Terinspirasi oleh puisi Adhi Massardi:
DINEGERI PARA BEDEBAH, PENGUASA TANAH,
TERNYATA HANYA LURAH.
Pada artikel yang telah lalu, di blog ini, berjudul “Persoalan Agraria di Negara kita di era Reformasi” dimuat dalam Koran elektronik Pewarta Indonesis tg 20 Oktober 3015 di lampiran <opini> rubrik <kopi>. lebih mudah dicari di google dengan kata kunci: Persoalan Agraria di Negeri kita….” Sampai sekarang masih di artikel paling atas dari tulisan sejenis.
Kenapa setelah 65 tahun merdeka, Agraria masih jadi persoalan ramai ?
Karena hak milik tanah oleh warga Negara Indonesia, hanya ditentukan oleh undang undang Penjajahan, dan undang undang Negara yang baru, macet karena kesulitan pemetaan sertifikasi tanah dengan pengukuran oleh BPN ( Badan Pertanahan Nasional) hanya baru mengukuhkan dengan setifikat yang mengandung ketetapan Hukum, disetiap wilayah kerja Badan Pertanahan Nasional, berkisar antara 15 %- 40 % saja dari seluruh tanah yang ada disitu Menurut Manurut ROL ( Republik On Line) tg 25 Oktober 2015, BPN menandai hanya ada 45 juta bidang tanah saja di Negeri ini yang bersertifikat. Berita dari ROL tg 16 September 2014, mengatan penyelesaian sertifikasi tanah kita oleh BPN hanya 2 juta bidang hak milik per tahun.
Tentu saja program “Laseta” ( Layanan Sertifikat Tanah) ini makan tenaga dan waktu karena salah satu alasan adalah pemetaannya, harus dengan data geodesi.( ongkos ya mesti ada yang bayar - sedangkan ndak membuat ya ndak ada yang protes - paling yang membutuhkan cuma nanya dan mendesak- yang diperlukan adalah pelicin langkah kerja, contohnya Hambalang )
Kenapa peranan Lurah sangat menentuka disini ? Karena warisan Kolonial masih dipakai, bahwa pemilikan tanah pribumi dacatat datanya dan disahkan hanya oleh Lurah dan disimpan di buku besar petok leter D di kantor Desa. Benar Camat adalah Penjabat Akta Tanah, tapi camat ini hanya mengesyahkan apa kata Lurah, tanpa itu camat tidak bisa apa apa meskipun lulusan Jatinangor - yang konon tak segan membunuh rekannya dalam pendidikan).
Lazimnya lahan penduduk desanya dikelilingi tahah milik Negara berupa tanah terbuka atau hutan industri atau hutan lindung, dengan batas yang tidak dipetakan menurut azas geodesi. Jadi encroachment (pencaplokan) oleh Lurah sangatlah mudah, dengan jalannya waktu, karena perkembangan ekonomi nilai tanah tanah tersebut sangan menggiurkan. Tanah Negara itu termasuk tanah terlantar oleh pemiliknya dari zaman prakemerdekaan atau bekas gudang barang berbahaya milik Belanda, atau tuan tanah zaman itu. Kemudian merembet ke sembarang bidang lahan yang tidak bersertifikat dan pemiliknya di di wilayah lain malah jarang ditengok. Dalam hal lain bisa juga merembet ke tanah endapan lumpur di pantai pantai, seperti di Pantai Timur kota Surabaya, dan desa desa Pantai Utara pulau Jawa atau pantai desa Watu awar awar di Lumajang yang jadi alasan petambangan pasir liar, pengroyokan petani oleh Lurah dan pasukan kroninya, adanya pembiaran oleh Polsek dan aparat pemrintahan tingkat kabupaten, juga di Pulau Rupat yang diubah jadi perkebunan sawit. Dijual kepada investor asing dengan mudahnya atau reklamasi pantai di Sulawesi ( Makasar dan Manado) lainnya pasti tergiur oleh dana apapun namanya dari pengguna ke pejabat Negara) untuk petokoan dan tingkat atasnya untuk tinggal) membelakangi pantai yang nantinya jadi tempat jalan jalan para turis, tanpa bisa melihat laut, pencaplokan ini tidak diprakarsai oleh lurah, sebab terlalu masif. Tapi di Sumatra selatan antara tanah Negara dan konsesi kebun sawit atau tebu oleh investor besar, berlaku saling desak terhadap tanah milik masyarakat atau milik Negara yang menggunakan intimidasi hard power yang menetap disana dengan dalih latihan perang.
Malihat bahwa Pemerintahan Presiden Jokowi serius terhadap persoalan penyalahgunaan kekuasaan terutama oleh Lurah ini, telah tertulis di blog ini bagaimana dengan mudah cepat dan murah memetakan batas kepemilikan tanah dan pemberian sertifikat, menggunakan teknologi non konvensional, yaitu pemetaan udara, oleh drone.
Tentu saja ini hanya ide yang sangat rudimenter, pasti bisa di asembling oleh laboratoium penelitian, menggunakan produksi masal mainan anak anak. Atau alat yang lain yang pasti murah meriah.
Pemetaan ini mengunakan drone ( pesawat terbang sayap seperti baling baling mini ndak menggunakan sayap tetap dikenendalikan dari darat) dengan terbang rendah kurang dari 300 meter, alat foto mini, dan transponder radar micro disetiap pojok kepemilikan tanah, atau titik titik lengkungan, dipasang transponder, transponder mini ini menyiarkan gelombang radar sengat kecil dan lemah seperti mainan anak anak yang menggunakan sinar laser, tapi yang ini gelombang radar, yang mengembang melewati apapun rintangan, kecuali logam, bisa tertangkap oleh layar foto yang ada di drone ini, hasilnya pasti foto udara wilayah desa desa dan sekitarnya, sekalian dengan titik titik batas antar kepemilikan.
Kalau mainan anak anak saja bisa dijual murah, kenapa bukan transponder micro untuk keperluan ini??
Tentu saja bukan maksudnya menyerahkan ide ini pada profiteer, pencari keuntungan besar dari proyek seperti Pak Dahlan Iskan, yang akhirnya sangat mahal dan menjadi terbengkalai alias mangkrak dengan dalih apapun, seperti mobil listriknya.
Bila ini bisa dihindari, pasti di era Kepresidenan kedua dari Pak jokowi ( semoga Allah melindunginya) sertifikasi tanah diseluruh wilayah Indonesia jadi jelas, dan tepat, dan mempunya kekuatan hukum, sehigga Lurah gak bisa main caplok tanah Negara, atau tanah terlantar.
Sebab Sebagai Lurah jauh lebih besar hasilnya dengan mencaplok tanah, dibanding dengan dari dana hibah kucuran dana Pak Jokowi untuk pembangunan desa. Karean khawatir hibah ini pasti menjadi bancakan penjabat penjabat diatasnya, dan pertanggungan jawabnya hanya pada Lurah. Maka Lurah enggan menerima hibah ini, lebih senang menjaga jabatannya sebagai Lurah yang hasilnya selama enam tahun pasti jauh lebih banyak, lebih aman karena dia yang membagi jarahan ini dan bagiannya pasti dia sendiri yang menentukan. Pasti Negara tidak akan tahu tingkah polah badebah ini, karena atasannya sudah jadi kroninya. Makanya penduduknya yang vocal dimassa beramai ramai secara terbuka, dasar Negara bedebah*)
0 comments:
Posting Komentar