Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Sabtu, 29 Desember 2012

…….DISANALAH AKU BERIDIRI…….JADI PANDU IBUKU……. RENUNGAN AKHIR TAHUN 2012.


Semua sudah kenal, kalimat ini adalah potongan dari Lagu Kebangsaan kita, Indonesia Raya.
Kenapa aku kutip potongan lagu yang semua orang tahu ini ?
Terus terang aku lagi sedih dan bingung.

Pagi-pagi, aku menyaksikan Metro TV, Bedah Editorial (29/12/2012) buntut-buntutnya menelanjangi DPR RI, ya kenyataannya memang begitu, gudangnya perilaku tidak terhormat. Rendah.

Sepanjang tahun ini saya dijamu dengan pertunjukan yang tidak lucu dari Executive, di bawah panji Partai Penguasa, berjama’ah berkolusi.
Ternyata jadi gudangnya penipu yang lagi kesampaian niat aslinya, berpesta pora dengan uang pajak. Berebut menjual lisensi HPH dan Hak Guna Usaha, Hak Menggali Tambang, di atas tanah Negara. Jutaan hectare, dengan gaya anggun dan santun, begitu dia mencitrakan  dirinya, sebagai Pandu Ibu Pertiwi.
Malah si Pilot ini  belakangan oleh para bekas komponen Orde Baru, dianggap Autopilot saja.
Kok ada jeruk makan jeruk, karena dari semula mereka tahu, bahwa Pilot aslinya Consortium Keuangan Dunia.
Sebenarnya kami rakyat hanya minta “ke-berpihak-an mereka saja, kami tahu keluar dari jerat yang dianyam 35 tahun oleh Institusi Keuangan Dunia guna menelikung Negeri ini dengan “bantuan” kekuasaan Rezim Orde Baru yang Despotic ini memang sulit, karena Institusi Internasional ini sudah masuk ke Posisi Kunci Republik ini.
Posisi kunci itu uang, bukan suara pemilih.
Jadi selama ini sudah disadari, bahwa suara Rakyat itu sudah kalah dengan uang.
Dasar.
Mau ngomong apa bila sudah ketangkap tangan waktu bagi-bagi uang di Kabupaten di ujung barat Propinsi Jawa Timur ?

Delapan puluh tahun sesudah Bung Karno mengangkat ke permukaan perjuangan Pak Marhaen, si Wujud figur Petani kita yang dijepit dan kepepet oleh mesin Kolonial, karena mereka hanya bisa hidup subsistent dari tanahnya, pada zaman derap langkah raksasa Industrialisasi.
Pengangkatan derajad existensi Pak Marhaen di seluruh Indonesia oleh Bung Karno dijadikan panji-panji perjuangan Kemerdekaan.

Kakek, Nenek kita bersatu dibawah panji panji ini.
Mereka bersatu membulatkan tekad untuk merdeka.

Karena:
Tahukah anda bahwa diseluruh Hindia Belanda sebenarnya kaum Pribumi tidak pernah lagi punya sebidang tanah yang diakui secara Hukum oleh pemerintah Hindia Belanda ?
Kepemilikan Tanah di Hindia Belanda yang diakui oleh Hukum Kolonial hanya hak Eigendom  atau hak Real Estate, yang dimiliki oleh Warga Nederland dan orang asing dari Negara yang diakui Belanda, sedangkan hak kaum Pribumi hanya Hak Yasan yang hanya tercatat dan disaksikan Lurah atau Kepala Desa, pemilik sebenarnya adalah Pemerintah Hindia Belanda, implikasinya setiap saat bisa diminta yang punya, yaitu Pemerinta Hindia Belanda, dengan kedok untuk kepentingan Umum.
Seperti tanah makam leluhur Pangeran Diponegoro yang dijadikan jalan. Belanda, karena merasa semua tanah Indonesia adalah miliknya, membuat jalan melewati makam keluarga Keraton Jogja. Saat patok ditanam di tanah makam keluarga kerabat keraton Pangeran Diponegoro, maka Pangeran Diponegoro tahu bahwa sudah tiba saatnya perlawanan rakyat terhadap para Bule Belanda ini. Dan Belanda juga sudah siap, karena pemasangan patok hanya untuk memancing Harimau turun Gunung. Perang antara pribumi dan kolonial hanya masalah waktu saja.

Kemudian, maka dari itu UUPA tahun 1960, sudah mengukuhkan dan melindungi hak Pak Marhaen dalam Kecamatan dimana dia tinggal.
Namun UUPA 1960 ini dimandulkan di Daerah Otonomi Kabupaten dan Kota Madya. Contoh di Mesuji,kemudian di Kota Madya Surabaya sebelah Timur, bekas milik Tuan Tanah yang diredistribusi kepada Rakyat ternyata diganti menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) atau Surat Ijo oleh Walikota Orde Baru, tanpa reaksi apa-apa dari rakyat karena takut di cap PKI,  dan dikeluarkan dari perlindungan Hukum Negara.

Itupun hanya tahan sampai dua tiga generasi Marhaen, sebab sesudah itu tanah milik sudah mencair dibagi peawarisnya. Sejak enampuluh tahun yang lalu mestinya Pemerintah Republik Indonesia menggantinya dengan kehidupan baru di lahan transmigrasi di wilayah Negaranya sendiri, dengan sungguh-sungguh, anda tahu sekali lagi sejak enam puluh tahun yang lalu.

Anda tahu kena apa ?

Sebab sejak selesai Perang Dunia II Datuknya kaum Kapitalis sudah tahu bahwa minyak bumi akan habis, untuk mencari bahan bakar yang tergantikan butuh modal yang besar sekali apalagi hasilnya akan dinikmati oleh mereka sendiri.

Sebelum rekayasa global energi untuk mesin mesin dengan konsep baru sama sekali  selesai, harus ada sumber energi yang terbaharui demi mengisi kenaikan harga  minyak bhumi yang semakin langka, jatuh pilihan pada bio etanol dan bio diesel, untuk design mesin-mesin yang sudah ada.

Sejak enampuluh tahun yang lalu mereka telah merencanakan akan menggunakan lahan tropis bekas jajahan mereka di Asia Afrika, untuk mendapatkab bio ethenoldan bio diesel sudah mereka rencanakan jauh-jauh hari, sementara kita masih berkutat dalam lasykar rakyat !
Campur-baur dengan mereka yang ingin menggantikan kedudukan Tuan  kaum Penjajah, e e baru ketahuan sekarang, memperoleh Hak Guna Usaha dengan menebar uang suap, yang ketahuan saja 3 milliard  rupiah, yang tidakketahuan berapa ? Untuk HGU 75 ribu Ha lahan, ada lagi yang minta 3 juta Ha di Papua untuk kelapa sawit dan sawah tahun ini, bukan untuk kebutuhan pangan tapi untuk bio diesel dan bio ethanol, mereka didorong untuk mendanai pembangunan lahan untuk tujuan ini, hanya kata terakhir mengenai harga
produk-nya adalah mutlak menurut Lembaga Keuangan Dunia.

Toh nanti para investor inti ini akan sama posisinya dengan petani plasma yang bangkrut sekarang.  Saya baca tulisan wawancara Jean Ziegler sebagai personel di PBB urusan pangan Dunia Ketiga (Third World Countries), bisa disimak dalam situs berikut ini :http://sastra-pembebasan.10929.n7.nabble.com/sastra-pembebasan-Jean-Ziegler-Empat-Mekanisme-Penyebab-Kelaparan-Dunia-td55641.html

Sedang tulisan mengenai usaha permintaan HGU untuk 3 juta  sawah di Papua bisa dibaca dalam situs ini ; http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/136703

Pernah atas prakarsa Depertemen Transmigrasi Pemerintahan Orde Baru, diadakan pekebunan Inti yang dikuasai Swasta, memliliki lahan komoditas tertentu dan Pabrik Pengolah hasil atas dukungan Pemerintah, dikelilingi oleh hamparan kebun komoditas yang sama dimiliki oleh para petani Plasma bisa transmigran bisa penduduk setempat, yang akan menjual hasil buminya berupa komoditas yang sama untuk diolah.
Akhirnya, niat buruk Pemilik Kebun Inti, sewaktu harga komoditas naik, tentu saja menguasai kebun kebun milik Petani, niat ini berhasil dengan baik bila harga komoditas yang ditanam anjlog, lantas petani plasma makan apa ?
Akhirnya kebun digadaikan atau dijual, ya sah-sah saja.
Bila petani ngotot ganti profesi menjual bakso, tapi kebunnya ndak dijual atau digadaikan, maka terjadilah peristiwa yang mirip Mesuji.
Karena kebun milik petani tidak bisa ada di tengah-tengah kebun milik Pabrik, menggampangkan pencurian, katanya.

Upayanya  yang dengan segala cara menguasai HGU hanya akan diambil alih oleh Penguasa Komoditas Pangan Dunia, meskipun mereka sekarang diuntungkan oleh  kaum Neoleberalis juga, tetatapi ukuran  anak buah, apa bisa Hartati Murdaya Poo melawan Multi Nasional Corporation ?
Karena harga komoditas yang dihasilkannya, misalnya  kelapa sawit, dalam tahun ini saja, menjadi semakin anjlog.  Pada Bulan November-Desember 2012 di sejumlah lokasi perkebunan, harga kelapa sawit di tingkat petani terus turun hingga menyentuh Rp 300-Rp 400 per kilogram (kg).
Harga ini rendah sekali sehingga ndak cukup untuk makan petani Plasma sekeluarga.
Juga tercatat dalam bursa komoditas sepanjang 2012, harga rata-rata minyak sawit mentah (crude palm oil) turun sekitar 25 persen. Harga tahun 2012 rata-rata tercatat 900 dollar AS per ton, turun dari tahun 2011 sebesar 1.200 dollar AS per ton. Diberitakan turunnya harga CPO dan tandan buah sawit ini karena
di belahan benua Amerika Utara dan Selatan sedang panen raya kedelai.

Benar perhitungan pendahulu kita Bung Karno, mengembalikan tanah sebagai sumber hidup kepada kaum Marhaen, hidup dan menghidupi dari tanah miliknya, ya tanah subur di seluruh Indonesia semoga dimengerti oleh Pemerintah Daerah setempat.
Marhaen bukan saja orang Sunda, atau orang Jawa, atau orang Bali, Bugis, tapi mereka yang menghasilkan makanan untuk seluruh penduduk Indonesia, cukup.  Bukan lewat Pasar Internasional.

Pemerintah Indonesia harus mengadakan sendiri kilang minyak bumi, sementara minyaknya masih ada, kilang bio diesel, kilang bio ethanol dengan kemauan Politik yang tegas, dimana pengadaan kilang  kilang ini dapat memenuhi kebutuhan kita, tanpa di korupsi kayak Hambalang Skandal Nasional (HSN). (*)



0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More