Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Sabtu, 22 Desember 2012

LEGITIMASI KEKUASAAN DENGAN FOLKLORE YANG DIHIDUPKAN DI MASA LALU DI MASYARAKAT NUSANTARA


Para pemerhati Sejarah Negri ini, sudah tidak heran dengan banyaknya folklore mengenai asal-usul penguasa-penguasa di Nusantara, baik yang berskala lokal, artinya  lingkungan kecil dari satu suku, maupun lingkungan masyarakat yang sudah berwujud Negara, bertebaran sepanjang sejarah.
Dari hikayat “Putri Junjung Buih” dari mana raja Raja kaum Banyar di Kalimantan berasal, hikayat “Bukit Siguntang” sebagai asal-usul Kerajaan Sriwijaya, mengenai asal usul “Tolangi” yang merupakan akar dari semua asal-usul para Daeng, Karaeng dan  Andi. Folklore semacam itu pasti ada di NTT, NTB, dan Bali yang saya tidak tahu.
Lha kalau di Pulau Jawa saya tahu betul, saya sebut saja yang paling bersinggungan dengan sejarah formal. Tokoh yang dianggap pendiri Wangsa Girindra, yang memerintah Majapahit, Ken Arok. Tokoh ini dari bawah, tidak jelas bapa ibunya, bahkan tumbuh dari seorang pemuda luntang-luntung Preman Pasar, yang diambil murid oleh seorang Brahmana Lohgawe. Selanjutnya jadi Pendiri Kerajaan Singhasari bergelar Sri Rangga Rajasa Sang Hamurwa Bhumi, tidak tanggung-tanggung oleh para Brahmana dimuliakan sebagasi titisan Bhatara Wisnu.
Walau kenyataan sejarah mengatakan bahwa keturunan Ken Arok ini saling membunuh untuk melaksanakan kutukan Empu Gandring, apa perebutan kekuasaan yang biasa di zaman feudal, itu terserah interpretasinya saja. Selanjutnya semua raja-raja Hindu di-candikan dan di-patungkan sebagai inkarnasi para dewa, menurut saya lebih akan mengukuhkan legitimasi keturunannya dari  menghormati si mati.

Saya hanya mengingatkan pembaca bahwa dengan upaya para Penguasa terdahulu,  yang menciptakan folklore dan memasukannya dalam sejarah, toh folklore itu  diterima oleh rakyat sebagai “babad” yang selalu dibumbui dengan hal-hal gaib  dan elok.
“Babad” arti harfiahnya adalah dari kata “membabat” artinya membersihkan lokasi, untuk mendirikan hunian, suatu masyarakat, atau Kerajaan.

Sebenarnya yang akan saya ceriterakan di sini adalah kejadian sesudah Perjanjian Giyanti  13 Pebruari 1755, yang mengakhiri untuk selama lamanya Kerajaan merdeka Mataram yang ber Ibu Kota di Kartasura, oleh VOC. Karena isi perjanjian dengan VOC ini antar lain : wilayah Mataram dipecah  menjadi dua, di Surakarta diangkat Sunan Pakubuwono III, dan di Jogjakarta, Pangeran Hamangku Bhumi diangkat sebagai Sultan dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I.

Satu siasat yang sangat canggih untuk mendapatkan kesetiaan dan pengabdian rakyat di daerah yang ada di dua kerajaan ini, karena pemerintahan de facto dan de jure sudah ditangan Kompeni Belanda, Kedua kerajaan ini hanya symbol saja.

Paling tidak kedua kerajaan gurem ini masih mempunyai sawah dan hutan Jati untuk keperluan Kraton dan para kerabat dekatnya. Agar tetap mendapatkan “respect” dari penduduk, artinya tetap bergotong-royong membangun rumah para Penjabat, setor hasil panennya dan tidak mencuri kayu di hutan jati  milik Sultan
dan Sunan (Susuhunan) yang tidak punya kekuasaan apa-apa lagi. Perlu diadakan upaya.

Mulailah para Pujangga Keraton yang masih bersimpati pada kebudayan Jawa berfikir keras.

Pada dasasarnya penduduk Pantai Selatan di mana hutan jati dan lahan irigasi sungai Bayeman, Progo, adalah petani, begitu pula penghuni lereng Merapi.
Klaten, Dlanggu, Boyolali, yang terlalu sering diajak perang dan banyak mengorbankan waktu tanam dan memelihara padi oleh Raja Raja Kartasura, pengorbanan rakyat antara lain mendorong meriam, pedati- pedati bekal, memikul dan  perang adalah perkerjaan tetap para petani ini.

Kebetulan wilayah penyangga kedua kraton gurem ini mepet ke pantai selatan Pulau Jawa, dengan lembah berpengairan yang sempit dari Gunung Merapi di Jawa tengah. Kerajaan Surakarta mendapat daerah Klaten, sedikit di Boyolali, dan hutan jati di utara wilayah Solo, hutan Krendowahono, dan sekitar Wonogiri,  sedang kerajaan Ngayogyokarto, mendapat sawah di Bantul,  sedikit di Sleman dan hutan jati di Sentolo, dan Wonosari. 

Sekali ini para pujangga Surakarto dan Ngayogyakarto bersatu untuk mengarang babad, demi landasan adanya dua kerajaan symbol ini, supaya rakyatnya mengakui legitimasinya.              

Kalaupun kedua Keraton ‘mainan’ ini mengambil ancang-ancang dari kerajaan Majapahit yang Jaya,  Patih Gajah Mada misalnya, ya kejauhan, rakyat dari wilayah penyangga akan tidak mengerti, bila diambil dari Demak Bintoro, daerah itu sudah berantakan oleh hancurnya sistim pengairan rawa akibat pendangkalan, dan para tokohnya sudah suram pamornya akibat datangnya barang pakai baru dari Europa antara lain kain wool dan laken sagat cocok untuk disongket dengan benang emas, untuk jas upacara, minuman keras, dan senjata api.
Tokoh Wali Sanga hanya untuk mereka yang mencari jalan ukhrowi, yang sudah digrogoti oleh gerakan pembaharuan a’la Wahabi.
Lha sekarang ketemu, mereka sepakat untuk mengangkat skenario kehidupan tokoh yang tidak begitu jauh, tapi belum melawan Belanda yaitu Penembahan Senopati dari Keraton Kerto atau Plered. Tokoh ini sangat dikenal oleh rakyat dari Pantai selatan kedua keraton gurem ini.

Tokoh ini melawan ayah angkatnya dari kerajaan Pajang, yaitu Baginda Hadiwijoyo, karena anak angkat, diceritakan sebagai anak gelap sang Raja dan sangat sakti karena pegaulannya dengan para Wali Islam waktu itu, terutama Sunan Kalijaga, (mestinya kisah ini sudah tua sekali).  Pas, legendanya sudah ada, tinggal nambahi.
Dalam babad tokoh yang sudah pas ini diceritakan sering bertapa di pantai Selatan, kebetulan pantai yang jadi daerah penyangga kedua keraton gurem ini tidak ada nelayan, entah karena apa, mungkin pantainya terlalu mepet perbukitan karang, sehingga tetap bergelora oleh pukulan ombak laut selatan yang memang lautan bebas sampai kutub selatan, ndak ada tempat buat perahu mendarat yang aman. Pantai daerah penyangga ini panjangnya lebih kurang 100 km, rata rata karang terjal.
 Di Babadkan, dipantai itu sang Panembahan Senopati muda dan gagah perkasa sering bertapa, merenung dan bermunajad agar bisa mengalahkan Pajang, Sultan Hadiwijoyo

Mendadak seperti keluar dari kabut tipis semburan ombak memecah di karang, seorang  wanita yang cantiknya luar biasa. Berkulit kuning langsat, dengan mengenakan sari hijau muda yang setengah basah mengikuti lekuk tubuhnya yang aduhai, pokoknya para pujangga berebut menuangkan keahliannya menggambarkan romantika dari  pertemuan si ganteng dan si cantik keduanya raja, yang priya Raja Mataram, yang Putri sesosok Jin, Raja Laut Selatan di pantai yang sepi.
Lha jadinya leluhur yang masih dikenal rakyat pesisir selatan Yagya dan Solo dikawinkan dengan ratu Jin cantik dari laut Selatan dalam legenda itu,  jadi babad.

Ini lebih bisa jadi mitos yang mengakar di hati rakyat.

Konon menurut perjanjiannya bukan saja sang Panembahan Senopati leluhur yang sakti kawin dengan Ratu Jin, tapi juga raja raja keturunannya hingga sekarang, justru perjanjian ini yang sangat penting untuk ditanamkan dalam kepercayaan rakyat keci diwilayah ini, sampai manusia zaman sekarang yang menggemar ilmu gaib.

Untuk itu sudah disediakan pasukan abdi yang masih setia tapi bodoh  untuk membuat drama seperti memasang api phosphor di perbukitan, membunuh kambing yang penggembalanya agak teledor dengan racun, membuat bunyi-bunyian yang misterius di bukit kejauhan nun di Pantai Selatan yang sepi dsb.

Pasukan pendongeng yang lain menggosip perkara pagebluk dan lampor, artinya banyak rakyat yang mati disebabkan minim gizi, diterjemahkan bahwa sang Ratu Kidul membutuhkan wadyabala. Bahwa suara yang misterius itu suara lampor yaitu Paswal convoy kereta kencana yang jalan di udara, kendaraan dari Ratu Jin yang cantik ini, bertandang ke pacar-pacarnya
Bila zaman sebelumnya mereka adalah titisan dewa, yang ini hanya beristeri ratu
Jin, tak apalah, itu yang dimengerti rakyat sana.

Ditambah lagi Kanjeng Pengulu Kraton (mengetuai para abdi “Mutihan”, yang rumahnya di kampung “Kauman”) memang Ulama yang ahli memelintir ayat-ayatAl Qur’an, dimana perlu, untuk keperluan Kraton misalnya adanya harem sampai 40 istri melayani sang Raja, menurut Kanjeng Pengulu Kedathon ya syah syah saja, wong yang dikawin cara agama Islam memang hanya empat istri, kalaupun  Baginda ingin bersenang-senang dengan selir lainnya salah satu istri, yang diberi cincin tapi tidak pernah dipakai, disimpan oleh sang Raja diberikan  pinjam cincinnya untuk dipakai dayang selir/ concubine yang lain, trus jadi bukan zina. Kayak kawin sirinya Bupati Garut saja  yang bertahan empat hari, trus dicerai lewat SMS.

Beliau medapatkan fatwa bahwa rakyat harus percaya pada hal yang gaib.
Klop, semua berkomplot dalam penyelewengan surah  Al-Jin.

Dari Al Qur’an surah Al Jin, yang penutup surah ini menekankan bahwa manusia bagi jin dan jin bagi manusia tidak bisa menjadikan manfaat maupun mudarat satu sama  lain (ayat 21), disamping mengimani hal yang gaib, yang ini lupa.
.
Di wilayah Kraton Solo, ada menara 4-5 tingkat,  namanya menara Songgo Buwono yang khusus didirikan untuk menyambut Kanjeng Ratu Kidul, lengkap dengan sesajen aneka rupa khas untuk tamu seorang Putri (maksudnya Kanjeng Ratu Kidul), yang mesti saja tidak ada yang menyentuh.

Pokoknya drama percintaan ini dilanjutkan hingga sekarang di hati rakyat kedua kerajaan pura pura ini. Malah satu Hotel di pelabuhan Ratu, Ada kamar khusus untuk Putri Jin ini, barangkali berkenan mampir.
Selain di lokasi itu, rakyat tani di sepanjang pantai selatan pulau Jawa tetap saja menempuh ombaknya yang menggunung, untuk jadi nelayan musiman, dari Banyuwangi sampai Ujung Kulon, tentu saja  Ratu Jin yang cantik disini tidak dikenal rakyat.
Malah di Jawa barat para Petani menciptakan perangkap  lobster yang dilemparkan ke bawah bukit karang  langsung kelaut yang curam dengan berhasil, lumayan untuk nambah penghasilan di musim kering (*)

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More