Sebenarnya, adakah manusia yang tidak punya ambisi ?
Semua manusia punya ambisi, cuma cara meraih ambisinyalah yang akan menandai kualitas sebenarnya dari manusia ini. Umpama ambisi memperoleh hadiah Nobel.
Tentu saja manusia yang berhasil meraih hadiah Nobel, adalah putra-putri terbaik dari bangsa itu.
Yang saya akan ketengahkan disini adalah ambisi “Memimpin” masyarakatnya, satu diantara ambisi manusia yang amat banyak ragamnya.
Sebelum orang menjadi tokoh Pemimpin, tentu dia harus diakui oleh masyarakat sebagai “tokoh” untuk bidang yang menyangkut kehidupan masyarakat.
Nah sekarang terbukalah jalan untuk menjadi Pemimpin Mayarakat – harus menokohkan diri.
Tokoh yang selalu terlihat menonjol dalam masyarakat miskin adalah Tokoh Agama apapun, sedangkan ketokohan yang sulit dicapai adalah tokoh Seniman, dan tokoh yang paling tidak ada tolok ukurnya, tidak ada 'isi'nya yang jelas adalah tokoh Politik, selama konstelasi ekonominya cocok dengan kepribadian si calon Politikus itu. Inti bathinnya adalah individualis.
Tokoh Pendidikan, tokoh Ekonomi tokoh Lingkungan, tokoh Wanita, tokoh Sosial Budaya, tokoh Ilmu Pengetahuan, bahkan tokoh Ideology, jenjangnya jelas terukur. Artinya terukur dari ide-ide nya dari pelaksanaannya yang dimengerti oleh masyarakat dan nyata menguntungkan masyarakat, ketokohan diperoleh dengan jerih payah, kadang tidak dimengerti oleh masyarakat, hasilya harus nyata, dia tidak dimusuhi malah memperoleh penghargaan, karena sejalan dengan dengan konstelasi kekuasaan.
Orang yang memaksakan diri, tentu saja berhasil menurut kadar kelicikan-kelicikannya misalnya menciptakan energi dari sekedar air tawar, (ndak usah repot repot dengan pembakaran luar, merubah energi panas bahan bakar menjadi energi gerak dst).
Orang tidak akan terlalu lama terpukau oleh kelicikannya.
Kita kenal dengan tokoh yeng menciptakan the “blue energy”, setelah dekat dengan Pejabat, lantas issue itu hilang begitu saja.
Inilah kerumitan dari pelaksanaan ambisi seseorang untuk jadi Pemimpin Masyarakat.
Dalam masyarakat miskin, memperoleh ketokohan di bidang Agama apa saja, juga sulit, harus memiliki jenjang pengetahuan Agama dan pengetahuan kemasyarakatan, dipelajari dari yang Akhli secara scholastic dengan susah payah, begitu pula dalam Ideology pembebasan masyarakat dari kemiskinan.
Disini ada peluang untuk menjadi tokoh dengan ongkos yang murah dan mudah, dan berhasil.
Pada waktu ideology komunis berkembang diseluruh dunia ketiga yang miskin, maka jaman dulu orang bisa jadi tokoh 'pembebasan' dengan hanya selalu memakai hem/kemeja merah, dan hidup memusuhi kemapanan, menonjolkan kejembelan lantas menjadi sifat kekiri-kirian. Maka pada jaman itu, orang-orang macam ini dihormati kaum Komunis dan rakyat miskin pada jaman dulu.
Pada zaman orang mengharapkan bimbingan Ilahi untuk mendapatkan jalan terbebas dari kekurangan, orang bisa langsung dihormati oleh kaum beragama hanya melarang kaum wanita duduk di boncengan sepeda motor dengan mengangkang, demi kesopanan beragama, wong perempuan-perempuan yang membonceng itu hidup di Serambi Mekah.
Dengan begitu saja dia bisa menjadi tokoh zamannya dan menaikkan elektabilitas nanti bila diperlukan.
Banyaklah cara menokohkan diri dibidang Agama, dengan cara murah dan mudah yang buntut-buntutnya menaikkan jenjangnya jadi tokoh Politik yang tidak jelas.
Begitulah sosok ini, naik jenjang ketokohan, jadi pembawa panji keagamaan dan naik lagi jadi Pemimpim Politik, Pemimpin Kekuasaan satu wilayah, yan artinya pendapatan Daerah dan kekayaan alamnya.
Sosok lain menekuni hablum minanas, hablum minallah dengan pengetahuan dan perbuatan dengan susah payah, semoga Allah membimbingnya, tapi masih sulit untuk jadi tokoh Agama, apalagi meloncat jadi Pemimpin Politik yang tidak jelas maunya apa, selain “jerohannya” atau isi perutnya yang sangat egois.(*)
.
0 comments:
Posting Komentar