Kepemilikan tanah di Pedesaan, era Orde Baru ( th 1965 – th 1993 ) sangat ditentukan oleh Lurah atau kepala desa
Banyak kasus tanah milik petani yang sudah uzur, padahal anak anaknya merantau ketempat yang jauh diluar pulau, beralih hak begitu saja karena si Uzur harus membayar utang BImas (pupuk dan pestisida) pada Bimas Pertanian (pupu dan pestisida) yang sudah menumpuk,begitulah anak anaknya yang merantau diberitahu, padahal pasangan uzur ini selalu melunasi utang Bimas, sedangkan Desa menghadapi lomba desa, banyak beaya siluman, dalam lomba tersebut disyaratkan hutang Bimas kepada P.T. Pertani harus sudah lunas jadi Pak Lurah dengan dukungan sementara penduduk desa yang Kontak tani dan Tani Andalan dari HKTI mengadakan kabijakan ini di era Orde Baru. Ini merupakan kebijakan pak Lurah, yang pada era Orde Baru, telah menjadi azas bahwa Penguasa selalu benar bila kebijakannya mendukung pemerintahan Orde Baru, mulai dari RT –RW- Lurah –Camat – Wedana – Bupati – Gupernur – Menteri - Direktur – Direktur Jendral – Menteri pembantu Prtesiden – dan Presiden sendiri – Dengan Pendamping tenaga pemukul yang sangat ampuh siaga setiap saat Kekuasaan membutuhkan, dari ABRI secara teritorial adalah Babinsa – Koramil dan Polsek – Kodim dan Polres, kemudian ditingkat Propinsi Kodam dam Polda. Sedangkan juga Camat sudah diangkat secara otomatis hingga sekarang sebagai Penjabat Pembuat Akta Tanah digaris terdepan dari Dinas Pendaftaran Tanah.
Seorang Walikota Surabaya yang bekas Komandan Pasukan Elit, telah menganulir hak milik tanah dari penduduk ribuan KK dari ratusan hectare redistribusi tanah bekas milik Tuan Tanah di penggiran kota Suranaya sebelah Timur sawah berpengairan yang telah nejadi kampong, yang menurut UUPA no 5 th 1960 menjadi hak milik menerima kaveling redistribusi, tanah bekas milik tuan tanah jaman Hindia Belanda, tuan Baswedan, menjadi tanah hak guna bangunan terkenal dengan nama “petok ijo” atas kerugian penerima redistribusi tanah milik Tuan Baswedan dari zaman Kolonial Belanda.
Padahal UUPA no 5 tahun 1960 sampai sekarang masih berlaku.
Malah sampai kini menurut KPA ( Konsursium Pembaruan Agraria) yang dirilis lewat twitter @SEKNAS KPK tg 24/12/2014 oleh sekjennya Iwan Nurdin: Tantangan bagi JKW/JK adalah membereskan terulangnya 10 tahun akumulasi abai pemerintahan SBY terhadap konflik Agraria di Negeri ini. Ada 1530 kasus konflik agrarian sengan luas lahan 6 541 951 Ha dari 977 403 KK.
Terjadi konflik di 1792 Ha tanah rakyat, dirampas hak penguasaannya dan pengelolannya, per hari dari 167 KK. Menurut aktivis HAM, anggauta DPR RI komisi 3, : Akibat konflik agrarian yang ditagani dengan gaya represi oleh aparat keamanan, telah menelan korban 85 tewas, 110 tertembak, 633 orang luka luka ditambah 1395 orang ditangkap selama 10 tahun terakhir era SBY, ada kriminalisasi oleh aparat terhadap masyarakat miskin semakin berat. Begitulah KPA menandai.
Masih banyak penyelewengan dalam agraria di 10 tahun era SBY, dalam land use seperti pengunaan tanah Hambalang, pemberian Hak Guna Usaha, hak Petambangan yang berubah jadi hak ex teritotorial yang imperialistis seperti di Lampung dan banyak tempat lainnya, misalnya di Sulawesi tengah oleh Bupati Amran Batalipu dan cecunguk calo modal ahli guangxi Hartati Murdaya Poo menyangkut uang sogok milyaran rupiah, dengan dalih macam macam mulai dari pemupukan modal cepat sampai pemupukam modal ISIS makanya pelakunya tegar dan tidak merasa bersalah.
Bila disimak dengan baik, maka kita akan kagum, bangsa kita telah berhasil menelurkan UUPA no 5 tahun 1960, yang melengkapi pelaksaan UUD 1945 pasal 33 secara pas. Ini adalah mahkota dari karya bangsa, untuk membebaskan rakyatnya dari penindasan gaya lama, gaya feudal. Ini produk Orde Lama Presiden Sukarno, bukan milik PKI.
Adapun setiap jenjang kekuasaan yang menjadi aparat Negara Orde Suharto mampu dan mau melaksanakan atau tidak melaksanakan Undang Undang Pokok Agraria No5 tahun 1960, tidak ada ketegasan Orde Baru karena kebenciannya pada Sukarnoisme.
Apa lacur, selama Orde Baru berkuasa cenderung melaksanakan policy agraria menurut selera setiap tingkat kekuasaan, dari lurah sampai presiden dengan segenap kepentingan yang bukan untuk rakyat melainkan untuk mengembangkan modal dari mana saja dan bahkan penumpukan modal terorisme. Makanya pelakunya tetap tegar dan cynical menghadapi public karena ada landasan idealism yan sangat kuat.
Kenyataanya sangat sulit melaksanakan UUPA no 5 th 1960 ini dengan aparat kekuasaan yang masih didukung mati matian oleh aparat pemukul bersenjata, parena memang keberadaan aparat ini untuk kepentingan kenyamanan Orge Baru, sampai mereka habis. Baru bisa diadakan revolusi mental melayani kepentingan rakyat yang sudah sangan miris dan menderita*)
,