Di tulisan ini saya sengaja meletakkan subjek ”wayang purwa atau wayang kulit” sebagai perangkat budaya Jawa yang telah berhasil mendasari cetak biru dari idealisme jiwa orang Jawa, jaitu cetak biru ksatria yang wutuh dan membenci kadholiman pada umumnya. Bagaimana tidak ?
Selama Dunia bergolak menjelang Perang Dunia ke II, Pendudukan bala Tentara Dai Nippon selan tiga tahun disambung dengan Perang Kemerdekaan selama lima tahun, masyarakat Jawa dair Banten Sampai Banyuwangi toh tetep menjalaini rutinitas kehidupan sehari hari yang menyangkut kegiatan jasmani dan kegiatan rokhani mengalami penindasan perang dengan kekurangan. Tapi masyarakat Jawa selama pendudukan terntara Dai Nippon dan perang kemerdekaan di pelosok desa desa di pulau Jawa masih ada hiburan perhelatan khitan, perhelatan temanten, ada hari Kemerdekaan 17 Agustus yang sering dirayakan dengan pagelaran wayang kulit dengan dalang Dalang dari lain yang ternama dari Kabupaten lain, ada waranggono dari jauh yang tersiar dari mulut ke mulut, menghibur rakyat sekitanya terutama anak anak dari kurcaci sampai pemuda ABG.
Setiap ada tanggapan wayang kulit lakon apa saja baik siang maupun malam, tabuhan gamelan pasti terdengar sampai jauh menyeberang beberapa hamparan sawah yang luas dan kita sebagai anak laki laki kurcaci antara umur 6 – 15 tanun tanpa ada yang bisa menahan selalu berbondong bondong menuju ke desa dimana suara itu berasal. Pulang sesudah pertunjukan selesai bisa sampai besuk subuh, yang kami bawa pulang adalah bau badan yang khas, bisa tercium dari jarak yang jauh, keringan hasil dari berdesakan duduk di seputar layar atau di belakang Penabuh gamelan ada yang sambil tekantuk kantuk dan mulutnya mengilar ada yang duduk berhimpitan sambil melongo. Ini yang membuat simbok simbok kita, nenek-nenek kita selalu marah-marah. Karena pertunjukan wayang kulit ini multi demensi, menambah kesenangan anak-anak menyajikan banyolan dan perng tanding antara bangsa raksasa/daitya melawan ksatria favoritnya anak-anak sampai memberikan wawasan pada hal gaib dan hukum Yang Maha Kuasa yang selalu merunuti bersama kehidupan manusia.
Saking dalamnya contoh perkelahian seorang lawan seorang di pedalangan mereka tidak pernah ada yang tawuran kayak sekarang.
Pada kurun waktu sepuh tahun mulai perang Pasifik hingga perang Kemerdekaaan hampir tidak ada hiburan umum. Rakyat kecil butuh disentuh semangat dan harapannya untuk gigih bertahan melewati segala kesengsaraan akibat konflik fisik yang sampai satu generasi. Alhamdulillah para dalang pada waktu yang kritis itu seperti tradisinya “infallible” tanggap. Bimbingan para Pemimpin terutama Bung Karno dikumandangkan sampai ke pelosok desa menyegarkan harapan rakyat kecil yang sudah sangat berkorban. Para Dalang memang biasanya peka dan meraba tanpa salah apa yang dihati pendengarnya memberikan hiburan bathin dengan harapan harapan sebagai harapan para Pandawa akan memenangkan Bharata Judha. Makannya lolos sensor dari Kenpeitai Balatentara Dai Nippon yang sangat ketat.
Lain halnya dengan luka parah jiwa penduduk pedesaan, mereka yang teriris-iris karena tulang punggungnya secara fisik dibinasakan sebagai penerima Land Reform - sesudah UUPA no 5 tahun 1960 dilaksanakan.
Kapan pada saat itu lebih dari satu juta hectare tanah Pabrik Gula di redistribusi kepada tani gogol ( buruh tani Pabrik gula) yang dahulu tergabung dalam BTI yang diterngarai sebagai onderbow dari PKI, bertabrakan dengan kepentingan petani papan atas yang telah secara tekun de facto menjadi boss tanah tebu yang berpengairan sangat baik ini, untuk menanam padi. Mereka jaman itu tergabung dalam PNI Osa. Usep, Anshor/Banser dari NU dan Masyumi.
Konflik horizontal yang merupakan pembantaian mirip “the killing field” ini lantas diabaikan, dihilangkan jejaknya hingga sekarang, akibatnya para Dalang yang sudah terbeli oleh Orde Baru di samping takut dibawah arahan Babinsa dan Koramil, mereka jadi menumpulkan diri dan abai terhadap kagelapan yang meliputi jiwa keluarga para petani jang mendapat bagian tanah. Kebanyakan dirampas kembali oleh pengelola sebelumnya, sehingga kelompok besar petani meskipun mereka adalah pengggemar wayang kulit, hanya beli kaset Ki Nartosabdo yang tetap pada pakem, paling paling mengeritik tata bahasa para Dalang pada umumnya, netral dari propaganda politik Orde Baru kala itu.
Hampir semua para Dalang menjadi tumpul tidak peka terhadap kegelapan jiwa sebagian besar petani di Jawa tengah dan Jawa Timur. Daerah ini secara Nasional mewakili empat puluh persen wilayah berbengairan teknis yang ditanamai padi. Jumlan buruh tani pabrik gula ini meliputi hampir 70 persen petani tanpa tanah di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Akibat dari jaman Orde Baru wayang kulit jadi konsumsinya orang yang sangat kaya, pajabat executive tingkat Bupati keatas,sehingga mendapatkan kucuran dana untuk pemperbaharui sama sekali tekhnik pentas dengan puluhan waranggono ( penyanyi puttri) pintar untuk menari dan menyanyi lagu Jawa moderen “campur sari” yang sangat nge “pop” sehingga mencapai tingkat yang sangat entertaining, dan sangat mahal.
Sebaliknya di desa-desa Jawa Tengah dan Jawa Timur, keturunsan 70 % petani gogol/ buruh tani pabrik gula mengalami metamorphosis, jadi TKI, jadi penghuni kota kota tukang bakso, tukang soto mie, sangat resilient dan adaptive, juga WTS dari segala kelas dan pemulung telah melupakan wayang kulit sama sekali. Walaupun di kampung kampung perkotaan jam jam tertentu bila ada Stasion TV menayangkan serial dari India “Mahabharat” menjadi sepi pada nonton didekat TV, sayang mereka sudah terputus dari “adhi luhung”nya seni yang telah menjadi seni Keraton, semenjak zaman Wali wali Islam yang menciptakannya untuk dakwah, digelar untuk umum. Para Dalang mengalami lupa diri meninggalkan infallibilitas menanggapi kegelisahan dan derita rakyat yang mendalam karena peristwa yang sangat mengguncangkan di tahun 1965. Walaupun tokoh-tokoh sejalan dengan Gus Dur almarhum dkk dalam NU, sudah menandai keharusan adanya rekonsilisasi Nasional tapi masih mendapati sikap keras kepala dari golongan pelaku peristiwa 1965 yang lain yang masih hidup. Ini semua memang adalah konsekuensi politik dunia dua kutub di masa lalu, di masa datang jangan ada lagi bunuh-bunuhan gara-gara politik, seperti halnya di Suriah sekarang.
Selain itu wayang kulit sudah tidak jadi sumber pelurusan jiwa massa petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur, mati karena tercerabut dari akarnya, yaitu “infallibility” menanggapi kegelisahan penghuni pedesaan.
Ini yang para Budayawan dan Akhli Komunikasi sangat menyayangkan, karena mereka belum sempat menciptakan perangkat komunikasi massal yang sekomplit wayangg kulit/wayamg golek.(*)
Kapan pada saat itu lebih dari satu juta hectare tanah Pabrik Gula di redistribusi kepada tani gogol ( buruh tani Pabrik gula) yang dahulu tergabung dalam BTI yang diterngarai sebagai onderbow dari PKI, bertabrakan dengan kepentingan petani papan atas yang telah secara tekun de facto menjadi boss tanah tebu yang berpengairan sangat baik ini, untuk menanam padi. Mereka jaman itu tergabung dalam PNI Osa. Usep, Anshor/Banser dari NU dan Masyumi.
Konflik horizontal yang merupakan pembantaian mirip “the killing field” ini lantas diabaikan, dihilangkan jejaknya hingga sekarang, akibatnya para Dalang yang sudah terbeli oleh Orde Baru di samping takut dibawah arahan Babinsa dan Koramil, mereka jadi menumpulkan diri dan abai terhadap kagelapan yang meliputi jiwa keluarga para petani jang mendapat bagian tanah. Kebanyakan dirampas kembali oleh pengelola sebelumnya, sehingga kelompok besar petani meskipun mereka adalah pengggemar wayang kulit, hanya beli kaset Ki Nartosabdo yang tetap pada pakem, paling paling mengeritik tata bahasa para Dalang pada umumnya, netral dari propaganda politik Orde Baru kala itu.
Hampir semua para Dalang menjadi tumpul tidak peka terhadap kegelapan jiwa sebagian besar petani di Jawa tengah dan Jawa Timur. Daerah ini secara Nasional mewakili empat puluh persen wilayah berbengairan teknis yang ditanamai padi. Jumlan buruh tani pabrik gula ini meliputi hampir 70 persen petani tanpa tanah di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Akibat dari jaman Orde Baru wayang kulit jadi konsumsinya orang yang sangat kaya, pajabat executive tingkat Bupati keatas,sehingga mendapatkan kucuran dana untuk pemperbaharui sama sekali tekhnik pentas dengan puluhan waranggono ( penyanyi puttri) pintar untuk menari dan menyanyi lagu Jawa moderen “campur sari” yang sangat nge “pop” sehingga mencapai tingkat yang sangat entertaining, dan sangat mahal.
Sebaliknya di desa-desa Jawa Tengah dan Jawa Timur, keturunsan 70 % petani gogol/ buruh tani pabrik gula mengalami metamorphosis, jadi TKI, jadi penghuni kota kota tukang bakso, tukang soto mie, sangat resilient dan adaptive, juga WTS dari segala kelas dan pemulung telah melupakan wayang kulit sama sekali. Walaupun di kampung kampung perkotaan jam jam tertentu bila ada Stasion TV menayangkan serial dari India “Mahabharat” menjadi sepi pada nonton didekat TV, sayang mereka sudah terputus dari “adhi luhung”nya seni yang telah menjadi seni Keraton, semenjak zaman Wali wali Islam yang menciptakannya untuk dakwah, digelar untuk umum. Para Dalang mengalami lupa diri meninggalkan infallibilitas menanggapi kegelisahan dan derita rakyat yang mendalam karena peristwa yang sangat mengguncangkan di tahun 1965. Walaupun tokoh-tokoh sejalan dengan Gus Dur almarhum dkk dalam NU, sudah menandai keharusan adanya rekonsilisasi Nasional tapi masih mendapati sikap keras kepala dari golongan pelaku peristiwa 1965 yang lain yang masih hidup. Ini semua memang adalah konsekuensi politik dunia dua kutub di masa lalu, di masa datang jangan ada lagi bunuh-bunuhan gara-gara politik, seperti halnya di Suriah sekarang.
Selain itu wayang kulit sudah tidak jadi sumber pelurusan jiwa massa petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur, mati karena tercerabut dari akarnya, yaitu “infallibility” menanggapi kegelisahan penghuni pedesaan.
Ini yang para Budayawan dan Akhli Komunikasi sangat menyayangkan, karena mereka belum sempat menciptakan perangkat komunikasi massal yang sekomplit wayangg kulit/wayamg golek.(*)
0 comments:
Posting Komentar