Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Sabtu, 19 Mei 2012

MASSA YANG MUDAH DAN PENURUT, KELEMAHAN YANG DIGUNAKAN OLEH KEKUATAN YANG KEBLINGER


Hampir semua keluarga inti memfokuskan tekadnya untuk tunduk pada peraturan pendidikan si ‘tunas muda’. Bahkan pada suatu yang sangat essential yaitu persoalan kebenaran ilmiah, apalagi penundukan pada atan aturan dangkal yang sesaat, yang jumlahnya banyak sekali antara lain malah juga peraturan Masa Orientasi Pelajar (MOP), yang kadang menyedot beaya yang tidak sedikit dan menjengkelkan bagi anggauta lain dari keluarga yang harus mengalah.
Yang dimaksudkan dengan keluarga inti ini adalah Ibu, Ayah dan Kekek/Nenek. 
Sedangkan yang dimaksud dengan tunas muda adalah anak dan cucu dalam keluarga inti tersebut. Tentu saja pusat pusaran persoalan mereka adalah seputar “Dunia Sekolahan mereka, dari TK sampai SMU/SMK”, yang semua itu mesti saja dengan beaya, yang keluarga inti harus mengalah dan toleran.

Aku perhatikan hampir pada semua keluarga inti, anggauta keluarga yang lain selalu rela mengalah kepada kepentingan tunas-tunas mereka yang muda, sebisa mungkin.
Mendadak saja sesudah di perguruan tinggi, tunas-tunas ini jadi anggauta keluarga biasa yang bukan mendapat prioritas lagi. Dianggap sudah dewasa, tidak ada paksaan-paksaan yang 'tidak canggih' lagi, tapi yang lebih 'canggih' banyak, antara lain; uang bangku, uang gedung dan uang-uang yang lain. Yang 'canggih' tapi tidak accauntable, jadi teladan baru untuk korupsi dikemudian hari yang sudah dekat.

Inilah peluang yang empuk bagi percetakan, penerbitan buku pelajaran dan agennya, juga bagi amusement centres, taman-taman hiburan yang ROI nya 20 % setiap tahunnya tidak masuk, dan harus dipaksakan masuk, yang dirayu adalah  oknum PDK, oknum Kepsek dan oknum-oknum Guru, yang berjubel cari keuntungan cepat.
Makanya buku wajib setiap tahun ajaran ganti, membayar transport dan karcis buat kolam renang wajib di kala sekolah libur, seolah-olah belajar berenang itu bisa seketika, pergi ke amusement park ya wajib untuk refreshment di  Park dan Kebun Binatang yang karcisnya berharga selangit, milik pemodal dan pengunjung wajib jajan disana, tidak boleh bawa penganan masuk ke dalam taman hiburan itu, sedangkan ruang wisata yang milik masyarakat malah terbengkalai tanpa pengunjung.

Museum dan Lembaga Penelitian Botani dan Zoology tidak pernah banyak promosi. Karena tidak berorientasi kepada keuntungan sesaat.   Lho kena apa ?
Inilah hasil kerja dari sales men dan sales girls  yang hasil outsourcing atau kontrakan tempat wisata, mereka sebar ke jajaran PDK, sekolah, atau fihak mana saja yang tanpa curiga dengan rayuan mereka yang sangat manis, bahkan terlalu manis untuk jadi kenyataan, kecuali discount yang tinggi.
Toh nanti yang menderita Ortu dan pengantar dan murid-murid yang masih kecil tidak mengenal kewajiban services dari penjual jasa, yang pokoknya mencari untung. Tidak ada yang mengendalikan mereka, si Pemodal yang cukup brengsek ini.

Saya beri pengantar kisah di atas karena pengalaman saya sebagai kakek, dan wali murid, saat saya pernah ikut mengantar cucu saya ke kolam renang, yang dibilang sesekali diajar renang sebelum libur, ternyata sesudah membayar transport umum, kami berkumpul dari ratusan sekolah dasar di kota sekaligus, murid-murid berjubel di mana-mana, tentu saja karcis masuk terjual habis seketika, tapi orang tua murid harus mengantri, plus dibentak dan dihardik oleh sang penjaga seolah-olah kami ini gratis berenang di kolam mereka.
Makanya saya nyengir sendiri, jadinya kami ini plus anak-anak sekolah adalah kumpulan ikan teri yang terjaring dalam rayuan sales men/girls dan management tempat wisata yang tidak siap. Kami tidak sampai hati untuk protes pada management kolam renang dan tempat wisata lainnya yang amburadul, kasian para guru yang mengantarnya.  

Pengalaman Mengantar Cucu Wisata

Pengalaman saya selaku wali murid yang mengantar anak kecil usia TK untuk liburan bersama sekolahnya kembali terjadi lagi pada  16 Mei 2012  lalu, saat saya mengantar si Reno cucu saya yang masih TK nol kecil untuk pergi wisata bersama rombongan teman-teman TK-nya dan Guru-guru semua ke sebuah amusement park alias taman wisata yang tergolong baru di Batu, Jatim. Taman wisata ini letaknya tinggi di Gunung dengan lahan parkir yang luas. Saat berangkat dari Surabaya saya sempat berpikir kalau hari itu tanggalan tidak merah, tapi saat tiba di lokasi yang berarti adalah luar kota Surabaya,di lereng Gunung di Batu-Jatim itu pengunjung taman wisata ini ternyata datang dari sekolah-sekolah yang sangat banyak.
Ternyata hari itu adalah long week end. Tak heran pengunjung taman wisata di Batu, Jatim ini luar biasa membludak. Saya lihat banyak sekali pengunjung anak-anak kecil, selain murid-murid rombongan TK dari Surabaya di mana cucu saya bersekolah ikut mengantri, plus ikutlah pula saya yang mengantarnya harus ikut pula bersabar mengantri bersama Ortu-ortu yang lain.

Sejam berlangsung dalam antrian saya berusaha bersabar sambil mengawasi cucu saya yang bergembira bersama kawan-kawannya. Tapi lama kemudian sebagai kakek saya mulai resah, dan di saat resah saya tidak gelisah, tapi berpikir.
Itulah kebiasaan saya saat ada hal yang meresahkan saya tidak panik atau gelisah, tapi saya berpikir untuk mengurai sebuah 'critical event'. Hal ini pernah saya lakukan saat jaman saya pulang kuliah dari Universitas Patricia Lumumba/University Druzhba Norodov (UDN) di Moskow Russia, saat itu tahun 1966, situasi Indonesia sangat chaos. Di penjuru negeri terjadi pembantaian besar-besaran para korban yang dianggap komunis. Karena situasi kritis, saya memilih untuk sejenak berdiam di sebuah perkebunan kopi yang terpencil. Apalagi saya ketahui karena semua lulusan Russia diburu oleh Orde baru untuk mengisi penjara dan pulau Buru. Jelas saya tidak mendaftar untuk ke sana. Mending menyingkir dari dunia ramai, mirip cerita silat, di mana sang pendekar terkadang harus menyepi saat dinasti tak bersahabat lagi.

Sebagai etalase tahanan politik, pulau Buru ini jaman dulu harus diisi sesuai kuota, agar pihak sisi geopolitik global yakni kapitalis lawannya blok sosialis senang dan memuji Orba yang trampil membabat blok lawannya.  Dan ternyata kini kapitalis atau sosialis sudah tak ada masalah lagi, sudah bukan issue penting Dunia. Geopolitik sudah berubah, yang dikejar bukan lagi blok sosialis, tapi ada lagi kaum yang dikejar di seluruh pelosok Dunia untuk dimusnahkan.

  Dan memang dulu itu sebanyak 95 % kawan saya alumni UDN masuk pulau Buru begitu saja tanpa banyak proses, dan 4 % sisanya masuk penjara, sedang saya termasuk 1% yang beruntung dapat lolos dari operasi pengejaran dan pengepungan yang dilakukan Orba untuk mengejar semua sarjana dan magister lulusan dari Russia.
Ini karena saya berhasil mengalahkan ego saya untuk tidak bekerja di kota besar, dan sebaliknya menyepi dan menanggalkan atribut saya sebagai magister lulusan luar negeri untuk bekerja biasa saja di perkebunan kopi di lokasi nun amat terpencil di tengah hutan-hutan belantara di Banyuwangi.
Bisa dibayangkan, saya yang belajar pertanian sampai tingkat magister di Russia, seketika ilmu saya di bidang pertanian saya terapkan untuk survive dari pembantaian massal 1966. Situasi saat itu saudara, begitu mencekam, terekam dalam sejaranh RI, sebanyak 2 hingga 3 juta jiwa hilang akibat operasi pembantaian massal sebuah rezim otoriter.

Oke, cukup dulu nostalgianya, kembali pada kisah saya sekarang saat ini saya berusia 74 tahun, yang sedang mengantar cucu saya,  saat itu saya melihat dalam antrian masuk taman wisata di Batu itu, terletak kandang binatang melata yang berbisa banyak ditaruh di terrarium, yang kacanya tebal, tapi sebagai mantan mahasiswa kedokteran hewan UGM -meski tidak tamat-, saya melihat hewan-hewan reptil itu juga gelisah melihat banyaknya manusia yang berdiri mengantri di dekat terrarium. Juga saya melihat pada terrarium itu pada sambungannya pojok-pojok terrarium itu bisa beresiko pecah, kami tidak tahu, bisa dibayangkan bila ada yang pecah dan binatang melata yang berbisa itu bisa keluar, sedang pengunjung berjubel begitu banyak secara tidak sehat.

Saya membatin, bagaimana murid-murid TK yang rata rata 5-6 tahun usianya digiring ke sana dengan pengantarnya sebegitu bareng-bareng datangnya, sementara tanggalan tidak merah? Bila tidak di iming-iming discount untuk organisator tour-nya?
Belum lagi bila bus yang disewa kalau remnya blong bagaimana ?. Aduh, maklum ini adalah pemikiran saya selaku kakek dari cucu laki-laki saya yang masih TK yang ‘digiring’ masuk ke taman wisata di Batu, Jatim itu, sekali lagi kok ya TK-TK dari Surabaya ini sampai ngebelain wisata di lereng Gunung di Batu ini bagaimana ceritanya ? Sebagai orang tua tentu kebanyakan pasrah nurutin anak.

Saya berpikir di situasi wisata murid TK ini ada sesuatu yang crucial yang diabaikan, yakni : hak perlakuan,  baik hak perlakukan bagi pembeli, dan pembayar pajak yang diabaikan. Ini  terjadi atas ketidak pedulian si penerima keuntungan maupun penerima pajak kepada pelanggan atau umum. Ini bisa selalu berulang terjadi di setiap pelayanan umum yang dilakukan oleh pemerintah atau pemodal swasta yang mana saja.

Prinsip keadilan harus bisa ditekankan oleh pengawasan pemerintah terhadap usaha apapun yang menyangkut pelayanan publik, dengan dinas-dinas yang banyak sekali, mereka yang kerja disana bukan digaji dangan uang rakyat hanya untuk berpakaian seragam dan bermain catur saja. Mulai dari Petugas Dinas PDK Pariwisata, Dispenda, Satpol PP harus peka terhadap pelanggaran atas hak Pembeli dan Pembayar Pajak, terutama diwaktu liburan sekolah.

Ketahuilah bahwa perlakuan yang se-enak perutnya sendiri terhadap anak-anak akan membuahkan generasi muda yang suka mengandalkan kekerasan, berupa misalnya tawuran. Dan melahirkan pandangan bahwa yang kuat adalah yang benar, itukah yang sedang kita tetaskan ? (*)

  



0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More