"SULAWESI UTARA KAGET, MANADO DITERJANG BANJIR BANDANG MEMBAWA KORBAN JIWA"
Lha iya wong tahun-tahun yang lalu Propinsi Sulawesi Utara masih mengizinkan HPH oleh Pemerintah waktu itu, yang tentu saja diketahui oleh Gubernur Sulawesi Utara waktu itu, dengan keluarnya Surat izin Menteri Kehutanan waktu itu. Jadi sekarang dan tahun-tahun selanjutnya ndak perlu kaget, kok sampai Menteri Kehutanan menerbitkan SK 121/MENHUT-WBRPH/2007. Tahun 2007 umpama diberi izin selama 5 tahun apa ndak sudah hancur lereng-lereng perbukitan di sana, bukan hulu water catchment area Manado saja tapi seluruh Sulawesi Utara termasuk Bolaang Mongondow sekarang.
Lha ini tidak adilnya orang masa kini, masih menyalahkan Pemerintah Pusat.
Apa ndak tahu bahwa yang mengetahui persis situasi wilayah setempat itu pasti ya orang setempat diwakili Pemerintah Daerah dan Gubernurnya, tidak mungkin ada SK ini kalau Gubernur mendapat input lain dari Dinas Kehutanan dan dinas dinas lain disana. Sudah menjadi bubur, masih menyalahkan Basarnas kok nggak cepet tanggap. Saling menyalahkan tidak akan mengurangi penderitaan dan akibat kesalahan SK ini.
Saya jadi ingat di blog saya: idesubagyo.blogspot.com/2011/11/12/panghijauan.html sudah terkubur di post ini yang mengunjungi cuma lima pemerhati. Isinya akal orang Klakah untuk menanam pohon buah-buahan di lereng bukit, bahkan di puncak bukit, menggunakan rumpun Pisang Saba untuk pompa air menyiram bibit yang sampai kemarau tahun ke tiga belum punya akar yang cukup panjang untuk sampai di tanah yang masih menyimpan air, bila di lokasi itu sudah tiga bulan ndak hujan.
Bila waktu kritis ini bisa dilalui oleh bibit pohon buah-buahan di tempat itu maka seterusnya pohon yang ditanam akan bisa mandiri.
Karena apa, semua orang tahu bahwa Sulawesi itu pulau tipis seperti pita yang berkelak-kelok panjang bercabang empat menjulur ke semua penjuru angin. Dari pantai sisi satu ke pantai sisi lain cuna 40 – 70 Km, jarak garis lurus tegak lurus pantainya. Di tengah pita daratan ini berbukit-bukit memanjang setinggi bervariasi dari 300 – 700 m diatas air laut. Bisa dibayangkan betapa mudah pengusaha HPH menggunduli hutan di wilayah ini berlereng (banyak yang curam dan lebat dengan pohon besar-besar ) hingga habis kayu dibabat, dengan teknologi masa kini. Semula dibuat jalan truk pengangkut log yang panjang dan berat, dibuat berkelok-kelok untuk mendapat sudut naik yang tidak berat dilengkapi dengan putaran hairpin beberapa kali hingga puncak. Habis ini dilepas regu chain saw, anda bisa membayangkan betapa cepat dan rapi keja regu chain saw ini, dengan sedikit rekayasa di setiap putaran hairpin agar panjang log tidak menganggu putaran truck untuk log log ini ditururnkan dan didorong ke truct lainnya yang sudah menanti di bawah hairpin trus diluncurkan lagi ke bawah, sampai di pantai log log tersebut diikat rapi dan diseret ke bargas diseret lewat laut ke pelabunah, urusan selesai.
Logging di Pulau macam Sulawesi ini jauh lebih mudah dari logging di Papua atau Kalimantan yang hutannya jauh di pedalaman, truck angkutan log harus muat log ratusan kilometer sebelum sampai ke sungai kemudian ratusan kilometer lagi untuk sampai di pantai dimana menunggu pontoon/bargas. Pulau Sulawesi sebenarnya telah memberikan contoh, macam apa Sulawesi nanti dua puluh lima tahun lagi. Saya persilahkan pembaca untuk melihat pemandangan perbukitan sepanjang jalan menuju ke dataran tinggi Toraja. Sejak dari perjalanan mulai menanjak sengikuti aliran sungai Sa’dang, di kiri-kanan sungai ini adalah perbukitan yang gundul, berpuluh puluh kilometer, lereng yang gundul dan curam dengan ketinggian dari sungai retusan meter, aliran Sungai Sa’dang kelihatan seperti pita kebiruan yang kecil, berkelok-kelok jauh di bawah jalan raya. Hanya kadang kadang jalan raya mendekati rapat dengan sungai ini di hunian atau kota kecil dimana kendaraan bisa berhenti dihunian itu. Pertanyaanya dari ratusan tahun yang lalu tidak pernah ada penghijauan di sepanjang lembah sungai Sa’dang
Sungai Sa’dang di wilayah itu, karena tanahnya miring dan kemaraunya cukup panjang. Tanpa memeras otak dan perhatian yang sungguh-sungguh tidak akan mungkin ditanam lagi pepohon di lereng sungai Sa’dang di wilayah itu (lihat Blog saya ini dengan subjek “Penghijauan” yang tak pernah dikunjungi orang)
Saya heran dan “kagum” akan penyataan Walikota terpilih di Koran bahwa beliau akan memerangi inungation di Makasar dengan reboisasi water catchment area nun diatas Camba atau di lereng Bawakaraeng sana, seolah-olah menanam pohon di dilereng-lereng pulau Sulawasi dengan pola iklim yang tegas, kemaraunya sangan sering melewati tiga bulan tanpa hujan itu gampang, lebih enak dan lebih baik siapkan gorong-gorong dan saluran-saluran pematus dari sampah, menyediakan pompa-pompa di saluran pematus yang terlalu panjang meninggikan tanggulnya itu lebih mudah bagi seorang Walikota daripada menanami lereng bukit Sulawesi. Menanam sih bisa lha tmbuh jadi pohon bagaimana ? Itulah problemnya. Penunggu pulau itu sendiri sudah memberikan contoh sepanjang jalan raya menuju ke Tanah Toraja dari Pare Pare merupakan tujuan wisata yang penting untuk Sulawesi Selatan maka lereng gersang puluhan kilometer sebelum Rantepao ini pasti membuat orang bergidik melihat hasil kerja nenek moyang kita yang sembrono, kok masih diulang lagi di Sulawesi Utara.(*)
0 comments:
Posting Komentar