TUMOR GANAS MENJANGKITI SEBAGIAN LURAH DI PULAU JAWA DAN SELAIN PULAU JAWA BISA JADI MEWAKILI RAUT MUKA APARAT PENYELENGGARA NEGARA.SEMUANYA.
Lurah adalah kata dalam bahasa Jawa, kata ini sudah sangat tua yang arti sempitnya Kepala Desa. Suku suku lain di pulau pulau diluar Jawa punya nama sendiri terhadap sosok ini, Wali Nagari di Sumatra Barat, Pembekat di Kalimantan Selatan, Hukm Tua di Sulawasi Utara, Bebekel di Bali, Kuwu di Cirebon , Indramayu dan umumnya pantai Utara Jawa, Lurah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Petinggi di Jawa Timur, Talibun di Madura. Pada umumnya sebutan kepala Desa semua orang di Indonesia tahu artinya.
Institusi Lurah ini sebenarnya menurut sejarahnya sudah sangat tua, setua perpindahan suku suku dari banua Asia, Lalu dam arti yang luas bukan hanya meliputi pemerintahan Desa dalam arti administrasi, yaitu meneruskan kewajiban penduduk desa kepada penguasanya, tapi juga secara sosiologis adalah tetua komunitas desa, adalah tetua kekerabatan desa, adalah tempat mencari perlidungan dikala kesusahan,dan tempat mencari keadilan dan bantuan, tempat mengadu dari seluruh penduduk desa.
Bahkan tokoh ini diselipkan dalam legenda pedalangan wayang kulit Jawa yang dicangkok dari legenda Hindu Mahabharata dan Ramayana sebagai tokoh yang sangat dihormati oleh para Ksatria yang dikenal sebagai pelindng rakyat. konon sejajar dengan para Dewa, sama sama anak Sang Hyang Wenang, jadi saudara Bathara Guru merajai Pantheon Wayang, menurut Pewayangan dia puncak Pantheon Dewa yang betahta di Gunung Himawat - Junggring Salaka. Ditokohkan sebagai Ki Lurah Semar dari desa Karang Tumaritis atau Karang Kadempel, dengan tiga anaknya .mewakili sosok teladan kepada rakyat sehigga rakyat bercita cita tinggi (Petruk), mewakili sosok teladan ajaran amal makruf nahi mungkar ( Gareng) dan teladan ajaran kesederhanaan sifat apa adanya ( Mbilung/ Bagong). Di Pergaulan wayang Korawa Hastina Pura, dunia gelegasi bhuta dari Alengka , atau para mereka yang berjiwa yaksa dan Kurawa dikenal tokoh Togog yang berfungsi sebagi Semar dengan watak yang berlawanan, jahil, penjilat, ABS , egois dan kaya raya, mengasuh para ksatrya sejenis Satrya Novanto, dalam pedalangan Jawa maupun Sunda..Untung ada dia yang sebagai relik tokoh Orde Baru dari Golkar , sehingga rakyat tahu betapa tengiknya nereka.
Selama era Orde Baru para Togog ini berbaju Jendral,( istilah Bung Karno) andalannya ilmu Ghaib - menjual nyawa petani miskin untuk sesaji/tumbal kepada Dewanya US Dollar.
Semar dan anak anaknya dijadikan tokoh punakawan – yaitu pelayan sekaligus pengasuh Ksatria ksatria yang bermoral baik “ trahing kusuma rembesing madhu, tedhake handana warih, trahing wong tapa “brahmana”. artinya- keturunan para dewa yang mengucurkan kebajikan ke desa desa ( membangun sistim pengairan) dan brahmana penguasa ilmu.
Itu stereotype Lurah di Tanah Jawa, yang di idealisasikan, selalu berpihak kepada rakyat dan menjadi perantara mengasuh para ksatria dan mendidik para ksatria supaya dekat dengan rakyat.
Seperti yang sudah diketahui, mitologi Bharatayudha dan Ramayana telah dijadikan alat mnyiarkan Agama Islam oleh para Wali Islam Kerajaan Islam di Jawa , Demak Bintoro, kekuasaan de facto dan de jure secara pasti bertahap jatuh ketangan penjajah sampai pada akhir Perang Jawa (perang Diponegro) pada tahun 1830. Fungsi Lurah masih tetap, tapi ditekankan kepada keselamatan rakyat desa dijamin oleh kekuasaan Kanjeng Tuan Belanda, dengan para Bupatinya yang BB amtenaar ( Binenlands Bestuur). Begitu kuatnya sifat moral yang tercetak dalam sosok Semar sebagai Lurah, sehingga Penjajah Belanda percaya kepada stereotype sosok ini akan tetap ada pada Lurah di desa desa.
Semuanya masih sama dengan jaman sebelum penjajahan, umpama Lurah dipilih oleh penduduk desa, untuk selama hidup, semula oleh para pemilik tanah sendiri atau penggarap tanah penguasa, yang laki laki dewasa atau sudah kawin, kemudian sejak zaman Jepang sampai zaman merdeka Luah dipilih oleh penduduk dewasa laki atau permpuan, penggarap atau pemilik tanah desa untuk selamanya, sedikit demi sedikit berganti dengan jangka waktu jabatannya. Dalam hal ini penulis mengalami jadi penduduk desa Cembor Kacamatan Pacet kabupaten Mojokekerto, karena tidak nggarap sawah tidak diikutkan pemilihan lurah. Umumnya lurah tidak digaji Negara, melainkan dipinjami tanah Negara ( tanah ganjaran, tanah bengkok sawah berpengairan atau tidak yang luasnya bervariasi, mencapai puluhan hectare, meciut dibanyak desa sampai hanya bebeapa hectare sementara jadi Lurah.)
Di era kapitalistik ini jangka jabatan Kurah menurun, dan sawah ganjaran digadaikan melewati batas waktu jabatannya, sehingga jadi sengketa dengan penggantinya. Akhirnya Pemerintah zaman Orde Baru memutuskan menjual tanah ganjaran ini dan menggantinya dengan gaji pegawai golongan 2. Tentu saja sangat minim. Sebagai gantinya para Lurah yang sudah menghabiskan dana kampanye ratusan juta rupiah memilih nenukangi peta kepemilikan tanah desanya yang tercantum di buku besar petok D untuk kepentingan pribadinya, ternyata hasilnya sangat menggiurkan. Sebab sebidang tanah seperti dompet tebal, bila tidak segera diurus hak kepemilikannya ke BPN, maka lurah pegang dompet itu, terserah ditukangi gimana untuk menganulir kepemilikan lama dan mengganti kepemilikan baru dan "disyahkan" oleh BPN, dengan demikian selalu menang berperkara dengan " pemilik" yang tentu saja tidak mengetahui tanahnya sudah diganti namanya di BPN oleh Lurah sacara "syah", bagiamana menukangi ini bila TIDAK BEKERJA SAMA DENGAN PETUGAS atau PENSIUNANAN PETUGAS BPN, bahkan turut nimbrung anngauta DPRD, ikut menjadi burung nazar mencari dompet dompet tebal dan pemindahan hak ini, itu saja.
Tugas Lurah yang penting dari zaman dulu sampai sekarang adalah menjadi saksi syah batas pemilikan tanah, dan penentuan pembayaran pajak oleh petani, jangan sampai keliru menagih pajak pada orang duafa.
Bahwa Lurah dari segi sosiologis, selalu menyantuni peduduk tua dan miskin, disaat habis persediaan pangan, biasanya sampai dua bulan sesudah tanam padi saja. Ditandai dengan rumah Lurah yang memakai pendapa ( ruang terbuka persegi dan besar tanpa dinding, tanpa pagar, dengan pintu halaman tetap terbuka. Sedang di bagian belakang adalah tampat tinggal Lurah juga tanpa pagar dan pintu halaman, bisa dicapai dari mana saja, terutama dapur Lurah merupakan rumah tersendiri, yang bisa dicapai dari mana saja. Perlunya orang yang kekurangan persediaan makanan selama dua bulan sesudah tanam padi bisa membawa rumput untuk pakan ternak, kayu ranting ranting mati untuk dapur, ditukar dengan makanan yang sudah dimasak dan sekedar minuman panas, teh atau kopi secangkir besar dan manis, sudah sangat membantu si duafa, dalam masa paseklik sesudah tanam padi sementara umbi umbian belum siap panen, artinya bisa dicari dihutan, ditegalan merambat di pagar pagar
Sekarang mulaih zaman kapitalistik kantor Kelurahan masih Pendapa, tapi bubar kantor puntu halaman dikunci dijaga satpam, sedang Pak/Bu Lurah bertempat tinggal dirumah lain sama sama terkunci psgarnya dipinggir jalan besar beraspal, mungkin membuka toko, tidak mempunyai hubungan sosial dengan masyarakat belakang jalan besar, dibawah pagar rumpun bambu ori dekat kandang kandang ternak.
Dia menjadi Lurah dengan menebar pesona uang, untuk mnjabat Lurah dengan jangka waktu enam tahun. Tanah ganjaran desa yang mencapai puluhan hectare tanah berpengairan diganti dengan uang gaji, lha lantas apa harapan pemasukan untuk mngganti ongkos kampanye pilihan Lurah yang mencapai ratusan juta?
Bila tidak ada peluang mencaplok tanah Negara atau tanah terlantar ( NDAK SEGERA DIURUS SERTIFIKATNYA KE BPN yang artinya tidak tecatat dalam arsip BPN ?. LHO WONG lURAH bisa menggerahkan kroninya untut mengeroyok sampai mati si vokal, membakar gambut suruhan boss besar tanpa ketahuan, bila untuk mencari saksi palsu sertifikasi dompet pompet tebal yang berceceran itu adalah mudah sekali..
Fungsi Mengurus kepemdudukan, memasukkan dalam daftar penduduk, atau mengeluarkan seseorang warga negara dari buku penduduk, diserahkana kepada staffnya, yang amit amit daya pikirnya. Adanya cuma prosedure yang dia sendiri tidak jelas dari DISPENDUK, satu jawatan yang baru lima sampai sepuluh tahun adanya termasuk peyediaan akta kelahiran dan e-KTP membantu Kecamatan.
Mengingat sumber daya pelayanan public ini mewakili Bupati, Walikota Gupernur, Menteri Dalam Negeri dan Presiden. Kecakapannya diluar prosedur yang baku ( yang baku itu yang mana ?) sama sekali tidak ada. Mereka lebih suka bermain pongpong, atau sepak bola, antara dia dan Kecamatan dimana saja, dimana bolanya adalah rakyat yang membutuhkan. Siapapun rakyat itu dimata hukum kependudukan adalah sama sama bola pingpong bagi staff kelurahan, maka sikap Kelurahan jauh lebih jelek dari zaman Penjajahan Belanda. Sebab Lurah dan staffnya dalam bidang kependudukan yang jarang diperlukan oleh orang yang hidup normal merupakan despot yang kekuasaannya mutlak procedural yang si staff sediri tidak tahu. Saya harap Bupati dan Walikota dan diujung sana Presiden, mengerti bahwa gerombolan despot yang jumlahnya jutaan ini merupakan tabir mendung, menutupi keberadaan semua Aparat Penyelenggara Negara dimata rakyat, mereka seperti tumor ganas menutupi wajah Negara dimata rakyat, apapun usahanya memperbaiki nasib rakyat, siapapun mereka *)
Lurah adalah kata dalam bahasa Jawa, kata ini sudah sangat tua yang arti sempitnya Kepala Desa. Suku suku lain di pulau pulau diluar Jawa punya nama sendiri terhadap sosok ini, Wali Nagari di Sumatra Barat, Pembekat di Kalimantan Selatan, Hukm Tua di Sulawasi Utara, Bebekel di Bali, Kuwu di Cirebon , Indramayu dan umumnya pantai Utara Jawa, Lurah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Petinggi di Jawa Timur, Talibun di Madura. Pada umumnya sebutan kepala Desa semua orang di Indonesia tahu artinya.
Institusi Lurah ini sebenarnya menurut sejarahnya sudah sangat tua, setua perpindahan suku suku dari banua Asia, Lalu dam arti yang luas bukan hanya meliputi pemerintahan Desa dalam arti administrasi, yaitu meneruskan kewajiban penduduk desa kepada penguasanya, tapi juga secara sosiologis adalah tetua komunitas desa, adalah tetua kekerabatan desa, adalah tempat mencari perlidungan dikala kesusahan,dan tempat mencari keadilan dan bantuan, tempat mengadu dari seluruh penduduk desa.
Bahkan tokoh ini diselipkan dalam legenda pedalangan wayang kulit Jawa yang dicangkok dari legenda Hindu Mahabharata dan Ramayana sebagai tokoh yang sangat dihormati oleh para Ksatria yang dikenal sebagai pelindng rakyat. konon sejajar dengan para Dewa, sama sama anak Sang Hyang Wenang, jadi saudara Bathara Guru merajai Pantheon Wayang, menurut Pewayangan dia puncak Pantheon Dewa yang betahta di Gunung Himawat - Junggring Salaka. Ditokohkan sebagai Ki Lurah Semar dari desa Karang Tumaritis atau Karang Kadempel, dengan tiga anaknya .mewakili sosok teladan kepada rakyat sehigga rakyat bercita cita tinggi (Petruk), mewakili sosok teladan ajaran amal makruf nahi mungkar ( Gareng) dan teladan ajaran kesederhanaan sifat apa adanya ( Mbilung/ Bagong). Di Pergaulan wayang Korawa Hastina Pura, dunia gelegasi bhuta dari Alengka , atau para mereka yang berjiwa yaksa dan Kurawa dikenal tokoh Togog yang berfungsi sebagi Semar dengan watak yang berlawanan, jahil, penjilat, ABS , egois dan kaya raya, mengasuh para ksatrya sejenis Satrya Novanto, dalam pedalangan Jawa maupun Sunda..Untung ada dia yang sebagai relik tokoh Orde Baru dari Golkar , sehingga rakyat tahu betapa tengiknya nereka.
Selama era Orde Baru para Togog ini berbaju Jendral,( istilah Bung Karno) andalannya ilmu Ghaib - menjual nyawa petani miskin untuk sesaji/tumbal kepada Dewanya US Dollar.
Semar dan anak anaknya dijadikan tokoh punakawan – yaitu pelayan sekaligus pengasuh Ksatria ksatria yang bermoral baik “ trahing kusuma rembesing madhu, tedhake handana warih, trahing wong tapa “brahmana”. artinya- keturunan para dewa yang mengucurkan kebajikan ke desa desa ( membangun sistim pengairan) dan brahmana penguasa ilmu.
Itu stereotype Lurah di Tanah Jawa, yang di idealisasikan, selalu berpihak kepada rakyat dan menjadi perantara mengasuh para ksatria dan mendidik para ksatria supaya dekat dengan rakyat.
Seperti yang sudah diketahui, mitologi Bharatayudha dan Ramayana telah dijadikan alat mnyiarkan Agama Islam oleh para Wali Islam Kerajaan Islam di Jawa , Demak Bintoro, kekuasaan de facto dan de jure secara pasti bertahap jatuh ketangan penjajah sampai pada akhir Perang Jawa (perang Diponegro) pada tahun 1830. Fungsi Lurah masih tetap, tapi ditekankan kepada keselamatan rakyat desa dijamin oleh kekuasaan Kanjeng Tuan Belanda, dengan para Bupatinya yang BB amtenaar ( Binenlands Bestuur). Begitu kuatnya sifat moral yang tercetak dalam sosok Semar sebagai Lurah, sehingga Penjajah Belanda percaya kepada stereotype sosok ini akan tetap ada pada Lurah di desa desa.
Semuanya masih sama dengan jaman sebelum penjajahan, umpama Lurah dipilih oleh penduduk desa, untuk selama hidup, semula oleh para pemilik tanah sendiri atau penggarap tanah penguasa, yang laki laki dewasa atau sudah kawin, kemudian sejak zaman Jepang sampai zaman merdeka Luah dipilih oleh penduduk dewasa laki atau permpuan, penggarap atau pemilik tanah desa untuk selamanya, sedikit demi sedikit berganti dengan jangka waktu jabatannya. Dalam hal ini penulis mengalami jadi penduduk desa Cembor Kacamatan Pacet kabupaten Mojokekerto, karena tidak nggarap sawah tidak diikutkan pemilihan lurah. Umumnya lurah tidak digaji Negara, melainkan dipinjami tanah Negara ( tanah ganjaran, tanah bengkok sawah berpengairan atau tidak yang luasnya bervariasi, mencapai puluhan hectare, meciut dibanyak desa sampai hanya bebeapa hectare sementara jadi Lurah.)
Di era kapitalistik ini jangka jabatan Kurah menurun, dan sawah ganjaran digadaikan melewati batas waktu jabatannya, sehingga jadi sengketa dengan penggantinya. Akhirnya Pemerintah zaman Orde Baru memutuskan menjual tanah ganjaran ini dan menggantinya dengan gaji pegawai golongan 2. Tentu saja sangat minim. Sebagai gantinya para Lurah yang sudah menghabiskan dana kampanye ratusan juta rupiah memilih nenukangi peta kepemilikan tanah desanya yang tercantum di buku besar petok D untuk kepentingan pribadinya, ternyata hasilnya sangat menggiurkan. Sebab sebidang tanah seperti dompet tebal, bila tidak segera diurus hak kepemilikannya ke BPN, maka lurah pegang dompet itu, terserah ditukangi gimana untuk menganulir kepemilikan lama dan mengganti kepemilikan baru dan "disyahkan" oleh BPN, dengan demikian selalu menang berperkara dengan " pemilik" yang tentu saja tidak mengetahui tanahnya sudah diganti namanya di BPN oleh Lurah sacara "syah", bagiamana menukangi ini bila TIDAK BEKERJA SAMA DENGAN PETUGAS atau PENSIUNANAN PETUGAS BPN, bahkan turut nimbrung anngauta DPRD, ikut menjadi burung nazar mencari dompet dompet tebal dan pemindahan hak ini, itu saja.
Tugas Lurah yang penting dari zaman dulu sampai sekarang adalah menjadi saksi syah batas pemilikan tanah, dan penentuan pembayaran pajak oleh petani, jangan sampai keliru menagih pajak pada orang duafa.
Bahwa Lurah dari segi sosiologis, selalu menyantuni peduduk tua dan miskin, disaat habis persediaan pangan, biasanya sampai dua bulan sesudah tanam padi saja. Ditandai dengan rumah Lurah yang memakai pendapa ( ruang terbuka persegi dan besar tanpa dinding, tanpa pagar, dengan pintu halaman tetap terbuka. Sedang di bagian belakang adalah tampat tinggal Lurah juga tanpa pagar dan pintu halaman, bisa dicapai dari mana saja, terutama dapur Lurah merupakan rumah tersendiri, yang bisa dicapai dari mana saja. Perlunya orang yang kekurangan persediaan makanan selama dua bulan sesudah tanam padi bisa membawa rumput untuk pakan ternak, kayu ranting ranting mati untuk dapur, ditukar dengan makanan yang sudah dimasak dan sekedar minuman panas, teh atau kopi secangkir besar dan manis, sudah sangat membantu si duafa, dalam masa paseklik sesudah tanam padi sementara umbi umbian belum siap panen, artinya bisa dicari dihutan, ditegalan merambat di pagar pagar
Sekarang mulaih zaman kapitalistik kantor Kelurahan masih Pendapa, tapi bubar kantor puntu halaman dikunci dijaga satpam, sedang Pak/Bu Lurah bertempat tinggal dirumah lain sama sama terkunci psgarnya dipinggir jalan besar beraspal, mungkin membuka toko, tidak mempunyai hubungan sosial dengan masyarakat belakang jalan besar, dibawah pagar rumpun bambu ori dekat kandang kandang ternak.
Dia menjadi Lurah dengan menebar pesona uang, untuk mnjabat Lurah dengan jangka waktu enam tahun. Tanah ganjaran desa yang mencapai puluhan hectare tanah berpengairan diganti dengan uang gaji, lha lantas apa harapan pemasukan untuk mngganti ongkos kampanye pilihan Lurah yang mencapai ratusan juta?
Bila tidak ada peluang mencaplok tanah Negara atau tanah terlantar ( NDAK SEGERA DIURUS SERTIFIKATNYA KE BPN yang artinya tidak tecatat dalam arsip BPN ?. LHO WONG lURAH bisa menggerahkan kroninya untut mengeroyok sampai mati si vokal, membakar gambut suruhan boss besar tanpa ketahuan, bila untuk mencari saksi palsu sertifikasi dompet pompet tebal yang berceceran itu adalah mudah sekali..
Fungsi Mengurus kepemdudukan, memasukkan dalam daftar penduduk, atau mengeluarkan seseorang warga negara dari buku penduduk, diserahkana kepada staffnya, yang amit amit daya pikirnya. Adanya cuma prosedure yang dia sendiri tidak jelas dari DISPENDUK, satu jawatan yang baru lima sampai sepuluh tahun adanya termasuk peyediaan akta kelahiran dan e-KTP membantu Kecamatan.
Mengingat sumber daya pelayanan public ini mewakili Bupati, Walikota Gupernur, Menteri Dalam Negeri dan Presiden. Kecakapannya diluar prosedur yang baku ( yang baku itu yang mana ?) sama sekali tidak ada. Mereka lebih suka bermain pongpong, atau sepak bola, antara dia dan Kecamatan dimana saja, dimana bolanya adalah rakyat yang membutuhkan. Siapapun rakyat itu dimata hukum kependudukan adalah sama sama bola pingpong bagi staff kelurahan, maka sikap Kelurahan jauh lebih jelek dari zaman Penjajahan Belanda. Sebab Lurah dan staffnya dalam bidang kependudukan yang jarang diperlukan oleh orang yang hidup normal merupakan despot yang kekuasaannya mutlak procedural yang si staff sediri tidak tahu. Saya harap Bupati dan Walikota dan diujung sana Presiden, mengerti bahwa gerombolan despot yang jumlahnya jutaan ini merupakan tabir mendung, menutupi keberadaan semua Aparat Penyelenggara Negara dimata rakyat, mereka seperti tumor ganas menutupi wajah Negara dimata rakyat, apapun usahanya memperbaiki nasib rakyat, siapapun mereka *)