Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Minggu, 13 Mei 2012

Kisah Masyarakat Kerajaan Hindu Kuno dalam Membangun Kekuatan Ekonomi di Pulau Jawa


Catatan yang terekam dalam sejarah berdasarkan situs-situs peninggalan kerajaan-kerajaan Hindu di Pulau Jawa yang berupa candi-candi dari batu vulkanik dan prasasti-prasasti tertulis pada batu dan lempeng-lempeng logam, kurang rinci dalam menjelaskan bagaimana cara Pemerintahan kerajaan yang cukup kompleks itu dibiayai, dan bagaimana pajak ditarik dari warga negaranya, dan bagaimana aktivitas keseharian mereka.
 Pada situs-situs peninggalan Kerajaan Hindu Kuno tidak banyak yang tersisa sebagai petunjuk. Kita harus banyak meneliti dari literatur kitab-kitab kuno, juga banyak membaca jurnal dari ilmuwan Belanda masa lampau yang menulis tentang kerajaan Hindu di Jawa, kemudian menarik kesimpulan dari peninggalan adat istiadat yang tersisa.
Masyarakat Hindu atau Budha telah sangat berhasil membangun monumen yang berupa candi-candi raksasa yang setelah lama direkonstruksi dengan susah payah nampak kemegahannya seperti candi Borobudur, candi Prambanan dsb, yang tentu saja dalam pembangunannya di masa lampau membutuhkan biaya yang sangat besar, di samping pengerahan tenaga yang membutuhkan orang sangat banyak, dan makan waktu bertahun-tahun. Bila dibandingkan hasil karya zaman itu dengan teknologi yang ada pada zamannya, adalah keberhasilan yang sungguh-sungguh luar biasa.

Pada zaman itu kunci kesuksesan kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa dalam membangun ekonominya adalah kestabilan produksi beras.
Lho kok, bagaimana hubungannya ?
Pada zaman itu cara bertanam padi di sawah pengairan mecapai kesempurnaannya, baik dari hasil keseluruhan setiap tahun pada musim kemarau maupun musim penghujan, atau hasil setiap hektar sawah yang ada, meskipun pupuk buatan pabrik dan pestisida maupun jenis padi baru yang berumur pendek belum diketemukan. Telah tercatat dalam jangka yang panjang kapan harus menanam benih, kapan harus memindah benih ke sawah, kapan harus menyiangi padi di sawah dan menambah atau mengurangi permukaan air sawah, semua dalam “pranata mangsa”,  peredaran rasi bintang  “waluku” dan rasi bintang “wuluh” untuk menandai datangnya hama-hama padi  yang hanya menyerang pada umur tanaman tertentu, sehingga dengan memajukan atau mengundurkan masa tanam (transplanting) hama ini bisa dihindarkan. 
Pada musim kemarau tidak semua lahan bisa mendapat jatah air pengairan cukup untuk padi, lahan-lahan tersebut dianjurkan ditanam palawija.  Satu organisasi yang sekarangpun masih ada di Bali, yaitu organisasi pengairan “subak” semua itu diputuskan secara adil dari dan oleh petani.
Terbukti semua situs pusat kerajaan Hindu di Pulau Jawa, mulai Panjalu, Kerajaan Siliwangi, Kerajaan Mataram Hindu di Pikatan–Magelang Temanggung, Singhasari, Majapahit, semua mendekati sawah-sawah bertingkat di lereng-lereng gunung sekitar ketinggian itu, karena di samping lokasi itu bebas dari nyamuk dan penyakit malaria, bukan seperti di pinggir pantai.
Semua petani yang menjadi anggota subak wajib menurut segala apa yang ditentukan oleh subaknya. Jadi umumnya masyarakat tani dalam kerajaan kerajaan Hindu di Jawa telah terbiasa dengan aturan untuk kepentingan bersama, yang harus diturut. Para Brahmana menjadi nara sumber yang mencatat dengan teliti semua kejadian yang berhubungan dengan bercocok tanam selama ratusan tahun.
Akar dari keberhasilan Kerajaan Hindu ini telah dimulai dengan migrasi bangsa-bangsa dari India dengan membawa teknologi menanam padi dengan mencetak sawah berpengairan, jauh sebelumnya kerajaan-kerajaan Hindu didirikan, nyaris penghujung zaman perunggu, memasuki zaman besi. Itu adalah revolusi  cara menanan padi yang pertama. Yang sebelumnya penduduk setempat atau pendatang yang terdahulu menanam padi di huma, yang relatif lebih subur karena pembersihan lahan dengan dibabat dan dibakar sehingga menjadi zat hara mineral tanaman ladang atau huma tersebut, pada saat musim hujan tiba, lahan bersih yang sudah ditugal dengan benih padi, pada tumbuh bersama sama dengan biji rerumputan yang lolos dari panas pembakaran, sangat sulit untuk dibedakan dengan bibit  padi, dan sulit untuk dibersihkan atau di “watun” (bahasa Jawa) atau disiangi, akibatnya bibit padi menjadi tersaing dalam mencari sinar matahari dan hara tanah, dan menjadi  kurus, kadang ikut tercerabut bersama gulma/rerumputan liar yang masih sangat kecil.
  Keadaan tanaman padi huma lain sama sekali dengan padi sawah yang ditanam dari bibit berumur 20-30 hari di hamparan lumpur yang berair ‘macak-macak’ bersih dari rumput rumpai gulma, hampir selama satu bulan. Sedangkan tanaman padi yang ditanam dari bibit yang sudah berumur 20 -30 hari akan pulih aktivitas
tumbuhnya kira kira 5 hari sesudah dipindahkan ke sawah dengan ditanam berbaris-baris dengan jarak yang sudah ditetapkan (15 – 20 cm) sehingga tidak ada kompetisi satu sama lain. Di petak sawah brpengairan, padi selalu bisa ditanam 2 kali dalam setahun dibandingkan dengan penanaman padi di huma yang hanya sekali setahun, apa ini bukan revolusi besar-besaran ?
  Sawah semacam ini hanya bisa dicetak di lereng-lereng pegunungan dengan ketinggian 300 – 750 meter di atas muka laut, dimana ada anak sungai yang masih kecil, walaupun airnya cukup deras antara 20 – 50 liter per detik, mengalir sepanjang tahun berkat sumber dan mata air di hutan hutan biasanya di bawah pepohonan raksasa, membentuk danau kecil.
Air yang melimpah dari sumber-sumber kecil ini biasanya mengalir langsung ke jurang yang tergerus  aliran air sebagai akibat dari jalan air yang mencari tempat yang terendah. Orang kemudian mulai membendung aliran air yang masih kecil ini dengan gelondong kayu diperkuat dengan bebatuan yang bisa dikerjakan orang dengan batang kayu saat itu. Dengan cangkul dan linggis dibuat saluran sepanjang punggung kaki gunung yang lebih landai untuk mempertahankan ketinggian kanal kecil ini, sambil mencari tempat yang agak landai, dengan kekuatan air ini juga orang mulai meratakan tanah miring yang terlewati oleh kanal kecil ini untuk meratakan tanah dengan membuat pematang-pematang sambil menimbun bagian tanah yang rendah, maka jadilah satu petak atau lapik sawah yang rata dan bisa menahan air, selanjutnya pada aliran air dibawanya dibuat petak atau lapik sawah yang sama, meratakan petak petak ini menggunakan hewan seperti sapi dan kerbau untuk menarik bubur lumpur ke tempat yang rendah yang sudah dipasang pematang, maka dengan teknologi se-sederhana ini tercetaklah sawah sawah dibawah aliran saluran air dari sebuah mata air dikaki sebuah gunung, pada ketinggiian 500 -750 m, yang di atasnya sampai ribuan meter diatas muka laut adalah hutan rimba sebagai areal ‘water catchment’ area atau daerah penangkapan air hujan.
Sayangnya Orde Baru dengan para teknokratnya yang para ekonomist dan terkenal dengan julukan ‘Berkeley Mafia’, luput menghayati teknologi nenek moyang kita untuk mencetak sawah dengan teknologi sederhana dan terjangkau namun sangat  ‘cost effective’,  dan lebih memilih intensifiksi dengan pupuk buatan pabrik, pestisida dan bibit padi baru yang lebih unggul dari IRRI, yang diterapkan secara Nasional selama puluhan tahun, selama ada beaya Pemerintah untuk subsidi belanja pupuk dan pestisida, yang tahan hingga 25 tahun saja.
Dengan teknologi moderen memang mencetak sawah di dataran rendah atau mengeringkan lahan gambut, perlu biaya yang sangat mahal, untuk membangun kanal besar-besar yang panjang, pintu-pintu air dengan konstruksi khusus, jalan-jalan dan jembatan untuk mengangkut hasil dan menghubungkan hunian petani dengan sentra sentra ekonomi.
Walhasil, tidak sehektarpun dicetak sawah baru selama Orde Baru ini berkuasa 32 tahun. Selain itu 'think tank' Orba yang disebut oleh media massa sebagai ‘Mafia Berkeley’ ini memberikan hak guna usaha kepada siapa saja investor untuk membangun perkebunan inti kelapa sawit dengan titik berat pabrik-pabrik pengolahan, sedangkan prosentase lahan yang terbesar diserahkan kepada petani transmigran dengan tanaman kelapa sawit plasma.
Keberpihakkan Orba ini jatuh kepada pemodal dari mana saja, yang menguasai pabrik-pabrik pengolahan, dengan memberlakukan “laizes fare” yang menjadi  jurus andalan mereka, lupa bahwa petani kelapa sawit plasma mengandalkan  hanya hasil kebun kelapa sawitnya yang entah karena apa diberikan terkadang
hanya ½ Ha saja. mereka masih membutuhkan beras untuk ganjal perutnya setiap  hari, sedang harga minyak sawit mengikuti fluktuasi harga Dunia, tandan kelapa  sawit tidak mungkin mengganti singkong ataupun beras.
 Jadi sekarang seharusnya sudah disadari bahwa ‘water catchmet area’ adalah ibarat Bhatara Wisnu dan Dewi Sri dari sawah berpengairan sederhana ini, yang mampu mendukung ekonomi kerajaan kerajaan Hindu di Pulau Jawa, yang prestasinya dalam mengerahkan kekuatan ekonomi pada era mereka berwujud candi-candi yang indah dan besar bisa  membuat kita bangga.
 Zaman demi zaman berlalu sampai ke Zaman Penjajahan Hindia Belanda, untuk kebutuhannya memperkaya negerinya tuan tuan penjajah menanam kopi di pinggang gunung yang sejuk di “water catchment area”,  orang Belanda jaman itu telah mengerti, bahwa teknik ini bisa membuat air hujan di kawasan itu mengalir di permukaan tanah tanpa menyerap ke dalam tanah. Maka dari itu diadakan peraturan yang ketat. tidak boleh ada tanaman singkong ataupun jagung di areal kebun kopi teh maupun karet agar tidak mengurangi fungsi ‘water catchment area’, dan tanah harus dilindungi dengan tanaman penutup tanah sebangsa kacang-kacangan, untuk mencegah 'run off' air hujan yang mengalir di permukaan tanah yang merusak tanah ‘water catchment area’.
Sesudah zaman Penjajahan Jepang dan  sampai pada zaman sekarang ini, aturan itu dilanggar semua, bahkan hutan tutupan pun ditebangi untuk kayu bangunan, pekerjaan merusak ini diperhebat dengan adanya ‘chain saw’ yang digunakan dimana-mana. 
Jaman penjajahn Belanda  para ahli pertanian Belanda telah menentukan lereng yang paling subur artinya lapisan tanah olah (solum) yang tebal untuk perkebunan kopi teh dan karet, selain itu tanah-tanah yang dipergunakan untuk penangkapan air hujan dihutankan tanpa dirusak, kecuali desa-desa ada yang mendiami dataran tinggi seperti desa-desa di dataran tinggi Dieng dan lereng tinggi gunung Bromo dan Tanggkuban Prahu yang menanam sayur-sayuran kesukaan orang daerah Sub tropic, dan memelihara sapi perah jenis Fries Holland yang perahan susunya untuk obat kangen para tuan-tuan Belanda, selain itu peruntukan tanah di atas 750 meter di atas muka laut sangat diawasi oleh pemerintah Hindia Belanda.
Hal ini lain dengan zaman Orde Baru berkuasa hingga sekarang, para penguasa dan semua orang kaya, birokrat tinggi dan para jendral malah berlomba menjarah ‘water catchment area’ menjadi  villa, kebun bunga,  rumah bungalow dan rumah untuk peristirahatan, sangat menyedihkan akibatnya, karena ibu Kota Republik ini mudah banjir akibat perilaku anti social ini. Kalau kita search di google dengan kata  kunci “villa liar di atas tanah negara”, maka akan ditemukan berita yang sangat banyak. Saya menemukan pada situs Tempo online tanggal 21 Mei 2007 yang memuat tentang villa-villa liar.  Dan untuk mengkutipnya tidak perlu takut melanggar undang-undang ITE yang mengandung banyak pasal karet yang menjerat.
Kita bisa menunjuk hidung perilaku anti social orang-orang yang tidak mengindahkan banjir di Ibukota Rpublik ini,  bayangkan bila anda diserahi tanah-tanah Negara yang menjadi ‘water catchment area’, wilayah Jakarta raya, yang telah gundul dari pepohonan dan ter-erosi secara tidak terkendali, oleh run off air hujan, apa anda bisa menanam pepohonan di sana ? Yang kata kuncinya sayangnya adalah “Penghijauan?”
Di wilayah itu sekarang ada satu dua bulan musim kemarau yang tidak hujan sama sekali (mungkin karena perubahan iklin dunia “global warming” ?). Bila ada satu dua bulan tanpa hujan, sedangkan anda menanam pohon (sudah terlanjur di shoot TV) baru musim penghujan yang lalu, boleh saya tanya seberapa akar tanaman anda mampu menjulurkan jaringannya untuk mengumpulkan air kebutuhannya yang sudah menguap atau tersedot melorot ke bawah bermukaan tanah oleh gravitasi bumi, tak terjangkau oleh perakaran yang baru empat bulan umurnya ?
Dua bulan tanpa hujan ini akan mengakibatkan bibit pohon yang kita tanam menjadi mati.
Saya harap kita semua bisa mengatasi persoalan ini, atau setidaknya telah siap menghadap situasi ini, karena ternyata di blog saya, tulisan mengenai “Penghijauan” paling jarang dibaca oleh pengunjung, sejak saya sajikan empat bulan yang lalu, pengunjungnya hanya enam, padahal jumlah klik blog ini sudah lebih dari sembilan ribu, oh kasian ide saya yang satu ini (senyum).
Ya memang di situ tercatat hanya ilmunya orang desa, menggunakan rumpun pisang saba, pisang kapok, pisang plantain sebagai pompa, di NTT konon air yang menetes dari umbi pisang saba selama semalam dapat ditampung untuk minum pada musim kemarau yang keras.(*)

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More