Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Selasa, 06 Desember 2011

REPUBLIK PURA-PURA

Aku hidup di Republik Purapura, lokasinya di khatulistiwa, yang jelas bukan Republik Singapura.
Yang saya akan bahas di sini adalah pendidikan warganya dan isi otak yang dihasilkannya selama President Diktator menguasainya selama satu setengah generasi bahkan dua generasi dengan pengaruh terhadap anak anak yang belum dewasa saat Orde ini bangkrut.

Berkah Perang Dingin antara Sovyet Rusia dan Amarika Serikat pada masa lalu, jatuh begitu saja berkah itu ke kaum Militer dan Presiden Diktatornya, yang telah membantu salah satu fihak dengan atrocities dan genocides pada rakyatnya sendiri.
Sang Diktator Mandataris berkuasa lama sekali, mengusai hampir satu setengah generasi.
Ternyata, bekas bekas dari kekuasaan militeristic ini  lama ada pada otak bergenerasi generasi warganya, karena melekat pada pendidikan yang dijejalkan sejak kecil semasa meliterisme berkuasa, sedang hasil pendidikan yang paling membekas di jiwa adalan pendidikan katakan sepuluh tahun yang pertama, para Pakar Paedagogy tahu itu.
Ciri khas dari meliterisme adalan pemujaan kekuatan fisik, sangat dekat pada semboyan “yang kuat adalah benar” bahasa pinternya adalah “the might is ringht”, tidak ada pertanyaan dan tidak ada perdebatan.
Dinegeriku ini, zaman Diktator Mandataris,  kaum militer menggunakan mereka yang memakai symbol symbol agama sebagai wahana ambisi politiknya, sebagai mitra untuk mendapatkan dukungan rakyat, akibatnya kaum politisi yang berideologi agama diberi angin asal tdak meminta bagian kekuasaan.
Akibatnya kaum politisi yang berbasis agama  yang bukan rochaniawan ini,
kaum politisi yang tidak mengenal kecanggihan agama menuntun manusia ke jalan yang benar ini, mamasukkan adat dan ritual  yang menjadi kulit luar agama kedalam kurikulum pendidikan umum pada setiap tingkatan, malah menuju ke fanatisme, rentan menjadi pengikut terorrisme kemudian, kenyataanya terjadi pada masa kini.

Untuk mengambil hati kaum beragama yang merupakan mayoritas penduduk negeri ini, Pemerintah menjadikan agama mata pelajaran pokok sekolah sekolah Negeri pada setiap tingkatan.
Ini benar, bila perekrutan para Ustadz, Pendeta, Pemangku   dalam menyajikan silabi seimbang,  yaitu seimbang antara bimbingan rokhani, budi pekerti, yang negacu pada tingkah laku dengan pengajaran bahasa, baca dan tulis dalam bahasa induk agama masing-masing.
Kebanyakan para pengajar agama lebih berat kepada baca tulis ayat-ayat suci tanpa mengemukakan pola tingkah laku agamawi yang tidak kurang pentingnya. Malah dalam tradisi yang masih kuno,  mengajar dengan otoriter  kasar maupun halus untuk mendapat kepatuhan sang murid, yang mestinya mengetengahkan kebijaksanaan kesabaran.
Malah oknum-oknum ini sesudah lengsernya kekuasaan militer masih berkiprah di Departemen Agama dan dimana mana dengan bau korupsi dan kolusi yang konyol di Republik Purapura ini, menjadikan hujjahnya mentertawakan.

Di kelas-kelas sekolah dasar tentu saja yang terkuat sekaligus ter “pandai” adalah Guru.
Waktu itu  perilaku otoriter sang Guru, otomatis adalah lambang dari -“the minght is right”- ini didukung oleh iklim seluruh Kekuasaan yang Despotic , begitulah perilaku guru terhadap muridnya sangat tergantung dari “moral attitude” dari pribadi pribadi sang guru, beliau beliau terbawa arus apa tidak. Yang terjadi  ya kebawa arus. Yang jelas kemutlakan  otoriter “kebenaran” yang didapat dari “kunci” jawaban “multiple choices” ada pada guru, didapat dari Atasan, para murid tidak bisa membantah, meskipun sering pertanyaan-pertanyaan dari multiple choices itu sendiri mempunyai multi tafsir, yang benar tetap “kunci” yang ada pada guru, inilah benih despotisme.
Yang tidak kurang pentingnya di zaman itu adalah membudayakan menghafal segala credo dan falsafah Negara untuk menghasilkan generasi yang hebat menurut versi meliter, yang dengan sendirinya diturut, bukan dari kesadaran yang di-induksi-kan dari mencontoh teladan yang baik.
Setelah masuk SMP dan SMU menjelang usia dewasa, anak didik diperkenalkan dengan despotisme yang nyata, Sang Kepala Sekolah memacu murid yang pintar kayak Gladiator, sedangkan segala keperluan mencetak Gladiator dibebankan kepada orang tua murid, untuk lulus di Perguruan Tinggi bergengsi. Dana membanjir masuk setelah para siswanya banyak yang diterima di Perguruan Tinggi bergensi, Sekolah dan Kepala Sekolahnya akan mencuat menarik para ortu kaya yang berani membayar tinggi, demi menjadi siswa di SMU ini. Seluruh waktunya habis untuk membahas soal multiple choices, dengan guru muda yang sudah kelelahan. (Siapa lagi yang guru yang mau kerja extra kecuali mereka yang masih belum diangkat Pegawai Negeri ?)

Akibat dari ketidak seimbangan silabi agama, mereka sering lupa ikrarnya, bahwa sebagai makhluk yang beragama, memandang alam  sangat pemurah, terus-menerus semakin mencurahkan rakhmatnya semakin deras, bila digali dengan ilmu pengetahuan,  hanya untuk melaksanakan ikrar  hidup  rakhman dan rakhim, bukan untuk bersaing berebutan demi nafsu duniawi yang egoistic, karena watak rakhman dan rakhim ini watak esoteric, watak  sejatinya manusia dialam sana, dan  di alam sini.
Semua agama seharusnya menuntun jalan ke alam sana yang baik. 

Mahkota dari setiap sistem pengajaran dan pendidikan adalah perguruan tinggi, sebab perguruan tinggi sejak dulu bukan hanya lembaga pendidikan dan pengajaran untuk warga suatu bangsa, tapi juga berfungsi sebagai lembaga penelitian dan lembaga keilmuan, yang bisa  menjangkau jauh ke depan, bukan mencetak orang pinter untuk mendapatkan income yang tinggi, tidak peduli si employers (pemakai jasa ilmunya)  merugikan masa depan umat manusia.
Lembaga Perguruan Tinggi berlomba lomba menjual pepesan kosong, gelar gelar kesarjanaan yang tanpa prestasi jelas dalam dibidang bidang keilmuan, hanya untuk mendapatkan dukungan financial untuk pribadi ataupun Organisasi.

Organisasi UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang bebasis keagamaan pun hanya menuntun kearah exclusivisme, kesalehan ritual dan melupakan hubungan keilmuan dengan pengabdian kepada ikrar hidup yang menuntun ke kesalehan sosial yaitu menjadikan dirinya Khalifah di Bhumi yang hanya dengan berperilaku rakhman dan rakhim terhadap sesamanya dan seluruh alam, malah pada memakai UKM sebagai anak tangga memanjati kepemimpinan masyarakat, meraih ketokohan Pempinan Nasional untuk  korupsi triliunan rupiah. 
Tidak heran kader-kader semacam ini hanya mampu mempunyai pengikut yang doyan bayaran fanatic dan beringas, menyebabkan orang segan mengeluarkan pendapat yang santun dan tapi mengeritik perbuatan mereka yang hanya mampu menjadi oknum Pemimpin yang begini saja.

Bila beberapa generasi sesudah kaum militer berkuasa, bangsaku ini tidak menemukan jalan untuk sekuat tenaga mencurahkan ilmu dan teknology guna membangun infra structure myarakat maju secara mandiri, membangun masyarakat yang peka  terhadap keadilan, mengesampingkan nafsu egoisme yang corrupt, yang semua ini harus ada dalan silabi pelajaran agama, juga mengendalikan kepentingan pribadi demi Bangsanya, maka Republik Purapura adalah Negera dari Bangsa yang gagal, sebab pendidikannya hanya menghasikan generasi penerus yang koruptor dan pemuja hedonisme. (*)

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More