah mulai zaman Penjajahan, rumah pribhumi meskipun di gang
tapi gangnya lebar dan lurus, memang kampong tanah yasan, hak kaum pribhumi,
bukan eigendom/ real estete, tanpa brand gang. Lha sekarang kampong Cipinang Muara itu para
tetangga sudah bermobil malah ada yang memiliki tiga mobil, ya lewat gang sempit
itu, tapi sekarang sudah di semen dan got pematusnya sudah ditutup dengan
terali besi beton 16" sehingga mobil bisa masuk, termasuk mobilnya anak saudara
saya almarhum. Ya satu satunya kekhawatiran mereka, digusur untuk pelebaran
kali supaya bisa memuat banjir. Alhandulillah tidak banjir berkat ada sungai
buatan disebelah timur terus ke Marunda. Mestinya dengan munggusur kampong. Lha membuat terusan
banjir ini dikebut dalam era Gubernur Ahok. Seandainya
kekhawatiran digusur ini beneran terjadi, seperti di Kalijodo, terus akan pindah kemana
? Anak saya sudah berumah di Kecamatan Kemang
Kabupaten Bogor, jalan ke Parung, kebetulan istrinyaPNS bekerja di salah satu
Diklat disitu, Sebab yang paling ditakuti oleh masyarakat Jakarta Raya adalah
digusur, satu kejadian yang benar benar seperti kiamat, sebab mereka yang tinggal disana sudah beradaptasi sangat lama sambil mencari nafkah. Jadi
nafkahnya ilang dan rumahnya ilang. Tidak mudah mendapatkan nafkah mulai dari
nol ditempat yang baru, sangat mengerikan. Mereka ini yang menjadi pemberat pada
pemilihan Gepernur DKI kali ini. Sebab satu suara Reza Khalid, satu suara
pemulung sama nilainya. Apa mbesuk Gupernur yang baru tidak menggusur penduduk
kampong pemicu panjir dilain areal, apa mbesuk Gupernur baru ini tidak memindah
kampung demi kelancaran lalu lintas yang sudah amat parah, apakah dia tidak
menggusur jalur hijau yang sudah jadi pertokoan mewah, daerah peresapan Kelapa
Gading yang sudah didesign mulai zaman Kopro Banjir zaman Gupernur Henk Ngantung
sebelum th 1965? hanya Allah yang tahu, tapi demi Ibu Kota yang setara dengan
kehidupan kapitalis modern, ya harus . gimana ? *)
Posted in:
0 comments:
Posting Komentar