SERAT KALATIDHA
.
qoute
Raden Ngabehi Ranggawarsita, Lahir pada tanggal 15 Maret
1802 dengan nama kecil Bagus Burham. Beliau meninggal dunia pada tanggal 24
Desember 1873, dalam usia 71 tahun, dimakamkan di desa Palar, Kabupaten Klaten,
Jawa Tengah.
Serat Kalatidha karya R Ngabehi Ranggawarsita bukanlah
ramalan seperti Jangka Jayabaya. Serat Kalatidha adalah serat yang
berisi falsafah atau ajaran hidup R.Ngabehi Ranggawarsita. “Kala” berarti jaman
dan “Tidha” adalah ragu. Berarti jaman penuh keraguan. Walau demikian banyak
yang memberi pengertian “Kalatidha adalah jaman edan” mengambil makna dari bait
ke tujuh serat ini. Bait ini menggambarkan situasi “edan” saat itu. Serat yang
terdiri dari 12 pada (bait) tembang Sinom ini ditulis kira-kira tahun 1860an.
Kita tidak mengalami era itu, tetapi melalui Ranggawarsita kita bisa
membayangkan bahwa saat itu jaman sudah edan.
Ada yang membagi syair Serat Kalatidha dalam tiga bagian.
Bagian pertama adalah “pada” (bait) ke 1 sd 6 yang merupakan kondisi tanpa
prinsip, bagian kedua adalah “pada” (bait) ke tujuh yang berisi
tekad manusia untuk mawas diri, sedangkan bagian ke tiga adalah “pada” (bait)
ke 8 sd 12 yang berisi ketaatan kita pada ajaran agama. Selanjutnya
marilah kita tengok bait perbait dari Serat Kalatidha yang kesohor
ini. Semuanya dalam tembang “Sinom”.
BAIT PERTAMA: ANALISIS SITUASI
Mangkya darajating praja; Kawuryan wus sunyaruri; Rurah
pangrehing ukara; Karana tanpa palupi; Atilar silastuti; Sujana sarjana kelu;
Kalulun kala tidha; Tidhem tandhaning dumadi; Ardayengrat dene karoban rubeda
Makna dari bait pertama ini kurang lebih sebagai berikut:
Keadaan negara yang demikian merosot karena tidak ada lagi yang memberi
tauladan (karana tanpa palupi).Banyak yang meninggalkan norma-norma
kehidupan (atilar silastuti). Para cerdik pandai terbawa arus jaman
yang penuh keragu-raguan (sujana sarjana kelu; kalulun ing kalatidha).
Suasana mencekam karena dunia sudah penuh masalah. unquote
Dari
idesubagyo.blogspot,com.: Pada zaman itu R Ng. Ronggowarsito masih menjadi
Pegawai rendah Kasunanan Surakarta, jadi akan mendapat murka tuannya bila
berani menkrtitik pemerintah Kasunanan yang sangat tergantung pada pemerintahan
Hindia Balanda, jadi menurut saya sya’ir tembang sinom ini mestina berbunyi sebaliknya istilahnya MH Ainun Najib:
namanya uslub, dari khasanah bahasa Arab.
Mangkya derajating Praja, kawuryan wus sonya ruri; Rurah pengrehing ukara akarana tanpa palupi; Arilar silastuti; Sujana sarjana kelu, kaslulun hing kalatidha; Tidhem tandaning dumadi; Hardhayengrat kroban rubedha. unquote
Mangkya derajating Praja, kawuryan wus sonya ruri; Rurah pengrehing ukara akarana tanpa palupi; Arilar silastuti; Sujana sarjana kelu, kaslulun hing kalatidha; Tidhem tandaning dumadi; Hardhayengrat kroban rubedha. unquote
LANJUTNYA:
. akucintanusantaraku.blogspot.com/2014/.../serat-kalatidha-rng-ronggowarsito-dan
ht...
quote
Pada bait pertama ini kelihatan bahwa ki Pujangga mencoba
melakukan analisis situasi mengapa masalah ini terjadi. Yang di atas tidak
memberikan tauladan, semua orang meninggalkan norma, para cerdik-cendekiawan
terbawa arus keraguan.
BAIT KE DUA: PENGARUH JAMAN
Ratune ratu utomo, patihe patih pinuwih, para nayaka tyass raharjo, panekare beci becik; Parandene tan dadi; Paliyasing Kala Bendhu; Mandar semangkin saya andadra; Rubedha ngriribeti; beda beda hardanng wong sanagara
Makna dari bait ke dua kurang lebih sebagai berikut:
(Sebenarnya) baik raja, patih, pimpinan lainnya dan para pemuka masyarakat,
semuanya baik. Tetapi tidak menghasilkan kebaikan (Parandene tan dadi).
Hal ini karena kekuatan jaman Kala bendu. Malah semakin menjadi-jadi. Masalah
semakin banyak. Pendapat orang sak negara pun berbeda-beda (beda-beda
ardaning wong sak nagara). unquote
-desubagyo.blogspot.com: Ayah Bagus Burhan ki Panjangswara adalah sosok yang ditangkap Kumpeni, ditawan di Batavia, dan disiksa sampai mati, intinya dipaksa mengaku bahwa Sunan Paku Buwono ke VI pernah mengadakan perundingan dengan pangeran Diponegaro, https://tirto.id/peran-ganda-raja-surakarta-berujung-petaka-crZU
karena tokoh ini adalah asisten pribadi kepercayaan sang Susuhunan. sedang penggantinya Susuhunan paku Buwono VII adalah antek Belanda, jadi sangat tidak senang dengan R.Ng. Ronggowarsito. Banyak diantara sastrawan Surakarta, mencurigai, sastrawan yang penanya tajam ini dihukum mati oleh Susuhunan PB VII, dipaksa minum racun. Makanya sang Pujangga Ki Ngabehi Ronggowarsito tahu persis kapan hari wafat beliau sampai jamnja, di tulisan perpisaahnnya. Jadi adil bila bait kedua ini adalah "uslub" menurut istilah cak Aiun Najib. Mestinya berbunyi saya perkirakan seperti apa adanya dibawah ini, saya pernah ajukan pada paman saya almarhum, yang ex Gembong HMI Fak. Kedodkteran Undip seorang Profesor, juga ahli javanologi, gemar mwrangkai gending jawa, beliau malah marah. begitu pula konon Profesor javanologi Poerbocaroko. Bunyi bait kedua mestinya sbb:Ratune ratu Angkara, Patihe amung nun inggih; Pra nayaka tyas candala; Panekare licik-licik; Parandene andhadi; Paliyasing Kala Bendhu; Mandar "si Semangkin” ndadra; Angrubedha ngriribheti; Kudu pada hardaning wong sanagara.
idesubagyo: bagaimana sejarah berulang zaman ordebau
quote
Sang “Ratu”(istillah Jawa ratu bisa lelaki bisa perempuan) dia tidak biasa memakai kata bahasa Indonesia “ “semakin” melainkan selalu “semangkin” bila aken memakai kata itu – coba diingat ingat. Lantas seluruh Negara rakyat tdak terkotak kotak, semua ikut Golkar, smua dikursus P4, malah dia sendiri sak garwa putra, mantu lupa semua. merampok kekayaan Bangsa danNegara. unquote
akucintanusantaraku.blogspot.com/2014/.../serat-kalatidha-rng-ronggowarsito-dan ht...
quote
Pada bait ke dua ini tokoh kita menjadi geleng-geleng
kepala, bingung. Mengapa mesti terjadi dan semakin menjadi-jadi padahal
pimpinan dari atas ke bawah, termasuk tokoh informalnya semua baik. Mungkin
karena pengaruh jaman yang dinamakan “Jaman kalabendhu”.
BAIT KE TIGA: KEKECEWAAN
Katatangi tangisira sira sang paremeng kawi; Kawileting tyas uhkita; Kataman ing reh wirangi; Dening upaya sandi; Sumaruna angrawung; Mangimur manuhara; Met pamrih melik pakolih; Temah suhha ing karsa tanpa wiweka; Dari bait ke tiga kurang lebih sebagai berikut: Hati
rasanya menangis penuh kesedihan karena dipermalukan (baris 1 sd 4). Karena
perbuatan seseorang yang seolah memberi harapan (baris 5-7). Karena ada pamrih
untuk mendapatkan sesuatu (met pamrih melik pakolih, baris 8). Karena terlalu
gembira sang Pujangga kehilangan kewaspadaan (baris 9)
Katatangi tangisisira,
sra sang parameng kawi, kawileting tyas duhkita, kataman ing reh wirangi;
Dening upay sandhi; Sumaruna anarawung, mangimur manuhara; Met pamrih mikik
pakolih; Temah suhha ing karsa atilar wiweka.
Pada bait ke tiga ini Ranggawarsita mulai kecewa dan
menyesal. Kegembiraannya menghilangkan kewaspadaan. Ia lena dengan mulut manis
seolah memberi harapan dan ia sendiri memang ingin mendapatkan sesuatu.
Akhirnya menjadi sedih karena dipermalukan. Disini ada kesadaran dalam
kekecewaan, bahwa “melik nggendong lali” yang tergambar dalam “met
pamrih pakolih, temah suh-ha ing karsa tanpa weweka”.
Bait seterusnya tidak perlu dimaknai karena sudah
sesuai dengan keadaan waktu itu- idesubagyo.blogspot.com. Terimq kasih kepqda
blogger di
akucintanusantaraku.blogspot.com/2014/.../serat-kalatidha-rng-ronggowarsito-dan
ht...qoute selaanjurtnya
BAIT KE EMPAT: PENGAKUAN BAHWA LUPA
Dasar karoban pawarta; Bebaratun ujar lamis; Pinudya dadya
pangarsa; Wekasan malah kawuri; Yan pinikir sayekti; Mundhak apa aneng ngayun;
Andhedher kaluputan; Siniraman banyu lali; Lamun tuwuh dadi kekembanging beka
Makna dari bait ke empat kurang lebih sebagai berikut:
Karena terlalu banyak kabar angin yang beredar (dasar karoban pawarta;
bebaratun ujar lamis). Akan diposisikan sebagai pimpinan tetapi akhirnya malah
di taruh di belakang dan dilupakan (baris 3 dan 4). (sebenarnya) kalau
direnungkan, apa manfaatnya menjadi pimpinan (kalau) hanya menebar benih
kesalahan, (lebih-lebih) bila disiram air “lupa” hasilnya hanyalah berbunga
kesusahan (baris 5 sd 9)
Dasar karoban pawarta;
babaran ujar lanis; Pinudya dadya pangarsa; Wkasan malah kawuri; Yan pinikir
sayekti; mundak apa aneng ngayun; Andeder kaluputah sinsiraman banyu lali;
lamun tuwuh dhadi kekembanging beka.
Pada bait ke empat ini Ranggawarsita mengungkapka bahwa ia
terlalu GR dengan kabar angin bahwa ia akan dijadikan “pangarsa”, pimpinan.
Ketika kemudian harapannya ternyata hilang (Pinudya dadi pangarsa; wekasan
malah kawuri) , ia mencoba menghibur diri dengan mengungkapkan: Untuk apa
jadi pemimpin kalau hanya menanam kesalahan yang disiram dengan air lupa. Bunga
yang dipetik hanyalah “masalah”.
BAIT KE LIMA: LEBIH BAIK MENULIS BUKU
Ujaring panitisastra; Awewarah asung peling; Ing jaman
keneng musibat; Wong ambeg jatmika kontit; Mengkono yen niteni; Pedah apa
amituhu; Pawarta lolawara; Mundhuk angreranta ati; Angurbaya angiket cariteng
kuna
Makna dari bait ke lima kurang lebih sebagai berikut:
Menurut para ahli sastra, sebenarnya sudah ada peringatan bahwa di jaman yang
penuh musibah ini orang yang berbudi akan ditinggalkan (baris 1 sd 4). Demikian
pula kalau kita perhatikan, apa manfaatnya percaya pada desas-desus. Lebih baik
menulis kisah-kisah lama (baris 5 sd 9)
BAIT KE ENAM: TAKDIR
Keni kinarta darsana; Panglimbang ala lan
becik; Sayekti akeh kewala; Lelakon kang dadi tamsil; Masalahing ngaurip;
Wahaninira tinemu; Temahan anarima; Mupus pepesthening tekdir. Pupuh puluh
anglakoni kaelokan. Makna dari bait ke enam kurang
lebih sebagai berikut: Kisah ini dapatnya dijadikan cermin dalam menimbang
hal-hal yang baik dan yang buruk. Sebenarnya banyak kisah lama yang dapat dijadikan
contoh, mengenai masalah-masalah dalam kehidupan (baris 1 sd 5). Setelah ketemu
akhirnya bisa “nrima” dan berserah diri pada kehendak takdir atas hal-hal elok
yang terjadi (baris 6 sd 9)
Pada bait ke enam ini, Karena tidak menemukan sebab-sebab
yang pasti (diungkapkan sebagai “kaelokan”) akhirnya R. Ngabehi
Ranggawarsita mengambil kesimpulan bahwa hal tersebut memang sudah takdir
Tuhan. Dengan demikian selesailah bagian pertama dari Serat kalatidha dimana
beliau menyerahkan kepada kebijaksanaan Tuhan dengan “mupus pepestening
takdir”.
BAIT KE TUJUH: JAMAN EDAN
Bait ke tuju inilah bagian ke dua dari Serat Kalatidha. Bait
yang paling populer, cukup banyak yang hapal lengkap satu “pada” (bait) atau
hanya hapal dua baris terakhir: “begja-begjane kang lali; luwih beja kang
eling lawan waspada”.
Orang sekarang yang tidak tahu bait ke satu sampai dengan
enam bisa menganggap sebagai ramalan. Sekali lagi ini bukan ramalan, ini kritik
jaman pada abad ke 19 yang ternyata masih dipakai pada abad ke 21. Bukan prediksi
untuk abad ke 21.
Bait ke 7 selengkapnya adalah sebagai berikut:
Amenangi jaman edan; Ewuh aya ing pambudi; Milu edan
nora tahan; Yen tan milu anglakoni; Boya kaduman melik; Kaliren wekasanipun;
Ndilalah karsa Allah; Begja-begjane kang lali; Luwih begja kang eling lawan
waspada
Makna dari bait ke tujuh adalah sebagai berikut: Mengalami
hidup pada jaman edan; memang serba repot; Mau ikut ngedan hati tidak sampai;
Kalau tidak mengikuti; Tidak kebagian apa-apa; akhirnya malah kelaparan; namun
sudah menjadi kehendak Allah; Bagaimanapun beruntungnya orang yang “lupa”;
Masih lebih beruntung orang yang “ingat” dan “waspada”
Pada bait ke tujuh ini, ki Pujangga mengungkap dilema
kehidupan pada jaman edan. Dilema pada orang yang ragu-ragu tentunya. Mau ikut
gila hati masih belum sampai, tetapi kalau tidak ikut ngedan bisa kelaparan.
Dan lagi-lagi kehebatan Ranggawarsita, beliau tidak sekedar memasalahkan
masalah, namun memberi peringatan sekaligus solusi: “Eling” lan “Waspada”.
“Eling” berarti ingat pada Tuhan. Tuhan tidak pernah tidur, Tuhan adalah Maha
Mengawasi. Disamping “Eling” juga “Waspada” kepada manusia lainnya karena
diantara manusia ada yang mempunyai kelakuan suka menjerumuskan orang lain.
Dalam bahasa “Management Strategis” saya menganggap “Eling
dan waspada” adalah “Critical Success Factor” yang harus dijabarkan dalam Visi,
Misi, Strategi dan Langkah-langkah bila kita tidak ingin terbelenggu dan ragu
dalam jaman edan. Demikianlah bait ke tujuh sekaligus bagian ke dua dari Serat
Kalatidha: “Eling lan waspada”
BAIT KE DELAPAN: MERASA TUA
Semono iku bebasan; Padu-padune kepengin; Enggih
mekoten man Doblang; Bener ingkang angarani; Nanging sajroning batin; Sejatine
nyamut-nyamut; Wis tuwa arep apa
Muhung mahasing asepi; Supayantuk pangaksamaning Hyang Suksma
Muhung mahasing asepi; Supayantuk pangaksamaning Hyang Suksma
Makna dari bait ke delapan adalah sebagai berikut: Hal itu
sebenarnya karena ada keinginan. Begitu kan paman Doblang? (baris ke 1 sd 3).
Kalau ada yang mengatakan begitu, memang benar. Tetapi dalam hati memang susah
juga. Sekarang sudah tua, mau mencari apa lagi. Lebih baik menyepi agar
mendapat ampunan Tuhan (baris 4 sd 9).
Pada bait ke delapan ini R. Ngabehi Ranggawarsita mulai
merasa tua, mulai memikirkan kematian. Merasa banyak dosa ditambah menyadari
kematian maka ki Pujangga berupaya mencari pengampunan dosanya. “Menyepi”
adalah ungkapan Jawa untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Jangan dibayangkan
sebagai semacam menjauhkan diri dari kehidupan dengan bertapa di
goa-goa. Inilah “wis tuwa arep apa, muhung mahas ing asepi, supayantuk
parimarmaning Hyang Suksma”.
BAIT KE SEMBILAN: ALLAH MEMBERI PERTOLONGAN, MANUSIA IKHTIAR
; Parandene maksih Beda
lan kang wus santosa; Kinarilah ing Hyang Widhi; Satiba malanganeya; Tan susah
ngupaya kasil; Saking mangunah prapti; Pangeran paring pitulung; Marga samaning titah; Rupa sabarang pakolih masih
taberi ikhtiyar.
Makna dari bait ke sembilan adalah: Lain dengan yang sudah
sentausa. Mendapatkan rahmat Allah. Nasibnya selalu baik. Tidak sulit upayanya.
Selalu memperoleh hasil. Tuhan selalu memberi pertolongan. Memberi jalan semua
ummatnya. Sehingga memperoleh semuanya. Tetapi manusia tetaplah berikhtiar.
Pada bait ke sembilan ini Ranggawarsita menekankan
pentingnya ikhtiar. Beliau memberi contoh orang-orang yang berhasil karena
dirahmati Allah.
dari idesubagyo,blogspot.com:
Ng. Ronggowarsito bersahabat dengan ayah dan anak pemilik percetakan Tan Koen Swie di Kediri. Juga Penerbit Meneer De Winter suami istri di Surakarta, sesudah kemerdekaan, malah makamnya dipindah ke Palar oleh para sastrawan Surakarta, karena kerkhoff Belanda di Jebres terkena penggusuran jalan lingkar kota Solo. unqute
dari idesubagyo,blogspot.com:
Ng. Ronggowarsito bersahabat dengan ayah dan anak pemilik percetakan Tan Koen Swie di Kediri. Juga Penerbit Meneer De Winter suami istri di Surakarta, sesudah kemerdekaan, malah makamnya dipindah ke Palar oleh para sastrawan Surakarta, karena kerkhoff Belanda di Jebres terkena penggusuran jalan lingkar kota Solo. unqute
BAIT KE SEPULUH: IKHTIAR DAN RAHMAT ALLAH
Sakadare linakonan;
Mung tumindak mara ati; Angger tan dadi prakara; Karana riwayat muni; Ikhtiyar
iku yekti; Pamilihing reh rahayu; Sinambi budidaya; Kanthi awas lawan eling
Kanti kaesthi antuka marmaning Suksma. INI BUKAN MENYANGKUT KONGLOMERAT HITAM RAJA IHTIKAR. RATU QUNGXI, DAN MENEER VAN DANU.
Kanti kaesthi antuka marmaning Suksma. INI BUKAN MENYANGKUT KONGLOMERAT HITAM RAJA IHTIKAR. RATU QUNGXI, DAN MENEER VAN DANU.
Makna dari bait ke sepuluh adalah: Kita laksanakan, apapun,
sekedarnya. Perbuatan yang menyenangkan dan tidak menimbulkan masalah. Karena
sudah dikatakan, manusia wajib ikhtiar. Melalui jalan yang benar. Sembari
berikhtiar tersebut, manusia harus terap awas dan ingat supaya mendapatkan
rahmat Tuhan.
Pada bait ke sepuluh: “ikhtiar iku yekti, pamilihing reh rahayu,
sinambi budi daya, kanthi awas lawan eling, kang kaesthi antuka marmaning
Suksma. Kembali kata ikhtiar dan “Eling” diulang dalam upaya kita
mendapatkan rahmat Allah. Ikhtiar yang kita lakukan adalah ikhtiar di jalan
yang benar. Bait ke sepuluh adalah penekanan bait ke sembilan.
BAIT KE SEBELAS: SEMAKIN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH
Ya Allah ya
Rasulullah; Kang sipat murah lan asih; Mugi-mugi aparinga; Pitulung ingkang
martani; Ing alam awal akhir; Dumununging gesang ulun; Mangkya sampun awredha
Ing wekasan kadi pundi; Mula mugi wontena pitulungan Tuwan
Ing wekasan kadi pundi; Mula mugi wontena pitulungan Tuwan
Makna dari bait ke sebelas adalah: Ya Allah, ya Rasulullah
yang bersifat pemurah dan pengasih. Kiranya berkenan memberi pertolongan dalam
alam awal dan akhir dalam kehidupan saya (baris 1 sd 6). Sekarang hamba sudah
tua. Akhir nanti seperti apa, kiranya mendapatkan pertolongan Allah (baris 7 sd
9)
Pada bait ke sebelas ini Ranggawarsita merasa waktunya untuk
“pulang” menghadap Sang Maha Pencipta sudah semakin dekat. Ia harus semakin
mendekatkan diri. Hanya Allah yang akan menyelamatkannya di kehidupan akhirat
nanti.
BAIT KE DUABELAS: MOHON AMPUNAN ALLAH
; Sageda sabar
santosa; Mati sajroning ngaurip; Kalis ing reh aruraha; Murka angkara
sumingkir; Tarlen meleng malat sih; Sanityaseng tyas memasuh; Badaring sapu dendha antuk mayar sawatawis; BoRONG
angGA saWARga meSI marTAya
Makna dari bait ke duabelas adalah: kiranya saya mampu sabar
dan sentausa. Mati dalam hidup. Terbebas dari semua kerepotan. Angkara murka
menyingkir (baris 1 sd 4). Saya hanya memohon karunia kepadaMu, guna mendapat
ampunan, diberi sekedar keringanan. Hamba serahkan jiwa dan raga hamba (baris 5
sd 9)..
Pada bait ke duabelas ini Ranggawarsita sampai pada puncak
pendekatannya kepada Tuhan yang diungkapkan dalam “mati sajroning urip”. Mati
dalam hidup bukanlah orang yang sudah lepas sama sekali dari dunia padahal
kakinya masih menginjak bumi, bukan pula pelarian karena pelarian tidak
akan memberikan apa-apa. Sekali lagi, “mati sajroning urip bukanlah pengasingan
diri orang yang lari” .
Demikianlah bait ke delapan sd duabelas yang merupakan
bagian ketiga dan terakhir Serat Kalatidha yang intinya “Kembali kepada Allah”
melalui “mati sajroning urip
PENUTUP
R Ngabehi Ranggawarsita melalui kekecewaan dan pengalaman
hidupnya dalam sebuah karya yang sampai sekarang tetap kesohor “Serat
Kalatidha” yang bertujuan memberi peringatan kepada kita agar senantiasa
“Eling” kepada Allah dan “Waspada” kepada manusia dan kehidupan manusia. Beliau
tidak pernah menganjurkan orang jadi pemberontak, melainkan manusia hendaknya
percaya kepada “Takdir”. Takdir yang dilandasi dengan “Ikhtiar” di jalan yang
benar. Setelah ikhtiar maka semuanya dikembalikan ke Takdir.
R Ngabehi Ranggawarsita menyadari kehendak Allah yang kadang
sulit diterima akal manusia. Namun beliau yakin bahwa Allah akan menolong
orang-orang yang “eling lawan waspada”. Orang yang “eling dan waspada” tidak
akan terombang-ambing dalam riak gelombang “Kalatidha”. Tidak akan frustasi,
neurosis atau bahkan menjadi schizophereni.
Sebagai karya seni yang menulis tentang manusia dan
kehidupannya ternyata karya ini tidak lapuk oleh jaman. Baris terakhir bait
terakhir Serat Kalatidha yang terjemahan bebasnya adalah “Hamba serahkan jiwa
dan raga (kepada Allah) ditulis dalam sebuah “sandhiasma” yang menunjukkan nama
penulisnya: BoRONG angGA saWARga meSI marTAya (IwM).
0 comments:
Posting Komentar