Sebenarnya saya menulis perkara tanaman budidaya singkong atau ubi kayu ini lebih banyak terprovokasi oleh “kata kunci singkong” dari page alexa rank yang anehnya terarah kepada blog saya. Dalam alexa page rank, kata kunci yang direferensikan ke blog idesubagyo adalah "singkong", untuk itu, saya akan berusaha menyajikan alternatif literatur yang bisa untuk bahan bacaan, para netter sekalian.
Memang saya termasuk konsumen singkong goreng di manapun saya bisa beli, dan saya tidak segan-segan belanja sendiri pagi pagi ke pasar untuk membeli beberapa kilogram buat oleh-oleh, wong kendaraan saya hanya jeep dan selalu berkeliling ke desa-desa, jadi penampilannya selalu bergelimang lumpur.
Ternyata tidak gampang untuk memilih singkong yang enak untuk dimakan, dibanding dengan memilih segala macam buah-buahan dan umbi-umbian yang ada di pasar.
Segala tanda-tanda yang bisa dilihat dari sebatang singkong, yang saya jadikan patokan untuk mendapatkan singkong yang nantinya “empuk” dan “gurih”, tidak selalu cocok, setelah direbus atau digoreng, meskipun sesudah dipilih dengan teliti,
Misalnya : warnanya, tanah yang menempel, perkembangan umbinya yang dilihat dari kulit terluar yang serupa jala yang mengembang, kemudahan mengelupas kulit dicoba dengan kuku jari, mematahkan ujungnya untuk melihat warna dagingnya, dsb.
Ternyata pertama, tanda tidak baik adalah sulit dikupas, kurang berair, ini pasti akan membuat kecewa, karena pasti nanti bila diolah tidak enak, antara lain :
Dibalut dengan lapisan kehitaman, “ngganyong” alias tidah “medhuk” atau tidak empuk, nampak dalam pertumbuhannya umbi akar ini berseling dengan lapisan yang berserat kasar dll, padahal nampaknya dari penampilan semua OK.
Ini saya tidak bicara perkara kandungan tepungnya, atau vitaminnya, saya bicara mengenai nikmatnya bila dikukus atau digoreng nanti.
Saya baru bisa yakin 100% bahwa singkong yang saya dapat itu nanti bila direbus dikukus atau digoreng, akan nikmat, dari mengetahui tempat di mana dia ditanam dan diperlakukan selama masa vegetasinya, dan kapan dicabut, sudah cukup umurnya dan tidak terlalu tua, setahun umpamanya, yang umur segini kebanyakan tidak enak.
Dari sini bisa diraba kondisi lingkungan tumbuhnya dan perlakuan yang disukai tanaman budidaya Manihot utilissima ini, sehingga memberikan kenikmatan maksimal untuk dikukus atau digoreng.
Setelah saya pelajari di Wikipedia, ubi kayu atau singkong ini termasuk dalam:
Kelas : Dicotyledone
Ordo : Euphorbiales
Familia : EuphorbiaceaeGenus : Manihot
Species: Manihot utilissima Pohl
Tanaman budidaya hari pendek 10-12 jam, suka tanah yang kaya hara terutama K+ dan bertekstur gembur, poreus, dan bereaksi pH antara 5,5 – 8.
Yang saya tahu:
Harus tidak ada gangguan pertumbuhan pada pucuk-pucuknya, oleh hama dan penyakit, apalagi dipotes untuk sayur, pasti nanti singkongnya tidak enak, tidak empuk.
Curah hujan 2000 – 3000 mm/tahun tidak ada musim kering yang panjang lebih dari 3 bulan, tumbuh di tempat terbuka, bukan di bawah naungan tanaman lain.
Masa vegetasi sampai cocok untuk dipanen 4-8 bulan, bila kurang dari 4 bulan, singkongnya masih “ngganyong” artinya keras bila direbus matang, tidak empuk.
Kawasan sekitar kota Solo, tepatnya di Pajang, Kartosuro, jaman tahun 1947 zaman Perang Kemerdekaan kami mengungsi dari Surabaya bermukim di Solo, sebelah barat kota, saban siang sampai sore selalu lewat banyak wanita menggendong jualannya “gethuk” yakni rebusan singkong yang empuk, ditumbuk dalan bakul kecil sekaligus sebagai cetakannya, dari cetakan itu sepotong “gethuk” di iris dan disajikan dengan parutan kelapa yang agak muda, masih manis sedikit, kadang bila beruntung gethuknya masih hangat, wah bagi kami anak berunur 7-8 tahun dan selalu kelaparan, sangat nikmat, sekarang entah apa masih ada.
Ada yang hanya diberi garam secukupnya berwarna putih kekuningan, ada yang diberi gula kelapa jadi berwarna coklat muda berasa manis, berbondong-bondong digendong ke Kota, untuk dijajakan dari kampung ke kampung.
Ini berarti wilayah Pajang bisa secara handal mensuplai bahan baku berupa singkong yang enak sepanjang tahun.
Beda dengan jenis tanah sekitar Jakarta, di Pajang tanahnya ringan bepasir endapan ledakan vulkanik Gunung Merapi, curah hujan lebih rendah dari sekitar Jakarta, tapi tidak pernah kering karena tanahnya “ngompol” artinya menarik air keatas kepermukaan tanah, air yang ada di kedalaman, berkat porositas dan kapilaritas tanah yang baik.
Kawasan lain dimana saya bisa menikmati singkong goreng, umpama: Dulu ditahun 1966 -1968 Jakarta belum seperti sekarang, di sepanjang pinggir rel KA dekat Mesjid Istiqlal Gambir Jakarta, banyak penjual teh poci dan singkong goreng, nikmat sekali, setelah jalan kaki begitu jauh dari Kantor Dept PTIP (Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan) dibelakang Universitas Indonesia di Salemba, hanya untuk minum teh poci dan makan singkong goreng.
Jadi mestinya di seputar Jakarta, entah di Pasar Minggu, entah di Bekasi atau Krawang, bahkan sampai wilayah Bogor, atau Sukabumi, lingkungan itu cocok buat menanam singkong, meskipun tanahnya rata rata agak berat dan lateritic, artinya pH kurang lebih asam, banyak mengandung Fe203--,disela-sela tanah regosol coklat tua, tidak ada musim kering yang panjang.
Sampai sekarang, singkong di wilayah Parung Bogor, ditanam hanya untuk daunnya sebagai sayur terutama restoran Padang di Jakarta. Daun singkong dipanen dua bulan sekali.
Selanjutnya setelah saya bekerja sebagai Agronomist yang kerjanya keliling untuk menjelaskan kapan dan untuk hama apa produk saya dipergunakan untuk pengendalian hama, daerah yang ketela pohon yang selalu baik setiap saat adalah daerah lereng Gunung Kelud, terutama di daerah Kepung, Pare, dan Kediri. Di sana tanahnya rata-rata ringan berpasir endapan abu Gunung Kelud, dan banyak yang “ngompol”.
Belum pernah saya mencoba singkong dari Malang selatan, yang konon diangkut lewat jalan Semeru Selatan yang terkenal, dengan “Power wagon” kendaraan truck ringan 4x4, sisa Perang Dunia II yang bensinnya 1 liter hanya untuk 5 km, untuk pabrik Tapioca, entah sekarang.
Di samping itu wilayah Bojonegoro yang dipengaruhi tanah alluvial Bengawan Solo, mungkin tanah yang tumbuh di atas batuan kapur gunung Kendeng, pun bisa menghasilkan menyok (Manihot) yang berkualitas tinggi. Jadi terutama di akhir musim penghujan saya ke pasar beli beberapa kilo singkong, ya enak.
Begitu pula dari Kecamatan Kincang sedikit ke barat Madiun, singkongnya selalu enak.
Yang paling tidak bisa dipercaya adalah wilayah Gresik dan seputar Surabaya, daerah ini sangat meragukan dapat menghasikan singkong dengan kualitas tuntutan saya. Maklum kebanyakan bertanah berat, aluvial lumpur dan tanah grumosol bila basah berwarna hitam yang sangat berat, hingga pecah di musim kemarau, kecuali sedikit tanah yang tumbuh di atas perbukitan dan lereng perbukitan kapur Kendeng, yang tentu saja tidak mengkhususkan tanaman budidaya singkong, tetapi tembakau,kedelai dan jagung yang masa vegetasinya lebih singkat, tanah di lokasi ini lebih cocok untuk singkong. Meski saya curiga tidak pernah sampai ke pasar, hanya cukup untuk keperluan sendiri.
Saya sangat bersyukur bila kualitas singkong yang saya cari, cocok dengan kualitas yang dituntut oleh Industri tepung singkong atau tepu aci/kanji/ tapioca.
Di Perkebunan HGU untuk kopi ada larangan Departemen Perkebunan khusus menanam singkong, meskipun hanya sementara. Peraturan ini berdasarkan kenyataan bahwa singkong sangat menguras kesuburan tanah, dan run off dari air hujan akan mengangkut top soil dengan gampang bila ditanami singkong.
Konon dulu HVA (Handels Vereeneging Amsterdam) berkebun singkong ribuan hectare di seputar Kepung dan Pare dengan singkong yang mengandung asam sianida tinggi, mematikan (supaya tidak dicuri), racun ini hilang dengan dicuci air banyak banyak, demi tepung tapioca yang bernilai tinggi untuk culiner dan ethanol, tepung ini sangat berharga karena butirannya yang sangat kecil kira-kira 20 micron saja, sangat memudahkan proses mengolah jadi produk lain.
Di Utara kota Manado, beberapa puluh mil laut ada pulau vulkanik, Manado Tua, dimana penghuninya yang menetap di sana beberapa puluh keluarga, sepanjang tahun main staple food nya adalah singkong, menemani santapan hasil tangkapan laut lainnya, sebagai garnier.
Di wilayah Gunung Kidul, di banyak tempat dipinggir laut selatan Jawa, singkong dikeringkan namanya “gaplek” untuk disimpan dan dijadikan staple food sebagai “tiwul”dimakan dengan ikan asin dan rebusan dedaunan yang diberi bumbu.
Celakanya sesudah abad ke XVI Manihot utilissima Pohl sudah di-introduksikan ke Afrika oleh penjelajah Portugis, malah di banyak Negara Afrika tropis, Manihot atau Cassava sekarang menjadi main staple crop bangsa-bangsa Afrika.
Karena dibudidayakan gampang, hanya dengan stek, batang 10-15 cm saja, ditancapkan tidak dalam hanya 1,5 - 2 cm saja, selalu sudah dari clone dari jenis yang baik. Di benua Afrika singkong menduduki tempat terhormat, bahkan dalam bahasa Togo dan kawasan Benin di Afrika, singkong dinamakan agbeli, yang artinya "there is life" atau "itulah kehidupan".
Bencana besar sewaktu ada wabah virus singkong yang meluas, mendadak saja diperlukan clone-clone lain yang tahan terhadap virus yang menyerang.
Dari “From crisis to control” google Wikipedia:
Di benua Afrika pada tahun 1970 kemudian 1987 hama Planococcus manihot, atau mealybug, / witte luis/ kutu putih, menyerang hingga 80 % hamparan makanan pokok Manihot ini, menimbulkan kelaparan yang luas. Di perkebunan kopi kita ada Planococcus citri/ kutu putih dompolan, yang juga cepat berkembang di musim kering dan sulit dikendalikan.
Malah menjadi kebanggaan para ahli pengendalian hama secara biologis, karena mereka berhasil mengintroduksikan musuh alami yang dicari dengan susah payah dari Amerika Selatan tropis yang ternyata adalah sebangsa lebah penyengat Epidinicarsts lopezi yang merupakan predator dari Planococcus manihot yang ganas, bisa mengendalikan P manihot.
Lagi ada jenis mytes yang mengisap cairan sel daun singkong di pucuk-pucuknya hingga kering dan berkembang dengan cepat ke seluruh Negara Afrika penanam singkong.
Untuk menanggulangi hama mytes di Afrika, telah berhasil dicarikan predator dari tempat asalnya, diintroduksi dengan sangat mudah Typhlodromalus aripo, tanpa upaya rearing untuk melipat-gandakan populasinya secara teliti terlebih dahulu, bisa berkembang sendiri bila pucuk singkong yang ada mytes nya sudah dimakan musuh alami, mytes ini dipindahkan ke lahan yang belum ada predatornya, dengan cepat dari kawasan Benin-Afrika, ke tempat lain sehingga menempuh jarak 500.000 km di sembilan Negara Afrika, (google id.Wiki.org/code/singkong) di kata kunci : “From crisis to control”.
Pengalaman dari Afrika yang panjang lebar jadi cerita disini hanya menggambarkan, di sinipun (Indonesia) akan terjadi hal yang demikian apabila singkong dilirik dijadikan sumber bio ethanol, atau bio diesel yang lagi “in” sekarang ini.
Malah menyinggung lahan gambut yang sangat luas di Indonesia, sangat berharga karena air ada di sana.
Hanya karakteristika lahan ini membutuhkan teknik khusus. Lahan ini tidak boleh sama sekali dikeringkan, sebab gambut bila kering berubah watak dan menyusut, hanya dibolehkan dikeringkan hingga permukaan air tanah turun 20-25 centimeter saja, dan sewaktu waku bisa dinaikkan ke permukaan tanah beberapa jam.
Gambut di Indonesia banyak berasal dari pepohonan, bukan dedaunan yang secara anaerob terurai di dalam air, makanya reaksinya sangat asam dan mengandung lignin dan senyawa phenol yang beracun mengerdilkan tumbuh-tumbuhan (repertory ipb.ac.id/bitstream) di kata kunci : Manihot utilissima.
Jalan satu satunya untuk memanfaatkan lahan ini adalah pengapuran yang diperkirakan mencapai 500 – 1000 kg kaptan (kapur pertanian) dengan ukuran kecil misalnya 200 mesh. Begitulah angka untuk dicoba. Dengan pertimbangan bahwa terhadap lahan hutan yang baru dibabat saja yang pH nya 5,5 diperlukan kaptan dengan ukuran mesh ini - 200 kg untuk tanaman kedelai yang yang masa vegetasinya hanya 4 bulan saja.
Saya belum menemukan karya ilmiah yang meneliti persoalan ini.
Dari sumber yang sama saya mendapatkan data bio ethanol yang bisa dihasilkan dalam satu tahun dari lahan 1 hektar:
Tebu : 3000 - 8700 l/tahun/Ha
Singkong : 2000 - 7000 l/tahun/Ha
Sorghum : 1500- 5000l/tahun/ Ha.
Pokoknya sepanjang pengetahuan saya tanaman budidaya singkong, belum mendapat kesulitan kayak pisang, yang di pulau Jawa dan Sulawesi selalu diincar oleh penyakit Pseudomonas dan Fusarium di mana saja sepanjang tahun.
Tidak seperti tanaman Kelapa yang pelan pelan punah dari pulau Jawa, dihabisi oleh hama Oryctes rhinoceros dan lundi dari Rhinchoporus dari ordo Coleoptera.
Singkong masih relatif aman, tapi menurut Wikipedia, ada ancaman uret/lundi dari Xilanthropus, ada serangan tungau merah Tetranichus bimaculatus.
Ada penyakit Xanthomonas manihotis/ cassava bacterial blight, ada bakteri Pseudomonas solanaceum, ada bercak daun Cercospora, dan bercak consentris Poma phylostica. Sampai sekarang bukan merupakan serangan yang luas, hanya tanaman yang sembarangan ditanam menjadi lemah dan jadi mangsa hama dan penyakit.
Sampai pada satu saat ditanam besar-besaran untuk bio ethanol atau bio diesel. Ditanam secara serampangan dan mengintroduksi cultivar yang dianggap unggul dari wilayah ecology lain.
Last but not least, petani kita Pak Mukibat telah berhasil menciptakan pohung Mukibat, yaitu hasil sambungan antara Manihot utilissima dengan Manihot glaziovii L yang berupa pohon bisa setinggi 3 meter tapi tidak berumbi akar.
Hasil hybridisasi vegetative ini adalah pohung Mukibat yang umbi akarnya adalah M utilissima dan canopynya adalah M glaziovii, konon umbi akar pohon ini, bisa mencapai berat satu kwintal. Semoga belum menjadi ubi kayu dengan nama“Datuk Jiran” di Lembaga Patent Internasional.
Aneka Sumber Informasi
Kali ini saya akan mencoba menulis penelusuran saya mengenai kiprah penelitian tentang tanaman singkong, baik dari kalangan resmi atau Balai Penelitian Tanaman Pangan dari Departemen Pertanian dan dari Kalangan Swasta.
Pertama saya kunjungi situs “Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian” di Kendalpayak Malang, yang merupakan Unit Kerja dari Badan Litbang Pertanian dengan laman www litbang.deptan.go.id
Dua puluh tanun yang lalu saya sering bertandang ke Balai itu. Memang sampai sekarang Balai tersebut masih menggeluti Penelitian dan Pemuliaan tanaman kacang-kacangan dan Umbi-umbian.
Ada dua varietas yang baru, diekspose dan di-release karakteristika nya dan potensi panennya yaitu : Malang 4 dan Malang 6 termasuk daya tahan terhadap hama tungau merah
Informasi yang standard untuk varietas yang baru di-release, cukup bagus.
Di samping itu ada informasi dari fihak swasta yang menjual bibit yang diberi nama “varietas” Darul Hidayah yang ternyata sambungan dengan M. glaziovi L (ketela karet). Didaftarkan apa enggak kepada Lembaga diatas saya tidak tahu. Namun sebenarnya ini adalah “pohung Mukibat” yang oleh penciptanya puluhan tahun yang lalu, berpotensi panen hingga 200 ton/Ha, berkat daya tumbuh yang hebat dari M. gaziovi ini. Adapun bagian yang berproduksi umbi akar, bisa varietas Manihot apa saja yang baku cocok untuk daerah itu.
Bukan soal yang menyangkut uang, tapi sekedar “pengakuan” kepada jasa baik seseorang saja, karya intelektual seseorang yang sudah tiada. Siapa yang menghormati selain kita sendiri ?
Kalau kita abai terhadap karya anak bangsa, wah gawat, bisa-bisa didaftarkan kepada Lembaga Patent International sebagai ubi kayu metoda "Datuk Jiran", (lha wong reog Ponorogo saja diklaim oleh Datuk Jiran). Kalau karya ini diserobot Datuk Jiran maka bisa jadi produsen “cultivar” Darul Hidayah karya anak bangsa itu, bisa diharuskan bayar royalty atas hak “intelektual” si pendaftar hak patent metoda Datuk Jiran.
Sudah saya check kepada Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Kendalpayak- Malang.
Memang betul, memakai metoda yang ditemukan oleh Pak Mukibat. Ibu Dina, Peneliti di Balai tersebut, menjelaskan.
Ada informasi yang sangat membesarkan hati, dari fihak swasta di Kalimantan Tengah,
Telah dikembangkan ubi kayu varietas lokal baru dengan nama ubi kayu varietas lokal “Gajah” yang saya dapat dari sumber : singkonggajah.wordpress.com
Memang sudah operasional sebagai produsen bio ethanol samentara produksinya 500 liter/hari yang dimotori oleh “Toba Group” sebagai pengabdian masyarakat dari “Indomining” – Perusahaan Pertambangan Batu Bara, dalam group yang sama, yang nantinya bisa mencapai 5000 liter per hari.
Penemuan cultivar local “Gajah” ini melibatkan Prof. Ristono , tapi di Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian belum mencatat sebagai varietas unggul Nasional untuk lahan gambut, saya curiga jangan- jangan sudah di-klaim dan dipatenkan oleh Negara Jiran. (Sumber Ibu Diah, Peneliti di Balai tersebut, saya khusus konfirmasi lewat telephone tanggal 3 Januari 2013, jam 13.10 siang, nomer telepon Balai Penelitian dan Pengembangan Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Kendalpayak, Malang (0341- 801468)
Memang varietas ini ditanam di lahan gambut, dan berpotensi panen sampai 200 ton/ha. karena kapur pertanian yang dipakai 1 – 2,5 ton/ha, selain pupuk NPK yang menurut mereka hanya 50 : 75 : 50. kg ( N dalam urea 43 % Phosphor 75 kg ini merupakan ketersediaan H2PO4 – kira kira 2.5 kuintal SP 36, dan K+ diberi 50 kg kira kira 45 % dari KCl).
Tapi stek batang direndam dulu dalam larutan pupuk cair beberapa jam. sebelum ditanam
Entah dengan cara apa Perusahaan se-strategis ini, mandiri tanpa perlindungan kemauan politik dari Pemerintah, menghadapi badai “ take over” dari Multi Nasional Corporation.
Karena kita telah melihat tingkah polahnya dalam perdagangan kelapa sawit yang dalam setahun harga bisa turun drastis. Sehingga petani plasma pada minggat, sebentar lagi Perusahaan Intinya diambil oper oleh Modal yang jauh lebih besar, ini wajar menurut azas Neoliberalisme.
Trans Nasional Corporations ini lagi mabok, dilandasi dengan modal yang hampir tak terbatas. Dibantu sekuat tenaga oleh para Neo liberalis local yang berkedudukan tinggi. Mempengaruhi Pemerintah, mencari pengganti minyak mentah dari sumber yang bisa diperbaharui, berebut dengan pangan, tentu saja hanya untuk kepentingannya sendiri.
Hanya ini yang bisa saya sajikan untuk memberi secuil pengetahuan kepada para pembaca blog idesubagyo, dimana
diantara pembaca ada yang mengetikkan kata kunci : “singkong dan lahan
gambut” seperti yang tertera di page rank alexa, dan mampir ke blog saya idesubagyo, semoga berguna. (*)