Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Kamis, 20 April 2017

EFISIENSI KAPITALISTIK CONTRA KEDODORAN KEMISKINAN DAN-URBANISASI

Persis seperti busana chic dari peragawati yang minim bahan, dan baju orang miskin yang dikenakan  seadanya. Ternyata fenomena ini terjadi di kota kota besar seluruh Dunia, terutama di kota metropolitan yang baru tumbuh setelah perang.   

Di Jakarta Raya, ini bukan gejala biasa tapi sekarang sudah jadi penyakit jiwa bagi korbannya, tidak pandang kaya atau miskin, karena sudah terlalu lama, lebih  dari empat generasi.

Kota metropolian tercekik hampir tidak bisa bernafas, paru pau kota hilang jadi permukiman, sungai pematus jadi  pemukiman kumuh, banjir diderita oleh seluruh penduduknya. Para perencana kota sungsang sumbel, merencanakan transportasi murah, me redesign pematusan dan saluran air bersih dengan pompa pompanya, seluruh sanitasi kota berantakan, dan lain tetek bengek  tak terjangkau oleh anggaran. Sudah dari  generasi demi genesasi penjabat  Gupernur Walikota dan DPRD, bahkan banyak  Presidennya rasanya begitu.  Badan apapun untuk melayani Kota metropolitan semacam ini bisa kaya raya dengan situasi kota semacam ini badannya jadi gemuk gemuk, mukanya bulat penuh hormone, dari RT/RW Lurah Camat Walikota Gupernur, Presiden sudah biasa dengan keadaan ini.  Setpol PP, Polisi disana ya penuh dan menyesuaikan diri, bersantai dengan kelurga waktu diluar dinas, diantara hiruk pikuk metropolitan dan kekumuhan.

Bagaimanapun dari kesemrawutan kota ini bisa bembuat penduduknya bahagia dengan caranya sendiri sendiri,  semua kaum menengah memutar roda kota metropolitan ini pada tugas masing masing, termasuk menerima uang(suap) extra dari masyarkat yang membutuhkan jasanya, dari Raja minyak klas internasional Muhamad Reza Khalid, sampai “raja” gunung sampah di Bantar Gebang. Dengan caranya sendiri-menyimpang, bagaimanapun. Nyatanya dirasa begitu, karena sayapun tidak bermaksud sarkastik. Apapun yang didadapat selama pululan tahun bermukim di Ibu Kota, Metropolitan, adalah suatu yang sangat berharga, sebab sudah dengan susah payah dan upaya yang unik, perlu dibela belain dengan nyawa, kalok perlu. Lha begitu tentu kelekatan penduduknya dengan harta bendanya dari Ferari punya Ibas, sampai segulung kasur busa bekas punya pemulung, adalah harta yang tak ternilai. Lha  kok digusur karena untuk pelebaran bantaran sungai, untuk sudetan sungai, untuk ruang terbuka hijau ibu Kota Indonesia. Masksudnya tentu saja baik, didukung oleh kaum terpelajar yang mengerti hidup sehat. Tapi 80 % penduduk Metropolitan ini orang kecil yang menjadi besar di Metropolitan, lebih dari satu dua generasi.


Saudara saya sendiri,  mereka berdua sudah almarhum, dimakam di Makam Islam di Kebun Nanas. Pegawai Swasta derajad penyelia, tidak pernah korupsi karena pelajaran dari kakek moyang yang priyayi menengah  Jawa Tengah, keturunan para Wali. Kerabatnya ada Jendral dan ada Laksamana, untuk orang Jawa, apa pengaruhnya ? . Berumah di Cipinang Muara. Dekat dengan sungai asli Cipinang, Sesudah beranak enam, saudara saya ini, yang jelek jelek adalah Pejuang Kemerdekaan bergerilya pada clash 1 dan clash II di daerah Purwodadi dan daerah Solo, tidak mengurus soal penghargaan Pemerintah, tapi memang sekolahnya dari SMA sampai B1 Kimia dibeayai oleh Pemerintah RI berupa KUDP, Rp 225,-/bulan, th 1950 -1957. Ya kuatnya beli sebidang tanah kampung di Cipinang Muara, gangnya sempit becek dan naik turun, masuk agak jauh, itu dulu th 1956. Ibu saya pada waktu itu bertandang kesana dari Surabaya, sampai menangis karena tetangga disebelah masih kampong asli Betawi, kebun disekitar rumah tua ndak beraturan, dan kuburan satu dua dikanan kiri rumah tersebar dimana mana. Padahal di Surabaya Gemeente sudah dari dulu tidak mengijinkan ada kuburan di kebun atau dihalaman rumah mulai zaman Penjajahan, rumah pribhumi meskipun di gang tapi gangnya lebar dan lurus, memang kampong tanah yasan, hak kaum pribhumi, bukan eigendom/ real estete, tanpa brand gang.  Lha sekarang kampong Cipinang Muara itu para tetangga sudah bermobil malah ada yang memiliki tiga mobil, ya lewat gang sempit itu, tapi sekarang sudah di semen dan got pematusnya sudah ditutup dengan terali besi beton 16" sehingga mobil bisa masuk, termasuk mobilnya anak saudara saya almarhum. Ya satu satunya kekhawatiran mereka, digusur untuk pelebaran kali supaya bisa memuat banjir. Alhandulillah tidak banjir berkat ada sungai buatan disebelah timur terus ke Marunda. Mestinya  dengan munggusur kampong. Lha membuat terusan banjir ini   dikebut dalam era Gubernur Ahok. Seandainya kekhawatiran digusur ini beneran terjadi,  seperti di Kalijodo, terus akan pindah kemana ? Anak saya sudah berumah di Kecamatan  Kemang Kabupaten Bogor, jalan ke Parung, kebetulan istrinyaPNS bekerja di salah satu Diklat disitu, Sebab yang paling ditakuti oleh masyarakat Jakarta Raya adalah digusur, satu kejadian yang benar benar seperti kiamat, sebab mereka yang tinggal disana sudah beradaptasi sangat lama sambil mencari nafkah. Jadi nafkahnya ilang dan rumahnya ilang. Tidak mudah mendapatkan nafkah mulai dari nol ditempat yang baru, sangat mengerikan. Mereka ini yang menjadi pemberat pada pemilihan Gepernur DKI kali ini. Sebab satu suara Reza Khalid, satu suara pemulung sama nilainya. Apa mbesuk Gupernur yang baru tidak menggusur penduduk kampong pemicu panjir dilain areal, apa mbesuk Gupernur baru ini tidak memindah kampung demi kelancaran lalu lintas yang sudah amat parah, apakah dia tidak menggusur jalur hijau yang sudah jadi pertokoan mewah, daerah peresapan Kelapa Gading yang sudah didesign mulai zaman Kopro Banjir zaman Gupernur Henk Ngantung sebelum th 1965? hanya Allah yang tahu, tapi demi Ibu Kota yang setara dengan kehidupan kapitalis modern, ya harus . gimana ? *)

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More