Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Kamis, 16 Januari 2014

WAYANG KULIT/WAYANG PURWO (III)

Dua tulisan sebelumnya menceritakan arti pagelaran wayang kulit bagi rakyat pedesaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tulisan kedua mengenai perubahan yang diadakan untuk memakai wayang kulit sebagai media dakwah Islam oleh Penyebar Agama Islam yang di pulau Jawa dinamakan para Wali, yang terkenal yaitu Wali Songo ata Wali yang Sembilan. Meskipun para wali ini tidak seumur atau sejaman, tapi sama-sama hidup pada satu era, yaitu peralihan rakyat pulau Jawa dai beragama Hindu dan Budha, kemudian dikenal dengan Hindu Jawa, ke agama Islam yang tentu saja dengan segala kesulitan yang harus diatasi pada kurun waktu itu.
Sudah dikemukakan terdahulu wayang adalah wahana Hinduisme untuk rakyat banyak yang mengajarkan agama Hindu dalam bentuk cerita yang sangat panjang dan berkotak yaitu Mahabaratha dan epos ceritera suci mengenai titisan Bhatara Wishnu di Dunia yaitu Sri Rama yang danggap cerita suci dalam Hinduisme.

Wayang dalam puncak perkembangannya oleh para Wali menjadi media dakwah yang lengkap yaitu  merupakan  media visual, media audio, dilandasi kebudayaan Jawa yang kental dengan subjek yang mencakup seluruh kehidupan manusia didalam rangka Islam (sebelumnya tentu seluk beluk  Hinduisme saja).
Oleh karenanya Dalang harus bagus suaranya bisa menirukan gaya perempuan  bicara, kastria gagah perkasa, pendeta tua dan anak anak. Bahasa Jawa adalah bahasa bertingkat seperti juga bahasa Bali dan Dalang harus menguasai tingkatan tingkatan bahasa dan bisa dengan benar mengetrapkannya.
Untuk membantu dalang dalam menggambarkan suasana mereka dilengkapi dengan alat pemukul kotak wayang yang namanya “cempolo” yang bisa dipukul dengan cepat atau sekali sekali dengan keras. Bunyi cempolo selalu menyertai penggambaran suasana, mengganti alinea pembicaraan. Juga masih ada rencengan plat-plat besi atau kuningan untuk dipukul dengan telapak kaki sebagai alat untuk menekankan gambaran suasana, meningkahi langkah jalan  para lakonnya, pertempur menirukan suara pukulan jurus silat dll, yang oleh Dalang yang akhli bisa menghidupkan suasana. 
Jadi Dalang menjadi pusat pagelaran wayang kulit atau wayang golek yang paling sibuk, tangan kaki dan mulutnya dan ingatannya selau bekerja bersamaan. Para dalang bisa istirahat sejenak bila suranya digantikan oleh waranggono untuk menyanjikan satu lagu disertai gamelan. Jadi para Dalang ini pasti punya cara untuk menahan membuang hadats kecil apa lagi hadats besar ditengah tengah pertunjukan.

Last but not least dalang dibantu oleh pembantu dalang yang duduk bersila persis dibelakangnya untuk mengatur dan menyiapkan wayang wayang yang akan dimainkan dan yang sudah dimainkan, mengikat kembali tangan-tangan yang lepas engselnya.

Ada satu jenis  wayang yang termasuk paling besar ukurannya, menggambarkan kalpataru atau pohon kehidupan, dilukis dan ditatah supaya tembus sinar, merupakan segi lima simetris dengan sudut lima, (symbol dari sholat lima waktu, meruncing keatas,symbol Ketuhahanan Yang Maha Esa, sudut yang dikiri kanan tumpul dan yang dibawah juga  kira-kira 90 derajat, namanya wayang ”gunungan” lukisan simetreri yang penuh symbol, digunakan oleh Dalang untuk menggambarkan apa saja, hutan, pepohonan, angin kencang, cuaca,  api dan bebatuan yang digunakan senjata oleh para yaksa dan segala yang sangat besar.
Karena wayang kulit ini pada dasarnya dimainkan pada malam hari maka mutlak diperlukan penerangan yang handal, yaitu lampu minyak dinyalakan sepanjang malam  ada reflektornya yang dirupakan hiasan untuk menyoroti seluruh layar yang terbuat dari kain putih di bagian bawah berwarna  hitam kira-kira sejengkal unutk menggambarkan tanah.
Karena semua wayang ini dubuat dari kulit kerbau yang dikeringkan maka diperlukan rangka penguat yang berupa bilah tanduk kerbau meruncing kearak pucuk semacam cemeti, dibelah di tengah untuk menjepit wayang, debelok-belokkan unutk keseimbangan pahatan wayang itu sendiri. Cemeti dari tanduk kerbau ini harus berwarna terang bila wayang yang dijepit diiwarnai dominan warna emas, bila wayang yang dijepit dominan diwarnai hitam maka jepitnya dari tanduk kerbau yang berwarna gelap. Bilah tanduk yeng merupakan cemeti dibelah ini di pangkalnua berujung runcing untuk menancapkan wayang di batang pisang dengan erat, sewaktu wayang wayang kulit ini diam untuk ditonton.

Tiga sampai empat meter di kiri kanan layar yang di bawahnya dipasang batang pisang, diatur menyamping deretan waayng kanan saling membelakangi dengan dereretan wayang golongan kiri semua wayang, makin ke tengah mendekati arena dalang memainkan wayang, dipilih wayang yang kecil dan pendek, makin keluar makin besar. Sebelah kiri ditancapkan semua tokoh yang sering membuat onar, dan disebelah kanan ditancapkan semua tokoh wayang yang mengamalkan dharma,atau kebenaran. Layar yang ditengah kira kira dua meter lebih kosong. Jadi semua penonton wayang tahu tokoh tokoh yang dimainkan Dalang termasuk golongan apa. Adegan penghadapan kepada Raja, upacara, pertemuan semua wayang dipilih yang berwarna emas, sedangkan dalam adengan diluar itu, wayang dipilih yang dominan berwarne gelap. Semua anak wayang bertangan yang mempunya engsel/sendi, sendi bahu dan sendi siku, sangat jarang yang mempunyai sendi lutut, ada wayang khusus yang ditambahkan sendi leher.

Ada wayang khusus Pandita Durno yang tangannya yang diberi sendi hanya satu tangan yang sebelah lain lekat ke lukisan dan cacat. Telapak tangan dibentuk dalan keadaan jemari yang empat merapat telapak ke arah bawah, jari jempol di tekuk di bawah telapak tangan kempat jari yang lain dilukis melengkung ke bawah. untuk wayang wilayah kanan, sedang wayang wilayah kiri dibentuk dengan jari jemamari seperti melambangkan “metal” menurut jaman sekarang, jemari sebelah kiri mengepal, tidak diberi sendi, sebab secara permanent dilukiskan berkacak pinggang.  Kecuali jemarinya tokoh Petruk, menunjuk dengan jari telunjuk. Bahu dan tangan wayang kulit diwujudkan panjang, sampai menyentuh betis, ini menjadikan permainannya yang dikendalikan oleh dalang lebih expressive. Semua wayang baik golongan kiri yang metal dan golongan kanan telanjang dada, kecuali wayang para dewa dan pandita yang memakai jubah. Juga semua tokoh wayang tanpa alas kaki baik raja maupun kalangan bawah Petruk yang tokoh pembantu, kecuali para Dewa dan Pandita, mereka bersepatu yang ujungnya meruncing ke atas, seperti bentuk sepatu orang India.

Tokoh wayang kiri (wayang yang dijajarkan di sebelah kiri Dalang), perut dan hidungnya besar, sedangkan tokoh wayang kanan perut kecil dan hidungnya serasi mancung. Yang aneh tokoh wayang kiri ditandai makin rendah pangkatnya makin besar perut dan hidungnya. Malah ada tokoh wayang kiri yang pangkatnya rendah dari golongan yaksa yang namanya Bhuto Terong, bila perang selalu kalah suka bergulung gulung penperagakan jurus pencak silat dimanamana ( kayak jawara penikutnya Ratu Atut Khosiah) dan bila marah  melempar batu.

Sedangkan tokoh wayang kiri yang pangkatnya tinggi perutnya mengecil proporsinya. Tetap Saja wayang kiri ini tatapan mukanya menengadah dan menantang. Garis bibirnya memperlihatkan giginya yang bertaring.  Mulut yang digambarkan dari wayang butha ini lambang keserakahan dan kesombongan.

Sedangkan tokoh wayang kanan tatapannya mukanya sering menunduk, mata dan garis bibirnya tidak menonjolkan gigi dan tidak bertaring. Kecuali satu tokoh wayang kanan Ksatrria Gatotkaca anak sulung sang Bhima, bibirnya tidak menutupi taringnya, karena ibunya seorang putri  raseksi:  Dewi Arimbi. 

Tokoh ksatria Gatotkaca adalah favorit anak-anak karena bisa terbang dan selalu menang perang tranding dengan tangan kosong, tidak pernah memperagakan jurus jurus pencak silat, tapi semua golongan wayang kiri disapu bersih, bila bertemu di medan laga, pasti babak belur.

Tokoh wayang kanan, yang paling tenar adalah para Pandawa dan Prabhu Kresna yang menjadi ipar Arjuna,  semua penonton kenal denan tokoh-tokoh ini, yang mencitrakan satria tanah Jawa. Berbusana sederhana, tanpa perhiasan yang berlebihan, tatapan mata dan muka menunduk sabar, tapi pinggang dan pahanya  ditutup oleh busana dilukiskan memakai kain bathik dengan motif yang terhalus membungkus celana beledu selutut, sering tokoh Arjuna menyoreng keris dibelakang. Tokoh Pandawa semua hampir sama, berdadan kurus proporsional dengan lukisan hiasannya yang minim tapi digarap dengan teliti oleh pembuat wayang, keluma Pandawa mereka hanya berbeda sedikit tatapan mukanya menunguk dari hairdo (penataan rambut) sedikit merbeda. Hanya adik kembar para Pendawa yang termuda agak expressive tatapan muka dan matanya.
Tokoh wayang kanan yang agak mewah dandanannya adalah Prabhu Kresna, yang dalam kepercayaan Hindhu merupakan avatar dari Bhatara Wisnu. Salah satu dari Trimurti. Tatapan muka dan matanya lurus ke depan, meskipun posture kepala agak menunduk. Hiasan banyak proporsional dengan posisinya sebagai seorang Raja dan dilukis halus, tapi tetap telanjang dada dan tak bersepatu.  Dari lukisan wayang tokoh Sri Kresna, orang jawa merasa bahwa inilah gambaran orang yang  pas untuk tokoh yang tahu segalanya bisa mengeahui sebelum kejadian,  menjadi tempat betanya dari para Pandawa, tetap dalam janji dan tetap dalam dharma.

 Sebaliknya tokoh wayang sebelah kiri, adalah Bhuta Cakil, yang dibuat dengan maksud menggambarkan ksatria golongan wayang kiri, badan besar, tidak gemuk, penuh dengan hiasan yang dilukis agak kasar, dengan dua keris di anggar di depan dan disisipkan di belakang, besar badan dan tangan si wayang ini sangat cocok untuk dimainkan dengan peragaan silat dan salto. Tatapan muka dan tatapan mata menantang  pelupuk melengkung kebawah setengah tertutup, mulut lebar terbuka dan Nampak taring besar tumbuh dari bawah keatas, dagu bawah yang sangat menonjol ( jut jaw).  Suka pamer dan bila perang selalu bersenjata keris, dan mati oleh kerisnya sendiri.
Inilah gambaran orang Jawa terhadap ksatria seberang laut, di masa lalu, -dalam imajinasi saya- ini kok persis penampilan sebagian anggauta dewan sekarang, apalagi  yang sering tampil di TV atau para omong-wan dari Partai apapun. Jangan heran si 'Aas Orbanengbui' sering menggambarkan lawannya dalam partainya sendiri sebagai Sengkuni. 
Wayang kiri Sengkuni  stereotype nya mirip  Buta Cakil terutama matanya, tapi jabatannya Mahapatih Hastinapura. Cuma badannya agak panjang tidak ber-rahang bawah yang “lantern Jaw” badannya tidak dibuat seimbang - rusak, karena tidak pernah perang tanding, tarikan mulutnya meremehkan, perutnya  agak buncit. Jadi dalang jaman dahulu pintar sekali menggambarkan rupa sosok kstaria, dan rupa sosok butha yang jail mutakhil.(*)

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More