PEMANFAATAN LAHAN TIDUR UNTUK PERTANIAN.
Saya pernah disuruh mengajar di satu Fakultas Pertanian Universitas Swasta, yang saya sanggupi, meski semua orang bilang honornya tidak seberapa, tapi biarlah agar jadi amalan ilmu.
Dibandingkan dengan sarjana pertanian contemporer saya, saya merasa saya telah bersinggungan dengan mekanisasi pertanian jauh lebih awal intensif, karena saya dididik di Uni Sovyet, lulus magister pertanian di Sovyet tahun 1965. Tahun terjadinya perubahan yang sangat dahsyat, karena Orde Baru membuang seluruh hasil kerja yang berbau Orde Lama.
Dengan serta merta saya kerja di perusahaan swasta, sebagai Agronomist, Sales Promotor dan Representive dari Perusahaan Agrochemical milik Perusahaan Multi National antara lain untuk Bimas/ Inmas. Nama kerennya dari Tukang Obat. Saya tetap diterima baik oleh kawan-kawan contemporer saya yang lulusan Gajah Mada, meskipun saya urung jadi Alumni karena pindah studi di Patricia Lumumba Moscow, mereka pada meniti karier sebagai Penjabat Pemerintah di bidang Pertanian dan Peternakan.
Kurenungkan pengantar kuliah ini dengan berkesimpulan bahwa Mekanisasi Pertanian adalah satu keharusan, karena urusan “Bertani” delapan puluh persen lebih adalah urusan : “mengangkat dan mengangkut” beban yang berat.
Dalam bahasa Jawa ukuran ukuran luas dan berat banyak yang dihubungkan dengan tenaga manusai, misalnya luas lahan pertanian diukur dengan “bahu” dalam Babad Tanah Jawi dibahasakan dengan “karyo” umpama …..dihadiahi oleh Raja, tanah berukuran “seribu karyo” dan pakaian kebesaran satu perangkat. Satu bahu sama dengan kurang lebih 0,75 Ha.
Hak atas harta warisan kepada anak diukur dengan pengandaian beban “segendong” untuk anak perempuan dan “sepikulan” untuk anak laki-laki.
Pada periode Perang Kemerdekaan tahun 1945 – 1949 , Tentara Kerajaan Belanda membedakan pemuda Pejuang/Gerilyawan dengan pemuda tani dari desa-desa, yang kerjanya bertani, dengan melihat penebalan kulit pada pundak/ bahu (karena bekas pikulan) dan penebalan pada telapak kaki mereka, karena lain dari pemuda pejuang/gerilyawan.
Jadi pertanian modern yang mempunyai ciri lebih produktif, setiap pelaku pertanian harus mampu “mengangkat dan mengangkut” setara dengan tingkat produktivitas yang semakin meningkat dimiliki masyarakat modern.
Lha bagaimana bisa, bila tidak dibantu dengan alat-alat, kemudian mesin-mesin ?
Saya sering terbang rendah dengan menumpang penerbangan Perintis pesawat Cassa di atas permukiman wilayah transmigrasi, tak terlihat adanya pembuatan jalan-jalan kendaraan untuk mengangkut hasil dan membawa pupuk ke lahan, kecuali jalan ke hunian mereka, apa mereka bakalan memikul dan mengerjakan tanah olah dengan cangkul dan ternak seperti nenek moyangnya ribuan tahun yang lalu ?
Kok beda sekali dengan Pemerintah Hindia Belanda waktu membangun lahan tebu jutaan Hektare di Pulau Jawa pada penghujung abad ke 19, lahan sawah di ‘kriss-kross’ dengan jalan- jalan dan jalan untuk rel lori yang dipindah-pindah sampai sekarang masih ada, sebab mereka memperhitungkan panen tebu hingga 1000 kwintal/ha.
Kok mirip lahan sawah di wilayah Pinrang Sulewesi Selatan, dengan lahan sawah yang sangat luas dan pengairan yang baik dari sungai Sa’dang, tapi juga ndak ada jalan yang cukup untuk mengangkut panen padi ke pinggir sawah, walau pengangkutan hasil sudah dikerjakan dengan kuda beban.
Makanya sering terjadi padi busuk atau tumbuh sebelum sempat diangkut ke jalan yang diperkeras.
Begitu cepatnya problem bahan bakar untuk mesin-mesin merambah ekonomi masyarakat Indonesia dan Dunia.
Lebih dari 80 % pekerjaan di bidang pertanian adalah mengangkat dan mengangkut, akan benar-benar terpukul. Bayangkan, untuk “mengangkat” selapis tanah lapisan olah walau hanya beberapa sentimeter saja, nama umumnya “pengerjaan tanah” atau membajak, atau mencangkul supaya lebih produktif, ya dibantu traktor.
Untuk membawa pupuk ke lahan olah, bila pilihan jatuh ke pupuk organic yang didengung-dengungkan pemerintah, apa tidak perlu alat bantu untuk mengangkut katakan 10 – 30 ton compost atau pupuk kandang masak ? Maunya kan melipat gandakan produktivitas kerja setiap petani ?
Orang mengatakan pemakainan pupuk organic, -tapi dosisnya hanya kuintal-kuintalan setiap hectare, itu menurut perhitungan saya-, ya orang yang bilang gitu sama saja dengan berbohong.
Mengangkut hasil dari lahan, juga perlu jalan perlu alat dengan roda pneumatic ditarik mesin, katanya harus melipat gandakan produktivitas petani ? Bila tidak kapan petani bisa meningkat taraf hidupnya ?
Tidakkah pada waktunya untuk men-design baru lahan yang harus dibuka untuk pertanian, dengan azas efisiensi energi mekanis untuk nantinya dan sosiologis kalaupun masih di ingat.
Mosok lahan transmigrasi cuma diberi jalan lurus dengan kiri kanan lahan kering untuk bertani dan hunian diatur perpetak-petak dipinggir jalan thok ?
Indonesia masih sangat beruntung mempunyai lahan tidur yang sangat luas dan potensial, bukan untuk petani yang memikul dan mencangkul, tapi menggunakan alat mesin, yang tentu saja membutuhkan seluruh perhatian kita untuk memberikan prioritas bahan bakar yang semakin mahal ?
Apa menteri yang suka berbohong, mampu mengerahkan para pemikir tentang ini ?
Tidakkah sudah pada waktunya kita mempunyai design mesin penggerak yang universal, murah dan mudah untuk membantu pertanian kita. Jenis mesin apa yang bisa dimiliki secara kolektif? dan jenis mesin apa yang bisa dimiliki petani secara individual ?
Ini semua ujung-ujungnya ke pemakaian bahan bakar yang semakin mahal, dan semakin menuntut efisiensi, bila perlu dengan diversifikasi jenis bahan bakar atau kayu, atau gas atau batubara.
Di samping ribut-ribut mengenai mobil buatan dalam negeri, yang semua komponennya dicetak di China?
Seorang Pemimpin yang mampu mengilhami rakyatnya, mengerahkan tenaganya, masih kurang cukup bila dibandingkan dengan tuntutan tugas dari keadaan sekarang.
Seorang Pemimpin yang benar benar terfokus pada upaya memanfaatkan lahan tidur, lahan gambut, lahan rawa pasang surut, dengan design kedepan penggunaan masin mesin yang cocok buat pertanian kita, sangat diperlukan.
Bila jaman kerajaan Hindu hampir semua situs pusat kerajaan didirikan di pedalaman setinggi lebih kurang 500 meter diatas muka laut, lahan miring, bukanlah satu kebetulan yang aneh, tapi menurut azas kemudahan membuat sawah berundag dengan irigasi, sehingga sawah berpengairan mudah dicetak dan menjamin pangan maupun komoditas dagangan di kala itu, kenapa sekarang tidak kita ulang sejarah itu, senyampang problem energi menjadi sangat kritis ?
Sambil mengerahkan tenaga petani pengguna air pengairan buat konservasi lahan di atasnya sebagai hutan water catchment area ? Bukankah alat-alat electronic sekarang ini terlebih yang akan datang, makin irit sehingga terjunan air sekecil apapun bisa bermanfaat untuk memutar generator listrik ?
Daripada menanggung akibat pembalakan liar, lereng-lereng yang di Papua pun sudah dirasakan.
Setengah abad yang lalu, ex negara Uni Sovyet ingin mengejar produktivitas Petani Amerika Serikat, yang konon hanya 3% dari total penduduknya, mampu memberi makan seluruh penduduk AS, mengalami kesulitan yang besar, karena sistem jaringan jalan dan jembatan yang kurang memadai, juga silo-silo dan gudang gudang, teknologi yang tidak terintegrasi antara panen, upaya pasca panen dan pengolahan.
Pada waktu itu belum terasa tekanan harga bahan bakar, terutama minyak bumi.
Kita tidak hanya harus menanggulangi tekanan ketidak seimbangan kependudukan yang berakibat sangat parah pada bidang pertanian, tapi juga harus meningkatkan produktivitas petiap petani untuk menjamin taraf hidupnya di manapun mereka bertani, dengan mekanisasi.
Tapi juga harus menyediakan perangkat pemakaian energi yang efisien bagi pertanian seperti yang sebelumnya tidak pernah sebegitu terpaksa seperti sekarang. Dan harus bisa atau Negeri ini diambil alih orang lain, dan kami hanya akan jadi buruhnya yang kontrakan saja ?
Maka itu wahai yang merasa mampu menjadi calon Pemimpin Bangsa ini, berpikirlah ke depan untuk nasib bangsamu, bila tidak mampu memulai melaksanakan pikiranmu, itu juallah mimpi untuk mengatasi problem masa datang, bukan hanya sekedar menawarkan perubahan keadaan dengan suara menggelegar, terlalu naïf, toh lebih baik dari menjadi Pemimpin Collector pencuri, hanya karena daya dukung kelicikannya dan uangnya. (*)
Saya pernah disuruh mengajar di satu Fakultas Pertanian Universitas Swasta, yang saya sanggupi, meski semua orang bilang honornya tidak seberapa, tapi biarlah agar jadi amalan ilmu.
Dibandingkan dengan sarjana pertanian contemporer saya, saya merasa saya telah bersinggungan dengan mekanisasi pertanian jauh lebih awal intensif, karena saya dididik di Uni Sovyet, lulus magister pertanian di Sovyet tahun 1965. Tahun terjadinya perubahan yang sangat dahsyat, karena Orde Baru membuang seluruh hasil kerja yang berbau Orde Lama.
Dengan serta merta saya kerja di perusahaan swasta, sebagai Agronomist, Sales Promotor dan Representive dari Perusahaan Agrochemical milik Perusahaan Multi National antara lain untuk Bimas/ Inmas. Nama kerennya dari Tukang Obat. Saya tetap diterima baik oleh kawan-kawan contemporer saya yang lulusan Gajah Mada, meskipun saya urung jadi Alumni karena pindah studi di Patricia Lumumba Moscow, mereka pada meniti karier sebagai Penjabat Pemerintah di bidang Pertanian dan Peternakan.
Kurenungkan pengantar kuliah ini dengan berkesimpulan bahwa Mekanisasi Pertanian adalah satu keharusan, karena urusan “Bertani” delapan puluh persen lebih adalah urusan : “mengangkat dan mengangkut” beban yang berat.
Dalam bahasa Jawa ukuran ukuran luas dan berat banyak yang dihubungkan dengan tenaga manusai, misalnya luas lahan pertanian diukur dengan “bahu” dalam Babad Tanah Jawi dibahasakan dengan “karyo” umpama …..dihadiahi oleh Raja, tanah berukuran “seribu karyo” dan pakaian kebesaran satu perangkat. Satu bahu sama dengan kurang lebih 0,75 Ha.
Hak atas harta warisan kepada anak diukur dengan pengandaian beban “segendong” untuk anak perempuan dan “sepikulan” untuk anak laki-laki.
Pada periode Perang Kemerdekaan tahun 1945 – 1949 , Tentara Kerajaan Belanda membedakan pemuda Pejuang/Gerilyawan dengan pemuda tani dari desa-desa, yang kerjanya bertani, dengan melihat penebalan kulit pada pundak/ bahu (karena bekas pikulan) dan penebalan pada telapak kaki mereka, karena lain dari pemuda pejuang/gerilyawan.
Jadi pertanian modern yang mempunyai ciri lebih produktif, setiap pelaku pertanian harus mampu “mengangkat dan mengangkut” setara dengan tingkat produktivitas yang semakin meningkat dimiliki masyarakat modern.
Lha bagaimana bisa, bila tidak dibantu dengan alat-alat, kemudian mesin-mesin ?
Saya sering terbang rendah dengan menumpang penerbangan Perintis pesawat Cassa di atas permukiman wilayah transmigrasi, tak terlihat adanya pembuatan jalan-jalan kendaraan untuk mengangkut hasil dan membawa pupuk ke lahan, kecuali jalan ke hunian mereka, apa mereka bakalan memikul dan mengerjakan tanah olah dengan cangkul dan ternak seperti nenek moyangnya ribuan tahun yang lalu ?
Kok beda sekali dengan Pemerintah Hindia Belanda waktu membangun lahan tebu jutaan Hektare di Pulau Jawa pada penghujung abad ke 19, lahan sawah di ‘kriss-kross’ dengan jalan- jalan dan jalan untuk rel lori yang dipindah-pindah sampai sekarang masih ada, sebab mereka memperhitungkan panen tebu hingga 1000 kwintal/ha.
Kok mirip lahan sawah di wilayah Pinrang Sulewesi Selatan, dengan lahan sawah yang sangat luas dan pengairan yang baik dari sungai Sa’dang, tapi juga ndak ada jalan yang cukup untuk mengangkut panen padi ke pinggir sawah, walau pengangkutan hasil sudah dikerjakan dengan kuda beban.
Makanya sering terjadi padi busuk atau tumbuh sebelum sempat diangkut ke jalan yang diperkeras.
Begitu cepatnya problem bahan bakar untuk mesin-mesin merambah ekonomi masyarakat Indonesia dan Dunia.
Lebih dari 80 % pekerjaan di bidang pertanian adalah mengangkat dan mengangkut, akan benar-benar terpukul. Bayangkan, untuk “mengangkat” selapis tanah lapisan olah walau hanya beberapa sentimeter saja, nama umumnya “pengerjaan tanah” atau membajak, atau mencangkul supaya lebih produktif, ya dibantu traktor.
Untuk membawa pupuk ke lahan olah, bila pilihan jatuh ke pupuk organic yang didengung-dengungkan pemerintah, apa tidak perlu alat bantu untuk mengangkut katakan 10 – 30 ton compost atau pupuk kandang masak ? Maunya kan melipat gandakan produktivitas kerja setiap petani ?
Orang mengatakan pemakainan pupuk organic, -tapi dosisnya hanya kuintal-kuintalan setiap hectare, itu menurut perhitungan saya-, ya orang yang bilang gitu sama saja dengan berbohong.
Mengangkut hasil dari lahan, juga perlu jalan perlu alat dengan roda pneumatic ditarik mesin, katanya harus melipat gandakan produktivitas petani ? Bila tidak kapan petani bisa meningkat taraf hidupnya ?
Tidakkah pada waktunya untuk men-design baru lahan yang harus dibuka untuk pertanian, dengan azas efisiensi energi mekanis untuk nantinya dan sosiologis kalaupun masih di ingat.
Mosok lahan transmigrasi cuma diberi jalan lurus dengan kiri kanan lahan kering untuk bertani dan hunian diatur perpetak-petak dipinggir jalan thok ?
Indonesia masih sangat beruntung mempunyai lahan tidur yang sangat luas dan potensial, bukan untuk petani yang memikul dan mencangkul, tapi menggunakan alat mesin, yang tentu saja membutuhkan seluruh perhatian kita untuk memberikan prioritas bahan bakar yang semakin mahal ?
Apa menteri yang suka berbohong, mampu mengerahkan para pemikir tentang ini ?
Tidakkah sudah pada waktunya kita mempunyai design mesin penggerak yang universal, murah dan mudah untuk membantu pertanian kita. Jenis mesin apa yang bisa dimiliki secara kolektif? dan jenis mesin apa yang bisa dimiliki petani secara individual ?
Ini semua ujung-ujungnya ke pemakaian bahan bakar yang semakin mahal, dan semakin menuntut efisiensi, bila perlu dengan diversifikasi jenis bahan bakar atau kayu, atau gas atau batubara.
Di samping ribut-ribut mengenai mobil buatan dalam negeri, yang semua komponennya dicetak di China?
Seorang Pemimpin yang mampu mengilhami rakyatnya, mengerahkan tenaganya, masih kurang cukup bila dibandingkan dengan tuntutan tugas dari keadaan sekarang.
Seorang Pemimpin yang benar benar terfokus pada upaya memanfaatkan lahan tidur, lahan gambut, lahan rawa pasang surut, dengan design kedepan penggunaan masin mesin yang cocok buat pertanian kita, sangat diperlukan.
Bila jaman kerajaan Hindu hampir semua situs pusat kerajaan didirikan di pedalaman setinggi lebih kurang 500 meter diatas muka laut, lahan miring, bukanlah satu kebetulan yang aneh, tapi menurut azas kemudahan membuat sawah berundag dengan irigasi, sehingga sawah berpengairan mudah dicetak dan menjamin pangan maupun komoditas dagangan di kala itu, kenapa sekarang tidak kita ulang sejarah itu, senyampang problem energi menjadi sangat kritis ?
Sambil mengerahkan tenaga petani pengguna air pengairan buat konservasi lahan di atasnya sebagai hutan water catchment area ? Bukankah alat-alat electronic sekarang ini terlebih yang akan datang, makin irit sehingga terjunan air sekecil apapun bisa bermanfaat untuk memutar generator listrik ?
Daripada menanggung akibat pembalakan liar, lereng-lereng yang di Papua pun sudah dirasakan.
Setengah abad yang lalu, ex negara Uni Sovyet ingin mengejar produktivitas Petani Amerika Serikat, yang konon hanya 3% dari total penduduknya, mampu memberi makan seluruh penduduk AS, mengalami kesulitan yang besar, karena sistem jaringan jalan dan jembatan yang kurang memadai, juga silo-silo dan gudang gudang, teknologi yang tidak terintegrasi antara panen, upaya pasca panen dan pengolahan.
Pada waktu itu belum terasa tekanan harga bahan bakar, terutama minyak bumi.
Kita tidak hanya harus menanggulangi tekanan ketidak seimbangan kependudukan yang berakibat sangat parah pada bidang pertanian, tapi juga harus meningkatkan produktivitas petiap petani untuk menjamin taraf hidupnya di manapun mereka bertani, dengan mekanisasi.
Tapi juga harus menyediakan perangkat pemakaian energi yang efisien bagi pertanian seperti yang sebelumnya tidak pernah sebegitu terpaksa seperti sekarang. Dan harus bisa atau Negeri ini diambil alih orang lain, dan kami hanya akan jadi buruhnya yang kontrakan saja ?
Maka itu wahai yang merasa mampu menjadi calon Pemimpin Bangsa ini, berpikirlah ke depan untuk nasib bangsamu, bila tidak mampu memulai melaksanakan pikiranmu, itu juallah mimpi untuk mengatasi problem masa datang, bukan hanya sekedar menawarkan perubahan keadaan dengan suara menggelegar, terlalu naïf, toh lebih baik dari menjadi Pemimpin Collector pencuri, hanya karena daya dukung kelicikannya dan uangnya. (*)
0 comments:
Posting Komentar