7:56 PM
IDE SUBAGYO
CARA PENGHORMATAN, ............. MENUNJUKKAN
Sejak Ibu Kota Republik Indonesia pindah dari Djokdjakarta ke Djakarta, dimulai upacara Hari Ualng tahun Proklasmasi Kemedekaan Bengsa Indinesia tg 17
Agustus 1945, secara khidmat disertai dengan barisan kehormatan
dan tembakan meriam, disiarkan siaran
pandangan mata lewat radio keseluruh Nusantara. dengan penyiar RRI Jakarta Dharmosugondo yang menggairahkan.
Saya kira mulai ada siaran TV itu,
detiap Tanggal 17 Agustus, HARI ULANG
TAHUN KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIS
DIPROKLAMASIKAN, DIPERINGATI, DAN DAPAT DITERIMA KESELURUH DUNIA , saya menyaksikan dua siswi remaja putri ( waktu itu salah satu gadis remaja itu adalah Ibu Megawati seniri) menerima nampan berisi duplikat bendera sang Saka merah
putih, sambil berjalan mundur menuruni
anak tangga. Selanjutnya sampai sekarang, gadis remaja seluruh Nesantara dipilih untuk upacara ini. Mereka berdua menjunjung
nampan dengan dua tangan menerima sang Saka dari Presiden Republik Indonesia.
Dalam sejarah, Pemimpin Negara
selalu menempatkan dirinya di ketinggian
platform dengan banyak anak
tangga menghadap lapangan, pada setiap
seremoni kejayaan Negaranya., mungkin juga dua duanya dengan
dirinya sendiri.
Bangunan macam itu dibuat ribuan
tahun yang lalu, oleh bangsa Aztek, oleh bangsa Mesir kuno, oleh Kaisar Romawi,
maupum oleh Adolf Hitler, Sang Fuhrer
dari das herrenvolk dan Pemimpin Kaum Bolsyewik Vladimir Ilyich Lenin
juga begitu, tangga berfungsi untuk naik turun platform, tidak sebagai alat upacara.
Nah Istana Negara sekarang ini adalah bekas istana Gupernur
Jendral Hindia Belanda oleh Pemerintah
Hindia Belanda dibuatkan
istana dengan banyak kolonade dan anak tangga menghadap ke lapangan upacara yang sangat luas.
Saya merasa aneh bin heran,
mulai dari upacara adegan wayang kulit, tadak di Kahyangan Bhatara Guru, tidak di
Kerajaan Aztek dan Mesir zaman Pharaoh, atau
didepan singgasana Jenghis Khan juga tidak di Kakaisaran Romawi, tidak di Jerman Hitler, di USSR, ada seremoni yang
peraganya berjalan mundur turun sampai lebih dari lima tangga, sambil memapah nampan dengan dua tangan. Ini gaya
berjalan yang penuh resiko dan
perlu latihan berbulan bulan untuk tidak
takut dan hati hati penuh konsentrasi.
Ini pasti bukan gaya berjalan ciptaan kaum militer ahli protocol dan upacara. Tapi saking asyiknya, dinikmati terbanyak oleh Jendral Suharto, makanya dia
sangat ketagihan, segan menunjuk pengganti diantara kroni dan putra putrinya, keburu kena stroke dan nggak bisa mikir dan
omong. Alhamdulillah. Karena penggantinya adalah wakil Presiden
kala itu Pak Dr.Ir. Habibie secara Konstitusi Negara ini. Beliau didikan
Jerman yang sudah sangat berpengalaman terhadap dictator Hitler. Jadi tidak ada akal akalan menunjuk salah
satu adik angkatnya putra putri Presiden
Suharto, atau Jendral favorit Pak Harto, jadi Presiden. Malah secara konstitusional dipilih oleh MPR, lho ?
Saya kira bahkan seremoni di kekaisaran Tenno Jepang, sampai sekarang tidak ada cara ini, meskipun
konon waktu Jendralisimo Hideki Tojo menghadap Tenno Haika Hirohito, lapor kekalahan pertempuran laut di pulau
Midway dengan tenggelamnya empat kapal induk modern Nagkatan Laut Nippon oleh bom pesawat tempur kapal induk US Navy, yang lolos dari pengamatan inteligen Nippon, berjalan dengan satu kaki kanan thok yang maju,
kaki kiri tidak melangkah, hanya diseret maju sejauh tumit kaki kanan. Di kerajaan
Thailand, Perdana Meteri Raja Bhumibol
Aduljadet menghadap Raja dengan bertiarap melata (prostrate down) mendekati singgasana sang Junjungan.
Yang ini berjalan mundur sepanjang
tangga menurun adalah istimewa, tidak ada penghormatan lain kepada seseorang
raja atau pusaka yang dizaman modern ini begitu takzim dan membahayakan,
sehingga membuat Syahansyah Iran pasti merasa iri melihat ini, seandainya beliau masih
berkuasa di Iran.
Saya tidak pernah tahu penghormatan yang lebih takzim dari
ini. Bahkan yang
diberikan pada Raja di Bhutan atau di anak Benua India kepada Nizam atau Maharaj. Tapi membungkukkan badan, atau berlutut adalah umum disemua penghormatan feodal, juga menyembah. Juga adat di Bali dan di Keraton Jawa. Sesudah audiensi, atau penghadapan, lantas mundur sedikit
membungkuk trus balik kanan, wayang kulit ya begitu, tidak ada
kurang sopan apa apa, berjalan membelakangi Yang
Mulia, menuju ke pintu atau turun tangga marmer meskipun di Capitol Hill
Saya juga tidak tahu maksud simbolik dari berjalan mundur turun tangga yang
membahayakan ini, penghormatan kepada
siapa, kepada sang Tokoh Yang Mulia apa
penghormatan pada pusaka sang Saka yang dipapah
dengan dua tangan. Mbok coba ahli protokoler Istana, atau seniman ahli
protokol membuat release perilaku selama tujuh Presiden kita ini. Kasihan anak cucu kita, harus menjalani
protocol seremoni yang membahayakan tapi
tidak dimengerti merupakan simbul apa, mungkin Pak Harto yang sangat mengerti maknanya *)
Posted in:
0 comments:
Posting Komentar