Islam masuk di Pulau Jawa mengalahkan pengaruh kekuasaan kerajaan Majapahit secara damai, karena kaum mubaligh Islam menciptakan sawah berpengairan dengan membuka rawa-rawa daerah delta sungai untuk sawah, alias sawah dengan pengairan pasang surut. Pengalaman ini dipakai untuk membuka pusat ekonomi baru, wilayah berawa-rawa Demak Bintoro, jadi dasar Kesultanan Islam di sana.
Puluan ribu Ha sawah berpengairan hasil teknologi dari Mesopotamia ini menyurut, setelah dua setengah generasi akibat kerusakan sistem pengairan sawah-rawa akibat pendangkalan oleh akibat lahar dingin dari gunung Merapi dan Merbabu, sehingga Kesultanan Demak pindah ke Pajang dengan sawah berpengairan dari umbul Cokro yang debitnya yang lebih kecil sehingga sawah yang menjadi dasar ekonomi Kesultanan mengecil, tapi siap pakai.
Ceritera dari Giri – wilayah Garowisi (Gresik)
Puluan ribu Ha sawah berpengairan hasil teknologi dari Mesopotamia ini menyurut, setelah dua setengah generasi akibat kerusakan sistem pengairan sawah-rawa akibat pendangkalan oleh akibat lahar dingin dari gunung Merapi dan Merbabu, sehingga Kesultanan Demak pindah ke Pajang dengan sawah berpengairan dari umbul Cokro yang debitnya yang lebih kecil sehingga sawah yang menjadi dasar ekonomi Kesultanan mengecil, tapi siap pakai.
Ceritera dari Giri – wilayah Garowisi (Gresik)
Garowisi konon artinya menara tinjau untuk mengamati laut luas, juga mungkin untuk menara suar memandu perahu-perahu yang akan masuk ke Selat Madura dari Utara ke Bandar besar di Japan, dan Trung. Japan sekarang jadi Japanan Gempol muara sungai Porong, sedang Trung sekarang jadi Surabaya pelabuhan muara Sungai Mas di Tanjung Perak dan Ampel Denta. Menara itu didirikan di daerah perbukitan kapur yang menjorok ke laut di Gresik, konon pandangan bisa mencapai Karang Jamuang di mulut Selat Madura.
Sekitar menara tinjau ini seorang mubaligh Islam diizinkan oleh Baginda Raja untuk mendirikan ashram dan tempat tinggal. Beliau adalah Sjech Satam Atta, kemudian dikenal dengan Sunan Giri (sejarah menyebut Sunan Giri Kedaton karena ratusan tahun kemudian di Giri ada pemuka Agama Islam yang ahli mengolah besi menjadi baja, dikenal dengan Sunan Giri Prapen, ditaklukkan oleh Adipati Surabaya atas perintah Sultan Agung Hanyokrokusumo).
Sosok mubaligh Satm Atta mungkin berasal dari Libanon / Syria sebab julukan Atta banyak dipakai disana seperti Mustafa Kemal – Atta Turk, Maran Atta dll, Beliau pernah bermukim di Baghdad sehingga mengenal teknologi pengairan sungai Euphrat dan Tigris di Mesopotamia dan seluk beluknya, berarti membangun kanal-kanal di tengah rawa-rawa, untuk mengendalikan permukaan air rawa sehingga bisa ditanami, terutama padi.
Syech Satm Atta bermukim di Giri sambil mengajari anak-anak pedagang Jawa Pesisir yang Hindu berkasta rendah membaca dan menulis huruf Hijaiyah kemudian huruf Jawa yang tidak pernah dilakukan oleh Brahmana yang manapun sebelumnya, karena kasta Brahmin dilarang mengajari membaca huruf-huruf yang digunakan untuk menulis kitab Wedha kepada anak-anak rakyat jelata yang berkasta rendah terutama Kasta Wasya dan Syudra, sebab itu adalah larangan yang hukumannya berat.
Anak-anak Pedagang Jawa yang diajari membaca dan menulis terutama angka dan huruf Hijaiyah langsung maju usahanya seperti harimau tumbuh sayap, karena angka Hijaiyah sangan mudah dipakai dalam neraca lajur ber-digit enam atau tujuh yang kala itu pembukuan hanya ditulis di daun lontar yang sempit dan panjang, kala itu lambang bilangan dalam catatan Pallawa atau huruf Jawa adalah abjad huruf Jawa.
Selain ilmu Agama Islam, membaca Al Qur’an, Arithmatika, dan Aljabar, murid murid Syech Satm Atta juga diajari silat dengan mengolah tenaga dalam pernafasan yang esoteric bersenjatakan “talempak” atau tombak pendek bermata baja yang panjang dan selebar dayung perahu, senjata atau alat ini maknanya “sarap”, berguna juga untuk menggali saluran di lumpur rawa-rawa.
Lengkap sudah bagi Syech Satm Atta syarat untuk membuka persawahan di lahan rawa pasang surut di Manyar, sedikit ke utara Garowisi, ratusan Santri bersenjatakan ‘sarap’ memotong silang menyilang lahan rawa muara Bengawan Solo dan kali Manyar menggali saluran lebar dan dangkal sedalam 1-1,5 meter membuat pintu-pintu air menurut gambar yang dibuat sang Syech, terjadilah petak-petak yang bisa diisi air tawar dan bebas dari air laut yang lagi pasang.
Lahan ini merupakan lahan sawah yang belum ada sebelumnya, ratuan hectare bisa dipanen dua kali setahun, lagipula cara mengangkut hasil yang baru menggunakan perahu perahu berlunas rata lewat kanal-kanal yamg khusus dibuat untuk tujuan itu, layaknya dirawa-rawa Mesopotamia. Di samping sawah dengan cara yang sama dicetaklah petak-petak pembuatan garam. Begitulah pejuang pejuang Islam membanting tulang menciptakan kekuatan ekonomi yang baru, kekuatan fisik para santri dengan sarap atau talempaknya disertai dengan tenaga dalam, yang sangat disegani diseputar selat Madura dan akhirnya di seantero Nusantara.
Mereka inilah pasukan pembuka lahan rawa ribuan hectare di seputar Demak Bintoro sesudah jumlahnya cukup banyak.
Makanya kala itu ada mubaligh Islam yang kerjanya mengukur dasar sungai dan air saluran-saluran mendapat julukan Sunan Kalijaga, artinya bagi orang awam adalah sang Sunan Penjaga Sungai.
Tidak heran, bahwa kekuatan fisik Majapahit yang dimotori oleh sekte kaum Bhairawa, (kaum yang mengumbar hawa nafsu ma-lima, untuk mencapai kesadaran bathin yaitu matsya- makan ikan, mmasya- makan daging, ma'argya- minum minuman keras/beralkohol, maudra- tarns menari nari, maithuna- malukan orgy sex bebas, untuk meningkatkan kekuaan ilmu hitamnya) dapat dikalahkan oleh para santri dari perkampungan Garowisi, tanpa ada perang terbuka, konon beliau mempunyai “kode” andalan yang berupa kata sandi atas izin Allah Subhanahuwata’alla, untuk minta tolong malaikat seketika menangkal kekuatan sihir atau kekuatan hitam dari kaum Bhairawa yang merupakan gang preman di Majapahit kala itu.
Sayangnya dalam penglihatan saya kini kaum Bhairawa yang menjelma di batang tubuh Orde Baru lalu, yang kemudian telah memecah diri jadi banyak kini, malah mengajari anak cucu, para murid Sunan Giri Kedhaton, cikal bakal pendiri Kerajaan Demak, yang bermukin di Jombang untuk berkolusi dan korupsi, mengkhianati paman dan leluhur sendiri untuk membina ekonomi pribadinya sendiri beserta kroninya, alih-alih mencetak sawah demi bangsa dan agamanya. Betapa jauh sesat mereka dengan jalan bathil, sehingga apapun yang diperoleh mereka tidak berumur panjang, sayang.(*)
Sekitar menara tinjau ini seorang mubaligh Islam diizinkan oleh Baginda Raja untuk mendirikan ashram dan tempat tinggal. Beliau adalah Sjech Satam Atta, kemudian dikenal dengan Sunan Giri (sejarah menyebut Sunan Giri Kedaton karena ratusan tahun kemudian di Giri ada pemuka Agama Islam yang ahli mengolah besi menjadi baja, dikenal dengan Sunan Giri Prapen, ditaklukkan oleh Adipati Surabaya atas perintah Sultan Agung Hanyokrokusumo).
Sosok mubaligh Satm Atta mungkin berasal dari Libanon / Syria sebab julukan Atta banyak dipakai disana seperti Mustafa Kemal – Atta Turk, Maran Atta dll, Beliau pernah bermukim di Baghdad sehingga mengenal teknologi pengairan sungai Euphrat dan Tigris di Mesopotamia dan seluk beluknya, berarti membangun kanal-kanal di tengah rawa-rawa, untuk mengendalikan permukaan air rawa sehingga bisa ditanami, terutama padi.
Syech Satm Atta bermukim di Giri sambil mengajari anak-anak pedagang Jawa Pesisir yang Hindu berkasta rendah membaca dan menulis huruf Hijaiyah kemudian huruf Jawa yang tidak pernah dilakukan oleh Brahmana yang manapun sebelumnya, karena kasta Brahmin dilarang mengajari membaca huruf-huruf yang digunakan untuk menulis kitab Wedha kepada anak-anak rakyat jelata yang berkasta rendah terutama Kasta Wasya dan Syudra, sebab itu adalah larangan yang hukumannya berat.
Anak-anak Pedagang Jawa yang diajari membaca dan menulis terutama angka dan huruf Hijaiyah langsung maju usahanya seperti harimau tumbuh sayap, karena angka Hijaiyah sangan mudah dipakai dalam neraca lajur ber-digit enam atau tujuh yang kala itu pembukuan hanya ditulis di daun lontar yang sempit dan panjang, kala itu lambang bilangan dalam catatan Pallawa atau huruf Jawa adalah abjad huruf Jawa.
Selain ilmu Agama Islam, membaca Al Qur’an, Arithmatika, dan Aljabar, murid murid Syech Satm Atta juga diajari silat dengan mengolah tenaga dalam pernafasan yang esoteric bersenjatakan “talempak” atau tombak pendek bermata baja yang panjang dan selebar dayung perahu, senjata atau alat ini maknanya “sarap”, berguna juga untuk menggali saluran di lumpur rawa-rawa.
Lengkap sudah bagi Syech Satm Atta syarat untuk membuka persawahan di lahan rawa pasang surut di Manyar, sedikit ke utara Garowisi, ratusan Santri bersenjatakan ‘sarap’ memotong silang menyilang lahan rawa muara Bengawan Solo dan kali Manyar menggali saluran lebar dan dangkal sedalam 1-1,5 meter membuat pintu-pintu air menurut gambar yang dibuat sang Syech, terjadilah petak-petak yang bisa diisi air tawar dan bebas dari air laut yang lagi pasang.
Lahan ini merupakan lahan sawah yang belum ada sebelumnya, ratuan hectare bisa dipanen dua kali setahun, lagipula cara mengangkut hasil yang baru menggunakan perahu perahu berlunas rata lewat kanal-kanal yamg khusus dibuat untuk tujuan itu, layaknya dirawa-rawa Mesopotamia. Di samping sawah dengan cara yang sama dicetaklah petak-petak pembuatan garam. Begitulah pejuang pejuang Islam membanting tulang menciptakan kekuatan ekonomi yang baru, kekuatan fisik para santri dengan sarap atau talempaknya disertai dengan tenaga dalam, yang sangat disegani diseputar selat Madura dan akhirnya di seantero Nusantara.
Mereka inilah pasukan pembuka lahan rawa ribuan hectare di seputar Demak Bintoro sesudah jumlahnya cukup banyak.
Makanya kala itu ada mubaligh Islam yang kerjanya mengukur dasar sungai dan air saluran-saluran mendapat julukan Sunan Kalijaga, artinya bagi orang awam adalah sang Sunan Penjaga Sungai.
Tidak heran, bahwa kekuatan fisik Majapahit yang dimotori oleh sekte kaum Bhairawa, (kaum yang mengumbar hawa nafsu ma-lima, untuk mencapai kesadaran bathin yaitu matsya- makan ikan, mmasya- makan daging, ma'argya- minum minuman keras/beralkohol, maudra- tarns menari nari, maithuna- malukan orgy sex bebas, untuk meningkatkan kekuaan ilmu hitamnya) dapat dikalahkan oleh para santri dari perkampungan Garowisi, tanpa ada perang terbuka, konon beliau mempunyai “kode” andalan yang berupa kata sandi atas izin Allah Subhanahuwata’alla, untuk minta tolong malaikat seketika menangkal kekuatan sihir atau kekuatan hitam dari kaum Bhairawa yang merupakan gang preman di Majapahit kala itu.
Sayangnya dalam penglihatan saya kini kaum Bhairawa yang menjelma di batang tubuh Orde Baru lalu, yang kemudian telah memecah diri jadi banyak kini, malah mengajari anak cucu, para murid Sunan Giri Kedhaton, cikal bakal pendiri Kerajaan Demak, yang bermukin di Jombang untuk berkolusi dan korupsi, mengkhianati paman dan leluhur sendiri untuk membina ekonomi pribadinya sendiri beserta kroninya, alih-alih mencetak sawah demi bangsa dan agamanya. Betapa jauh sesat mereka dengan jalan bathil, sehingga apapun yang diperoleh mereka tidak berumur panjang, sayang.(*)
1 comments:
Pendiri Kasunanan Giri Kedathon adalah sosok Mubaligh Satmata, padahal julukan ini dalan bahasa Jawa tidak ada artinya, ada juga mubaligh hang julukannya Syech Asmorokandhi yang pasnya adalah Syech As Samarkandi baru ada artinya bila tulisan dan pembacaan benar. Begitu juga Satam Atta - bukan Satmata. Satam bahasa aramaic-Arab diartikan adalah simpul ( google) atta sebutan untuk tokoh Bapa - Pendiri Republit Turki djuluki Atta Turk - Bapaknya Turki Bari
Posting Komentar