Aku dibesarkan saat Negara ini dilanda perang Kemerdekaan.
Tahun 1946 aku kelas satu SR dalam setahun aku berganti sekolah tiga kali karena mengungsi, ayahku bukan Pegawai Negri, saudaraku banyak sembilan orang. Tidak perduli, kaum pecinta kemerdekaan pilih mengungsi, bak bulu Garuda yang sedang berkelahi, tercerabut morat marit. Zamanku adalah zaman romantisme, melaksanakan mimpi kemerdekaan. Kami mengungsi meninggalkan Kota Surabaya di Bulan Desember 1945 setelah hampir sebulan bertahan dari kepungan sekutu, semenjak pendaratan sekutu di Surabaya dan meletus pertempuran 10 Nopember 1945. Setelah insiden tewasnya Brigjen Malaby, sekutu membombardir Surabaya. Kami warga Surabaya tahunya hanya melawan NICA yang ikut menumpang kapal Inggris. Prinsipnya kami tidak ada masalah dengan Inggris. Hanya saja kata kakak tertuaku kita melawan NICA Belanda yang hendak kembali lagi menjajah Indonesia. Kakak tertuaku kemudian bergabung dengan Batalyon TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) kakakku itu namanya adalah Mukadi yang juga bertempur pada tanggal 10 Nopember 1945 di Surabaya, komandannya adalah Mas Isman.
Pembaca, karena rumahku di kawasan Tambak Sari Surabaya, maka pertempuran antara Arek-arek Suroboyo melawan serdadu Sekutu (kebanyakan resimen Gurkha, Inggris), adalah dekat. Aku lihat sendiri kakakku mengokang senjata dan menembak dengan senjata rampasan Jepang yang baru didapatnya membobol gudang-gudang logistik Jepang di Surabaya. Di radio suara Bung Tomo terus membakar semangat arek-arek Suroboyo.
Saat itu informasi yang kami dapat tidak jelas, apakah Inggris hanya akan melucuti tentara Jepang yang telah kalah perang, atau justru membantu NICA Belanda untuk come back berkuasa kembali di Surabaya. Yang jelas kami telah muak dengan penjajahan Belanda. Dan warga Surabaya telah siapkan 'penyambutan khusus' berupa mitralyur bagi NICA dan sinyo Belanda. Untuk itu, kakakku Mukadi yang saat itu baru berumur 14 tahun, kelas 3 SMP ikut bertempur, dan sempat kulihat dia mengevakuasi kawannya yang gugur akibat tertembak persis di kepalanya. Kulihat Mas Gumbreg alm. pemegang Artileri anti serangan Udara di posisi dekat viaduk. Mas Gumbreg akhirnya gugur syahid setelah duel bertempur satu lawan satu dengan pesawat Sekutu, sampyuh, beliau gugur, pesawat musuh jatuh terbakar. Makamnya Mas Gumbreg ada di kompleks makam pahlawan di Ngagel, Surabaya sekarang.
Karena logistik menipis, dan tentara Indonesia memutuskan mundur dari Surabaya, maka pada Bulan Desember 1945 kami sekeluarga mengungsi ke selatan, terus ke Sidoarjo, dan meninggalkan Jawa Timur, tujuan kami sekeluarga adalah Solo, tempat kakek nenekku tinggal. Di Solo kembali agressi Belanda, kami juga mengalami. Namun Alhamdulillah, masih diberi keselamatan oleh Alloh SWT.
Tahun 1946 aku kelas satu SR dalam setahun aku berganti sekolah tiga kali karena mengungsi, ayahku bukan Pegawai Negri, saudaraku banyak sembilan orang. Tidak perduli, kaum pecinta kemerdekaan pilih mengungsi, bak bulu Garuda yang sedang berkelahi, tercerabut morat marit. Zamanku adalah zaman romantisme, melaksanakan mimpi kemerdekaan. Kami mengungsi meninggalkan Kota Surabaya di Bulan Desember 1945 setelah hampir sebulan bertahan dari kepungan sekutu, semenjak pendaratan sekutu di Surabaya dan meletus pertempuran 10 Nopember 1945. Setelah insiden tewasnya Brigjen Malaby, sekutu membombardir Surabaya. Kami warga Surabaya tahunya hanya melawan NICA yang ikut menumpang kapal Inggris. Prinsipnya kami tidak ada masalah dengan Inggris. Hanya saja kata kakak tertuaku kita melawan NICA Belanda yang hendak kembali lagi menjajah Indonesia. Kakak tertuaku kemudian bergabung dengan Batalyon TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) kakakku itu namanya adalah Mukadi yang juga bertempur pada tanggal 10 Nopember 1945 di Surabaya, komandannya adalah Mas Isman.
Pembaca, karena rumahku di kawasan Tambak Sari Surabaya, maka pertempuran antara Arek-arek Suroboyo melawan serdadu Sekutu (kebanyakan resimen Gurkha, Inggris), adalah dekat. Aku lihat sendiri kakakku mengokang senjata dan menembak dengan senjata rampasan Jepang yang baru didapatnya membobol gudang-gudang logistik Jepang di Surabaya. Di radio suara Bung Tomo terus membakar semangat arek-arek Suroboyo.
Saat itu informasi yang kami dapat tidak jelas, apakah Inggris hanya akan melucuti tentara Jepang yang telah kalah perang, atau justru membantu NICA Belanda untuk come back berkuasa kembali di Surabaya. Yang jelas kami telah muak dengan penjajahan Belanda. Dan warga Surabaya telah siapkan 'penyambutan khusus' berupa mitralyur bagi NICA dan sinyo Belanda. Untuk itu, kakakku Mukadi yang saat itu baru berumur 14 tahun, kelas 3 SMP ikut bertempur, dan sempat kulihat dia mengevakuasi kawannya yang gugur akibat tertembak persis di kepalanya. Kulihat Mas Gumbreg alm. pemegang Artileri anti serangan Udara di posisi dekat viaduk. Mas Gumbreg akhirnya gugur syahid setelah duel bertempur satu lawan satu dengan pesawat Sekutu, sampyuh, beliau gugur, pesawat musuh jatuh terbakar. Makamnya Mas Gumbreg ada di kompleks makam pahlawan di Ngagel, Surabaya sekarang.
Karena logistik menipis, dan tentara Indonesia memutuskan mundur dari Surabaya, maka pada Bulan Desember 1945 kami sekeluarga mengungsi ke selatan, terus ke Sidoarjo, dan meninggalkan Jawa Timur, tujuan kami sekeluarga adalah Solo, tempat kakek nenekku tinggal. Di Solo kembali agressi Belanda, kami juga mengalami. Namun Alhamdulillah, masih diberi keselamatan oleh Alloh SWT.
Pada awal kemerdekaan, setelah tamat SMA dari SMA Negeri 2 Surabaya, (kakak kelasku dua tahun diatasku aku ingat betul adalah Tri Sutrisno, pemuda gagah yang juga ketua pelajar SMAN 2 Surabaya). Singkatnya setelah lulus SMA, aku pilih sekolah di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta, sekolah murah tinggal pilih. Saudara pembaca, maklumlah saat itu Negara Indonesia muda bak Garuda yang melebarkan sayap, meregangkan otot-otot, Negara harus dibangun di segala bidang, sekolah murah. Rakyat makan bulgur bantuan pangan dari Amerika (gandum biji kelas rendah belum digiling).
Seperti yang sudah kuceritakan aku berhasil mendapat beasiswa ke Russia, akhirnya aku lulus dari Fakultas Pertanian dan balik ke Indonesia pada masa gawat-gawatnya di era 1965-1966. Banyak kawanku yang memilih tinggal. Tapi dengan tulus akupun memilih pulang.
Waktu itu karena serba dicurigai dan kadang dimusuhi, karena aku lulusan Russia, (yang lulusan barat dicintai setengah mati dan langsung jadi menteri). Tak terpikir aku bakal dapat nafkah dari mana, orang tua saya hanya pegawai swasta kecil seperti petani tak bertanah, tapi jelas kami adalah Republikan, yang mengalami menngungsi dari kota ke kota, kami semua ngebelain kakakku Mukadi yang umur empat belas tahun ikut memanggul senjata perlawanan hingga dewasa dan merdeka.
Kenyataan berkata lain, kami sungguh cinta Bung Karno, Geo Politik hanya ada dua pilihan ikut Barat atau Timur. Indonesia non blok dimaki 'tak bermoral' oleh Amerika. Bung Karno waspada dengan bujukan hutang Amerika, karena Bung Karno melihat imperialisme dibaliknya. Prinsip Bung Karno yang aku tahu adalah "Indonesia untuk Indonesia, bukan Indonesia untuk disedot asing".
Namun Amerika Serikat bukan macan kertas, buat apa dia mengusir Jepang dari Indonesia kalau engga dapet apa-apa? Karena negara baru seperti Indonesia ini dianggap kurang dekat dengan dia dan malah asyik ngobrol dengan blok musuhnya, segeralah Amerika menyatakan dirinya sebagai Adhi Kuasa di seluruh Dunia. Setelah sukses menggulingkan Bung Karno, CIA segera menggantikan pemimpin-pemimpin sipil di Indonesia dengan para Jendral Angkatan Bersenjata. Seketika Garuda Merdeka langsung jadi rezim militer totaliter, di tahun 1965. Sipil yang berani berpikir kritis hilang atau dipenjara. Kritik sedikit, tangkap atau di-cut dari sistem ekonomi dan sosial. Kondisi jelas tidak menguntungkan bagi saya untuk berpendapat kritis, meski itu tidak bermaksud melawan militer, hanya sumbang saran saja saya masih berpikir : "awak ini sudah lulusan Russia berani omong pula, bisa-bisa awak langsung dapat tiket ke pulau Buru yang masih open 24 jam untuk para lulusan Russia".
Sejak itu secara sistimatik Republik Garuda dijadika Republik Pura-pura.
Dibentuk dongeng baru, “pambangunan yes politik no” yang dimaksud pembangunan di era Orde Purapura I, adalah pembangunan Rezim yang secara total pengikut Amerika Serikat, yang artinya sejahteralah anak-anak si Tuan dan Nyonya, biarkan mati anak si Emboke dan Pake, entah mati bayi entah dewasa membakar diri, yang dimaksud dengan politik no adalah kekuasaan hanya monopoli rezim, nggak bakalan kekuasaan Negara untuk Rakyat.
Hanya beras untuk rakyat melimpah karena sarana partanian disubsidi besar besaran, selama minyak bumi dan emas untuk Tuan-Tuan di Wall Street masih ada, minyak bumi habis ya subsidi untuk seluruh sumberdaya Orde Purapura II habis.
Karena namanya masih Republik Puapura II subsidi itu diganti dengan BLT ( Bantuan Langsung Tunai) untuk kaum miskin,, untuk beberapa lokasi dan beberapa bulan ya, sesudah itu ya purapura membantu saja, kenyataannya kaum miskin makin hari makin tambah banyak terimbas inflasi dan resesi di Amerika Serikat, negeri Tuan-Tuan kita.
Bukan karena kekurangan tapi karena orang super kaya yang beberapa persen saja mengatur Congress dan Pemerintahan AS, untuk memanjakan mencarikan lahan jajahan baru, membuatkan infra structure baru untuk menggandakan uangnya, namanya “pertumbuhan” dengan uang rakyat, oleh keringat dan darah rakyat Amerika Serikat (yang gugur di Afganistan, Irak ? ). Ular ini waktunya berganti kulit yang lebih longgar, kerena gendutnya sudah menyesakkan kulit yang lama.
Celakanya ekonomi Negara kita sudah digadaikan ke Wall Street yang lagi di “duduki” kaum menengah Amerika Serikat, (bukan ekor nya si menengah ini yang terinjak kaget, tapi perutnya yang tergencet, baru sadar dia).
Celakanya lagi, Republik Purapura kita sudah kadhung terlanjur kalah tidak punya otot-otot infra structure untuk merdeka. Pemerintahan hanya bisa pura-pura saja, kabar terakhir mau buka satu juta Hektare lahan sawah, e e kok lagu lama.
Kapan sawah hijau melambai disiarkan TV tentu saja cuma iklannya.?
Anggaran bejibun, hanya untuk pencitraan di TV.
Anggaran setiap Kementerian dihamburkan untuk siaran iklan di TV, di iklan ini pura-pura mendidik pemuda pemudinya di Sekolah Menengah Kejuruan yang canggih, dengan murid purapura dari para artis yang menggemaskan.
Purapura menanam pohon satu milyar pohon disiarkan sebagai iklan di TV setiap menjelang musim hujan, (toh akhirnya mati di musim kemarau pertama) untuk mengganti penggundulan hutan yang sungguh sunguh, jutaan hektar per tahun yang tak terkendali.
Purapura mempersiapkan TKW dengan pelatihan di iklan siaran TV, seolah olah Depnaker nya ada kemauan anggaran untuk itu.
Kok bisa-bisanya ya ?
Yang lebih elok lagi, di Republik Indonesia, ikutan purapura mengangkat derajad petani dengan menjadikan mereka petani plasma kebun kelapa sawit, di-shoot oleh perusaah iklan TV berlatar belakang rumah gedung yang jadi miliknya berkat kemitraan dengan perusahaan Inti sawit, e e ternyata muka bopeng Penguasa nampak hari ini di TV. Setelah diredam nyaris dua bulan, borok ini muncul di permukaan, insiden maut meledak di Mesuji, Lampung, 20 petani dibantai oleh pihak mana belum jelas benar. Padahal sudah ada aparat keamanan di lokasi tapi petani gurem kok masih dibantai pula, (koran Surya 15/12/201), hanya untuk mencaplok desanya demi Perusaan Perkebunan P.T Silva Inhutani yang hendak memperluas lahannya. Kok ada jeruk makan jeruk ya, yang aku baca dan lihat di media massa menurut Mayjen (purn) Saurip Kadi -yang telah disiarkan oleh berbagai media massa-, peristiwa ini sudah kesekian kalinya, tapi tidak muncul di media (sukses diredam).
Entah purapura apa lagi ini, kok sampai tega mengorbankan sekain puluh nyawa ?
Zamanku dulu adalah zaman romantisme, zaman rakyat (dalam pemilihan Konstiuante, Pemilihan umum yang pertama, Pemilu yang kedua ndak ada Golput) karena kami rakyat pada waktu itu bersungguh-sungguh mempersiapkan membangun Negara, yang korupsi ya ada, banyak, kami terlalu sibuk, membangun mimpi, wong pabrik semem Gresik saja baru dibangun.
Kebanyakan pemuda-pemudi memilih sekolah sesuai kemampuan otaknya, bukan untuk nafkah saja tapi untuk mimpi membangun Negaranya. Belajar jadi Ahli teknik, Sipil, Mesin, Kimia, Perkapalan, Geodesi dsb ok saja, mau jadi ahli Pertanian, Kedokteran Hewan, Farmasi, Paedagogy ok saja, maklum masyarakat negara yang romantis lagi akan membangun.
Sekarang lain lagi, cari yang lebih pragmatis, artinya tahu kenyataan, Negara ini sudah jadi Negaranya kaum hamba. ‘Scope’ keahlian para hamba lebih menyempit lagi. Raihlah keahlian menghitung dan menggandakan uang, carilah posisi keahlianmu dekat-dekat dengan gudang uang (tentu saja milik Tuan-Tuan kita di Wall Street sana), jadilah oportunis. Raihlah keahlian Pengobatan, bukan karena Tuan-Tuan kita berpenyakitan, tapi para hamba masih sayang dengan nyawanya, daganganmu tidak pernah bisa ditawar, sakitnya para hamba sudah beraneka macam, karena makan segala bahan kimia, pengawet, pelembab, pengering renyah, pengental, pewarna nurut citra bianglala, hasil tani rekayasa genetica dsb, mentalnya tidak sehat digerogoti credit card yang bunga-berbunga.
Ilmu Pengobatan adalah ilmu mempergunakan bahan kimia obat obatan bikinan pabrik canggih dan super mahal, benang operasi, clam micro, pisau operasi laser, alat bantu pernafasan, alan pengendali tekanan darah, alat bantu memantau fungsi tubuh, anti biotica, Rumah Sakit adalah barang khusus yang super mahal, konon honorarium para akhli pengobatan hanya dapat seperenam dari ongkos pengobatan seluruhnya ( kepemilikan modal dan keuntungan Rumah Sakit dan peralatannya yang canggih tidak bisa di bicarakan, sebab anonym) yang merupakan sewa alat alat tersebut, segitu saja sudah leluasa untuk berlibur keluar negeri dua kali setahun kadang kadang umroh untuk selingan, dan memadati perumahan mewah restoran mewah dan jalan raya dengan beberapa mobilnya, didunia para hamba ini, belum deposito dari devident Ruamah sakit dan alat alatnya yang disewakan super mahal. Dilain Negara, kelemahan posisi si penderita dikuati Pemerintah.
Jadi meraih keahlian selain mengatur uang Tuan Tuan kita, menghilangkan nyeri para hamba dan kankernya, memperpanjang hidup derita hamba hamba ini,masih menjanjikan imbalan lebih baik dari keahlian lain, karena soal nyawa dan rasa sakit, pasti disediakan dana olee penderita dan keluarganya.
Akhli Pendidikian ? Ya bolehlah , cetaklah hamba yang meneng manut mangan, tanpa kreasi sesuai dengan pesanan para Tuan.
Ini Republik Purapura II, Republiknya para hamba, orang muda, jangan buang tempo ontuk belajar keahlian lain yang Tuanmu bisa dan tidak membutuhkan, jangan bersaing di bidang yang memerlukan sedikit Ahli saja ahli Architecture) atau hanya melayani orang miskin (ahli Pertanian, ahli Pengobatan dan pemeliharaan hewan), siapa yang bayar ?, atau Korupsi saja mumpung ada kesempatan, pisang tidak berbuah duakali kan ?. Akhir kata Do'a saya : "Ya Alloh, untung Pulau Buru tempat pembuangan kawan-kawanku dari Russia sudah engkau tutup, dan kini (berkat usaha kaum buangan) Engkau jadikan lumbung padi yang makmur di Timur Indonesia sekarang, dan Boven Digul tempat pembuangan orang-orang berpikir jaman Belanda juga sudah Engkau jadikan monumen hidup, bahwa pikiran manusia tidak dapat dihilangkan, dibungkam, dibuang dan dikekang. (*)
Kenyataan berkata lain, kami sungguh cinta Bung Karno, Geo Politik hanya ada dua pilihan ikut Barat atau Timur. Indonesia non blok dimaki 'tak bermoral' oleh Amerika. Bung Karno waspada dengan bujukan hutang Amerika, karena Bung Karno melihat imperialisme dibaliknya. Prinsip Bung Karno yang aku tahu adalah "Indonesia untuk Indonesia, bukan Indonesia untuk disedot asing".
Namun Amerika Serikat bukan macan kertas, buat apa dia mengusir Jepang dari Indonesia kalau engga dapet apa-apa? Karena negara baru seperti Indonesia ini dianggap kurang dekat dengan dia dan malah asyik ngobrol dengan blok musuhnya, segeralah Amerika menyatakan dirinya sebagai Adhi Kuasa di seluruh Dunia. Setelah sukses menggulingkan Bung Karno, CIA segera menggantikan pemimpin-pemimpin sipil di Indonesia dengan para Jendral Angkatan Bersenjata. Seketika Garuda Merdeka langsung jadi rezim militer totaliter, di tahun 1965. Sipil yang berani berpikir kritis hilang atau dipenjara. Kritik sedikit, tangkap atau di-cut dari sistem ekonomi dan sosial. Kondisi jelas tidak menguntungkan bagi saya untuk berpendapat kritis, meski itu tidak bermaksud melawan militer, hanya sumbang saran saja saya masih berpikir : "awak ini sudah lulusan Russia berani omong pula, bisa-bisa awak langsung dapat tiket ke pulau Buru yang masih open 24 jam untuk para lulusan Russia".
Sejak itu secara sistimatik Republik Garuda dijadika Republik Pura-pura.
Dibentuk dongeng baru, “pambangunan yes politik no” yang dimaksud pembangunan di era Orde Purapura I, adalah pembangunan Rezim yang secara total pengikut Amerika Serikat, yang artinya sejahteralah anak-anak si Tuan dan Nyonya, biarkan mati anak si Emboke dan Pake, entah mati bayi entah dewasa membakar diri, yang dimaksud dengan politik no adalah kekuasaan hanya monopoli rezim, nggak bakalan kekuasaan Negara untuk Rakyat.
Hanya beras untuk rakyat melimpah karena sarana partanian disubsidi besar besaran, selama minyak bumi dan emas untuk Tuan-Tuan di Wall Street masih ada, minyak bumi habis ya subsidi untuk seluruh sumberdaya Orde Purapura II habis.
Karena namanya masih Republik Puapura II subsidi itu diganti dengan BLT ( Bantuan Langsung Tunai) untuk kaum miskin,, untuk beberapa lokasi dan beberapa bulan ya, sesudah itu ya purapura membantu saja, kenyataannya kaum miskin makin hari makin tambah banyak terimbas inflasi dan resesi di Amerika Serikat, negeri Tuan-Tuan kita.
Bukan karena kekurangan tapi karena orang super kaya yang beberapa persen saja mengatur Congress dan Pemerintahan AS, untuk memanjakan mencarikan lahan jajahan baru, membuatkan infra structure baru untuk menggandakan uangnya, namanya “pertumbuhan” dengan uang rakyat, oleh keringat dan darah rakyat Amerika Serikat (yang gugur di Afganistan, Irak ? ). Ular ini waktunya berganti kulit yang lebih longgar, kerena gendutnya sudah menyesakkan kulit yang lama.
Celakanya ekonomi Negara kita sudah digadaikan ke Wall Street yang lagi di “duduki” kaum menengah Amerika Serikat, (bukan ekor nya si menengah ini yang terinjak kaget, tapi perutnya yang tergencet, baru sadar dia).
Celakanya lagi, Republik Purapura kita sudah kadhung terlanjur kalah tidak punya otot-otot infra structure untuk merdeka. Pemerintahan hanya bisa pura-pura saja, kabar terakhir mau buka satu juta Hektare lahan sawah, e e kok lagu lama.
Kapan sawah hijau melambai disiarkan TV tentu saja cuma iklannya.?
Anggaran bejibun, hanya untuk pencitraan di TV.
Anggaran setiap Kementerian dihamburkan untuk siaran iklan di TV, di iklan ini pura-pura mendidik pemuda pemudinya di Sekolah Menengah Kejuruan yang canggih, dengan murid purapura dari para artis yang menggemaskan.
Purapura menanam pohon satu milyar pohon disiarkan sebagai iklan di TV setiap menjelang musim hujan, (toh akhirnya mati di musim kemarau pertama) untuk mengganti penggundulan hutan yang sungguh sunguh, jutaan hektar per tahun yang tak terkendali.
Purapura mempersiapkan TKW dengan pelatihan di iklan siaran TV, seolah olah Depnaker nya ada kemauan anggaran untuk itu.
Kok bisa-bisanya ya ?
Yang lebih elok lagi, di Republik Indonesia, ikutan purapura mengangkat derajad petani dengan menjadikan mereka petani plasma kebun kelapa sawit, di-shoot oleh perusaah iklan TV berlatar belakang rumah gedung yang jadi miliknya berkat kemitraan dengan perusahaan Inti sawit, e e ternyata muka bopeng Penguasa nampak hari ini di TV. Setelah diredam nyaris dua bulan, borok ini muncul di permukaan, insiden maut meledak di Mesuji, Lampung, 20 petani dibantai oleh pihak mana belum jelas benar. Padahal sudah ada aparat keamanan di lokasi tapi petani gurem kok masih dibantai pula, (koran Surya 15/12/201), hanya untuk mencaplok desanya demi Perusaan Perkebunan P.T Silva Inhutani yang hendak memperluas lahannya. Kok ada jeruk makan jeruk ya, yang aku baca dan lihat di media massa menurut Mayjen (purn) Saurip Kadi -yang telah disiarkan oleh berbagai media massa-, peristiwa ini sudah kesekian kalinya, tapi tidak muncul di media (sukses diredam).
Entah purapura apa lagi ini, kok sampai tega mengorbankan sekain puluh nyawa ?
Zamanku dulu adalah zaman romantisme, zaman rakyat (dalam pemilihan Konstiuante, Pemilihan umum yang pertama, Pemilu yang kedua ndak ada Golput) karena kami rakyat pada waktu itu bersungguh-sungguh mempersiapkan membangun Negara, yang korupsi ya ada, banyak, kami terlalu sibuk, membangun mimpi, wong pabrik semem Gresik saja baru dibangun.
Kebanyakan pemuda-pemudi memilih sekolah sesuai kemampuan otaknya, bukan untuk nafkah saja tapi untuk mimpi membangun Negaranya. Belajar jadi Ahli teknik, Sipil, Mesin, Kimia, Perkapalan, Geodesi dsb ok saja, mau jadi ahli Pertanian, Kedokteran Hewan, Farmasi, Paedagogy ok saja, maklum masyarakat negara yang romantis lagi akan membangun.
Sekarang lain lagi, cari yang lebih pragmatis, artinya tahu kenyataan, Negara ini sudah jadi Negaranya kaum hamba. ‘Scope’ keahlian para hamba lebih menyempit lagi. Raihlah keahlian menghitung dan menggandakan uang, carilah posisi keahlianmu dekat-dekat dengan gudang uang (tentu saja milik Tuan-Tuan kita di Wall Street sana), jadilah oportunis. Raihlah keahlian Pengobatan, bukan karena Tuan-Tuan kita berpenyakitan, tapi para hamba masih sayang dengan nyawanya, daganganmu tidak pernah bisa ditawar, sakitnya para hamba sudah beraneka macam, karena makan segala bahan kimia, pengawet, pelembab, pengering renyah, pengental, pewarna nurut citra bianglala, hasil tani rekayasa genetica dsb, mentalnya tidak sehat digerogoti credit card yang bunga-berbunga.
Ilmu Pengobatan adalah ilmu mempergunakan bahan kimia obat obatan bikinan pabrik canggih dan super mahal, benang operasi, clam micro, pisau operasi laser, alat bantu pernafasan, alan pengendali tekanan darah, alat bantu memantau fungsi tubuh, anti biotica, Rumah Sakit adalah barang khusus yang super mahal, konon honorarium para akhli pengobatan hanya dapat seperenam dari ongkos pengobatan seluruhnya ( kepemilikan modal dan keuntungan Rumah Sakit dan peralatannya yang canggih tidak bisa di bicarakan, sebab anonym) yang merupakan sewa alat alat tersebut, segitu saja sudah leluasa untuk berlibur keluar negeri dua kali setahun kadang kadang umroh untuk selingan, dan memadati perumahan mewah restoran mewah dan jalan raya dengan beberapa mobilnya, didunia para hamba ini, belum deposito dari devident Ruamah sakit dan alat alatnya yang disewakan super mahal. Dilain Negara, kelemahan posisi si penderita dikuati Pemerintah.
Jadi meraih keahlian selain mengatur uang Tuan Tuan kita, menghilangkan nyeri para hamba dan kankernya, memperpanjang hidup derita hamba hamba ini,masih menjanjikan imbalan lebih baik dari keahlian lain, karena soal nyawa dan rasa sakit, pasti disediakan dana olee penderita dan keluarganya.
Akhli Pendidikian ? Ya bolehlah , cetaklah hamba yang meneng manut mangan, tanpa kreasi sesuai dengan pesanan para Tuan.
Ini Republik Purapura II, Republiknya para hamba, orang muda, jangan buang tempo ontuk belajar keahlian lain yang Tuanmu bisa dan tidak membutuhkan, jangan bersaing di bidang yang memerlukan sedikit Ahli saja ahli Architecture) atau hanya melayani orang miskin (ahli Pertanian, ahli Pengobatan dan pemeliharaan hewan), siapa yang bayar ?, atau Korupsi saja mumpung ada kesempatan, pisang tidak berbuah duakali kan ?. Akhir kata Do'a saya : "Ya Alloh, untung Pulau Buru tempat pembuangan kawan-kawanku dari Russia sudah engkau tutup, dan kini (berkat usaha kaum buangan) Engkau jadikan lumbung padi yang makmur di Timur Indonesia sekarang, dan Boven Digul tempat pembuangan orang-orang berpikir jaman Belanda juga sudah Engkau jadikan monumen hidup, bahwa pikiran manusia tidak dapat dihilangkan, dibungkam, dibuang dan dikekang. (*)
0 comments:
Posting Komentar