Adanya wayang kulit sebenarnya merupakan dari kesinambungan upaya panjang untuk menancapkan Hiduisme di rakyat Jawa. Upaya ini perlu sebab Hinduisme adalah suatu jalan hidup bagi seluruh masyarakat. Maka diciptakan satu peragkat pelajaran moral untuk rakyat banyak yang mudah dicerna yaitu Epos Bharatayudha dan epos Ramayana. Sebagai diletahui umat Hindu menganggap Kitab Mahabharata adalah Wedda yang kelima, dan Ramayana adalah cerita suci yaitu kisahnya titisan Bhatara Wishnu memberantas kejahatan dari kaum yaksa.
Di India sendiri semacam wayang yang dirupakan layar bergambar telah dipakai dalam dakwah dan upacara mereka. Jadi cara memakai gambar besar yang merupakan layar bisa ditonton orang banyak untuk memberi ilustrasi cerita cerita yang ada dalam kitab Ramayana maupun Mahabharata. Perkembangan dari layar bergambar ini menjadi layar bergambar dan dtambah boneka jadi tiga dimensi, kemudian oleh kesulitan memberi penerangan lampu yang cukup terang, gambar dihapuskan, diganti boneka yang tangannya bisa digerakkan dan layar yang butih temaram pada waktu malam. Ternyata boneka dua dimensi dengan lampu minyak besar yang ada bisa menimbulkan gambar hitam putih yang berubah-ubah bentuk bayangannya, merupakan hal yang menarik untuk ditonton..
Metoda bercerita dengan bantuan peragaan layar bergambar maupun boneka tiga dimensi maupun dua dimensi meluas keseluruh kebudayaan China dan Asia Tenggara.
Para penyiar Agama Islam mengembangkan pertunjukan wayang dengan lakon dari Mahabharata dan Ramayana untuk kepentingan syi’ar Agama Islam dengan sedikit perubahan alur cerita. Pantheon Trimurti dalam Hinduisme kurang cocok dengan konsep Islam yang Monotheis, sehingga lalu mengubah Syiwa sebagai Bhatara Guru yang mempunyai alur silsilah dan Dewa Brahma dan Dewa Wishnu menjadi putra Bhatara Guru, dengan konsep satu Raja dari para Dewa akan memudahkan konsep keberadaan Tuhan Yang Maha Esa dari ajaran agama Samawi. Ini sebuah cara yang cerdas karena masyarakat dari berbagai macam suku bangsa di dunia umumnya sulit menerima monotheisme, yang banyak diterima oleh orang di dunia ini adalah konsep trinity, trimurty, atau pasti sedikitnya ada 3 tokoh perwujudan yang disembah. Entah itu tiga dijadikan satu dijadikan tiga, yang penting ada konsep sekutu di Ketuhanan mereka itu.
Untungnya para ulama Islam terdahulu telah memberikan paham kepada masyarakat Jawa bahwa Tuhan itu Satu ya Satu-satunya, Tunggal, tidak ada anaknya, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, sosok Nya tidak dapat dicapai oleh panca indera manusia, karena Dia lah Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri, Maha Pencipta, Berbeda dengan makhluk, tidak pernah menyerupai makhluk apapun juga.
Perubahan konsep dasar ini dibuat setelah Islam hadir di Tanah Jawa.
Sesudah falsafah epos Mahabharata disesuaikan dengan sistim Pantheon satu Mahadewa, kemudian Raja Dewa ini diberi ginealogy, Shiwa diubah menjadi Bhatara Guru yang merajai Dewa Dewa, konsep Trimurty jadi pudar, karena diatas Batara Guru rajanya para Dewa masih ada Dewa tertinggi lagi. Sang Hyang Wenang, semua Dewa yang menurunkan Bhatara Guru tetap ada karena mereka tidak bisa mati.
Didunia-arcapadha atau madyapadha dalam wayang kulit ditambahkan Dewa lagi sekeluarga yang urutannya lebih tua dari Mahadewa / Bhatara Guru raja juga bapak para Dewa yaitu Semar sekeluarga anak anak dewa Ismoyo atau Semar atau Lurah Bodronoyo yang tertua Gareng, Petruk dan Bagong paling muda. Semar dan anak anaknya ditugaskan untuk membimbing dan mengawal serta melayani Ksatria muda atau Ksatria sapa saja yang sedang melaksanakan tugas dari Dewata. Dewa yang menjadi manusia pelayan para Ksatria inilah yang menjadi favorit penonton wajang purwo/wayang kulit dengan banyolannya lawakan yang disertai tarian (wayang kulit) dan nyanyian ( Dalang) terutama dimengerti oleh anak anak, dengan lawakan slap sticknya
Waktu pertunjukan semalam suntuk ini dibagi dalam tiga bagian besar dari jam tujuh sore sampai jam dua belas malam waktunya anak anak dengan perang kembang ( perang tanding antara Ksatria yang lagi berangkat bertugas melawan para makhluk manusia liar ( perintis kroni dari balatenrara Raja Seberang -baik berupa raksasa maupun berupa jin syaitan yeng menghalang halangi jalan) Disini ada pelajaran mengenai bedanya budaya bermasyakat yang teratur berhadapan degan budaya hidup bermasyarakat yang acak acakan makanya mereka dijuluki kurang ajar. Dalam Perang Kembang, selalu dilakonkan dengan perang tanding seorang lawan seorang – karena Dalang tidak mungkin melakukan perkelahian wayang lebih dari sepasang kan tangannya hanya dua, bagian Ksatria sebelah kanan dan bagian lawannya yang kurang ajar sebelah kiri layar. Pihak kiri biasanya badannya besar dimainkan oleh Dalang berkelahi dengan berguling guling, melempar batu batuan. Sedangkan Ksatria mengakhiri perang tanding dengan panah yang ampuh/ atau keris milik yaksa yang menghalangi jalan.
Jam duabalas malam sampai jam tetenga tiga adalah waktunya orang dewasa dimana dalang menyindir, menghibur dan member harapas kepada penonton yang sudah dewasa.Dalang biasanya melewatkan waktu ini dengan memainkan wawancara antara Pandita dan Semar, atau antara Prabhu Kresna dan Ksatria Pandawa atau Ksatria mana saja yang akan menunaikan kewajiban.
Jam setengah tiga pagi hingga menjelang subuh waktunya memenangkan yang benar dan mengalahkan yang salah dengan peperangan tanding satu lawan satu dan senjata pamungkas. Dengan wanti-wanti senjata pamungkas ini hanya dipergunakan bila lawan seimbang, bila tidak Dewata akan murka dan memberikan kutukan.
Mengenai nada gamelan yang ditabuh, pada sure hari menjelang hingga menjelang tengan malam akan benada “pelog” artinya bernada rendah, tsetelah tengah malam dengan pertanda dari Dalang akan ditabuh gamelan bernada tinggi nada “Sledro” pertanda ini dinyatakan dengan “suluk” yaitu monolog Dalang dengan menyanyika syair namanya “suluk”.
Salah satu suluk, yaitu “suluk Manyuro” yang artinya burung merak, untuk berganti nada lebih tinggi disajikan dalam bahasa Jawa Kuno, yang menggambarkan istana Pesanggrahan raja Hastina yang terletak ditepi hutan tutupan khusus bagi Raja berburu :
Wus bang rahina, - Ufuk timur sudah memerah
Hayang Aruna kadhi netraning ogha rapuh – matahari merah seperti mata sakit
Sabdaning kokila ring kanigara, saketer wuwusing winipanca, - bunyi burung berkasih kasihan di pepohonan, bagai seruling lagi mendendangkan cinta
Papetoking ayam wana , panguwuhing mrak ring pagagan- kotekan ayam hutan memanggil anak, bunyi merak melengking di huma.
Bramara ngabareng kusumo ring parahasyan arum. – watunya Lebah gung membangunkan bunga di kamar yang harum.
Bagi sastrawan yang mengerti bahasa Jawa Kuno, bila syair ini didendangkan Dalang yang suaranya bagus dengan nada tinggi disertai biola Hindu (Rebab) untuk mengambil nadanya, akan sangat romantis. *)
Lanjutnya akan disajikan pembuatan wayang kulit.
0 comments:
Posting Komentar