Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Rabu, 17 Agustus 2016

CARA PENGHORMATAN, MENUNJUKKAN

CARA PENGHORMATAN, ............. MENUNJUKKAN

Sejak Ibu Kota Republik Indonesia pindah dari Djokdjakarta ke  Djakarta, dimulai upacara Hari  Ualng tahun  Proklasmasi Kemedekaan Bengsa Indinesia tg 17 Agustus 1945,  secara  khidmat disertai dengan barisan kehormatan dan tembakan meriam, disiarkan  siaran pandangan mata lewat radio keseluruh Nusantara.  dengan penyiar RRI Jakarta  Dharmosugondo yang menggairahkan.

 Saya kira mulai ada siaran TV itu, detiap  Tanggal 17 Agustus, HARI ULANG TAHUN KEMERDEKAAN REPUBLIK  INDONESIS DIPROKLAMASIKAN, DIPERINGATI, DAN DAPAT DITERIMA KESELURUH DUNIA ,   saya  menyaksikan  dua siswi remaja  putri ( waktu itu salah satu  gadis remaja itu adalah Ibu Megawati seniri) menerima     nampan berisi duplikat bendera sang Saka merah putih,  sambil berjalan mundur menuruni anak tangga.  Selanjutnya sampai sekarang, gadis remaja seluruh Nesantara dipilih untuk upacara ini. Mereka berdua menjunjung nampan dengan  dua tangan  menerima sang Saka dari Presiden Republik Indonesia.

Dalam sejarah,  Pemimpin Negara selalu menempatkan dirinya  di  ketinggian   platform  dengan banyak anak tangga  menghadap lapangan, pada setiap seremoni  kejayaan  Negaranya., mungkin juga dua duanya dengan dirinya sendiri.

Bangunan  macam itu dibuat ribuan tahun yang lalu,  oleh bangsa Aztek, oleh bangsa Mesir kuno, oleh Kaisar Romawi, maupum oleh Adolf  Hitler,  Sang Fuhrer  dari das herrenvolk dan Pemimpin Kaum Bolsyewik Vladimir  Ilyich  Lenin juga begitu, tangga berfungsi untuk naik turun platform, tidak sebagai alat upacara.

Nah  Istana Negara  sekarang ini adalah bekas istana Gupernur Jendral Hindia Belanda  oleh Pemerintah Hindia  Belanda   dibuatkan  istana  dengan banyak kolonade dan anak tangga  menghadap ke lapangan upacara yang sangat luas.

Saya merasa aneh bin heran, mulai dari upacara adegan wayang kulit, tadak di Kahyangan Bhatara Guru, tidak di Kerajaan Aztek dan Mesir  zaman Pharaoh, atau didepan  singgasana  Jenghis Khan  juga tidak di Kakaisaran Romawi, tidak  di Jerman Hitler, di USSR, ada seremoni yang peraganya berjalan mundur turun sampai lebih dari lima  tangga, sambil  memapah nampan dengan  dua tangan. Ini  gaya  berjalan  yang penuh resiko dan perlu latihan berbulan bulan untuk  tidak takut dan hati hati penuh konsentrasi.  Ini pasti bukan gaya berjalan ciptaan kaum militer ahli  protocol dan upacara. Tapi saking asyiknya, dinikmati  terbanyak oleh Jendral Suharto, makanya dia sangat ketagihan, segan menunjuk pengganti diantara kroni dan putra putrinya,  keburu kena stroke dan nggak bisa mikir dan omong.  Alhamdulillah.  Karena penggantinya adalah wakil Presiden kala itu Pak Dr.Ir. Habibie  secara Konstitusi Negara ini.  Beliau didikan Jerman yang sudah sangat berpengalaman terhadap dictator Hitler.  Jadi tidak ada akal akalan menunjuk salah satu adik angkatnya  putra putri Presiden Suharto, atau Jendral favorit Pak Harto, jadi Presiden.  Malah secara konstitusional dipilih oleh MPR, lho ?       

Saya kira  bahkan  seremoni di kekaisaran Tenno Jepang,  sampai sekarang tidak ada cara ini, meskipun konon waktu Jendralisimo  Hideki Tojo menghadap  Tenno Haika Hirohito,  lapor  kekalahan pertempuran laut di pulau Midway dengan tenggelamnya empat kapal induk modern Nagkatan Laut Nippon oleh bom pesawat tempur kapal induk US Navy, yang lolos dari pengamatan inteligen Nippon,  berjalan dengan satu kaki kanan thok yang maju, kaki kiri tidak melangkah, hanya diseret maju sejauh tumit kaki kanan. Di kerajaan Thailand,  Perdana Meteri Raja Bhumibol Aduljadet menghadap Raja dengan  bertiarap  melata (prostrate down) mendekati  singgasana sang Junjungan.

Yang ini  berjalan mundur sepanjang tangga menurun adalah istimewa, tidak ada penghormatan lain kepada seseorang raja atau pusaka yang dizaman modern ini begitu takzim dan membahayakan, sehingga membuat Syahansyah Iran  pasti  merasa iri melihat ini, seandainya beliau masih berkuasa di Iran.

Saya tidak pernah tahu penghormatan yang lebih  takzim dari  ini.  Bahkan   yang  diberikan pada Raja di Bhutan atau di anak Benua  India  kepada Nizam  atau Maharaj.  Tapi membungkukkan  badan, atau  berlutut adalah umum disemua  penghormatan feodal, juga menyembah. Juga adat di Bali dan di Keraton Jawa. Sesudah audiensi,  atau penghadapan, lantas mundur sedikit membungkuk trus  balik kanan, wayang kulit ya begitu, tidak ada  kurang sopan apa apa, berjalan membelakangi  Yang  Mulia, menuju ke pintu atau turun tangga marmer meskipun di Capitol Hill

Saya juga tidak tahu maksud simbolik dari berjalan mundur turun tangga yang membahayakan ini,  penghormatan kepada siapa, kepada sang Tokoh Yang  Mulia apa penghormatan pada pusaka sang Saka yang dipapah  dengan dua tangan. Mbok coba ahli protokoler Istana, atau seniman  ahli  protokol  membuat release  perilaku selama tujuh Presiden kita ini.  Kasihan anak cucu kita, harus menjalani protocol seremoni yang membahayakan  tapi tidak dimengerti merupakan simbul apa, mungkin Pak Harto yang sangat mengerti maknanya *)


 

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More