Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Rabu, 12 Desember 2012

TENGUK-TENGUK NEMU KETHUK, MLENUK SMARGI-MARGI ISINE KENCONO ABYOR


Terjemahan Bahasa Indonesianya : Tanpa upaya, menunggu dengan santai, kok menemukan kethuk (alat musik Jawa seperti periuk dari kuningan/bronze memukulnya terbalik) bertebaran sepanjang jalan berisi harta perhiasan emas mencorong.

Ini adalah satu bait dari ramalan R. Ng, Ranggawarsito, Pujangga Keraton Surakarta yang hidup pada akhir abad ke-18. Dalam “Serat Jaka Lodhang”  ikatan syair dalam Bahasa Jawa. Pada pokok isinya Serat Jaka Lodhang ini meramalkan Perjuangan Kemerdekaan Nusantara, lha bait ini yang artinya orang meraba-raba saja, dan hanya diam, sebab sulit untuk ditafsirkan, tanpa menyinggung “sara” (suku, agama, ras).

Jaman Penjajahan dulu ada empat golongan penduduk Hindia Belanda, Golongan ke I atau Golongan Utama adalah Bangsa Belanda dan yang diakui sederajad dengan Bangsa Der Nederlander, dari Europa dan Amerika, Golongan Kelas ke II adalah Bangsa Timur Asing, berasal dari Asia tapi diakui sebagai Negara Merdeka seperti Jepang, China Dan Arab. Golongan III adalah kaum Priyayi, keturunan bangsawan pribumi, dan keempat adalah : Rakjat Djelata.

Ini tidak ditulis di Mata Pelajaran apapun di pembelajaran generasi penerus kita. Tapi ini nyata dalam sejarah Indonesia.
Mungkin ada dalam bab yang memberi contoh bagaimana Penjajah memecah-belah penduduk dan kekuatan ekonominya dari penghuni negeri jajahan Hindia Belanda.
Pemecah belahan antara golongan ini begitu mendalam sehingga meliputi Hak Hukum Sipil, antara lain hak lebih tinggi dalam masyarakat ter-segregasi, mulai dari kelas di Gerbong Kereta Api, di mana bangsa Tuan-Tuan Londo berhak untuk naik Gerbong Klas I dan Gerbong Klas II, dan Pribumi tidak. Sampai pada hak milik atas tanah. Belanda memang jago politik apartheid (pemisahan penduduk), contohnya di Afrika Selatan yang juga kolonial Belanda, politik Apartheid baru saja usai.

Para Hollanders dan yang sederajad bangsa Europa dan Amerika mempunyai hak “Eigendom” (Inggrisnya a “real estate”) yaitu  hak atas tanah di Hindia Belanda, yang kemutlakannya dilindungi pemerintah Kolonial,  diperuntukkan juga bagi golongan bangsa Timur Asing yaitu : Jepang, China, dan Arab, dan sesudah dibeli dari pribumi masih harus dibeli lagi dari Pemerintah Hindia Belanda.

Sedangkan untuk Pribumi hanya boleh punya Hak “Yasan” dicatat hanya di Kelurahan, tidak di Jawatan Pertanahan Kolonial yang namanya Kadaster, tidak perlu surat ukur dari Jawatan Kadaster (Jawatan Pertanahan zaman Kolonial)

Tentu saja mayoritas penghuni Hindia Belanda adalah kaum Pribumi yang terdiri dari ratusan suku bangsa, ratusan bahasa dan dialek bahasa Melayu, dari seluruh Nusantara yang dulu dinamakan Nederlands Indie.

Bisa dibayangkan yang ‘tenguk-tenguk’ (terjemahan bebasnya : paling nyantai, nothing to loose) di antara empat golongan penduduk Nederlands Indie ini pada zaman geger Kemerdekaan Bangsa Indonesia siapa? Dari golongan mana ?

Yang jelas, sesudah 10 Nopember 1945, tahun 1946 Kota Surabaya jadi kota mati, rumah gedung di jalan raya bagian kota terbaik yang didiami para Opsir Nippon kosong, kantor dan pabrik sepanjang Kalimas jalan Ngagel ditinggalkan, siapa yang nemu seluruh kota yang kosong ini ?

Ya, dalam sejarah sudah jelas mereka adalah penduduk keturunan China yang berani mendiami rumah ex rumah tuan-tuan Belanda yang ditinggalkan penghuninya, entah mati, entah tidak mau kembali, atau dibeli dengan harga murah karena bangsa Europa lari balik ke Benuanya. Pada waktu itu ada Jawatan Pendudukan Belanda yang namanya Versluis, menerima ganti harga bagi yang telah tidak kembali, sedang mesin mesin pabrik sepanjang Jalan Ngagel dibongkar dan dijadikan milik para keturunan Imigran China yang 'tenguk-tenguk' di kota nemu semua ini untuk ikut dalam upaya Belanda menghidupkan ekonomi daerah Pendudukan Surabaya. Berapa nilai seluruh kota dan pabrik-pabriknya ini ?

Apakah ini bukan kethuk mlenuk samargi-margi isine kencana abyor ?

Ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengungkit ungkit hal-hal yang merupakan “sara” tapi meluruskan sejarah yang harus diterima dengan lapang dada. Kan memang dalam tatanan ekonomi yang jelas pertama adalah survival of the fittest atau survive bagi yang kuat dan yang ‘dapat duluan’.

Bila golongan orang Belanda atau indonya (blasteran dengan Pribumi) kok tidak repot-repot mau merdeka.Ya maklum.

Sementara golongan Suku Arabia imigran dari Timur Tengah yang sudah jadi tuan tanah beneran di seluruh sawah dan desa di Timur Surabaya tidak repot-repot, malah nunggu kembalinya zaman Kolonial Belanda, kecuali golongan Arabia yang perjuangannya sejajar dan mendukung perjuangan kemerdekaan golongan Islam Pribumi,  karena golongan Arabia ini kebetulah juga berjuang melawan Penjajahan Turki. Maka ada Golongan Arabia yang juga membantu perjuangan Republiken.

Sedangkan untuk bangsa Jepang, yah, mereka sedang sibuk mempersiapkan mencaplok seluruh Asia, jadi yang mengembara di Nederlands Indie semua adalah kolone ke lima Kekisaran Nippon.

Untuk Kalangan China ?

Lha ini yang repot dalam golongannya sendiri yang berdiaspora ke berbagai wilayah termasuk ke Indonesia, yang ternyata juga terpecah-belah nggak karuan. Golongan China totok paling sedikit terpecah jadi dua golongan atau tiga golongan, golongan yang pro Kuo Min Tang sebelum ngungsi ke pulau Taiwan dan sesudah ngungsi, golongan yang Pro China komunis dan golongan yang kental menyatu dengan kaum Pribumi karena tinggal di desa-desa, golongan ini kadang sangat intellect kadang menjadi penduduk desa seperti di kawasan Benteng, Banten dan  Kalimantan Timur.

Dan ada golongan yang pro Belanda ini golongan China keturunan yang merasa biasa menikmati perlakuan Pemerintahan Kolonial Belanda dan terbukti dari mereka ini banyak yang kembali ke Negeri Belanda waktu tahun 1952 sewaktu Uni Indonesia –Belanda dibubarkan oleh Bung Karno.

Golongan yang terakhir ini ada yang pulang ke Nederlands ada yang tetap tinggal di Indonesia dengan  motivasi perpikir ke depan untuk peluang dagang. (Ada yang jadi pengimport timah hitam Pb berprosentase sangat tinggi, untuk accu mobil secara monopoly dari Australia mulai zaman Orde Baru, lebih kurang mereka komponen Orde Baru)

Sedikit di antara keturunan China dan China Totok, yang sadar akan politik global. Maupun lokal, mereka malah bergiat dalam pilitik menerbitkan Koran 'Keng Po' dan 'Sin Po' menerbitkan salah satu majalah terbaik di Indonesia “Star Weekly.” Mereka ikut mencetak nasionalisme para Republikan Negara ini.

Mereka ini lah kaum China yang sering mau “cawe-cawe” (bahasa Jawa) artinya membantu perjuangan  kemerdekaan bangsa Indonesia.

Jaman Bung Karno kita pernah punya Menteri Kabinet, Ong Eng Die, seorang Doktor.  Ong Hok Ham yang sejarawan. Sekarang kita punya Kwik Kian Gie yang juga Doktor.
Tapi, terutama, memperbesar kekuatannya dengan dagang adalah ambisi umum dari motivasi mayoritas golongan ini
Golongan China totok dan keturunannya dengan wanita pribumi, hampir tidak ada bedanya, dagang adalah  Profesi mereka yang mendasar, seperti suku suku di Nusantara yang lain yang mengambil profesi “dagang” adalah sama saja “attitude” nya terhadap masyarakat.

Memang umat manusia sudah dari asalnya setiap individu terbelah menjadi dua watak yaitu watak individualis dan watak berkelompok yang tak terpisahkan, malah kadang pedagang yang pribumipun lebih “nakal”.
Hanya kecenderungan ini bentuknya saja berbeda beda. Profesi berdagang  sangat dipengaruhi oleh belahan individualism, apa tidak ada watak berkelompok ?
Ada, para pedagang selalu membentuk masyarakat kecil yang sangat erat hubungannya disertai dengan etika tersendiri, tetep saja tujuannya membentuk “Kartel” yang jiwanya individualis sekali.
Apa ada watak communal yang tertuang dalam “Bangsa” misalnya ?

Inilah kelemahannya dari watak dagang – ternyata tidak ada watak komunal yang tertuang dalam dagang dalam ukuran “Bangsa” “ras”  bahkan “kemanusiaan” sebagai ideal. Ras hanya untuk kepentingan keuntngan semata.  Misalnya berdagang dengan cara consignment (konsinyasi – bayar belakang, sesama golongan dirasa lebih aman).
Bentuk ideal adalah individunya sendiri, yang terjamin secara materi sampai ke anak cucunya.
Artisan boleh dikata sangat cenderung ke  individualis sejati.
Begitu juga profesi tukang, petani, guru, dalam diri mereka watak juga terbelah menjadi dua, individualis dan watak bermasyarakat, hanya golongan profesi ini lebih condong untuk menikmati kehidupan bermasyrakat dari kehidupan individual. Mereka membutuhkan masyarakat untuk bekerja sama menyelamatkan individunya.
Golongan China dan keturunan campurannya dengan wanita pribumi tidak luput dari dikotomi watak dalam dirinya masing-masing, hanya kecenderungan untuk individualistik-nya sangat besar.
Sulit bagi mereka untuk mengerti apa yang dinamakan “bangsa” itu, meskupun dalam iklan bertubi- tubi seorang Fabrikant menganjurkan mencintai produk-produk Indonesia, sebagai pembeli.
Aku kenal baik dengan seorang Nyonya, keturunan China, dia sepuluh tahun lebih tua dari saya, dari dulu jadi penjual produk usaha pertanian,  umum, apalagi petani kebun sayur di kotaku menyebut dia Nyonya Bibit, sebab antara jualannya adalah bibit sayuran dan pupuk buatan Pabrik. Tokonya di pusat kota, tapi dekat dengan kebun kebun sayur jaman sebelum perang dunia.
Zaman keemasan tiba (dia nemu kethuk), Pemerintah Orde Baru memberi subsidi pupuk dan Pestisida kepada Petani terutama petani pangan ( Jaman Bimas- Bimbingan Intensifikasi Massal) pada  dasarnya selama 18 tahun Orde Baru Berkuasa. Subsidi pupuk Urea dan TSP hingga 50 % dari harga import dan untuk pestisida (Insectida segala merek dan fungicida segala merek 80%) dengan jumlah peredaran yang meliputi seluruh Indonesia, menyangkut uang negara trilliunan rupiah. Nyonya Bibit dan anaknya tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, mereka seperti pedagang yang lain bersahabat dengan kepala sebuah BUMN (waktu tahun 1970-an) yang merupakan Sole Distributor dari barang-barang sarana petanian dari Bimas Propinsi, mengambil oper (tentu saja dengan uang harga subsidi tambah 15% untuk bagi bagi- kemudan pada musim hama dijual dengan harga 200 % dari harga subsidi karena ada permintaan besar dari bawah, dengan adanya hama yang cocok secara massal- tepatnya di beli dengan kong-kalikong dengan BUMN pada era tahun 1970-an itu harga 2.300 rupiah per botol 0,5liter rata rata dan dijual dengan harga 4.000 -6.000 rupiah insectisida favorit sekian ratus ribu liter yang distock oleh si Nyonya, hampir seluruh rumah YKP (Perumahan dari Pengembang Yayasan Kas Kota Madya) adalah gudangnya, sekaligus miliknya.
Bayangkan Nyonya ini lulusan HBS (Sekolah Menengah Atas untuk para sinyo dan nonik) langitnya pendidikan zaman Kolonial dan berhak untuk masuk Perguruan Tinggi di Negeri Belanda).
Dia tahu betul, memperdagangkan barang subsidi Negara adalah haram bagi Warga Negara yang baik.
Namun ya karena ‘insting’ dagang, maka dia dengan bangganya melakukan ini tanpa malu-malu. Selanjutnya dia dan anak anaknya tetap jadi Magnate bussiness  yang terhormat sampai saat ini. Inilah jiwa pedagang.
Begitupun di AS perang Dunia ke-II berkecamuk antaran Inggris dan Perancis yang dilindas oleh Jerman Hitler, namun beberapa pedagang bahan bakar diesel Amerika serikat konon tetap mensuplai kapal selam Jerman di tengah laut Atlantic jutaan liter, kok bisa ya, ini terjadi setelah menjelang Perang Dunia I kapal penumpang Lucitania- berbendera Amerika ditenggelamkan oleh U-boat Jerman. Kemudian pada awal perang Dunia I  Amerika tidak turut Perang, tapi banyak warganya yang menjadi sukwan AU-AD  di Inggris dan Perancis.

Ini baru satu dari puluhan yang lain yang memperdagangkan pestisida dan pupuk subsidi, lha kayak BBM, pharmaceutical, dan alat kedokteran, yang sampai sekarang masih jadi belanjaan Negara ?
Saya tidak bicara mengenai  “sara” tapi kenyataan “attitude” dagang, dan patriotisme bernegara  ternyata jauh, bagi pedagang tidak peduli dari ras dan suku apa.
Saya juga belajar menganggap 'wajar' meski setengah mati mual, mengenai perilaku Nyonya besar Hartati Murdaya Poo dengan uangnya yang tiga milliard untuk mendapatkan 75.000 ha, Hak Guna Usaha dari Bupati Buol Sulawesi Timur, “dumeh” dia dekat dengan keluarga Penguasa dan Anggauta Dewan Pembina Partai yang berkuasa.
Jika belajar dari sejarah, ternyata tidak hanya sebagain kaum Imigran saja yang dulu senang hati bekerja sama dengan penjajah, namun Pribumi juga ada, bahkan itu Patih Danuredjo berani melawan Pangeran Diponegoro, melawan junjungannya sendiri. Dan ingatlah kita semua bahwa Pangeran Diponegoro ditangkap secara curang oleh penjajah Belanda, -entah kisah nyata ini masih ada dalam buku sejarah anak-anak atau sudah dihapus dari kurikulum nasional-, tapi yang jelas, Pangeran Diponegoro diundang untuk berunding, tapi  oleh Belanda justru ditangkap dan dibuang ke Fort Rotterdam di Makassar. 

Saya pernah melihat sel Pangeran Diponegro di Fort Rotterdam di Makasar ini, sel penjaranya sempit sekali, tidak bisa untuk orang berdiri, maka saya bisa membayangkan penderitaan Pangeran Diponegoro di bilik penjara yang tingginya hanya semeter  itu. Beliau hanya bisa membungkuk, duduk, bersila, dan berbaring selama di Penjara itu.

Menilik sejarah kita, adalah satu pekerjaan rumah (PR) yang sangat penting untuk segera dikerjakan sekarang, adalah menanam patriotisme Keindonesiaan sebagai satu Nation yang sedang mensejahterakan rakyatnya yang lain yang masih sangat terbelakang dan miskin,  di samping apartment mereka yang wah, yang saban hari ditawarkan dan dipamerkan di TV, bagi mereka kelompok etnis atau suku atau golongan apa saja, yang cenderung suka berdagang kayak yang dilakukan di Republik Indonesia ini, apa mereka cepat atau lambat menciptakan Camboja ke II?

Note: Susanto Kasdi Dirut P.T Pertani, BUMN yang saya sebut diatas telah masuk penjara karena merupakan biang keladi skandal ini, kalaupun beliau belum mati sekarang sudah menikmati kekayaannya dengan santainya, beliau yang juga nemu kethuk. (*)


0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More