Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Selasa, 11 April 2017

PULAU JAWA KELAHIRAN BUDAYA JAWA

PULAU JAWA KELAHIRAN DARI BUDAYA JAWA
Jauh sebelum Hinduisme dan Budhisme puluhan abad sebelum agama agama ini melebarkan pengaruh di pulau Jawa, pulau ini sudah dihuni oleh penduduk setempat yang mepunyai  perkembangan  budaya sendiri ternasuk perkembangan spiritual yang bisa dilacak keberadaannya, yang unique.
Para Sosiologist hanya menandai kesadaran ini semacam  dimana mana, sebagai Animisme, yang umum ada disemua puak dan suku kuno, meneyertai tingkat perkembangan budaya yang masih rendah. Umum ada pada masyarakat manusia purba pengumpul makanan dan pemburu binatang liar. Menyertai perkembangan masyarakat yang telah membuat alat dan bertani, timbul animisme model baru yang memuja alam, terutama  yang sangat erat hubungannya dengan pertumbuhan tanaman dan hewan piaraan.

Entah dimulai pada era zaman apa, apakah megalitik, neolitik /zaman batu halus, atau saman perunggu, higga zaman besi, manusia jawa percaya kepada keberadaan saudara gaib yang bersama lahir dengan si jabang bayi. Istilahnya  saudara gaib, ada empat entitas, yang akan mengikuti kehidupan setiap manusia,  perwujudan nyata adalah  air ketuba, darah yang menyertai kelahiran bayi, tembuni/placenta , dan tali pusar. Sampai kini ada ritual tertentu untuk menghormati , dan menandai keberadaan mereka, apabila ada bayi dari keluarga jawa lahir, bahkan setiap RS bersalin tahu akan hal ini.  Khusus untuk tembuni (placenta), ada legenda sendiri, yang di rangkai dalam prosa riwayat Bambang Sumantri dengan saudara saudaranya yang lahir pada hari yang sama. Rangkain cerita yang berbentuk prosa ini sangat indah dan mengharukan, sering dilakonkan dalam wayang purwa/wayang kulit.  Meskipun para peraga dalam cerita ini adalah dewa dan dewi yang diambil dari panteon agama Hindu, tapi pemeran pokoknya Bambang Sumantri dan Sokasrana adalah sosok peraga fiktif  dari Jawa asli, yaitu sosok jabang bayi laki laki sesudah dewasa menjadi Bambang Sumantri, dengan saudaranya, adiknya yang lahir dalam sehari sang tembuni  sebagai Sokasrana, dari alam gaib.

Bambang Sumantri lahir sebagai cucu seorang Brahmana gryasta, setelah dewasa ingin mengembangkan career sebagai abdi Raja. Raja menerima pengabdiannya  asal bisa mengumpulkan putri dari seratus Negara guna diperistri oleh sang Baginda. Bambang Sumantri dapat memenuhi tugasnya, dan diangkat jadi Perdana Menteri. Dalam tugas pengabdiannya dia didampingi oleh adik dari tembuninya Sukosrana, Kebetulan pada waktu penghadapan sang Sukasrana minta ikut, meskipun sangat dihalang halangi oleh sang kakak sebab rupa wujud Sukasrana  seperti raksasa kerdil, sangat jelek, sedangkan bambang Sumantri sangat ganteng, dia malu dilihat umum beserta adiknya yang jelek.  Apa boleh buat sang putri raja minta agar Bambang Sumantri memindahkan taman yang indah agak jauh dari istana ke lahan dekat istana. Setelah berfikir keras tanpa hasil dia bercerita kepada adiknya sang Tembuni yang telah berubah jadi raksasa kerdil,  Bambang Sumantri sangat lega bahwa adiknya sanggup memindah taman itu. Langsung sang Kakak minta tolong dengan seungguh sungguh agar adiknya memindah taman itu yang nampaknya tidak mungkin. Apa lacur, setelah bumi tergerak  gempa, setelah kabut tebal reda, mendadak saja taman yang jauh dari istana pindah sangat sekat dengan istana. Dengan leganya Sang Bambang Sumantri mempersilahkan tuan putri untuk memeriksa taman tersebut, e malah ketemu  dengan sang Sukasrana.

Pada saat penghadapan Keraton menjadi gempar karena sang putri raja amat takut sangat terkejut bertemu ditaman istana dengan sang Sukasrana yang buruk rupa. Bambang Sumantri disuruh raja memeriksa keadaan, ternyata adiknyalah yang sedang membetulkan satu pot bunga yang berubah tempat jadi miring, membuat sang putri ketakutan setengah mati. Bambang Sumantri sampai mengeluarkan panah pusakanya untuk menakuti sang adik  supaya pulang, Sang  kakak sangat terkejut, panah sakti kelepasan dan mengengai adiknya tepat pada jantungnya sehingga sang Sukasrana meninggal di pangkuan sang kakak,  dalam sakaratul maut Sukasrana berjanji akan menjemput kakanya lewat taring raksasa inkarnasi dari Rahwana raja. Maka Bambang Sumantri yang sudah ganti nama jadi Mahapatih Suwondo gugur dimedan laga. Itulah pengorbanan anak desa meskipun keturunan brahmana, yang ingin berdekatan dalam pergaulan para ksatrya dekat Raja.

Sekarang lebih baik jadi wiraswasta, atau jadi Raja sendiri daripada mengabdi pada Raja, sosok sesakti Bambang Sumantri, lebih baik jadi Raja sendiri. Merupakan nasihat tersamar,  pelajaran bagi sosok sakti pandai dari desa menurut pemikiran  sehat, menaklukkan seratus Negara dengan memperistrikan seratus putrinya, dari pada  membunuh adiknya. Itupun bukan kebajikan. Hinduisme tidak  membenarkan  ini, tapi Hindu Jawa membenarkan Ken Arok, sedangkan Hinduism jadi perbuatan adharma, bukan melaksanakan dharma.

Dipercaya bahwa  seorang jawa selama hidupnya didampingi oleh saudara saudaranya yang lahir dalam sehari ada empat  entitas  dari alam gaib, selalu menyertainya kemana saja dan dapat memberikan pertolongan bila diminta oleh sudara mereka sang jabang bayi, dalam hal apa saja dan kapan saja. Menggunakan  kesaktian berupa limpahan energy dari alam gaib yang berdimensi lebih tinggi.

Ada rangkaian olah spiritual  sehingga  bisa mengenali  mereka dengan lebih erat, mendaya gunakan  metoda meditasi dan hamati geni ( tidak makan maupun tidur- sesudah  tiga hari ngebleng tidak makan dan minum) selama menjalankan ritual ini.  Dalam sastra kuno yang tertulis di keropak  kuno yang masih dipakai di Bali  “Kandapat sari” telah di indonesiakan diterbitkan dari kropak kuno dari bale Kirtya oleh Gde Bandesa, dengan judul yang sama.

Semacam spiritualisme, tata cara pengenalan terhadap tembuninya sendiri yang dialam gaib. Sangat  ada kesesuaian kemudian dengan penemuan ilmu biologi moderen dari cabang cytology dan immunology.  Ternyata secara kebetulan  ditemukan,  tubuh dapat memperbaharui jaringan sel sel yang rusak secara otomatis berkat adanya stem sel . Stem sel ini bisa dari jaringan yang sudah jadi misalnnya sumsum tulang, tali pusar,  bisa dari embrio yang baru nwerumur 6 – 7 hari merupa  jaringan  dari blastula, bisa terdeferensiasi jadi pengganti sel jaringan yang rusak, baik jaringan otot maupun jaringan penghasil insulin untuk memecah glucosa, guna mendapatkan energinya.  Satu langkah raksasa untuk pengobatan banyak penyakit degeneratip manusia yang akan datang, dalam waktu yang dekat ini akan bisa dilaksanakan, berkat adanya  stem sel  dari embrio  yang masih sangat muda mungkin juga dari sel tembuni.  Jadi tembuni mempunyai peran yang sangat penting yang sudah ditandai oleh kaum spiritualis  manusia jawa purba. Moda persinggungan dengan alam dimensi lain yang lebih tinggi , telah diketemukan pada zaman purba itu. Tentu saja diluar perolehan energy dari jenjang energy  entropi lebih rendah ke jenjang yang lebih tinggi dari alam dengan sistim energy-materi kita ini.Teknologi yang ada kini ini malah ketinggalan.

Satu lompatan perolehan energy antar dimensi alam,  dari jenjang alam dimensi yang lebih tinggi ke alam dengan dimensi yang lebih rendah, dimensi kita, yang besarnya dan resources-nya tak dapat diperkirakan dan tak terukur. Tapi sangat gawat bila disusupi nafsu hewani.

Menjadi sumber energy yang luar biasa, seperti terangkatnya batu batuan raksasa, bangunan bangunan batu yang tersusun diatas satu sama lain dengan berat ratusan ton,  energy melawan gaya berat, alat transportasi tanpa roda, energy  mengarungi ruang angkasa, teleportasi,  pada zaman itu, sudah dipergunakan.  Persis seperti teknologi sekarang yang mengembangkan tenaga  nuklir, salah salah bisa membuat dunia kiamat. Menjadikan pulau Jawa menguasai 2/3 dunia 10 000 tahun yang lalu. (https//indocropsistem.worldpress.com kata kunci keanehan relief candi Panataran dan candi Ceto)

Begitu vitalnya upaya   manusia zaman itu, sehingga banyak komunitas yang mempelajari penggunaannya dengan azas tidak sesuai malah berlawanan dengan idealisme pergaulan antar menusia, mengagungkan ego, yang harus dicegah  dari semula.  Dibimbing oleh seorang Hajar ( Pelatih) dari satu generasi ke generasi berikutnya, seperti yang tersirat pada pedoman "mangayu hayuning Bhawono'' membuat dunia yang lebih baikKomunitas tertutup dengan aturan ketat seperti yang dilakuan oleh masyarakat Tibet dengan “komunitas Lama” sampai sekarang. Mereka sudah menyadari bahwa praktek pelajaran ilmu mendayagunakan tenaga dari dimensi  lain antara lain dengan moda hubungan dengan empat saudara yang lahir dalam sehari ini sangat berbahaya, rumit dan gawat. Kerena tidak boleh tercampur sedikitpun dengan nafsu nafsu rendah hewani. Atau dunia seisinya meledak hancur.

Maka dari itu kemudian sekali setelah memeluk Hiduisme praktek ini sangat dihubungkan dengan “Dharma” bisa dilakukan oleh Kaum brahmana tingkat tinggi saja, yang bisa mengerti artinya kebenaran hakiki. Selanjutnya barabad abad kemudian, datanglah ajaran Islami yang dibawa dari Parsi, hidup zuhud  secara periodis bertapa masih di beri toleransi, tapi menurut ajaran Islami  dari padang pasir,  hidup asketis diluar kebiasaan umum dan selibat  dianggap bid’ah, melanggar sunnah rasulullah.  Misalnya telah ada pesan dari wangsa Mamluq dari Mesir yang dikirim lewat utusan ulama dari sana Nurudin ar Raniri yang disampaikan pada pengikut islam sebelumnya dari wangsa Fathimiah,  Hamzah Fansuri untuk memurnikan nas dan sunnah  rasulullah. ( kata kunci nama sosok ini dari google)  Beberapa waktu kemudian ada ajaran pemurnian yang lebih ketat lagi dibawa oleh tiga  Pemimpin pembaharu a’la Wahabiah di Sumatra Barat.  Di Sumatra barat pengajar Agama Islam ini diberi gelar “Tuanku” jadi ada Tuanku haji Miskin, ada Tuanku haji Piobang dan Tuanku haji Sumanik ( google- kata kunci) yang mencanangkan pemurnian a’la wahabiah di sana, dengan tangan besi. Dilanjutkan oleh angkatan Tuanku  Rao, Tuanku Nan Renceh, Tuanku  Tambusai, selanjutnya dilanjutkan oleh Tuanku Imam Bojol. Sehingga telah menghapuskan sama sekali bekas bekas kebudayaan lama di Pagarruyunng, dengan penguasa keturunan  dari wangsa kerajaan Darmasraya  sang  Adityawarman, termasuk adat sisa sisa Hinduisme, dan kepercayaan pada catur sanak.

Jadi punahlah ajaran kuno mengenai empat saudara gaib ini tidak tersisa disana. Sebaliknya sampai sekarang masih dipertahankan keberadaannya di Bali, dalam  komunitas kebhatinan dengan lapisan terselubung dalam masyarakat yang secara ritual  beragama Hindu  Bali.

Penyelewengan dari rel dharma ini dapat menimbulkan bencana besar pada keseimbangan alam macro  dan microcosmos, satuan senyawa antar elemen dasar alam dimensi ini, atom dan molekul, yang menjadi melemah ikatan entropi nya, melonggar. Sehingga dasar dasar kontinen, lereng lereng gunung api dan pulau pulau jadi melemah lapisan dasarnya.  bisa meledak dan tenggelam seperti tenggelamnya benua Atlantis, atau menerobosnya kekuatan raksasa magma dari jauh dibawah landasan dasar pulau dan kontinen menjadi ledakan besar. Memicu terjadinya mahapralaya  seperti menerobosnya magma dari lereng gunung Merapi sebelah timur, zaman Mpu Sindok. Karena tidak kuat menahan beban latihan ilmu ini oleh komunitas mengetangahkan ego, maka terjadilah apa yang harus terjadi.

Sehingga wanti wanti asyram asyram zaman kemudian selalau dengan ketat mempraktekkan ajaran dharma dan tapa sebagai keharusan, untuk menjadi dasar pokok upaya meperoleh kemampuan  menggunakan eneregy dari dimensi  lain, yang semakin sangat menyusut perolehannya. Karena training-nya terlalu rumit dalam era yang lebih dinamis secara materi, sangat berat dilaksanakan.

Jadinya pada zaman itu ajaran mendaya gunakan energy alam lain disatukan dengan praktek dharma sampai terpateri mati. Bila tidak praktek ritual diluar itu menurut adat kepercayaan Hindu Bali disebut mangiwa, atau praktek kejahatan, syaitaniah yang anti sosial. 

Pada zaman puncak dari penggunaan energy dari alam yang lebih tinggi ini, begitu rupa mencapai puncaknya, sehingga landasan pulau atau kontinen jadi melunak maka terjadilah bencana besar, tenggelamnya benua benua kuno dan mungkin terakhir meletusnya gunung  gunung termasuk gunung Merapi di Jawa Tengah yang tenaga letusannya mengarah kelereng gunung sebelah timur, menyemburkan awan panas yang mematikan ketimur yang padat penduduk petani - Mahapralaya di zaman mataram Hindu. Alasan utama maka Mpu Sindok memindahkan pusat kerajaan Ke jawa Timur.

Adapun kebudayaan jawa asli,  oleh pengalaman diatas, telah sarat ditimbuni muatan dharma oleh Hinduisme, telah diambil alih oleh ajaran Islam pada zaman selanjutnya. Diajarkan oleh para Waliullah dari Kerajaan Islam Demak Bintoro, yang jumlahnya ada sembilan meskipun tidak hidup sezaman tapi dalam epoche yang sama yaitu penerimaan agama Islam, dari kepercayaan  ikatan dengan  catur sanak (saudara yang empat)-sudah diajarkan Islam, memang ada dalam Al Qur'an dan Al Hadist yang soheh, hanya yang empat itu tentu saja adalah malaikat, Jibril. MIkail, iszrofil dan Izroil.,  yang selalu bersama dngan setiap sosok manusia untuk membantu memimpin ke jalan yang benar, melindungi dari makhluk jahat dari dimensi lain tanpa disadari oleh sang manusia - asal nuraninya masih terlandasi iman. Setelah beberapa abad, sudah terganti  oleh ilmu pengetahuan moderen mengenai stem sel. Islam, menghapus ritual agama Hindu dan Budha sebagai agama sebelumnya  di  Pulau Jawa, masih terasa azas pokoknya.  Tidak heran pada zaman ini ajaran aswaja di pulau Jawa– Ahlul sunnah wal jamaah sebagi lanjutan dari ajaran para waliullah, disebut ajaran tradisi para waliullah juga mengutamakan hidup istiqomah beribadah, bahkan hidup zuhud tapi menolak cuek dan diam di kehidupan berbangsa,  tercantum dalam pernyataan - sudah bukan waktunya; yang waras ngalah-  , uzlah dari adat orang Europa yang ultra liberal, tapi sangat mengetengahkan pelajaran praktek rakhman dan rakhim  mengemas  kebenaran dharma dalan Islam.  Seperti yang telah disimpulkan oleh tapak perjalanan hidup inteligensia budaya Jawa  Drs. R.M.P Rosrokartono " Anteng manteng, sugeng jeneng" yang artinya dalam keseharian manusia alim itu tenang tidak banyak bicara mengagulkan diri - istiqomah, tapi dalam bermasyarakat beliau beliau itu sangat memegang prinsip dengan teguh. Para ulama aswaja . Juga berpedoman “tan hana dharma mangrwa”( google - Mpu Tantular  wutuhnya Bhineka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa) – tidak ada ahlul sunnah wal jamaah menganut ajaran kebenaran yang mendua, - khittahnya adalah untuk kemaslahatan ummat, tidak menjual ummat untuk  mendua yang  dangkal dan materialistic, tanpa prinsip. Atau mencari keuntungan politik praktis mengerahkan ummat, hanya untuk kepentingan segelintir ulama palsu sebangsa Dimas Kanjeng diranah politik praktis, dalihnya menuju khilafah, dengan dulban diluar putih didalam kuning ( istilah dari “Serat Joko Lodhang” oleh R.Ng. Ronggowarsito- Pujangga Kraton Surakarta abad 19) kayak petunjuk tukang fatwa  majelis  yang lain *)


QUOTE
COPY PASTE DARI https//ahmadsumantho worldpress/
/015/06/27/bukti-nusantara-pusat-peradaban-fdunia-2/
     

Bukti Nusantara Pusat Peradaban Dunia

POSTED ON NOVEMBER 15, 2011 UPDATED ON NOVEMBER 15, 2011
A version of this Highest Common Factor in all preceding and subsequent theologies was first committed to writing more than twenty-five centuries ago, and since that time the inexhaustible theme has been treated again and again, from the standpoint of every religious tradition and in all the principal languages of Asia and Europe. In the pages that follow I have brought together a number of selections from these writings, chosen mainly for their significance — because they effectively illustrated some particular point in the general system of the Perennial Philosophy — but also for their intrinsic beauty and memorableness. These selections are arranged under various heads and embedded, so to speak, in a commentary of my own, designed to illustrate and connect, to develop and, where necessary, to elucidate.

Knowledge is a function of being, When there is a change in the being of the knower, there is a corresponding change in the nature and amount of knowing. For example, the being of a child is transformed by growth and educationinto that of a man; among the results of this transformation is a revolutionary change in the way of knowing and the amount and character of the things known. As the individual grows up, his knowledge becomes more conceptual and systematic in form, and its factual, utilitarian content is enormously in. creased. But these gains are offset by a certain deterioration in the quality of immediate apprehension, a blunting and a loss of intuitive power. Or consider the change in his being which the scientist is able to induce mechanically by means of his instruments. Equipped with a spectroscope and a sixty-inch reflector an astronomer becomes, so far as eyesight is concerned, a superhuman creature; and, as we should naturally expect, the knowledge possessed by this superhuman creature is very different, both in quantity and quality, from that which can be acquired by a star-gazer with unmodified, merely human eyes.
Nor are changes in the knower’s physiological or intellectual being the only ones to affect his knowledge. What we know depends also on what, as moral beings, we choose to make ourselves. “Practice,” in the words of William James, “may change our theoretical horizon, and this in a twofold way: it may lead into new worlds and secure new powers. Knowledge we could never attain, remaining what we are, may be attainable in consequences of higher powers and a higher life, which we may morally achieve.” To put the matter more succinctly, “Blessed are the pure in heart, for they shall see God.” And the same idea has been expressed by the Sufi poet, Jalal-uddin Rumi, in terms of a scientific metaphor: “The astrolabe of the mysteries of God is love.”
This book, I repeat, is ananthology of the Perennial Philosophy; but, though an anthology, it contans but few extracts from the writings of professional men of letters and, though illustrating a philosophy, hardly anything from the professional philosophers. The reason for this is very simple. The Perennial Philosophy is primarily concerned with the one, divine Reality substantial to the manifold world of things and lives and minds. But the nature of this one Reality is such that it cannot be directly and immediately apprehended except by those who have chosen to fulfil certain conditions, making themselves loving, pure in heart, and poor in spirit. Why should this be so? We do not know. It is just one of those facts which we have to accept, whether we like them or not and however implausible and unlikely they may seem. Nothing in our everyday experience gives us any reason for supposing that water is made up of hydrogen and oxygen; and yet when we subject water. to certain rather drastic treatments, the nature of its constituent elements becomes manifest. Similarly, nothing in our everyday experience gives us much reason for supposing that the mind of the average sensual man has, as one of its constituents, something resembling, or identical with, the Reality substantial to the manifold world; and yet, when that mind is subjected to certain rather drastic treatments, the divine element, of which it is in part at least composed, becomes manifest, not only to the mind itself, but also, by its reflection in external behaviour, to other minds. It is only by making physical experiments that we can discover the intimate nature of matter and its potentialities. And it is only by making psychological and moralexperiments that we can discover the intimate nature of mind and its potentialities. In the ordinary circumstances of average sensual life these potentialities of the mind remain latent and unmanifested. If we would realize them, we must fulfil certain conditions and obey certain rules, which experience has shown empirically to be valid.
In regard to few professional philosophers and, men of letters is there any evidence that they did very much in the way of fulfilling the necessary conditions of direct spiritual knowledge. When poets or metaphysicians talk about the subject matter of the Perennial Philosophy, it is generally at second hand. But in every age there have been some men and women who chose to fulfil the conditions upon which alone, as a matter of brute empirical fact, such immediate knowledge can be had …

Synopsis:

The Perennial Philosophy is defined by its author as “The metaphysic that recognizes a divine Reality substantial to the world of things and lives and minds.” With great wit and stunning intellect, Aldous Huxley examines the spiritual beliefs of various religious traditions and explains them in terms that are personally meaningful.

About the Author

Aldous Huxley (1894-1963) is the author of the classic novels Island, Eyeless in Gaza, and The Genius and the Goddess, as well as such critically acclaimed nonfiction works as The Devils of Loudun, The Doors of Perception, and The Perennial Philosophy. Born in Surrey, England, and educated at Oxford, he died in Los Angeles.
" data-medium-file="" data-large-file="" class="alignleft size-thumbnail wp-image-4376" title="Candi_Penataran" src="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/candi_penataran.jpg?w=219&h=225" alt="" width="146" height="150" originalw="146" originalh="150" src-orig="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/candi_penataran.jpg?w=146&h=150" scale="1.5" style="background: transparent; border: none; margin: 7px 20px 5px 0px; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline; float: left; display: inline; max-width: 100%; height: auto;">Saudaraku. Masih melanjutkan perbahasan sebelumnya, yaitu mengenai kejayaan Nusantara, maka berikut ini saya tambahkan informasi Anda sekalian tentang bukti-bukti bahwa Nusantara pernah menjadi pusat peradaban dunia. Saya yakin Anda sekalian akan semakin kagum dengan prestasi yang pernah ditorehkan oleh para leluhur kita. Sehingga harapannya adalah bahwa kita tidak lagi minder atau merasa bahwa kita hanyalah bangsa yang kecil dan terus saja mengekor pada bangsa lain di dunia. Melainkan bangkit dengan semangat yang tinggi dan berusaha untuk kembali meraih kejayaan seperti dahulu kala.
Untuk mempersingkat waktu, mari ikuti penelurusan berikut ini:
A. Misteri arsitektur candi Penataran
Ketika Eropa masih berada di abad kegelapan, ternyata leluhur Nusantara telah berhasil membangun sebuah mahakarya seperti yang bisa dilihat pada Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Candi Penataran. Sebuah karya agung yang sangat rumit dipandang dari keindahan seninya, maupun tingkat kesulitan pembuatannya. Siapa yang bisa menunjukkan ada bangunan di peradaban lain yang lebih indah dengan detail yang rumit di abad itu? Apalagi Nusantara adalah wilayah tersubur di bumi karena ada banyak gunung berapi.
The Journal of the American Academy of Religion has featured articles by exponents of Perennialism,(1) and a Consultation on Esotericism and Perennialism (with its sister organization, the Hermetic Academy) has for several years organized panels of papers at the annual conference of the AAR.  The origins of this philosophy may be sought in the Traditionalist position developed by a number of ultramontane French Catholic thinkers of the nineteenth century, especially Joseph de Maistre (d. 1821), L. de Bonald (d. 1840), and F. R. de Lammenais (d. 1854).  Traditionalism was essentially a philosophy of history opposed to the rationalism of Enlightenment philosophes, and it elevated tradition (particularly the Catholic church) to a position of divine and absolute authority.  So extreme was the opposition of some Traditionalists to modernism that they were excommunicated in 1855 for their rejection of reason.  Yet the traditionalist critique of modernism still held an appeal, and it subsequently was adopted by members of the French occult and esoteric underground at the turn of the century.  Crucial was the notion of tradition, which even for Lammenais had included a primitive or primordial revelation that was not limited to Christianity (this would later reappear as Wilhelm Schmidt’s primitive monotheism).  Sacred traditions could be numbered in the plural, and thus all religions were to be regarded as manifestations of a Perennial Philosophy that is one and eternal (the phrase “perennial philosophy” from the Latin work Philosophia Perennis by the Renaissance scholar Augustinus Steuchus, written in 1540, and it was later picked up by Leibniz, but in neither case with as broadly ecumenical implications as in contemporary Traditionalism).
What is especially relevant for Islamic studies is that, despite their theoretical respect for Catholicism, most of the adherents of the Perennial Philosophy were attracted to Islam, though some were more closely associated with Buddhism (Marco Pallis, A. K. Coomaraswamy) or Taoism (de Pourvourville).  What is the attraction of Traditionalism, and why is it that a majority of Traditionalists find Islam to be the single sacred tradition that fulfills their aspirations?  Disenchantment with the excesses of the European Enlightenment and modernism would seem to be the primary reason.  The nineteenth century spawned a host of ideological offspring that have had devastating effects:  the pseudo-religion of nationalism, the positivistic belief in science, racism and evolutionism as a rationale for unbridled imperialism, the erosion of the public role of religion.  Against these promethean enterprises the Perennialists hold out the more-than-human authority of primordial revelation, divine gnosis adapted providentially to different circumstances in the form of religions, and a devolutionistic view of history that sees modernity as a debased and demonic revolt against reality.  With these premises in mind, one can see how Islam as a sacred tradition would naturally occupy the central position.  The Islamic theological emphasis on unity, the historiographic concept of Islam as final revelation in a sequence of prophetic dispensations, and the oppositional position of Islamic countries as the largest bloc undergoing European colonization, all make Islam a natural standpoint for Traditionalists seeking an authentic affiliation.  Christianity has been too severely battered and corrupted to serve as a refuge (ultra-Catholic Rama Coomaraswamy regards the current papacy as illegitimate because of its abandonment of medieval ritual).  It is not easy to convert to Hinduism, orthodox Judaism, or tribal traditions, and Buddhism may not be a valid option in the West.  That seems to leave Islam.
Traditionalist converts to Islam, some of whom were affiliated with the Alawi-Shadhili Sufi order, included Swedish painter Ivan Aguéli (`Abd al-Hadi, d. 1917), French esotericists Leon Champrenaud (`Abd al-Haqq) and René Guenon (`Abd al-Wahid Yahya, d. 1951 in Cairo), and Guenon’s Swiss colleagues Titus Burckhardt and Frithjof Schuon (`Isa Nur al-Din, now in Bloomington, Indiana).  Their translations of Islamic mystical texts (especially from the school of Ibn `Arabi) and a series of books on Islam and religion found a receptive audience.  The French journal Études Traditionnelles, and its English counterpart Tomorrow, later named Studies in Comparative Religion, popularized the views of the school; a representative collection of essays is found in The Sword of Gnosis (1974), edited by Jacob Needleman.  The Traditionalist perspective is now shared principally by a small but influential number of mostly Muslim intellectuals in Europe and America, but increasingly also in other countries such as Pakistan and Malaysia.  The books under review are all written by Muslim authors who are Traditionalists, adherents of the Perennial Philosophy in the sense just explained, though each has a particular emphasis and point of view.
Charles Le Gai Eaton’s King of the Castle is a reissue of a work first published in 1977, with a brief new preface commenting on the personal character of the book and its genesis from a youthful work called The Richest Vein (1947).  Its goal is “to proclaim the abnormality of the modern age and to unmask its pretensions” (111).  The title ironically describes the situation of modern man in terms of the children’s game of one-upmanship.  In a series of eight essay-like chapters (there is no index), Eaton successively takes up society, economics, philosophical anthropology, and religion.  More willing to comment directly as a political conservative than other Traditionalists, Eaton views totalitarianism (both Nazi and Communist) as the most typical product of anti-traditional modernity, citing Hannah Arendt, Simone Weil, and Bruno Bettelheim in support.  An attack on bureaucratic officialdom is justified by a nostalgic evocation of the independence of small businessmen and peasants (here Catholic conservative Gustave Thibon is called in support).  The style is intense, dramatic, and ironic verging on sarcasm whenever modernity is addressed (i.e., most of the time).  Spiritual authorities such as the Qur’an and Rumi are quoted frequently, and many analogies and anecdotes are used as hooks to hang the argument on.  The primary purpose, however, is not to advocate mysticism but to inculcate a doctrine that will strengthen one’s resistance to the corrosive forces of modernity; this is an extended sermon, from a universalist Islamic position, championing the lonely role of religion in an evil age.
Martin Lings is well known to Islamicists for his studies of Qur’anic calligraphy, for his biography of the Algerian Sufi shaykh Ahmad al-`Alawi (A Sufi Saint of the Twentieth Century), and for his biography of the Prophet Muhammad.  Formerly a curator of Oriental manuscripts in the British Museum, he has also written on Shakespeare and other subjects.  This little book is a collection of ten essays on symbolism in various religious traditions.  The first chapter, “What is Symbolism?” uses Qur’anic examples to define symbols as reflections of higher reality in images that reveal the relationship of the microcosm to the macrocosm; knowledge of this relationship, gained through traditional scriptures and rituals, is necessary to overcome the fall from the perfection of primordial man.  Subsequent essays reflect comparatively on the significance of symbols such as the clashing rocks that bar the path to the spiritual world (“The Decisive Boundary”), polarity (“The Symbolism of Pairs”), trinity (“The Symbolism of the Triad of Primary Colours”), the king-pontiff (“The Archetypes of Devotional Homage”), and sacred liturgy (“The Language of the Gods”).  More specialized topics are considered in “The Quranic Symbolism of Water”, “The Symbolism of the Luminaries in Old Lithuanian Songs,” “The Seven Deadly Sins,” and “The Symbolism of the Mosque and the Cathedral.”  The method of analysis is comparative, following Coomaraswamy in using multiple examples from different religious traditions and reducing them to a single metaphysical meaning.  Lings confidently uses one tradition to explicate another, e.g., Brahma, Shiva, and Vishnu elucidate the Christian Trinity, while the Gospel of John describes the character of the Prophet Muhammad.  The book is a good example of a programmatic exegesis of Traditionalist metaphysics as systematized by Schuon.
Seyyed Hossein Nasr’s Traditional Islam and the Modern World is a collection of eighteen essays first published in 1987, defending traditional Islam against both modernism (whether European or Islamic) and its contrary, fundamentalism.  Nasr, who is well known for his many studies of Islamic science, culture, and spirituality, here touches upon a wide array of subjects in an attempt to correct not only the standard distortions of Orientalism, but also the misinterpretations deriving from political journalism, Marxism, and so-called “resurgent Islam.”
The first section, “Facets of the Islamic Tradition,” discusses jihad, work ethics, and male-female relations in order to demonstrate the notion of tradition as the all-encompassing revelation of the sacred through both history and nature.  Building explicitly on the Perennial Philosophy according to Guenon and Schuon, these sections tie Tradition to specifically Islamic touchstones:  the terms din and sunnah, the standard hadith collections (both Sunni and Shi`i), Safavid Iran, and Sufism.  At the same time, it may be remarked that the very abstraction of certain neologisms used here (e.g., “Islamicity,” “Shari`ite”), and the synthetic transcendence of historical tensions such as that between Sunnis and Shi`is, point toward the recent and retrospective nature of the defense of tradition.
Part II, “Traditional Islam and Modernism,” dwells further on the contrast between the modern anthropomorphic lack of principles and the wholeness and transcendence characteristic of traditional attitudes.  Nasr’s criticisms of modernistic traits (especially the political reduction of religion to ideology and ethics) are often astute and revealing.  Part III, “Tradition and Modernism — Tensions in Various Cultural Domains,” builds up the cumulative critique of modernism with seven essays that urgently call upon Muslim intellectuals to take stock of their plight.  The main areas discussed here are education, philosophy, and architecture, in all of which, argues Nasr, Western influence has systematically eroded the original Islamic basis in most Muslim countries.
Part IV, “Western Interpreters of the Islamic Tradition,” delivers warm testimonies to a few European scholars who have transcended Orientalism by their intense personal engagement with Islam.  A Catholic (Louis Massignon), a Protestant (Henry Corbin), and a Muslim (Titus Burckhardt) are presented as reminders that there can be genuine spiritual encounters with Islam on the part of Western intellectuals who have not succumbed to secularism and modernism.  The concluding “Postscript” adds messianism to the list of Muslim responses to modernism, and gives final reflections on the significance of modernism itself, the various trends commonly lumped together as “fundamentalism,” and the remaining representatives of traditional Islam.  Nasr speaks passionately but irenically of the need for an intellectual dimension to the critique of modernism.  This book is probably the best recent example of a Traditionalist perspective on Islam.
The volume edited by Seyyed Hossein Nasr, Islamic Spirituality:  Manifestations, is the companion to Islamic Spirituality:  Foundations (see my review in JAOS 110 [1990]:368-69).  These two volumes on Islam have sought to avoid historicism and rationalistic skepticism, both of which tendencies are described as alien to Islam.  As part of a series on World Spirituality, this volume treats Sufism as the inner or spiritual aspect of Islam, and the editor describes this collection of articles as the first attempt to treat Sufism on a global scale.  As in the first volume, the authors of the separate articles are mostly Muslims (including a number of Traditionalists).  The Introduction and a Prelude on the Sufi orders are contributions by Nasr, followed by twenty-five essays on separate topics.  Part One, “Islamic Spirituality as Manifested in Sufism in Time and Space,” contains fifteen essays on particular Sufi orders, schools, and regions.  Part Two, “Islamic Literature as Mirror of Islamic Spirituality,” has six essays on Arabic, Persian, Turkish, Indo-Muslim, Malay, and African literatures.  Part Three, “The Spiritual Message of Islamic Art and Thought,” has four general essays on the special topics of theology and philosophy, hidden sciences, music and dance, and art.  Regrettably there is no list of illustrations aside from untitled credits for the seventeen photographs reproduced here.  In the limited amount of space available, the articles are inevitably brief and summary treatments that will be helpful primarily to students seeking a first bibliographic orientation to a particular subject.  A number of the authors are leading scholars in the study of Sufism (K. A. Nizami, A. Schimmel, J. Nurbakhsh) who have perforce compressed presentations made in fuller detail elsewhere.  Still, some articles are disappointingly brief and cursory, to the extent of being not much more than a list of names; particularly inadequate is the article on Arabic Sufi literature, a subject that cries out for full treatment.  To my mind the most successful articles are those by William Chittick on Ibn `Arabi and Rumi, the programmatic essay by Nasr on “Theology, Philosophy, and Spirituality,” and the survey by Jean-Louis Michon on “Sacred Dance and Music in Islam.”  Since not all contributors share the same philosophical perspective, one does not get from the volume a clear or uniform Perennialist view of Sufism.
What is the significance of the Traditionalist school for Islamic studies?  Their rejection of historicism poses a difficulty for most Islamicists, whether humanists or social scientists.  If the premise of the Perennial Philosophy is conceded, then much of the apparatus of modern scholarship, admittedly a product of the Enlightenment, stands condemned.  The sketch given above attempts to outline the intellectual background of Traditionalism as a response to European modernism; that historical placement ironically makes Traditionalism neither traditional nor distinctively Islamic.  Before the specific cultural crises caused by modernism, it was neither necessary nor possible to formulate a defense of tradition as such.  Yet one can also see why the Perennial Philosophy would be an attractive option for Muslim thinkers seeking a position from which to resist the cultural imperialism of the secular West.  If Muslim thinkers accept the autonomous reason of the European enlightenment, there is no longer any room for transcendence, nor any intellectual justification for remaining Muslim.  Traditionalism, then, is a theological critique of modernism that has found a natural rallying point in the tradition most threatened by the West, i.e., Islam.  Modernism is being challenged on many fronts.  The assertion of the need for sacred doctrine and Tradition is frankly authoritarian, however, and it will only appeal to a minority; while its fundamentalist rival strives for a mass following, Traditionalism will continue to be an intellectual option for some Muslims (and non-Muslims) in the post-modern world.
Notes
(1).  Huston Smith, “Is there a Perennial Philosophy?”, JAAR LV (1987):553-66; James S. Cutsinger, “The Knowledge that Wounds Our Nature:  The Message of Frithjof Schuon,” JAAR LX (1992):465-92.
[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=jcWnfCXJW4E&feature=related]
" data-blogger-escaped-data-image-meta="[]" data-blogger-escaped-data-image-title="“Traditionalism, the Perennial Philosophy, and Islamic Studies” (review article)" data-blogger-escaped-data-large-file="" data-blogger-escaped-data-medium-file="" data-blogger-escaped-data-orig-file="" data-blogger-escaped-data-orig-size="" data-blogger-escaped-data-permalink="https://ahmadsamantho.wordpress.com/2010/10/09/%e2%80%9ctraditionalism-the-perennial-philosophy-and-islamic-studies%e2%80%9d-review-article/" data-blogger-escaped-originalh="201" data-blogger-escaped-originalw="300" data-blogger-escaped-scale="1.5" data-blogger-escaped-src-orig="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/candi-penataran2.jpg?w=300&h=201" data-blogger-escaped-style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" height="201" src="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/candi-penataran2.jpg?w=450&h=302" style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" title="candi penataran" width="300">
Candi Penataran
1. Sejarah candi Penataran
Candi Panataran ditemukan pada tahun 1815, tetapi sampai tahun 1850 belum banyak dikenal. Penemunya adalah Sir Thomas Stamford Raffles (1781-1826), Letnan Gubernur Jenderal pemerintah kolonial Inggris yang berkuasa di Negara Indonesia. Raffles bersama-sama dengan Dr.Horsfield seorang ahli Ilmu Alam mengadakan kunjungan ke Candi Panataran, dan hasil kunjunganya dibukukan dalam buku yang berjudul “History of Java” yang terbit dalam dua jilid. Jejak Raffles ini di kemudian hari diikuti oleh para peneliti lain yaitu : J.Crawfurd seorang asisten residen di Yogyakarta, selanjutnya Van Meeteren Brouwer (1828), Junghun (1884), Jonathan Rigg (1848) dan N.W. Hoepermans yang pada tahun 1886 mengadakan inventarisasi di komplek percandian Panataran.
Komplek Candi Penataran
2. Lokasi candi Penataran
Candi Penataran terletak di desa Penataran, kecamatan Nglegok, kabupaten Blitar, Jawa Timur, Indonesia. Koordinat GPS : 8° 00’59.06 S 112° 12’34.90″. Lokasinya yang terletak di kaki gunung Kelud, menjadikan area Candi Penataran berhawa sejuk.
3. Keunikan candi Penataran
Candi Penataran adalah kompleks percandian terbesar dan paling terawat di provinsi Jawa Timur, Indonesia. Candi ini merupakan candi yang kaya dengan berbagai macam corak relief, arca, dan struktur bangunan yang bergaya Hindu. Adanya pahatan Kala (raksasa menyeringai), arca Ganesha (dewa ilmu pengetahuan dalam mitologi Hindu), arca Dwarapala (patung raksasa penjaga pintu gerbang), dan juga relief Ramayana adalah bukti tidak terbantahkan bahwa Candi Penataran adalah candi Hindu.
Prasasti Palah yang terdapat di area Candi Penataran mengabarkan bahwa candi ini mulai dibangun sekitar tahun 1194, pada masa pemerintahan raja Syrenggra yang memerintah kerajaan Kadiri, dan selesai pada masa kerajaan Majapahit. Dengan demikian candi ini melewati masa tiga kerajaan besar Nusantara yaitu Kadiri, Singosari, dan Majapahit. Candi Penataran memegang peranan cukup penting bagi kerajaan-kerajaan tersebut, yaitu sebagai tempat pengangkatan para raja dan tempat untuk upacara pemujaan terhadap Sang Pencipta.
Berbagai kajian oleh para sejarawan terhadap teks-teks kuno, kitab Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca, misalnya, dijelaskan bahwa Candi Penataran sangat dihormati oleh para raja dan petinggi kerajaan besar di Jawa Timur. Candi Penataran pernah menyimpan abu dari raja Rajasa (Ken Arok) pendiri kerajaan Singasari, dan juga abu dari raja Kertarajasa Jayawardhana (Raden Wijaya) pendiri kerajaan Majapahit. Bahkan konon, menurut legenda rakyat setempat, sumpah sakral Mahapatih Gajah Mada untuk menyatukan seluruh Nusantara dalam kekuasaan Majapahit, yang dikenal dengan nama “Sumpah Palapa”, diucapkan di Candi Penataran.
4. Misteri relief di candi Penataran
Keunikan arsitektur bangunan candi yang ada di Nusanatara, khususnya di pulau Jawa adalah bukti akan kehebatan nenek moyang bangsa Nusantara. Sistem pertanian yang canggih telah ada sejak dahulu kala. Belum lagi ditinjau dari kekayaan hasil tambangnya. Karya agung semacam candi lengkap dengan arca dan reliefnya hanya dapat dihasilkan oleh bangsa dengan kebudayaan yang tinggi. Dan bangsa dengan kebudayaan tinggi sangat mungkin memiliki kekuatan militer yang unggul.
Mari kita perhatikan relief yang terdapat di Candi Penataran ini. Ada sebuah pertempuran antara pasukan yang bisa dianggap berasal dari bangsa Nusantara, dan yang satu lagi adalah pasukan yang berdandan mirip dengan bangsa Amerika, seperti halnya bangsa-bangsa Aztec dan Maya.

To call this perennial is to say that such an insight reappears in diverse times and places, not limited to any particular culture, class, or community. In more formal words, this philosophy has been described as
""“the metaphysic that recognizes a divine Reality behind the world of things and lives and minds; the psychology that finds in [one] something identical with divine Reality and the ethic that places [one’s] final end in the knowledge of the Immanent and Transcendent Ground of all things.”
In other words, the term philosophia perennis is intended to describe a philosophy that has been formulated by those who have experienced direct communion with God or the Ultimate. However brief the experience, it transforms the thinking mind of the experiencer, so that they are never the same again. Such revelatory experience, captured however dimly in symbols supplied by human language or by whatever artistic expression, however often repeated through the ages by people of all races, genders, cultures and religious beliefs, open onto the Perennial Philosophy.
More than half a century ago, Aldous Huxley gave this title to an anthology that he edited. In the type of experience central to it, whether called archaic or primordial or mystical, the veil of materiality is rent and mistaken certainties are dispelled.
For the reader, Huxley’s anthology may validate and verify that moment in which self-knowledge moves one beyond the felt limitations of “a foul stinking lump of himself,” as the classical British text of spiritual instruction, The Cloud of Unknowing, described it. Are such texts of spiritual instruction and the experiences of traditional mystics still of value today? Perennial Philosophy responds with an emphatic Yes!
One way of expressing the central insight of the Perennial Philosophy is with the phrase That Thou Art, taken from the Sanskrit of the ancient Upanishads. The phrase teaches that the immanent eternal self is realized to be one with the Absolute Principle of all existence, and that the true destiny of human beings is to discover this fact for themselves, to find out Who and What they really are. Among the other vivid expressions of this insight are these:
BYAZID OF BISTUM: “I went from God to God, until they cried from me in me, “O Thou I!”
ST. CATHERINE OF GENOA: “My Me is God, nor do I recognize any other except my God Himself.”
YUNG-CHIA-TA-SHIH: “The inner Light is beyond praise and blame; like space, it knows no boundaries, yet it is even here, within us, ever retaining its serenity and fullness. It is only when you hunt for it that you lose it. You cannot take hold of it, but equally, you cannot get rid of it.”
MEISTER ECKHART: “The more God is in all things, the more He is outside them; the more He is within, the more without. Only the transcendent, the complete other, can be immanent without being changed by the becoming of that in which it dwells.”
And what is the That which the Thou can discover itself to be?
RUYSBROECK: “In the Reality unitively known by the mystic …we can speak no more of any creature but only of one Being… There were we all one before our creation, for this is our super-essence.”
ST. BERNARD: “Who is God? I can think of no better answer than He who is. Nothing is more appropriate to the eternity which God is. If you call God good, or great, or blessed or wise, or anything else of this sort, it is included in these words, namely, He is.”
How can one attain inner certainty of That?
Perennial Philosophy offers a seemingly paradoxical answer. The obstacle to unitive knowledge of That is obsessive consciousness of being a separate self. Attachment to I, me, or mine excludes unitive knowledge of God.
WILLIAM LAW: “Men are not in hell because God is angry with them . . . they stand in the state of division and separation which by their own motion, they have made for themselves.
ST. JOHN OF THE CROSS: “The soul that is attached to anything, however much good there may be in it, will not arrive at the liberty of divine union . . . held by the bonds of human affections, however slight they may be, we cannot, while they last, make our way to God.”
ALDOUS HUXLEY: “We pass from time to eternity when identified with the spirit and pass again from eternity to time when we choose to identify with the body.”
What help is available?
PHILO OF ALEXANDRIA: “They are on the way to truth who apprehend God by means of the divine, Light by the Light.”
When is it available? Consider the following affirmations:
JOEL GOLDSMITH: “I am in union with the divine Intelligence of the past, the present and the future. No spiritual secret is hidden from me . . . There is this transcendental Being within me which I am and to which I have access forever. . . . That infinite divine Consciousness of God, the Consciousness of the past, and the present and the future, is my consciousness at this moment.”
ALDOUS HUXLEY: “We are on a return sweep towards a point corresponding to our starting place in animality, but incommensurably above it. Once more life is lived in the moment. The life now of a being in whom love has cast out fear, vision has taken the place of earthly hope, selflessness has put a stop to the positive egotism of complacent reminiscence and the negative egotism of remorse.
“The present moment is the only aperture through which the soul can pass out of time into eternity, through which grace can pass out of eternity into the soul, and through which love can pass from one soul in time to another soul in time.
" data-blogger-escaped-data-image-meta="[]" data-blogger-escaped-data-image-title="Perennial Philosophy" data-blogger-escaped-data-large-file="" data-blogger-escaped-data-medium-file="" data-blogger-escaped-data-orig-file="" data-blogger-escaped-data-orig-size="" data-blogger-escaped-data-permalink="https://ahmadsamantho.wordpress.com/?p=4331" data-blogger-escaped-originalh="225" data-blogger-escaped-originalw="300" data-blogger-escaped-scale="1.5" data-blogger-escaped-src-orig="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/relief-di-candi-penataran-2.jpg?w=300&h=225" data-blogger-escaped-style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" height="225" src="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/relief-di-candi-penataran-2.jpg?w=450&h=338" style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" title="relief di candi penataran 2" width="300">
Tidak percaya? Baiklah. Sekarang coba kita perbandingkan busana pasukan yang mirip orang Amerika tersebut dengan gaya berbusana orang-orang suku Aztec dan Maya yang berasal dari benua Amerika.

[caption id="attachment_4329" align="alignleft" width="300" caption="Lukisan Hermes Trimegistus (Nabi Idris AS)"]""[/caption]
To call this perennial is to say that such an insight reappears in diverse times and places, not limited to any particular culture, class, or community. In more formal words, this philosophy has been described as “the metaphysic that recognizes a divine Reality behind the world of things and lives and minds; the psychology that finds in [one] something identical with divine Reality and the ethic that places [one’s] final end in the knowledge of the Immanent and Transcendent Ground of all things.”

""In other words, the term philosophia perennis is intended to describe a philosophy that has been formulated by those who have experienced direct communion with God or the Ultimate. However brief the experience, it transforms the thinking mind of the experiencer, so that they are never the same again. Such revelatory experience, captured however dimly in symbols supplied by human language or by whatever artistic expression, however often repeated through the ages by people of all races, genders, cultures and religious beliefs, open onto the Perennial Philosophy.
More than half a century ago, Aldous Huxley gave this title to an anthology that he edited. In the type of experience central to it, whether called archaic or primordial or mystical, the veil of materiality is rent and mistaken certainties are dispelled.
[caption id="" align="alignleft" width="158" caption="Aldous Huxley"]""[/caption]
For the reader, Huxley’s anthology may validate and verify that moment in which self-knowledge moves one beyond the felt limitations of “a foul stinking lump of himself,” as the classical British text of spiritual instruction, The Cloud of Unknowing, described it. Are such texts of spiritual instruction and the experiences of traditional mystics still of value today? Perennial Philosophy responds with an emphatic Yes!
One way of expressing the central insight of the Perennial Philosophy is with the phrase That Thou Art, taken from the Sanskrit of the ancient Upanishads. The phrase teaches that the immanent eternal self is realized to be one with the Absolute Principle of all existence, and that the true destiny of human beings is to discover this fact for themselves, to find out Who and What they really are. Among the other vivid expressions of this insight are these:
BYAZID OF BISTUM: “I went from God to God, until they cried from me in me, “O Thou I!”
ST. CATHERINE OF GENOA: “My Me is God, nor do I recognize any other except my God Himself.”
YUNG-CHIA-TA-SHIH: “The inner Light is beyond praise and blame; like space, it knows no boundaries, yet it is even here, within us, ever retaining its serenity and fullness. It is only when you hunt for it that you lose it. You cannot take hold of it, but equally, you cannot get rid of it.”
MEISTER ECKHART: “The more God is in all things, the more He is outside them; the more He is within, the more without. Only the transcendent, the complete other, can be immanent without being changed by the becoming of that in which it dwells.”
And what is the That which the Thou can discover itself to be?
RUYSBROECK: “In the Reality unitively known by the mystic …we can speak no more of any creature but only of one Being… There were we all one before our creation, for this is our super-essence.”
ST. BERNARD: “Who is God? I can think of no better answer than He who is. Nothing is more appropriate to the eternity which God is. If you call God good, or great, or blessed or wise, or anything else of this sort, it is included in these words, namely, He is.”
How can one attain inner certainty of That?
Perennial Philosophy offers a seemingly paradoxical answer. The obstacle to unitive knowledge of That is obsessive consciousness of being a separate self. Attachment to I, me, or mine excludes unitive knowledge of God.
WILLIAM LAW: “Men are not in hell because God is angry with them . . . they stand in the state of division and separation which by their own motion, they have made for themselves.
ST. JOHN OF THE CROSS: “The soul that is attached to anything, however much good there may be in it, will not arrive at the liberty of divine union . . . held by the bonds of human affections, however slight they may be, we cannot, while they last, make our way to God.”
ALDOUS HUXLEY: “We pass from time to eternity when identified with the spirit and pass again from eternity to time when we choose to identify with the body.”
What help is available?
PHILO OF ALEXANDRIA: “They are on the way to truth who apprehend God by means of the divine, Light by the Light.”
When is it available? Consider the following affirmations:
JOEL GOLDSMITH: “I am in union with the divine Intelligence of the past, the present and the future. No spiritual secret is hidden from me . . . There is this transcendental Being within me which I am and to which I have access forever. . . . That infinite divine Consciousness of God, the Consciousness of the past, and the present and the future, is my consciousness at this moment.”
ALDOUS HUXLEY: “We are on a return sweep towards a point corresponding to our starting place in animality, but incommensurably above it. Once more life is lived in the moment. The life now of a being in whom love has cast out fear, vision has taken the place of earthly hope, selflessness has put a stop to the positive egotism of complacent reminiscence and the negative egotism of remorse.
“The present moment is the only aperture through which the soul can pass out of time into eternity, through which grace can pass out of eternity into the soul, and through which love can pass from one soul in time to another soul in time.
" data-blogger-escaped-data-image-meta="[]" data-blogger-escaped-data-image-title="Perennial Philosophy" data-blogger-escaped-data-large-file="" data-blogger-escaped-data-medium-file="" data-blogger-escaped-data-orig-file="" data-blogger-escaped-data-orig-size="" data-blogger-escaped-data-permalink="https://ahmadsamantho.wordpress.com/?p=4332" data-blogger-escaped-originalh="130" data-blogger-escaped-originalw="300" data-blogger-escaped-scale="1.5" data-blogger-escaped-src-orig="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/relief-di-candi-penataran-1.jpg?w=300&h=130" data-blogger-escaped-style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" height="130" src="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/relief-di-candi-penataran-1.jpg?w=450&h=195" style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" title="relief di candi penataran 1" width="300">
Apakah kemiripan itu hanyalah kebetulan? Baiklah. Mari kita tengok detail dari relief ini. Silakan perhatikan baik-baik pahatan yang dilingkar merah.



[caption id="attachment_4329" align="alignleft" width="300" caption="Lukisan Hermes Trimegistus (Nabi Idris AS)"]""[/caption]

To call this perennial is to say that such an insight reappears in diverse times and places, not limited to any particular culture, class, or community. In more formal words, this philosophy has been described as “the metaphysic that recognizes a divine Reality behind the world of things and lives and minds; the psychology that finds in [one] something identical with divine Reality and the ethic that places [one’s] final end in the knowledge of the Immanent and Transcendent Ground of all things.”

""In other words, the term philosophia perennis is intended to describe a philosophy that has been formulated by those who have experienced direct communion with God or the Ultimate. However brief the experience, it transforms the thinking mind of the experiencer, so that they are never the same again. Such revelatory experience, captured however dimly in symbols supplied by human language or by whatever artistic expression, however often repeated through the ages by people of all races, genders, cultures and religious beliefs, open onto the Perennial Philosophy.
More than half a century ago, Aldous Huxley gave this title to an anthology that he edited. In the type of experience central to it, whether called archaic or primordial or mystical, the veil of materiality is rent and mistaken certainties are dispelled.

[caption id="" align="alignleft" width="158" caption="Aldous Huxley"]""[/caption]

For the reader, Huxley’s anthology may validate and verify that moment in which self-knowledge moves one beyond the felt limitations of “a foul stinking lump of himself,” as the classical British text of spiritual instruction, The Cloud of Unknowing, described it. Are such texts of spiritual instruction and the experiences of traditional mystics still of value today? Perennial Philosophy responds with an emphatic Yes!
One way of expressing the central insight of the Perennial Philosophy is with the phrase That Thou Art, taken from the Sanskrit of the ancient Upanishads. The phrase teaches that the immanent eternal self is realized to be one with the Absolute Principle of all existence, and that the true destiny of human beings is to discover this fact for themselves, to find out Who and What they really are. Among the other vivid expressions of this insight are these:
BYAZID OF BISTUM: “I went from God to God, until they cried from me in me, “O Thou I!”
ST. CATHERINE OF GENOA: “My Me is God, nor do I recognize any other except my God Himself.”
YUNG-CHIA-TA-SHIH: “The inner Light is beyond praise and blame; like space, it knows no boundaries, yet it is even here, within us, ever retaining its serenity and fullness. It is only when you hunt for it that you lose it. You cannot take hold of it, but equally, you cannot get rid of it.”
MEISTER ECKHART: “The more God is in all things, the more He is outside them; the more He is within, the more without. Only the transcendent, the complete other, can be immanent without being changed by the becoming of that in which it dwells.”
And what is the That which the Thou can discover itself to be?
RUYSBROECK: “In the Reality unitively known by the mystic …we can speak no more of any creature but only of one Being… There were we all one before our creation, for this is our super-essence.”
ST. BERNARD: “Who is God? I can think of no better answer than He who is. Nothing is more appropriate to the eternity which God is. If you call God good, or great, or blessed or wise, or anything else of this sort, it is included in these words, namely, He is.”
How can one attain inner certainty of That?
Perennial Philosophy offers a seemingly paradoxical answer. The obstacle to unitive knowledge of That is obsessive consciousness of being a separate self. Attachment to I, me, or mine excludes unitive knowledge of God.
WILLIAM LAW: “Men are not in hell because God is angry with them . . . they stand in the state of division and separation which by their own motion, they have made for themselves.
ST. JOHN OF THE CROSS: “The soul that is attached to anything, however much good there may be in it, will not arrive at the liberty of divine union . . . held by the bonds of human affections, however slight they may be, we cannot, while they last, make our way to God.”
ALDOUS HUXLEY: “We pass from time to eternity when identified with the spirit and pass again from eternity to time when we choose to identify with the body.”
What help is available?
PHILO OF ALEXANDRIA: “They are on the way to truth who apprehend God by means of the divine, Light by the Light.”
When is it available? Consider the following affirmations:
JOEL GOLDSMITH: “I am in union with the divine Intelligence of the past, the present and the future. No spiritual secret is hidden from me . . . There is this transcendental Being within me which I am and to which I have access forever. . . . That infinite divine Consciousness of God, the Consciousness of the past, and the present and the future, is my consciousness at this moment.”
ALDOUS HUXLEY: “We are on a return sweep towards a point corresponding to our starting place in animality, but incommensurably above it. Once more life is lived in the moment. The life now of a being in whom love has cast out fear, vision has taken the place of earthly hope, selflessness has put a stop to the positive egotism of complacent reminiscence and the negative egotism of remorse.
“The present moment is the only aperture through which the soul can pass out of time into eternity, through which grace can pass out of eternity into the soul, and through which love can pass from one soul in time to another soul in time.
" data-blogger-escaped-data-image-meta="[]" data-blogger-escaped-data-image-title="Perennial Philosophy" data-blogger-escaped-data-large-file="" data-blogger-escaped-data-medium-file="" data-blogger-escaped-data-orig-file="" data-blogger-escaped-data-orig-size="" data-blogger-escaped-data-permalink="https://ahmadsamantho.wordpress.com/?p=4333" data-blogger-escaped-originalh="197" data-blogger-escaped-originalw="300" data-blogger-escaped-scale="1.5" data-blogger-escaped-src-orig="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/relief-pohon-kaktus-di-candi-penataran.jpg?w=300&h=197" data-blogger-escaped-style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" height="198" src="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/relief-pohon-kaktus-di-candi-penataran.jpg?w=450&h=297" style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" title="relief pohon kaktus di candi penataran" width="300">
Menyerupai apakah pahatan tersebut? Ya. Menyerupai tanaman kaktus. Bandingkan dengan foto tanaman kaktus di sebelahnya. Mirip bukan? Masalahnya, berasal dari manakah tanaman kaktus? Apakah di wilayah Nusantara pada waktu itu telah ada tanaman kaktus? Jawabannya tidak! Tanaman kaktus hanya ada di benua Amerika!
Masih berkilah bahwa itu hanyalah kebetulan yang dimirip-miripkan? Mari kita lihat kembali foto-foto di bawah!
Lihat foto relief wajah dengan lidah menjulur yang ada relief Candi Penataran! Bandingkan dengan arca kepala dengan lidah menjulur yang ada di  Tlaltechutli, Mexico City! Adakah kemiripan di sana? Bandingkan juga dengan topeng Rangda ala Bali.
Masih kurang yakin? Nah, foto-foto di bawah ini bisa membungkam ketidakyakinan orang-orang skeptis. Perhatikan kedua foto di bawah ini.
Foto di sebelah kiri adalah arca Dwarapala (raksasa penjaga pintu gerbang) yang berada di Candi Penataran. Akan tetapi terletak di manakah “arca Dwarapala” pada foto sebelah kanan? Jawabannya terletak di kompleks kuil Chichen Itza peninggalan suku Maya, yang saat ini terletak di semenanjung Yucatan, Amerika Tengah. Bukankah foto ini menunjukkan kemiripan yang luar biasa?
Bukti lainnya ada di foto-foto berikut.
Foto pertama adalah “piramida” yang terdapat di Candi Sukuh yang terletak di desa Karanganyar, kabupaten Surakarta, Jawa Tengah. Foto disampingnya adalah piramida suku Aztec yang terdapat di Tenochtitlan, Mexico. Ini menunjukkan adanya koneksi yang luar biasa antar kedua peradaban tersebut.
Selain itu masih banyak relief lain di Candi Penataran yang menggambarkan orang-orang yang “diduga” berasal dari peradaban bangsa lain.
5. Penelurusan lebih lanjut di candi Penataran
Sangat banyak relief yang menunjukkan bangsa asing yang pernah kita kenal. Sosok-sosok tersebut selalu digambarkan sebagai sosok yang seolah-olah takluk kepada yang berkuasa di Candi Penataran.Sayang sebagian relief sudah rusak, namun untungnya beberapa bagian masih dapat dikenali.
Beberapa relief di Candi Penataran yang menunjukkan bangsa asing yang pernah kita kenali : Pada relief ini terlihat ada tiga orang di belakang orang yang sedang duduk, dan di depannya ada dua orang yang sedang menyembah. Kalau diperhatikan dengan jeli, orang yang paling kiri seperti orang yang berpakaian dari suku bangsa Han [China], lalu di depannya mirip orang yang tergambar di Angkor Vat [Bangsa Campa], dan di depannya lagi mirip orang dari Maya, Inca atau Copan yang berasal dari Amerika Latin. Sedangkan salah satu yang berjongkok di depan [paling kanan] terlihat orang yang bertutup kepala seperti orang Yahudi. Dari gambar ini bisa diperkirakan yang disembah adalah yang duduk dan tiga orang yang berdiri di belakang yang duduk adalah pengawalnya.
Dari gambar di bawah, terlihat ada dua relief yang seperti menggunakan peci. Pakaian seperti ini bisa kita temui di daerah Turki, India sampai dengan Pakistan.



[caption id="attachment_4329" align="alignleft" width="300" caption="Lukisan Hermes Trimegistus (Nabi Idris AS)"]""[/caption]

To call this perennial is to say that such an insight reappears in diverse times and places, not limited to any particular culture, class, or community. In more formal words, this philosophy has been described as “the metaphysic that recognizes a divine Reality behind the world of things and lives and minds; the psychology that finds in [one] something identical with divine Reality and the ethic that places [one’s] final end in the knowledge of the Immanent and Transcendent Ground of all things.”

""In other words, the term philosophia perennis is intended to describe a philosophy that has been formulated by those who have experienced direct communion with God or the Ultimate. However brief the experience, it transforms the thinking mind of the experiencer, so that they are never the same again. Such revelatory experience, captured however dimly in symbols supplied by human language or by whatever artistic expression, however often repeated through the ages by people of all races, genders, cultures and religious beliefs, open onto the Perennial Philosophy.
More than half a century ago, Aldous Huxley gave this title to an anthology that he edited. In the type of experience central to it, whether called archaic or primordial or mystical, the veil of materiality is rent and mistaken certainties are dispelled.

[caption id="" align="alignleft" width="158" caption="Aldous Huxley"]""[/caption]

For the reader, Huxley’s anthology may validate and verify that moment in which self-knowledge moves one beyond the felt limitations of “a foul stinking lump of himself,” as the classical British text of spiritual instruction, The Cloud of Unknowing, described it. Are such texts of spiritual instruction and the experiences of traditional mystics still of value today? Perennial Philosophy responds with an emphatic Yes!
One way of expressing the central insight of the Perennial Philosophy is with the phrase That Thou Art, taken from the Sanskrit of the ancient Upanishads. The phrase teaches that the immanent eternal self is realized to be one with the Absolute Principle of all existence, and that the true destiny of human beings is to discover this fact for themselves, to find out Who and What they really are. Among the other vivid expressions of this insight are these:
BYAZID OF BISTUM: “I went from God to God, until they cried from me in me, “O Thou I!”
ST. CATHERINE OF GENOA: “My Me is God, nor do I recognize any other except my God Himself.”
YUNG-CHIA-TA-SHIH: “The inner Light is beyond praise and blame; like space, it knows no boundaries, yet it is even here, within us, ever retaining its serenity and fullness. It is only when you hunt for it that you lose it. You cannot take hold of it, but equally, you cannot get rid of it.”
MEISTER ECKHART: “The more God is in all things, the more He is outside them; the more He is within, the more without. Only the transcendent, the complete other, can be immanent without being changed by the becoming of that in which it dwells.”
And what is the That which the Thou can discover itself to be?
RUYSBROECK: “In the Reality unitively known by the mystic …we can speak no more of any creature but only of one Being… There were we all one before our creation, for this is our super-essence.”
ST. BERNARD: “Who is God? I can think of no better answer than He who is. Nothing is more appropriate to the eternity which God is. If you call God good, or great, or blessed or wise, or anything else of this sort, it is included in these words, namely, He is.”
How can one attain inner certainty of That?
Perennial Philosophy offers a seemingly paradoxical answer. The obstacle to unitive knowledge of That is obsessive consciousness of being a separate self. Attachment to I, me, or mine excludes unitive knowledge of God.
WILLIAM LAW: “Men are not in hell because God is angry with them . . . they stand in the state of division and separation which by their own motion, they have made for themselves.
ST. JOHN OF THE CROSS: “The soul that is attached to anything, however much good there may be in it, will not arrive at the liberty of divine union . . . held by the bonds of human affections, however slight they may be, we cannot, while they last, make our way to God.”
ALDOUS HUXLEY: “We pass from time to eternity when identified with the spirit and pass again from eternity to time when we choose to identify with the body.”
What help is available?
PHILO OF ALEXANDRIA: “They are on the way to truth who apprehend God by means of the divine, Light by the Light.”
When is it available? Consider the following affirmations:
JOEL GOLDSMITH: “I am in union with the divine Intelligence of the past, the present and the future. No spiritual secret is hidden from me . . . There is this transcendental Being within me which I am and to which I have access forever. . . . That infinite divine Consciousness of God, the Consciousness of the past, and the present and the future, is my consciousness at this moment.”
ALDOUS HUXLEY: “We are on a return sweep towards a point corresponding to our starting place in animality, but incommensurably above it. Once more life is lived in the moment. The life now of a being in whom love has cast out fear, vision has taken the place of earthly hope, selflessness has put a stop to the positive egotism of complacent reminiscence and the negative egotism of remorse.
“The present moment is the only aperture through which the soul can pass out of time into eternity, through which grace can pass out of eternity into the soul, and through which love can pass from one soul in time to another soul in time.
" data-blogger-escaped-data-image-meta="[]" data-blogger-escaped-data-image-title="Perennial Philosophy" data-blogger-escaped-data-large-file="" data-blogger-escaped-data-medium-file="" data-blogger-escaped-data-orig-file="" data-blogger-escaped-data-orig-size="" data-blogger-escaped-data-permalink="https://ahmadsamantho.wordpress.com/?p=4341" data-blogger-escaped-originalh="160" data-blogger-escaped-originalw="300" data-blogger-escaped-scale="1.5" data-blogger-escaped-src-orig="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/patung-bangsa-turki-dan-persia.jpg?w=300&h=160" data-blogger-escaped-style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" height="161" src="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/patung-bangsa-turki-dan-persia.jpg?w=450&h=242" style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" title="patung bangsa turki dan persia" width="300">


[caption id="attachment_4329" align="alignleft" width="300" caption="Lukisan Hermes Trimegistus (Nabi Idris AS)"]""[/caption]

To call this perennial is to say that such an insight reappears in diverse times and places, not limited to any particular culture, class, or community. In more formal words, this philosophy has been described as “the metaphysic that recognizes a divine Reality behind the world of things and lives and minds; the psychology that finds in [one] something identical with divine Reality and the ethic that places [one’s] final end in the knowledge of the Immanent and Transcendent Ground of all things.”

""In other words, the term philosophia perennis is intended to describe a philosophy that has been formulated by those who have experienced direct communion with God or the Ultimate. However brief the experience, it transforms the thinking mind of the experiencer, so that they are never the same again. Such revelatory experience, captured however dimly in symbols supplied by human language or by whatever artistic expression, however often repeated through the ages by people of all races, genders, cultures and religious beliefs, open onto the Perennial Philosophy.
More than half a century ago, Aldous Huxley gave this title to an anthology that he edited. In the type of experience central to it, whether called archaic or primordial or mystical, the veil of materiality is rent and mistaken certainties are dispelled.

[caption id="" align="alignleft" width="158" caption="Aldous Huxley"]""[/caption]

For the reader, Huxley’s anthology may validate and verify that moment in which self-knowledge moves one beyond the felt limitations of “a foul stinking lump of himself,” as the classical British text of spiritual instruction, The Cloud of Unknowing, described it. Are such texts of spiritual instruction and the experiences of traditional mystics still of value today? Perennial Philosophy responds with an emphatic Yes!
One way of expressing the central insight of the Perennial Philosophy is with the phrase That Thou Art, taken from the Sanskrit of the ancient Upanishads. The phrase teaches that the immanent eternal self is realized to be one with the Absolute Principle of all existence, and that the true destiny of human beings is to discover this fact for themselves, to find out Who and What they really are. Among the other vivid expressions of this insight are these:
BYAZID OF BISTUM: “I went from God to God, until they cried from me in me, “O Thou I!”
ST. CATHERINE OF GENOA: “My Me is God, nor do I recognize any other except my God Himself.”
YUNG-CHIA-TA-SHIH: “The inner Light is beyond praise and blame; like space, it knows no boundaries, yet it is even here, within us, ever retaining its serenity and fullness. It is only when you hunt for it that you lose it. You cannot take hold of it, but equally, you cannot get rid of it.”
MEISTER ECKHART: “The more God is in all things, the more He is outside them; the more He is within, the more without. Only the transcendent, the complete other, can be immanent without being changed by the becoming of that in which it dwells.”
And what is the That which the Thou can discover itself to be?
RUYSBROECK: “In the Reality unitively known by the mystic …we can speak no more of any creature but only of one Being… There were we all one before our creation, for this is our super-essence.”
ST. BERNARD: “Who is God? I can think of no better answer than He who is. Nothing is more appropriate to the eternity which God is. If you call God good, or great, or blessed or wise, or anything else of this sort, it is included in these words, namely, He is.”
How can one attain inner certainty of That?
Perennial Philosophy offers a seemingly paradoxical answer. The obstacle to unitive knowledge of That is obsessive consciousness of being a separate self. Attachment to I, me, or mine excludes unitive knowledge of God.
WILLIAM LAW: “Men are not in hell because God is angry with them . . . they stand in the state of division and separation which by their own motion, they have made for themselves.
ST. JOHN OF THE CROSS: “The soul that is attached to anything, however much good there may be in it, will not arrive at the liberty of divine union . . . held by the bonds of human affections, however slight they may be, we cannot, while they last, make our way to God.”
ALDOUS HUXLEY: “We pass from time to eternity when identified with the spirit and pass again from eternity to time when we choose to identify with the body.”
What help is available?
PHILO OF ALEXANDRIA: “They are on the way to truth who apprehend God by means of the divine, Light by the Light.”
When is it available? Consider the following affirmations:
JOEL GOLDSMITH: “I am in union with the divine Intelligence of the past, the present and the future. No spiritual secret is hidden from me . . . There is this transcendental Being within me which I am and to which I have access forever. . . . That infinite divine Consciousness of God, the Consciousness of the past, and the present and the future, is my consciousness at this moment.”
ALDOUS HUXLEY: “We are on a return sweep towards a point corresponding to our starting place in animality, but incommensurably above it. Once more life is lived in the moment. The life now of a being in whom love has cast out fear, vision has taken the place of earthly hope, selflessness has put a stop to the positive egotism of complacent reminiscence and the negative egotism of remorse.
“The present moment is the only aperture through which the soul can pass out of time into eternity, through which grace can pass out of eternity into the soul, and through which love can pass from one soul in time to another soul in time.

" data-blogger-escaped-data-image-meta="[]" data-blogger-escaped-data-image-title="Perennial Philosophy" data-blogger-escaped-data-large-file="" data-blogger-escaped-data-medium-file="" data-blogger-escaped-data-orig-file="" data-blogger-escaped-data-orig-size="" data-blogger-escaped-data-permalink="https://ahmadsamantho.wordpress.com/?p=4343" data-blogger-escaped-originalh="151" data-blogger-escaped-originalw="300" data-blogger-escaped-scale="1.5" data-blogger-escaped-src-orig="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/relief-bangsa-sumeria-di-candi-penataran.jpg?w=300&h=151" data-blogger-escaped-style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" height="152" src="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/relief-bangsa-sumeria-di-candi-penataran.jpg?w=450&h=228" style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" title="relief bangsa sumeria di candi penataran" width="300">


[caption id="attachment_4329" align="alignleft" width="300" caption="Lukisan Hermes Trimegistus (Nabi Idris AS)"]""[/caption]

To call this perennial is to say that such an insight reappears in diverse times and places, not limited to any particular culture, class, or community. In more formal words, this philosophy has been described as “the metaphysic that recognizes a divine Reality behind the world of things and lives and minds; the psychology that finds in [one] something identical with divine Reality and the ethic that places [one’s] final end in the knowledge of the Immanent and Transcendent Ground of all things.”

""In other words, the term philosophia perennis is intended to describe a philosophy that has been formulated by those who have experienced direct communion with God or the Ultimate. However brief the experience, it transforms the thinking mind of the experiencer, so that they are never the same again. Such revelatory experience, captured however dimly in symbols supplied by human language or by whatever artistic expression, however often repeated through the ages by people of all races, genders, cultures and religious beliefs, open onto the Perennial Philosophy.
More than half a century ago, Aldous Huxley gave this title to an anthology that he edited. In the type of experience central to it, whether called archaic or primordial or mystical, the veil of materiality is rent and mistaken certainties are dispelled.

[caption id="" align="alignleft" width="158" caption="Aldous Huxley"]""[/caption]

For the reader, Huxley’s anthology may validate and verify that moment in which self-knowledge moves one beyond the felt limitations of “a foul stinking lump of himself,” as the classical British text of spiritual instruction, The Cloud of Unknowing, described it. Are such texts of spiritual instruction and the experiences of traditional mystics still of value today? Perennial Philosophy responds with an emphatic Yes!
One way of expressing the central insight of the Perennial Philosophy is with the phrase That Thou Art, taken from the Sanskrit of the ancient Upanishads. The phrase teaches that the immanent eternal self is realized to be one with the Absolute Principle of all existence, and that the true destiny of human beings is to discover this fact for themselves, to find out Who and What they really are. Among the other vivid expressions of this insight are these:
BYAZID OF BISTUM: “I went from God to God, until they cried from me in me, “O Thou I!”
ST. CATHERINE OF GENOA: “My Me is God, nor do I recognize any other except my God Himself.”
YUNG-CHIA-TA-SHIH: “The inner Light is beyond praise and blame; like space, it knows no boundaries, yet it is even here, within us, ever retaining its serenity and fullness. It is only when you hunt for it that you lose it. You cannot take hold of it, but equally, you cannot get rid of it.”
MEISTER ECKHART: “The more God is in all things, the more He is outside them; the more He is within, the more without. Only the transcendent, the complete other, can be immanent without being changed by the becoming of that in which it dwells.”
And what is the That which the Thou can discover itself to be?
RUYSBROECK: “In the Reality unitively known by the mystic …we can speak no more of any creature but only of one Being… There were we all one before our creation, for this is our super-essence.”
ST. BERNARD: “Who is God? I can think of no better answer than He who is. Nothing is more appropriate to the eternity which God is. If you call God good, or great, or blessed or wise, or anything else of this sort, it is included in these words, namely, He is.”
How can one attain inner certainty of That?
Perennial Philosophy offers a seemingly paradoxical answer. The obstacle to unitive knowledge of That is obsessive consciousness of being a separate self. Attachment to I, me, or mine excludes unitive knowledge of God.
WILLIAM LAW: “Men are not in hell because God is angry with them . . . they stand in the state of division and separation which by their own motion, they have made for themselves.
ST. JOHN OF THE CROSS: “The soul that is attached to anything, however much good there may be in it, will not arrive at the liberty of divine union . . . held by the bonds of human affections, however slight they may be, we cannot, while they last, make our way to God.”
ALDOUS HUXLEY: “We pass from time to eternity when identified with the spirit and pass again from eternity to time when we choose to identify with the body.”
What help is available?
PHILO OF ALEXANDRIA: “They are on the way to truth who apprehend God by means of the divine, Light by the Light.”
When is it available? Consider the following affirmations:
JOEL GOLDSMITH: “I am in union with the divine Intelligence of the past, the present and the future. No spiritual secret is hidden from me . . . There is this transcendental Being within me which I am and to which I have access forever. . . . That infinite divine Consciousness of God, the Consciousness of the past, and the present and the future, is my consciousness at this moment.”
ALDOUS HUXLEY: “We are on a return sweep towards a point corresponding to our starting place in animality, but incommensurably above it. Once more life is lived in the moment. The life now of a being in whom love has cast out fear, vision has taken the place of earthly hope, selflessness has put a stop to the positive egotism of complacent reminiscence and the negative egotism of remorse.
“The present moment is the only aperture through which the soul can pass out of time into eternity, through which grace can pass out of eternity into the soul, and through which love can pass from one soul in time to another soul in time.

" data-blogger-escaped-data-image-meta="[]" data-blogger-escaped-data-image-title="Perennial Philosophy" data-blogger-escaped-data-large-file="" data-blogger-escaped-data-medium-file="" data-blogger-escaped-data-orig-file="" data-blogger-escaped-data-orig-size="" data-blogger-escaped-data-permalink="https://ahmadsamantho.wordpress.com/?p=4342" data-blogger-escaped-originalh="174" data-blogger-escaped-originalw="300" data-blogger-escaped-scale="1.5" data-blogger-escaped-src-orig="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/relief-bangsa-afrika-di-candi-penataran.jpg?w=300&h=174" data-blogger-escaped-style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" height="174" src="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/relief-bangsa-afrika-di-candi-penataran.jpg?w=450&h=261" style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" title="relief bangsa afrika di candi penataran" width="300">
Pada relief di bawah terlihat ada tiga orang yang bukan berpakaian ala kerajaan kita, posis mereka menyembah dan duduk di bawah, sepintas dari cara berpakaiannya mirip orang Mesir.
Siapakah mereka dan sedang apa disana? Setelah dicermati dengan lebih jeli, relief tersebut diperkirakan adalah gambaran dari tiga orang wanita. Perkiraan tentang mereka adalah karena wanita dalam relief tersebut tidak berjanggut.Kalau dianggap wanita Jepang ataupun Korea ada ketidaksamaan yang terletak di model tutup rambut dan apabila dikatakan mirip sorban dari India, maka biasanya yang menggunakan adalah laki-laki yang selalu digambarkan berjenggot.

• Untuk mencapai hal tersebut diperlukan revitalisasi nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang bersumber dari warisan masa lalu dan perkembangannya di masa kini. Nilai-nilai budaya dan kearifan lokal suatu masyarakat berkembang dari hubungan antara alam, filsafat dan kebudayaan yang dicapai pada suatu periode. Kebudayaan suatu masyarakat sangat erat dengan alam tempat masyarakat tersebut tumbuh berkembang, filsafat yang dianut masyarakat tersebut, dan kebudayaannya yang telah dicapai di masa lalu. Oleh kerana itu, informasi tentang kebudayaan lokal, kondisi alam dan filsafat yang dianut serta budaya di masa lalu perlu disebarluaskan sebagai bahan untuk revitalisasi budaya guna membangun ketahanan budaya;
• Dalam hubungan tersebut diatas, dalam rangka penguatan kebudayaan Nasional, masyarakat Jawa Barat dengan salah satu cirinya adalah kebudayaan Sunda perlu melakukan reinventing maupun revitalisasi budaya dari dua isu penting: “Atlantis” dan “Tarumanagara”. Atlantis yang pertamakali diberitakan oleh Plato (428 SM – 348 SM) sudah dicari orang setidaknya sejak masa Bacon (abad 17 M) hingga Himmler di tahun 1939. Wacana pencarian Atlantis ramai kembali sejak Santos di tahun 2005 dalam bukunya yang berjudul “The Lost Atlantis Finally is Found” berkesimpulan bahwa wilayah yang secara geologi-geografis disebur Sundaland (Indonesia) adalah letak the lost Atlantis itu. Pendapat Santos ini diperkuat oleh Oppenheimer berdasarkan studi gen (DNA). Kenyataan ini di tanah air telah mendorong beberapa diskusi dan upaya menghidupkan kembali wacana Atlantis dengan hipotesis yang kuat bahwa kawasan Indonesia (Sundaland) sebagai lokasi Atlantis. Sundaland secara geologi boleh disebut sebagai “continent” sehingga pencarian Atlantis adalah pencarian “the lost continent”;
• Sementara itu, kerajaan Tarumanagara (358-669 M) selama ini dapat dikatakan terlupakan (the forgotten kingdom) kecuali di kalangan para peneliti dan otoritas pengelolaan peninggalan (Pemerintah dan Pemda terkait). Bagaimana tidak, jika seorang peneliti Perancis sudah melakukan penelitian di Situs Batujaya yang diduga kuat sebagai peninggalan era kerajaan Tarumanagara, kita masih sedikit meneliti dan mengapresiasinya. Padahal, berdasarkan bukti-bukti yang ada, implikasi penemuan Situs Batujaya ini sangat penting bagi perkembangan kepurbakalaan atau masa transisi dari pra-Sejarah ke masa sejarah bangsa Indonesia, Jawa khususnya. Hal ini terkait pula dengan pembangunan jatidiri bangsa. Catatan sejarah Tarumanagara yang ada menunjukkan pembelajaran yang penting, baik untuk reinventing maupun revitalisasi budaya dari capaian salah seorang penguasanya yang termashur, yaitu Raja Purnawarman (395-434 M). Sedikitnya ada 3 area tapa brata (kerja untuk memajukan bangsa atau masyarakat) dari Purnawarman yang perlu diteladani, yaitu: 1) pengelolaan air dalam bentuk pemeliharaan sungai-sungai, pembangunan sarana irigasi, dan sarana transportasi air (pembangunan kanal), 2) pembangunan pertanian, pemukiman, dan pemeliharaan kawasan konservasi yang penting untuk kehidupan, terutama hutan dan kawasan perairan; 3) dan penghormatan kepada para pemuka agama (agama) dan contoh budaya bersyukur (berkurban) setelah mencapai keberhasilan sebagai ciri atau karakter kepemimpinan (leadership) yang penting. Upaya untuk reinventing dan revitalisasi budaya dari masa kerajaan Tarumanagara perlu dilanjutkan dalam rangka pembangunan kembali kejayaan bangsa.
• Kata “Sunda” mulai digunakan oleh raja Purnawarman pada tahun 397 untuk menyebut ibukota Kerajaan Tarumanagara yang didirikannya. Dalam naskah historis penyebutan “Sunda” merujuk pada ibukota Kerajaan Tarumanagara yang bernama Sundapura. Kerajaan Tarumanagara merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara sebagaimana dibuktikan dalam prasasti dan berita naskah kuno terkait. Letak tepat kota Sundapura masih menjadi penelitian para ahli, apakah di Jakarta, Bogor, Bekasi atau Karawang sekarang. Namun demikian, di Karawang terdapat situs percandian Batujaya yang menunjukkan tumbuh kembangnya kebudayaan sejak abad 2 Masehi hingga abad 12 Masehi yang mendukung kehadiran Kerajaan Tarumanagara yang terkenal dengan kemakmurannya.
• Memperhatikan kondisi fisiografi Jawa Barat sangat dimungkinkan sebagai wilayah pilihan tempat pemukiman manusia sejak jaman dulu, sehingga sangat potensial dengan tinggalan budayanya, mulai dari masa prasejarah, Hindu Budha, Islam, kolonial hingga kemerdekaan. Gugusan bagian barat Pulau Jawa (Jawa Barat) dikenal lebih dulu dibandingkan dengan gugusan tengah dan timur Pulau Jawa, sehingga dapat dipahami apabila dalam peta-peta kuno digunakan istilah “Sunda” dalam penyebutan paparan di sekitar Pulau Jawa. Istilah-istilah dalam bidang geografi-geologi yang menggunakan kata “Sunda” diperkenalkan oleh pendatang atau penjelajah Barat dari Eropa;
• Saatnya kita menemukan dan merevitalisasi tinggalan-tinggalan, capaian-capaian, nilai-nilai, atau pesan-pesan dari wacana the lost continent (Atlantis) dan the forgotten kingdom (Tarumanagara). Identifikasi manfaat yang dapat diperoleh dari upaya tersebut memiliki potensi besar untuk menemukan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya tinggi di masa lalu dan mampu bangkit kembali mencapai peradabannya kini dan kedepan.
•Perkembangan perbaruhan manusia memungkinkan terjadinya berbagai perubahan di berbagai tata kehidupannya, yaitu pola kehidupan, peralatan hidup yang digunakan untuk keperluan hidup dan juga lingkungan tempat mereka menetap serta budaya mereka. Hal tersebut juga terjadi pada masyarakat Sunda dan budayanya meskipun yang dikenal sangat dinamis. Salah satunya karena posisi geografis dan fisiografis wilayah Sunda sangat strategis di posisi tengah pergaulan dunia dan derasnya globalisasi teknologi dan informasi. Percepatan Akulturasi budaya Sunda juga didukung oleh tingkat pendidikan masyarakat Sunda yang semakin baik. Dimana akulturasi budaya pada masyarakat Sunda yang memiliki keterbukaan yang tinggi untuk menerima berbagai budaya lain yang datang dan beradaptasi di lingkungan Sunda.
• Berdasarkan hal tersebut diatas, maka Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, pada Oktober 2010 akan menyelenggarakan konferensi internasional tentang alam, filsafat dan budaya dari peradaban Sunda di masa lalu dengan tema “Reinventing Sunda in Strengthening the National Culture and Promoting Cultural Diversity” dan sub tema: “Cultural Revitalization of the Forgotten Kingdom and the Lost Continent” pada tanggal 25-27 Oktober 2010 di Kota Bogor.
Berdasarkan berbagai pertimbangan, keseluruhan kegiatan tersebut diberi judul: “Reinventing Sunda in Strengthening the National Culture and Promoting Cultural Diversity, International Conference on Nature, Philosophy, and Culture of Ancient Sunda Civilization (International Conference on Sundanese Culture).
II. Dasar Kegiatan
1. Undang Undang Dasar 1945 Pasal 32, tentang Pemerintah Memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia;
2. Undang-undang RI Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya;
3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 78 Tahun 2007 tentang Pengesahan Conservation for the Safeguarding of The Intangible Cultural Heritage Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Takbenda.
4. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 42 Tahun 2009/Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan
5. Peraturan perundang-undangan lainnya serta konvensi-konvensi internasional yang relevan III. Maksud dan Tujuan Maksud kegiatan ini adalah pencarian kembali (reinveting) nilai-nilai positif yang berkembang dari hubungan antara alam, lingkungan, filsafat dan kebudayaan lokal masyarakat Sunda masa lalu yang diproyeksikan (revitalisasi) pada masa sekarang guna penguatan dan peningkatan budaya lokal dan nasional untuk berkontribusi pada pengurangan kemiskinan, kemajuan kesejahteraan masyarakat di tingkat lokal, nasional dan global. Adapun tujuan kegiatan ini adalah:
1. Sebagai wadah pertemuan untuk memperoleh pemahaman yang mendalam sehingga menimbulkan kesadaran dan perencana bersama, serta kreativitas didalam menjadikan nilai-nilai positif capaian kerajaan Tarumanagara dan wacana benua Atlantis yang hilang berada di Sundaland untuk pembangunan budaya masyarakat di tingkat lokal, nasional dan global;
2. Merevitalisasi budaya atas capaian budaya kerajaan Tarumanagara dan wacana Atlantis benua yang hilang berada di kawasan Sundaland (Indonesia) melalui serangkaian kegiatan seminar, pameran dan kunjungan lapangan ke Situs Batujaya, Karawang, Jawa Barat.
IV. Bentuk Kegiatan
Bentuk kegiatan konferensi adalah konferensi, pameran dan kunjungan lapangan ke Situs Batujaya Kabupaten Karawang.
V. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Rencana waktu dan kegiatan Reinventing Sunda in Strengthening the National Culture and Promoting Cultural Diversity, International Conference on Nature, Philosophy and Culture of Ancient Sundanese Civilization dilaksanakan pada : Waktu : 25 – 27 Oktober 2010 Tempat : Kota Bogor & Kabupaten Karawang
VI. Topik Materi, Penyaji , dan Moderator
Topik materi, penyaji/pembicara dan moderator dalam konferensi dan kunjungan lapangan (field trip) ke situs Batujaya ini adalah sebagaimana pada tabel dibawah ini.
NO         TEMA, MATERI, PENYAJI,  MODERATOR
1. The Role of UNESCO on Cultural Diversity, Prof. Dr. H. Arief Rachman, M.Pd & Kadisparbud Provinsi Jawa Barat: Ir.Herdiwan, M.Si
2. Pengembangan Kebudayaan di Indonesia melalui Revitalisasi Kebudayaan Daerah, Prof. Dr. Edi Sediawati
3. Pelestarian dan Pengembangan Warisan Budaya, Dr. Junus Satrio
4. Implementasi Program Kebudayaan di Jawa Barat, Wakil Gubernur Jawa Barat, Moderator: Oman Abdurahman
5. Sunda Bihari-Kamari-Kiwari-Baring Supagi (Sunda Masa Silam, Masa Lalu, Masa Kini dan Masa yang akan Datang), H.R. Hidayat Suryalaga
6. Archeology and Cultural Values in Batu Jaya Sites, Dr. Hasan Djafar, T. Bachtiar
7. The History of Canal Civilization between Persia, Sriwijaya and Tarumanagara Okki S. Jusuf
8. Book Review on “The Lost Atlantis Finally is Found” and Sundaland Civilization Sites according to Prof.Dr. Arisyo Nunes des Santos, Dr. Frank Josef Hoff,  Ahmad Y. Samantho
9. The Discovery of Perennial Philosophy from the Ancient Civilization, Traditions and Local Indonesian Culture to Solve the Core Problems Modern Human Life, Prof. Dr. Harry Oldmeadow
10. Eden in the East : The Importance of Sea Level Changes over the Sunda Shelf in the Spread of People and Culture in Southeast Asia and the Pacific over the last 15.000 years, Prof. Dr. Stephen Oppenheimer, Dr. Ir. Johan Arif, MT.
11. Geological History of Sunda Land and The Possibily of The Lost Continent of Atlantis, Prof. Dr. Adjat Sudrajat Oman Abdurahman
12. Kebudayaan Austronesia dalam Masyarakat Sunda Kuno, Dr. Agus Aris Munandar
13. Batujaya site: between Energy Resources and Archeological Resources Prof. Dr. R.P. Koesumadinata
14. The Relation between Nature, Philosophy dan Cultural Development, Cases Study on World Civilizations, Prof. Dr. H.M. Ahman Sya,  Dr. Gugun Gunardi, M.Hum
15. Philosophy Emerging from Local Wisdom and Culture: Cases study from Ancient Nusantara Maritim & Canals Civilization, Dr. Radhar Panca Dahana
VII.Peserta
Peserta dan tamu undangan kegiatan Konferensi Internasional tersebut sekitar 300 orang yang mewakili dari berbagai unsur, antara lain:
1. Instansi Pemda di seluruh Jawa Barat
2. Para peneliti dari Perguruan Tinggi dan masyarakat umum
3. Budayawan dan seniman
4. Masyarakat pencinta/pemerhati/pelaku budaya umumnya dan budaya Sunda khususnya
5. LSM
6. Stakeholders
7. Sejarawan
8. Wakil dari berbagai media cetak, elektronik, dan lainnya sebagai peserta VIII.
Pelaksana Kegiatan Pelaksana kegiatan konferensi internasional ini adalah Pemerintah melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat bekerjasama dengan Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO.
IX. Susunan atau Agenda Acara
Susunan atau agenda acara konferensi internasional dimaksud terlampir.
X. Penutup
Demikian pedoman ini kami sampaikan, semoga pedoman ini dapat sebagai bahan pertimbangan untuk mendukung suksesnya pelaksanaan kegiatan Reinventing Sunda in Strengthening the National Culture and Promoting Cultural Diversity, International Conference on Nature, Philosophy, and Culture of Ancient Sunda Civilization ((International Conference on Sundanese Culture),
Bogor, 25-27 Oktober 2010.
Mudah-mudahan apa yang diharapkan semua masyarakat Jawa Barat, Sunda khususnya, dan masyarakat di Seluruh Indonesia umumnya di bidang kebudayaan ini dapat terwujud, serta mampu berkontribusi kepada masyarakat global. Atas kerjasama dan dukungannya kami ucapkan terima kasih.
Bandung, Juni 2010
PANITIA
REINVENTING SUNDA IN STRENGTHENING THE NATIONAL CULTURE AND
PROMOTING CULTURAL DIVERSITY
INTERNATIONAL CONFERENCE ON NATURE, PHILOSOPHY AND CULTURE OF ANCIENT SUNDA CIVILIZATION
(INTERNATIONAL CONFERENCE ON SUNDANESE CULTURE)
Bogor, 2527 Oktober 2010
NUM TIME AGENDA & PRESENTATION TOPIC SPEAKERS/MODERATOR
SENIN, 25 OKTOBER 2010
1 12.30 – 13.30 Registrasi Peserta/Undangan
OPENING SESSION : DI  HOTEL SALAK BOGOR
2 13.30 – 14.30 Pembukaan:
–       Pergelaran Seni
–       Laporan Panitia
–       Sambutan Gubernur
–       Sambutan Mendiknas
–       Sambutan Menbudpar sekaligus pembukaan

SC & OC
Kadis Parbud Prov. Jabar
Gubernur  Provinsi Jabar
Menteri Pendidikan Nasional
Menteri Budpar
CONFERENCE
SESSION I : DI  HOTEL SALAK BOGOR
3
14.30 – 16.00
Topik :
Penyaji :
  1. The Role of UNESCO on Cultural Diversity
Prof. Dr. H. Arief Rachman, M.Pd.
  1. Pengembangan Kebudayaan di Indonesia melalui Revitalisasi kebudayaan daerah
  2. Pelestarian dan Pengembangan Warisan Budaya
Prof. Dr. Edi Sediawati
Dr. Junus Satrio
Moderator :
Kadisparbud Prov. Jabar
Notulen:
Drs. Eddy Sunarto
SESSION II
4
16.00 – 18.00
Topik :

  1. Implementasi  Program Kebudayaan di Jawa Barat
  2. Sunda Bihari-Kamari-Kiwari-Baring Supagi (Sunda Masa Silam, Masa Lalu, Masa Kini dan Masa yang akan Datang)


Penyaji :
Wakil Gubernur Jawa Barat
H.R. Hidayat Suryalaga

Moderator :
Oman Abdurahman
Notulen:
Dr. Gugun Gunardi, M.Hum.
5
18.00 –19.00
Istirahat, Sholat  dan makan
SELASA, 26 OKTOBER 2010
TINJAUAN LAPANGAN  KE KAWASAN PERCANDIAN SITUS BATUJAYA KABUPATEN KARAWANG
6
06.00 – 07.00
Makan Pagi
7
07.00 – 10.30
Berangkat ke Kawasan Percandian  Situs Batujaya Kabupaten Karawang
Drs. Eddy Sunarto
8
10.30 – 10.45
Sambutan selamat datang
Culture Performance

Bupati Karawang/Kadis Budpar Kab. Karawang
9
10.45 -12.00
Tinjauan Lapangan :
–       Site Museum Situs Batujaya
–       Candi Jiwa
–       Candi Blandongan

Pemandu :
Dr. Hasan Djafar
Okky S. Jusuf
10
12.00 – 13.00
ISHOMA
SESSION III : DI CANDI BLANDONGAN KABUPATEN KARAWANG
11
13.00 – 15.30
Topik :
Penyaji :
  1. Archeology and Cultural Values in Batu Jaya Sites
Dr. Hasan Djafar
  1. The History of Canal Civilization between Persia, Sriwijaya and Tarumanagara
Okki S. Jusuf

Moderator :
T. Bachtiar
Notulen:
Ir. Oki Oktariadi, MT.
12
15.30 – 19.00
–  Pulang ke Hotel Salak  Bogor
–  Istirahat, Sholat dan Snack

Drs. Eddy Sunarto
13
19.00.– 20.00
ISHOMA
OC
REINVENTING SUNDA IN STRENGTHENING THE NATIONAL CULTURE AND
PROMOTING CULTURAL DIVERSITY
INTERNATIONAL CONFERENCE ON NATURE, PHILOSOPHY AND CULTURE OF ANCIENT SUNDA CIVILIZATION
(INTERNATIONAL CONFERENCE ON SUNDANESE CULTURE)
Bogor, 2527 Oktober 2010
RABU, 27 OKTOBER 2010
14 06.30 – 07.30 Makan Pagi OC
SESSION IV
15 07.30 – 09.00 Topik :
Book Review on “The Lost Atlantis Finally is Found” and Sundaland Civilization Sites according to Prof.Dr. Arisyo Nunes des Santos


Penyaji :
Dr.Frank Josef Hoff

Moderator :
Ahmad Y. Samantho
Notulen :
T. Bachtiar
16
09.00 – 09.30
Rehat kopi
SESSION V
17
09.30  –  11.00
Topik :
The Discovery of Perennial Philosophy from the Ancient Civilization, Traditions and Local Indonesian Culture to Solve the Core Problems Modern Human Life

Penyaji :
Prof.Dr. Harry Oldmeadow

Moderator :
Ahmad Y. Samanto
Notulen :
Oman Abdurahman
SESSION VI
18
11.00 – 12.30
Topik :
Eden in The East : The Importance of Sea Level Changes over the Sunda Shelf in the Spread of People and Culture in Southeast Asia and the Pacific over the Last 15.000 years.

Penyaji :
Prof.Dr.Stephen Oppenheimer

Moderator :
Dr. Ir. Johan Arif, MT
Notulen :
Ir. Yakob Malik, M.Pd.
19
12.30 – 13.30
ISHOMA

SESSION VII
20
13.30 – 15.00
Topik :
Penyaji :
  1. Geological History of   Sunda Land and The Possibily of The Lost Continent of Atlantis
Prof. Dr. Adjat Sudradjat


  1. Kebudayaan Austronesia dalam Masyarakat Sunda Kuno
Dr. Agus Aris Munandar
  1. Batujaya site: between Energy Resourses and Archeological Resources
Prof. Dr. R.P. Koesoemadinata
Moderator :
Oman Abdurahman
Notulen :
Ir. Oki Oktariadi, MT.
21
15.00 – 15.30
Rehat kopi & Sholat

SESSION VIII
22
15.30 – 17.00
Topik :
Penyaji :
  1. The Relation between Nature, Philosophy dan Cultural Development, Cases Study on World Civilizations
Prof. Dr. H. M. Ahman Sya


  1. Philosophy Emerging from Local Wisdom and Culture: Cases study from Ancient Nusantara Maritim & Canals Civilization
Dr. Radhar Panca Dahana
Moderator :
Dr. Gugun Gunardi, M.Hum.
Notulen :
Ir. Oki Oktariadi, MT.
23
17.00 – 18.00
Closing Ceremony
–          Perumusan Hasil Konferensi
–          Laporan Ketua SC
–          Pidato Penutupan

OC
SC
SC
Dr. Ir. Tresna Dermawan Kunaefi
" data-blogger-escaped-data-image-meta="[]" data-blogger-escaped-data-image-title="INTERNATIONAL CONFERENCE ON SUNDA LAND CIVILIZATION, NATURE & WISDOM" data-blogger-escaped-data-large-file="" data-blogger-escaped-data-medium-file="" data-blogger-escaped-data-orig-file="" data-blogger-escaped-data-orig-size="" data-blogger-escaped-data-permalink="https://ahmadsamantho.wordpress.com/?p=4344" data-blogger-escaped-originalh="171" data-blogger-escaped-originalw="300" data-blogger-escaped-scale="1.5" data-blogger-escaped-src-orig="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/relief-dan-artifak-bangsa-mesir.jpg?w=300&h=171" data-blogger-escaped-style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" height="171" src="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/relief-dan-artifak-bangsa-mesir.jpg?w=450&h=257" style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" title="relief dan artifak bangsa mesir" width="300">Dari ketiga gambar di atas hampir mirip dengan relief-relief yang ada di candi Penataran. Jadi dapat diperkirakan yang ada di relief itu adalah sosok wanita Mesir.
Pada gambar di bawah terlihat relief seorang putri yang sedang disembah atau mungkin sedang dilayani. Di latar belakang sosok putri tersebut terdapat raut wajah yang agak rusak namun dari tutup kepalanya seperti tutup kepala orang Romawi. Ada yang mengira itu adalah pohon palem, namun tidak ada pohon palem yang bentuknya melengkung seperti itu. Juga bukan merupakan ornament atau hiasan karena tidak ada ornamen pendukung yang dapat mendefinisikan itu apa.

• Untuk mencapai hal tersebut diperlukan revitalisasi nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang bersumber dari warisan masa lalu dan perkembangannya di masa kini. Nilai-nilai budaya dan kearifan lokal suatu masyarakat berkembang dari hubungan antara alam, filsafat dan kebudayaan yang dicapai pada suatu periode. Kebudayaan suatu masyarakat sangat erat dengan alam tempat masyarakat tersebut tumbuh berkembang, filsafat yang dianut masyarakat tersebut, dan kebudayaannya yang telah dicapai di masa lalu. Oleh kerana itu, informasi tentang kebudayaan lokal, kondisi alam dan filsafat yang dianut serta budaya di masa lalu perlu disebarluaskan sebagai bahan untuk revitalisasi budaya guna membangun ketahanan budaya;
• Dalam hubungan tersebut diatas, dalam rangka penguatan kebudayaan Nasional, masyarakat Jawa Barat dengan salah satu cirinya adalah kebudayaan Sunda perlu melakukan reinventing maupun revitalisasi budaya dari dua isu penting: “Atlantis” dan “Tarumanagara”. Atlantis yang pertamakali diberitakan oleh Plato (428 SM – 348 SM) sudah dicari orang setidaknya sejak masa Bacon (abad 17 M) hingga Himmler di tahun 1939. Wacana pencarian Atlantis ramai kembali sejak Santos di tahun 2005 dalam bukunya yang berjudul “The Lost Atlantis Finally is Found” berkesimpulan bahwa wilayah yang secara geologi-geografis disebur Sundaland (Indonesia) adalah letak the lost Atlantis itu. Pendapat Santos ini diperkuat oleh Oppenheimer berdasarkan studi gen (DNA). Kenyataan ini di tanah air telah mendorong beberapa diskusi dan upaya menghidupkan kembali wacana Atlantis dengan hipotesis yang kuat bahwa kawasan Indonesia (Sundaland) sebagai lokasi Atlantis. Sundaland secara geologi boleh disebut sebagai “continent” sehingga pencarian Atlantis adalah pencarian “the lost continent”;
• Sementara itu, kerajaan Tarumanagara (358-669 M) selama ini dapat dikatakan terlupakan (the forgotten kingdom) kecuali di kalangan para peneliti dan otoritas pengelolaan peninggalan (Pemerintah dan Pemda terkait). Bagaimana tidak, jika seorang peneliti Perancis sudah melakukan penelitian di Situs Batujaya yang diduga kuat sebagai peninggalan era kerajaan Tarumanagara, kita masih sedikit meneliti dan mengapresiasinya. Padahal, berdasarkan bukti-bukti yang ada, implikasi penemuan Situs Batujaya ini sangat penting bagi perkembangan kepurbakalaan atau masa transisi dari pra-Sejarah ke masa sejarah bangsa Indonesia, Jawa khususnya. Hal ini terkait pula dengan pembangunan jatidiri bangsa. Catatan sejarah Tarumanagara yang ada menunjukkan pembelajaran yang penting, baik untuk reinventing maupun revitalisasi budaya dari capaian salah seorang penguasanya yang termashur, yaitu Raja Purnawarman (395-434 M). Sedikitnya ada 3 area tapa brata (kerja untuk memajukan bangsa atau masyarakat) dari Purnawarman yang perlu diteladani, yaitu: 1) pengelolaan air dalam bentuk pemeliharaan sungai-sungai, pembangunan sarana irigasi, dan sarana transportasi air (pembangunan kanal), 2) pembangunan pertanian, pemukiman, dan pemeliharaan kawasan konservasi yang penting untuk kehidupan, terutama hutan dan kawasan perairan; 3) dan penghormatan kepada para pemuka agama (agama) dan contoh budaya bersyukur (berkurban) setelah mencapai keberhasilan sebagai ciri atau karakter kepemimpinan (leadership) yang penting. Upaya untuk reinventing dan revitalisasi budaya dari masa kerajaan Tarumanagara perlu dilanjutkan dalam rangka pembangunan kembali kejayaan bangsa.
• Kata “Sunda” mulai digunakan oleh raja Purnawarman pada tahun 397 untuk menyebut ibukota Kerajaan Tarumanagara yang didirikannya. Dalam naskah historis penyebutan “Sunda” merujuk pada ibukota Kerajaan Tarumanagara yang bernama Sundapura. Kerajaan Tarumanagara merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara sebagaimana dibuktikan dalam prasasti dan berita naskah kuno terkait. Letak tepat kota Sundapura masih menjadi penelitian para ahli, apakah di Jakarta, Bogor, Bekasi atau Karawang sekarang. Namun demikian, di Karawang terdapat situs percandian Batujaya yang menunjukkan tumbuh kembangnya kebudayaan sejak abad 2 Masehi hingga abad 12 Masehi yang mendukung kehadiran Kerajaan Tarumanagara yang terkenal dengan kemakmurannya.
• Memperhatikan kondisi fisiografi Jawa Barat sangat dimungkinkan sebagai wilayah pilihan tempat pemukiman manusia sejak jaman dulu, sehingga sangat potensial dengan tinggalan budayanya, mulai dari masa prasejarah, Hindu Budha, Islam, kolonial hingga kemerdekaan. Gugusan bagian barat Pulau Jawa (Jawa Barat) dikenal lebih dulu dibandingkan dengan gugusan tengah dan timur Pulau Jawa, sehingga dapat dipahami apabila dalam peta-peta kuno digunakan istilah “Sunda” dalam penyebutan paparan di sekitar Pulau Jawa. Istilah-istilah dalam bidang geografi-geologi yang menggunakan kata “Sunda” diperkenalkan oleh pendatang atau penjelajah Barat dari Eropa;
• Saatnya kita menemukan dan merevitalisasi tinggalan-tinggalan, capaian-capaian, nilai-nilai, atau pesan-pesan dari wacana the lost continent (Atlantis) dan the forgotten kingdom (Tarumanagara). Identifikasi manfaat yang dapat diperoleh dari upaya tersebut memiliki potensi besar untuk menemukan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya tinggi di masa lalu dan mampu bangkit kembali mencapai peradabannya kini dan kedepan.
•Perkembangan perbaruhan manusia memungkinkan terjadinya berbagai perubahan di berbagai tata kehidupannya, yaitu pola kehidupan, peralatan hidup yang digunakan untuk keperluan hidup dan juga lingkungan tempat mereka menetap serta budaya mereka. Hal tersebut juga terjadi pada masyarakat Sunda dan budayanya meskipun yang dikenal sangat dinamis. Salah satunya karena posisi geografis dan fisiografis wilayah Sunda sangat strategis di posisi tengah pergaulan dunia dan derasnya globalisasi teknologi dan informasi. Percepatan Akulturasi budaya Sunda juga didukung oleh tingkat pendidikan masyarakat Sunda yang semakin baik. Dimana akulturasi budaya pada masyarakat Sunda yang memiliki keterbukaan yang tinggi untuk menerima berbagai budaya lain yang datang dan beradaptasi di lingkungan Sunda.
• Berdasarkan hal tersebut diatas, maka Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, pada Oktober 2010 akan menyelenggarakan konferensi internasional tentang alam, filsafat dan budaya dari peradaban Sunda di masa lalu dengan tema “Reinventing Sunda in Strengthening the National Culture and Promoting Cultural Diversity” dan sub tema: “Cultural Revitalization of the Forgotten Kingdom and the Lost Continent” pada tanggal 25-27 Oktober 2010 di Kota Bogor.
Berdasarkan berbagai pertimbangan, keseluruhan kegiatan tersebut diberi judul: “Reinventing Sunda in Strengthening the National Culture and Promoting Cultural Diversity, International Conference on Nature, Philosophy, and Culture of Ancient Sunda Civilization (International Conference on Sundanese Culture).
II. Dasar Kegiatan
1. Undang Undang Dasar 1945 Pasal 32, tentang Pemerintah Memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia;
2. Undang-undang RI Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya;
3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 78 Tahun 2007 tentang Pengesahan Conservation for the Safeguarding of The Intangible Cultural Heritage Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Takbenda.
4. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 42 Tahun 2009/Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan
5. Peraturan perundang-undangan lainnya serta konvensi-konvensi internasional yang relevan III. Maksud dan Tujuan Maksud kegiatan ini adalah pencarian kembali (reinveting) nilai-nilai positif yang berkembang dari hubungan antara alam, lingkungan, filsafat dan kebudayaan lokal masyarakat Sunda masa lalu yang diproyeksikan (revitalisasi) pada masa sekarang guna penguatan dan peningkatan budaya lokal dan nasional untuk berkontribusi pada pengurangan kemiskinan, kemajuan kesejahteraan masyarakat di tingkat lokal, nasional dan global. Adapun tujuan kegiatan ini adalah:
1. Sebagai wadah pertemuan untuk memperoleh pemahaman yang mendalam sehingga menimbulkan kesadaran dan perencana bersama, serta kreativitas didalam menjadikan nilai-nilai positif capaian kerajaan Tarumanagara dan wacana benua Atlantis yang hilang berada di Sundaland untuk pembangunan budaya masyarakat di tingkat lokal, nasional dan global;
2. Merevitalisasi budaya atas capaian budaya kerajaan Tarumanagara dan wacana Atlantis benua yang hilang berada di kawasan Sundaland (Indonesia) melalui serangkaian kegiatan seminar, pameran dan kunjungan lapangan ke Situs Batujaya, Karawang, Jawa Barat.
IV. Bentuk Kegiatan
Bentuk kegiatan konferensi adalah konferensi, pameran dan kunjungan lapangan ke Situs Batujaya Kabupaten Karawang.
V. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Rencana waktu dan kegiatan Reinventing Sunda in Strengthening the National Culture and Promoting Cultural Diversity, International Conference on Nature, Philosophy and Culture of Ancient Sundanese Civilization dilaksanakan pada : Waktu : 25 – 27 Oktober 2010 Tempat : Kota Bogor & Kabupaten Karawang
VI. Topik Materi, Penyaji , dan Moderator
Topik materi, penyaji/pembicara dan moderator dalam konferensi dan kunjungan lapangan (field trip) ke situs Batujaya ini adalah sebagaimana pada tabel dibawah ini.
NO         TEMA, MATERI, PENYAJI,  MODERATOR
1. The Role of UNESCO on Cultural Diversity, Prof. Dr. H. Arief Rachman, M.Pd & Kadisparbud Provinsi Jawa Barat: Ir.Herdiwan, M.Si
2. Pengembangan Kebudayaan di Indonesia melalui Revitalisasi Kebudayaan Daerah, Prof. Dr. Edi Sediawati
3. Pelestarian dan Pengembangan Warisan Budaya, Dr. Junus Satrio
4. Implementasi Program Kebudayaan di Jawa Barat, Wakil Gubernur Jawa Barat, Moderator: Oman Abdurahman
5. Sunda Bihari-Kamari-Kiwari-Baring Supagi (Sunda Masa Silam, Masa Lalu, Masa Kini dan Masa yang akan Datang), H.R. Hidayat Suryalaga
6. Archeology and Cultural Values in Batu Jaya Sites, Dr. Hasan Djafar, T. Bachtiar
7. The History of Canal Civilization between Persia, Sriwijaya and Tarumanagara Okki S. Jusuf
8. Book Review on “The Lost Atlantis Finally is Found” and Sundaland Civilization Sites according to Prof.Dr. Arisyo Nunes des Santos, Dr. Frank Josef Hoff,  Ahmad Y. Samantho
9. The Discovery of Perennial Philosophy from the Ancient Civilization, Traditions and Local Indonesian Culture to Solve the Core Problems Modern Human Life, Prof. Dr. Harry Oldmeadow
10. Eden in the East : The Importance of Sea Level Changes over the Sunda Shelf in the Spread of People and Culture in Southeast Asia and the Pacific over the last 15.000 years, Prof. Dr. Stephen Oppenheimer, Dr. Ir. Johan Arif, MT.
11. Geological History of Sunda Land and The Possibily of The Lost Continent of Atlantis, Prof. Dr. Adjat Sudrajat Oman Abdurahman
12. Kebudayaan Austronesia dalam Masyarakat Sunda Kuno, Dr. Agus Aris Munandar
13. Batujaya site: between Energy Resources and Archeological Resources Prof. Dr. R.P. Koesumadinata
14. The Relation between Nature, Philosophy dan Cultural Development, Cases Study on World Civilizations, Prof. Dr. H.M. Ahman Sya,  Dr. Gugun Gunardi, M.Hum
15. Philosophy Emerging from Local Wisdom and Culture: Cases study from Ancient Nusantara Maritim & Canals Civilization, Dr. Radhar Panca Dahana
VII.Peserta
Peserta dan tamu undangan kegiatan Konferensi Internasional tersebut sekitar 300 orang yang mewakili dari berbagai unsur, antara lain:
1. Instansi Pemda di seluruh Jawa Barat
2. Para peneliti dari Perguruan Tinggi dan masyarakat umum
3. Budayawan dan seniman
4. Masyarakat pencinta/pemerhati/pelaku budaya umumnya dan budaya Sunda khususnya
5. LSM
6. Stakeholders
7. Sejarawan
8. Wakil dari berbagai media cetak, elektronik, dan lainnya sebagai peserta VIII.
Pelaksana Kegiatan Pelaksana kegiatan konferensi internasional ini adalah Pemerintah melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat bekerjasama dengan Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO.
IX. Susunan atau Agenda Acara
Susunan atau agenda acara konferensi internasional dimaksud terlampir.
X. Penutup
Demikian pedoman ini kami sampaikan, semoga pedoman ini dapat sebagai bahan pertimbangan untuk mendukung suksesnya pelaksanaan kegiatan Reinventing Sunda in Strengthening the National Culture and Promoting Cultural Diversity, International Conference on Nature, Philosophy, and Culture of Ancient Sunda Civilization ((International Conference on Sundanese Culture),
Bogor, 25-27 Oktober 2010.
Mudah-mudahan apa yang diharapkan semua masyarakat Jawa Barat, Sunda khususnya, dan masyarakat di Seluruh Indonesia umumnya di bidang kebudayaan ini dapat terwujud, serta mampu berkontribusi kepada masyarakat global. Atas kerjasama dan dukungannya kami ucapkan terima kasih.
Bandung, Juni 2010
PANITIA
REINVENTING SUNDA IN STRENGTHENING THE NATIONAL CULTURE AND
PROMOTING CULTURAL DIVERSITY
INTERNATIONAL CONFERENCE ON NATURE, PHILOSOPHY AND CULTURE OF ANCIENT SUNDA CIVILIZATION
(INTERNATIONAL CONFERENCE ON SUNDANESE CULTURE)
Bogor, 2527 Oktober 2010
NUM TIME AGENDA & PRESENTATION TOPIC SPEAKERS/MODERATOR
SENIN, 25 OKTOBER 2010
1 12.30 – 13.30 Registrasi Peserta/Undangan
OPENING SESSION : DI  HOTEL SALAK BOGOR
2 13.30 – 14.30 Pembukaan: 
–       Pergelaran Seni
–       Laporan Panitia
–       Sambutan Gubernur
–       Sambutan Mendiknas
–       Sambutan Menbudpar sekaligus pembukaan

SC & OC
Kadis Parbud Prov. Jabar
Gubernur  Provinsi Jabar
Menteri Pendidikan Nasional
Menteri Budpar
CONFERENCE
SESSION I : DI  HOTEL SALAK BOGOR
3
14.30 – 16.00
Topik :
Penyaji :
  1. The Role of UNESCO on Cultural Diversity
Prof. Dr. H. Arief Rachman, M.Pd.
  1. Pengembangan Kebudayaan di Indonesia melalui Revitalisasi kebudayaan daerah
  2. Pelestarian dan Pengembangan Warisan Budaya
Prof. Dr. Edi Sediawati
Dr. Junus Satrio
Moderator :
Kadisparbud Prov. Jabar
Notulen:
Drs. Eddy Sunarto
SESSION II
4
16.00 – 18.00
Topik :

  1. Implementasi  Program Kebudayaan di Jawa Barat
  2. Sunda Bihari-Kamari-Kiwari-Baring Supagi (Sunda Masa Silam, Masa Lalu, Masa Kini dan Masa yang akan Datang)


Penyaji :
Wakil Gubernur Jawa Barat
H.R. Hidayat Suryalaga

Moderator :
Oman Abdurahman
Notulen:
Dr. Gugun Gunardi, M.Hum.
5
18.00 –19.00
Istirahat, Sholat  dan makan
SELASA, 26 OKTOBER 2010
TINJAUAN LAPANGAN  KE KAWASAN PERCANDIAN SITUS BATUJAYA KABUPATEN KARAWANG
6
06.00 – 07.00
Makan Pagi
7
07.00 – 10.30
Berangkat ke Kawasan Percandian  Situs Batujaya Kabupaten Karawang
Drs. Eddy Sunarto
8
10.30 – 10.45
Sambutan selamat datang
Culture Performance

Bupati Karawang/Kadis Budpar Kab. Karawang
9
10.45 -12.00
Tinjauan Lapangan :
–       Site Museum Situs Batujaya
–       Candi Jiwa
–       Candi Blandongan

Pemandu :
Dr. Hasan Djafar
Okky S. Jusuf
10
12.00 – 13.00
ISHOMA
SESSION III : DI CANDI BLANDONGAN KABUPATEN KARAWANG
11
13.00 – 15.30
Topik :
Penyaji :
  1. Archeology and Cultural Values in Batu Jaya Sites
Dr. Hasan Djafar
  1. The History of Canal Civilization between Persia, Sriwijaya and Tarumanagara
Okki S. Jusuf

Moderator :
T. Bachtiar
Notulen:
Ir. Oki Oktariadi, MT.
12
15.30 – 19.00
–  Pulang ke Hotel Salak  Bogor
–  Istirahat, Sholat dan Snack

Drs. Eddy Sunarto
13
19.00.– 20.00
ISHOMA
OC
REINVENTING SUNDA IN STRENGTHENING THE NATIONAL CULTURE AND
PROMOTING CULTURAL DIVERSITY
INTERNATIONAL CONFERENCE ON NATURE, PHILOSOPHY AND CULTURE OF ANCIENT SUNDA CIVILIZATION
(INTERNATIONAL CONFERENCE ON SUNDANESE CULTURE)
Bogor, 2527 Oktober 2010
RABU, 27 OKTOBER 2010
14 06.30 – 07.30 Makan Pagi OC
SESSION IV
15 07.30 – 09.00 Topik : 
Book Review on “The Lost Atlantis Finally is Found” and Sundaland Civilization Sites according to Prof.Dr. Arisyo Nunes des Santos


Penyaji :
Dr.Frank Josef Hoff

Moderator :
Ahmad Y. Samantho
Notulen :
T. Bachtiar
16
09.00 – 09.30
Rehat kopi
SESSION V
17
09.30  –  11.00
Topik :
The Discovery of Perennial Philosophy from the Ancient Civilization, Traditions and Local Indonesian Culture to Solve the Core Problems Modern Human Life

Penyaji :
Prof.Dr. Harry Oldmeadow

Moderator :
Ahmad Y. Samanto
Notulen :
Oman Abdurahman
SESSION VI
18
11.00 – 12.30
Topik :
Eden in The East : The Importance of Sea Level Changes over the Sunda Shelf in the Spread of People and Culture in Southeast Asia and the Pacific over the Last 15.000 years.

Penyaji :
Prof.Dr.Stephen Oppenheimer

Moderator :
Dr. Ir. Johan Arif, MT
Notulen :
Ir. Yakob Malik, M.Pd.
19
12.30 – 13.30
ISHOMA

SESSION VII
20
13.30 – 15.00
Topik :
Penyaji :
  1. Geological History of   Sunda Land and The Possibily of The Lost Continent of Atlantis
Prof. Dr. Adjat Sudradjat


  1. Kebudayaan Austronesia dalam Masyarakat Sunda Kuno
Dr. Agus Aris Munandar
  1. Batujaya site: between Energy Resourses and Archeological Resources
Prof. Dr. R.P. Koesoemadinata
Moderator :
Oman Abdurahman
Notulen :
Ir. Oki Oktariadi, MT.
21
15.00 – 15.30
Rehat kopi & Sholat

SESSION VIII
22
15.30 – 17.00
Topik :
Penyaji :
  1. The Relation between Nature, Philosophy dan Cultural Development, Cases Study on World Civilizations
Prof. Dr. H. M. Ahman Sya


  1. Philosophy Emerging from Local Wisdom and Culture: Cases study from Ancient Nusantara Maritim & Canals Civilization
Dr. Radhar Panca Dahana
Moderator :
Dr. Gugun Gunardi, M.Hum.
Notulen :
Ir. Oki Oktariadi, MT.
23
17.00 – 18.00
Closing Ceremony
–          Perumusan Hasil Konferensi
–          Laporan Ketua SC
–          Pidato Penutupan

OC
SC
SC
Dr. Ir. Tresna Dermawan Kunaefi
" data-blogger-escaped-data-image-meta="[]" data-blogger-escaped-data-image-title="INTERNATIONAL CONFERENCE ON SUNDA LAND CIVILIZATION, NATURE & WISDOM" data-blogger-escaped-data-large-file="" data-blogger-escaped-data-medium-file="" data-blogger-escaped-data-orig-file="" data-blogger-escaped-data-orig-size="" data-blogger-escaped-data-permalink="https://ahmadsamantho.wordpress.com/?p=4345" data-blogger-escaped-originalh="192" data-blogger-escaped-originalw="300" data-blogger-escaped-scale="1.5" data-blogger-escaped-src-orig="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/relief-putri-romawi-di-candi-penataran.jpg?w=300&h=192" data-blogger-escaped-style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" height="193" src="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/relief-putri-romawi-di-candi-penataran.jpg?w=450&h=290" style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" title="relief putri romawi di candi penataran" width="300">
Namun bila diperhatikan seperti seorang prajurit Romawi yang sedang mengawal seorang putri dengan rambutnya yang agak bergelombang yang merupakan ciri khas dari putri-putri di Romawi.

""""Dominasi arabesque (ragam hias tetumbuhan) yang sangat simbolis dalam ukiran dan batik Jawa; begitu pula pola garis dan kecenderungan pewarnaannya yang mirip dengan lukisan miniatur Persia abad ke-13 dan 14 M, menunjukkan besarnya pengaruh para wali, yang tidak lain adalah juga para sufi. Gamelan Jawa menjadi musik yang begitu kontemplatif setelah para wali menerapkan estetika sufi bagi penabuhan instrumennya, juga dengan menambahkan instrumen baru dari tradisi Islam Arab, yaitu rebab.
""Gamelan Bali, yang mempertahankan estetika tantrik Hindu, tidak demikian halnya. Dalam tradisi sufi, fungsi utama musik sebagai tajarrud atau transendensi, yaitu pembebasan dari yang material melalui yang material itu sendiri; dan sebagai sarana tawajjud atau meditasi, yaitu pemusatan pikiran terhadap Yang Satu yang sekaligus adalah Yang Transenden. Dengan demikian, musik dapat membantu pendengarnya melakukan penyucian diri (thazkiya al-nafs) dan membebaskan keterikatannya dari kungkungan alam material.
""Tetapi, yang jarang dikemukakan ialah peranan menonjol beberapa wali di Jawa dalam penulisan karya sastra. Khususnya dalam penulisan puisi bercorak tasawuf yang lazim disebut suluk, dari bahasa Arab, yang artinya ialah jalan kerohanian menuju pemahaman mendalam terhadap keesaan Tuhan (tawhid). Pemahaman atau pengenalan mendalam terhadap keesaan itu disebut ma’rifa. Oleh karena itu, dalam sastra Melayu, puisi-puisi suluk sering disebut sebagai syair tauhid dan makrifat.
""Sayangnya, apabila ahli-ahli sejarah sastra Jawa berbicara tentang suluk, puisi sufistik atau mistikal, selalu yang menjadi perhatian adalah karya-karya abad ke-18 dan 19. Misalnya, Serat Cebolek karya Yasadipura II dan Wirid Hidayat Jati karya Ronggowarsito. Namun, suluk-suluk para wali sangat sedikit yang membicarakan. Padahal, karya para wali bukan saja relevan bersamaan dengan maraknya kajian tasawuf dewasa ini, melainkan juga cukup melimpah dan tersimpan sebagai koleksi mati, khususnya di museum-museum Belanda dan Tanah Air.
Suluk, sebagai bentuk ekspresi sastra bernapas Islam, mulai ditulis di Jawa pada akhir abad ke-15 dan 16 M, bersamaan dengan runtuhnya Majapahit dan makin banyaknya orang Jawa memeluk agama Islam. Pentingnya suluk-suluk awal itu karena ia menggambarkan suasana zaman peralihan dari Hindu ke Islam, termasuk kesibukan para wali mengolah tradisi budaya lokal menjadi tradisi Islam Jawa.
Di antara wali yang paling prolifik dalam penulisan kreatif itu ialah Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang alias Ibrahim Asmarakandi (baca al-Samarkandi). Menurut Drewes, tidak kurang dari 20 suluk panjang dalam koleksi naskah Museum Perpustakaan Universitas Leiden dan Museum Jakarta (sekarang Perpustakaan Nasional) dapat diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau rekaman ajaran kerohanian sang wali yang sempat dicatat beberapa muridnya yang pandai.""
Banyak yang penting dan relevan dari suluk-suluk Sunan Bonang, khususnya sebagai bahan renungan. Misalnya, uraian sang wali tentang cinta (‘isyq) (baik cinta sebagai metode ilmu pengetahuan maupun cinta sebagai cara mendekatkan diri kepada Yang Satu). Persoalan Ada dan Tiada, masalah keberadaan manusia, pengaruh pikiran dan kemauan terhadap perjalanan sejarah, makna keberadaan manusia di bumi, hakikat tauhid dan pentingnya pengetahuan tertinggi yang disebut makrifat bagi kebahagiaan seseorang, dan lain-lain.
Simaklah misalnya kisah Wujil, bekas aktor dan pelawak di istana Majapahit yang terpelajar, dalam sebuah suluknya. Setelah 10 tahun berguru kepada Sunan Bonang, dan mempelajari agama serta sastra Arab secara mendalam, dia akhirnya jemu dan merasa sia-sia. Jiwanya merasa kerontang dan gelisah, hatinya menjerit dan kebingungan. Suatu ketika, dia menghadap Sunan Bonang dan berkata:
Agama dan sastra Arab telah saya pelajari Tetapi saya masih terus mencari-cari…
Uraian kesatuan huruf, dulu dan sekarang Tak berbeda. Musik masih digunakan Bahasa tetap bahasa, Saya meninggalkan Majapahit dan semua yang dicintai Namun tak menemukan apa-apa sebagai penawar
Diam-diam saya pergi malam-malam Mencari rahasia Yang Satu Mencari jalan sempurna Semua pendeta, biksu dan ulama saya temui Agar terjumpa hakikat hidup, akhir kuasa sejati Ujung utara selatan, tempat matahari dan bulan terbenam Akhir mata tertutup dan inti maut akhir ada dan tiada
Tidak tega melihat penderitaan batin muridnya, Sunan Bonang dengan terpaksa mengajarkan tasawuf, khususnya jalan mengenal hakikat diri yang merupakan sumber kebahagiaan. Selain Suluk Wujil, banyak lagi karya Sunan Bonang yang relevan. Di antaranya ialah Suluk Khalifah, Suluk Bentur, Suluk Jebeng, dan Gita Suluk Ing Aewuh.
Dalam Suluk Khalifah, Sunan Bonang menceritakan anekdot para wali di Jawa, pengalaman mereka mengajar Islam kepada orang Hindu, dan juga pengalamannya selama belajar di Pasai.
Suluk Bentur ditulis dalam tembang wirangrong. Bentur artinya lengkap atau sempurna. Dalam suluk ini, Sunan Bonang menggambarkan jalan yang ditempuh para sufi sehingga mencapai kesadaran tertinggi, yaitu makrifat dan persatuan mistikal (fana, dan baqo). Garam jatuh ke dalam laut dan lenyap, tetapi tidak dapat dikatakan menjadi laut. Demikian pula manusia yang mencapai persatuan mistik, tidak dapat menjadi Tuhan. Persatuan mistikal yang tertinggi disebut fana’ruh idafi, yaitu keadaan hati yang dapat menyaksikan peralihan bentuk lahir dan fenomena menjadi wujud spiritual. Dalam keadaan demikian, kesadaran intuitif menguasai hati seseorang, dan dengan demikian penglihatan tentang keesaan terhadap Tuhan menjadi sempurna.
Suluk Jebeng ditulis dalam pupuh dandanggula. Dimulai dengan pembicaraan mengenai wujud manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi dan uraian bahwa manusia merupakan gambaran-Nya. Menurut Sunan Bonang, ”Puncak ilmu yang sempurna seperti api berkobar. Yang tampak hanya bara dan nyalanya, kilatan cahaya dan asap yang menyeliputinya.” Untuk mengetahui hakikat keberadaan, ”Kenali apa yang ada sebelum api menyala dan apa yang tinggal sesudah api padam.” Inilah perkataan Sunan Bonang yang relevan dalam suluk ini: ”Jangan meninggalkan diri, berlindunglah kepada-Nya/ Ketahui, tempat tinggal jasad yang sebenarnya ialah ruh/ Jangan bertanya/ Jangan memuja nabi dan wali/ Jangan kau mengaku Tuhan/ Jangan mengira tak ada padahal ada/Baik diam/ Jangan diguncang kebingungan.”
Suluk Regol ditulis dalam pupuh asmaradana. Regol artinya gapura, bentuknya menyerupai gabungan kata la (tidak) dan lam dalam ayat ”lam yalid wa lam yulad” (tidak beranak dan tidak diperanakkan) Surat al-Ikhlas. Kata lam diumpamakan sebagai gapura yang menghalangi sesuatu yang ada di belakangnya. Dalam suluk ini, peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia diumpamakan sebagai pertunjukan wayang kulit, yang dilihat dari berbagai sudut. Ada yang melihat sebagai permainan yang dilakukan Ki Dalang namun menganggap antara permainan dan yang memainkan terpisah. Ada yang melihat antara Ki Dalang dan lakon yang dimainkan tidak terpisah, bahkan melihat bahwa Ki Dalang benar-benar hadir dalam lakon yang dimainkannya. Yang lain lagi melihat bahwa pertunjukan wayang sebenarnya mencerminkan dan mengisyaratkan keberadaan Dalang.
Telah dikemukakan bahwa gagasan utama suluk-suluk Sunan Bonang ialah cinta. Menurut para sufi, cinta merupakan asas penciptaan dan apa yang berasal dari cinta itu baik. Para sufi mengambil gagasan ini dari hadis qudsi, ”Aku perbendaharaan tersembunyi (kanz makhfiy), Aku cinta (ahbabtu) untuk dikenal maka Aku mencipta dan karena itu dikenal.” Para sufi juga merujuk kepada kalimat Bismilahirrahmannirrahim. Dalam kalimat ini ada dua jenis cinta, yaitu, al-rahman (pengasih) dan al-rahim (penyayang). Rahman adalah cinta yang esensial (dzatiyah) sebab dilimpahkan kepada semua ciptaannya, tak peduli orang Melayu, Cina, Jawa, Inggris, Afghanistan, atau Libya. Sedangkan rahim merupakan cinta wujud, artinya wajib diberikan kepada orang-orang tertentu yang sangat dicintai oleh-Nya.
Menurut Sunan Bonang, kerusakan di dunia akan merajalela apabila cinta telah lenyap. Di sini cinta sering diidentikkan dengan iman, pengetahuan intuitif, dan dorongan kuat terhadap kebenaran tertinggi. Karena itu, Sunan Bonang berkata dalam Suluk Wujil, ”Jadikan dirimu cinta, agar dapat memandang dunia dengan terang…/Kerusakan di dunia ini muncul/ Karena amal perbuatanmu dan karena tiadanya cinta/ Yang harus dimiliki ialah yang tak dapat hancur/ Yakni cinta dan makrifat, pengetahuan sempurna.”
[Abdul Hadi W.M., Penyair, budayawan, dan dosen Universitas Paramadina] [Edisi Khusus Lebaran, Gatra Nomor 05-06 Beredar Kamis, 13 Desember 2001]
http://www.gatra.com/2001-12-25/versi_cetak.php?id=13522

""
· · Share







    • "" 

  • Adi Azmatkhan sbnarnya warisan wali 9 dalam karya sastra masih banyak yang belum digali misalnya” serat chenthini ” mengandung nilai2 filsafat yg dalam yg kalau di-jabarkan mempunyai arti yg dalam dan luas 
    15 hours ago · · 3 peopleLoading… ·







  • "" 

  • Chen Chen Muttahari Babe gw ditagged dong — copy right gitu..wkwkwk…thanks ya Bib 
    14 hours ago · · 1 personLoading… ·







  • "" 

  • Habibullah Ba-Alawi Al-Husaini Tulisan yang sangat Inspiratif…..Good Luck… 
    4 hours ago · · 1 personLoading… ·







  • "" 

  • ‎@Abdul Hadi.. pak, saya ijin copy paste buat mem-publish tulisan antum di kluarga besar saya.. para turunan Walisongo Azmatkhan Al-Husaini.. trima kasih atas tulisan antum yg inspiratif khususnya bagi kluarga besar kami 
    @Chen.. sbg putri bl…iau.. tx 4 reminding.. ane inget kok, udh di tagg kmrn aq coba tag bliau smpet nggk bisa rupanya salah mw ngetag k fan page bliau yg namanya juga sama
    @Adi .. betul bib
    @Habibullah.. syukron ya syeikh sekedar mempublish tulisan dosen ana ttg kluarga kita.. semoga berhikmah
    @All
    Tulisan ini ana copy paste dr tulisan dosen ana tercinta yg penyair & budayawan handal… semoga Allah memberkahi bliau & kluarganya.. juga kluarga besar walisongo azmatkhan.. amienSee More
    2 hours ago · ·







  • "" 

  • about an hour ago · ·
    " data-blogger-escaped-data-image-meta="[]" data-blogger-escaped-data-image-title="Suluk, Warisan Kreativitas Para Wali" data-blogger-escaped-data-large-file="" data-blogger-escaped-data-medium-file="" data-blogger-escaped-data-orig-file="" data-blogger-escaped-data-orig-size="" data-blogger-escaped-data-permalink="https://ahmadsamantho.wordpress.com/2010/10/08/suluk-warisan-kreativitas-para-wali/" data-blogger-escaped-originalh="183" data-blogger-escaped-originalw="300" data-blogger-escaped-scale="1.5" data-blogger-escaped-src-orig="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/prajurit-romawi.jpg?w=300&h=183" data-blogger-escaped-style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" height="183" src="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/prajurit-romawi.jpg?w=450&h=276" style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" title="prajurit romawi" width="300">Beberapa model rambut Romawi yang dapat kita temukan di relief di candi Penataran,terutama di urutan ke-3 dari kiri. Masalahnya, kenapa dalam sejarah nasional tidak ada penjelasan seberapa luas Negara kita dahulu?
    • Untuk mencapai hal tersebut diperlukan revitalisasi nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang bersumber dari warisan masa lalu dan perkembangannya di masa kini. Nilai-nilai budaya dan kearifan lokal suatu masyarakat berkembang dari hubungan antara alam, filsafat dan kebudayaan yang dicapai pada suatu periode. Kebudayaan suatu masyarakat sangat erat dengan alam tempat masyarakat tersebut tumbuh berkembang, filsafat yang dianut masyarakat tersebut, dan kebudayaannya yang telah dicapai di masa lalu. Oleh kerana itu, informasi tentang kebudayaan lokal, kondisi alam dan filsafat yang dianut serta budaya di masa lalu perlu disebarluaskan sebagai bahan untuk revitalisasi budaya guna membangun ketahanan budaya;
    • Dalam hubungan tersebut diatas, dalam rangka penguatan kebudayaan Nasional, masyarakat Jawa Barat dengan salah satu cirinya adalah kebudayaan Sunda perlu melakukan reinventing maupun revitalisasi budaya dari dua isu penting: “Atlantis” dan “Tarumanagara”. Atlantis yang pertamakali diberitakan oleh Plato (428 SM – 348 SM) sudah dicari orang setidaknya sejak masa Bacon (abad 17 M) hingga Himmler di tahun 1939. Wacana pencarian Atlantis ramai kembali sejak Santos di tahun 2005 dalam bukunya yang berjudul “The Lost Atlantis Finally is Found” berkesimpulan bahwa wilayah yang secara geologi-geografis disebur Sundaland (Indonesia) adalah letak the lost Atlantis itu. Pendapat Santos ini diperkuat oleh Oppenheimer berdasarkan studi gen (DNA). Kenyataan ini di tanah air telah mendorong beberapa diskusi dan upaya menghidupkan kembali wacana Atlantis dengan hipotesis yang kuat bahwa kawasan Indonesia (Sundaland) sebagai lokasi Atlantis. Sundaland secara geologi boleh disebut sebagai “continent” sehingga pencarian Atlantis adalah pencarian “the lost continent”;
    • Sementara itu, kerajaan Tarumanagara (358-669 M) selama ini dapat dikatakan terlupakan (the forgotten kingdom) kecuali di kalangan para peneliti dan otoritas pengelolaan peninggalan (Pemerintah dan Pemda terkait). Bagaimana tidak, jika seorang peneliti Perancis sudah melakukan penelitian di Situs Batujaya yang diduga kuat sebagai peninggalan era kerajaan Tarumanagara, kita masih sedikit meneliti dan mengapresiasinya. Padahal, berdasarkan bukti-bukti yang ada, implikasi penemuan Situs Batujaya ini sangat penting bagi perkembangan kepurbakalaan atau masa transisi dari pra-Sejarah ke masa sejarah bangsa Indonesia, Jawa khususnya. Hal ini terkait pula dengan pembangunan jatidiri bangsa. Catatan sejarah Tarumanagara yang ada menunjukkan pembelajaran yang penting, baik untuk reinventing maupun revitalisasi budaya dari capaian salah seorang penguasanya yang termashur, yaitu Raja Purnawarman (395-434 M). Sedikitnya ada 3 area tapa brata (kerja untuk memajukan bangsa atau masyarakat) dari Purnawarman yang perlu diteladani, yaitu: 1) pengelolaan air dalam bentuk pemeliharaan sungai-sungai, pembangunan sarana irigasi, dan sarana transportasi air (pembangunan kanal), 2) pembangunan pertanian, pemukiman, dan pemeliharaan kawasan konservasi yang penting untuk kehidupan, terutama hutan dan kawasan perairan; 3) dan penghormatan kepada para pemuka agama (agama) dan contoh budaya bersyukur (berkurban) setelah mencapai keberhasilan sebagai ciri atau karakter kepemimpinan (leadership) yang penting. Upaya untuk reinventing dan revitalisasi budaya dari masa kerajaan Tarumanagara perlu dilanjutkan dalam rangka pembangunan kembali kejayaan bangsa.
    • Kata “Sunda” mulai digunakan oleh raja Purnawarman pada tahun 397 untuk menyebut ibukota Kerajaan Tarumanagara yang didirikannya. Dalam naskah historis penyebutan “Sunda” merujuk pada ibukota Kerajaan Tarumanagara yang bernama Sundapura. Kerajaan Tarumanagara merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara sebagaimana dibuktikan dalam prasasti dan berita naskah kuno terkait. Letak tepat kota Sundapura masih menjadi penelitian para ahli, apakah di Jakarta, Bogor, Bekasi atau Karawang sekarang. Namun demikian, di Karawang terdapat situs percandian Batujaya yang menunjukkan tumbuh kembangnya kebudayaan sejak abad 2 Masehi hingga abad 12 Masehi yang mendukung kehadiran Kerajaan Tarumanagara yang terkenal dengan kemakmurannya.
    • Memperhatikan kondisi fisiografi Jawa Barat sangat dimungkinkan sebagai wilayah pilihan tempat pemukiman manusia sejak jaman dulu, sehingga sangat potensial dengan tinggalan budayanya, mulai dari masa prasejarah, Hindu Budha, Islam, kolonial hingga kemerdekaan. Gugusan bagian barat Pulau Jawa (Jawa Barat) dikenal lebih dulu dibandingkan dengan gugusan tengah dan timur Pulau Jawa, sehingga dapat dipahami apabila dalam peta-peta kuno digunakan istilah “Sunda” dalam penyebutan paparan di sekitar Pulau Jawa. Istilah-istilah dalam bidang geografi-geologi yang menggunakan kata “Sunda” diperkenalkan oleh pendatang atau penjelajah Barat dari Eropa;
    • Saatnya kita menemukan dan merevitalisasi tinggalan-tinggalan, capaian-capaian, nilai-nilai, atau pesan-pesan dari wacana the lost continent (Atlantis) dan the forgotten kingdom (Tarumanagara). Identifikasi manfaat yang dapat diperoleh dari upaya tersebut memiliki potensi besar untuk menemukan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya tinggi di masa lalu dan mampu bangkit kembali mencapai peradabannya kini dan kedepan.
    •Perkembangan perbaruhan manusia memungkinkan terjadinya berbagai perubahan di berbagai tata kehidupannya, yaitu pola kehidupan, peralatan hidup yang digunakan untuk keperluan hidup dan juga lingkungan tempat mereka menetap serta budaya mereka. Hal tersebut juga terjadi pada masyarakat Sunda dan budayanya meskipun yang dikenal sangat dinamis. Salah satunya karena posisi geografis dan fisiografis wilayah Sunda sangat strategis di posisi tengah pergaulan dunia dan derasnya globalisasi teknologi dan informasi. Percepatan Akulturasi budaya Sunda juga didukung oleh tingkat pendidikan masyarakat Sunda yang semakin baik. Dimana akulturasi budaya pada masyarakat Sunda yang memiliki keterbukaan yang tinggi untuk menerima berbagai budaya lain yang datang dan beradaptasi di lingkungan Sunda.
    • Berdasarkan hal tersebut diatas, maka Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, pada Oktober 2010 akan menyelenggarakan konferensi internasional tentang alam, filsafat dan budaya dari peradaban Sunda di masa lalu dengan tema “Reinventing Sunda in Strengthening the National Culture and Promoting Cultural Diversity” dan sub tema: “Cultural Revitalization of the Forgotten Kingdom and the Lost Continent” pada tanggal 25-27 Oktober 2010 di Kota Bogor.
    Berdasarkan berbagai pertimbangan, keseluruhan kegiatan tersebut diberi judul: “Reinventing Sunda in Strengthening the National Culture and Promoting Cultural Diversity, International Conference on Nature, Philosophy, and Culture of Ancient Sunda Civilization (International Conference on Sundanese Culture).
    II. Dasar Kegiatan
    1. Undang Undang Dasar 1945 Pasal 32, tentang Pemerintah Memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia;
    2. Undang-undang RI Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya;
    3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 78 Tahun 2007 tentang Pengesahan Conservation for the Safeguarding of The Intangible Cultural Heritage Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Takbenda.
    4. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 42 Tahun 2009/Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan
    5. Peraturan perundang-undangan lainnya serta konvensi-konvensi internasional yang relevan III. Maksud dan Tujuan Maksud kegiatan ini adalah pencarian kembali (reinveting) nilai-nilai positif yang berkembang dari hubungan antara alam, lingkungan, filsafat dan kebudayaan lokal masyarakat Sunda masa lalu yang diproyeksikan (revitalisasi) pada masa sekarang guna penguatan dan peningkatan budaya lokal dan nasional untuk berkontribusi pada pengurangan kemiskinan, kemajuan kesejahteraan masyarakat di tingkat lokal, nasional dan global. Adapun tujuan kegiatan ini adalah:
    1. Sebagai wadah pertemuan untuk memperoleh pemahaman yang mendalam sehingga menimbulkan kesadaran dan perencana bersama, serta kreativitas didalam menjadikan nilai-nilai positif capaian kerajaan Tarumanagara dan wacana benua Atlantis yang hilang berada di Sundaland untuk pembangunan budaya masyarakat di tingkat lokal, nasional dan global;
    2. Merevitalisasi budaya atas capaian budaya kerajaan Tarumanagara dan wacana Atlantis benua yang hilang berada di kawasan Sundaland (Indonesia) melalui serangkaian kegiatan seminar, pameran dan kunjungan lapangan ke Situs Batujaya, Karawang, Jawa Barat.
    IV. Bentuk Kegiatan
    Bentuk kegiatan konferensi adalah konferensi, pameran dan kunjungan lapangan ke Situs Batujaya Kabupaten Karawang.
    V. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
    Rencana waktu dan kegiatan Reinventing Sunda in Strengthening the National Culture and Promoting Cultural Diversity, International Conference on Nature, Philosophy and Culture of Ancient Sundanese Civilization dilaksanakan pada : Waktu : 25 – 27 Oktober 2010 Tempat : Kota Bogor & Kabupaten Karawang
    VI. Topik Materi, Penyaji , dan Moderator
    Topik materi, penyaji/pembicara dan moderator dalam konferensi dan kunjungan lapangan (field trip) ke situs Batujaya ini adalah sebagaimana pada tabel dibawah ini.
    NO         TEMA, MATERI, PENYAJI,  MODERATOR
    1. The Role of UNESCO on Cultural Diversity, Prof. Dr. H. Arief Rachman, M.Pd & Kadisparbud Provinsi Jawa Barat: Ir.Herdiwan, M.Si
    2. Pengembangan Kebudayaan di Indonesia melalui Revitalisasi Kebudayaan Daerah, Prof. Dr. Edi Sediawati
    3. Pelestarian dan Pengembangan Warisan Budaya, Dr. Junus Satrio
    4. Implementasi Program Kebudayaan di Jawa Barat, Wakil Gubernur Jawa Barat, Moderator: Oman Abdurahman
    5. Sunda Bihari-Kamari-Kiwari-Baring Supagi (Sunda Masa Silam, Masa Lalu, Masa Kini dan Masa yang akan Datang), H.R. Hidayat Suryalaga
    6. Archeology and Cultural Values in Batu Jaya Sites, Dr. Hasan Djafar, T. Bachtiar
    7. The History of Canal Civilization between Persia, Sriwijaya and Tarumanagara Okki S. Jusuf
    8. Book Review on “The Lost Atlantis Finally is Found” and Sundaland Civilization Sites according to Prof.Dr. Arisyo Nunes des Santos, Dr. Frank Josef Hoff,  Ahmad Y. Samantho
    9. The Discovery of Perennial Philosophy from the Ancient Civilization, Traditions and Local Indonesian Culture to Solve the Core Problems Modern Human Life, Prof. Dr. Harry Oldmeadow
    10. Eden in the East : The Importance of Sea Level Changes over the Sunda Shelf in the Spread of People and Culture in Southeast Asia and the Pacific over the last 15.000 years, Prof. Dr. Stephen Oppenheimer, Dr. Ir. Johan Arif, MT.
    11. Geological History of Sunda Land and The Possibily of The Lost Continent of Atlantis, Prof. Dr. Adjat Sudrajat Oman Abdurahman
    12. Kebudayaan Austronesia dalam Masyarakat Sunda Kuno, Dr. Agus Aris Munandar
    13. Batujaya site: between Energy Resources and Archeological Resources Prof. Dr. R.P. Koesumadinata
    14. The Relation between Nature, Philosophy dan Cultural Development, Cases Study on World Civilizations, Prof. Dr. H.M. Ahman Sya,  Dr. Gugun Gunardi, M.Hum
    15. Philosophy Emerging from Local Wisdom and Culture: Cases study from Ancient Nusantara Maritim & Canals Civilization, Dr. Radhar Panca Dahana
    VII.Peserta
    Peserta dan tamu undangan kegiatan Konferensi Internasional tersebut sekitar 300 orang yang mewakili dari berbagai unsur, antara lain:
    1. Instansi Pemda di seluruh Jawa Barat
    2. Para peneliti dari Perguruan Tinggi dan masyarakat umum
    3. Budayawan dan seniman
    4. Masyarakat pencinta/pemerhati/pelaku budaya umumnya dan budaya Sunda khususnya
    5. LSM
    6. Stakeholders
    7. Sejarawan
    8. Wakil dari berbagai media cetak, elektronik, dan lainnya sebagai peserta VIII.
    Pelaksana Kegiatan Pelaksana kegiatan konferensi internasional ini adalah Pemerintah melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat bekerjasama dengan Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO.
    IX. Susunan atau Agenda Acara
    Susunan atau agenda acara konferensi internasional dimaksud terlampir.
    X. Penutup
    Demikian pedoman ini kami sampaikan, semoga pedoman ini dapat sebagai bahan pertimbangan untuk mendukung suksesnya pelaksanaan kegiatan Reinventing Sunda in Strengthening the National Culture and Promoting Cultural Diversity, International Conference on Nature, Philosophy, and Culture of Ancient Sunda Civilization ((International Conference on Sundanese Culture),
    Bogor, 25-27 Oktober 2010.
    Mudah-mudahan apa yang diharapkan semua masyarakat Jawa Barat, Sunda khususnya, dan masyarakat di Seluruh Indonesia umumnya di bidang kebudayaan ini dapat terwujud, serta mampu berkontribusi kepada masyarakat global. Atas kerjasama dan dukungannya kami ucapkan terima kasih.
    Bandung, Juni 2010
    PANITIA
    REINVENTING SUNDA IN STRENGTHENING THE NATIONAL CULTURE AND
    PROMOTING CULTURAL DIVERSITY
    INTERNATIONAL CONFERENCE ON NATURE, PHILOSOPHY AND CULTURE OF ANCIENT SUNDA CIVILIZATION
    (INTERNATIONAL CONFERENCE ON SUNDANESE CULTURE)
    Bogor, October 2527, 2010

    No TIME AGENDA & TOPIC PRESENTATION SPEAKERS/MODERATOR
    MONDAY, OCTOBER 25, 2010
    1 10.00 – 17.00 Cultural exhibition at BKPP office, Bogor , Opening by Head of BKKP Bogor/ Mayor of Bogor city & Head of Agency of Tourism and Culture, West Java
    OC & SC
    2
    12.00 – 13.00
    Attendant registration at Salak hotel
    OC
    OPENING SESSION, SALAK THE HERITAGE HOTEL, BOGOR
    3
    13.30 – 14.30
    The Opening:
    –       Art performance
    –       The Commettee report

    –       Welcoming speech by Governor of West Java
    –       Welcoming speech by Ministry of National Education Republic of Indonesia (RI)
    –       Welcoming speech and opening by Ministry of Culture and Tourism RI


    SC & OC
    Head of Agency of Tourism and Culture, West Java
    Governor of West Java
    Ministry of National Education RI

    Ministry of Culture and Tourism RI
    CONFERENCE
    SESSION I, SALAK THE HERITAGE HOTEL, BOGOR
    4
    14.30 – 16.00
    Topic :
    Speakers :


    1. The Role of UNESCO on Cultural Diversity
    Prof. Dr. H. Arief Rachman, M.Pd.


    1. Cultural Development of Indonesia trough Revitalization of Its Local Culture
    2. Conservation and Development of Cultural Heritage
    Prof. Dr. Edi Sediawati

    Dr. Junus Satrio Atmodjo, M.Hum

    Moderator :
    Head of Agency of Tourism and Culture, West Java
    Notulen:
    Drs. Eddy Sunarto
    SESSION II, SALAK THE HERITAGE HOTEL, BOGOR
    5
    16.00 – 18.00
    Topic :

    1. Implementation of Cultural Program in West Java, Indonesia
    2. Sunda Bihari-Kamari-Kiwari-Baring Supagi” (Sunda in Ancient, Past, Recent and Future)


    Speakers :
    Vice Governor of West Java

    H.R. Hidayat Suryalaga

    Moderator :
    Oman Abdurahman
    Notulen:
    Dr. Gugun Gunardi, M.Hum.
    6
    18.00 – 19.00
    Coffee break
    OC
    7
    19.00 – 21.30
    Welcoming Dinner at Plaza Balaikota Bogor
    Mayor of Bogor city
    SC & OC


    REINVENTING SUNDA IN STRENGTHENING THE NATIONAL CULTURE AND PROMOTING CULTURAL DIVERSITY
    INTERNATIONAL CONFERENCE ON NATURE, PHILOSOPHY AND CULTURE OF ANCIENT SUNDA CIVILIZATION
    (INTERNATIONAL CONFERENCE ON SUNDANESE CULTURE)
    Bogor, October, 25-27, 2010



    No TIME AGENDA & TOPIC PRESENTATION SPEAKERS/MODERATOR
    TUESDAY, OCTOBER 26,  2010
    CONFERENCE & FIELDTRIP (BOGOR-KARAWANG-BOGOR)
    SESSION III, SALAK THE HERITAGE HOTEL, BOGOR
    8 07.30 – 09.00 Topics : Speakers :
    1. Archeology and Cultural Values in Batu Jaya Sites
    Dr. Hasan Djafar
    1. The History of Canal Civilization between Persia, Sriwijaya and Tarumanagara


    Okki S. Jusuf

    Moderator :
    T. Bachtiar

    Notulen:
    Ir. Oki Oktariadi, MT.
    9
    09.30 – 12.00
    Departing to Batujaya site, Karawang, West Java
    Drs. Eddy Sunarto
    SESSION IV, FIELDTRIP TO BATUJAYA SITE, KARAWANG, WEST JAVA
    10
    12.00 – 13.00
    Welcoming speech
    Culture Performance

    Karawang Regent/ Head of Agency of Tourism & Culture, Karawang Regency
    11
    13.00 -14.00
    Site observation :
    –      Museum of Batujaya site
    –      Jiwa site
    –      Blandongan site

    Guides :
    Dr. Hasan Djafar
    Okki S. Jusuf

    12
    14.30 – 17.00
    –  Back to Salak the Heritage Hotel,  Bogor
    –  Coffee break

    Drs. Eddy Sunarto
    BKPP OFFICE, BOGOR
    13
    17.00.– 18.00
    Visit cultural exhibition
    OC







    REINVENTING SUNDA IN STRENGTHENING THE NATIONAL CULTURE AND PROMOTING CULTURAL DIVERSITY
    INTERNATIONAL CONFERENCE ON NATURE, PHILOSOPHY AND CULTURE OF ANCIENT SUNDA CIVILIZATION
    (INTERNATIONAL CONFERENCE ON SUNDANESE CULTURE)
    Bogor, October 2527, 2010

    No TIME AGENDA & TOPIC PRESENTATION SPEAKERS/MODERATOR
    WEDNESDAY, OCTOBER 27, 2010
    SESSION V, SALAK THE HERITAGE HOTEL, BOGOR
    14 07.30 – 09.30 Topics : Speakers:
    1. Geological History of   Sunda Land and The Possibility of The Lost Continent of Atlantis
    Prof. Dr. Adjat Sudradjat



    1. Austronesia Culture in the Ancient Sunda Community
    Dr. Agus Aris Munandar


    1. The Origin and Pre-History of the Sundanese
    Prof. Dr. R.P. Koesoemadinata



    Moderator :
    Oman Abdurahman
    Notulen :
    Ir. Oki Oktariadi, MT.
    15
    09.30 – 10.00
    Coffee break
    OC
    SESSION VI, SALAK THE HERITAGE HOTEL, BOGOR
    16
    10.00 – 12.00
    Topic:
    Eden in The East : The Importance of Sea Level Changes over the Sunda Shelf in the Spread of People and Culture in Southeast Asia and the Pacific over the Last 15.000 years.

    Speaker :
    Prof. Dr. Stephen Oppenheimer
    Moderator :
    Dr. Ali Akbar
    Notulen :
    Ir. Yakob Malik, M.Pd.
    17
    12.00 – 13.00
    LUNCH
    OC
    SESSION VII, SALAK THE HERITAGE HOTEL, BOGOR
    18
    13.00 – 15.00
    Topics :
    Speaker:


    Book Review on “Atlantis, The Lost Continent Finally Found” and Sundaland Civilization Sites according to Prof.Dr. Arisyo Nunes des Santos


    Dr. Frank Joseph Hoff
    Moderator :
    Ahmad Y. Samantho
    Notulen :
    T. Bachtiar
    19
    15.00 – 15.30
    Coffee break
    OC
    SESSION VIII, SALAK THE HERITAGE HOTEL, BOGOR
    20
    15.30 – 17.30
    Topics :
    Speakers:


    1. The Relation between Nature, Philosophy dan Cultural Development, Cases Study on World Civilizations
    Prof. Dr. H. M. Ahman Sya



    1. Philosophy Emerging from Local Wisdom and Culture: Cases study from Ancient Nusantara Maritim & Canals Civilization
    Dr. Radhar Panca Dahana

    Moderator :
    Dr. Gugun Gunardi, M.Hum.
    Notulen :
    Ir. Oki Oktariadi, MT.
    21
    17.30 – 18.00
    Closing Ceremony (results formulation of the conference, closing report , closing speech)
    OC, SC
    Dr. Ir. Tresna Dermawan Kunaefi


    " data-blogger-escaped-data-image-meta="[]" data-blogger-escaped-data-image-title="INTERNATIONAL CONFERENCE ON SUNDA LAND CIVILIZATION, NATURE & WISDOM" data-blogger-escaped-data-large-file="" data-blogger-escaped-data-medium-file="" data-blogger-escaped-data-orig-file="" data-blogger-escaped-data-orig-size="" data-blogger-escaped-data-permalink="https://ahmadsamantho.wordpress.com/?p=4346" data-blogger-escaped-originalh="100" data-blogger-escaped-originalw="300" data-blogger-escaped-scale="1.5" data-blogger-escaped-src-orig="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/model-rambut-romawi-di-candi-penataran.jpg?w=300&h=100" data-blogger-escaped-style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" height="101" src="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/model-rambut-romawi-di-candi-penataran.jpg?w=450&h=152" style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" title="model rambut romawi di candi penataran" width="300">
    Pada relief-relief yang berada di tingkat dua bangunan Sitihinggil yang ada di Candi Penataran sangat jelas menunjukkan penaklukan suatu bangsa yang mirip dengan bangsa Indian.
    Leluhur Nusantara berhasil mengambil alih salah satu kereta berkuda dan memanah ke arah lawan.

    """"Dominasi arabesque (ragam hias tetumbuhan) yang sangat simbolis dalam ukiran dan batik Jawa; begitu pula pola garis dan kecenderungan pewarnaannya yang mirip dengan lukisan miniatur Persia abad ke-13 dan 14 M, menunjukkan besarnya pengaruh para wali, yang tidak lain adalah juga para sufi. Gamelan Jawa menjadi musik yang begitu kontemplatif setelah para wali menerapkan estetika sufi bagi penabuhan instrumennya, juga dengan menambahkan instrumen baru dari tradisi Islam Arab, yaitu rebab.
    ""Gamelan Bali, yang mempertahankan estetika tantrik Hindu, tidak demikian halnya. Dalam tradisi sufi, fungsi utama musik sebagai tajarrud atau transendensi, yaitu pembebasan dari yang material melalui yang material itu sendiri; dan sebagai sarana tawajjud atau meditasi, yaitu pemusatan pikiran terhadap Yang Satu yang sekaligus adalah Yang Transenden. Dengan demikian, musik dapat membantu pendengarnya melakukan penyucian diri (thazkiya al-nafs) dan membebaskan keterikatannya dari kungkungan alam material.
    ""Tetapi, yang jarang dikemukakan ialah peranan menonjol beberapa wali di Jawa dalam penulisan karya sastra. Khususnya dalam penulisan puisi bercorak tasawuf yang lazim disebut suluk, dari bahasa Arab, yang artinya ialah jalan kerohanian menuju pemahaman mendalam terhadap keesaan Tuhan (tawhid). Pemahaman atau pengenalan mendalam terhadap keesaan itu disebut ma’rifa. Oleh karena itu, dalam sastra Melayu, puisi-puisi suluk sering disebut sebagai syair tauhid dan makrifat.
    ""Sayangnya, apabila ahli-ahli sejarah sastra Jawa berbicara tentang suluk, puisi sufistik atau mistikal, selalu yang menjadi perhatian adalah karya-karya abad ke-18 dan 19. Misalnya, Serat Cebolek karya Yasadipura II dan Wirid Hidayat Jati karya Ronggowarsito. Namun, suluk-suluk para wali sangat sedikit yang membicarakan. Padahal, karya para wali bukan saja relevan bersamaan dengan maraknya kajian tasawuf dewasa ini, melainkan juga cukup melimpah dan tersimpan sebagai koleksi mati, khususnya di museum-museum Belanda dan Tanah Air.
    Suluk, sebagai bentuk ekspresi sastra bernapas Islam, mulai ditulis di Jawa pada akhir abad ke-15 dan 16 M, bersamaan dengan runtuhnya Majapahit dan makin banyaknya orang Jawa memeluk agama Islam. Pentingnya suluk-suluk awal itu karena ia menggambarkan suasana zaman peralihan dari Hindu ke Islam, termasuk kesibukan para wali mengolah tradisi budaya lokal menjadi tradisi Islam Jawa.
    Di antara wali yang paling prolifik dalam penulisan kreatif itu ialah Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang alias Ibrahim Asmarakandi (baca al-Samarkandi). Menurut Drewes, tidak kurang dari 20 suluk panjang dalam koleksi naskah Museum Perpustakaan Universitas Leiden dan Museum Jakarta (sekarang Perpustakaan Nasional) dapat diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau rekaman ajaran kerohanian sang wali yang sempat dicatat beberapa muridnya yang pandai.""
    Banyak yang penting dan relevan dari suluk-suluk Sunan Bonang, khususnya sebagai bahan renungan. Misalnya, uraian sang wali tentang cinta (‘isyq) (baik cinta sebagai metode ilmu pengetahuan maupun cinta sebagai cara mendekatkan diri kepada Yang Satu). Persoalan Ada dan Tiada, masalah keberadaan manusia, pengaruh pikiran dan kemauan terhadap perjalanan sejarah, makna keberadaan manusia di bumi, hakikat tauhid dan pentingnya pengetahuan tertinggi yang disebut makrifat bagi kebahagiaan seseorang, dan lain-lain.
    Simaklah misalnya kisah Wujil, bekas aktor dan pelawak di istana Majapahit yang terpelajar, dalam sebuah suluknya. Setelah 10 tahun berguru kepada Sunan Bonang, dan mempelajari agama serta sastra Arab secara mendalam, dia akhirnya jemu dan merasa sia-sia. Jiwanya merasa kerontang dan gelisah, hatinya menjerit dan kebingungan. Suatu ketika, dia menghadap Sunan Bonang dan berkata:
    Agama dan sastra Arab telah saya pelajari Tetapi saya masih terus mencari-cari…
    Uraian kesatuan huruf, dulu dan sekarang Tak berbeda. Musik masih digunakan Bahasa tetap bahasa, Saya meninggalkan Majapahit dan semua yang dicintai Namun tak menemukan apa-apa sebagai penawar
    Diam-diam saya pergi malam-malam Mencari rahasia Yang Satu Mencari jalan sempurna Semua pendeta, biksu dan ulama saya temui Agar terjumpa hakikat hidup, akhir kuasa sejati Ujung utara selatan, tempat matahari dan bulan terbenam Akhir mata tertutup dan inti maut akhir ada dan tiada
    Tidak tega melihat penderitaan batin muridnya, Sunan Bonang dengan terpaksa mengajarkan tasawuf, khususnya jalan mengenal hakikat diri yang merupakan sumber kebahagiaan. Selain Suluk Wujil, banyak lagi karya Sunan Bonang yang relevan. Di antaranya ialah Suluk Khalifah, Suluk Bentur, Suluk Jebeng, dan Gita Suluk Ing Aewuh.
    Dalam Suluk Khalifah, Sunan Bonang menceritakan anekdot para wali di Jawa, pengalaman mereka mengajar Islam kepada orang Hindu, dan juga pengalamannya selama belajar di Pasai.
    Suluk Bentur ditulis dalam tembang wirangrong. Bentur artinya lengkap atau sempurna. Dalam suluk ini, Sunan Bonang menggambarkan jalan yang ditempuh para sufi sehingga mencapai kesadaran tertinggi, yaitu makrifat dan persatuan mistikal (fana, dan baqo). Garam jatuh ke dalam laut dan lenyap, tetapi tidak dapat dikatakan menjadi laut. Demikian pula manusia yang mencapai persatuan mistik, tidak dapat menjadi Tuhan. Persatuan mistikal yang tertinggi disebut fana’ruh idafi, yaitu keadaan hati yang dapat menyaksikan peralihan bentuk lahir dan fenomena menjadi wujud spiritual. Dalam keadaan demikian, kesadaran intuitif menguasai hati seseorang, dan dengan demikian penglihatan tentang keesaan terhadap Tuhan menjadi sempurna.
    Suluk Jebeng ditulis dalam pupuh dandanggula. Dimulai dengan pembicaraan mengenai wujud manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi dan uraian bahwa manusia merupakan gambaran-Nya. Menurut Sunan Bonang, ”Puncak ilmu yang sempurna seperti api berkobar. Yang tampak hanya bara dan nyalanya, kilatan cahaya dan asap yang menyeliputinya.” Untuk mengetahui hakikat keberadaan, ”Kenali apa yang ada sebelum api menyala dan apa yang tinggal sesudah api padam.” Inilah perkataan Sunan Bonang yang relevan dalam suluk ini: ”Jangan meninggalkan diri, berlindunglah kepada-Nya/ Ketahui, tempat tinggal jasad yang sebenarnya ialah ruh/ Jangan bertanya/ Jangan memuja nabi dan wali/ Jangan kau mengaku Tuhan/ Jangan mengira tak ada padahal ada/Baik diam/ Jangan diguncang kebingungan.”
    Suluk Regol ditulis dalam pupuh asmaradana. Regol artinya gapura, bentuknya menyerupai gabungan kata la (tidak) dan lam dalam ayat ”lam yalid wa lam yulad” (tidak beranak dan tidak diperanakkan) Surat al-Ikhlas. Kata lam diumpamakan sebagai gapura yang menghalangi sesuatu yang ada di belakangnya. Dalam suluk ini, peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia diumpamakan sebagai pertunjukan wayang kulit, yang dilihat dari berbagai sudut. Ada yang melihat sebagai permainan yang dilakukan Ki Dalang namun menganggap antara permainan dan yang memainkan terpisah. Ada yang melihat antara Ki Dalang dan lakon yang dimainkan tidak terpisah, bahkan melihat bahwa Ki Dalang benar-benar hadir dalam lakon yang dimainkannya. Yang lain lagi melihat bahwa pertunjukan wayang sebenarnya mencerminkan dan mengisyaratkan keberadaan Dalang.
    Telah dikemukakan bahwa gagasan utama suluk-suluk Sunan Bonang ialah cinta. Menurut para sufi, cinta merupakan asas penciptaan dan apa yang berasal dari cinta itu baik. Para sufi mengambil gagasan ini dari hadis qudsi, ”Aku perbendaharaan tersembunyi (kanz makhfiy), Aku cinta (ahbabtu) untuk dikenal maka Aku mencipta dan karena itu dikenal.” Para sufi juga merujuk kepada kalimat Bismilahirrahmannirrahim. Dalam kalimat ini ada dua jenis cinta, yaitu, al-rahman (pengasih) dan al-rahim (penyayang). Rahman adalah cinta yang esensial (dzatiyah) sebab dilimpahkan kepada semua ciptaannya, tak peduli orang Melayu, Cina, Jawa, Inggris, Afghanistan, atau Libya. Sedangkan rahim merupakan cinta wujud, artinya wajib diberikan kepada orang-orang tertentu yang sangat dicintai oleh-Nya.
    Menurut Sunan Bonang, kerusakan di dunia akan merajalela apabila cinta telah lenyap. Di sini cinta sering diidentikkan dengan iman, pengetahuan intuitif, dan dorongan kuat terhadap kebenaran tertinggi. Karena itu, Sunan Bonang berkata dalam Suluk Wujil, ”Jadikan dirimu cinta, agar dapat memandang dunia dengan terang…/Kerusakan di dunia ini muncul/ Karena amal perbuatanmu dan karena tiadanya cinta/ Yang harus dimiliki ialah yang tak dapat hancur/ Yakni cinta dan makrifat, pengetahuan sempurna.”
    [Abdul Hadi W.M., Penyair, budayawan, dan dosen Universitas Paramadina] [Edisi Khusus Lebaran, Gatra Nomor 05-06 Beredar Kamis, 13 Desember 2001]
    http://www.gatra.com/2001-12-25/versi_cetak.php?id=13522
    
    ""
    · · Share





    • "" 

  • Adi Azmatkhan sbnarnya warisan wali 9 dalam karya sastra masih banyak yang belum digali misalnya” serat chenthini ” mengandung nilai2 filsafat yg dalam yg kalau di-jabarkan mempunyai arti yg dalam dan luas 
    15 hours ago · · 3 peopleLoading… ·





  • "" 

  • Chen Chen Muttahari Babe gw ditagged dong — copy right gitu..wkwkwk…thanks ya Bib 
    14 hours ago · · 1 personLoading… ·





  • "" 

  • Habibullah Ba-Alawi Al-Husaini Tulisan yang sangat Inspiratif…..Good Luck… 
    4 hours ago · · 1 personLoading… ·





  • "" 

  • ‎@Abdul Hadi.. pak, saya ijin copy paste buat mem-publish tulisan antum di kluarga besar saya.. para turunan Walisongo Azmatkhan Al-Husaini.. trima kasih atas tulisan antum yg inspiratif khususnya bagi kluarga besar kami 
    @Chen.. sbg putri bl…iau.. tx 4 reminding.. ane inget kok, udh di tagg kmrn aq coba tag bliau smpet nggk bisa rupanya salah mw ngetag k fan page bliau yg namanya juga sama
    @Adi .. betul bib
    @Habibullah.. syukron ya syeikh sekedar mempublish tulisan dosen ana ttg kluarga kita.. semoga berhikmah
    @All
    Tulisan ini ana copy paste dr tulisan dosen ana tercinta yg penyair & budayawan handal… semoga Allah memberkahi bliau & kluarganya.. juga kluarga besar walisongo azmatkhan.. amienSee More
    2 hours ago · ·





  • "" 

  • about an hour ago · ·
    " data-blogger-escaped-data-image-meta="[]" data-blogger-escaped-data-image-title="Suluk, Warisan Kreativitas Para Wali" data-blogger-escaped-data-large-file="" data-blogger-escaped-data-medium-file="" data-blogger-escaped-data-orig-file="" data-blogger-escaped-data-orig-size="" data-blogger-escaped-data-permalink="https://ahmadsamantho.wordpress.com/?p=4349" data-blogger-escaped-originalh="167" data-blogger-escaped-originalw="300" data-blogger-escaped-scale="1.5" data-blogger-escaped-src-orig="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/leluhur-nusantara-berhasil-menusuk-panglima-dari-bangsa-indian-di-benua-amerika.jpg?w=300&h=167" data-blogger-escaped-style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" height="167" src="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/leluhur-nusantara-berhasil-menusuk-panglima-dari-bangsa-indian-di-benua-amerika.jpg?w=450&h=251" style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" title="Leluhur Nusantara berhasil menusuk panglima dari bangsa Indian di benua Amerika" width="300">Leluhur Nusantara berhasil menusuk panglima dari bangsa Indian di benua Amerika

    Dominasi arabesque (ragam hias tetumbuhan) yang sangat simbolis dalam ukiran dan batik Jawa; begitu pula pola garis dan kecenderungan pewarnaannya yang mirip dengan lukisan miniatur Persia abad ke-13 dan 14 M, menunjukkan besarnya pengaruh para wali, yang tidak lain adalah juga para sufi. Gamelan Jawa menjadi musik yang begitu kontemplatif setelah para wali menerapkan estetika sufi bagi penabuhan instrumennya, juga dengan menambahkan instrumen baru dari tradisi Islam Arab, yaitu rebab.

    Gamelan Bali, yang mempertahankan estetika tantrik Hindu, tidak demikian halnya. Dalam tradisi sufi, fungsi utama musik sebagai tajarrud atau transendensi, yaitu pembebasan dari yang material melalui yang material itu sendiri; dan sebagai sarana tawajjud atau meditasi, yaitu pemusatan pikiran terhadap Yang Satu yang sekaligus adalah Yang Transenden. Dengan demikian, musik dapat membantu pendengarnya melakukan penyucian diri (thadkiya al-nafs) dan membebaskan keterikatannya dari kungkungan alam material.

    Tetapi, yang jarang dikemukakan ialah peranan menonjol beberapa wali di Jawa dalam penulisan karya sastra. Khususnya dalam penulisan puisi bercorak tasawuf yang lazim disebut suluk, dari bahasa Arab, yang artinya ialah jalan kerohanian menuju pemahaman mendalam terhadap keesaan Tuhan (tawhid). Pemahaman atau pengenalan mendalam terhadap keesaan itu disebut ma’rifa. Oleh karena itu, dalam sastra Melayu, puisi-puisi suluk sering disebut sebagai syair tauhid dan makrifat.

    Sayangnya, apabila ahli-ahli sejarah sastra Jawa berbicara tentang suluk, puisi sufistik atau mistikal, selalu yang menjadi perhatian adalah karya-karya abad ke-18 dan 19. Misalnya, Serat Cebolek karya Yasadipura II dan Wirid Hidayat Jati karya Ronggowarsito. Namun, suluk-suluk para wali sangat sedikit yang membicarakan. Padahal, karya para wali bukan saja relevan bersamaan dengan maraknya kajian tasawuf dewasa ini, melainkan juga cukup melimpah dan tersimpan sebagai koleksi mati, khususnya di museum-museum Belanda dan Tanah Air.

    Suluk, sebagai bentuk ekspresi sastra bernapas Islam, mulai ditulis di Jawa pada akhir abad ke-15 dan 16 M, bersamaan dengan runtuhnya Majapahit dan makin banyaknya orang Jawa memeluk agama Islam. Pentingnya suluk-suluk awal itu karena ia menggambarkan suasana zaman peralihan dari Hindu ke Islam, termasuk kesibukan para wali mengolah tradisi budaya lokal menjadi tradisi Islam Jawa.

    Di antara wali yang paling prolifik dalam penulisan kreatif itu ialah Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang alias Ibrahim Asmarakandi (baca al-Samarkandi). Menurut Drewes, tidak kurang dari 20 suluk panjang dalam koleksi naskah Museum Perpustakaan Universitas Leiden dan Museum Jakarta (sekarang Perpustakaan Nasional) dapat diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau rekaman ajaran kerohanian sang wali yang sempat dicatat beberapa muridnya yang pandai.

    Banyak yang penting dan relevan dari suluk-suluk Sunan Bonang, khususnya sebagai bahan renungan. Misalnya, uraian sang wali tentang cinta (‘isyq) (baik cinta sebagai metode ilmu pengetahuan maupun cinta sebagai cara mendekatkan diri kepada Yang Satu). Persoalan Ada dan Tiada, masalah keberadaan manusia, pengaruh pikiran dan kemauan terhadap perjalanan sejarah, makna keberadaan manusia di bumi, hakikat tauhid dan pentingnya pengetahuan tertinggi yang disebut makrifat bagi kebahagiaan seseorang, dan lain-lain.

    Simaklah misalnya kisah Wujil, bekas aktor dan pelawak di istana Majapahit yang terpelajar, dalam sebuah suluknya. Setelah 10 tahun berguru kepada Sunan Bonang, dan mempelajari agama serta sastra Arab secara mendalam, dia akhirnya jemu dan merasa sia-sia. Jiwanya merasa kerontang dan gelisah, hatinya menjerit dan kebingungan. Suatu ketika, dia menghadap Sunan Bonang dan berkata:


    Agama dan sastra Arab telah saya pelajari Tetapi saya masih terus mencari-cari… 
    Uraian kesatuan huruf, dulu dan sekarang Tak berbeda. Musik masih digunakan Bahasa tetap bahasa, Saya meninggalkan Majapahit dan semua yang dicintai Namun tak menemukan apa-apa sebagai penawar
    Diam-diam saya pergi malam-malam Mencari rahasia Yang Satu Mencari jalan sempurna Semua pendeta, biksu dan ulama saya temui Agar terjumpa hakikat hidup, akhir kuasa sejati Ujung utara selatan, tempat matahari dan bulan terbenam Akhir mata tertutup dan inti maut akhir ada dan tiada


    Tidak tega melihat penderitaan batin muridnya, Sunan Bonang dengan terpaksa mengajarkan tasawuf, khususnya jalan mengenal hakikat diri yang merupakan sumber kebahagiaan. Selain Suluk Wujil, banyak lagi karya Sunan Bonang yang relevan. Di antaranya ialah Suluk Khalifah, Suluk Bentur, Suluk Jebeng, dan Gita Suluk Ing Aewuh
    .

    Dalam Suluk Khalifah, Sunan Bonang menceritakan anekdot para wali di Jawa, pengalaman mereka mengajar Islam kepada orang Hindu, dan juga pengalamannya selama belajar di Pasai.

    Suluk Bentur ditulis dalam tembang wirangrong. Bentur artinya lengkap atau sempurna. Dalam suluk ini, Sunan Bonang menggambarkan jalan yang ditempuh para sufi sehingga mencapai kesadaran tertinggi, yaitu makrifat dan persatuan mistikal (fana, dan baqo). Garam jatuh ke dalam laut dan lenyap, tetapi tidak dapat dikatakan menjadi laut. Demikian pula manusia yang mencapai persatuan mistik, tidak dapat menjadi Tuhan. Persatuan mistikal yang tertinggi disebut fana’ruh idafi, yaitu keadaan hati yang dapat menyaksikan peralihan bentuk lahir dan fenomena menjadi wujud spiritual. Dalam keadaan demikian, kesadaran intuitif menguasai hati seseorang, dan dengan demikian penglihatan tentang keesaan terhadap Tuhan menjadi sempurna.

    Suluk Jebeng ditulis dalam pupuh dandanggula. Dimulai dengan pembicaraan mengenai wujud manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi dan uraian bahwa manusia merupakan gambaran-Nya. Menurut Sunan Bonang, ”Puncak ilmu yang sempurna seperti api berkobar. Yang tampak hanya bara dan nyalanya, kilatan cahaya dan asap yang menyeliputinya.” Untuk mengetahui hakikat keberadaan, ”Kenali apa yang ada sebelum api menyala dan apa yang tinggal sesudah api padam.” Inilah perkataan Sunan Bonang yang relevan dalam suluk ini: ”Jangan meninggalkan diri, berlindunglah kepada-Nya/ Ketahui, tempat tinggal jasad yang sebenarnya ialah ruh/ Jangan bertanya/ Jangan memuja nabi dan wali/ Jangan kau mengaku Tuhan/ Jangan mengira tak ada padahal ada/Baik diam/ Jangan diguncang kebingungan
    .”

    Suluk Regol ditulis dalam pupuh asmaradana. Regol artinya gapura, bentuknya menyerupai gabungan kata la (tidak) dan lam dalam ayat ”lam yalid wa lam yulad” (tidak beranak dan tidak diperanakkan) Surat al-Ikhlas. Kata lam diumpamakan sebagai gapura yang menghalangi sesuatu yang ada di belakangnya. Dalam suluk ini, peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia diumpamakan sebagai pertunjukan wayang kulit, yang dilihat dari berbagai sudut. Ada yang melihat sebagai permainan yang dilakukan Ki Dalang namun menganggap antara permainan dan yang memainkan terpisah. Ada yang melihat antara Ki Dalang dan lakon yang dimainkan tidak terpisah, bahkan melihat bahwa Ki Dalang benar-benar hadir dalam lakon yang dimainkannya. Yang lain lagi melihat bahwa pertunjukan wayang sebenarnya mencerminkan dan mengisyaratkan keberadaan Dalang.

    Telah dikemukakan bahwa gagasan utama suluk-suluk Sunan Bonang ialah cinta. Menurut para sufi, cinta merupakan asas penciptaan dan apa yang berasal dari cinta itu baik. Para sufi mengambil gagasan ini dari hadis qudsi, ”Aku perbendaharaan tersembunyi (kanz makhfiy), Aku cinta (ahbabtu) untuk dikenal maka Aku mencipta dan karena itu dikenal.” Para sufi juga merujuk kepada kalimat Bismilahirrahmannirrahim. Dalam kalimat ini ada dua jenis cinta, yaitu, al-rahman (pengasih) dan al-rahim (penyayang). Rahman adalah cinta yang esensial (dzatiyah) sebab dilimpahkan kepada semua ciptaannya, tak peduli orang Melayu, Cina, Jawa, Inggris, Afghanistan, atau Libya. Sedangkan rahim merupakan cinta wujud, artinya wajib diberikan kepada orang-orang tertentu yang sangat dicintai oleh-Nya.

    Menurut Sunan Bonang, kerusakan di dunia akan merajalela apabila cinta telah lenyap. Di sini cinta sering diidentikkan dengan iman, pengetahuan intuitif, dan dorongan kuat terhadap kebenaran tertinggi. Karena itu, Sunan Bonang berkata dalam Suluk Wujil, ”Jadikan dirimu cinta, agar dapat memandang dunia dengan terang…/Kerusakan di dunia ini muncul/ Karena amal perbuatanmu dan karena tiadanya cinta/ Yang harus dimiliki ialah yang tak dapat hancur/ Yakni cinta dan makrifat, pengetahuan sempurna.”

    [Abdul Hadi W.M., Penyair, budayawan, dan dosen Universitas Paramadina] [Edisi Khusus Lebaran, Gatra Nomor 05-06 Beredar Kamis, 13 Desember 2001]

    http://www.gatra.com/2001-12-25/versi_cetak.php?id=13522


    
    ""
    · · Share




    • ""

  • Adi Azmatkhan sbnarnya warisan wali 9 dalam karya sastra masih banyak yang belum digali misalnya” serat chenthini ” mengandung nilai2 filsafat yg dalam yg kalau di-jabarkan mempunyai arti yg dalam dan luas
    15 hours ago · · 3 peopleLoading… ·




  • ""

  • Chen Chen Muttahari Babe gw ditagged dong — copy right gitu..wkwkwk…thanks ya Bib
    14 hours ago · · 1 personLoading… ·




  • ""

  • Habibullah Ba-Alawi Al-Husaini Tulisan yang sangat Inspiratif…..Good Luck…
    4 hours ago · · 1 personLoading… ·




  • ""

  • ‎@Abdul Hadi.. pak, saya ijin copy paste buat mem-publish tulisan antum di kluarga besar saya.. para turunan Walisongo Azmatkhan Al-Husaini.. trima kasih atas tulisan antum yg inspiratif khususnya bagi kluarga besar kami
    @Chen.. sbg putri bl…iau.. tx 4 reminding.. ane inget kok, udh di tagg kmrn aq coba tag bliau smpet nggk bisa rupanya salah mw ngetag k fan page bliau yg namanya juga sama
    @Adi .. betul bib
    @Habibullah.. syukron ya syeikh sekedar mempublish tulisan dosen ana ttg kluarga kita.. semoga berhikmah
    @All
    Tulisan ini ana copy paste dr tulisan dosen ana tercinta yg penyair & budayawan handal… semoga Allah memberkahi bliau & kluarganya.. juga kluarga besar walisongo azmatkhan.. amienSee More
    2 hours ago · ·




  • ""

  • about an hour ago · ·
    " data-blogger-escaped-data-image-meta="[]" data-blogger-escaped-data-image-title="Suluk, Warisan Kreativitas Para Wali" data-blogger-escaped-data-large-file="" data-blogger-escaped-data-medium-file="" data-blogger-escaped-data-orig-file="" data-blogger-escaped-data-orig-size="" data-blogger-escaped-data-permalink="https://ahmadsamantho.wordpress.com/?p=4350" data-blogger-escaped-originalh="167" data-blogger-escaped-originalw="300" data-blogger-escaped-scale="1.5" data-blogger-escaped-src-orig="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/penambahan-pasukan-indian-untuk-menyerang-leluhur-nusantara.jpg?w=300&h=167" data-blogger-escaped-style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" height="167" src="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/penambahan-pasukan-indian-untuk-menyerang-leluhur-nusantara.jpg?w=450&h=251" style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" title="Penambahan pasukan Indian untuk menyerang leluhur Nusantara" width="300">Penambahan pasukan Indian untuk menyerang leluhur Nusantara

    Dominasi arabesque (ragam hias tetumbuhan) yang sangat simbolis dalam ukiran dan batik Jawa; begitu pula pola garis dan kecenderungan pewarnaannya yang mirip dengan lukisan miniatur Persia abad ke-13 dan 14 M, menunjukkan besarnya pengaruh para wali, yang tidak lain adalah juga para sufi. Gamelan Jawa menjadi musik yang begitu kontemplatif setelah para wali menerapkan estetika sufi bagi penabuhan instrumennya, juga dengan menambahkan instrumen baru dari tradisi Islam Arab, yaitu rebab.
    Gamelan Bali, yang mempertahankan estetika tantrik Hindu, tidak demikian halnya. Dalam tradisi sufi, fungsi utama musik sebagai tajarrud atau transendensi, yaitu pembebasan dari yang material melalui yang material itu sendiri; dan sebagai sarana tawajjud atau meditasi, yaitu pemusatan pikiran terhadap Yang Satu yang sekaligus adalah Yang Transenden. Dengan demikian, musik dapat membantu pendengarnya melakukan penyucian diri (thadkiya al-nafs) dan membebaskan keterikatannya dari kungkungan alam material.
    Tetapi, yang jarang dikemukakan ialah peranan menonjol beberapa wali di Jawa dalam penulisan karya sastra. Khususnya dalam penulisan puisi bercorak tasawuf yang lazim disebut suluk, dari bahasa Arab, yang artinya ialah jalan kerohanian menuju pemahaman mendalam terhadap keesaan Tuhan (tawhid). Pemahaman atau pengenalan mendalam terhadap keesaan itu disebut ma’rifa. Oleh karena itu, dalam sastra Melayu, puisi-puisi suluk sering disebut sebagai syair tauhid dan makrifat.
    Sayangnya, apabila ahli-ahli sejarah sastra Jawa berbicara tentang suluk, puisi sufistik atau mistikal, selalu yang menjadi perhatian adalah karya-karya abad ke-18 dan 19. Misalnya, Serat Cebolek karya Yasadipura II dan Wirid Hidayat Jati karya Ronggowarsito. Namun, suluk-suluk para wali sangat sedikit yang membicarakan. Padahal, karya para wali bukan saja relevan bersamaan dengan maraknya kajian tasawuf dewasa ini, melainkan juga cukup melimpah dan tersimpan sebagai koleksi mati, khususnya di museum-museum Belanda dan Tanah Air.
    Suluk, sebagai bentuk ekspresi sastra bernapas Islam, mulai ditulis di Jawa pada akhir abad ke-15 dan 16 M, bersamaan dengan runtuhnya Majapahit dan makin banyaknya orang Jawa memeluk agama Islam. Pentingnya suluk-suluk awal itu karena ia menggambarkan suasana zaman peralihan dari Hindu ke Islam, termasuk kesibukan para wali mengolah tradisi budaya lokal menjadi tradisi Islam Jawa.
    Di antara wali yang paling prolifik dalam penulisan kreatif itu ialah Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang alias Ibrahim Asmarakandi (baca al-Samarkandi). Menurut Drewes, tidak kurang dari 20 suluk panjang dalam koleksi naskah Museum Perpustakaan Universitas Leiden dan Museum Jakarta (sekarang Perpustakaan Nasional) dapat diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau rekaman ajaran kerohanian sang wali yang sempat dicatat beberapa muridnya yang pandai.
    Banyak yang penting dan relevan dari suluk-suluk Sunan Bonang, khususnya sebagai bahan renungan. Misalnya, uraian sang wali tentang cinta (‘isyq) (baik cinta sebagai metode ilmu pengetahuan maupun cinta sebagai cara mendekatkan diri kepada Yang Satu). Persoalan Ada dan Tiada, masalah keberadaan manusia, pengaruh pikiran dan kemauan terhadap perjalanan sejarah, makna keberadaan manusia di bumi, hakikat tauhid dan pentingnya pengetahuan tertinggi yang disebut makrifat bagi kebahagiaan seseorang, dan lain-lain.
    Simaklah misalnya kisah Wujil, bekas aktor dan pelawak di istana Majapahit yang terpelajar, dalam sebuah suluknya. Setelah 10 tahun berguru kepada Sunan Bonang, dan mempelajari agama serta sastra Arab secara mendalam, dia akhirnya jemu dan merasa sia-sia. Jiwanya merasa kerontang dan gelisah, hatinya menjerit dan kebingungan. Suatu ketika, dia menghadap Sunan Bonang dan berkata:
    Agama dan sastra Arab telah saya pelajari Tetapi saya masih terus mencari-cari…
    Uraian kesatuan huruf, dulu dan sekarang Tak berbeda. Musik masih digunakan Bahasa tetap bahasa, Saya meninggalkan Majapahit dan semua yang dicintai Namun tak menemukan apa-apa sebagai penawar
    Diam-diam saya pergi malam-malam Mencari rahasia Yang Satu Mencari jalan sempurna Semua pendeta, biksu dan ulama saya temui Agar terjumpa hakikat hidup, akhir kuasa sejati Ujung utara selatan, tempat matahari dan bulan terbenam Akhir mata tertutup dan inti maut akhir ada dan tiada
    Tidak tega melihat penderitaan batin muridnya, Sunan Bonang dengan terpaksa mengajarkan tasawuf, khususnya jalan mengenal hakikat diri yang merupakan sumber kebahagiaan. Selain Suluk Wujil, banyak lagi karya Sunan Bonang yang relevan. Di antaranya ialah Suluk Khalifah, Suluk Bentur, Suluk Jebeng, dan Gita Suluk Ing Aewuh
    .
    Dalam Suluk Khalifah, Sunan Bonang menceritakan anekdot para wali di Jawa, pengalaman mereka mengajar Islam kepada orang Hindu, dan juga pengalamannya selama belajar di Pasai.
    Suluk Bentur ditulis dalam tembang wirangrong. Bentur artinya lengkap atau sempurna. Dalam suluk ini, Sunan Bonang menggambarkan jalan yang ditempuh para sufi sehingga mencapai kesadaran tertinggi, yaitu makrifat dan persatuan mistikal (fana, dan baqo). Garam jatuh ke dalam laut dan lenyap, tetapi tidak dapat dikatakan menjadi laut. Demikian pula manusia yang mencapai persatuan mistik, tidak dapat menjadi Tuhan. Persatuan mistikal yang tertinggi disebut fana’ruh idafi, yaitu keadaan hati yang dapat menyaksikan peralihan bentuk lahir dan fenomena menjadi wujud spiritual. Dalam keadaan demikian, kesadaran intuitif menguasai hati seseorang, dan dengan demikian penglihatan tentang keesaan terhadap Tuhan menjadi sempurna.
    Suluk Jebeng ditulis dalam pupuh dandanggula. Dimulai dengan pembicaraan mengenai wujud manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi dan uraian bahwa manusia merupakan gambaran-Nya. Menurut Sunan Bonang, ”Puncak ilmu yang sempurna seperti api berkobar. Yang tampak hanya bara dan nyalanya, kilatan cahaya dan asap yang menyeliputinya.” Untuk mengetahui hakikat keberadaan, ”Kenali apa yang ada sebelum api menyala dan apa yang tinggal sesudah api padam.” Inilah perkataan Sunan Bonang yang relevan dalam suluk ini: ”Jangan meninggalkan diri, berlindunglah kepada-Nya/ Ketahui, tempat tinggal jasad yang sebenarnya ialah ruh/ Jangan bertanya/ Jangan memuja nabi dan wali/ Jangan kau mengaku Tuhan/ Jangan mengira tak ada padahal ada/Baik diam/ Jangan diguncang kebingungan
    .”
    Suluk Regol ditulis dalam pupuh asmaradana. Regol artinya gapura, bentuknya menyerupai gabungan kata la (tidak) dan lam dalam ayat ”lam yalid wa lam yulad” (tidak beranak dan tidak diperanakkan) Surat al-Ikhlas. Kata lam diumpamakan sebagai gapura yang menghalangi sesuatu yang ada di belakangnya. Dalam suluk ini, peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia diumpamakan sebagai pertunjukan wayang kulit, yang dilihat dari berbagai sudut. Ada yang melihat sebagai permainan yang dilakukan Ki Dalang namun menganggap antara permainan dan yang memainkan terpisah. Ada yang melihat antara Ki Dalang dan lakon yang dimainkan tidak terpisah, bahkan melihat bahwa Ki Dalang benar-benar hadir dalam lakon yang dimainkannya. Yang lain lagi melihat bahwa pertunjukan wayang sebenarnya mencerminkan dan mengisyaratkan keberadaan Dalang.
    Telah dikemukakan bahwa gagasan utama suluk-suluk Sunan Bonang ialah cinta. Menurut para sufi, cinta merupakan asas penciptaan dan apa yang berasal dari cinta itu baik. Para sufi mengambil gagasan ini dari hadis qudsi, ”Aku perbendaharaan tersembunyi (kanz makhfiy), Aku cinta (ahbabtu) untuk dikenal maka Aku mencipta dan karena itu dikenal.” Para sufi juga merujuk kepada kalimat Bismilahirrahmannirrahim. Dalam kalimat ini ada dua jenis cinta, yaitu, al-rahman (pengasih) dan al-rahim (penyayang). Rahman adalah cinta yang esensial (dzatiyah) sebab dilimpahkan kepada semua ciptaannya, tak peduli orang Melayu, Cina, Jawa, Inggris, Afghanistan, atau Libya. Sedangkan rahim merupakan cinta wujud, artinya wajib diberikan kepada orang-orang tertentu yang sangat dicintai oleh-Nya.
    Menurut Sunan Bonang, kerusakan di dunia akan merajalela apabila cinta telah lenyap. Di sini cinta sering diidentikkan dengan iman, pengetahuan intuitif, dan dorongan kuat terhadap kebenaran tertinggi. Karena itu, Sunan Bonang berkata dalam Suluk Wujil, ”Jadikan dirimu cinta, agar dapat memandang dunia dengan terang…/Kerusakan di dunia ini muncul/ Karena amal perbuatanmu dan karena tiadanya cinta/ Yang harus dimiliki ialah yang tak dapat hancur/ Yakni cinta dan makrifat, pengetahuan sempurna.”
    [Abdul Hadi W.M., Penyair, budayawan, dan dosen Universitas Paramadina] [Edisi Khusus Lebaran, Gatra Nomor 05-06 Beredar Kamis, 13 Desember 2001]
    http://www.gatra.com/2001-12-25/versi_cetak.php?id=13522
    
    ""
    · · Share



    • "" 

  • Adi Azmatkhan sbnarnya warisan wali 9 dalam karya sastra masih banyak yang belum digali misalnya” serat chenthini ” mengandung nilai2 filsafat yg dalam yg kalau di-jabarkan mempunyai arti yg dalam dan luas 
    15 hours ago · · 3 peopleLoading… ·



  • "" 

  • Chen Chen Muttahari Babe gw ditagged dong — copy right gitu..wkwkwk…thanks ya Bib 
    14 hours ago · · 1 personLoading… ·



  • "" 

  • Habibullah Ba-Alawi Al-Husaini Tulisan yang sangat Inspiratif…..Good Luck… 
    4 hours ago · · 1 personLoading… ·



  • "" 

  • ‎@Abdul Hadi.. pak, saya ijin copy paste buat mem-publish tulisan antum di kluarga besar saya.. para turunan Walisongo Azmatkhan Al-Husaini.. trima kasih atas tulisan antum yg inspiratif khususnya bagi kluarga besar kami 
    @Chen.. sbg putri bl…iau.. tx 4 reminding.. ane inget kok, udh di tagg kmrn aq coba tag bliau smpet nggk bisa rupanya salah mw ngetag k fan page bliau yg namanya juga sama
    @Adi .. betul bib
    @Habibullah.. syukron ya syeikh sekedar mempublish tulisan dosen ana ttg kluarga kita.. semoga berhikmah
    @All
    Tulisan ini ana copy paste dr tulisan dosen ana tercinta yg penyair & budayawan handal… semoga Allah memberkahi bliau & kluarganya.. juga kluarga besar walisongo azmatkhan.. amienSee More
    2 hours ago · ·



  • "" 

  • about an hour ago · ·
    " data-blogger-escaped-data-image-meta="[]" data-blogger-escaped-data-image-title="Suluk, Warisan Kreativitas Para Wali" data-blogger-escaped-data-large-file="" data-blogger-escaped-data-medium-file="" data-blogger-escaped-data-orig-file="" data-blogger-escaped-data-orig-size="" data-blogger-escaped-data-permalink="https://ahmadsamantho.wordpress.com/?p=4351" data-blogger-escaped-originalh="167" data-blogger-escaped-originalw="300" data-blogger-escaped-scale="1.5" data-blogger-escaped-src-orig="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/kelihatan-bala-bantuan-indian-terburu-buru-dan-berlari-menuju-ke-medan-perang.jpg?w=300&h=167" data-blogger-escaped-style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" height="167" src="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/kelihatan-bala-bantuan-indian-terburu-buru-dan-berlari-menuju-ke-medan-perang.jpg?w=450&h=251" style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" title="Kelihatan bala bantuan Indian terburu-buru dan berlari menuju ke medan perang" width="300">Kelihatan bala bantuan Indian terburu-buru dan berlari menuju ke medan perang

    """"Dominasi arabesque (ragam hias tetumbuhan) yang sangat simbolis dalam ukiran dan batik Jawa; begitu pula pola garis dan kecenderungan pewarnaannya yang mirip dengan lukisan miniatur Persia abad ke-13 dan 14 M, menunjukkan besarnya pengaruh para wali, yang tidak lain adalah juga para sufi. Gamelan Jawa menjadi musik yang begitu kontemplatif setelah para wali menerapkan estetika sufi bagi penabuhan instrumennya, juga dengan menambahkan instrumen baru dari tradisi Islam Arab, yaitu rebab.
    ""Gamelan Bali, yang mempertahankan estetika tantrik Hindu, tidak demikian halnya. Dalam tradisi sufi, fungsi utama musik sebagai tajarrud atau transendensi, yaitu pembebasan dari yang material melalui yang material itu sendiri; dan sebagai sarana tawajjud atau meditasi, yaitu pemusatan pikiran terhadap Yang Satu yang sekaligus adalah Yang Transenden. Dengan demikian, musik dapat membantu pendengarnya melakukan penyucian diri (thadkiya al-nafs) dan membebaskan keterikatannya dari kungkungan alam material.
    Tetapi, yang jarang dikemukakan ialah peranan menonjol beberapa wali di Jawa dalam penulisan karya sastra. Khususnya dalam penulisan puisi bercorak tasawuf yang lazim disebut suluk, dari bahasa Arab, yang artinya ialah jalan kerohanian menuju pemahaman mendalam terhadap keesaan Tuhan (tawhid). Pemahaman atau pengenalan mendalam terhadap keesaan itu disebut ma’rifa. Oleh karena itu, dalam sastra Melayu, puisi-puisi suluk sering disebut sebagai syair tauhid dan makrifat.
    Sayangnya, apabila ahli-ahli sejarah sastra Jawa berbicara tentang suluk, puisi sufistik atau mistikal, selalu yang menjadi perhatian adalah karya-karya abad ke-18 dan 19. Misalnya, Serat Cebolek karya Yasadipura II dan Wirid Hidayat Jati karya Ronggowarsito. Namun, suluk-suluk para wali sangat sedikit yang membicarakan. Padahal, karya para wali bukan saja relevan bersamaan dengan maraknya kajian tasawuf dewasa ini, melainkan juga cukup melimpah dan tersimpan sebagai koleksi mati, khususnya di museum-museum Belanda dan Tanah Air.
    Suluk, sebagai bentuk ekspresi sastra bernapas Islam, mulai ditulis di Jawa pada akhir abad ke-15 dan 16 M, bersamaan dengan runtuhnya Majapahit dan makin banyaknya orang Jawa memeluk agama Islam. Pentingnya suluk-suluk awal itu karena ia menggambarkan suasana zaman peralihan dari Hindu ke Islam, termasuk kesibukan para wali mengolah tradisi budaya lokal menjadi tradisi Islam Jawa.
    Di antara wali yang paling prolifik dalam penulisan kreatif itu ialah Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang alias Ibrahim Asmarakandi (baca al-Samarkandi). Menurut Drewes, tidak kurang dari 20 suluk panjang dalam koleksi naskah Museum Perpustakaan Universitas Leiden dan Museum Jakarta (sekarang Perpustakaan Nasional) dapat diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau rekaman ajaran kerohanian sang wali yang sempat dicatat beberapa muridnya yang pandai.
    Banyak yang penting dan relevan dari suluk-suluk Sunan Bonang, khususnya sebagai bahan renungan. Misalnya, uraian sang wali tentang cinta (‘isyq) (baik cinta sebagai metode ilmu pengetahuan maupun cinta sebagai cara mendekatkan diri kepada Yang Satu). Persoalan Ada dan Tiada, masalah keberadaan manusia, pengaruh pikiran dan kemauan terhadap perjalanan sejarah, makna keberadaan manusia di bumi, hakikat tauhid dan pentingnya pengetahuan tertinggi yang disebut makrifat bagi kebahagiaan seseorang, dan lain-lain.
    Simaklah misalnya kisah Wujil, bekas aktor dan pelawak di istana Majapahit yang terpelajar, dalam sebuah suluknya. Setelah 10 tahun berguru kepada Sunan Bonang, dan mempelajari agama serta sastra Arab secara mendalam, dia akhirnya jemu dan merasa sia-sia. Jiwanya merasa kerontang dan gelisah, hatinya menjerit dan kebingungan. Suatu ketika, dia menghadap Sunan Bonang dan berkata:
    Agama dan sastra Arab telah saya pelajari Tetapi saya masih terus mencari-cari…
    Uraian kesatuan huruf, dulu dan sekarang Tak berbeda. Musik masih digunakan Bahasa tetap bahasa, Saya meninggalkan Majapahit dan semua yang dicintai Namun tak menemukan apa-apa sebagai penawar
    Diam-diam saya pergi malam-malam Mencari rahasia Yang Satu Mencari jalan sempurna Semua pendeta, biksu dan ulama saya temui Agar terjumpa hakikat hidup, akhir kuasa sejati Ujung utara selatan, tempat matahari dan bulan terbenam Akhir mata tertutup dan inti maut akhir ada dan tiada
    Tidak tega melihat penderitaan batin muridnya, Sunan Bonang dengan terpaksa mengajarkan tasawuf, khususnya jalan mengenal hakikat diri yang merupakan sumber kebahagiaan. Selain Suluk Wujil, banyak lagi karya Sunan Bonang yang relevan. Di antaranya ialah Suluk Khalifah, Suluk Bentur, Suluk Jebeng, dan Gita Suluk Ing Aewuh
    .
    Dalam Suluk Khalifah, Sunan Bonang menceritakan anekdot para wali di Jawa, pengalaman mereka mengajar Islam kepada orang Hindu, dan juga pengalamannya selama belajar di Pasai.
    Suluk Bentur ditulis dalam tembang wirangrong. Bentur artinya lengkap atau sempurna. Dalam suluk ini, Sunan Bonang menggambarkan jalan yang ditempuh para sufi sehingga mencapai kesadaran tertinggi, yaitu makrifat dan persatuan mistikal (fana, dan baqo). Garam jatuh ke dalam laut dan lenyap, tetapi tidak dapat dikatakan menjadi laut. Demikian pula manusia yang mencapai persatuan mistik, tidak dapat menjadi Tuhan. Persatuan mistikal yang tertinggi disebut fana’ruh idafi, yaitu keadaan hati yang dapat menyaksikan peralihan bentuk lahir dan fenomena menjadi wujud spiritual. Dalam keadaan demikian, kesadaran intuitif menguasai hati seseorang, dan dengan demikian penglihatan tentang keesaan terhadap Tuhan menjadi sempurna.
    Suluk Jebeng ditulis dalam pupuh dandanggula. Dimulai dengan pembicaraan mengenai wujud manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi dan uraian bahwa manusia merupakan gambaran-Nya. Menurut Sunan Bonang, ”Puncak ilmu yang sempurna seperti api berkobar. Yang tampak hanya bara dan nyalanya, kilatan cahaya dan asap yang menyeliputinya.” Untuk mengetahui hakikat keberadaan, ”Kenali apa yang ada sebelum api menyala dan apa yang tinggal sesudah api padam.” Inilah perkataan Sunan Bonang yang relevan dalam suluk ini: ”Jangan meninggalkan diri, berlindunglah kepada-Nya/ Ketahui, tempat tinggal jasad yang sebenarnya ialah ruh/ Jangan bertanya/ Jangan memuja nabi dan wali/ Jangan kau mengaku Tuhan/ Jangan mengira tak ada padahal ada/Baik diam/ Jangan diguncang kebingungan
    .”
    Suluk Regol ditulis dalam pupuh asmaradana. Regol artinya gapura, bentuknya menyerupai gabungan kata la (tidak) dan lam dalam ayat ”lam yalid wa lam yulad” (tidak beranak dan tidak diperanakkan) Surat al-Ikhlas. Kata lam diumpamakan sebagai gapura yang menghalangi sesuatu yang ada di belakangnya. Dalam suluk ini, peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia diumpamakan sebagai pertunjukan wayang kulit, yang dilihat dari berbagai sudut. Ada yang melihat sebagai permainan yang dilakukan Ki Dalang namun menganggap antara permainan dan yang memainkan terpisah. Ada yang melihat antara Ki Dalang dan lakon yang dimainkan tidak terpisah, bahkan melihat bahwa Ki Dalang benar-benar hadir dalam lakon yang dimainkannya. Yang lain lagi melihat bahwa pertunjukan wayang sebenarnya mencerminkan dan mengisyaratkan keberadaan Dalang.
    Telah dikemukakan bahwa gagasan utama suluk-suluk Sunan Bonang ialah cinta. Menurut para sufi, cinta merupakan asas penciptaan dan apa yang berasal dari cinta itu baik. Para sufi mengambil gagasan ini dari hadis qudsi, ”Aku perbendaharaan tersembunyi (kanz makhfiy), Aku cinta (ahbabtu) untuk dikenal maka Aku mencipta dan karena itu dikenal.” Para sufi juga merujuk kepada kalimat Bismilahirrahmannirrahim. Dalam kalimat ini ada dua jenis cinta, yaitu, al-rahman (pengasih) dan al-rahim (penyayang). Rahman adalah cinta yang esensial (dzatiyah) sebab dilimpahkan kepada semua ciptaannya, tak peduli orang Melayu, Cina, Jawa, Inggris, Afghanistan, atau Libya. Sedangkan rahim merupakan cinta wujud, artinya wajib diberikan kepada orang-orang tertentu yang sangat dicintai oleh-Nya.
    Menurut Sunan Bonang, kerusakan di dunia akan merajalela apabila cinta telah lenyap. Di sini cinta sering diidentikkan dengan iman, pengetahuan intuitif, dan dorongan kuat terhadap kebenaran tertinggi. Karena itu, Sunan Bonang berkata dalam Suluk Wujil, ”Jadikan dirimu cinta, agar dapat memandang dunia dengan terang…/Kerusakan di dunia ini muncul/ Karena amal perbuatanmu dan karena tiadanya cinta/ Yang harus dimiliki ialah yang tak dapat hancur/ Yakni cinta dan makrifat, pengetahuan sempurna.”
    [Abdul Hadi W.M., Penyair, budayawan, dan dosen Universitas Paramadina] [Edisi Khusus Lebaran, Gatra Nomor 05-06 Beredar Kamis, 13 Desember 2001]
    http://www.gatra.com/2001-12-25/versi_cetak.php?id=13522
    
    ""
    · · Share


    • "" 

  • Adi Azmatkhan sbnarnya warisan wali 9 dalam karya sastra masih banyak yang belum digali misalnya” serat chenthini ” mengandung nilai2 filsafat yg dalam yg kalau di-jabarkan mempunyai arti yg dalam dan luas 
    15 hours ago · · 3 peopleLoading… ·


  • "" 

  • Chen Chen Muttahari Babe gw ditagged dong — copy right gitu..wkwkwk…thanks ya Bib 
    14 hours ago · · 1 personLoading… ·


  • "" 

  • Habibullah Ba-Alawi Al-Husaini Tulisan yang sangat Inspiratif…..Good Luck… 
    4 hours ago · · 1 personLoading… ·


  • "" 

  • ‎@Abdul Hadi.. pak, saya ijin copy paste buat mem-publish tulisan antum di kluarga besar saya.. para turunan Walisongo Azmatkhan Al-Husaini.. trima kasih atas tulisan antum yg inspiratif khususnya bagi kluarga besar kami 
    @Chen.. sbg putri bl…iau.. tx 4 reminding.. ane inget kok, udh di tagg kmrn aq coba tag bliau smpet nggk bisa rupanya salah mw ngetag k fan page bliau yg namanya juga sama
    @Adi .. betul bib
    @Habibullah.. syukron ya syeikh sekedar mempublish tulisan dosen ana ttg kluarga kita.. semoga berhikmah
    @All
    Tulisan ini ana copy paste dr tulisan dosen ana tercinta yg penyair & budayawan handal… semoga Allah memberkahi bliau & kluarganya.. juga kluarga besar walisongo azmatkhan.. amienSee More
    2 hours ago · ·


  • "" 

  • about an hour ago · ·
    " data-blogger-escaped-data-image-meta="[]" data-blogger-escaped-data-image-title="Suluk, Warisan Kreativitas Para Wali" data-blogger-escaped-data-large-file="" data-blogger-escaped-data-medium-file="" data-blogger-escaped-data-orig-file="" data-blogger-escaped-data-orig-size="" data-blogger-escaped-data-permalink="https://ahmadsamantho.wordpress.com/?p=4352" data-blogger-escaped-originalh="167" data-blogger-escaped-originalw="300" data-blogger-escaped-scale="1.5" data-blogger-escaped-src-orig="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/pasukan-indian-yang-mempunyai-kekuatan-pasukan-gajah-di-sinilah-letak-ukuran-tahunnya.jpg?w=300&h=167" data-blogger-escaped-style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" height="167" src="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/pasukan-indian-yang-mempunyai-kekuatan-pasukan-gajah-di-sinilah-letak-ukuran-tahunnya.jpg?w=450&h=251" style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" title="Pasukan Indian yang mempunyai kekuatan pasukan gajah di sinilah letak ukuran tahunnya" width="300">Pasukan Indian yang mempunyai kekuatan pasukan gajah di sinilah letak ukuran tahunnya

    """"Dominasi arabesque (ragam hias tetumbuhan) yang sangat simbolis dalam ukiran dan batik Jawa; begitu pula pola garis dan kecenderungan pewarnaannya yang mirip dengan lukisan miniatur Persia abad ke-13 dan 14 M, menunjukkan besarnya pengaruh para wali, yang tidak lain adalah juga para sufi. Gamelan Jawa menjadi musik yang begitu kontemplatif setelah para wali menerapkan estetika sufi bagi penabuhan instrumennya, juga dengan menambahkan instrumen baru dari tradisi Islam Arab, yaitu rebab.
    ""Gamelan Bali, yang mempertahankan estetika tantrik Hindu, tidak demikian halnya. Dalam tradisi sufi, fungsi utama musik sebagai tajarrud atau transendensi, yaitu pembebasan dari yang material melalui yang material itu sendiri; dan sebagai sarana tawajjud atau meditasi, yaitu pemusatan pikiran terhadap Yang Satu yang sekaligus adalah Yang Transenden. Dengan demikian, musik dapat membantu pendengarnya melakukan penyucian diri (thadkiya al-nafs) dan membebaskan keterikatannya dari kungkungan alam material.
    ""Tetapi, yang jarang dikemukakan ialah peranan menonjol beberapa wali di Jawa dalam penulisan karya sastra. Khususnya dalam penulisan puisi bercorak tasawuf yang lazim disebut suluk, dari bahasa Arab, yang artinya ialah jalan kerohanian menuju pemahaman mendalam terhadap keesaan Tuhan (tawhid). Pemahaman atau pengenalan mendalam terhadap keesaan itu disebut ma’rifa. Oleh karena itu, dalam sastra Melayu, puisi-puisi suluk sering disebut sebagai syair tauhid dan makrifat.
    ""Sayangnya, apabila ahli-ahli sejarah sastra Jawa berbicara tentang suluk, puisi sufistik atau mistikal, selalu yang menjadi perhatian adalah karya-karya abad ke-18 dan 19. Misalnya, Serat Cebolek karya Yasadipura II dan Wirid Hidayat Jati karya Ronggowarsito. Namun, suluk-suluk para wali sangat sedikit yang membicarakan. Padahal, karya para wali bukan saja relevan bersamaan dengan maraknya kajian tasawuf dewasa ini, melainkan juga cukup melimpah dan tersimpan sebagai koleksi mati, khususnya di museum-museum Belanda dan Tanah Air.
    Suluk, sebagai bentuk ekspresi sastra bernapas Islam, mulai ditulis di Jawa pada akhir abad ke-15 dan 16 M, bersamaan dengan runtuhnya Majapahit dan makin banyaknya orang Jawa memeluk agama Islam. Pentingnya suluk-suluk awal itu karena ia menggambarkan suasana zaman peralihan dari Hindu ke Islam, termasuk kesibukan para wali mengolah tradisi budaya lokal menjadi tradisi Islam Jawa.
    Di antara wali yang paling prolifik dalam penulisan kreatif itu ialah Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang alias Ibrahim Asmarakandi (baca al-Samarkandi). Menurut Drewes, tidak kurang dari 20 suluk panjang dalam koleksi naskah Museum Perpustakaan Universitas Leiden dan Museum Jakarta (sekarang Perpustakaan Nasional) dapat diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau rekaman ajaran kerohanian sang wali yang sempat dicatat beberapa muridnya yang pandai.""
    Banyak yang penting dan relevan dari suluk-suluk Sunan Bonang, khususnya sebagai bahan renungan. Misalnya, uraian sang wali tentang cinta (‘isyq) (baik cinta sebagai metode ilmu pengetahuan maupun cinta sebagai cara mendekatkan diri kepada Yang Satu). Persoalan Ada dan Tiada, masalah keberadaan manusia, pengaruh pikiran dan kemauan terhadap perjalanan sejarah, makna keberadaan manusia di bumi, hakikat tauhid dan pentingnya pengetahuan tertinggi yang disebut makrifat bagi kebahagiaan seseorang, dan lain-lain.
    Simaklah misalnya kisah Wujil, bekas aktor dan pelawak di istana Majapahit yang terpelajar, dalam sebuah suluknya. Setelah 10 tahun berguru kepada Sunan Bonang, dan mempelajari agama serta sastra Arab secara mendalam, dia akhirnya jemu dan merasa sia-sia. Jiwanya merasa kerontang dan gelisah, hatinya menjerit dan kebingungan. Suatu ketika, dia menghadap Sunan Bonang dan berkata:
    Agama dan sastra Arab telah saya pelajari Tetapi saya masih terus mencari-cari…
    Uraian kesatuan huruf, dulu dan sekarang Tak berbeda. Musik masih digunakan Bahasa tetap bahasa, Saya meninggalkan Majapahit dan semua yang dicintai Namun tak menemukan apa-apa sebagai penawar
    Diam-diam saya pergi malam-malam Mencari rahasia Yang Satu Mencari jalan sempurna Semua pendeta, biksu dan ulama saya temui Agar terjumpa hakikat hidup, akhir kuasa sejati Ujung utara selatan, tempat matahari dan bulan terbenam Akhir mata tertutup dan inti maut akhir ada dan tiada
    Tidak tega melihat penderitaan batin muridnya, Sunan Bonang dengan terpaksa mengajarkan tasawuf, khususnya jalan mengenal hakikat diri yang merupakan sumber kebahagiaan. Selain Suluk Wujil, banyak lagi karya Sunan Bonang yang relevan. Di antaranya ialah Suluk Khalifah, Suluk Bentur, Suluk Jebeng, dan Gita Suluk Ing Aewuh.
    Dalam Suluk Khalifah, Sunan Bonang menceritakan anekdot para wali di Jawa, pengalaman mereka mengajar Islam kepada orang Hindu, dan juga pengalamannya selama belajar di Pasai.
    Suluk Bentur ditulis dalam tembang wirangrong. Bentur artinya lengkap atau sempurna. Dalam suluk ini, Sunan Bonang menggambarkan jalan yang ditempuh para sufi sehingga mencapai kesadaran tertinggi, yaitu makrifat dan persatuan mistikal (fana, dan baqo). Garam jatuh ke dalam laut dan lenyap, tetapi tidak dapat dikatakan menjadi laut. Demikian pula manusia yang mencapai persatuan mistik, tidak dapat menjadi Tuhan. Persatuan mistikal yang tertinggi disebut fana’ruh idafi, yaitu keadaan hati yang dapat menyaksikan peralihan bentuk lahir dan fenomena menjadi wujud spiritual. Dalam keadaan demikian, kesadaran intuitif menguasai hati seseorang, dan dengan demikian penglihatan tentang keesaan terhadap Tuhan menjadi sempurna.
    Suluk Jebeng ditulis dalam pupuh dandanggula. Dimulai dengan pembicaraan mengenai wujud manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi dan uraian bahwa manusia merupakan gambaran-Nya. Menurut Sunan Bonang, ”Puncak ilmu yang sempurna seperti api berkobar. Yang tampak hanya bara dan nyalanya, kilatan cahaya dan asap yang menyeliputinya.” Untuk mengetahui hakikat keberadaan, ”Kenali apa yang ada sebelum api menyala dan apa yang tinggal sesudah api padam.” Inilah perkataan Sunan Bonang yang relevan dalam suluk ini: ”Jangan meninggalkan diri, berlindunglah kepada-Nya/ Ketahui, tempat tinggal jasad yang sebenarnya ialah ruh/ Jangan bertanya/ Jangan memuja nabi dan wali/ Jangan kau mengaku Tuhan/ Jangan mengira tak ada padahal ada/Baik diam/ Jangan diguncang kebingungan
    .”
    Suluk Regol ditulis dalam pupuh asmaradana. Regol artinya gapura, bentuknya menyerupai gabungan kata la (tidak) dan lam dalam ayat ”lam yalid wa lam yulad” (tidak beranak dan tidak diperanakkan) Surat al-Ikhlas. Kata lam diumpamakan sebagai gapura yang menghalangi sesuatu yang ada di belakangnya. Dalam suluk ini, peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia diumpamakan sebagai pertunjukan wayang kulit, yang dilihat dari berbagai sudut. Ada yang melihat sebagai permainan yang dilakukan Ki Dalang namun menganggap antara permainan dan yang memainkan terpisah. Ada yang melihat antara Ki Dalang dan lakon yang dimainkan tidak terpisah, bahkan melihat bahwa Ki Dalang benar-benar hadir dalam lakon yang dimainkannya. Yang lain lagi melihat bahwa pertunjukan wayang sebenarnya mencerminkan dan mengisyaratkan keberadaan Dalang.
    Telah dikemukakan bahwa gagasan utama suluk-suluk Sunan Bonang ialah cinta. Menurut para sufi, cinta merupakan asas penciptaan dan apa yang berasal dari cinta itu baik. Para sufi mengambil gagasan ini dari hadis qudsi, ”Aku perbendaharaan tersembunyi (kanz makhfiy), Aku cinta (ahbabtu) untuk dikenal maka Aku mencipta dan karena itu dikenal.” Para sufi juga merujuk kepada kalimat Bismilahirrahmannirrahim. Dalam kalimat ini ada dua jenis cinta, yaitu, al-rahman (pengasih) dan al-rahim (penyayang). Rahman adalah cinta yang esensial (dzatiyah) sebab dilimpahkan kepada semua ciptaannya, tak peduli orang Melayu, Cina, Jawa, Inggris, Afghanistan, atau Libya. Sedangkan rahim merupakan cinta wujud, artinya wajib diberikan kepada orang-orang tertentu yang sangat dicintai oleh-Nya.
    Menurut Sunan Bonang, kerusakan di dunia akan merajalela apabila cinta telah lenyap. Di sini cinta sering diidentikkan dengan iman, pengetahuan intuitif, dan dorongan kuat terhadap kebenaran tertinggi. Karena itu, Sunan Bonang berkata dalam Suluk Wujil, ”Jadikan dirimu cinta, agar dapat memandang dunia dengan terang…/Kerusakan di dunia ini muncul/ Karena amal perbuatanmu dan karena tiadanya cinta/ Yang harus dimiliki ialah yang tak dapat hancur/ Yakni cinta dan makrifat, pengetahuan sempurna.”
    [Abdul Hadi W.M., Penyair, budayawan, dan dosen Universitas Paramadina] [Edisi Khusus Lebaran, Gatra Nomor 05-06 Beredar Kamis, 13 Desember 2001]
    http://www.gatra.com/2001-12-25/versi_cetak.php?id=13522
    
    ""
    · · Share

    • "" 

  • Adi Azmatkhan sbnarnya warisan wali 9 dalam karya sastra masih banyak yang belum digali misalnya” serat chenthini ” mengandung nilai2 filsafat yg dalam yg kalau di-jabarkan mempunyai arti yg dalam dan luas 
    15 hours ago · · 3 peopleLoading… ·

  • "" 

  • Chen Chen Muttahari Babe gw ditagged dong — copy right gitu..wkwkwk…thanks ya Bib 
    14 hours ago · · 1 personLoading… ·

  • "" 

  • Habibullah Ba-Alawi Al-Husaini Tulisan yang sangat Inspiratif…..Good Luck… 
    4 hours ago · · 1 personLoading… ·

  • "" 

  • ‎@Abdul Hadi.. pak, saya ijin copy paste buat mem-publish tulisan antum di kluarga besar saya.. para turunan Walisongo Azmatkhan Al-Husaini.. trima kasih atas tulisan antum yg inspiratif khususnya bagi kluarga besar kami 
    @Chen.. sbg putri bl…iau.. tx 4 reminding.. ane inget kok, udh di tagg kmrn aq coba tag bliau smpet nggk bisa rupanya salah mw ngetag k fan page bliau yg namanya juga sama
    @Adi .. betul bib
    @Habibullah.. syukron ya syeikh sekedar mempublish tulisan dosen ana ttg kluarga kita.. semoga berhikmah
    @All
    Tulisan ini ana copy paste dr tulisan dosen ana tercinta yg penyair & budayawan handal… semoga Allah memberkahi bliau & kluarganya.. juga kluarga besar walisongo azmatkhan.. amienSee More
    2 hours ago · ·

  • "" 

  • about an hour ago · ·
    " data-blogger-escaped-data-image-meta="[]" data-blogger-escaped-data-image-title="Suluk, Warisan Kreativitas Para Wali" data-blogger-escaped-data-large-file="" data-blogger-escaped-data-medium-file="" data-blogger-escaped-data-orig-file="" data-blogger-escaped-data-orig-size="" data-blogger-escaped-data-permalink="https://ahmadsamantho.wordpress.com/?p=4353" data-blogger-escaped-originalh="262" data-blogger-escaped-originalw="300" data-blogger-escaped-scale="1.5" data-blogger-escaped-src-orig="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/penobatan-sebagai-nenek-moyang-nusantara-sebagai-adipati-di-benua-amerika.jpg?w=300&h=262" data-blogger-escaped-style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" height="262" src="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/penobatan-sebagai-nenek-moyang-nusantara-sebagai-adipati-di-benua-amerika.jpg?w=450&h=395" style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" title="penobatan sebagai nenek moyang Nusantara sebagai adipati di benua amerika" width="300">Penobatan leluhur Nusantara sebagai adipati
    Terlihat di relief bahwa daerah yang dikuasai adalah daerah yang ada pohon kaktusnya. Padahal kaktus diketahui berasal dari benua Amerika. Dengan bukti relief gajah dan kaktus, maka dapat diperkirakan bahwa bangsa yang ditaklukkan leluhur kita adalah bangsa Maya dari Kerajaan Copan yang sekarang terletak di negara Honduras.

    """"Dominasi arabesque (ragam hias tetumbuhan) yang sangat simbolis dalam ukiran dan batik Jawa; begitu pula pola garis dan kecenderungan pewarnaannya yang mirip dengan lukisan miniatur Persia abad ke-13 dan 14 M, menunjukkan besarnya pengaruh para wali, yang tidak lain adalah juga para sufi. Gamelan Jawa menjadi musik yang begitu kontemplatif setelah para wali menerapkan estetika sufi bagi penabuhan instrumennya, juga dengan menambahkan instrumen baru dari tradisi Islam Arab, yaitu rebab.
    ""Gamelan Bali, yang mempertahankan estetika tantrik Hindu, tidak demikian halnya. Dalam tradisi sufi, fungsi utama musik sebagai tajarrud atau transendensi, yaitu pembebasan dari yang material melalui yang material itu sendiri; dan sebagai sarana tawajjud atau meditasi, yaitu pemusatan pikiran terhadap Yang Satu yang sekaligus adalah Yang Transenden. Dengan demikian, musik dapat membantu pendengarnya melakukan penyucian diri (thazkiya al-nafs) dan membebaskan keterikatannya dari kungkungan alam material.
    ""Tetapi, yang jarang dikemukakan ialah peranan menonjol beberapa wali di Jawa dalam penulisan karya sastra. Khususnya dalam penulisan puisi bercorak tasawuf yang lazim disebut suluk, dari bahasa Arab, yang artinya ialah jalan kerohanian menuju pemahaman mendalam terhadap keesaan Tuhan (tawhid). Pemahaman atau pengenalan mendalam terhadap keesaan itu disebut ma’rifa. Oleh karena itu, dalam sastra Melayu, puisi-puisi suluk sering disebut sebagai syair tauhid dan makrifat.
    ""Sayangnya, apabila ahli-ahli sejarah sastra Jawa berbicara tentang suluk, puisi sufistik atau mistikal, selalu yang menjadi perhatian adalah karya-karya abad ke-18 dan 19. Misalnya, Serat Cebolek karya Yasadipura II dan Wirid Hidayat Jati karya Ronggowarsito. Namun, suluk-suluk para wali sangat sedikit yang membicarakan. Padahal, karya para wali bukan saja relevan bersamaan dengan maraknya kajian tasawuf dewasa ini, melainkan juga cukup melimpah dan tersimpan sebagai koleksi mati, khususnya di museum-museum Belanda dan Tanah Air.
    Suluk, sebagai bentuk ekspresi sastra bernapas Islam, mulai ditulis di Jawa pada akhir abad ke-15 dan 16 M, bersamaan dengan runtuhnya Majapahit dan makin banyaknya orang Jawa memeluk agama Islam. Pentingnya suluk-suluk awal itu karena ia menggambarkan suasana zaman peralihan dari Hindu ke Islam, termasuk kesibukan para wali mengolah tradisi budaya lokal menjadi tradisi Islam Jawa.
    Di antara wali yang paling prolifik dalam penulisan kreatif itu ialah Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang alias Ibrahim Asmarakandi (baca al-Samarkandi). Menurut Drewes, tidak kurang dari 20 suluk panjang dalam koleksi naskah Museum Perpustakaan Universitas Leiden dan Museum Jakarta (sekarang Perpustakaan Nasional) dapat diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau rekaman ajaran kerohanian sang wali yang sempat dicatat beberapa muridnya yang pandai.""
    Banyak yang penting dan relevan dari suluk-suluk Sunan Bonang, khususnya sebagai bahan renungan. Misalnya, uraian sang wali tentang cinta (‘isyq) (baik cinta sebagai metode ilmu pengetahuan maupun cinta sebagai cara mendekatkan diri kepada Yang Satu). Persoalan Ada dan Tiada, masalah keberadaan manusia, pengaruh pikiran dan kemauan terhadap perjalanan sejarah, makna keberadaan manusia di bumi, hakikat tauhid dan pentingnya pengetahuan tertinggi yang disebut makrifat bagi kebahagiaan seseorang, dan lain-lain.
    Simaklah misalnya kisah Wujil, bekas aktor dan pelawak di istana Majapahit yang terpelajar, dalam sebuah suluknya. Setelah 10 tahun berguru kepada Sunan Bonang, dan mempelajari agama serta sastra Arab secara mendalam, dia akhirnya jemu dan merasa sia-sia. Jiwanya merasa kerontang dan gelisah, hatinya menjerit dan kebingungan. Suatu ketika, dia menghadap Sunan Bonang dan berkata:
    Agama dan sastra Arab telah saya pelajari Tetapi saya masih terus mencari-cari…
    Uraian kesatuan huruf, dulu dan sekarang Tak berbeda. Musik masih digunakan Bahasa tetap bahasa, Saya meninggalkan Majapahit dan semua yang dicintai Namun tak menemukan apa-apa sebagai penawar
    Diam-diam saya pergi malam-malam Mencari rahasia Yang Satu Mencari jalan sempurna Semua pendeta, biksu dan ulama saya temui Agar terjumpa hakikat hidup, akhir kuasa sejati Ujung utara selatan, tempat matahari dan bulan terbenam Akhir mata tertutup dan inti maut akhir ada dan tiada
    Tidak tega melihat penderitaan batin muridnya, Sunan Bonang dengan terpaksa mengajarkan tasawuf, khususnya jalan mengenal hakikat diri yang merupakan sumber kebahagiaan. Selain Suluk Wujil, banyak lagi karya Sunan Bonang yang relevan. Di antaranya ialah Suluk Khalifah, Suluk Bentur, Suluk Jebeng, dan Gita Suluk Ing Aewuh.
    Dalam Suluk Khalifah, Sunan Bonang menceritakan anekdot para wali di Jawa, pengalaman mereka mengajar Islam kepada orang Hindu, dan juga pengalamannya selama belajar di Pasai.
    Suluk Bentur ditulis dalam tembang wirangrong. Bentur artinya lengkap atau sempurna. Dalam suluk ini, Sunan Bonang menggambarkan jalan yang ditempuh para sufi sehingga mencapai kesadaran tertinggi, yaitu makrifat dan persatuan mistikal (fana, dan baqo). Garam jatuh ke dalam laut dan lenyap, tetapi tidak dapat dikatakan menjadi laut. Demikian pula manusia yang mencapai persatuan mistik, tidak dapat menjadi Tuhan. Persatuan mistikal yang tertinggi disebut fana’ruh idafi, yaitu keadaan hati yang dapat menyaksikan peralihan bentuk lahir dan fenomena menjadi wujud spiritual. Dalam keadaan demikian, kesadaran intuitif menguasai hati seseorang, dan dengan demikian penglihatan tentang keesaan terhadap Tuhan menjadi sempurna.
    Suluk Jebeng ditulis dalam pupuh dandanggula. Dimulai dengan pembicaraan mengenai wujud manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi dan uraian bahwa manusia merupakan gambaran-Nya. Menurut Sunan Bonang, ”Puncak ilmu yang sempurna seperti api berkobar. Yang tampak hanya bara dan nyalanya, kilatan cahaya dan asap yang menyeliputinya.” Untuk mengetahui hakikat keberadaan, ”Kenali apa yang ada sebelum api menyala dan apa yang tinggal sesudah api padam.” Inilah perkataan Sunan Bonang yang relevan dalam suluk ini: ”Jangan meninggalkan diri, berlindunglah kepada-Nya/ Ketahui, tempat tinggal jasad yang sebenarnya ialah ruh/ Jangan bertanya/ Jangan memuja nabi dan wali/ Jangan kau mengaku Tuhan/ Jangan mengira tak ada padahal ada/Baik diam/ Jangan diguncang kebingungan
    .”
    Suluk Regol ditulis dalam pupuh asmaradana. Regol artinya gapura, bentuknya menyerupai gabungan kata la (tidak) dan lam dalam ayat ”lam yalid wa lam yulad” (tidak beranak dan tidak diperanakkan) Surat al-Ikhlas. Kata lam diumpamakan sebagai gapura yang menghalangi sesuatu yang ada di belakangnya. Dalam suluk ini, peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia diumpamakan sebagai pertunjukan wayang kulit, yang dilihat dari berbagai sudut. Ada yang melihat sebagai permainan yang dilakukan Ki Dalang namun menganggap antara permainan dan yang memainkan terpisah. Ada yang melihat antara Ki Dalang dan lakon yang dimainkan tidak terpisah, bahkan melihat bahwa Ki Dalang benar-benar hadir dalam lakon yang dimainkannya. Yang lain lagi melihat bahwa pertunjukan wayang sebenarnya mencerminkan dan mengisyaratkan keberadaan Dalang.
    Telah dikemukakan bahwa gagasan utama suluk-suluk Sunan Bonang ialah cinta. Menurut para sufi, cinta merupakan asas penciptaan dan apa yang berasal dari cinta itu baik. Para sufi mengambil gagasan ini dari hadis qudsi, ”Aku perbendaharaan tersembunyi (kanz makhfiy), Aku cinta (ahbabtu) untuk dikenal maka Aku mencipta dan karena itu dikenal.” Para sufi juga merujuk kepada kalimat Bismilahirrahmannirrahim. Dalam kalimat ini ada dua jenis cinta, yaitu, al-rahman (pengasih) dan al-rahim (penyayang). Rahman adalah cinta yang esensial (dzatiyah) sebab dilimpahkan kepada semua ciptaannya, tak peduli orang Melayu, Cina, Jawa, Inggris, Afghanistan, atau Libya. Sedangkan rahim merupakan cinta wujud, artinya wajib diberikan kepada orang-orang tertentu yang sangat dicintai oleh-Nya.
    Menurut Sunan Bonang, kerusakan di dunia akan merajalela apabila cinta telah lenyap. Di sini cinta sering diidentikkan dengan iman, pengetahuan intuitif, dan dorongan kuat terhadap kebenaran tertinggi. Karena itu, Sunan Bonang berkata dalam Suluk Wujil, ”Jadikan dirimu cinta, agar dapat memandang dunia dengan terang…/Kerusakan di dunia ini muncul/ Karena amal perbuatanmu dan karena tiadanya cinta/ Yang harus dimiliki ialah yang tak dapat hancur/ Yakni cinta dan makrifat, pengetahuan sempurna.”
    [Abdul Hadi W.M., Penyair, budayawan, dan dosen Universitas Paramadina] [Edisi Khusus Lebaran, Gatra Nomor 05-06 Beredar Kamis, 13 Desember 2001]
    http://www.gatra.com/2001-12-25/versi_cetak.php?id=13522
    
    ""
    · · Share
    •  
    • "" 
  • Adi Azmatkhan sbnarnya warisan wali 9 dalam karya sastra masih banyak yang belum digali misalnya” serat chenthini ” mengandung nilai2 filsafat yg dalam yg kalau di-jabarkan mempunyai arti yg dalam dan luas 
    15 hours ago · · 3 peopleLoading… ·
  • "" 
  • Chen Chen Muttahari Babe gw ditagged dong — copy right gitu..wkwkwk…thanks ya Bib 
    14 hours ago · · 1 personLoading… ·
  • "" 
  • Habibullah Ba-Alawi Al-Husaini Tulisan yang sangat Inspiratif…..Good Luck… 
    4 hours ago · · 1 personLoading… ·
  • "" 
  • ‎@Abdul Hadi.. pak, saya ijin copy paste buat mem-publish tulisan antum di kluarga besar saya.. para turunan Walisongo Azmatkhan Al-Husaini.. trima kasih atas tulisan antum yg inspiratif khususnya bagi kluarga besar kami 
    @Chen.. sbg putri bl…iau.. tx 4 reminding.. ane inget kok, udh di tagg kmrn aq coba tag bliau smpet nggk bisa rupanya salah mw ngetag k fan page bliau yg namanya juga sama
    @Adi .. betul bib
    @Habibullah.. syukron ya syeikh sekedar mempublish tulisan dosen ana ttg kluarga kita.. semoga berhikmah
    @All
    Tulisan ini ana copy paste dr tulisan dosen ana tercinta yg penyair & budayawan handal… semoga Allah memberkahi bliau & kluarganya.. juga kluarga besar walisongo azmatkhan.. amienSee More
    2 hours ago · ·
  • "" 
  • about an hour ago · ·
    " data-blogger-escaped-data-image-meta="[]" data-blogger-escaped-data-image-title="Suluk, Warisan Kreativitas Para Wali" data-blogger-escaped-data-large-file="" data-blogger-escaped-data-medium-file="" data-blogger-escaped-data-orig-file="" data-blogger-escaped-data-orig-size="" data-blogger-escaped-data-permalink="https://ahmadsamantho.wordpress.com/?p=4354" data-blogger-escaped-originalh="107" data-blogger-escaped-originalw="300" data-blogger-escaped-scale="1.5" data-blogger-escaped-src-orig="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/relief-gajah-yang-terdapat-di-candi-penataran.jpg?w=300&h=107" data-blogger-escaped-style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" height="107" src="https://oediku.files.wordpress.com/2011/11/relief-gajah-yang-terdapat-di-candi-penataran.jpg?w=450&h=161" style="background: transparent; border: none; display: block; height: auto; margin: 7px auto 20px; max-width: 100%; outline: none; padding: 0px; vertical-align: baseline;" title="Relief Gajah yang terdapat di Candi Penataran" width="300">Relief Gajah yang terdapat di Candi Penataran
    Relief dan gambar Gajah di atas terdapat di daerah Copan – Honduras yang sejenis dengan yang digambarkan leluhur kita di Candi Penataran; menurut para ahli di Amerika, gajah sudah punah 6500 tahun yang lalu.

    Pertanyaannya adalah: “Apakah leluhur kita sudah punya peradaban di 6500 tahun yang lalu?”. Menurut saya, tentu ada dan bahkan lebih tua dari itu. Baca: Nusantara, pusat peradaban dunia atau Asal usul bangsa Nusantara, asli keturunan Nabi Nuh AS.
    Relief ini adalah sosok prajurit dari benua Amerika yang terdapat di Candi Penataran.
    Patung sosok prajurit bangsa Maya dari Kerajaan Copan yang sekarang terletak di Honduras.
    Pada satu sisi di bagian bawah dari Sitihinggil di Candi Penataran terdapat relief raksasa [buto] yang kesamaannya ada pada patung-patung dan topeng Rangda di Bali.
    Kesamaan bentuk dan wajah terdapat pula pada patung relief raksasa yang ditemukan di Mexico City, di mana disebutkan oleh para arkeolog bahwa sosok itu merupakan raja Aztec.
    Pada relief ini kita juga dapat melihat ada sosok yang bertutup kepala tapi tidak menunjukkan berasal dari Indonesia. Sepertinya ini raja bangsa Indian?
    Selain itu, pada jaman berdirinya Candi Penataran dapat disimpulkan bahwa telah ada tiga jenis spesies yang sudah mempunyai peradaban, yaitu: bangsa manusia, bangsa raksasa, dan bangsa manusia kera yang berdiri tegak.
    Dalam tata cara kematian, manusia pada jaman dahulu kalau meninggal akan diperabukan, sehingga fosilnya tidak akan ditemukan. Cara perabuan berbeda-beda ritualnya di berbagai wilayah, dan saat ini ragam cara perabuan masih dapat kita temukan di banyak tempat di berbagai belahan Bumi.
    Jadi dapat diperkirakan; fosil manusia kera yang berdiri tegak bukanlah bangsa manusia, begitu juga fosil seperti manusia yang bertaring dan bertubuh tinggi juga bukan merupakan ras yang menurunkan manusia di masa sekarang.
    Pembuktian awal dari misteri yang ada di Candi Cetho, Candi Sukuh dan Candi Penataran ini sejalan dengan indikasi-indikasi yang dinyatakan olehProfesor Arysio Nunes dos Santos dari Brazilia yang menyatakan bahwaAtlantis itu benar-benar ada, dan berada di Indonesia.
    Prof. Arysio Nunes dos Santos, seorang geolog dan fisikawan nuklir menghabiskan waktu selama 30 tahun untuk membuktikan dari catatan Plato tentang keberadaan peradaban Atlantis,semua hasil penelitian mengarah ke Indonesia, sebagai anak bangsa hanya akan tinggal diamkah kita menyikapi hasil penelitian kelas dunia tersebut ? apalagi bukti-bukti secara empiris yang secara paralel mendukung hasil penelitian tersebut dapat dilihat langsung di Candi Cetho, Candi Sukuh dan Candi Penataran.
    6. Penutup
    Setelah mengamati penjelasan diatas, apakah benar bahwa leluhur Nusantara pernah terhubung dengan bangsa-bangsa di seantero dunia? Kemudian apakah leluhur Nusantara yang berhasil menapakkan kaki (menaklukkan) di benua Amerika atau bangsa Amerika yang pernah mengunjungi Nusantara? Faktanya adalah tidak pernah ada catatan sejarah yang menjelaskan bahwa bangsa Amerika memiliki tradisi maritim yang hebat. Sebaliknya, leluhur Nusantara adalah pelaut-pelaut ulung. Sebagaimana dapat didengar pada lagu tradisional Nusantara, “Nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudera ..”.
    Begitu pun terhadap bangsa-bangsa di benua Asia (Campa, Pakistan, India, China, Persia, Sumeria, Yahudi) benua Eropa (Romawi, Turki) dan benua Afrika (Mesir). Apakah memang bangsa Nusantara pernah memiliki wilayah kekuasaan sampai kesana, sehingga di candi Penataran ini bisa digambarkan secara gamblang tentang beragamnya karakter dan budaya bangsa-bangsa di seantero dunia itu? Yang jelas ini bukanlah kebetulan, karena tidak ada kebetulan itu.
    Ya. Terlepas dari benar dan salahnya (karena masih dalam proses menyimpulkan sejarah yang sebenarnya), tetaplah sebagai putra dan putri Nusantara, kita patutlah berbangga dan terus bersemangat demi kemajuan. Kita mesti menyakini bahwa bangsa kita dulu pernah tiba di puncak kejayaan peradaban manusia. Sehingga marilah kita kembali pada jati diri kita sendiri yang sejatinya sangat berpotensi menjadi bangsa yang terbesar dan terbaik di seluruh dunia. Karena hanya dengan begitulah kehidupan dunia ini akan kembali teratur dan penuh dengan keridhaan-Nya.
    Yogyakarta, 15 Nopember 2011
    Mashudi Antoro (Oedi`)
    Referensi:

    0 comments:

    Share

    Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More