Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Selasa, 24 September 2013

EKONOMI, PENYEBAB UTAMA SILIH BERGANTINYA SUSUNAN MASYARAKAT DI NUSANTARA


Bangunan masyarakat dengan berjalannya waktu bertumbuh dan berkembang terus, semakin melibatkan banyak anggautanya, semakin dalam terpisah pisah berdasarkan kegiatan hidup, sehingga bangunan lama terasa semakin sesak, tidak bisa memberikan ruang gerak sebagian anggauta masyarakat tersebut, akhirnya bangunan masyarakat itu merubah diri. 
Hal semacam ini juga silih berganti terjadi di masyarakat Nusantara. Di untaian pulau-pulau tropis yang kesuburan tanahnya selalu diperbaharui oleh kegiatan gunung gunung api yang ratusan jumlahnya, adalah logis bila orang asli maupun pendatang awal mulanya adalah petani. 
Upaya pertanian yang paling awal adalah “slash and burn” /perladangan huma.
Semua orang menghadapi keadaan yang sama, tantangan yang sama, untuk mendapatkan hasil bercocok tanam harus mengatasi hama, penyakit dan gulma /rumput rumpai liar. Petani perpindah pindah ini menebangi semak dan hutan tropis untuk lahan pertanian mereka setiap musim kemarau, kemudiam membakarnya, ditugal dengan biji-bijian bila musim hujan tiba. Kesulitan pertama adalah tumbuhnya gulma, berbarengan dengan biji-bijian yang mereka tanam dan sulit sekali membedakan antara gulma dan biji-bijian yang sengaja ditanam, mereka harus menyiangi lahannya sedini mungkin agar dapat memberi kesempatan pertama bagi tanamannya. 
Sesudah itu menghadapi fluktuasi hujan yang bisa terlalu banyak diwaktu tanaman masih kecil atau hujan berhenti lama seingga mengganggu pertumbuhan tanamannya, Sesudah semua ini delewati datanglah hama dan penyakit tanaman. 
Pada akhirnya panen sering hanya nyaris cukup untuk bekal hidup puak itu sebelum sampai musim penen tahun yang akan datang. Sedang anggauta puak makin bertambah. Dari masyarakat tani yang berpindah- pindah harus mendapatkan jalan untuk memenuhi kebutuhan mereka.  
Pendatang baru dengan cara baru untuk menanam padi, dengan mempersiapkan pembenihan terlebih dahulu, lantas membuat areal tanam yang bersih dari gulma selama bibit dipindahkan ke lahan yang namanya sawah berpengairan, adalah satu tawaran yang sangat menarik. 
Satu revolusi pertanian yang mwenjanjikan cukup biji-bijian sepanjang tahun.  Revolusi ini tidak perlu ada paksaan atau peperangan, sistim bercocok tanam yang lama sudah tidak bisa mengakomodasi kebutuhan biji bijian sepanjang tahun. 
Jalan paling mudah untuk mencetak sawah adalah di lereng gunung yang agak landai, air sungai kecil dibendung diangkat dari jurang ke punggung jurang, dialirkan ke bawah sepanjang punggung tersebut sambil dipakai untuk meratakan lapik lapik sawah, terjadilah sawah bertingkat-tingkat dengan teknologi sederhana itu.  
Timbul bangunan masyarakat baru di sekitar sawah, sebagai ganti kecukupan ini, petani huma yang berpindah-pindah tidak perlu perpindah-pindah lagi, cukup biji-bijian sepanjang tahun karena dapat panen dua kali dan mudah membedakan gulma dengan bibit padi. 
Untuk itu mereka dijadikan kasta Waysia dan kasta Sudra, sebaliknya pendatang yang mengorganisasi sisitim pengairan ini menjadi kasta Ksatria dan kasta Brahmana, ya OK saja, wong perutnya kenyang dan rutinitas sehari hari tidak banyak terganggu oleh dua kasta di atasnya. 
Masyarakat berkembang jumlah maupun aneka ragam kerjanya untuk mendapat nafkah, terutama pertukangan dan kerajinan. Yang sangat membatasi kegiatan perdagangan adalah tidak adanya catatan, sebab Hinduisme melarang kaum Waysia dan Sudra untuk belajar membaca huruf Palawa agar tidaka dapat membaca kitab Wedda.
 Konon dua kasta yang di bawah dapat dihukum berat seperti telinganya di tuang timah cair bila melanggar. Sebaliknya beban lain dari para Petani sawah yang diberikan oleh dua kasta diatas tidak bisa terlalu berat di wilayah Nusantara ini, sebab bila dibebani kerja wajib dan pajak yang terlalu berat mereka bakal berbondong-bondong minggat mencari lereng gunung lain, anak sungai lain yang ada di pelosok pulau ini untuk menghindari penindasan kasta atasnya, toh masih banyak tempat seperti itu di Nusantara yang luas ini. Bersamaan dengan berdirinya kerajaan dagang Seperti Majapahit, ada pendatang baru membawa kebudayaan baru yaitu bebas memberi pelajaran membaca dan menulis ( huruf Arab, kemdian huruf Palawa dan huruf Jawa) juga mempunyai cara untuk mencetak sawah di rawa-rawa, dengan membangun saluran- saluran menurut ketinggian yang hanya berselisih sedikit di hamparan rawa, yang luas dan nampak rata, beda tinggi permukaan tanah/air hanya bisa diamati dengan teropong pengukur ketinggian/nivelier sebangsa theodolite, yang mengkin telah ditemukan oleh orang Parsi dalam bentuk sederhana sedngaja dibawa oleh penyiar agama Islam dari Yunan. Orang Parsi telah menggarap tanah rawa antara sungai Euphrat dan Tigris dan telah melandasi kebudayaan Babylonia yang sangat menonjol di jamannya. Penyiar agama Islam ini di pulau Jawa bermukim di Kawasan Garowisi/Gresik yang merupakan perbukitan kapur yang gersang, dan pelabuhan pelabuhan atau kampong nelayan di pantai utara Pulau Jawa. Sekarang nampak kok tidak masuk akal karena gersangnya. Bila dilihat dengan teliti permukiman kaum penyiar agama Islam di tempat ini sangat logis, karena tidak menyaingi bangunan masyaraka terdahulu  ( dilereng gunung api yang subur dengan sawah berundag), dapat menolong diri sendiri dengan memanfaatkan rawa untuk persawahan dengan kemudahan angkutan hasil lewat kanal kanal dan tambak ikan, dengan teknologi yang mereka cangkok dari orang Babylonia. Maka terjadilah apa yang mesti terjadi, kesempitan bangunan masyarakat Hindu Jawa secara lambat tapi pasti dikalangan kaum waysia pedagang dan dikalangan kaum tani sudra yang menanam padi untuk komoditas perdagangan beralih secara logis ke cara orang Islam di Pesisir yang lebih maju dan egalitarian. Penyiar agama Islam di Gresik mencetak sawah tambak di rawa rawa muara bengawan Solo, mengajari pedagang pribhumi membaca dan menulis membuat neraca lajur dan surat perjanjian dagang di sekitar kota pelabuhan yang berlipat lipat memperbaiki kinerja mereka ini. Kebetulan pada masa akhir Majapahit, dari China ada permintaan beras yang sangat banyak, karena paceklik besar besaran didaratan China gara gara kehidupan petani disana morat marit karena dilanda perang antar Negara yang berkepanjangan. Sedangkan di kawasan Asia tenggara yang mampu menyediakan kelebihan beras dengan mudah sampai di pelabuhan adalah delta Brantas dan delta Bengawan Solo.     Lagipula transportasi untuk beban berat seperti beras di wilayah Majapahit yang sudah dibina secara Hinduisme ada di Majalegi (Pare ) dan Jombang yang tidak dihubungkan dengan jalan dan jembatan yang memadai, karena membangun jalan dan jembatan di wilayah tropis basah seperti di pulau Jawa pemeliharaannya sangat sulit.
              Di antara lereng timur laut  gunung Merapi- Merbabu, disambung dengan lereng utara pegunungan Kendeng ada wilayah rawa yang sangat luas kira kira 20 000 hektar, karena lereng ini tidak dapat meneruskan air hujan kelaut gara gara ada gunung Muria di pantai utara kawasan Demak – Kudus, dan rawa rawa ini dibuka secara besar besaran oleh kaum Muslimin yang sudah cukup banyak dan tangguh. Pertama kali sungai sungai yang tertahan oleh lereng selatan gunung Muria diukur, ketinggiannya, kemiringannya, kemudian direncanakan pembuatan saluran saluran menuju kr Sungai Welahan yang menuju ke Jepara. Pengukuran permukaan tanah seluas dan seliar ini dikerjakan oleh salah satu Penyiar agama Islam, dibuat peta contour tanah secara teliti kemdian untuk merencanakan pembuatan saluran saluran ke sungai Welahan disertai dengan pintu pintu air dari gelondong kayu jati yang terkenal tahan air, untuk menjamin pengendalian permukaan rawa agar sesuai dengan kebutuhan tanaman padi sawah. Kecuali itu juga dibangun pintu pintu ganda untuk lalu lintas perahu pengangangkutan.
Sekarang pertanyaanya apakah areal sawah seluas 20 000 Ha dengan  perahu berlunas dan berlambung datar yang dengan mudah mengangkut 2-3 ribu kati gabah ini lewat kanal kanal karena draft nya kecil saja. paling sehasta, ditambah dengan potensi panen dua kali setahun tidak bisa mendukung suatu kerajaan yang siap bersaing dengan kerajaan manapun di Pulau Jawa ?. Apakat sosok yang ikut aktip merencanakan peta topografi rawa dan sungai sungai  diantaranya itu,  oleh rakyat banyak tidak dijuluki dengan sang Kalijaga, bila kebetulan dia tokoh penyiar agama Islam ya ditambahi dengan title  Sunan, jadi Sunan Kalijaga. Apakan kerajaan yang dibangun diantara persawahan rawa luas dan mengambil keuntungan dari wilayah itu, bukan kerajaan Islam Demak Bintoro, yang memanfaatkan pengalaman masyarakat Islam mencetak sawah rawa di muara delta Bengawan Solo dan Sungai Brantas, hanya yang ini disekitar Demak luas sekali ? 
Kerajaan Islam terbesar di Pulau Jawa ini runtuh akibat adanya pendangkalan saluran saluran irrigasi dan saluran pematus akibat lahar dingin/ hujan abu vulkanik yang massive dari gunung Merapi –Merbabu. Sehingga a pusat kerajaan harus dipindah ke wilayah yang lebih menjamin pengairan sawah.
Apakah pembagunan rawa rawa menjadi sawah ini tidak dikerjakan dengan ketegaran dan kekuatan fisik yang luar biasa, kaum yang dilatih khusus bekerja dengan tenaga dalam layaknya pesilat aliran Mo Kaw yang cenderung ke Islam  Fatimiyah  yan juga berpusat di Yunan, terpengaruh oleh kebudayaan Parsi. Untuk menghadapi bencana pendangkalan sistim saluran dan pematusan ini perlu pekerjaan yang menyeluruh seperti membangun kembali sisytim ini dari  permulaan.  Padahal lahan sekian luas itu sudah terlanjur terbagi terpetak petak menurut pola kepemilikan dari warisan hingga cucu, hasil jual beli lahan, hadiah dari Penguasa, yang semua ini berdasarkan pemilikan yang individualistis. Sedangkan pengerukan dan penataan kembali seluruh sistim pengairan rawa ini harus dkerjakan oleh mesyarakan secara bersama sama sekaligus. Masyarakat Islam kala itu ( sampai sekarang) masih sulit meggabungkan kepentingan pribadi pemilik lahan sawah rawa dengan kepemilikan  seluruh masyrakat untuk  masyarakat seluruhnya demi membangun kembali sistim saluran a’la Babylonia yang sangat luas ini. Sedangkan ada kesibukan lain yang lebih urgent bagi Puncak Kekuasaan yaitu bertengkar satu sama lain  plus adanya syncretism dengan kebudayaan  Jawa betolak belakang dengan kaum sunni garis keras, dimenangkan oleh kaum sunni, tapi masyarakat terpecah.  Pada era itu di Mesir dan Turki kaum sunni sangat aktip meluaskan pengaruh sunni, sangat mengurangi kekompakan masyarakat.  
Zaman itu  Penguasa Baru kembali melirik hamparan sawah berpengairan yang sudah ada untuk dipersengketakan, areal sawah yang sudah ada dan dekat dekat dengan ibu kota Pajang atau Mataram dengan ibu kota Plered, mungkin sudah dibina oleh zaman sebelumnya, zaman Majapahit, zaman Mataram Hindu dan zaman sebelumnya, antara Penguasa Baru pindahan dari Demak Bintoro dan Penguasa Penguasa yang dapat lagalisasi Penguasaan tanah dari Raja Majapahit atau raja Sebelum Majapahit, seperti bumi Mentaok, bumi Kajoran, bumi Banjarnegara yang jauh kebarat. Maka legalisasi kepemilikan dari kerajaan sebelumnya menjadi amat penting, yang kemudian legalisasi ini segera menjadi adu kekuatan fisik maupun akal yang melahirkan banyak legenda dan babad untuk tujuan masing masing, maka bagi tinjauan sejarah zaman itu yang melupakan sector ekonomi sebagai motor utama semua kejadian di masyarakat menjadi  kabur dan terpisah dari dimanika masyarakat*)

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More