Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Senin, 12 September 2011

BELAJAR DARI CAMBODIA

 Kamboja (Cambodia), negeri di Asia Tenggara, berbatasan dengan Laos, Thailand dan Vietnam negeri yang damai di tengah hutan tropis basah. Negeri kaum Buddhis, dan pemerintahan Monarchy yang sudah sangat tua, juga sudah lama jadi negara di bawah protektorat Perancis. Yang dimaksud dengan “belajar” disini adalah mencoba menyimak mengapa tahun 1975 ada bencana sangat mengerikan di negara kecil ? Padahal semuanya aman dan damai kok mendadak Pol Pot didukung oleh rakyat Khmer kerasukan setan, melakukan atrocity  yang ditandai dengan buku “The Killing Field” yang mencengangkan dunia. Kenapa ?

Suku bangsa Khmer yang mayoritas, berkulit gelap dan bermata bundar sudah lama sekali  hidup bersama suku lain yang lebih kecil jumlahnya yaitu suku Cina dari perbatasan selatan Cina berkulit sebih kuning bermata sipit, dan suku Vietnam dari pantai timur dan masih banyak suku suku yang lain seperti tempat lain di dunia ini. Entah kenapa bergenerasi-generasi mereka jarang bercampur dalam perkawinan. 

Masing-masing etnis ini tetap pada identitas masing-masing meskipun erat berinteraksi, ini mungkin secara tersirat masyarakat ini barkasta-kasta – orang Khmer Udik adalah menduduki kasta terendah.
Dimulai dengan sialnya satu bangsa yang dibawah “protektorat” bangsa lain dalam waktu yang lama – semenjak dunia dibagi bagi jadi jajahan negara maju untuk dijadikan sumber bahan baku industri sejak pertengahan abad ke 18, bangsa lain yang hanya mencari keuntungan dari wilayah yang dijajah membiarkan apa keadaan “laissez faire” (persaingan bebas) untuk suku suku setempat, sambil mempertahankan keunggulan bangsa penjajah. Apa yang terjadi kamudian setelah merdeka menjadi Kerajaan konstitusional, adalah “pembiaran” suku Khmer Udik yang bertani dan memelihara kerbau aman dan damai dalam kebodohan, berdampingan dengan suku Cina yang hanya berdagang dan menyempurnakan “teknologinya”.  

Pemimipin Nasional yang meng-klaim kaumnya berasal dari keturunan kuno yang ikut membuat “Angkor”,  ternyata dari cara hidup Kolonial Perancis secara turun-temurun, membuat kelompok elit Khmer Tinggi ini tidak peka terhadap keadaan masyarakat bawah yang nampaknya OK saja berpuluh puluh tahun. yakni klan Khmer Udik, Khmer Desa Pedalaman

Sebaliknya penduduk dari etnik Cina, seperti biasanya di mana-mana, sangat menikmati posisinya sebagai kelompok yang exclusive menguasai perdagangan dan keuangan Negeri Cambodia, begitu juga kelompok etnik dari Vietnam yang sudah sejak dulu menikmati hidup sebagai kelompok terpelajar, akhli hukum, dan suppliers untuk ke butuhan Kerajaan, dan dokter yang mempunyai kelas tersendiri di masyarakat Cambodia. Begitu tidak pekanya para Pangeran dan Putri bangsa Khmer ini, sehingga untuk membantu petani (atau membantu mereka sendiri ?). Sehingga dalam Pemerintahanya pernah melarang etnik Cina yang sudah di sana puluhan generasi, memiliki tanah pertanian. Apa perlunya bagi Pedagang yang memiliki Gudang dan mesin penggilingan gabah sekalian toko-toko bahan makanan di seluruh negeri ?

Negara tetengga, Vietnam terpotong menjadi dua, di Utara cenderung menggerakkan kooperasi rakyat dan menjaga daya tukar hasil pertanian dengan kebutuhan yang esensial dari masyarakat moderen seperti kesehatan dan pendidikan, pemimpin Vietnam Utara, Ho Chi Minh berhasil memberikan ideology “pengabdian” kepada  kaum yang terpelajar agar terhadap kaum tani, sementara daya tukar produk-produk pertanian masih lemah, supaya mengalah dulu.

Tidak ada pembiaran, karena produk pertanian memang lemah dipasaran karena perlu segala infra structure untuk melindunginya misalnya :
Waktu panen jumlahnya banyak jauh melebihi kebutuhan, otomatis harga jadi turun, kini kebutuhan petani makin bertambah, banyak barang barang yang didambakan dijajakan di pasar, maka dari itu petani tidak menyimpan dilumbung kayak jaman dulu. (Bila Bulog di  sini berhasil, ya untuk membantu petani saat panen raya, membeli hasilnya dengan harga yang memadai dalam keadaan ini.)

Perlu perlakuan pasca panen, yang biasanya orang per orang di tingkat petani tidak mampu mengadakan.(misalnya pengering gabah, mesin mesin pengupas dan mesin slep, jalan dan jembatan keluar dan masuk  lahan pertanian dsb – maunya koperasi ya untuk mengadakan alat alat yang mahal ini, bukan untuk dikorupsi – mark up harganya, dari mesin rosokan)

Peningkatan kebutuhan barang “kemudahan” yang didambakan oleh petani misalnya lampu yang lebih canggih ( ebangsa lampu petromax, lampu Aladin, sepeda motor, motor tempel perahu – otomatis yng dulunya panen disimpan di lumbung jadi secepatnya dijual, dengan harga diakali pula. (Lihat saja melihat bagaimana petani tembakau di Kedu berusah payah menjual hasil tembakaunya di blog ini ada ceritanya, saya melihat bagaimana oknum sebuah badan logistik pemerintah memberikan uang pembeli gabah dengan harga dasar uang Pemerintah kepada tengkulak, untuk bekerja sama dengan tengkulak gabah, membeli gabah dari petani  dibawah sekali harga dasar, dengan alasan kualitas kemudian baru dibeli oleh oknum badan logistik pemerintah ini dengan harga dasar, dengan alasan yang sama, untungnya ya bagi-bagi).

Jadi atas ideology “hidup sederhana” dan memberikan service nya kepada petani dengan bayaran yang murah- pantang korupsi, berhasil ditanamkan olen Pemimpin Negara Vietnam Utara Ho Chi Min kepada kaum inteligesia, entah bagaimana sikap pedagangnya.
Kalangan Umum awamnya menganggap cara ini sistem sosialis.

Sebaliknya di selatan, lebih dekat ke Ibu Kota, bekas bekas Ibu Kota colonial di Saigon masih sangat terasa, kelompok elit setempat dengan sendirinya memimpin Negara, mereka cenderung melakukan “pembiaran” sistim “laissez faire” sementara ke -elit –an mereka pergunakan untuk menguasai hajat hidup orang banyak, umum mengatakan ini  sistim kapitalis murni.    

Penyerbuan dari Utara ke bagian dari bekas protektorat Peranacis ini  meruncing, Raja Bao Dai digulingkan karena dianggap lamban menanggulangi musuh dari Utara ini, diganti oleh setengah dictator Ngo Dien Diem,  Diktator Militer Nguyen Kao Ki, diganti lagi dengan Diktator Militer lagi Nguyen Van Thiu setelah itu perang antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan sangat meningkat dengan niat Amerika Serikat untuk membendung Komunisme.
Hanoi dibom oleh ratusan pembom B 52 berbulan bulan, dan akhirnya Saigon malah diduduki oleh Vietcong tentara Ho Chi Min - Vietnam bersatu kembali, tahun 1974,  sesudah Ho Chi Minh keburu meninggal dunia. 

E, e, sekarang malah AS adalah importer terbesar produk-produk dari Vietnam.

Cerita mengenai Vietnam ini hanya ilustrasi betapa besar perang yang terjadi di negara tetangga. Dampaknya jelas mengenai Cambodia.

Setidak tidaknya di “Ho Chi Min’ trail” jalan setapak ratusan kilometer di bawah hutan rimba menganyam tapal batasnya dengan Vietnam dilewati sepeda, pemikul alat perang beribu-ribu  dari Vietnam Utara ke Saigon !

Peralatan perang segala macam, sebagian ada yang tercecer, tertinggal,  karena pemikulnya dihabisi oleh patroli tentara Amerika bangsanya Rambo, sebagian malah diberikan oleh pemikul-pemikul kepada rakyat Khmer yeng membantu mereka, pokoknya si Bodoh  primitive orang Kmer yang biasa menanam padi dan “angon” kerbau mendadak dapat mainan baru, senjata AK 47. 

Mereka, orang Khmer yang berkulit gelap, bermata bundar, yang harga produknya makin turun  karena tergesa-gesa menjual bakal membeli radio transistor, berbondong-bondong diajak oleh Pemimpin Baru mereka Pol Pot dkk untuk menyerbu kota sambil mengacung-acungkan mainan barunya AK47 dengan magazen penuh !

Ternyata orang Khmer, petani pedalaman yang dibiarkan bodoh dan primitive, setelah mengacung-acungkan AK47 menjadi orang yang diturut segala kemauannya. Jadi klan Khmer Udik berkulit sawo matang dari suku inferior, bodoh dan terbelakang mendadak superior setelah mendapat mainan AK 47. Mendadak ditakuti.

Jutaan warga Cambodia dari etnik Cina, dari etnik Vietnam yang sudah tinggal di Cambodia bergenerasi-generasi, dari etnik Khmer yang dapat previlegy menjadi Bangsawan di bawah naungan Perancis, menjadi bangsawan Kerajaan Cambodia Merdeka, klan Khmer tinggi ini mereka berkulit cerah kayak Pangeran Norodom Sihanuk, jadi mudah ditandai, mereka tidak sensitive terhadap nasib petani Khmer Udik yang selalu kalah dalam menjual produknya seterusnya makin dalam jurang antara nilai hasil kerjanya dibanding dengan dagangan yang makin canggih, akhirnya banyak yang harus menjual anak gadisnya untuk memperoleh satu motor tempel perahunya, peduli amat yang dijual ya seneng kok.

Hangkara murka si Menang tidak ada batasnya, akhirnya si Kalah kebetulan punya mainan baru dan “The killing field” pun lantas terjadi, amuk massal petani karena kebodohan hanya menghasilkan atrocity dan genocide yang sia-sia.

Apa sebenarnya: Si Kuat dan si Pintar harus mengajari bangsanya yang kurang beruntung jadi petani Khmer, membantunya memperoleh harga yang wajar produk-produknya, mengambil keuntungan wajar di kala menjual barang-barang yang didambakan petani, menumbuhkan kebudayaan mereka sehingga bisa diterima masyarakat Dunia dan hidup dengan kebersamaan yang nyata ? (Lihat saja  cicilan sepada motor dengan 650 ribu rupiah per bulan, berapa bulan harus dicicil, 36 bulan ? lantas berapa bunga per tahunnya ?)

Akh, ini terlalu idealis, yang pragmatis gitu lho...
Ingat, kita masih mempunyai suku Dayak di Kalimantan, kita masih mempunyai suku suku Papua, semua mereka masih lugu,  apa hutannya trus kita babat habis-habisan, dengan tambang-tambang terbuka, top soil-nya kita habiskan, kotanya tumbuh asal-asalan, bakal digelontor banjir bandang, biang keladinya ya siapa lagi kalau buka orang ber- mansion di Jakarta, Surabaya, entah bakal apa jadinya bangsa kita di masa yang akan datang. Yang pasti aku ndak mau Cambodia 'Grim Story' terjadi lagi... (*)



0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More