Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

INDONESIA PUSAKA TANAH AIR KITA

Indonesia Tanah Air Beta, Pusaka Abadi nan Jaya, Indonesia tempatku mengabdikan ilmuku, tempat berlindung di hari Tua, Sampai akhir menutup mata

This is default featured post 2 title

My Family, keluargaku bersama mengarungi samudra kehidupan

This is default featured post 3 title

Bersama cucu di Bogor, santai dulu refreshing mind

This is default featured post 4 title

Olah raga Yoga baik untuk mind body and soul

This is default featured post 5 title

Tanah Air Kita Bangsa Indonesia yang hidup di khatulistiwa ini adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus senantiasa kita lestarikan

This is default featured post 3 title

Cucu-cucuku, menantu-menantu dan anakku yang ragil

This is default featured post 3 title

Jenis tanaman apa saja bisa membuat mata, hati dan pikiran kita sejuk

Sabtu, 29 Desember 2012

…….DISANALAH AKU BERIDIRI…….JADI PANDU IBUKU……. RENUNGAN AKHIR TAHUN 2012.


Semua sudah kenal, kalimat ini adalah potongan dari Lagu Kebangsaan kita, Indonesia Raya.
Kenapa aku kutip potongan lagu yang semua orang tahu ini ?
Terus terang aku lagi sedih dan bingung.

Pagi-pagi, aku menyaksikan Metro TV, Bedah Editorial (29/12/2012) buntut-buntutnya menelanjangi DPR RI, ya kenyataannya memang begitu, gudangnya perilaku tidak terhormat. Rendah.

Sepanjang tahun ini saya dijamu dengan pertunjukan yang tidak lucu dari Executive, di bawah panji Partai Penguasa, berjama’ah berkolusi.
Ternyata jadi gudangnya penipu yang lagi kesampaian niat aslinya, berpesta pora dengan uang pajak. Berebut menjual lisensi HPH dan Hak Guna Usaha, Hak Menggali Tambang, di atas tanah Negara. Jutaan hectare, dengan gaya anggun dan santun, begitu dia mencitrakan  dirinya, sebagai Pandu Ibu Pertiwi.
Malah si Pilot ini  belakangan oleh para bekas komponen Orde Baru, dianggap Autopilot saja.
Kok ada jeruk makan jeruk, karena dari semula mereka tahu, bahwa Pilot aslinya Consortium Keuangan Dunia.
Sebenarnya kami rakyat hanya minta “ke-berpihak-an mereka saja, kami tahu keluar dari jerat yang dianyam 35 tahun oleh Institusi Keuangan Dunia guna menelikung Negeri ini dengan “bantuan” kekuasaan Rezim Orde Baru yang Despotic ini memang sulit, karena Institusi Internasional ini sudah masuk ke Posisi Kunci Republik ini.
Posisi kunci itu uang, bukan suara pemilih.
Jadi selama ini sudah disadari, bahwa suara Rakyat itu sudah kalah dengan uang.
Dasar.
Mau ngomong apa bila sudah ketangkap tangan waktu bagi-bagi uang di Kabupaten di ujung barat Propinsi Jawa Timur ?

Delapan puluh tahun sesudah Bung Karno mengangkat ke permukaan perjuangan Pak Marhaen, si Wujud figur Petani kita yang dijepit dan kepepet oleh mesin Kolonial, karena mereka hanya bisa hidup subsistent dari tanahnya, pada zaman derap langkah raksasa Industrialisasi.
Pengangkatan derajad existensi Pak Marhaen di seluruh Indonesia oleh Bung Karno dijadikan panji-panji perjuangan Kemerdekaan.

Kakek, Nenek kita bersatu dibawah panji panji ini.
Mereka bersatu membulatkan tekad untuk merdeka.

Karena:
Tahukah anda bahwa diseluruh Hindia Belanda sebenarnya kaum Pribumi tidak pernah lagi punya sebidang tanah yang diakui secara Hukum oleh pemerintah Hindia Belanda ?
Kepemilikan Tanah di Hindia Belanda yang diakui oleh Hukum Kolonial hanya hak Eigendom  atau hak Real Estate, yang dimiliki oleh Warga Nederland dan orang asing dari Negara yang diakui Belanda, sedangkan hak kaum Pribumi hanya Hak Yasan yang hanya tercatat dan disaksikan Lurah atau Kepala Desa, pemilik sebenarnya adalah Pemerintah Hindia Belanda, implikasinya setiap saat bisa diminta yang punya, yaitu Pemerinta Hindia Belanda, dengan kedok untuk kepentingan Umum.
Seperti tanah makam leluhur Pangeran Diponegoro yang dijadikan jalan. Belanda, karena merasa semua tanah Indonesia adalah miliknya, membuat jalan melewati makam keluarga Keraton Jogja. Saat patok ditanam di tanah makam keluarga kerabat keraton Pangeran Diponegoro, maka Pangeran Diponegoro tahu bahwa sudah tiba saatnya perlawanan rakyat terhadap para Bule Belanda ini. Dan Belanda juga sudah siap, karena pemasangan patok hanya untuk memancing Harimau turun Gunung. Perang antara pribumi dan kolonial hanya masalah waktu saja.

Kemudian, maka dari itu UUPA tahun 1960, sudah mengukuhkan dan melindungi hak Pak Marhaen dalam Kecamatan dimana dia tinggal.
Namun UUPA 1960 ini dimandulkan di Daerah Otonomi Kabupaten dan Kota Madya. Contoh di Mesuji,kemudian di Kota Madya Surabaya sebelah Timur, bekas milik Tuan Tanah yang diredistribusi kepada Rakyat ternyata diganti menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) atau Surat Ijo oleh Walikota Orde Baru, tanpa reaksi apa-apa dari rakyat karena takut di cap PKI,  dan dikeluarkan dari perlindungan Hukum Negara.

Itupun hanya tahan sampai dua tiga generasi Marhaen, sebab sesudah itu tanah milik sudah mencair dibagi peawarisnya. Sejak enampuluh tahun yang lalu mestinya Pemerintah Republik Indonesia menggantinya dengan kehidupan baru di lahan transmigrasi di wilayah Negaranya sendiri, dengan sungguh-sungguh, anda tahu sekali lagi sejak enam puluh tahun yang lalu.

Anda tahu kena apa ?

Sebab sejak selesai Perang Dunia II Datuknya kaum Kapitalis sudah tahu bahwa minyak bumi akan habis, untuk mencari bahan bakar yang tergantikan butuh modal yang besar sekali apalagi hasilnya akan dinikmati oleh mereka sendiri.

Sebelum rekayasa global energi untuk mesin mesin dengan konsep baru sama sekali  selesai, harus ada sumber energi yang terbaharui demi mengisi kenaikan harga  minyak bhumi yang semakin langka, jatuh pilihan pada bio etanol dan bio diesel, untuk design mesin-mesin yang sudah ada.

Sejak enampuluh tahun yang lalu mereka telah merencanakan akan menggunakan lahan tropis bekas jajahan mereka di Asia Afrika, untuk mendapatkab bio ethenoldan bio diesel sudah mereka rencanakan jauh-jauh hari, sementara kita masih berkutat dalam lasykar rakyat !
Campur-baur dengan mereka yang ingin menggantikan kedudukan Tuan  kaum Penjajah, e e baru ketahuan sekarang, memperoleh Hak Guna Usaha dengan menebar uang suap, yang ketahuan saja 3 milliard  rupiah, yang tidakketahuan berapa ? Untuk HGU 75 ribu Ha lahan, ada lagi yang minta 3 juta Ha di Papua untuk kelapa sawit dan sawah tahun ini, bukan untuk kebutuhan pangan tapi untuk bio diesel dan bio ethanol, mereka didorong untuk mendanai pembangunan lahan untuk tujuan ini, hanya kata terakhir mengenai harga
produk-nya adalah mutlak menurut Lembaga Keuangan Dunia.

Toh nanti para investor inti ini akan sama posisinya dengan petani plasma yang bangkrut sekarang.  Saya baca tulisan wawancara Jean Ziegler sebagai personel di PBB urusan pangan Dunia Ketiga (Third World Countries), bisa disimak dalam situs berikut ini :http://sastra-pembebasan.10929.n7.nabble.com/sastra-pembebasan-Jean-Ziegler-Empat-Mekanisme-Penyebab-Kelaparan-Dunia-td55641.html

Sedang tulisan mengenai usaha permintaan HGU untuk 3 juta  sawah di Papua bisa dibaca dalam situs ini ; http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/136703

Pernah atas prakarsa Depertemen Transmigrasi Pemerintahan Orde Baru, diadakan pekebunan Inti yang dikuasai Swasta, memliliki lahan komoditas tertentu dan Pabrik Pengolah hasil atas dukungan Pemerintah, dikelilingi oleh hamparan kebun komoditas yang sama dimiliki oleh para petani Plasma bisa transmigran bisa penduduk setempat, yang akan menjual hasil buminya berupa komoditas yang sama untuk diolah.
Akhirnya, niat buruk Pemilik Kebun Inti, sewaktu harga komoditas naik, tentu saja menguasai kebun kebun milik Petani, niat ini berhasil dengan baik bila harga komoditas yang ditanam anjlog, lantas petani plasma makan apa ?
Akhirnya kebun digadaikan atau dijual, ya sah-sah saja.
Bila petani ngotot ganti profesi menjual bakso, tapi kebunnya ndak dijual atau digadaikan, maka terjadilah peristiwa yang mirip Mesuji.
Karena kebun milik petani tidak bisa ada di tengah-tengah kebun milik Pabrik, menggampangkan pencurian, katanya.

Upayanya  yang dengan segala cara menguasai HGU hanya akan diambil alih oleh Penguasa Komoditas Pangan Dunia, meskipun mereka sekarang diuntungkan oleh  kaum Neoleberalis juga, tetatapi ukuran  anak buah, apa bisa Hartati Murdaya Poo melawan Multi Nasional Corporation ?
Karena harga komoditas yang dihasilkannya, misalnya  kelapa sawit, dalam tahun ini saja, menjadi semakin anjlog.  Pada Bulan November-Desember 2012 di sejumlah lokasi perkebunan, harga kelapa sawit di tingkat petani terus turun hingga menyentuh Rp 300-Rp 400 per kilogram (kg).
Harga ini rendah sekali sehingga ndak cukup untuk makan petani Plasma sekeluarga.
Juga tercatat dalam bursa komoditas sepanjang 2012, harga rata-rata minyak sawit mentah (crude palm oil) turun sekitar 25 persen. Harga tahun 2012 rata-rata tercatat 900 dollar AS per ton, turun dari tahun 2011 sebesar 1.200 dollar AS per ton. Diberitakan turunnya harga CPO dan tandan buah sawit ini karena
di belahan benua Amerika Utara dan Selatan sedang panen raya kedelai.

Benar perhitungan pendahulu kita Bung Karno, mengembalikan tanah sebagai sumber hidup kepada kaum Marhaen, hidup dan menghidupi dari tanah miliknya, ya tanah subur di seluruh Indonesia semoga dimengerti oleh Pemerintah Daerah setempat.
Marhaen bukan saja orang Sunda, atau orang Jawa, atau orang Bali, Bugis, tapi mereka yang menghasilkan makanan untuk seluruh penduduk Indonesia, cukup.  Bukan lewat Pasar Internasional.

Pemerintah Indonesia harus mengadakan sendiri kilang minyak bumi, sementara minyaknya masih ada, kilang bio diesel, kilang bio ethanol dengan kemauan Politik yang tegas, dimana pengadaan kilang  kilang ini dapat memenuhi kebutuhan kita, tanpa di korupsi kayak Hambalang Skandal Nasional (HSN). (*)



Sabtu, 22 Desember 2012

LEGITIMASI KEKUASAAN DENGAN FOLKLORE YANG DIHIDUPKAN DI MASA LALU DI MASYARAKAT NUSANTARA


Para pemerhati Sejarah Negri ini, sudah tidak heran dengan banyaknya folklore mengenai asal-usul penguasa-penguasa di Nusantara, baik yang berskala lokal, artinya  lingkungan kecil dari satu suku, maupun lingkungan masyarakat yang sudah berwujud Negara, bertebaran sepanjang sejarah.
Dari hikayat “Putri Junjung Buih” dari mana raja Raja kaum Banyar di Kalimantan berasal, hikayat “Bukit Siguntang” sebagai asal-usul Kerajaan Sriwijaya, mengenai asal usul “Tolangi” yang merupakan akar dari semua asal-usul para Daeng, Karaeng dan  Andi. Folklore semacam itu pasti ada di NTT, NTB, dan Bali yang saya tidak tahu.
Lha kalau di Pulau Jawa saya tahu betul, saya sebut saja yang paling bersinggungan dengan sejarah formal. Tokoh yang dianggap pendiri Wangsa Girindra, yang memerintah Majapahit, Ken Arok. Tokoh ini dari bawah, tidak jelas bapa ibunya, bahkan tumbuh dari seorang pemuda luntang-luntung Preman Pasar, yang diambil murid oleh seorang Brahmana Lohgawe. Selanjutnya jadi Pendiri Kerajaan Singhasari bergelar Sri Rangga Rajasa Sang Hamurwa Bhumi, tidak tanggung-tanggung oleh para Brahmana dimuliakan sebagasi titisan Bhatara Wisnu.
Walau kenyataan sejarah mengatakan bahwa keturunan Ken Arok ini saling membunuh untuk melaksanakan kutukan Empu Gandring, apa perebutan kekuasaan yang biasa di zaman feudal, itu terserah interpretasinya saja. Selanjutnya semua raja-raja Hindu di-candikan dan di-patungkan sebagai inkarnasi para dewa, menurut saya lebih akan mengukuhkan legitimasi keturunannya dari  menghormati si mati.

Saya hanya mengingatkan pembaca bahwa dengan upaya para Penguasa terdahulu,  yang menciptakan folklore dan memasukannya dalam sejarah, toh folklore itu  diterima oleh rakyat sebagai “babad” yang selalu dibumbui dengan hal-hal gaib  dan elok.
“Babad” arti harfiahnya adalah dari kata “membabat” artinya membersihkan lokasi, untuk mendirikan hunian, suatu masyarakat, atau Kerajaan.

Sebenarnya yang akan saya ceriterakan di sini adalah kejadian sesudah Perjanjian Giyanti  13 Pebruari 1755, yang mengakhiri untuk selama lamanya Kerajaan merdeka Mataram yang ber Ibu Kota di Kartasura, oleh VOC. Karena isi perjanjian dengan VOC ini antar lain : wilayah Mataram dipecah  menjadi dua, di Surakarta diangkat Sunan Pakubuwono III, dan di Jogjakarta, Pangeran Hamangku Bhumi diangkat sebagai Sultan dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I.

Satu siasat yang sangat canggih untuk mendapatkan kesetiaan dan pengabdian rakyat di daerah yang ada di dua kerajaan ini, karena pemerintahan de facto dan de jure sudah ditangan Kompeni Belanda, Kedua kerajaan ini hanya symbol saja.

Paling tidak kedua kerajaan gurem ini masih mempunyai sawah dan hutan Jati untuk keperluan Kraton dan para kerabat dekatnya. Agar tetap mendapatkan “respect” dari penduduk, artinya tetap bergotong-royong membangun rumah para Penjabat, setor hasil panennya dan tidak mencuri kayu di hutan jati  milik Sultan
dan Sunan (Susuhunan) yang tidak punya kekuasaan apa-apa lagi. Perlu diadakan upaya.

Mulailah para Pujangga Keraton yang masih bersimpati pada kebudayan Jawa berfikir keras.

Pada dasasarnya penduduk Pantai Selatan di mana hutan jati dan lahan irigasi sungai Bayeman, Progo, adalah petani, begitu pula penghuni lereng Merapi.
Klaten, Dlanggu, Boyolali, yang terlalu sering diajak perang dan banyak mengorbankan waktu tanam dan memelihara padi oleh Raja Raja Kartasura, pengorbanan rakyat antara lain mendorong meriam, pedati- pedati bekal, memikul dan  perang adalah perkerjaan tetap para petani ini.

Kebetulan wilayah penyangga kedua kraton gurem ini mepet ke pantai selatan Pulau Jawa, dengan lembah berpengairan yang sempit dari Gunung Merapi di Jawa tengah. Kerajaan Surakarta mendapat daerah Klaten, sedikit di Boyolali, dan hutan jati di utara wilayah Solo, hutan Krendowahono, dan sekitar Wonogiri,  sedang kerajaan Ngayogyokarto, mendapat sawah di Bantul,  sedikit di Sleman dan hutan jati di Sentolo, dan Wonosari. 

Sekali ini para pujangga Surakarto dan Ngayogyakarto bersatu untuk mengarang babad, demi landasan adanya dua kerajaan symbol ini, supaya rakyatnya mengakui legitimasinya.              

Kalaupun kedua Keraton ‘mainan’ ini mengambil ancang-ancang dari kerajaan Majapahit yang Jaya,  Patih Gajah Mada misalnya, ya kejauhan, rakyat dari wilayah penyangga akan tidak mengerti, bila diambil dari Demak Bintoro, daerah itu sudah berantakan oleh hancurnya sistim pengairan rawa akibat pendangkalan, dan para tokohnya sudah suram pamornya akibat datangnya barang pakai baru dari Europa antara lain kain wool dan laken sagat cocok untuk disongket dengan benang emas, untuk jas upacara, minuman keras, dan senjata api.
Tokoh Wali Sanga hanya untuk mereka yang mencari jalan ukhrowi, yang sudah digrogoti oleh gerakan pembaharuan a’la Wahabi.
Lha sekarang ketemu, mereka sepakat untuk mengangkat skenario kehidupan tokoh yang tidak begitu jauh, tapi belum melawan Belanda yaitu Penembahan Senopati dari Keraton Kerto atau Plered. Tokoh ini sangat dikenal oleh rakyat dari Pantai selatan kedua keraton gurem ini.

Tokoh ini melawan ayah angkatnya dari kerajaan Pajang, yaitu Baginda Hadiwijoyo, karena anak angkat, diceritakan sebagai anak gelap sang Raja dan sangat sakti karena pegaulannya dengan para Wali Islam waktu itu, terutama Sunan Kalijaga, (mestinya kisah ini sudah tua sekali).  Pas, legendanya sudah ada, tinggal nambahi.
Dalam babad tokoh yang sudah pas ini diceritakan sering bertapa di pantai Selatan, kebetulan pantai yang jadi daerah penyangga kedua keraton gurem ini tidak ada nelayan, entah karena apa, mungkin pantainya terlalu mepet perbukitan karang, sehingga tetap bergelora oleh pukulan ombak laut selatan yang memang lautan bebas sampai kutub selatan, ndak ada tempat buat perahu mendarat yang aman. Pantai daerah penyangga ini panjangnya lebih kurang 100 km, rata rata karang terjal.
 Di Babadkan, dipantai itu sang Panembahan Senopati muda dan gagah perkasa sering bertapa, merenung dan bermunajad agar bisa mengalahkan Pajang, Sultan Hadiwijoyo

Mendadak seperti keluar dari kabut tipis semburan ombak memecah di karang, seorang  wanita yang cantiknya luar biasa. Berkulit kuning langsat, dengan mengenakan sari hijau muda yang setengah basah mengikuti lekuk tubuhnya yang aduhai, pokoknya para pujangga berebut menuangkan keahliannya menggambarkan romantika dari  pertemuan si ganteng dan si cantik keduanya raja, yang priya Raja Mataram, yang Putri sesosok Jin, Raja Laut Selatan di pantai yang sepi.
Lha jadinya leluhur yang masih dikenal rakyat pesisir selatan Yagya dan Solo dikawinkan dengan ratu Jin cantik dari laut Selatan dalam legenda itu,  jadi babad.

Ini lebih bisa jadi mitos yang mengakar di hati rakyat.

Konon menurut perjanjiannya bukan saja sang Panembahan Senopati leluhur yang sakti kawin dengan Ratu Jin, tapi juga raja raja keturunannya hingga sekarang, justru perjanjian ini yang sangat penting untuk ditanamkan dalam kepercayaan rakyat keci diwilayah ini, sampai manusia zaman sekarang yang menggemar ilmu gaib.

Untuk itu sudah disediakan pasukan abdi yang masih setia tapi bodoh  untuk membuat drama seperti memasang api phosphor di perbukitan, membunuh kambing yang penggembalanya agak teledor dengan racun, membuat bunyi-bunyian yang misterius di bukit kejauhan nun di Pantai Selatan yang sepi dsb.

Pasukan pendongeng yang lain menggosip perkara pagebluk dan lampor, artinya banyak rakyat yang mati disebabkan minim gizi, diterjemahkan bahwa sang Ratu Kidul membutuhkan wadyabala. Bahwa suara yang misterius itu suara lampor yaitu Paswal convoy kereta kencana yang jalan di udara, kendaraan dari Ratu Jin yang cantik ini, bertandang ke pacar-pacarnya
Bila zaman sebelumnya mereka adalah titisan dewa, yang ini hanya beristeri ratu
Jin, tak apalah, itu yang dimengerti rakyat sana.

Ditambah lagi Kanjeng Pengulu Kraton (mengetuai para abdi “Mutihan”, yang rumahnya di kampung “Kauman”) memang Ulama yang ahli memelintir ayat-ayatAl Qur’an, dimana perlu, untuk keperluan Kraton misalnya adanya harem sampai 40 istri melayani sang Raja, menurut Kanjeng Pengulu Kedathon ya syah syah saja, wong yang dikawin cara agama Islam memang hanya empat istri, kalaupun  Baginda ingin bersenang-senang dengan selir lainnya salah satu istri, yang diberi cincin tapi tidak pernah dipakai, disimpan oleh sang Raja diberikan  pinjam cincinnya untuk dipakai dayang selir/ concubine yang lain, trus jadi bukan zina. Kayak kawin sirinya Bupati Garut saja  yang bertahan empat hari, trus dicerai lewat SMS.

Beliau medapatkan fatwa bahwa rakyat harus percaya pada hal yang gaib.
Klop, semua berkomplot dalam penyelewengan surah  Al-Jin.

Dari Al Qur’an surah Al Jin, yang penutup surah ini menekankan bahwa manusia bagi jin dan jin bagi manusia tidak bisa menjadikan manfaat maupun mudarat satu sama  lain (ayat 21), disamping mengimani hal yang gaib, yang ini lupa.
.
Di wilayah Kraton Solo, ada menara 4-5 tingkat,  namanya menara Songgo Buwono yang khusus didirikan untuk menyambut Kanjeng Ratu Kidul, lengkap dengan sesajen aneka rupa khas untuk tamu seorang Putri (maksudnya Kanjeng Ratu Kidul), yang mesti saja tidak ada yang menyentuh.

Pokoknya drama percintaan ini dilanjutkan hingga sekarang di hati rakyat kedua kerajaan pura pura ini. Malah satu Hotel di pelabuhan Ratu, Ada kamar khusus untuk Putri Jin ini, barangkali berkenan mampir.
Selain di lokasi itu, rakyat tani di sepanjang pantai selatan pulau Jawa tetap saja menempuh ombaknya yang menggunung, untuk jadi nelayan musiman, dari Banyuwangi sampai Ujung Kulon, tentu saja  Ratu Jin yang cantik disini tidak dikenal rakyat.
Malah di Jawa barat para Petani menciptakan perangkap  lobster yang dilemparkan ke bawah bukit karang  langsung kelaut yang curam dengan berhasil, lumayan untuk nambah penghasilan di musim kering (*)

Sabtu, 15 Desember 2012

EGOISME DARI PETANI PEGUNUNGAN


 Setiap kali saya lewat jalan ke Tosari trus ke bibir Gunung Lautan Pasir caldera Gunung Bromo, setiap kali saya amati bahwa petani Kentang (Solanum tuberosum) tetap saja dengan cara yang sama menanami Kentang di lereng-lereng Gunung Bromo, mungkin sampai sekarang. Route ini telah dilewati para ahli Pertanian seluruh Dunia, juga dari dalam negeri. Tapi belum pernah ada yang komentar apapun. Tapi saya sekali melihat cara mereka menanam Kentang itu, selalu teringat peraturan menanam tanaman Kopi di lereng-lereng, karena  pernah kerja di perkebunan Kopi. Peraturannya adalah : tanam sabuk gunung atau menurut contour garis rata, bila mungkin.
Bila tidak mungkin, bikin teras individual, pohon per-pohon, dengan catatan : isi tanaman setiap hectare mendekati rencana, kira-kira 1000 pohon.

Penanaman Kentang di wilayah Tosari, Bromo - Jawa Timur,  contour (kontur tanah) mendatar mereka punya, tapi hanya untuk membuat guludan tanam yang memotong tegak lurus garis contour mendatar sebisa mungkin, jadinya guludan tanam miring ke bawah, nampak rapi panjangnya hanya 3-4 meter, trus terpotong  “teras” yang agak miring juga, aneh. 

Ini melanggar seluruh petunjuk dasar membudidayakan tanah miring atau lereng, untuk mengurangi “run off”, artinya tanah  pada lapisan atas yang paling subur hanyut (run off). Paling sedikit sudah ratusan tahun.
Sampai sekarang ya  masih seperti itu di Bromo.
Memang terjadi erosi terus-menerus sehingga di dataran rendah di Kabupaten Pasuruan-Probolinggo, dekat Jalan Raya Surabaya – Bali, pada  kawasan itu selalu banjir pada musim penghujan. Walau di atas ada hujan sedikit saja. Artinya sungai-sungai yang mengalir dari lereng Utara, Timur Laut dan Barat Laut, sudah penuh terisi endapan pasir gunung Bromo dari atas.

Di tengah caldera/ lautan  pasir Gunung Bromo ada kawah yang masih sangat aktif mengeluarkan asap dan abu / pasir halus terus-menerus, saban hari abu dan pasir halus itu menimbuni tegal Kentang milik petani Tengger. 

Sebenarnya abu dan pasir halus yang melapisi terus menerus lereng bibir caldera. Yang menutupi kebun Kentang adalah  bubukan batu yang masih “gres” keluar dari kepundan kawah, yang sudah bubukan batu yag masih 'gres; ini pasti tidak subur. Untuk mengatasi “gangguan” kesuburan tanah semacam ini, temuan petani Kentang di lereng tinggi Tengger dengan membuat erosi terselubung, artinya guludan melorot (dilorotkan) ke bawah hingga sekarang.

Bila kita pertimbangkan secara keseluruhan, maka berapa hectare tanah di atas yang ditanam Kentang dan berapa hasil umbi Kentang setiap tahun bisa dihasilkan, dibandingkan dengan kehilangan panen dari lahan padi di bawahnya yang harus hilang karena banjir ? Sungguh tidak seimbang menurut perhitungan saya.
Hal semacam ini mestinya ada jalan keluar yang rinci dan diikuti dengan kesadaran menyelamatkan lingkungan. Sebisa mungkin tidak merugikan produksi pangan di Kapubaten Pasuruan dan Kabupaten Probolinggo secara keseluruhan.

Lain lagi dengan lereng Gunung Api model  Gunung Merapi-Jawa Tengah, di samping lereng atas yang terlalu terjal untuk bertani, juga dilanda bahaya setiap saat dari awan panas (wedhus gembel), jadi petani  berani bekerja di lereng tidak lebih tinggi.

Lain dari petani kentang di lereng Bromo, para petani di lereng Merapi lebih mawas, apa yang mereka  kerjakan ?  Untuk mengimbangi ketambahan abu dan pasir halus setiap saat membuat  lapisan atas dari tanahnya, petani mengumpulkan sampah dari sekitar Boyolali untuk diangkut ke tegalannya dengan menggendong berjalan terseok-seok, dengan ketelatenan yang luar  biasa, sampah-sampah organik digunakan sebagai pupuk organik, rupanya mereka para petani di seputar Merapi sudah mengerti cara mengkomposkan dedaunan sampah pasar.

Bayangkan, berapa desa di lereng Gunung Api yang aktif di seluruh Nusantara ini, di mana top soil (lapisan tanah paling atas)-nya makin mundur kualitasnya, gara-gara ketambahan jatuhan abu dan pasir halus terlalu sering ?

Mereka para petani seputar lereng Merapi tidak se-egois (secara tidak sadar) seperti petani Kentang di Tengger, akan tetapi mengerti bahwa satu-satunya jalan untuk memperoleh kesuburan tanahnya kembali hanya dengan menambah pupuk organik? 

Apa mereka sekali lagi harus terseok-seok mengangkut dedaunan sampah pasar dari bawah ? Lha iya, di Boyolali air saluran masih banyak dan deras, apa ndak bisa untuk nencuci sampah pasar ? Dedaunan bersih dipisahkan dari sampah plastik dan sampah keras lainnya, trus dicacah kayak cara Bu Risma Wali Kota Surabaya. Kemudian dijadikan kompos untuk subsidi petani tegalan di lereng bawah Gunung Merapi, itu gunanya orang membayar pajak.
Lha sekian juta metrik ton dedaunan limbah deforestasi ganas HPH resmi (atau HPH nyuri), apakah jadi ikut teria-sia, terbuang percuma, bahkan setelah hutannya amblas ?  Ratusan Ha sehari hutan amblas, dibabat menggunakan chain saw dan alat alat berat ? Paling tidak menurut saya, yah sisakanlah dedaunan sisa pembabatan hutan ratusan ribu hektar itu untuk kompos, untuk pupuk organik. Kalau hutannya ? ya sudahlah memang nasib bangsa ini akan kehilangan semua hutan potensialnya, itu pasti, karena permintaan kayu dalam negeri dan permintaan kayu Dunia sendiri menyegerakan kita kehilangan Hutan, ini mungkin takdirnya.
Tapi, apakah tidak wajib bagi mereka (para pembabat hutan) mengangkut kompos ke lahan-lahan lereng tinggi Gunung Api kita yang terpaksa jadi lahan menyambung hidup petani kita ? Cobalah renungkan wahai kaum yang berpikir.
 Sebaliknya di seputar Jakarta, Bogor-Hambalang-Puncak malah jadi hutan beton dan atap rumah, air jatuh di tanah sudah berupa sungai kecil yang dengan mudah mengupas tanah. Ketahuilah wahai kaum yang berpikir, kan berarti ini otomatis air mengucur ke bawah lebih cepat dari kemampuan tanah untuk menyerapnya,  ya akhirnya banjir di Jakarta, beserta lumpurnya,  ya to ? (*)

By : Ide Subagyo

Rabu, 12 Desember 2012

TENGUK-TENGUK NEMU KETHUK, MLENUK SMARGI-MARGI ISINE KENCONO ABYOR


Terjemahan Bahasa Indonesianya : Tanpa upaya, menunggu dengan santai, kok menemukan kethuk (alat musik Jawa seperti periuk dari kuningan/bronze memukulnya terbalik) bertebaran sepanjang jalan berisi harta perhiasan emas mencorong.

Ini adalah satu bait dari ramalan R. Ng, Ranggawarsito, Pujangga Keraton Surakarta yang hidup pada akhir abad ke-18. Dalam “Serat Jaka Lodhang”  ikatan syair dalam Bahasa Jawa. Pada pokok isinya Serat Jaka Lodhang ini meramalkan Perjuangan Kemerdekaan Nusantara, lha bait ini yang artinya orang meraba-raba saja, dan hanya diam, sebab sulit untuk ditafsirkan, tanpa menyinggung “sara” (suku, agama, ras).

Jaman Penjajahan dulu ada empat golongan penduduk Hindia Belanda, Golongan ke I atau Golongan Utama adalah Bangsa Belanda dan yang diakui sederajad dengan Bangsa Der Nederlander, dari Europa dan Amerika, Golongan Kelas ke II adalah Bangsa Timur Asing, berasal dari Asia tapi diakui sebagai Negara Merdeka seperti Jepang, China Dan Arab. Golongan III adalah kaum Priyayi, keturunan bangsawan pribumi, dan keempat adalah : Rakjat Djelata.

Ini tidak ditulis di Mata Pelajaran apapun di pembelajaran generasi penerus kita. Tapi ini nyata dalam sejarah Indonesia.
Mungkin ada dalam bab yang memberi contoh bagaimana Penjajah memecah-belah penduduk dan kekuatan ekonominya dari penghuni negeri jajahan Hindia Belanda.
Pemecah belahan antara golongan ini begitu mendalam sehingga meliputi Hak Hukum Sipil, antara lain hak lebih tinggi dalam masyarakat ter-segregasi, mulai dari kelas di Gerbong Kereta Api, di mana bangsa Tuan-Tuan Londo berhak untuk naik Gerbong Klas I dan Gerbong Klas II, dan Pribumi tidak. Sampai pada hak milik atas tanah. Belanda memang jago politik apartheid (pemisahan penduduk), contohnya di Afrika Selatan yang juga kolonial Belanda, politik Apartheid baru saja usai.

Para Hollanders dan yang sederajad bangsa Europa dan Amerika mempunyai hak “Eigendom” (Inggrisnya a “real estate”) yaitu  hak atas tanah di Hindia Belanda, yang kemutlakannya dilindungi pemerintah Kolonial,  diperuntukkan juga bagi golongan bangsa Timur Asing yaitu : Jepang, China, dan Arab, dan sesudah dibeli dari pribumi masih harus dibeli lagi dari Pemerintah Hindia Belanda.

Sedangkan untuk Pribumi hanya boleh punya Hak “Yasan” dicatat hanya di Kelurahan, tidak di Jawatan Pertanahan Kolonial yang namanya Kadaster, tidak perlu surat ukur dari Jawatan Kadaster (Jawatan Pertanahan zaman Kolonial)

Tentu saja mayoritas penghuni Hindia Belanda adalah kaum Pribumi yang terdiri dari ratusan suku bangsa, ratusan bahasa dan dialek bahasa Melayu, dari seluruh Nusantara yang dulu dinamakan Nederlands Indie.

Bisa dibayangkan yang ‘tenguk-tenguk’ (terjemahan bebasnya : paling nyantai, nothing to loose) di antara empat golongan penduduk Nederlands Indie ini pada zaman geger Kemerdekaan Bangsa Indonesia siapa? Dari golongan mana ?

Yang jelas, sesudah 10 Nopember 1945, tahun 1946 Kota Surabaya jadi kota mati, rumah gedung di jalan raya bagian kota terbaik yang didiami para Opsir Nippon kosong, kantor dan pabrik sepanjang Kalimas jalan Ngagel ditinggalkan, siapa yang nemu seluruh kota yang kosong ini ?

Ya, dalam sejarah sudah jelas mereka adalah penduduk keturunan China yang berani mendiami rumah ex rumah tuan-tuan Belanda yang ditinggalkan penghuninya, entah mati, entah tidak mau kembali, atau dibeli dengan harga murah karena bangsa Europa lari balik ke Benuanya. Pada waktu itu ada Jawatan Pendudukan Belanda yang namanya Versluis, menerima ganti harga bagi yang telah tidak kembali, sedang mesin mesin pabrik sepanjang Jalan Ngagel dibongkar dan dijadikan milik para keturunan Imigran China yang 'tenguk-tenguk' di kota nemu semua ini untuk ikut dalam upaya Belanda menghidupkan ekonomi daerah Pendudukan Surabaya. Berapa nilai seluruh kota dan pabrik-pabriknya ini ?

Apakah ini bukan kethuk mlenuk samargi-margi isine kencana abyor ?

Ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengungkit ungkit hal-hal yang merupakan “sara” tapi meluruskan sejarah yang harus diterima dengan lapang dada. Kan memang dalam tatanan ekonomi yang jelas pertama adalah survival of the fittest atau survive bagi yang kuat dan yang ‘dapat duluan’.

Bila golongan orang Belanda atau indonya (blasteran dengan Pribumi) kok tidak repot-repot mau merdeka.Ya maklum.

Sementara golongan Suku Arabia imigran dari Timur Tengah yang sudah jadi tuan tanah beneran di seluruh sawah dan desa di Timur Surabaya tidak repot-repot, malah nunggu kembalinya zaman Kolonial Belanda, kecuali golongan Arabia yang perjuangannya sejajar dan mendukung perjuangan kemerdekaan golongan Islam Pribumi,  karena golongan Arabia ini kebetulah juga berjuang melawan Penjajahan Turki. Maka ada Golongan Arabia yang juga membantu perjuangan Republiken.

Sedangkan untuk bangsa Jepang, yah, mereka sedang sibuk mempersiapkan mencaplok seluruh Asia, jadi yang mengembara di Nederlands Indie semua adalah kolone ke lima Kekisaran Nippon.

Untuk Kalangan China ?

Lha ini yang repot dalam golongannya sendiri yang berdiaspora ke berbagai wilayah termasuk ke Indonesia, yang ternyata juga terpecah-belah nggak karuan. Golongan China totok paling sedikit terpecah jadi dua golongan atau tiga golongan, golongan yang pro Kuo Min Tang sebelum ngungsi ke pulau Taiwan dan sesudah ngungsi, golongan yang Pro China komunis dan golongan yang kental menyatu dengan kaum Pribumi karena tinggal di desa-desa, golongan ini kadang sangat intellect kadang menjadi penduduk desa seperti di kawasan Benteng, Banten dan  Kalimantan Timur.

Dan ada golongan yang pro Belanda ini golongan China keturunan yang merasa biasa menikmati perlakuan Pemerintahan Kolonial Belanda dan terbukti dari mereka ini banyak yang kembali ke Negeri Belanda waktu tahun 1952 sewaktu Uni Indonesia –Belanda dibubarkan oleh Bung Karno.

Golongan yang terakhir ini ada yang pulang ke Nederlands ada yang tetap tinggal di Indonesia dengan  motivasi perpikir ke depan untuk peluang dagang. (Ada yang jadi pengimport timah hitam Pb berprosentase sangat tinggi, untuk accu mobil secara monopoly dari Australia mulai zaman Orde Baru, lebih kurang mereka komponen Orde Baru)

Sedikit di antara keturunan China dan China Totok, yang sadar akan politik global. Maupun lokal, mereka malah bergiat dalam pilitik menerbitkan Koran 'Keng Po' dan 'Sin Po' menerbitkan salah satu majalah terbaik di Indonesia “Star Weekly.” Mereka ikut mencetak nasionalisme para Republikan Negara ini.

Mereka ini lah kaum China yang sering mau “cawe-cawe” (bahasa Jawa) artinya membantu perjuangan  kemerdekaan bangsa Indonesia.

Jaman Bung Karno kita pernah punya Menteri Kabinet, Ong Eng Die, seorang Doktor.  Ong Hok Ham yang sejarawan. Sekarang kita punya Kwik Kian Gie yang juga Doktor.
Tapi, terutama, memperbesar kekuatannya dengan dagang adalah ambisi umum dari motivasi mayoritas golongan ini
Golongan China totok dan keturunannya dengan wanita pribumi, hampir tidak ada bedanya, dagang adalah  Profesi mereka yang mendasar, seperti suku suku di Nusantara yang lain yang mengambil profesi “dagang” adalah sama saja “attitude” nya terhadap masyarakat.

Memang umat manusia sudah dari asalnya setiap individu terbelah menjadi dua watak yaitu watak individualis dan watak berkelompok yang tak terpisahkan, malah kadang pedagang yang pribumipun lebih “nakal”.
Hanya kecenderungan ini bentuknya saja berbeda beda. Profesi berdagang  sangat dipengaruhi oleh belahan individualism, apa tidak ada watak berkelompok ?
Ada, para pedagang selalu membentuk masyarakat kecil yang sangat erat hubungannya disertai dengan etika tersendiri, tetep saja tujuannya membentuk “Kartel” yang jiwanya individualis sekali.
Apa ada watak communal yang tertuang dalam “Bangsa” misalnya ?

Inilah kelemahannya dari watak dagang – ternyata tidak ada watak komunal yang tertuang dalam dagang dalam ukuran “Bangsa” “ras”  bahkan “kemanusiaan” sebagai ideal. Ras hanya untuk kepentingan keuntngan semata.  Misalnya berdagang dengan cara consignment (konsinyasi – bayar belakang, sesama golongan dirasa lebih aman).
Bentuk ideal adalah individunya sendiri, yang terjamin secara materi sampai ke anak cucunya.
Artisan boleh dikata sangat cenderung ke  individualis sejati.
Begitu juga profesi tukang, petani, guru, dalam diri mereka watak juga terbelah menjadi dua, individualis dan watak bermasyarakat, hanya golongan profesi ini lebih condong untuk menikmati kehidupan bermasyrakat dari kehidupan individual. Mereka membutuhkan masyarakat untuk bekerja sama menyelamatkan individunya.
Golongan China dan keturunan campurannya dengan wanita pribumi tidak luput dari dikotomi watak dalam dirinya masing-masing, hanya kecenderungan untuk individualistik-nya sangat besar.
Sulit bagi mereka untuk mengerti apa yang dinamakan “bangsa” itu, meskupun dalam iklan bertubi- tubi seorang Fabrikant menganjurkan mencintai produk-produk Indonesia, sebagai pembeli.
Aku kenal baik dengan seorang Nyonya, keturunan China, dia sepuluh tahun lebih tua dari saya, dari dulu jadi penjual produk usaha pertanian,  umum, apalagi petani kebun sayur di kotaku menyebut dia Nyonya Bibit, sebab antara jualannya adalah bibit sayuran dan pupuk buatan Pabrik. Tokonya di pusat kota, tapi dekat dengan kebun kebun sayur jaman sebelum perang dunia.
Zaman keemasan tiba (dia nemu kethuk), Pemerintah Orde Baru memberi subsidi pupuk dan Pestisida kepada Petani terutama petani pangan ( Jaman Bimas- Bimbingan Intensifikasi Massal) pada  dasarnya selama 18 tahun Orde Baru Berkuasa. Subsidi pupuk Urea dan TSP hingga 50 % dari harga import dan untuk pestisida (Insectida segala merek dan fungicida segala merek 80%) dengan jumlah peredaran yang meliputi seluruh Indonesia, menyangkut uang negara trilliunan rupiah. Nyonya Bibit dan anaknya tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, mereka seperti pedagang yang lain bersahabat dengan kepala sebuah BUMN (waktu tahun 1970-an) yang merupakan Sole Distributor dari barang-barang sarana petanian dari Bimas Propinsi, mengambil oper (tentu saja dengan uang harga subsidi tambah 15% untuk bagi bagi- kemudan pada musim hama dijual dengan harga 200 % dari harga subsidi karena ada permintaan besar dari bawah, dengan adanya hama yang cocok secara massal- tepatnya di beli dengan kong-kalikong dengan BUMN pada era tahun 1970-an itu harga 2.300 rupiah per botol 0,5liter rata rata dan dijual dengan harga 4.000 -6.000 rupiah insectisida favorit sekian ratus ribu liter yang distock oleh si Nyonya, hampir seluruh rumah YKP (Perumahan dari Pengembang Yayasan Kas Kota Madya) adalah gudangnya, sekaligus miliknya.
Bayangkan Nyonya ini lulusan HBS (Sekolah Menengah Atas untuk para sinyo dan nonik) langitnya pendidikan zaman Kolonial dan berhak untuk masuk Perguruan Tinggi di Negeri Belanda).
Dia tahu betul, memperdagangkan barang subsidi Negara adalah haram bagi Warga Negara yang baik.
Namun ya karena ‘insting’ dagang, maka dia dengan bangganya melakukan ini tanpa malu-malu. Selanjutnya dia dan anak anaknya tetap jadi Magnate bussiness  yang terhormat sampai saat ini. Inilah jiwa pedagang.
Begitupun di AS perang Dunia ke-II berkecamuk antaran Inggris dan Perancis yang dilindas oleh Jerman Hitler, namun beberapa pedagang bahan bakar diesel Amerika serikat konon tetap mensuplai kapal selam Jerman di tengah laut Atlantic jutaan liter, kok bisa ya, ini terjadi setelah menjelang Perang Dunia I kapal penumpang Lucitania- berbendera Amerika ditenggelamkan oleh U-boat Jerman. Kemudian pada awal perang Dunia I  Amerika tidak turut Perang, tapi banyak warganya yang menjadi sukwan AU-AD  di Inggris dan Perancis.

Ini baru satu dari puluhan yang lain yang memperdagangkan pestisida dan pupuk subsidi, lha kayak BBM, pharmaceutical, dan alat kedokteran, yang sampai sekarang masih jadi belanjaan Negara ?
Saya tidak bicara mengenai  “sara” tapi kenyataan “attitude” dagang, dan patriotisme bernegara  ternyata jauh, bagi pedagang tidak peduli dari ras dan suku apa.
Saya juga belajar menganggap 'wajar' meski setengah mati mual, mengenai perilaku Nyonya besar Hartati Murdaya Poo dengan uangnya yang tiga milliard untuk mendapatkan 75.000 ha, Hak Guna Usaha dari Bupati Buol Sulawesi Timur, “dumeh” dia dekat dengan keluarga Penguasa dan Anggauta Dewan Pembina Partai yang berkuasa.
Jika belajar dari sejarah, ternyata tidak hanya sebagain kaum Imigran saja yang dulu senang hati bekerja sama dengan penjajah, namun Pribumi juga ada, bahkan itu Patih Danuredjo berani melawan Pangeran Diponegoro, melawan junjungannya sendiri. Dan ingatlah kita semua bahwa Pangeran Diponegoro ditangkap secara curang oleh penjajah Belanda, -entah kisah nyata ini masih ada dalam buku sejarah anak-anak atau sudah dihapus dari kurikulum nasional-, tapi yang jelas, Pangeran Diponegoro diundang untuk berunding, tapi  oleh Belanda justru ditangkap dan dibuang ke Fort Rotterdam di Makassar. 

Saya pernah melihat sel Pangeran Diponegro di Fort Rotterdam di Makasar ini, sel penjaranya sempit sekali, tidak bisa untuk orang berdiri, maka saya bisa membayangkan penderitaan Pangeran Diponegoro di bilik penjara yang tingginya hanya semeter  itu. Beliau hanya bisa membungkuk, duduk, bersila, dan berbaring selama di Penjara itu.

Menilik sejarah kita, adalah satu pekerjaan rumah (PR) yang sangat penting untuk segera dikerjakan sekarang, adalah menanam patriotisme Keindonesiaan sebagai satu Nation yang sedang mensejahterakan rakyatnya yang lain yang masih sangat terbelakang dan miskin,  di samping apartment mereka yang wah, yang saban hari ditawarkan dan dipamerkan di TV, bagi mereka kelompok etnis atau suku atau golongan apa saja, yang cenderung suka berdagang kayak yang dilakukan di Republik Indonesia ini, apa mereka cepat atau lambat menciptakan Camboja ke II?

Note: Susanto Kasdi Dirut P.T Pertani, BUMN yang saya sebut diatas telah masuk penjara karena merupakan biang keladi skandal ini, kalaupun beliau belum mati sekarang sudah menikmati kekayaannya dengan santainya, beliau yang juga nemu kethuk. (*)


Rabu, 05 Desember 2012

PESUGIHAN – MENJADI KAYA DENGAN PERTOLONGAN SETAN


Sejak kapan kepercayaan aneh ini menjangkiti manusia ?, sungguh merupakan study yang serious.
Dulu masih zaman penjajahan, seingat saya asal ada seseorang pribumi, tiba-tiba mendadak menjadi kaya raya dan tidak dimengerti sebab musababnya oleh pikiran sederhana dari masyarakat, sudah mesti dianggap perbuatan supra natural. Yakni menimbulkan kasak-kusuk orang jaman dulu : “Lha kok itu Si Anu terus tiba-tiba kaya mendadak, wah pasti kekayaan si Anu adalah kekayaan tidak halal. Dan perolehan itu dibantu makhluk halus, lha masak kok cepet banget jadi kayanya ?”. Begitulah benak manusia Indonesia (jaman dulu) lebih simpel cara berpikirnya, terutama menanggapi adanya orang yang jadi kaya mendadak, maka rakyat langsung menduga bahwa hasil kekayaan itu ‘gaib’, dan pastinya dengan pertukaran nyawa orang dekatnya. Simpel.

Segala bangsa kuno atau inteligensianya masih kuno, tentu menyangkutkan dan menghubungkan kekuatan supra natural atau makhluk berkekuatan supra natural. Entah itu dewa, apa itu setan, atau jin, apapun bentuknya yang tersirat dalam pikirannya yang sederhana.

Saya yakin bahwa kepercayaan ini ada di seluruh bangsa-bangsa di Dunia ini, tanpa dipengaruhi satu sama lain.

Biasanya urut-urutan ceritanya begini : Ada sesama penduduk suatu kampung atau desa, kemudian di pojok kampung yang tidak begitu diindahkan oleh para tetangga, kok tiba-tiba dan mendadak Si Anu lalu membangun rumah, trus beli kendaraan dan hidup mewah. Kaya mendadak.

Dan urutan kisah susulannya adalah, adakalanya (kebetulan) seorang anggauta keluarganya atau pembantu rumah tangga lantas meninggal.  Jika ada anggauta keluarga si Kaya mendadak itu,  tiba-tiba dan mendadak mati, kemudian tahun berikutnya ada lagi yang mati, nah barulah orang kampung mulai bergunjing. “Wah pasti mereka yang mati dijadikan “wadal” atau jiwanya dijadikan pengganti jerih payah si Syaithan atau raja makhluk halus, yang membantu mencarikan kekayaan keluarga itu,” begitulah benak rakyat Desa (jaman dulu) yang simpel.

Anehnya, di Nusantara ini, cerita itu menjadi sangat bermacam-macam ‘genre’ nya, sepertinya setiap tempat ada tempat mencari pesugihan, dan mesti tempatnya ‘menyeramkan’, legenda ini ada di semua tempat di Nusantara.  

Kita mungkin pernah mendengar cerita macam itu itu di seantero Nusantara, tapi tidak memperhatikan pelakunya benar-benar ada, apa karangan saja.

Cerita yang beginian selalu jadi bahan cerita para Pembantu Rumah Tangga yang lagi asyik bergunjing dengan majikannya, karena mereka sebetulnya sama, hanya statusnya kebetulan lain.

Yang jelas di media yang resmi, umpamanya di film, terutama tontonan program Sinetron TV  juga kisah ini paling ‘laris’,  dalam artikel majalah juga ada. Dan yang saya tahu, di “Serat Centini” yang pernah resmi menjadi “Almanak” orang Jawa yang terkenal di abad yang lalu juga kisah ‘pesugihan’ ini ada.

Tidak hanya di Nusantara, kisah ‘gaib’ macam begini juga ada di Amerika, dihimpun nyelip didalam kumpulan ceritera pendek dari cerita rakyat, sebuah ceritera mengenai seorang Pengacara yang namanya Daniel Webster. Alkisah Daniel berhasil membela jiwa (soul) orang  Petani yang ditagih janji menyerahkan jiwanya pada syaitan. Pengacara yang namanya dikisahkan Daniel Webster itu berhasil membela petani, karena bisa menyentuh hati para Jury yang bekas penjahat kelas kakap semua. Kebetulan si Devil (saithan) ini menghadirkan juri-jurinya  dari neraka.

Dalam cerita rakyat Amerika ini dikisahan bahwa si petani miskin terpaksa menjual jiwanya pada Si Devil karena, kepepet. Nah si Devil ini mau menagih Jiwa si petani, dengan mengerahkan juri-juri dari koleksi penghuni neraka. Namun mendengar pembelaan Daniel Webster si pencacara, para juri yang berasal dari  penghuni neraka itu ingat bahwa itu adalah mirip kisah mereka sendiri, yang karena kemiskinan dan kepepet lalu menjual jiwanya pada Si Devil.

Para juri itupun terharu, dan sebelum fajar menyingsing mereka (para juri) itu mengeloyor pergi, tanpa keputusan.
Maka dalam cerita itu tinggallah sang syaitan sendiri dan Daniel Webster, pembela demi Hukum menyatakan si Petani bebas, dan sang Syaithan disereruduk domba jantan milik sang Pengacara.  Ini lah kisah folklore, kisah dongeng yang cukup terkenal di Amerika.

Sedangkan mirip dengan kisah pesugihan di belahan negara manapun, di Nusantara mulai jaman Kemerdekaan, mulai terlalu banyak datang bermunculan di kampung kampung di desa-desa, orang kaya dadakan. Sehingga si juru dongeng ketinggalan ceritera, atau kehabisan ceritera, saking banyaknya kasus ini, Yang tetap jadi tanda tanya hanya satu, yaitu asal usul kekayaannya ? Lho kok kaya mendadak, apakah benar pakai pesugihan Setan, atau ada sebab musabab yang lain ?

Ada perbedaan memang, bila jaman yang lalu atau pemikiran zaman yang lalu, orang kaya  baru (OKB) yang menyolok itu mysterious, dan segera dijauhi tetangga, kayak penyakit.  Apalagi bila ada  anggouta keluarganya yang mati entah karena apa, bahkan dikasih makanan selamatan saja meskipun enak dan menarik malah tidak dimakan, saking warga khawatir dijadikan wadal.

Tapi zaman sekarang, sekali lagi ini jaman sekarang saudaraku, jaman melek teknologi, jaman facebook.  Lha para OKB dan OKM (Orang Kaya Mendadak) ini malah jadi pusat glamour, pusat kebudayaan warga. Karena sang OKB dan OKM ini sering mengadakan acara religius derma, dengan mengundang  para pemuka Agama kondang ditemani oleh para tokoh masyarakat dari unsur apa saja, yang didatangkan khusus untuk meramaikan suasana, yang pasti ratusan juta ongkosnya, malah jadi populer dan dibanggakan oleh tetangganya. Yang pasti orang ini pastinya tidak minta bantuan setan, mungkin telah jadi Caleg atau Balon Kepala Daerah.

Kalau dulu di desa-desa dan dikampung  kampung “track record” setiap anggautanya tidak sangat bervariasi, jadi menonjolnya ekonomi seseorang jadi mencurigakan (hampir pasti dicibir sebagai pengikut syaitan atau tuyul atau babi ngepet dsb,) yang masuk akalnya orang kampung, maka sekarang setiap preman besar atau kecil (pelaku  the migh is right) menanam kekayaannya di kampungnya, atau desanya, no problem, wong orang kampung juga sudah ngerti asalnya sulapan ekonomi ini,  berkat sering bikin kegiatan  religius amal derma yang meriah (ya kegiatan ini kan musuhnya setan) akan menetralisir track record yang miring. (Apa dikira syaithan tidak bisa tampil berderma, dan menyamar jadi  religius dan nyanyi ? padahal itu Cuma tipuan di bibir?)

Makanya jangan heran bila seorang –yah misalnya saja- atau katakanlah begitu- Sang Bupati Kepala Daerah Garut, melaksanakan credonya  orang desa dan orang kampung- the might is right, kemudian karena ‘the might is right’ ini dia terus mengawini gadis belia hanya empat hari, trus dicerai, yang syah-syah saja menurut Pengadilan  Agama bawahannya. 
Hebatnya dia juga bisa menjelaskan di TV bikin pernyataan bahwa kebenaran ada di sisinya, mungkin nanti putusan Pengadilan Negeri juga bebas murni.

Jangan heran ya, (tapi diam-diam sebanarnya sungguh saya heran setengah mati, kenapa ya makhluk kayak gitu, ya, haduh... lha kok kenapa bisa terpilih jadi Bupati Kepala daerah ya?).

Pikir saya sekarang, kenapa ya  orang se-kabupaten Garut tidak menganggap modalnya terpilih jadi Bupati Garut dari bangsanya bantuan lelembut atau alam gaib ya ? Kan mungkin saja itu orang kaya mendadak, kan ? Lho kan biasanya orang Nusantara itu kalau melihat orang yang tiba- tiba kaya luar biasa, curiga jangan-jangan  gaib?

Tapi ini ceritanya lain, karena masyakarat di tempat Garut saya lihat sudah tidak percaya ada kekayaan bantuan  supra natural dan kekayaan alam gaib. Yang pasti kekayaan kepala daerahnya adalah sah-sah saja. Bahkan mungkin saja rakyat Garut yakin sekali bahwa kekayaannya Sang Bupati adalah bantuan Tuhan, sehingga Tuhan merestui dirinya jadi kepala daerah. Bahkan sang Kepala Daerah itu pun sudah berhasil meyakinkan rakyatnya bahwa yang dilakukannya yaitu mengawini gadis belia (belia sekali), kemudian menceraikannya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, -mungkin sebabnya adalah bau mulut si belia (konon katanya)-, itu juga sudah ijin Tuhan juga, Tuhan mau suka atau ndak, emang gue pikirin, yang penting kan sah?.

Lha iya, wong sekarang orang sudah pada ngerti, setan itu kan sekarang diantara kita sendiri  kok, malah sering unjuk muka di TV untuk disiarkan ke seluruh Indonesia.
Yang ini, credo orang desa dan credonya orang kampung, bahwa 'the might is always right',  nyatanya lebih hebat dari Sjaitan sendiri.

Di sisi lain Indonesia sekarang sedang mengalami Bencana Tsunami Korupsi tak berkesudahan, Banjir bandang Korupsi terus-menerus. Saya pikir-pikir Korupsi ini mestinya dikategorikan oleh literaratur kebudayaan Nusantara sebagai jenis pesugihan baru. Karena pelakunya terbukti jadi kaya mendadak, meskipun rata-rata Koruptor ngakunya sudah kaya sejak nenek moyangnya. Tapi coba saja diaudit secara jujur.

Kemudian apakah fenomena Korupsi ini minta bantuan setan ? Saya kira saya mesti bilang iya, karena pelaku Korupsi telah menerima bujukan setan (was-was) dalam hatinya yang mendorongnya berkorup-ria. (*)

(Sekali lagi kisah ini adalah dongengan reka saya sendiri, dongengan orang tua pada cucunya menjelang tidur supaya tidurnya tak dinganggu Syaithan, karena saya yakin pesugihan  Si Syaitan jaman sekarang ini adalah  : korupsi gila-gilaan, ini saya namakan 'korupsi kalap', yakni perilaku korupsi seolah-olah Sang Korup hidup selamanya, Korupsi Panik : dalam arti korup sekarang, karena kapan lagi ada kesempatan, mumpung menjabat ? ya leluasa mengembat, penilepan uang negara besar-besaran, penilepan uang rakyat hebat-hebatan, manipulasi proyek sekehendak hati, manipulasi jabatan sepuas syahwatnya, menyuap secara bebas, menerima suap secara asyik ajah, bersekongkol kayak makan jengkol, menyunat hak orang lain, dan mengumpukan harta dengan jalan di luar ketentuan Tuhan. Yang susah, kalau ternyata orang jaman sekarang (jaman akhir) ini sudah bingung, yang mana ya ketentuan Tuhan itu sebenarnya ?, kok kelihatannya semua sah-sah saja yah, asal gelimang harta di dunia, maka itu baik, get rich or die tryin' , Apalagi pikir sang korup : Tuhan kan Maha Pengampun, bereslah.
  Haduh cucuku... naudzubillahi min dzalik... tidurlah engkau yang nyenyak ya, jadilah anak jujur pada hati nuranimu, mbah ndongeng lagi besok malam...)

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More