Thorium, sebuah revolusi energi
·
Browsing: »
Thorium : Sebuah Revolusi Energi
Oleh: Bob S. Effendi
10 Juli 2015 22:20:09 Dibaca :
Bayangkan bola dalam genggaman tangan seperti gambar di atas
dapat memberikan listrik untuk rumah anda selama 100 tahun lebih atau sebesar
bola basket dapat mengaliri Listrik sebuah Kota selama setahun atau bahkan
sebuah pesawat terbang yang dapat terbang selama 3 bulan tanpa mendarat dan
mengisi bahan bakar — Ini semua bukanlah bagian dari fantasi sebuah film
Hollywood tetapi akan menjadi kenyataan dalam 5 – 10 tahun lagi.
Bahan bakar yang kami maksud adalah Thorium yang memilki densitas energi terpadat sehingga
1 ton Thorium yang hanya sebesar bola basket dapat menjadi bahan bakar
pembangkit listrik berdaya 1000 MW selama 1 tahun. Bandingkan dengan uranium
yang membutuhkan 200 ton atau batubara yang membutuhkan 3,5 juta ton. – dan
yang lebih menggembirakan bahwa indonesia memilki Cadangan Thorium untuk 1000
tahun. — Bahan bakar dalam reaksi fisi sesungguhnya adalah Elemen Bahan
Nuklir (Nuclear Fuel)
karena tidak ada yang di bakar dalam reaksi nuklir.
Revolusi energi
berikutnya adalah Thorium Energy, sebuah sumber energi yang bersih,
menghasilkan limbah nuklir yang sangat kecil, tidak dapat di persenjatai, tidak
mengeluarkan emisi apapun dan karena densitas energi yang sangat tinggi maka
energi yang dihasilkan sangat murah.
Thorium akan
mengakhiri pengunaan bahan bakar berbasis fosil seperti minyak dan batubara
selamanya karena di masa depan kendaraan, kapal laut bahkan pesawat terbang
dapat memakai Thorium sebagai bahan bakar.
DR. Carla Rubbia,
pemenang hadiah Nobel Fisika dan Direktur CERN,lembaga Riset Nuklir Eropa
mengatakan dalam Konprensi Thorium Internasional 2013 :
“there is more than
4500 times more energy available to us in Thorium than there is in all the
fossil resources combined, that ought to make Thorium Energy sustainable..”
(Carla Rubbia).
“Ada lebih dari 4500
kali lebih banyak energi yang terkandung dalam Thorium daripada seluruh
sumberdaya energi fossil di gabungkan, yang membuat Energi Thorium
berkelanjutan.. “(Carla Rubbia)
Menurut Rubbia
cadangan Thorium di Bumi cukup untuk memberikan kebutuhan energi dunia selama
20.000 tahun kedepan…bukan main-main ini adalah pernyataan seorang peraih
hadiah Nobel.
Berakhir sudah tarif
listrik PLN yang setiap tahun naik terus, karena tarif listrik dapat turun
lebih dari 30% dan tidak akan naik selama anda hidup.
Ini semua bukan
fantasi tapi akan menjadi kenyataan dalam waktu kurang dari 10 tahun dari
sekarang.
Apakah Thorium ?
Thorium adalah sebuah unsur dengan no atom 90 yang mempunyai
sifat radioaktif yang dapat dipakai sebagai bahan bakar reaktor
nuklir. Karena Thorium bukan inti fisile maka untuk menggunakan Thorium harus memakai
Uranium tetapi ini hanya untuk awal memicu reaksi karena setelah itu Thorium
yang disebut inti fertile (subur) dapat membelah dan menghasilkan Uranium 233 atau dapat
dilakukan penembakan dengan Neutron sehingga Thorium membelah. — untuk
yang ingin lebih detail membaca tentang siklus Thorium sebagai bahan bakar Nuklir
silahkan membaca dokumen IAEA (Thorium Fuel Cycle – Potential annd Chalengges)
Tidak seperti Uranium
yang terbilang langka, Thorium terdapat dalam jumlah cukup banyak di dalam bumi
di banding emas, perak, dan timah hampir di setiap negara di dunia terdapat
Thorium. Di Indonesia, Thorium dapat di temukan di Bangka Belitung sebagai
ikutan timah dan menurut Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) ada sekitar 121.500
ton cadangan Thorium di Babel (hanya Babel belum seluruh Indonesia) yang dapat
memberikan daya 121 Gigawatt selama 1000 tahun (saat ini total produksi listrik
Indonesia masih di bawah 40 Gigawatt). – Bicara tentang kemandirian energi dan
ketahanan energi inilah jawabannya bukan batubara yang akan habis dalam 20
tahun atau gas yang akan habis dalam 38 tahun.
Sejarah Thorium dan Molten Salt Reactor
Hampir semua bahan
bakar PLTN di dunia adalah Uranium dalam bentuk padat dengan pendingin air atau
yang disebut Light Water Reactor (LWR) yang memiliki 3 variant yang disebut :
Pressurised Water Reactor (PWR), Boiling Water Reactor (BWR) dan Super Critical
Water Reactor (SCWR) – PWR dan BWR adalah yang terbanyak di pakai di dunia.
Sejak awal penelitian Nuklir selalu di danai oleh militer, sejakManhattan Project yang menciptakan bom atom Hiroshima-Nagasaki,
karenakan kebutuhan untuk menciptakan bom nuklir yang lebih dahsyat dan unsur
terpenting adalah Plutonium yang tidak di dapat di alam hanya didapat melalui
proses fisi nuklir — jadi sesungguhnya reaktor LWR hanyalah sebuah pabrik
plutonium terselubung. Sebagai contoh 1000 MW reaktor PWR menghasilkan sekitar
230 kg/tahun Plutonium yang cukup untuk membuat 30 bom atom skala Hiroshima.
Adalah Dr Alvin Weinberg, salah satu anggota Manhattan Project yang
mengusulkan mempergunakan Thorium sebagai bahan bakar reaktor daya sipil (PLTN)
yang memiliki efisiensi lebih dari 90% dibanding uranium yang hanya dibawah 3%
ditambah reaksi fisi thorium tidak menghasilkan Plutonium sehingga lebih aman
tetapi ternyata hal ini justru yang tidak membuat Thorium menarik bagi pihak
militer yang masih membiayai riset nuklir saat itu sehingga penelitian Thorium
di hentikan pada tahun 1969.
Pada saat itu,
Weinberger telah menciptakan sebuah reaktor khusus sipil dengan tingkat
keamanan yang jauh lebih tinggi yang sangat berbeda dengan LWR yang
sesungguhnya di ciptakan oleh Weinberg juga tetapi di desain untuk kepentingan
Militer khususnya Kapal Selam (USS Nautilius). Reaktor baru ini disebut Molten Salt Reactor(MSR) karena mempergunakan pendingin garam
cair dan bahan bakar cair yang sangat cocok untuk thorium dan sebelum akhirnya
di tutup telah beroperasi di Oak Ridge National
Laboratoryselama 20,000 jam
tanpa masalah.
Sejak itu berkakhirlah
pamor Thorium/MSR sampai tidak pernah lagi ada pembahasan MSR dalam dunia
fisika nuklir, bahkan sampai sekarang MSR tidak pernah di ajarkan di Fakultas
Tehnik Nuklir di Dunia. sampai kejadian setelah Fukushima pada tahun 2011 para
ahli nuklir mulai mengkaji ulang desain reaktor pendingin air dan berbahan
bakar padat. Pemikiran untuk memakai bahan bakar cair mulai muncul kembali dan
tentunya salah satu yang sudah terbukti adalah MSR.
Jadi yang harus di pertegas adalah Revolusi Energi yang di
maksud adalah ketika Thorium dipakai sebagai bahan bakar cair untuk Molten Salt
Reaktor — bukan reaktor jenis lainnya. Secara implisit pengertian Thorium
Energy adalah dengan pemanfaatan Reaktr jenis Molten Salt dan selanjutkan akan
kami tulis TMSR — Variant MSR yang dikembangkan saat ini di sebut juga LFTR (Liquid Flouride Thorium Reactor).
Beberapa keunggulan TMSR vs LWR
Walaupun desain MSR
selama lebih dari 50 tahun tidak ada yang melirik tetapi ketika pada tahun 2000
berbagai ahli dan pelaku industri nuklir berkumpul untuk membahas desain
reaktor nuklir generasi ke IV dan MSR terpilih sebagai salah satu dari 6
reaktor yang di setujui sebagai reactor generasi ke IV yang handal dan
satu-satunya yang sudah terbukti.
Beberapa keunggulan MSR dengan bahan bakar
thorium dan garam cair (TMSR) dibanding reaktor LWR pada umumnya antara lain :
1. TERBUKTI : reaktor daya TMSR 30 MW sudah pernah di
operasikan oleh Oak Ridge National Laboratory selama 20,000 jam (1965 – 1969)
tanpa masalah. MSR adalah satu-satunya reaktor Generasi IV yang sudah terbukti.
2. TEKANAN NORMAL : reaktor TMSR bekerja dalam tekanan normal (1
ATM) sehingga tidak membutuhkan struktur pelindung yang berat yang membuat
konstruksi TMSR jauh lebih murah.– Sementara reaktor LWR bekerja pada tekanan
144 ATM atau setara pada kedalaman 1,5 km dibawah laut, ketebalan betonnya saja
1,5 meter. Tekanan yang tinggi dapat menimbulkan ledakan bila terjadi kebocoran
atau meltdown seperti pada kasus Fukushima
3. LIMBAH LEBIH KECIL : TMSR mengkonsumsi lebih dari 90% bahan bakar
dibanding LWR yang hanya 3% sehingga sisa limbah radioaktif sangat kecil dengan
tingkat radioaktif jauh lebih kecil di banding Uranium dan Plutonium dan limbah
tersebut dapat di campur lagi sebagai bahan bakar TSMR – Sebagai perbandingan
1000 MW PLTN LWR menghasilkan limbah 35 ton sementara TSMR hanya 170 Kg.
4. LEBIH EFISIEN : Karena TMSR bekerja pada tempartur yang
cukup tinggi sekitar 800 C dibanding LWR yang hanya 300 C maka TMSR dapat
mengkoversi panas menjadi listrik jauh lebih efisien di banding LWR dengan
tingkat konversi mendekati 50% bahkan jauh lebih baik daripada batubara dan gas
yang membuat tingkat keekonomisan sangat tinggi.
5. ANTI MELTDOWN : Karena bahan bakar dan pendingin TMSR sudah
dalam keadaan cair (melt) maka TMSR tidak mungkin terjadi meltdown. Reaksi fisi
TMSR dapat berhenti dalam sekejap (dalam hitungan menit) tanpa adanya decay
heat yang berkepanjangan. Tidak seperti LWR bahkan setelah control rod
dimasukan untuk menghentikan reaksi fisi tetapi decay heat pada tempratur 900 C
masih tetap berlangsung yang menyebabkan akumulasi gas Hidrogen dapat
menyebabkan terjadi meltdown dan ledakan yang meruntuhkan struktur pelindung —
seperti kasus Fukushima.
6. PASSIVE SAFETY : Ketika terjadi hilangnya listrik atau
bencana lainnya maka garam cair akan meluncur ke tempat penampungan di bawah
tanah secara otomatis tanpa bantuan listrik atau manusia secara gravitasi dan
karena tidak adanya pemanasan maka dalam waktu singkat garam cair akan mengeras
menjadi kristal sehingga aman. — hal inilah yang di sebut “passive safety” atau
“walk away safety” yang hampir menjadi kriteria utama semua jenis reaktor
generasi ke IV, tentunya bagi jenis LWR hal ini sangat sulit di laksanakan
dengan mudah, karena prinsip LWR adalah pendingin air, maka untuk melaksanakan
fungsinya pompa air harus bekerja.
7. MODULARITY : Sejak awal prinsip desain TMSR dibuat sangat
sederhana dengan pemikiran dapat di fabrikasi di pabrik lalu di angkut kelokasi
dibanding dibuat di lokasi hampir semua PLTN saat ini yang di bangun di lokasi.
– Hal ini bertujuan membuat biaya yang murah (karena fabrikasi) dan pembangunan
yang cepat. Di perkirakan di butuhkan hanya 24 bulan untuk membangun 1000 MW
dibanding 5 – 7 tahun untuk LWR. – Modularity saat ini menjadi bagian dari
design philosphy dari Advanced Reactor program yang di biayai oleh AS.
8. SCALABILITY : Hal ini juga merupakan prinsip desain TSMR
sejak awal. Dengan bahan bakar cair dan reaktor yang sederhana membuat TSMR
dapat di buat sangat kecil atau sangat besar. Bayangkan saat itu saja (1957)
Weinberger sudah mendesain reaktor TMSR dengan daya 2,5 MW untuk propulsi mesin
jet bomber yang dapat terbang nonstop selama beberapa bulan tapi sayang program
tersebut di batalkan karena alasan politis. – Saat ini beberapa perusahaan
startup Thorium banyak yang mendesain dengan reaktor skala kecil seperti 25 MW,
50 MW dan 250 MW yang di tujukan untuk negara2 berkembang. Hal ini tidak
mungkin di lakukan oleh reaktor LWR konvensional. Sangat ideal untuk Indonesia
bagian Timur yang konsumsi listrik rendah.
9. TIDAK BUTUH AIR : Hampir semua PLTN memakai pendingin air oleh
sebab itu harus dibangun di pinggir laut atau sungai besar. Karena TSMR memakai
garam cair bukan air sebagai pendingin maka TMSR tidak harus di bangun di
pinggir laut atau sungai karena tidak membutuhkan air dalam jumlah besar,
sehingga dapat di posisikan di tengah daratan seperti wilayah Kalimantan Tengah
atau di perbatasan Kalimantan.
10. LOAD FOLLOWING : Mungkin salah satu keunggulan TMSR yang
pastinya akan di sukai oleh PLN adalah Load Following karena bahan bakarnya cair maka daya yang di
hasilkan dapat di naikan dan di turunkan dalam waktu cepat. Hal ini
berguna khususnya pada waktu-waktu beban puncak yang biasanya hanya berlangsung
tidak lebih dari 2 jam. Sebagian besar pembangkit listrik PLN adalah base load (PLTU dan PLTA) dimana sulit untuk menaikan
dan menurunkan daya dengan cepat sehingga PLN harus memakai pembangkit listrik
seperti Genset diesel atau Gas yang biayanya mahal untuk mensuplai daya pada
beban puncak – Artinya TMSR memiliki kemapuan base load dan load following yang
tidak di miliki oleh jenis reaktor bahan bakar pada seperti LWR dan HTGR.
11. KEEKONOMISAN TERTINGGI : Salah satu keunggulan yang terpenting adalah
keekonomisan yang tinggi. Karena prinsip Modularity, Scalability menjadikan
TMSR sebagai desain reaktor yang paling sederhana menjadikan biaya pembangunan
murah bahkan lebih murah dari PLTU di perkirakan rata-rata dibawah USD 2,5 Juta
per MW bandingkan dengan LWR yang di kisaran 7 – 8 Juta per MW . Di tambah
harga thorium juga sangat murah dan efisiensi yang tinggi maka biaya produksi
listrik TMSR tidak akan lebih dari USD 3 sen/kwh, sementara rata-rata biaya
produksi listrik PLN saat ini di atas 10 – 12 sen dan tarif listrik di kisaran
9 sen maka dari tahun ke tahun subsidi listrik naik terus dan mungkin dapat
membuat PLN menjadi untung karena selama rugi terus – Bayangkan pemerintah
tidak perlu lagi mensubsidi PLN bahkan tarif listrik mungkin dapat turun.
Walaupun perusahaan Nuklir besar yang membangun PLTN saat ini
mencoba mendesain generasi berikut reaktor jenis PWR generasi berikutnya (Next Gen) dengan beberapa fitur pasive safety, modularitydan keekonomisan yang lebih tinggi seperti ,
AP1000 (Westinghouse), Areva EPR (Areva), ACP 100 (CNNC china), Korea SMART,
NuSclae (NuScale), M-Power (Babcock & Wilcox), dan banyak lagi, tetapi
tetap pada akhirnya tidak dapat menandingi TMSR dari sisi keselamatan dan
keekonomisan – TMSR akan menjadi reaktor yang termurah biayanya.
Analoginya adalah
ketika tahun 80’an pertama muncul Personal Computer dan saat itu ada berbagai
jenis operating sistem yang meniru Microsoft DOS dan Apple yang sudah muncul
terdahulu dengan Apple II nya. Bahkan ketika Microsoft merelis windows pada
tahun 1985 banyak yang mencemooh termasuk Apple tapi 10 tahun kemudian Windows
menguasai 87% pasar operating system termasuk apple akhirnya menyerah dan
membiarkan aplikasi Windows dapat di pakai di Mac OS.
Saya yakin hal yang sama akan terjadi dengan reaktor nuklir. Paska
beroperasinya TMSR pada 2020 tidak akan ada lagi pihak yang akan membangun
reaktor yang bukan TMSR dan tidak ada lagi yang akan memakai Uranium sebagai
bahan bakar hanya akan ada 2 pilihan : Thorium atau Limbah Nuklir.
Fungsi lainnya dari TMSR
Di karenakan tempratur
yang di hasilkan reaktor TMSR sangat tinggi mendekati 800 C maka panas ini
dapat di manfaatkan antara lain :
PRODUKSI AIR BERSIH : Instalasi Desalinisasi (ID) air laut menjadi
air tawar membutuhkan listrik yang sangat besar karena sebagian besar memakai
teknologi Reverse Osmosis (RO), oleh sebab itu biasanya ID membangun pembangkit
listrik sendiri. – Perbedaan dengan TSMR adalah proses desalinisasi
memanfaatkan panas bukan melalui RO, sangat sederhana seperti memanaskan air di
ketel lalu uapnya di dinginkan — sehingga dari sisi cost akan sangat kompetitif
dibanding ID dengan proses RO karena panas yang di pakai tidak ada biaya alias
gratis. — info lebih lanjut klik disini
.
PRODUKSI HIDROGEN : Panas yang di hasilkan dapat juga di pakai
untuk menghasikan hidrogen yang dapat dipakai untuk menggantikan CNG sebagai
bahan bakar kendaraan. — dibeberapa negara Eropa, Amerika dan Jepang kendaraan
umum seperti bus banyak yang memakai Hidrogen di banding CNG atau dapat
menggantikan premium. Biaya per liter Hydrogen (H2) di perkirakan hanya
sepertiga harga bahan bakar minyak (premium/pertamax) atau seperempat harga gas
CNG — info lebih lanjut klik disini
Jadi jelas sekali
bahwa bukan saja TMSR dapat menghasilkan listrik tetapi juga menghasilkan
beberapa manfaat lainnya yang tidak dapat di lakukan oleh pembangkit listrik
lainnya.
Perkembangan TMSR saat ini
Sejak terjadinya Fukushima pembahasan tentang TMSR mulai hidup
kembali bahkan sebuah forum International, International Thorium Energy
Organisation sudah di bentuk dan melakukan konprensi internasional, International Thorium
Energy Confenrences(IThEC) setiap tahun
sejak 2010. Bahkan Sekjen Badan Dunia Energi Nuklir, IAEA,Hans Blix dan Carlo Rubbia, pemenang Hadiah Nobel Fisika dan juga menjabat
Direktur CERN yang keduanya hadir sebagai pembicara pada IThEC 2013 untuk
memberikan dukungan terhadap Thorium yang di sampaikan sebagai sumber energi
masa depan — Hadirnya kedua tokoh Nuklir yang terpandang tersebut menunjukan
bahwa Thorium Energy bukanlah lagi sebuah wacana tetapi merupakan sebuah
realita yang akan terjadi dalam waktu dekat. (interview Hans Blix
tentang Thorium Energy dan Presentasi Carlo Rubbia pada IThEO 2013 dapat di
lihat dengan mengklik namanya di atas)
China dan India menjadikan TMSR menjadi program energi nasional
danberlomba untuk menjadi yang
pertama. China telah menunjuk Chinese Acedemy of Scince (CAS) sebagai pimpinan
proyek TMSR. Ambisi China menjadi negara pertama yang mengoperasikan TSMR
secara komersial, target mereka pada tahun 2020 TSMR dengan daya listrik 100 MW
sudah dapat beroperasi dan 1000 MW pada 2030. – Presentasi DR.HongJie XU kepala
Shanghai Institute of Applied Physics (SINAP) pada International Thorium Conference 2013 (klik disini)
Komitmen China untuk
mengurangi penemaran udara jelas sekali dengan mengurangi penggunaan PLTU
batubara dan menggantikannya dengan Nuklir dan Hydro. Saat ini China
mengoperasikan 26 PLTN dan 24 PLTN dalam konstruksi belum lagi yang masih dalam
pengembangan seperti TMSR. Pada akhir 2030 di rencanakan 150 GWe akan di
hasilkan oleh PLTN yang jauh lebih besar dibanding Amerika. – China
mengoperasikan beberapa jenis tipe reaktor yang sebagian besar adalah turunan
PWR yang Generasi III+ tetapi adalah TSMR yang Generasi IV dimana harapan
kemandirian energi China di gantungkan.
China berambisi untuk menjadi negara pertama yang mengoperasikan
TMSR dan akan menjadikan reaktor export untuk negara-negara berkembang —
untuk merealisasikan ambisi tersebut jelas terlihat. Pada tahun 2011 CAS
di berikan anggaran USD 350 Juta sebagai anggaran tahap awal dengan komitmen
USD 1 Milyar selama 5 tahun dan CAS sampai saat ini telah merekrut lebih dari
300 Sarjana S3 dalam berbagai bidang. CAS juga telah melakukan kerjasama dengan
Kementrian Energi AS, Oak Ridge National Laboratory tempat di mana MSR pertama
di buat dan Fakultas Tehnik Nuklir MIT. – Jelas dengan komitmen yang tinggi
seperti ini Kami yakin China akan berhasil mengoperasikan TMSR pertama sebelum
2020. – (berita)
Ada sekitar 25 perusahaan 12 negara di Dunia yang saat ini
melakukan pengembangan TMSR termasuk China dan India tetapi sebagian besar
adalah dibiayai oleh Swasta, hanya China dan India yang menjadi program
Nasional. Program Nasional TMSR di India di motori oleh Bhabha Atomic Research
Center (BARC) sebuah lembaga penelitian nuklir terkemuka
di India yang berada di Mumbay tempat Konperensi Thorium International 2015 di
adakan tahun ini. Program TSMR di China di motori oleh Chinese Academy of
Science (CAS)yang berpusat di Shanghai. Di Eropa, beberapa
universitas membentuk konsorsium untuk mengembangkan program TSMR yang disebut
SAMOFAR yang di motori oleh Tehnical University Delf, Belanda.
Salah satu pendukung energi Nuklir adalah Bill Gates, ia
menghabiskan lebih dari 10 tahun dan Milyaran Dollar untuk membiayai berbagai
teknologi energi bersih mulai dari teknologi baterai, Photovoltaic sampai
Reaktor Nuklir dengan tujuan untuk membantu negara-negara terkebelakang seperti
di Afrika untuk mendapatkan listrik murah dan bersih untuk mengangkat negara
tersebut dari kemiskinan. – Video Bill Gates on Energy | TED Talk.
Pada akhirnya Gates menilai jawaban dari persoalan energi hanya
ada pada Reaktor Nuklir Generasi berikutnya yang disebut SMR (Small Modular Reactor). Untuk itu Gates menginves dananya di Terrapoweryang mendesain reaktor Reaktor Nuklir baru yang diberi nama Travelling
Wave Reactor (TWR) yang
mempergunakan bahan bakar limbah nuklir (depleted uranium) – Walaupun TWR
adalah reaktor jenis berbeda dengan MSR tetapi memiliki karakteristik yang sama
yang disebut SMR.
Pola bisnis mempergunakan limbah nuklir, yang menjadi masalah
bagi negara-negara nuklir bukan hanya Terrapower yang melakukan tetapi beberapa
perusahaan lainnya seperti Copenhagen Atomics danSteenkampskraal
Thorium yang memakai Reaktor
MSR yang juga dapat memanfaatkan limbah Nuklir sebagai bahan bakar. – Sehinggga
MSR dapat menjadi solusi bagi industri Nuklir yang selama ini tidak ada jalan
keluar selain di simpan dalam kolam air di kompleks reaktor atau di bunker di
dalam tanah.
Ketika China pada
tahun 2020 mengoperasikan TSMR maka saat itu adalah hari kematian energi
fossil, seperti batubara, minyak bumi, gas bumi bahkan Jenis reaktor turunan
LWR lainnya tidak akan ada yang memakai lagi. Karena dari sisi keekonomisan
jelas tidak akan tertandingi dari jenis pembangkitan energi lainnya sampai
mungkin teknologi Cold Fusion muncul.
Kalo memang bagus mengapa tidak ada yang pakai
?
Kalo benar bahwa TMSR
lebih murah, lebih aman dan menghasilkan limbah nuklir lebih sedikit dari
Uranium/LWR mengapa saat ini tidak ada satupun juga PLTN TMSR yang beroperasi?
ini adalah pertanyaan seorang pejabat ESDM. Sebenarnya ini adalah pertanyaan
wajar tapi untuk menjawabnya tidak dapat diberika jawaban secara langsung. Saya
akan mencoba menjawab pertanyaan ini.
Pertama bahwa TSMR
adalah reaktor yang terbukti (proven) hal itu tidak dapat dibantah seperti
telah Kami jelaskan di atas telah bekerja selama 20,000 jam antara tahun 1965 –
1969.
Kedua, mengapa tidak
ada yang memakai saat ini ?
Seperti Kami jelaskan
di atas, pada awal pengembangan teknologi nuklir adalah berlatar belakang
perang dingin antara AS/NATO vs Soviet/Warsawa yang mana alat deterent
(pengancaman) yang di pergunakan adalah senjata nuklir oleh sebab itu kedua
belah pihak berlomba mengumpulkan plutonium yang tidak bisa di dapat di alam
dengan membangun pabrik plutonium yang tidak lain adalah reaktor daya LWR —
sementara reaktor TSMR tidak menghasilkan Plutonium sehingga tidak menjadi
pilihan.
Tapi setelah perang
dingin selesai tahun 80’an dan senjata nuklir di kurangi, mengapa TSMR tidak
juga muncul? — setelah lebih dari 30 tahun Industri Nuklir yang mengandalkan
reaktor LWR dan sejenisnya yang mengunakan Uranium padat sudah cukup besar dan
mapan, mulai dari konstruksi, pembuatan bahan bakar sampai jasa
pemeliharaan, tentunya mereka tidak ingin ada perubahan mendasar dalam
Industri Nuklir apalagi bahan bakar cair. Ini adalah sebuah pemikiran
yang pastinya dilakukan oleh Industri manapun juga dalam mempertahankan
kelangsungan hidupnya.
Mengambil contoh lain.
Kita tahu bahwa ada 2 jenis voltase di dunia, 110V dan 220 volt. Indonesia saat
ini memakai 220 volt tetapi sekitar tahun 70’an Indonesia sempat memakai
voltase 110 volt dan selama beberapa tahun kemudian secara perlahan terjadi
transisi menjadi 220 sehingga saat ini seluruh Indonesia sudah menjadi 220
Volt. Tetapi mengapa Amerika sampai saat ini masih mempertahankan 110 volt
sementara seluruh dunia, termasuk Eropa dan Jepang memakai 220V sejak dulu. Bila
di kaji secara teknis, sistim 220 jauh lebih unggul dibanding 110V dari segala
aspek termasuk keamanan bagi manusia.
Di mulai 100 tahun yang lalu ketika terjadi perang antara Nikola
Tesla yang menjagokan listrik AC dan Thomas Edison yang menjagokan listrik DC.
Perang ini di menangkan Tesla ketika dengan akhirnya memenangkan tender
pembangunan PLTA Niagara Falls (1895) dengan memakai sistim AC (alternting
Current) yang saat ini dipakai di dunia, melawan Edison yang menawarkan DC
(Direct Current). Tetapi sayangnya jaringan listrik ke pelanggan masih di
dominasi oleh Edison sehingga ketika Tesla meminta untuk merubah menjadi 220,
Edison dan Industri alat2 listrik di Amerika menolak, sehinga Tesla mengganti
voltase jaringan menjadi 110 – Padahal secara tegas Tesla sebagai pencipta
listrik AC mengatakan bahwa yang terbaik adalah voltase 220. – baca lebih
lanjut Power War : AC vs DC.
Lain hal dengan Eropa
yang mulai membangun jaringan listrik belakangan pada awal 1920, belajar dari
pengalaman di AS dan mengikuti nasehat Tesla sebagai pencipta listrik AC maka
seluruh jaringan listrik di Eropa berbasis 220V sampai sekarang. Dan sampai
awal 1950’an Amerika selalu mempengaruhi dunia2 berkembang seperti Asia untuk
memilih 110 dibanding 220 karena alasan sederhana. Saat itu semua alat2 listrik
amerika berbasis 110 dan alat2 listrik eropa berbasis 220 maka dibalik
pemilihan voltase ada sebuah industri besar yang akan ikut masuk. – Walaupun
saat ini hampir semua pabrik alat2 listrik memproduksi 110 maupun 220.
Bahkan bila Kami katakan bahwa Tesla, 100 tahun yang lalu telah
menciptakan pembangkit yang mengambil listrik dari atmosfir alias gratis dan
mentrasmisikan listrik tersebut secara wireless anda mungkin tidak akan
percaya.. tapi ini kenyataan dan anehnya di tolak bahkan instalasi tersebut di
hancurkan dan dokumennya dibakar oleh JP Morgan karena masalah sepele tidak
dapat menagih bayaran listrik bila listrik di transmisikan secra wireless —
Silahkan google “Wanderclyffe Tower” atau membaca tulisan saya tentang hal itu
, Energy Gratis,
Mungkinkah ?
Semoga dari penjelasan
ini jelas terlihat bahwa bila sudah menyangkut sebuah industri yang mapan,
lebih sering pengambilan keputusan tidak berdasarkan keunggulan teknologi dan
kepentingan pengguna (masyarakat umum) tetapi lebih kepada keuntungan
perusahaan dan untuk mempertahankan dominasi status quo mereka akan
mempengaruhi pengambil kebijakan — Jelas sekali bahwa 220V jauh lebih
unggul dan aman tetapi mengapa sampai sekarang Amerika masih memakai 110V.. Nah
bila anda dapat menjawab pertanyaan itu maka anda akan paham mengapa
Thorium/Molten Salt Reactor yang jauh lebih aman dan murah di banding
Uranium/LWR tidak ada yang pakai sampai saat ini.. jelas bukan jawabannya.
Tetapi semua ini akan
berubah karena sudah banyak ilmuwan, Universitas dan banyak perusahaan yang
mulai mengangkat TMSR ke permukaan lagi. Tinggal masalah waktu bahwa TSMR akan
menjadi pembangkit listrik masa depan.. dan itu dalam waktu dekat tidak lebih
dari 10 tahun lagi.
Untuk yang ingin tahu secara teknis dan jelas tentang
pertarungan politik di Industri Nuklir saat itu yang akhirnya di menangkan oleh
Kubu Uranium dapat saksikan presentasi video berikut (klik disini).
Bagaimana dengan Indonesia ?
Di Indonesia, tidak
banyak ahli Nuklir yang menyadari tentang TMSR. Bahkan ESDM dan BATAN dalam
Buku Putih PLTN 5000 MW, menargetkan Indonesia akan mengoperasikan PLTN pertama
pada 2030 dengan pilihan Pressurised Water Reactor (PWR) — yang harus di ingat
adalah Buku Putih tersbut adalah perencanaan 15 tahun dari sekarang yang mana
saat itu PWR sudah menjadi teknologi usang (apalagi isu proliferasi yang
bertambah kuat – PWR menghasilkan Plutonium) yang tidak akan lagi dipakai
setelah kemunculan MSR atau reaktor generasi ke IV lainnya.
Seharus sebuah
perencanaan jangka panjang di atas 5 tahun tidak saja melihat teknologi apa
yang ada sekarang tetapi mempertimbangkan apa yang sedang dalam pengembangan. —
Ingat hanya di butuhkan waktu 10 tahun untuk teknologi seluler menggantikan
dominasi fixed line telephone dan 5 tahun kemudian seluler dapat mengakses
internet — Bila saja pihak Telkom berpikir seperti ESDM dan BATAN dan tidak
mendirikan PT Telkomsel pada tahun 1995 ketika seluler baru saja muncul, sangat
mungkin saat ini PT Telkom sudah bangkrut. Karena faktanya Income terbesar PT
Telkom adalah dari Telkomsel.
Dari sisi bahan bakar
menurut data BATAN sendiri dalam Buku Putih PLTN, Indonesia hanya memiliki
Cadangan Uranium 63.000 ton yang hanya cukup untuk 7 PLTN berdaya 1000 MW
selama 40 tahun – sementara di buku yang sama BATAN menulis bahawa cadangan
Thorium ada sekitar 121.500 (1 ton/tahun untuk 1000 MW) artinya cukup untuk 121
PLTN TMSR berdaya 1000 MW selama 1000 tahun. – Jelas thorium adalah pilihan
yang rasional di banding Uranium.
Dari sisi keekonomisan BATAN dan ESDM masih menghitung biaya
pembangunan PLTN pada kisaran USD 7 Juta/ MW padahal dalam dokumen IAEA tentang
Small-Modular-Reactor (SMR), di perkirankan reaktor generasi IV SMR akan di
desain dengan target biaya di kisaran USD 3 juta / MW. Professor B. Joseph
Lassiter dari Harvard Business School membuat analisa bila Nuklir akan
memberikan dampak kepada pengurangan emisi rumah kaca maka Nuklir harus lebih
murah dari PLTU batubara dan PLTG yang saat ini biaya listriknya termurah di
Amerika USD 2,5 sen/Kwh. Untuk itu ia membandingkan 3 kategori reaktor nuklir,
Gen III+ keluarga LWR (AP1000, NuScale), Gen IV Non-MSR (Terrapower, Prism) dan Gen IV MSR (ThorCon, Transatomic,Terresterial Energy) — Hasilnya adalah Gen IV turunan MSR pada
2025 akan lebih murah biayanya daripada PLTU batubara dan dengan pengembangan
teknologi MSR akan menjadi lebih murah dari 2,5 sen/kwh pada tahun 2050. – Tentunya
bila kita melakukan perencanaan jangka panjang teknologi dalam pengembangan
seperti Gen IV ini harus di masukan kedalam kosideran.
Karena ketidaktahuan tentang adanya teknologi Nukir yang jauh
lebih aman dibanding LWR maka Dewan Energi Nasional (DEN) dalam dokumen
Kebijakan Energi Nasional menempatkan Nuklir sebagai opsi terakhir. – Hal ini
karena kekuatiran terhadap : Kecelakan (meltdown) dan radiasi yang sesungguhnya
lebih banyak isu daripada faktanya, seperti pernah saya tulis dalam tulisan saya
sebelumnya PLTN antara isu dan
fakta. Tapi sayang dari
pihak BATAN maupun ESDM tidak ada yang memberikan keterangan pembelaan terhadap
PLTN sehingga kalimat “opsi terakhir” masuk dalam dokumen Kebijakan Energi
Nasional.
Pada tahun 2030 China
dan India sudah mulai akan mengoperasikan TMSR 1000 MW dan pada saat itu sangat
mungkin China akan sudah akan menjual TSMR ke Indonesia dengan harga murah — Bila
Indonesia ingin memiliki kemandirian energi melalui penguasaan teknologi nuklir
inilah saatnya sebagaimana di amanatkan oleh Presiden Soekarno ketika
meresmikan reaktor nuklir pertama di Bandung pada tahun 1965, satu tahun
sebelum Jepang memiliki reaktor Nuklir. Tetapi 57 tahun kemudian setelah
memiliki 3 reaktor eksperimen, 2 lembaga Nuklir (BATAN dan BAPETEN) dan 2
fakultas nuklir (ITB, UGM) Indonesia masih bermimpi memiliki PLTN.
Masalah ini sebenarnya
sangat sederhana saja. Perintahkan BUMN yang begerak dalam bidang Nuklir, PT
INUKI (Industri Nuklir Indonesia) untuk bekerjasama dengan salah satu
perusahaan yang sedang melakukan pengembangan MSR yang sebagian besar adalah
startup dan membutuhkan suntikan dana — sama seperti yang di lakukan oleh Nurtanio
yang bekerjasama dengan CASA ketika membuat pesawat pertamanya CN-212 yang
berhasil melambungkan Nurtanio dalam waktu singkat menjadi Industri Pesawat
Terbang kelas Dunia. Maka bila hal ini dilakukan dalam masa pemerintahan ini,
saya yakin sebelum 2025 Indonesia sudah akan memiliki PLTN MSR skala 50 – 100
MW yang patennya di miliki bersama oleh Indonesia.
Selanjutnya Kami
mengusulkan TMSR atau PLTN Thorium disebut PLTT (Pembangkit Listrik Tenaga
Thorium) untuk membedakan dengan PLTN (LWR) yang selalu identik dengan
Uranium/Plutonium.
Sebagai penutup, bahwa
tanpa di sadari Masyarakat dunia termasuk Indonesia sudah memanfaatkan Thorium
Power sejak lebih dari 100 tahun tepatnya sejak tahun 1910 yaitu : Petromax
yang sesungguhnya adalah sebuah reaktor bertenaga Thorium. Artikelnya dapat di
baca diPETROMAX : Reaktor
bertenaga Thorium.
Semoga tulisan ini dapat menjadi inspirasi dan
masukan bagi para pengambil keputusan di Indonesia untuk dapat mengkaji ulang
perencanaan energi masa depan Indonesia, khususnya Nuklir.
Jakarta 10 Juli 2015
Bob S. Effendi
———————-
Untuk yang ingin mempelajari lebih dalam tentang Thorium Energy,
saya berikan link ke beberapa video di paling bawah tulisan ini.
Gallery :
Gambar diatas memperlihatkan berita di koran
ketika reaktor MSR menjadi Critical (sampai pada titik dimana reaktor siap
bekerja secara stabil) pada 2 Juni 1965. Salah satu kalimat yang menarik adalah
:
“The MSRE will now be operated at gradually
increasing power levels. Then it will be shutdown for examination. Then it will
be started up again…”
kalimat ini sangat signifikan bagi ahli nuklir
menceritakan bagaiman dengan mudah daya reaktor dapat di naikan dan reaktor
dapat di berhentikan dengan mudah kemudian di start kembali sesuatu yang tidak
dapat dilakukan dengan mudah oleh reaktor LWR.
Karena Angkatan Laut
memulai program Kapal bertenaga Nuklir, Angkatan Udara AS juga tidak mau
ketinggalam maka antara tahun 1947 – 1951 US Airforce membuat program Nuclear Energy for the
Propulsion of Aircraft (NEPA) dan salah satu Institusi yang mendapatkan kontrak untuk
menciptakan mesin pesawat tersebut adalah Oak Ridge National Laboratory yang
saat itu di pimpin oleh Weinberger yang kemudian membuat program Aircraft Nuclear
Propulsion. Desain mesin nya
memakai reaktor Molten Salt Reactor 2,5 MW dengan bahan bakar Thorium secara
teori dapat terbang selama 3 bulan nonstop, desain ini sudah di approve oleh
Airforce sayangnya keburu program thorium di hentikan. — Bayangkan reaktor MSR
dapat di buat sekecil itu (lihat gambar) yang tidak mungkin di lakukan oleh
reaktor LWR atau sejenisnya.
Bill Gates ingin bekerjasama dengan China
untuk mengembangkan Reaktor Nuklir MSR dikarenkan proses licensing di Amerika
yang cukup rumit dan memakan waktu lama. Sementara Gates ingin mengoperasikan
reaktor sebelum 2020.
Untuk mendorong
pengembangan, penelitian dan promosi Thorium Energy, berbagai pihak dari
multisektor membentuk Thorium Working Group Indonesia, yang terdiri dari personil PT INUKI, Fak
Tehnik Fisika UGM, Bapeten dan BATAN. (penulis : no 2 dari kanan)
PT INUKI telah
bekerjasama dengan ThorCon Power dalam pengembangan MSR yang rencananya akan di
bangun di Indonesia. Pemilihan ThorCon adalah karena pemanfaatan galangan kapal
sebagai fabrikasi reaktor yang dapat mendorong industri maritim.
Desain reaktor MSR milik ThorCon yang dibuat
secara modular dengan teknologi galangan kapal sehingga dapat dibuat secara
cepat dan dapat meningkatkan kapasitas kemampuan galangan kapal Indonesia –
Reaktor 1000 MW di desain untuk dapat masuk kedalam kapal ukuran ULCC (550,000
DWT) sehingga reaktor secara utuh dapat di angkut dengan kapal ke lokasi.
Resources
Video
1) Dokumenter pendek
(11 menit) tentang Thorium (klik disini)
2) Interview Hans
Blix, sekjen IAEA (Klik
disini)
3) Presentasi DR Carla
Rubbia, pemenang hadiah Nobel Fisika (Klik disini)
4) Presentasi
DR.HongJie XU kepala Shanghai Institute of Applied Physics (klik disini)
Dokumen & Websites
1) Thorium Fuel Cycle
– Potential Benefit and Chalennges, IAEA (klik disini)
0 comments:
Posting Komentar