Sejak Bhumi Nusantara terasa gundul, maka lahirlah istilah penghijauan.
Di Pulau Jawa, waktu aku umur 10 tahun setiap rumah tangga memakai kayu bakar sebagai bahan bakar masak di dapur, atau bagi rumah tangga kaya, mereka memakai arang kayu. Sejak tahun lima puluhan mulai dipakai kompor minyak tanah dengan konstruksi pembakaran sumbu yang diperpanjang dengan semacam ruang pembakaran taambahan sejengkal lebih, sehingga pembakaran uap minyak tanah menjadi lebih semurna. Konstruksi ini sederhana, tapi model kompor ini tidak pernah ada sebelum tahun 1950 atau sekitar tahun itu. Maka rumah tanggalah yang menjadi sasaran kritik terhadap penggundulan hutan, selama Perang Pasifik dan perang Kemerdekaan kira-kira 10 tahun, dari 1940 sampai 1950.
Di luar pulau Jawa, yakni pulau Sumatra, dan pulau Kalimantan masih sama sekali belum terjamah, karena kebutuhan kayu bakar dan arang ( khusus untuk menyetrika baju, membakar sate dll) masih tidak berarti sama sekali dibandingkan dengan luas hutan rimba. Di pulau-pulau itu mulai terasa pembabatan hutan, semenjak glondong berdiameter raksasa sampai satu meter laku keras untuk di di export tahun 1955 ke atas, terutama untuk membuat veneer pencetak beton, sebab Dunia lagi booming, ekonomi berkembang pesat, kot- kota Negara Industri diperbaharui dengan beton terutama untuk bangunan pencakar langit jalan dan jembatan, viaduct saluran air dsb . Semua ini untuk memenuhi kebutuhan gedung- gedung perkantoran, hunian condominium, jalan-jalan dan jembatan maupun viaducts, saluaran-saluran dll. Sampai sekarang masih meningkat scara progressive.
Hingga sekarang kita punya hutan primer sudah tinggal sangat langka, sedang hutan rimba di pulau Sumatera dan Kalimantan sekarang jadi tinggal 40 % dibabat dengan segala dalih.
Saya amati benar yang terjadi di pulau Sulawesi, pulau yang sangat khusus karena sebagian besar sangat tipis, bingga cuma 50 km menurut garis potong lurus, puncak tetinggi di tempat tanah genting itu hanya sekitar 200 m di atas muka laut, tapi meliuk-liuk panjang sekali. Akan ternyata bahwa pulau ini, terutama di tanah gentingnya, problem hutannya sama dengan pulau pulau kecil di NTT.
Setengah abad terakhir dari abad 20, Dunia jadi ramai karena issue penghijauan kembali, sudah sangat akut, bahkan ada indikasi terjadi pemanasan global, karena efek rumah kaca, terjadi ketidak-seimbangan antara CO2 yang dihasilkan dari pembakaran semak, dan hutan sebagai penyumbang CO2, dan jauh lebih penting hutan rimba merupakan pengguna terbesar CO2, mengurangi kadar CO2 dari udara kita, yang dicemari berat oleh pabrik-pabrik di negara Industri, mengurangi efek rumah kaca.
Issue mengenai penghutanan kembali di Indonesia menjadi ajang apa saja yang sangat ramai, umpama:
-Untuk bumbu ngomong supaya terdengar lebih berbobot:
-Iklan iklan di TV agar nampak sangat anggun, ditayangkan dua kali sehari padahal nyatanya ya cuma iklan, beberapa anak menanam pohon dari bibit.
-Menggunakan issue penghijauan untuk mencari popularitas saat kampanye: Padahal ngomong doang, atau cuma simbolik saja memberi bibit kayu rimba bahkan bibit apa saja dan di shoot TV dari bermacam sudut, trus ditayang berkali -kali diberita minggu ini, mesti saja dengan bayaran.
Menggunakan issue penghijauan untuk mencari dana buat keperluan lain:
Lembaga Swadaya Masyarakat, Dinas-Dinas yang ada dana supaya kelihatan terpakai, Yayasan -Yayasan supaya kelihatan keren:
Membagikan bibit buah-buahan dan tamanan pelindung di perempatan jalan ramai di shoot TV entah lanjutannya untuk apa.
Menggunakan issue penghijauan untuk performance upacara:
Bapak Penjabat apa saja desertai dengan puluhan pengikutnya berseragam training set, disertai dengan puluhan bahkan ratusan Pramuka, bener-bener menanam bibit pepohonan di lahan terbuka (entah bisa hidup berapa lama bibit pohon itu ?), setelah itu entah jadi apa?. Wong hanya upacara.
Melihat itu semua orang (saya terutama) jadi eneg deh.
Kok bisa bisanya, hari gini issue penghijauan yang sudah jadi taruhan perubahan iklim, kok masih dibuat mainan. Please, jangan jadikan penghijauan sebagai acara seremonial belaka.
Memang, bila dicermati, lahan-lahan yang terbuka, malah waktu kemarau nampak gundul karena semak semaknya yang tetumbuhan musiman mati, itu memang ada sebabnya.
Mestinya jauh jauh hari, mbok mereka yang mengerti soal tanam menanam itu memberi pengertian, artinya Lillahi Ta’Alla.
Menanam kembali lahan terbuka, itu bukan kerja sehari dua hari, harus ada pemeliharaan selama paling sedikit sampai tumbuhan yang ditanam itu bisa mandiri, persis seperti memelihara bayinya apa saja, syukurlah kepada Sang Pencipta, bahwa bayinya tumbuhan yang bisa sebesar pepohonan yang diameternya bisa semeter tanpa di bantu manusia itu, syaratnya kan hanya melihat hanya selama tiga musim kemarau saja. Hanya mengamati bibit tumbuhan apa saja yang baru ditanam pada kemarau pertama, pada pemarau ke-dua, dan pada kemarau ke-tiga.
Artinya apakah tumbuhan yang kita tanam di lahan terbuka itu masih mendapatkan air apa tidak ? Soalnya kemarau pertama bibit itu akarnya masih pendek, tidak bisa mencapai lapisan tanah yang masih basah, kan kesempatan untuk membuat akar hanya maximum lima bulan ? Itupun bila bibit ditanam pada permulaan musim hujan ? Itupun bila bibitnya benar, ditanam dengan benar dan disiram sesudah ditanam.
Bibit tumbuhan yang benar : Kan kita nanam di lahan tebuka gundul waktu kemarau itu, yang mati, kan tumbuhan semusim atau semak semak yang walau dia tumbuhan tahunan, tidak mampu mencari air. Lha kita menanam disitu, mestinya kita cari tumbuhan yang akarnya tumbuh kebawah dengan cepat memanjang, selama maximum 5 bulan sudah mencapai kedalaman yang aman di musim kemarau.
Apa ada tumbuhan macam itu ? `Pasti ada, Tanya sama Ahhlinya. Menanam tanaman yang akarnya cepat panjang menghunjam kebawah, memerlukan perlakuan khusus, wong bakatnya berakar panjang, jadi bibitnya ya akarnya panjang, jangan nanam yang akarnya pendek kerena putus.
Bila sudah di kantong plastik, bakat akarnya panyang, kan kantongnya harus extra panjang ?
Lahan, tanah yang kita risih kok gundul dimusim kemarau itu ada apa ?
Lha bila dimusim hujan juga gundul ya maaf, itu mungkin batu besar.
Tanah dengan dasar batu kapur, tanah miring, tanah berpasir dalam, itu memang rawan jadi lahan “kritis” artinya jadi sasaran kritik, sebab aku tidak tau kenapa dinamakan lahan ”kritis”.
Di lahan itu air hujan cepat hilang, atau lebih cepat mengalir di permukaan yang miring (run off), atau cepat menyerap kebawah tanpa ada lapisan penahan di zona akar yang normal, biasanya diatas batu dasar lapisan batu kapur yang mirip saringan, pori-porinya banyak dimana-mana, air hujan meresap jauh ke bawah zona perakaran, begitu pula tanah berpasir.
Bila bibit sudah dipilih dari yang berakar panjang, lantas tanahnya macam apa ?
Ngototnya yang mau menanam pepohonan bagaimana?
Terhadap run off yang berat, kita ada akal membuat sabuk gunung (terrasering), atau bila biaya mepet ya individual terassering.
Terhadap tanah yang tumbuh di atas bukit kapur yang porus, kita lihat saja tunbuhan apa yang mampu bertahan di situasi itu, ya dia jadi pilihan kita untuk penghijauan.
Bila ngotot, ya pilih tunbuhan yang tahah kering, kita bantu sebisanya pada tiga musim kemarau yang pertama dengan menyiram sebisanya, mungkin pada kemarau ketiga akarnya sudan cukup menghunjam ke lapisan yang masih mengandung air.
Sudah itu di lereng, tanah dimana air hujan melorot kebawah zona akar, masih ada bagian lereng, yang di bawahnya ada batu besar atau ceruk batuan yang lebih massif, sehingga diatasnya tanah masih ada air terperangkap, disitu semak-semak tumbuh secara alami, bila tumbuhan yang kita maksud akan ditanam sebaiknya memilih tempat yang walau musin kemarau, masih ada segerombol tumbuhan yang masih hijau.
Penduduk Pulau kecil di NTT pada musim kemarau yang panjang, terpaksa minum air yang menetes dari akar Pisang Saba (Musa accuminata ) yang dipotong, dalam sehari semalan tertampung segelas air.
Pisang yang sama, di sekitar Klakah di tengah-tengah wilayah berbukti rendah antara Selat Madura/Probolinggo dan Laut Selatan Lumajang, disitu tanah berbukit rendah, ada di bayangan hujan gunung- gunung tinggi di barat maupun di timur, tanah lereng bukit dan hujannya kurang, tapi wilayah itu merupakan tempat buah-buahan dijual sepanjang jalan, baik musim penghujan maupun musin kemarau.
Ternyata penduduk daerah itu ada yang mampu menanam pohon buah-buahan di lereng-lereng yang jauh dari sumber air, yang mampu mereka tanam adalah; Nangka, Apukat, Pisang Saba dan Pisang jenis murahan yang lain, Kelapa muda, Kenitu (sebangsa Sawo warna kulitnya hijau, kadang Mangga). Kita bisa jadi merasa heran, kok bisa melewat tiga musim kemarau? apakah pohon buah-buahan di atas bukit sana pernah dibantu disiram manusia ya ?
Pembaca, boro-boro nyiram pohon Nangka bayi di atas bukit, mandi saja harus pergi lima enam kilometer.
Caranya yang saya amati begini; di lereng tempat yang terpilih, mereka penduduk yang arif sesuai dengan kearifan lokal, mulai dengan menanam Pisang Saba, setelah tumbuh serumpun, perlu dua tiga tahun, kemudian di bawah persis serumpun Pisang Saba itu mereka tanami bibit Nangka setinggi dua jengkal, tentu saja di permulaan musim hujan, selama musim hujan no problem, air turun dari langit, biar run off seperti apa.
Di Pulau Jawa, waktu aku umur 10 tahun setiap rumah tangga memakai kayu bakar sebagai bahan bakar masak di dapur, atau bagi rumah tangga kaya, mereka memakai arang kayu. Sejak tahun lima puluhan mulai dipakai kompor minyak tanah dengan konstruksi pembakaran sumbu yang diperpanjang dengan semacam ruang pembakaran taambahan sejengkal lebih, sehingga pembakaran uap minyak tanah menjadi lebih semurna. Konstruksi ini sederhana, tapi model kompor ini tidak pernah ada sebelum tahun 1950 atau sekitar tahun itu. Maka rumah tanggalah yang menjadi sasaran kritik terhadap penggundulan hutan, selama Perang Pasifik dan perang Kemerdekaan kira-kira 10 tahun, dari 1940 sampai 1950.
Di luar pulau Jawa, yakni pulau Sumatra, dan pulau Kalimantan masih sama sekali belum terjamah, karena kebutuhan kayu bakar dan arang ( khusus untuk menyetrika baju, membakar sate dll) masih tidak berarti sama sekali dibandingkan dengan luas hutan rimba. Di pulau-pulau itu mulai terasa pembabatan hutan, semenjak glondong berdiameter raksasa sampai satu meter laku keras untuk di di export tahun 1955 ke atas, terutama untuk membuat veneer pencetak beton, sebab Dunia lagi booming, ekonomi berkembang pesat, kot- kota Negara Industri diperbaharui dengan beton terutama untuk bangunan pencakar langit jalan dan jembatan, viaduct saluran air dsb . Semua ini untuk memenuhi kebutuhan gedung- gedung perkantoran, hunian condominium, jalan-jalan dan jembatan maupun viaducts, saluaran-saluran dll. Sampai sekarang masih meningkat scara progressive.
Hingga sekarang kita punya hutan primer sudah tinggal sangat langka, sedang hutan rimba di pulau Sumatera dan Kalimantan sekarang jadi tinggal 40 % dibabat dengan segala dalih.
Saya amati benar yang terjadi di pulau Sulawesi, pulau yang sangat khusus karena sebagian besar sangat tipis, bingga cuma 50 km menurut garis potong lurus, puncak tetinggi di tempat tanah genting itu hanya sekitar 200 m di atas muka laut, tapi meliuk-liuk panjang sekali. Akan ternyata bahwa pulau ini, terutama di tanah gentingnya, problem hutannya sama dengan pulau pulau kecil di NTT.
Setengah abad terakhir dari abad 20, Dunia jadi ramai karena issue penghijauan kembali, sudah sangat akut, bahkan ada indikasi terjadi pemanasan global, karena efek rumah kaca, terjadi ketidak-seimbangan antara CO2 yang dihasilkan dari pembakaran semak, dan hutan sebagai penyumbang CO2, dan jauh lebih penting hutan rimba merupakan pengguna terbesar CO2, mengurangi kadar CO2 dari udara kita, yang dicemari berat oleh pabrik-pabrik di negara Industri, mengurangi efek rumah kaca.
Issue mengenai penghutanan kembali di Indonesia menjadi ajang apa saja yang sangat ramai, umpama:
-Untuk bumbu ngomong supaya terdengar lebih berbobot:
-Iklan iklan di TV agar nampak sangat anggun, ditayangkan dua kali sehari padahal nyatanya ya cuma iklan, beberapa anak menanam pohon dari bibit.
-Menggunakan issue penghijauan untuk mencari popularitas saat kampanye: Padahal ngomong doang, atau cuma simbolik saja memberi bibit kayu rimba bahkan bibit apa saja dan di shoot TV dari bermacam sudut, trus ditayang berkali -kali diberita minggu ini, mesti saja dengan bayaran.
Menggunakan issue penghijauan untuk mencari dana buat keperluan lain:
Lembaga Swadaya Masyarakat, Dinas-Dinas yang ada dana supaya kelihatan terpakai, Yayasan -Yayasan supaya kelihatan keren:
Membagikan bibit buah-buahan dan tamanan pelindung di perempatan jalan ramai di shoot TV entah lanjutannya untuk apa.
Menggunakan issue penghijauan untuk performance upacara:
Bapak Penjabat apa saja desertai dengan puluhan pengikutnya berseragam training set, disertai dengan puluhan bahkan ratusan Pramuka, bener-bener menanam bibit pepohonan di lahan terbuka (entah bisa hidup berapa lama bibit pohon itu ?), setelah itu entah jadi apa?. Wong hanya upacara.
Melihat itu semua orang (saya terutama) jadi eneg deh.
Kok bisa bisanya, hari gini issue penghijauan yang sudah jadi taruhan perubahan iklim, kok masih dibuat mainan. Please, jangan jadikan penghijauan sebagai acara seremonial belaka.
Memang, bila dicermati, lahan-lahan yang terbuka, malah waktu kemarau nampak gundul karena semak semaknya yang tetumbuhan musiman mati, itu memang ada sebabnya.
Mestinya jauh jauh hari, mbok mereka yang mengerti soal tanam menanam itu memberi pengertian, artinya Lillahi Ta’Alla.
Menanam kembali lahan terbuka, itu bukan kerja sehari dua hari, harus ada pemeliharaan selama paling sedikit sampai tumbuhan yang ditanam itu bisa mandiri, persis seperti memelihara bayinya apa saja, syukurlah kepada Sang Pencipta, bahwa bayinya tumbuhan yang bisa sebesar pepohonan yang diameternya bisa semeter tanpa di bantu manusia itu, syaratnya kan hanya melihat hanya selama tiga musim kemarau saja. Hanya mengamati bibit tumbuhan apa saja yang baru ditanam pada kemarau pertama, pada pemarau ke-dua, dan pada kemarau ke-tiga.
Artinya apakah tumbuhan yang kita tanam di lahan terbuka itu masih mendapatkan air apa tidak ? Soalnya kemarau pertama bibit itu akarnya masih pendek, tidak bisa mencapai lapisan tanah yang masih basah, kan kesempatan untuk membuat akar hanya maximum lima bulan ? Itupun bila bibit ditanam pada permulaan musim hujan ? Itupun bila bibitnya benar, ditanam dengan benar dan disiram sesudah ditanam.
Bibit tumbuhan yang benar : Kan kita nanam di lahan tebuka gundul waktu kemarau itu, yang mati, kan tumbuhan semusim atau semak semak yang walau dia tumbuhan tahunan, tidak mampu mencari air. Lha kita menanam disitu, mestinya kita cari tumbuhan yang akarnya tumbuh kebawah dengan cepat memanjang, selama maximum 5 bulan sudah mencapai kedalaman yang aman di musim kemarau.
Apa ada tumbuhan macam itu ? `Pasti ada, Tanya sama Ahhlinya. Menanam tanaman yang akarnya cepat panjang menghunjam kebawah, memerlukan perlakuan khusus, wong bakatnya berakar panjang, jadi bibitnya ya akarnya panjang, jangan nanam yang akarnya pendek kerena putus.
Bila sudah di kantong plastik, bakat akarnya panyang, kan kantongnya harus extra panjang ?
Lahan, tanah yang kita risih kok gundul dimusim kemarau itu ada apa ?
Lha bila dimusim hujan juga gundul ya maaf, itu mungkin batu besar.
Tanah dengan dasar batu kapur, tanah miring, tanah berpasir dalam, itu memang rawan jadi lahan “kritis” artinya jadi sasaran kritik, sebab aku tidak tau kenapa dinamakan lahan ”kritis”.
Di lahan itu air hujan cepat hilang, atau lebih cepat mengalir di permukaan yang miring (run off), atau cepat menyerap kebawah tanpa ada lapisan penahan di zona akar yang normal, biasanya diatas batu dasar lapisan batu kapur yang mirip saringan, pori-porinya banyak dimana-mana, air hujan meresap jauh ke bawah zona perakaran, begitu pula tanah berpasir.
Bila bibit sudah dipilih dari yang berakar panjang, lantas tanahnya macam apa ?
Ngototnya yang mau menanam pepohonan bagaimana?
Terhadap run off yang berat, kita ada akal membuat sabuk gunung (terrasering), atau bila biaya mepet ya individual terassering.
Terhadap tanah yang tumbuh di atas bukit kapur yang porus, kita lihat saja tunbuhan apa yang mampu bertahan di situasi itu, ya dia jadi pilihan kita untuk penghijauan.
Bila ngotot, ya pilih tunbuhan yang tahah kering, kita bantu sebisanya pada tiga musim kemarau yang pertama dengan menyiram sebisanya, mungkin pada kemarau ketiga akarnya sudan cukup menghunjam ke lapisan yang masih mengandung air.
Sudah itu di lereng, tanah dimana air hujan melorot kebawah zona akar, masih ada bagian lereng, yang di bawahnya ada batu besar atau ceruk batuan yang lebih massif, sehingga diatasnya tanah masih ada air terperangkap, disitu semak-semak tumbuh secara alami, bila tumbuhan yang kita maksud akan ditanam sebaiknya memilih tempat yang walau musin kemarau, masih ada segerombol tumbuhan yang masih hijau.
Penduduk Pulau kecil di NTT pada musim kemarau yang panjang, terpaksa minum air yang menetes dari akar Pisang Saba (Musa accuminata ) yang dipotong, dalam sehari semalan tertampung segelas air.
Pisang yang sama, di sekitar Klakah di tengah-tengah wilayah berbukti rendah antara Selat Madura/Probolinggo dan Laut Selatan Lumajang, disitu tanah berbukit rendah, ada di bayangan hujan gunung- gunung tinggi di barat maupun di timur, tanah lereng bukit dan hujannya kurang, tapi wilayah itu merupakan tempat buah-buahan dijual sepanjang jalan, baik musim penghujan maupun musin kemarau.
Ternyata penduduk daerah itu ada yang mampu menanam pohon buah-buahan di lereng-lereng yang jauh dari sumber air, yang mampu mereka tanam adalah; Nangka, Apukat, Pisang Saba dan Pisang jenis murahan yang lain, Kelapa muda, Kenitu (sebangsa Sawo warna kulitnya hijau, kadang Mangga). Kita bisa jadi merasa heran, kok bisa melewat tiga musim kemarau? apakah pohon buah-buahan di atas bukit sana pernah dibantu disiram manusia ya ?
Pembaca, boro-boro nyiram pohon Nangka bayi di atas bukit, mandi saja harus pergi lima enam kilometer.
Caranya yang saya amati begini; di lereng tempat yang terpilih, mereka penduduk yang arif sesuai dengan kearifan lokal, mulai dengan menanam Pisang Saba, setelah tumbuh serumpun, perlu dua tiga tahun, kemudian di bawah persis serumpun Pisang Saba itu mereka tanami bibit Nangka setinggi dua jengkal, tentu saja di permulaan musim hujan, selama musim hujan no problem, air turun dari langit, biar run off seperti apa.
Musim kemarau mulai ada problem, rerumputan sudah kering, kemudian semak-semak, namun rumpun Pisang tetap bertahan. Lha, si bibit Nangka yang ditanam dibawah rumpun Pisang tadi itu mendapatkan air dari tetesan air akar pohon Pisang yang sengaja dipotong dengan sabit, diulang-ulang sampai kemarau ganti musim hujan yang kedua bagi si bibit yang selamat melewati kemarau pertama.
Kemudian kemarau kedua, akar dan pohon Nangka sudah bertambah panjang, masih perlu naungan daun Pisang yang agak merana di musim kemarau, namun memadai.
Diulang pemotongan akar Pisang dengan menyisipkan arit di tempat perakaran Pisang dekat pohon Nangka yang ditanam, akhir kemarau kedua dilewati dengan selamat.
Kemarau yang ketiga bibit Nangka telah besar lebih dari setengah meter, dengan akar yang cukup dalam, sehingga rumpun Pisang agak menggaggu pertumbuhan didongkel. Akhirnya seluruh rumpun Pisang didongkel pada tahun ke empat. Kemudian barulah kita heran-heran kok ada pohon Nangka muda di lereng tinggi diatas bukit ? (Bila ada Penjabat Eselon yang melihat pohon Nangka tadi, namun tak tahu kisah nanamnya, Eselon itu kemungkinan langsung berteriak jumawa: “Lihat yang diatas bukit saja bisa ditanam Nangka, kenapa ndak minta dana untuk penghijauan besar besaran, kan gampang !” gitu ujarnya keras-keras.)
Padahal asal para pembaca tahu, bibit buah-buahan macam-macam asal agak tahan kering dapat ditanam dengan cara yang sama. Karena belum pernah ada orang menyiram setinggi di atas lereng-lereng bukit.(*)
Semoga berguna. Wahai eselon belajarlah.
Kemudian kemarau kedua, akar dan pohon Nangka sudah bertambah panjang, masih perlu naungan daun Pisang yang agak merana di musim kemarau, namun memadai.
Diulang pemotongan akar Pisang dengan menyisipkan arit di tempat perakaran Pisang dekat pohon Nangka yang ditanam, akhir kemarau kedua dilewati dengan selamat.
Kemarau yang ketiga bibit Nangka telah besar lebih dari setengah meter, dengan akar yang cukup dalam, sehingga rumpun Pisang agak menggaggu pertumbuhan didongkel. Akhirnya seluruh rumpun Pisang didongkel pada tahun ke empat. Kemudian barulah kita heran-heran kok ada pohon Nangka muda di lereng tinggi diatas bukit ? (Bila ada Penjabat Eselon yang melihat pohon Nangka tadi, namun tak tahu kisah nanamnya, Eselon itu kemungkinan langsung berteriak jumawa: “Lihat yang diatas bukit saja bisa ditanam Nangka, kenapa ndak minta dana untuk penghijauan besar besaran, kan gampang !” gitu ujarnya keras-keras.)
Padahal asal para pembaca tahu, bibit buah-buahan macam-macam asal agak tahan kering dapat ditanam dengan cara yang sama. Karena belum pernah ada orang menyiram setinggi di atas lereng-lereng bukit.(*)
Semoga berguna. Wahai eselon belajarlah.
0 comments:
Posting Komentar