Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Sabtu, 15 Desember 2012

EGOISME DARI PETANI PEGUNUNGAN


 Setiap kali saya lewat jalan ke Tosari trus ke bibir Gunung Lautan Pasir caldera Gunung Bromo, setiap kali saya amati bahwa petani Kentang (Solanum tuberosum) tetap saja dengan cara yang sama menanami Kentang di lereng-lereng Gunung Bromo, mungkin sampai sekarang. Route ini telah dilewati para ahli Pertanian seluruh Dunia, juga dari dalam negeri. Tapi belum pernah ada yang komentar apapun. Tapi saya sekali melihat cara mereka menanam Kentang itu, selalu teringat peraturan menanam tanaman Kopi di lereng-lereng, karena  pernah kerja di perkebunan Kopi. Peraturannya adalah : tanam sabuk gunung atau menurut contour garis rata, bila mungkin.
Bila tidak mungkin, bikin teras individual, pohon per-pohon, dengan catatan : isi tanaman setiap hectare mendekati rencana, kira-kira 1000 pohon.

Penanaman Kentang di wilayah Tosari, Bromo - Jawa Timur,  contour (kontur tanah) mendatar mereka punya, tapi hanya untuk membuat guludan tanam yang memotong tegak lurus garis contour mendatar sebisa mungkin, jadinya guludan tanam miring ke bawah, nampak rapi panjangnya hanya 3-4 meter, trus terpotong  “teras” yang agak miring juga, aneh. 

Ini melanggar seluruh petunjuk dasar membudidayakan tanah miring atau lereng, untuk mengurangi “run off”, artinya tanah  pada lapisan atas yang paling subur hanyut (run off). Paling sedikit sudah ratusan tahun.
Sampai sekarang ya  masih seperti itu di Bromo.
Memang terjadi erosi terus-menerus sehingga di dataran rendah di Kabupaten Pasuruan-Probolinggo, dekat Jalan Raya Surabaya – Bali, pada  kawasan itu selalu banjir pada musim penghujan. Walau di atas ada hujan sedikit saja. Artinya sungai-sungai yang mengalir dari lereng Utara, Timur Laut dan Barat Laut, sudah penuh terisi endapan pasir gunung Bromo dari atas.

Di tengah caldera/ lautan  pasir Gunung Bromo ada kawah yang masih sangat aktif mengeluarkan asap dan abu / pasir halus terus-menerus, saban hari abu dan pasir halus itu menimbuni tegal Kentang milik petani Tengger. 

Sebenarnya abu dan pasir halus yang melapisi terus menerus lereng bibir caldera. Yang menutupi kebun Kentang adalah  bubukan batu yang masih “gres” keluar dari kepundan kawah, yang sudah bubukan batu yag masih 'gres; ini pasti tidak subur. Untuk mengatasi “gangguan” kesuburan tanah semacam ini, temuan petani Kentang di lereng tinggi Tengger dengan membuat erosi terselubung, artinya guludan melorot (dilorotkan) ke bawah hingga sekarang.

Bila kita pertimbangkan secara keseluruhan, maka berapa hectare tanah di atas yang ditanam Kentang dan berapa hasil umbi Kentang setiap tahun bisa dihasilkan, dibandingkan dengan kehilangan panen dari lahan padi di bawahnya yang harus hilang karena banjir ? Sungguh tidak seimbang menurut perhitungan saya.
Hal semacam ini mestinya ada jalan keluar yang rinci dan diikuti dengan kesadaran menyelamatkan lingkungan. Sebisa mungkin tidak merugikan produksi pangan di Kapubaten Pasuruan dan Kabupaten Probolinggo secara keseluruhan.

Lain lagi dengan lereng Gunung Api model  Gunung Merapi-Jawa Tengah, di samping lereng atas yang terlalu terjal untuk bertani, juga dilanda bahaya setiap saat dari awan panas (wedhus gembel), jadi petani  berani bekerja di lereng tidak lebih tinggi.

Lain dari petani kentang di lereng Bromo, para petani di lereng Merapi lebih mawas, apa yang mereka  kerjakan ?  Untuk mengimbangi ketambahan abu dan pasir halus setiap saat membuat  lapisan atas dari tanahnya, petani mengumpulkan sampah dari sekitar Boyolali untuk diangkut ke tegalannya dengan menggendong berjalan terseok-seok, dengan ketelatenan yang luar  biasa, sampah-sampah organik digunakan sebagai pupuk organik, rupanya mereka para petani di seputar Merapi sudah mengerti cara mengkomposkan dedaunan sampah pasar.

Bayangkan, berapa desa di lereng Gunung Api yang aktif di seluruh Nusantara ini, di mana top soil (lapisan tanah paling atas)-nya makin mundur kualitasnya, gara-gara ketambahan jatuhan abu dan pasir halus terlalu sering ?

Mereka para petani seputar lereng Merapi tidak se-egois (secara tidak sadar) seperti petani Kentang di Tengger, akan tetapi mengerti bahwa satu-satunya jalan untuk memperoleh kesuburan tanahnya kembali hanya dengan menambah pupuk organik? 

Apa mereka sekali lagi harus terseok-seok mengangkut dedaunan sampah pasar dari bawah ? Lha iya, di Boyolali air saluran masih banyak dan deras, apa ndak bisa untuk nencuci sampah pasar ? Dedaunan bersih dipisahkan dari sampah plastik dan sampah keras lainnya, trus dicacah kayak cara Bu Risma Wali Kota Surabaya. Kemudian dijadikan kompos untuk subsidi petani tegalan di lereng bawah Gunung Merapi, itu gunanya orang membayar pajak.
Lha sekian juta metrik ton dedaunan limbah deforestasi ganas HPH resmi (atau HPH nyuri), apakah jadi ikut teria-sia, terbuang percuma, bahkan setelah hutannya amblas ?  Ratusan Ha sehari hutan amblas, dibabat menggunakan chain saw dan alat alat berat ? Paling tidak menurut saya, yah sisakanlah dedaunan sisa pembabatan hutan ratusan ribu hektar itu untuk kompos, untuk pupuk organik. Kalau hutannya ? ya sudahlah memang nasib bangsa ini akan kehilangan semua hutan potensialnya, itu pasti, karena permintaan kayu dalam negeri dan permintaan kayu Dunia sendiri menyegerakan kita kehilangan Hutan, ini mungkin takdirnya.
Tapi, apakah tidak wajib bagi mereka (para pembabat hutan) mengangkut kompos ke lahan-lahan lereng tinggi Gunung Api kita yang terpaksa jadi lahan menyambung hidup petani kita ? Cobalah renungkan wahai kaum yang berpikir.
 Sebaliknya di seputar Jakarta, Bogor-Hambalang-Puncak malah jadi hutan beton dan atap rumah, air jatuh di tanah sudah berupa sungai kecil yang dengan mudah mengupas tanah. Ketahuilah wahai kaum yang berpikir, kan berarti ini otomatis air mengucur ke bawah lebih cepat dari kemampuan tanah untuk menyerapnya,  ya akhirnya banjir di Jakarta, beserta lumpurnya,  ya to ? (*)

By : Ide Subagyo

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More