MENGAPA SAYA MERASA HARUS IKUT MENGIKIS HABIS FEODALISME DALAM MASYARAKAT KITA ?
Saya pikir segala kerancuan yang mengakibatkan mandegnya pembangunan masyarakat kita disegala bidang adalah korupsi. Mengapa mereka yang terpilih di Legislatip, terpilih sebagai pemuka Negara, menteri Negara, pemuka Propinsi, pemuka Kebupaten. yang berangkat dari profesionalisme seperti di Komisi Judisial, Mahkamah Konstitusi, di Pengadilan segala tingkat di Kejaksaan segala tinngkat juga dirambah keberanian menerima suap apalagi di BUMN dan Bank milik Pemerintah yang se”percaya diri” kayak yak-yako seperti Ny Miranda Gultom, besan mantan presiden SBY Tuan Aulia Pohan, bahkan berita dari ICW di www.antikorupsi.org/en/content/gubernur-bank-indonesia-menjadi-tersangka. Burhanuddin Abdullah, Rusli Simanjuntak dan Oei Hoey Tong disidik KPK menjadi tersangka, Elok. Lah kena apa mereka yang telah memanjati jenjang kepemimpinan dalam masyarakat kita sampai begitu tinggi, yang bagi umum sudah suatu prestasi, kok tersangkut urusan yang mestinya mereka bisa menghindari demi nama baiknya, menurut sumpah jabatannya ? Apakah yang keliru pada masyarkakat kita ?
Bila dirunut dari asal muasalnya, manusia hidup sebagai individu dengan segenap kensekuensinya ( lapar, sakit, mati ya harus dirasakan sendiri) dan makhluk berkelompok, yang artinya kekuatan bertahan sebagai species dari kemampuannya bergabung satu sama lain, istilah kerenya makhluk social yang di-induksi-kan mulai usia dini, artinya bukan makhluk social murni dari gene yang dibawa tubuhnya seperti tawon dan rayap atau semut. Pada titik interaksi antara watak mementingkan diri dengan keharusan hidup mempertahankan diri bersama, ada suatu perilaku yang mengganjal keharusan hidup bersama ini, yaitu mengambil untuk keperluannya - lebih ( karena enak dan untung), dari teman sesamanya, jadi bukan haknya. Sejak itu benih korupsi dalam masyarakat sudah ada, bersama terbantuknya elite capture yang kuno dan feodalistik sebagai modal utama masuk dalam sistim baru - demokrasi. Sering juga berkedok kepiawaian dalam parapernalia pernak pernik bungkus agama, katimbang praktek inti sari ajarannya.
Pada saat masyarakat Lamalera menangkap ikan paus, mereka harus bersama sama memburu dan menombak ikan paus yang beratnya puluhan ton itu. Pada saat pembagian dagingnya ada anggauta masyarakat yang meskipun ikut menangkap dengan mendayung perahu tapi diam diam mengambil bagian lebih banyak daging ikan tangkapannya. Saat itu terjadi korupsi – sebagai reaksi tentu saja kawan kawannya tidak membolehkan perbuatan itu, atau membolehkan oleh sebab tertentu. Keduanya baik untuk si serakah ini, dan yang lain rugi karena bagiannya kurang. Perilaku koruptive sudah terjadi, merugikan yang lain. Bahkan tidak membolehkan si nakal ini ikut dalam kelompok yang dirugikan, apabila perilaku menguntungkan diri sendiri ini sering dilakukan, sesederhana itu. check and balance
Tapi bila yang berbuat nakal itu punya kelebihan, lebih berani, lebih kuat, maka bagian daging lebih banyak secara sepakat kelompok diberikan dengan sukarela, kalau kebetulan si perkasa itu kelompok bersenjata ya lebih mudah. Sejak saat itu sudah tumbuh bibit bibit aturan masyarakat yang feodalistik. Sebab, Si Egois banyak akal, sering kejam untuk mencari keuntungan dari masyarakat yang emosional, tapi tidak benyali melawan, bisa merelakan sebagian dari hasil kerja mereka untuk individu, si ego, dan kroninya yang memang jagoan, atau sok jagoan (ingat sudah disiarkan di TV pengawal simpatisan sang ratu Atut, dikawal oleh jawara jawara tua Banten, menekuk nekuk lengan dan tangan: bersilat secara gerakan lagak saja, semudah itu?)
Atau dengan muslihat apa saja, maka itu elite capure bermodal kadang cuma lancar berpidato dan kostum yang mewakili gengsi ulama atau pemimpin suku (ingat almukharom pengganda uang Dimas Kanjeng Taat Pribadi ? pake jubah putih segala, untuk menyulap uang) mempertahankan keistimewaannya diantara yang lain demi mendapat keuntungan, sampai ke anak pinaknya. Segampang itu daya pikir anggauta DPR RI Ny. Marwah Daud dengan polosnya memberikan dukungannya. Hingga untuk saling memberi kesan pada masyarakatnya, dasar ! Si Ego " sang empu" pencitraan, sampai mengorbankan mereka yang lemah apalagi salah, dia sampai hati membunuh, demi citranya diantara puaknya, sukuya. (Ingat korban rekayasa pembunuhan: Antasari Ashar ?. Jadilah mereka feodal puak atau feodal suku yang lihai memanipulasi lingkungannya, (kelompoknya jadi expectant stake holder bahasa keren yang masih jauh lebih sederhana pola pikirnya. Dalam puak puak dan suku suku ada selalu persaingan yang kotor. tidak sehat. Mereka bersaing, mendendam, saling balas dengan segala akal dan uang ada. Bila ada diantara anggauta puak atau suku ini keluar dari lingkaran setan ke daerah lain yang penduduknya sudah diatur oleh kekuatan idieaslisme yang jauh lebih besar sehingga umum menjadi tidak waspada, maka meraja lela -lah si virus puak virus kampung ini mempraktekkan kebiasaanya dari feodal puak dan kampung menjadi seperti mafia ( memang itulah yang terjadi pada perhimpunan mafia dari Italia) Maka jalan satu satunya untuk memberantas virus feodal puak dan kampung ini adalah mendidikkan idealisme yang lebih besar, wawasan yang lebih luhur.
Maka pengalaman manusia di dunia mengajarkan idealisme ras seperti Jerman Hitler, Idealisme agama seperti ISIL, malah tatanan sosial seperti sosialisme dan demokrasi dijadikan alat yang ampuh, untuk si Ego, dedengkot pencitraan ini mendapat dukungan rakyat.
Tidak ada lain jalan untuk membersihkan tipuan tipuan dari si ego ini kecualai pendidikan yang mengandung idealisme yang lebih bersih dan lebih sehat, mengenai tujuan yang lebih berharga bagi manusia didunia ( rahmatan lil alamin). Pendidikan moral yang terbuka, sehat, dan pendidikan kebenaran ilmiah yang memadai untuk mengerti keberadaan manusia ini. (kalok beragama : Jangan makan kulitnya, makan isinya)
Apa yang kita punya di puncak kekuasaan Republik kita ini mayoritas ya dari sana, dari suku suku, dari puak puak dan dari wilayah yang jauh dari kebudayaan. Kebudayaan yang meliputi wilayah diluar batas suku dan puak ya sepeti puaknya yang lama, waktu booming karet, pemerintahan colonial membutuhkan komoditas dagangan yang belum sempat dibudidayakan dengan Perkebunan Besar cara Kapitalis, seperti lada, kayu manis, minyak nilam, pala dan fuli dll, pada waktu pemerintahan colonial membutuhkan marsose/serdadu untuk menekan suku suku yang mbalelo, disana ada lahan baru sebagai lambang feodal tengik.
Sebab kebudayaan tinggi seperti Kerajaan Sriwijaya, kerajaan Pakuan, Kerajaan Mataram Hindu . Majapahit, cuma ada di Pelembang, di pulau Jawa. Jadi pendidikan masyarakat ditempat lain hanya sampai di suku dan puak saja. Apa dari pulau Jawa yang sudah bermasyarakat tingkat imperium tidak ada feodal yang main kayu ? Ada..... pasti ada cuma lebih canggih. Secanggih yan diteliti oleh George Adhitjondro alm, antara gurita cikeas gurita cendana ( gitu saja kok repot, nyetak uang saja...... lantas dicuci presis ajaran si sudrun di BULOG -e, si sudrun sialan ini malah nelen keuntungan kartel beras seluruhnya, habis. Kemudian malah didakwakan pada yang memberinya kekuasaan, si sudrun ini nebeng Pak Bus ) . kalok nyetak uang, toh bisa diberikan sebagai BLBI yang abal abal iya to /, bankirnya yang lagi bankrut disuruh lari - apa gunanya punya wakil dan besan bekas bankir yang lihai, e ditiru sama bendahara partainya sendiri. disuruh lari malah pulang, dasar sial) dan hiu air asin dari Bone dan Pare pare, dan hiu air tawar dari Pelembang. Yang lain masih tingkat puak dan kampung, meskipun termasuk barakuda yang ganas, masih ndesit, cara pilihan demokratis, paling nanti hanya laku jadi Lurah disana daerah terpencil, bila rakyat banyak sudah terdidik,
Lihat saja beberapa hari yang lalu dari sekarang tg 14/4/2017 baru kemarin kita menyaksikan pernyataan seorang Wakil ketua yang meradang karena si sobat mencari ceperan, si Ketua, dilarang oleh KPK keluar negeri sampai pemeriksaannya sebagai saksi di “e-KTP mega skandal’’ senilai 5,9 triliun rupiah selesai.
Persis seperti Ketua Forum Angkot yang diusir dari tempat nangkalnya karena ngeganggu lalulintas umum.
E semoga rakyat Indonesia sadar, jangan pilih yang ginian lagi, amit amit, kalok pilihan lurah dipelosok pulau terpencil belehlah asal tidak bikin bedera sendiri, dia bakal bilang :wong jemur jilbab istrinya ya boleh kok, ndak ada undang undangnya yang nglarang.
Padahal ini perkara mega korupsi yang sudah ditangani KPK, yang perlu didukung penyelidikannya oleh seluruh bangsa ini, Bahkan dia brani omong UU yang mengenai hal ini, dia yang buat, iya si tembem itu yang sudah dipecat dari pertainya malah tanpa malu malu masih nongrong di DPT RI. Tandai kata kata ini, seberapa kecil Negara ini dibandingkan dengan wawasan kecerdasan puaknya, sukunya, komplotan korupsinya ? Dikira kita yang sudah berwawasan bangsa dan Negara tidak tahu, duh malunya. Dasar, memang partai partai pendukungnya gudang feodal kampung dan puak, gurem lagi, satu stereotype, terlalu banyak gizi, tembem banyak hormone nafsu syaitani, ndak kenal malu.
Sangat perlu pemerataan Pendidikan
berbudaya Kebangsaan diseluruh Negeri ini merata selama sepuluh generasi !!!
Untuk menghapus hasil pendidikan budaya seperti yang didemonstrasikan oleh Si wakil,
sungguh membuat kita lemas, malu......malu sekali.
Perlu Guru Guru yang berbudaya wawasanNasional dan menghormati Negaranya. Juga bemoral tinggi, berapapun ongkosnya. Di era ini, lebih penting dari adanya jalan dan jembatan ke lokasi puaknya.
Ada Presiden yang berniat, berdedikasi. Ada solar panel. Ada audio visual program lewat TV. Ada sepeda motor terbang yang irit bahan bakar. Masyarakat melahirkan guru guru yang kita butuhkan segera, bukan si Wakil, yang ningkring di Jakarta. Bukan orang lain, apalagi bangsa lain.
Perlu Guru Guru yang berbudaya wawasanNasional dan menghormati Negaranya. Juga bemoral tinggi, berapapun ongkosnya. Di era ini, lebih penting dari adanya jalan dan jembatan ke lokasi puaknya.
Ada Presiden yang berniat, berdedikasi. Ada solar panel. Ada audio visual program lewat TV. Ada sepeda motor terbang yang irit bahan bakar. Masyarakat melahirkan guru guru yang kita butuhkan segera, bukan si Wakil, yang ningkring di Jakarta. Bukan orang lain, apalagi bangsa lain.
Dia bahkan belum mengerti berbudaya cara
feodal tingkat Imperium Romawi, Imperium Britania Raya,
imperium Jepang yang sangat anggun penuh “noblesse oblige”, apalagi berbudaya
Demokrasi.
Saya masih berterima kasih atas
kepolosan bodohnya, bisa menyaksikan sendiri manusia “Wakilasurus
tembemtikus L Ids.” yang hidup diantara bangsa kita, jadi wakil lagi. Semoga sesudah
ini sampai seribu tahun lagi tadak ketemu lagi species kayak dia, ndak ada yang milih*)
qoute dari : Community Brief no 31/PB/2016
PUSAT STUDI KEPENDUDUKAN DAN KEBIJAKAN
"Mengikis elite captive dalam comunity Development pemebelajaran seribu nyiur melambai"
di: cppc.ugm.ac.id/.../mengikis-elite-copture-dalam-community-development-pembelajaran...
Pengembangan masyarakat (community development) adalah salah satu kegiatan yang
menjadi bagian dari program Corporate Social Responsibility (CSR), dengan tujuan adanya
transformasi sosial budaya, politik, ekonomi, dan teknologi secara berkelanjutan. Partisipasi
masyarakat diyakini akan mendorong keberhasilan dalam implementasi program
Community Development. Sayangnya, elite capture secara serius telah mendistorsi tujuan dan
capaian program. Hal ini bukan terjadi karena model partisipatif dalam implementasi program
yang salah, tetapi merupakan konsekuensi logis dari penerapan pendekatan partisipasi yang
memunculkan elite baru: elite pembelajar, yang berpeluang besar untuk memanipulasi
posisinya bagi kepentingan pribadi. Apabila fenomena elite capture tidak dapat dihindari,
maka masyarakat sasaran program justru akan terekslusi dari program tersebut.
Elite capture merupakan fenomena biasa dalam
berbagai aspek kehidupan. Elite capture dipahami
sebagai suatu sikap atau
unquote.
selanjutnya ndak bisa di copy paste.
Pengembangan masyarakat (community development) adalah salah satu kegiatan yang
menjadi bagian dari program Corporate Social Responsibility (CSR), dengan tujuan adanya
transformasi sosial budaya, politik, ekonomi, dan teknologi secara berkelanjutan. Partisipasi
masyarakat diyakini akan mendorong keberhasilan dalam implementasi program
Community Development. Sayangnya, elite capture secara serius telah mendistorsi tujuan dan
capaian program. Hal ini bukan terjadi karena model partisipatif dalam implementasi program
yang salah, tetapi merupakan konsekuensi logis dari penerapan pendekatan partisipasi yang
memunculkan elite baru: elite pembelajar, yang berpeluang besar untuk memanipulasi
posisinya bagi kepentingan pribadi. Apabila fenomena elite capture tidak dapat dihindari,
maka masyarakat sasaran program justru akan terekslusi dari program tersebut.
Elite capture merupakan fenomena biasa dalam
berbagai aspek kehidupan. Elite capture dipahami
sebagai suatu sikap atau pengbwuran feodalisme
0 comments:
Posting Komentar